Anda di halaman 1dari 13

Listrik saat ini sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat

luas, termasuk di provinsi Kalimantan Selatan dan Tengah.


Berdasarkan data PLN tahun 2015 rasio eletrifikasi Kalimantan
Selatan 88,34% sedangkan Kalimantan Tengah baru mencapai
65,76%. Disisi lain, kebutuhan tenaga listrik di dua daerah
tersebut meningkat setiap tahunnya. Dapat dilihat dari penjualan
energi listrik periode tahun 2011-2017 di Kalimantan Selatan dan
Tengah yang tumbuh rata-rata sebesar 9,2% dan 10,75%. Hal ini
langsung direspon oleh PLN dengan melakukan proyeksi
kebutuhan tenaga listrik periode tahun 2018-2027, yang hasilnya
pertumbuhan beban puncak di Kalimantan Selatan dan Tengah
masing-masing 6,6% dan 8,5%. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut diperlukan pengembangan kapasitas pembangkit yang
optimal. Hal ini dapat tercapai dengan mengoptimalkan potensi
energi primer Kalimantan Selatan dan Tengah yang terdiri dari
1.916 juta ton cadangan batu bara, 20 MMSCFD gas bumi, dan
717,7 MW tenaga air yang memungkinkan untuk dibangun serta
melakukan interkoneksi pada sistem Kalimantan Selatan dan
Tengah. Tetapi interkoneksi sistem memerlukan waktu jangka
panjang, setidaknya 30 tahun. Sehingga PLN berencana membuat
master plan kelistrikan sampai tahun 2050, termasuk
perencananaan pengembangan pembangkit.

Oleh karena itu, perlu dilakukan studi perencanaan pembangkit


sistem Kalimantan Selatan dan Tengah untuk master plan
Kalimantan sampai tahun 2050. Pada tugas akhir ini dalam
merencanakan pembangkit yang optimal sehingga memenuhi
kebutuhan energi listrik setiap tahunnya dengan prinsip biaya
penyediaan listrik terendah (least-cost) serta memenuhi tingkat
keandalan PLN yaitu LOLP <0,274% menggunakan software WASP
IV.
Berdasarkan data ditjen ketenagalistrikan Indonesia tahun 2015
rasio eletrifikasi Kalimantan Selatan sebesar 88,34% sedangkan
Kalimantan Tengah baru mencapai 65,76%. Penjualan energi
listrik periode 2001-2017 di Kalimantan Selatan dan Tengah
tumbuh rata-rata 7,6% setiap tahunnya. Kebutuhan energi listrik
di Kalimantan Selatan dan Tengah diproyeksikan akan tumbuh
rata-rata 6,71% per tahun selama periode 2018-2050. PT. PLN
(Persero) secara berkala membuat rencana 10 tahunan untuk
memenuhi kebutuhan energi listrik di Kalimantan Selatan dan
Tengah. Untuk mendapatkan rencana pengembangan yang lebih
optimal, PLN berncana membuat Master Plan sistem kelistrikan se
Kalimantan sampai dengan tahun 2050. Salah satu tahapan untuk
membuat Master Plan tersebut adalah membuat rencana
pengembangan pembangkit regional Kalimantan Selatan dan
Tengah, yang selanjutnya akan digunakan sebagai rujukan untuk
menilai tingkat keekonomiannya. Provinsi Kalimantan Selatan dan
Tengah memiliki potensi sumber energi primer yang terdiri dari
potensi batubara sekitar 1.916 juta ton, potensi gas bumi sekitar
20 mmscfd dan potensi tenaga air sekitar 700 MW. Pada tugas
akhir ini dalam membuat rencana pengembangan pembangkit
regional Kalimantan Selatan dan Tengah untuk memenuhi
kebutuhan energi listrik setiap tahunnya selama periode waktu
perencanaan, akan merujuk pada prinsip total biaya penyediaan
listrik terendah (least-cost) serta memenuhi tingkat keandalan
yaitu LOLP <0,274%. Dari hasil simulasi perhitungan dan analisa
dengan menggunakan software aplikasi WASP, diperoleh
konfigurasi kebutuhan pembangkit regional Kalimantan Selatan
dan Tengah dengan total biaya penyediaan listrik (NPV) sebesar
USD miliar dan nilai keandalan antara 0,0% sampai 0,2%.
ABSTRAK
Listrik saat ini sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat
luas, termasuk di provinsi Kalimantan Selatan dan Tengah.
Berdasarkan data PLN tahun 2015 rasio eletrifikasi Kalimantan
Selatan 88,34% sedangkan Kalimantan Tengah baru mencapai
65,76%. Disisi lain, kebutuhan tenaga listrik di dua daerah
tersebut meningkat setiap tahunnya. Dapat dilihat dari penjualan
energi listrik periode tahun 2001-2017 di Kalimantan Selatan dan
Tengah yang tumbuh rata-rata sebesar 7,6%. Hal ini direspon oleh
PLN dengan melakukan proyeksi kebutuhan tenaga listrik periode
tahun 2018-2050, yang hasilnya pertumbuhan beban puncak di
Kalimantan Selatan dan Tengah diproyeksikan sebesar 6,71%.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan pengembangan
kapasitas pembangkit yang optimal. Hal tersebut dapat tercapai
dengan mengoptimalkan potensi energi primer di Kalimantan
Selatan dan Tengah yang memungkinkan untuk dibangun serta
melakukan interkoneksi pada sistem Kalimantan Selatan dan
Tengah. Hal inilah yang mendasari PLN untuk membuat master
plan kelistrikan kalimantan, termasuk perencananaan
pengembangan pembangkit. Dengan demikian perlu dilakukan
studi perencanaan pembangkit sistem Kalimantan Selatan dan
Tengah untuk master plan Kalimantan sampai tahun 2050. Pada
tugas akhir ini dalam merencanakan pembangkit yang optimal
untuk memenuhi kebutuhan energi listrik setiap tahunnya dengan
prinsip biaya penyediaan listrik terendah (least-cost) serta
memenuhi tingkat keandalan PLN yaitu LOLP <0,274% dilakukan
dengan simulasi menggunakan software WASP IV sehingga
didapatkan konfigurasi pembangkit sesuai potensi energi primer
yang ada.
BAB 2

