Anda di halaman 1dari 19

PENDAHULUAN

Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki janingan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target,
kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. lnduksi sintesis protein inimerupakan perantara efek fisiologis
steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan
sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan flbroblas hormon steroid
merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hat
ini menimbulkan efek katabolik.
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga
disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme
perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas.Sintesis dan sekresinya diregulasi
secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang
ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis).Pada orang
dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap han tanpa adanya stres.Pada plasma, kortisol
terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan
globulin-[]2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat
lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar plasma
kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan
cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexametason terikat dengan albumin dalam jumlah besar
dibandingkan CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat
meningkat apabila hydrocortisone (preparat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar, atau
pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa
perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal
dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan struktur
kimia sangat mempengaruhi kecepatan absoipsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi
afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat
diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi
akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini
menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi
leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat
manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan
kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi,
distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne
dan chemokyne inflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa
memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam
jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi
yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada pada sel endotel dan dihambat
oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja
pendek, konsentrasi neutrofil meningkat, sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil
dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6
jam dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan
aliran masuk ke dalam darah dan sum-sum tulang dan penurunan migrasi dan pembuluh darah,
sehingga menyebabkan penurunanjumlah sel pada tempat inflamasi.
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen
lairinya. Kemampuan tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek
terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk
memfagosit dan membunuh mikroorgamsme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a,
interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi
leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis
prostaglandin,leukotrien dan platelet-activating factor.
Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran dasar dan
sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam sel atau
struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis: keratinosik (atropi epidermal, re-
epitalisasi lambat), produksi fibrolas mengurangi kolagen dan bahan dasar (atropi dermal, striae),
efek vaskuler kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif vasculer (telangiekiasis,
purpura), dan kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan granulasi yang lambat). Khasiat
glukokortikoid adalah sebagal anti radang setempat, antiproliferatif, dan imunosupresif. Melalui
proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti sel—sel lesi, berikatan dengan kromatin
gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat
menghasilkan protein baru yang dapat membentuk atau menggantikan sel-sel yang tidak
berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif), bergantung pada jenis dan stadium proses
radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-
enzim yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan.
Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering dipakai. Efektifitas
kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi. Potensi kortikosteroid
ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit hewan percobaan
dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison, misalnya, tidak
berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami transformasi menjadi
dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu. Hidrokortison efektif secara topikal
mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan.
Pada umumnya molekul hidrokortison yang mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten.
Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di
antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling balk
penetrasinya). Kortikosteroid hanya sedikit diabsorpsi setelah pemberian pada kulit normal,
misalnya, kira-kira 1% dan dosis larutan hidrokortison yang diberikan pada lengan bawah ventral
diabsorpsi. Dibandingkan absorpsi di daerah lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali
yang melalui daerahtelapak kaki, 0,83 kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang
melalui tengkorak kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali melalui
kulit scrotum. Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis
atopik ; dan pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit
sawar untuk penetrasi.
Efektivitas kortisteroid bisa akibat darisifat immunosupresifnya. Mekanisme yang terlibat
dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa
menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan
kortikosteroid topikal pada terapi urtikaria pigmentosa. Mekanisme sebenarnya dariefek
antiinflamasi sangat kompleks dan kurang dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid
menggunakan efek anti-inflamasinya dengan menginhibisi pembentukan prostaglandin dan
derivat lain pada jalur asam arakidonik. Mekanisme lain yang turut memberikan efek
antiinflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran
lisosom dan sel-sel fagosit.

Klasifikasi
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya
potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan
penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya.Kortikosteroid terdiri
atas 2 sediaan yaitu kortikosterojd sistemik dan sediaan kortikosteroid topikal. Sediaan
kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya,
potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid.

