Anda di halaman 1dari 4

LULU KHOERINA (18811141) / Tutorial B

SUMMARY SKENARIO 1 BLOK COMPOUNDING AND DISPENSING


GATAL YANG MENGGANGGU
Tujuan Pembelajaran
a. Memahami Definisi,tanda gelaja, faktor resiko, etiologi&patofisiologi, tujuan & tata laksana
Dermatitis Atopik.
b. Memahami Definisi,tanda gelaja, faktor resiko, etiologi&patofisiologi, tujuan & tata laksana
jerawat
c. Mampu memahami skrining resep beserta aspek aspeknya.
d. Mampu memahami terkait dispensing resep dan swamedikasi.
e. Mampu memahami masalah dan solusi terkait skenario.

Pembahasan

Dermatitis atopik adalah kondisi peradangan dengan genetik, lingkungan, dan mekanisme
imunologi. Banyak sel kekebalan menunjukkan kelainan, termasuk sel Langerhans, monosit,
makrofag, limfosit, sel mast, dan keratinosit (1).Dermatitis disebut juga sebagai eksim yang paling
sering ditemui pada praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak.
Penyakit kulit ini diturunkan secara genetik, ditandai oleh inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa
dengan episode eksaserbasi dan remisi(2). Tanda dan gejala DA anatar lain gatal-gatal yang
memuncak pada malam hari, bagian kulit yang berwarna merah hingga abu kecoklatan pada tangan,
kaki, pergelangan kaki dan tangan, leher, dada bagian atas, lipatan mata, bagian dalam sikut dan
lutut, benjolan kecil dan timbul, Kulit yang tebal, kering dan pecah-pecah., kulit yang lecet, sensitif,
dan bengkak akibat digaruk. Etiologi dari dermatitis atopik yaitu riwayat keluarga, imunologik,
perubahan suhu, infeksi kulit, dan alergi makanan terutama pada anak-anak. Faktor Resiko
terjadinya gatal pada dermatitis atopic antara lain :Iritan contohnya pelarut lipid misalnya sabun dan
deterjen, desinfektan, iritan pada pekerjaan, cairan rumah tangga misalnya getah buah segar, wool;
Alergen kontak dan aeroallergen contohnya kutu debu rumah/dust mites (efek alergen kontak
lebih besar daripada efek aeroalergennya), Rambut binatang (kucing dan anjing), serbuk sari
(pollen), bersifat musiman, jamur, serpihan dari manusia, misalnya serpihan ketombe, terapi topical,
nikel; Mikroba contohnya infeksi virus (saluran napas bagian atas dan infeksi kulit), S. aureus, baik
sebagai superantigen maupun pathogen, Pityrosporum ovale, Candida species (jarang), dermatofi
ta (jarang) dan Lain-lain contohnya makanan (sebagai iritan kontak > vasodilator > alergen), stres
psikologis, iklim, hormon, misalnya siklus haid dan vaksinasi (2). Patofisiologi DA diduga interaksi
faktor genetik, disfungsi imun, disfungi sawar epidermis, dan peranan lingkungan serta agen
infeksius. Fungsi sawar epidermis terletak pada stratum korneum sebagai lapisan kulit terluar.
Stratum korneum berfungsi mengatur permeabilitas kulit dan mempertahankan kelembaban kulit,
melindungi kulit dari mikroorganisme dan radiasi ultraviolet, menghantarkan rangsang mekanik dan
sensorik. Lapisan ini terbentuk dari korneosit yang dikelilingi lipid, yang terdiri dari ceramide,
kolesterol, dan asam lemak bebas. Ceramide berikatan kovalen dengan selubung korneosit
membentuk sawar yang menghalangi hilangnya air dari lapisan kulit. Hidrasi korneosit juga
dipengaruhi oleh produksi natural moisturizing factor (NMF) yang berasal dari pemecahan fi lagrin
dalam korneosit menjadi asam amino. Pada penderita DA ditemukan mutasi gen filagrin sehingga
mengganggu pembentukan protein yang esensial untuk pembentukan sawar kulit. Gangguan fungsi
sawar epidermis ini menyebabkan gangguan permeabilitas dan pertahanan terhadap
mikroorganisme. Transepidermal water loss (TEWL) menjadi lebih tinggi pada DA dibandingkan
pada kulit normal karena kandungan lipid stratum korneum pada DA juga berubah. Jumlah dan
kandungan ceramide jenis tertentu berkurang dan susunan lipid di stratum korneum juga berubah.
Selain itu, ukuran korneosit pada kulit pasien DA jauh lebih kecil dibandingkan korneosit kulit normal.
Semuanya menyebabkan bahanbahan iritan, alergen, dan mikroba mudah masuk ke dalam kulit.
Agen infeksius yang paling sering terdapat pada kulit DA adalah Staphylococcus aureus yang
membuat koloni pada 90% pasien DA. Tujuan terapi DA adalah untuk melembabkan kulit yang
kering, mengurangi rasa gatal yang meliputi seluruh tubuh yang disertai dengan ruam, mengurangi
inflamasi dan menghilangkan faktor pencetus. Terapi Farmakologi dengan menggunakan
emolien/pelembab. Emolien dapat berupa losion, krim, dan ointment. Produk emolien yang kaya
ceramide sangat berguna mempertahankan kelembapan kulit. Jika memakai tabir surya, emolien
diaplikasikan setengah jam sebelum memakai tabir surya.Dermatitis atopic ringan sering kali
membaik hanya dengan pemakaian emolien, tetapi pada keadaan inflamasi akut, dibutuhkan
tambahan steroid topikal yang dapat digunakan sebelum penggunaan emolien agar efektivitasnya
tidak berkurang. Lini kedua digunakan calcineurin inhibitors contohnya tacrolimus pimekrolimus