Kontra Indikasi
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang
sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat
intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai
life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan
hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified
derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.
KORTIKOSTEROID SISTEMIK DAN TOPIKAL

1. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat
tersebut mempunyai efek imunosupresan dan antiinflamasi. Sejak kortikosteroid digunakan
dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong penderita. Berbagai penyakit yang
dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya dermatitis. Penyakit berat yang
dahulu dapat menyebabkan kematian, misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan
berkat pengobatan dengan kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens Johnson yang berat
dan nekrolisis epidermal toksik.

Aplikasi Klinis
Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuskular,
intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan keparahan penyakit. Pada suatu
penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada alopesia areata,
kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang.
Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang digunakan
untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika
digunakan kurang dan 3 – 4minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang
paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek
samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik
yang maksimal dari sekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah
dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg)
pada malam han sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal pada
kasus acne.
Pada pengobatan dengan kortikosteroid hendaknya jangan lupa mencari penyebabnya.
Kortikosteroid yang banyak dipakai ialah prednison karena telah lama digunakan dan harganya
murah. Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme dihepar
menjadi prednisolon. Pada penderita dengan hipertensi, gangguan kor, atau keadaan lain yang
retensi garam merupakan masalah, maka dipilih kortikosteroid yang efek kortikosteroidnya
sedikit/tidak ada, lebih-lebih bila diperlukan dosis kortikosteroid yang tinggi.
Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralokortikoid jangan dipakai pada
pemberian jangka panjang (lebih dan pada sebulan). Triamsinolon lebih sering memberi efek
samping berupa miopati dan anoreksia sehingga berat badan menurun. Pada penyakit berat dan
sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindroma steven johnson harus
diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Biasanya yang digunakan yaitu deksametason i.v
karena lebih praktis. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan diganti
dengan tablet prednison.
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami
perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak mengalami eksaserbasi,
tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika terjadi supresi korteks
kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi terjadi kalau dosis prednison
meebihi 5 mg per han dan kalau lebih dan sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan
lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang jarang melebihi 39°C.
Pada pengobatan penyakit autoimun diperlukan kortikosteroid dalam jangka waktu yang
lama dan dicari dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan ditentukan dengan menurunkan
dosisnya berangsur-angsur. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal
kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi han (jam 8), karena
kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari
ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang
seharusnya bebas obat masih diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada
dosis pada han pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah
mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan
kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan
dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.
Terjadinya efek samping tergantung pada dosis, lama pengobatan dan macam
kortikosteroid. Pada pengobatan jangka pendek (beberapa hari / minggu) umumnya tidak terjadi
efek samping yang gawat. Sebaliknya pada pengobatan jangka panjang (beberapa bulan / tahun)
harus diadakan tindakan untuk mencegah terjadinya efek tersebut, yaitu:
1. Diet tinggi protein dan rendah garam.
2. Pemberian KC1 3x500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi Kalium
3. Obat anabolik
4. ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya diberikan ialah ACTH sintetik, yaitu
synacthen depot sebanyak 1 mg (100 IU), pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi
dapat diberikan seminggu sekali.
5. Antibiotik perlu diberikan, jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari
6. Antasida

Efek Samping
Tempat Macam efek samping
1 Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus
peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.
2 Otot Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu
3 Susunan sarafpusat Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah
tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan
bunuh diri), nafsu makan bertambah.
4 Tulang Osteoporosis, fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur
tulang panjang.
5 Kulit Hirsutisme, hipotropi, striae atrofise, dermatosisakneiformis,
purpura,
6 Mata Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
7 Darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
8 Pembuluh darah Kenaikan tekanan darah
9 Kelenjaradrenal bagian Atrofi, tidak bisa melawan stres
kortek
10 Metabolisme protein, Kebilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia, gula
KH dan lemak meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.
11 Elektrolit Retensi Na/air, kehilangan kalium.(astenia, paralisis,
tetani, aritmia kor)
12 Sistem immunitas Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Th herpes simplek,.
dan keganasan dapat timbul
Tabel 1. Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.

Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat menopause.
Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas moon face, buffalo hump, penebalan
lemak suprakavikula, obesitas sentral, striae atrofise, purpura, dermatosis akneformis dan
hirsustisme. Selain itu juga gangguan menstruasi, nyeri kepala, pseudotumor serebri, impotensi,
hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali dan keadaan ateroskierosis dipercepat. Pada anak
memperlambat pertumbuhan.
Macam Kortikosteroid Potensi glukokortikoid Dosis ekuivalen (mg) Potensi mineralokortikoid
1. Kerja singkat
a. Hidrokortison 1 20,0 2+
b. Kortison 0,8 25,0 2+
2. Kerjasedang
a. Meprednison 4-5 4,0 0
b. Metilprednisolon 5 4,0 0
c. Prednisolon 4 5,0 1+
d. Prednison 4 5,0 1+
e. Triamsinolon 5 4,0 0
3. Kerjalama
a. Betametason 20-30 0,60 0
b. Deksametason 20-30 0,75 0
c. Parametason 10 2,0 0
Tabel 2. Mengenal lama kerja, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen, dan potensi
mineralokortikoid
Keterangan:
Masa paruh biologik kortikostreroid
Kerja singkat : 8-12 jam
Kerja sedang : 12-36 jam
Kerja lama : 36-72 jam
Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan
deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan kortikosteroid
mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dan
yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason
mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan
hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat
semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi.

Monitor
Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid untuk
mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan keluarga dengan
perhatian khusus kepada penderita yang memiliki predisposisi diabetes, hipertensi,
hiperlipidemia, glaukomadan penyakit yang terpengaruh dengan pengobatan steroid. Tekanan
darah dan berat badan harusrus tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka lama perlu
dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas tulang spinal dengan menggunakan
computedtomography (CT), dual-photon absorptiometry, atau dual-energy x ray absorptiometry
(DEXA).
Sedangakan selama penggunaan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi diantaranya
menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen, demam, gangguan tidur
dan efek psikologi. Penggunaan glukokortikoid dosis besar mempunyai kemungkinan terjadi
efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan tekanan darah tetap selalu di
monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap diukur dengan
regular. Pemeriksaan tinja perlu dilakukan pada kasus darah yang menggumpal. Selain itu,
pemeriksaan lanjut pada mata karena ditakutkan terjadinya katarak dan glaukoma
No Efek samping Monitor
1 Hipertensi Tekanan darah
2 Berat badan meningkat Berat badan
3 Abnormalitas metabolik Elektrolit, lipid, glukosa (penderita diabetes
dan hiperlipidemia)
4 Osteoporosis Densitas tulang
5 Mata
Katarak  Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12 bulan)
Glaukoma  Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan ke enam)
6 Ulkus peptik Pertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau proton
pump inhibitor
7 Supresi kelenjar adrenal Dosis tunggal di pagi hari, periksa serum kortisol pada
jam 8 pagi sebelum tapering off.
Tabel 3. Berikut hal -ha1yang perlu di monitor selama penggunaan glukokortikoid
jangka panjang

Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhadap efek samping, hendaknya
diperiksa tensi, berat badan (seminggu sekali), EKG (sebulan sekali) terutama pada usia di atas
40 tahun, dan pemeriksaan laboratorium: Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, LED, urin lengkap,
kadar Na dan K dalam darah, gula darah (seminggu sekali), foto thoraks, apakah ada tuberkulosis
paru (3 bulan sekali).
Efek samping yang juga berat ialah osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur. Pada
pemberian kortikosteroid yang jangka panjang, misalnya pada penyakit autoimun hendaknya
sejak semula diusahakan pencegahannya. Penderita dikonsultasikan kesubbagian ortopedi. Pada
wanita saat menopouse dikonsultasikan ke bagian kebidanan untuk kemungkinan terapi
hormonal, karena pada masa tersebut rentan mendapat osteoporosis.
Indikasi Dan Dosis
Indikasi kortikosteroid ialah dermatosis alergik atau yang dianggap mempunyai dasar
alergik, Pada tabel dibawah lni dicantumkan berbagai penyakit yang dapat diobati dengan
kortikosteroid serta dosisnya.

Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari

Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3xl0 mg

Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

SSJ berat dan NET Deksametason 6x5 mg

Eritroderma Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Reaksi lepra Prednison 3x10 mg

Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg

Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg

Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg

Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg

Psoriasis pustulosa Prednison 4x 10 mg

Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg

Tabel 4. Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada
berbagai dermatosis

Dosis untuk anak disesuaikan dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari
belum tampak perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan.
2. Kortikosteroid Topikal
Pada tahun 1952 SULZBERGER dan WITTEN memperkenalkan hidrokortison dan
hidrokortison asetat sebagai obat topikal pertama dan golongan kortikosteroid. Hal im
merupakan kemajuan yang sangat besar dalam pengobatan penyakit kulit karena kortikosteroid
mempunyai khasiat yang sangat luas yaitu anti inflamasi, anti alergi, anti pruritus, anti mitotik,
dan vasokontriksi. Pada penyelidikan ternyata bahwa kortison dan adreno cortico trophic
hormone (ACTH) tidak efektif sebagai obat topikal.
Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 1960 diperkenalkan kortikosteroid yang
lebih poten daripada hidrokortison, yaitu kortikosteroid yang bersenyawa halogen yang dikenal
sebagai fluorinated corticosteroid. Penambahan 1 atom F pada posisi 6 dan 9 dan satu rantai
samping pada posisi 16 dan 17, menghasilkan bentuk yang mempunyai potensi tinggi. Zat-zat ini
pada konsentrasi 0,025% sampai 0,1% memberikan pengaruh anti inflamasi yang kuat, yang
termasuk golongan ini ialah, antara lain ; betametason, betametason valerat, betametason
benzoat, fluosinolon asetonid dan triamsinolon asetonid.

Penggolongan
Kortikosteroid topikal bagi menjadi 7 golongan besar, diantaranya berdasarkan anti
inflamasi dan anti mitotik, Golongan 1 yang paling kuat daya anti inflamasi dan anti mitotiknya
(superpoten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).

Klasifikasi Nama Dagang Nama Generik


Golongan 1: (super poten) Diprolene ointment 0,05% betamethason dipropionate
Diprolene AF cream
Psorcon ointment 0,05% diflorasone diacetate
Temovate ointment 0,05% clobetasol propionate
Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment 0,05% halobetasol propionate
Ultravate cream
Golongan II: (potensi tmggi) Cyclocort ointment 0,1% ameinonide
Diprosone ointment 0,05% betamethasoiie dipropionate
Elocon ointment 0,01% mometasone fuorate
Florone ointment 0,05% diflorasone diacetate
Halog ointment 0,01% halcinonide
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment 0,05% fluocinonide
Lidex cream
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment 0,05% diflorasone diacetate
Maxivate ointment 0,05% betamethasone dipropionate
Maxivate cream
Topicort ointment 0,25% desoximetasone
Topicort cream
Topicort gel 0,05% desoximetasone
Golongan III: (potensi finggi) Aristocort A ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Cultivate ointment 0,005% fluticasone propionate
Cyclocort cream 0,1 amcinonide
Cyclocort lotion
Diprosone cream 0,05% betamethasone dipropionate
Flurone cream 0,05% diflorosone diacetate
Lidex E cream 0,05% fluocmomde
Maxiflor cream 0,05% diflorosone diacetate
Maxivate lotion 0,05% betamethasone dipropionate
Topicort LP cream 0,05% desoxitnetasone
Valisone ointment 0,01% betamethasone valerate