topical. Antihistamin oral digunakan untuk mengontrol gatal. Antihistamin sedative misalnya
hydroxyzine, diphenhydramine, chlorpheniramine, lebih disarankan dibandingkan anti histamin non-
sedatif. Terapi Non Farmakologi menghindari allergen baik dari makanan atau lingkungan sekitar,
menghindari terpapar panas secara langsung, mandi dan kompres kulit dengan menggunakan air
hangat lalu keringkan dengan handuk bersih dan menggunakan pembersih kulit yang mengandung
pelembab, mengontrol emosi dan stress yang mampu memicu kekambuhan (2,3).
Acne vulgaris atau jerawat adalah penyakit kulit obstruktif dan infl amatif kronik pada unit
pilosebasea, merupakan dermatosis polimorfik dan memiliki peranan poligenetik. Tanda-tanda
jerawat antara lain komedo, whiteheads, papula, pustula (apa yang banyak orang sebut jerawat),
kista, nodul. Jerawat bisa muncul di punggung, dada, leher, bahu, lengan atas dan bokong. Gejala
jerawat jerawat bisa menyebabkan lebih dari cacat. Studi menunjukkan bahwa orang yang memiliki
jerawat dapat memiliki: tingkat kepercayaan diri yang rendah, depresi, spot hitam di wajah, scars yg
permanen (5). Patofisiologis acne meliputi empat faktor, yaitu hiperproliferasi epidermis folikular,
produksi sebum berlebihan, inflamasi, dan aktivitas P. acne. Acne paling banyak terjadi di wajah,
tetapi dapat terjadi pada punggung, dada, dan bahu. Di badan, acne cenderung terkonsentrasi dekat
garis tengah tubuh. Penderita acne memiliki kadar androgen serum dan kadar sebum lebih tinggi
dibandingkan dengan orang normal, meskipun kadar androgen serum penderita acne masih dalam
batas normal. Androgen akan meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan merangsang produksi
sebum, selain itu juga merangsang proliferasi keratinosit pada duktus seboglandularis dan
akroinfundibulum. Hiperproliferasi epidermis folikular juga diduga akibat penurunan asam linoleat
kulit dan peningkatan aktivitas interleukin 1 alfa. Epitel folikel rambut bagian atas, yaitu infundibulum,
menjadi hiperkeratotik dan kohesi keratinosit bertambah, sehingga terjadi sumbatan pada muara
folikel rambut. Selanjutnya di dalam folikel rambut tersebut terjadi akumulasi keratin, sebum, dan
bakteri, dan menyebabkan dilatasi folikel rambut bagian atas, membentuk mikrokomedo.
Mikrokomedo yang berisi keratin, sebum, dan bakteri, akan membesar dan ruptur. Selanjutnya, isi
mikrokomedo yang keluar akan menimbulkan respons infl amasi. Akan tetapi, terdapat bukti bahwa
infl amasi dermis telah terjadi mendahului pembentukan komedo. Penyakit ini ditandai oleh lesi
yang bervariasi, meskipun satu jenis lesi biasanya lebih mendominasi. Lesi noninflamasi, yaitu
komedo, dapat berupa komedo terbuka (blackhead comedones) yang terjadi akibat oksidasi
melanin, atau komedo tertutup (whitehead comedones). Lesi inflamasi berupa papul, pustul, hingga
nodus dan kista. Scar atau jaringan parut dapat menjadi komplikasi acne noninfl amasi maupun
acne inflamasi. Derajat acne berdasarkan tipe dan jumlah lesi dapat digolongkan menjadi ringan,
sedang, berat, dan sangat berat. Tujuan pengobatan adalah mencegah pembentukan lesi jerawat
baru, menyembuhkan lesi yang ada, dan mencegah atau meminimalkan jaringan parut. Terapi
Farmakologi dengan berdasarkan tingkat keparahannya. Jerawat ringan dengan komedonal) terapi
utamanya topikal retinoid; alternatifnya yaitu asam salisilat atau asam azelaik; dan terapi
pemeliharaan dengan retinoid topikal. Jerawat ringan dengan papula dan pustula terapi utamanya
retinoid topikal+antibiotik topikal; lini keduanya retinoid topikal+asam salisilat; dan terapi
pemeliharaan dengan retinoid topikal. Jerawat sedang dengan papula dan pustula terapi utamanya
antibiotik oral+retinoid topikal±benzoil peroksida atau BPO; alternatifnya antibiotik oral+retinoid
topikal ± BPO/AA; untuk perempuan alternatifnya antiandrogen oral+retinoid topikal/asam
salisilat±antibiotik topikal; dan terapi pemeliharaan dengan retinoid topikal±BPO. Jerawat sedang
dengan nodul terapi utamanya antibiotik oral+retinoid topikal±benzoil peroksida; alternatifnya
isotretinoin oral atau antibiotik oral+retinoid topikal; dan terapi pemeliharaan dengan retinoid topikal.
Jerawat berat terapi utamanya isotretinoin oral; alternatifnya antibiotik oral+retinoid topikal+BPO;
untuk perempuan alternatifnya antiandrogen oral+retinoid topikal ±antibiotik topikal; dan terapi
pemeliharaan dengan retinoid topikal±BPO (1). Terapi Non Farmakologi yaitu dengan pembersihan
kulit permukaan dengan sabun dan air yang memiliki efek relatif kecil pada jerawat karena memiliki
dampak minimal dalam folikel, pengelupasan kulit atau pencucian wajah yang berlebihan yang dapat
membuka atau membersihkan pori-pori dan dapat menyebabkan iritasi kulit, penggunaan agen
pembersih yang lembut dan tidak tidak membuat kering kulit adalah penting untuk menghindari kulit
iritasi dan kekeringan selama beberapa terapi jerawat (1,5).
Menurut Permenkes no 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan resep di apotek meliputi
skrining resep dan penyiapan obat. Skrining resep meliputi 3 aspek, yaitu: a) Persyaratan
administrasi meliputi nama dokter, SIP, alamat dokter, tanggal penulisan resep, nama, umur, berat
badan, alamat pasien, tanda tangan/paraf dokter, jenis obat, dosis, potensi/indikasi, cara
pemakaian, dan bentuk sediaan jelas. b) Kesesuaian farmasetis meliputi bentuk sediaan, dosis,
inkompatibiltas, stabilitas dan cara pemberian. c) Keseusaian klinis meliputi adanya efek samping,
alergi, dosis dan lama pemberian. Jika resep tidak jelas langsung menghubungi dokter yang
bersangkutan dan memberikan alternatif bila perlu menggunakan persetujuan setelah
pemberitahuan langsung (6). Penyiapan obat meliputi peracikan, etiket, kemasan obat yang
diserahkan, penyerahan obat, informasi obat, konseling dan monitor penggunaan obat.
Infeksi jamur dan eksim secara umum dapat menimbulkan keluhan yang serupa menurut
kasat mata. Namun jika hal ini diteliti lebih dalam, sebenarnya kulit berjamur dan kulit alergi
merupakan suatu hal yang berbeda. Perbedaan infeksi jamur dan eksim yaitu kulit berjamur tentu
disebabkan oleh infeksi jamur. Pada umumnya, infeksi jamur dapat ditularkan melalui kontak fisik
dan areanya biasanya pada daerah yang lembap. Sedangkan eksim disebabkan oleh adanya alergi
tubuh terhadap suatu hal, misalnya debu, tungau, makanan, ataupun udara. Karena disebabkan
oleh alergen, jadi kulit alergi tidak dapat ditularkan. Kulit berjamur biasanya timbul pada daerah-
daerah lembap dan hangat, seperti pada daerah selangkangan, kaki, atau daerah pada kulit yang
sering berkeringat. Sedangkan pada eksim, lokasi yang umumnya dapat muncul keluhan adalah
daerah wajah atau kepala pada bayi, dan pada orang dewasa dapat muncul di daerah leher, siku,
kaki, tangan, dibalik lutut, hingga pergelangan tangan. Walaupun kedua penyakit bisa menimbulkan
keluhan gatal yang sangat mengganggu, namun pada pemeriksaan lesi pada kulit dapat terlihat
adanya perbedaan yang signifikan. Pada infeksi jamur, biasanya lesi kulit yang muncul akan jelas
terlihat batasnya. Lesi yang dapat muncul karena infeksi jamur adalah lesi merah dengan daerah di
tengah lebih terang daripada daerah pinggirnya (central healing). Pada eksim, lesi yang dapat timbul
adalah lesi berwarna merah, bersisik, dan dapat juga timbul nanah atau cairan-cairan dan terkadang
terlihat basah (7).
Dispensing termasuk dalam pelayanan farmasi klinis di apotek. Dispensing terdiri dari
penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi Obat. Setelah melakukan pengkajian Resep
dilakukan hal sebagai berikut: (a) Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep: - menghitung
kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep; -mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak
penyimpanan dengan memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik Obat, (b)
Melakukan peracikan Obat bila diperlukan, (c) Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi: -
warna putih untuk Obat dalam/oral; - warna biru untuk Obat luar dan suntik; - menempelkan label
“kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi, dan (d) Memasukkan Obat ke dalam
wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari
penggunaan yang salah (6). Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri dikenal dengan
istilah self medication atau swamedikasi (8). Sedangkan definisi swamedikasi menurut WHO adalah
pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu
untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (9). Adapaun kriteria Obat yang dapat diserahkan
tanpa resep harus memenuhi: (a) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil,
anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun (b) Pengobatan sendiri dengan obat
dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit. (c) Penggunaannya tidak memerlukan
cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan. (d) Penggunaannya
diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia e. Obat yang dimaksud memiliki
rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
Jenis obat-obat yang dapat diberikan pada saat swamedikasi adalah obat bebas, obat bebas
terbatas dan obat wajib apotek (OWA). Hal-hal yang perlu disampaikan pada saat kegiatan
swamedikasi diantaranya adalah khasiat obat, kontraindikasi, efek samping dan cara mengatasinya,
cara pemakaian, dosis obat, waktu pemakaian, lama penggunaan, hal yang harus diperhatikan
sewaktu minum obat tersebut, hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat, cara
penyimpanan obat yang baik, cara memperlakukan obat yang masih tersisa, dan cara membedakan
obat yang masih baik dan sudah rusak (Binfar, 2007).