Golongan IV: (potensi medium) Aristocort omtment 0,1% traamcinolone acetomde


Cordran ointment 0,05% flurandrenolide
Elocon cream 0,1% mometasone furoate
Elocon lotion
Kenalog ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Kenalog cream
Synalar ointment 0,025% fluocinolone acetonide
Westcort ointment 0,2% hydrocortisone valerate
Golongan V: (potensi medium) Cordran cream 0,05% flurandrenolide
Cutivate cream 0,05% fluticasone propionate
Dermatop cream 0,1% prednicarbate
Diprosone lotion 0,05% betamethasone dipropionate
Kenalog lotion 0,1% triamcinolone acetonide
Locoid ointment 0,1% hydrocortisone butyrate
Locoid cream
Synalar cream 0,025% fluocinolone acetonide
Tridesilon ointment 0,05% desonide
Valisone cream 0,1% betamethasone valerate
Westcort cream 0,2% hydrocortisone valerate
Golongan VI: (potensi medium) Aclovate ointment 0,05% aclometasone
Aclovate cream
Aristocort cream 0,1% triamcinolone acetonide
Desowen cream 0,05% desonide
Kenalog cream 0,025% triamcinolone acetonide
Kenalog lotion
Locoid solution 0,1% hydrocortisone butyrate
Synalar cream 0,01% fluocinolone acetonide
Synalar solution
Tridesilon cream 0,05% desonide
Valisone lotion 0,1% betamethasone valerate

Golongan VII: Potensi lemah) Obat topical dengan


hidrokortison,
dekametason,
glumetalone,
prednisolone, dan
metilprednisolone
Tabel 5. Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi kilnis

Penggunaan Klinik
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatjf dan supresjf
terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada kelainan akut
dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak dan usia lanjut,
sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada dermatitis
kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan kronis dan tebal
dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis
dishidrotik, dan dermatitis numular.
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai dengan
harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan
steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus eritematosus
diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika diabetikorum, vitiligo,
granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum. Erupsi eksematosa
biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada
eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik.
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati.
Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping terhadap
pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu yang singkat.
Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kulit bayi masih belum
sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis,
ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan
efek toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi
prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat tinggi.
Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal meningkat. Selain itu,
pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi sekunder karena proses penuaan.
Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering, waktu singkat dan dengan
pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan perlu
atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur, sering
digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (SOP).Percobaan pada hewan
menunjukkan penggunaan kortikosteroid padakulit hewan hamil akan menyebabkan
abnormalitas padapertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada kaitan dengan efek pada
manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi di absorbsi di kulit
memasuki aliran darah wanita hamil terutama pada penggunaan dalam jumlah yang besar, jangka
waktu lama dan steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan memperlihatkan
hubungan yang kecil tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester pertama dengan
bibirsumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lip atau cleft palate saat penggunaan
steroid selama kehamilan. Kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan pada saat kehamilan
adalah prednison dan kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan hidrokortison dan
betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan kortikosteroid topikal harus
dihindari dan diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah steroid topikal diekskresi
melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang menyusui.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-rata dosis
yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/ hari, sedangkan dosis dibawah 30
mg/haritidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang sebelumnya
memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan pengobatan kortikosteroid sekitar 20% dapat
menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan 80% tidak.

Indikasi
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid topikal ialah psoriasis, dermatitis
atopik, dermatitis kontak, dermatitis seboroik, neurodermatitis sirkumskripta, dermatitis
numularis, dermatitis stasis, dermatitis venenata, dermatitis intertriginosa dan dermatitis solaris
(fotodermatitis).
Dermatosis yang kurang responsif ialah lupus eritematosus diskoid, psoriasis ditelapak
tangan dan kaki, nekrobiosis lipoidika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis.
liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid intralesi ialah keloid, jaringan parut
hipertrofik, alopesia areata, akne berkista, prurigo nodularis, morfea, dermatitis dengan
likenifikasi, liken amiloidosis, dan vitiligo sebagian responsif). Disamping kortikosteroid topikal
tersebut ada pula kortikosteroid yang disuntikan intralesi, misalnya triamsinolon asetonid.

Pemilihan Jenis Kortikosteroid Topikal


Pada saat memilih kortikosteroid topikal yang sesuai, aman, efek samping sedikit dan
harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu jenis penyakit
kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit, yaitu stadium penyakit, luas atau tidaknya lesi, dalam
atau dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur penderita.
Steroid topikal terdiri dan berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis.Salep (ointments)
ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi seperti mentega.
Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Jenis ini merupakan yang
terbaik untuk pengobatan kulit yang kering karena banyak mengandung pelembab. Selain itu
juga baik untuk pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan dan kaki. Salep mampu
melembabkan stratum komeum sehingga meningkatkan penyerapan dan potensi obat. Krim
adalah suspensi minyak dalam air. Krim meniiliki komposisi yang bervaniasi dan biasanya lebih
berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda pada daya hidrasi terhadap kulit. Banyak
pasien lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara kosmetik lebih baik dibandingkan
ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan bahan pengawet yang mempermudah
terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien.Lotion (bedak kocok) tediri atas campuran air dan
bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, lotion mirip dengan krim
.Lotion terdiri dan agents yang membantu melarutkan kortikosteroid dan lebih mudah menyebar
ke kulit. Solution tidak mengandung minyak tetapi kandungannya terdini dan air, alkohol dan
propylene glycol. Gel komponen solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan
kulit. Lotion, solution, dan gel memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkan
ointment tetapi berguna pada pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih
berminyak dan secara kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien.
Aplikasi KIinis
a. Cara aplikasi
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3x/hari sampai penyakit tersebut sembuh.
Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis .Takifilaksis ialah menurunnya respons
kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang berupa toleransi
akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa
hari efek vasokonstriksi akan timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan
obat tetap dilanjutkan.
b. Lama pemakaian steroid topikal
Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dan 4-6 minggu untuk
steroid potensi lemah dan tidak lebih dan 2 minggu untuk potensi kuat.

Efek Samping
Efek samping terjadi bila:
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan
2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat ataupenggunaan
secara okiusif
Harus diingat bahwa makin tinggi potensi kortikosteroid topikal, makin cepat terjadinya efek
samping. Gejala efek samping :
1. Atrofi
2. Strie atrofise
3. Telengiektasis
4. Purpura
5. Dermatosis akneiformis
6. Hipertrikosis setempat
7. Hipopigmentasi
8. Dermatitis perioral
9. Menghambat penyembuhan ulkus
10. Infeksi mudah terjadi dan meluas
11. Gambaran Klinis penyakit infeksi menjadi kabur
Dermatofitosis yang diobati dengan kortikosteroid topikal gambaran klinisnya menjadi tidak
khas karena efek anti inflamasinya. Pinggir yang eritematosa dan berbatas tegas menjadi kabur
dan meluas dikenal sebagai tinea incognito.

Pencegahan Efek Samping


Efek samping sistemik jarang sekali terjadi, agar aman dosis yang dianjurkan ialah
jangan melebihi 30 gram sehari .
Pada bayi kulit masih tipis, hendaknya dipakai kortikosteroid topikal yang lemah. Pada
kelainan akut dipakai pula kortikosteroid topikal yang lemah. Pada kelainan subakut digunakan
kortikosteroid topikal sedang. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai kortikosteroid topikal kuat.
Bila telah membaik pengolesan dikurangi, yang semula dua kali sehari menjadi sehari sekali atau
diganti dengan kortikosteroid topikal sedang/lemah untuk mencegah efek samping.
Jika hendak menggunakan cara oklusi jangan melebihi 12 jam sehari dan pemakaiannya
terbatas pada lesi yang resisten. Pada daerah lipatan (inguinal, ketiak) dan wajah digunakan
kortikosteroid topikal lemah /sedang. Kortikosteroid topikal jangan digunakan untuk infeksi
bakterial, infeksi mikotik, infeksi virus, dan skabies. Di sekitar mata hendaknya berhati-bati
untuk menghindari timbulnya glaukoma dan katarak. Terapi intralesi dibatasi I mg pada satu
tempat, sedangkan dosis maksimum perkali 10 mg.

Anda mungkin juga menyukai