Pada scenario terdapat beberapa permasalahan yakni dosis berlebih cetirizine tertulis 10mg
sehari 3 kali. Penggunaannya cukup 1 kali sehari. Kemudian untuk mengatasi DA dapat diberikan
tambahan emolien/pelembab seperti physisogel cream, cetaphil dll. Untuk pengatasan jerawat dapat
diberikan benzoyl peroxide 2,5% dipakai 2 kali sehari dioles tipis. Cetirizine dapat digunakan jika
gatal saja. Benzoyl peroxide dapat digunakan pada malam hari sebelum tidur pada jerawatnya saja.
Betason cream digunakan dan dioleskan pada bagian yg gatal terkena DA pada pagi hari, siang dan
malam hari digunakan hingga ada perbaikan kemudian diberikan sekali sehari atau lebih jarang.
Penggunaan betason dihentikan bila terjadi iritasi atau sensitisasi. Erymed diberikan untuk
mengatasi infeksi karena garukan sebelumnya yang menyebabkan lecet. Untuk pengobatan awal
digunakan erymed terlebih dahulu bila lukanya sudah kering dilanjutkan menggunakan betason
cream.

Referensi :
1. Dipiro JT., Schwinghammer TL., dan Dipiro CV., 2015, Pharmacotherapy Handbook, Ninth
Edition, McGraw Hill Education, USA.
2. Movita T, 2014, Tatalaksana Dermatitis Atopik, Continuing Medical Education, Vol 41 No.11
3. https://www.aad.org/dermatology-a-to-z/diseases-and-treatments/a---d/atopic-dermatitis
4. Movita T, 2013, Acne Vulgaris, Continuing Medical Education, Vol 40 No.3
5. https://www.aad.org/dermatology-a-to-z/diseases-and-treatments/a---d/acne
6. Departemen Kesehatan RI, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
7. www.klikdokter.com
8. Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat
Kesehatan, Jakarta
9. WHO, 1998, The Role of The Pharmacist in Self-Care and Self-Medication. The Hague,
The Netherlands: WHO, p.1-11

Anda mungkin juga menyukai