PERENCANAAN PEMBANGKIT

1. Pembangkit Listrik
Pembangkit Listrik merupakan suatu alat yang dapat memproduksi
serta membangkitkan tegangan listrik. Proses pembangkitan tenaga
listrik merupakan proses konversi energi primer menjadi energi listrik.
Dalam proses tersebut energi primer akan dikonversi terlebih dahulu
menjadi energi mekanik penggerak generator, kemudian energi
mekanik tersebut akan dikonversi menjadi energi listrik oleh
generator. Generator yang paling banyak digunakan adalah generator
sinkron tiga fasa, yang dapat menghasilkan tenaga listrik dengan
tegangan bolak-balik tiga fasa.
Dalam tugas akhir ini hanya membahas membahas PLTU, PLTG,
PLTGU,PLTD, dan PLTA. Empat jenis pembangkit tersebut dapat
dikategorikan menjadi 2 berdasarkan energi primer yang digunakan,
yaitu :
Pembangkit Thermal Pembangkit hydro
PLTU PLTA
PLTG
PLTGU
PLTD
2. Pengembangan Pembangkit
Perusahaan Listrik Negara (PLN) merupakan perusahaan listrik yang
memiliki kebijakan terhadap kelistrikan di Indonesia. Salah satunya
kebijakan dalam pengembangan pembangkit. Pengembangan
pembangkit dibutuhkan karena demand tenaga listrik meningkat
setiap tahunnya, disisi lain unit pembangkit yang sudah beroperasi
akan semakin tua dan membuat harus dikeluarkan dari operasi.
Pengembangan pembangkit sendiri membutuhkan rencana jangka
panjang, hal ini disebabkan karena PLN dalam merencanakan dan
melaksanakan proyek-proyek kelistrikan memiliki lead time relatif
panjang. Sebagai contoh, untuk mewujudkan sebuah PLTU batubara
skala besar mulai dari rencana awal hingga beroperasi membutuhkan
waktu sekitar 7 tahun. Dengan demikain pengembangan pembangkit
membutuhkan perencanaan sistem pembangkit dengan waktu relatif
panjang, untuk dapat mengakomodasi lead time yang panjang dari
proyek-proyek kelistrikan.
Perencanaan sistem pembangkit memiliki tujuan untuk mendapatkan
konfigurasi pengembangan pembangkit yang memberikan nilai NPV
(Net Present Value) total biaya penyediaan listrik paling murah atau
least cost dalam suatu kurun waktu periode perencanaan dan
memenuhi kriteria keadalan tertentu[1]. Konfigurasi termurah
tersebut didapatkan melalui proses optimasi suatu objective function
yang mencakup NPV dari biaya bahan bakar, biayar operasi, biaya
kapital, biaya operasi dan pemeliharaan serta biaya energi not served.
Selain itu diperhitungkan juga salvage value atau nilai sisa dari suatu
pembangkit yang terpilih pada akhir tahun periode studi.
Rencana pengembangan kapasitas pembangkit dibuat dengan
memperhitungkan proyek-proyek yang sedang berjalan dan yang telah
commited, baik proyek PLN maupun IPP, dan tidak memperhitungkan
semua pembangkit sewa serta excess power.(hal.45 RUPTL 2018)
3. Keandalan Sistem
Dalam sistem interkoneksi yang terdiri dari banyak unit pembangkit
listrik, keandalan sistem didefinisikan sebagai keadalan unit-unit
pembangkit yang beroperasi dibandingkan dengan beban yang harus
dilayani[2].
Kriteria keandalan yang dipergunakan oleh PLN adalah Loss of Load
Probability (LOLP) lebih kecil dari 0.274% atau sama dengan
probality padam 1 hari dalam jangka waktu 1 tahun[1]. Semakin kecil
nilai LOLP, maka semakin tinggi keadalan sistem tersebut.
Sebaliknya, semakin besar nilai LOLP, maka semakin rendah
keandalan sistem tersebut, karena probabilitas sistem tidak dapat
melayani beban semakin tinggi. Sebagian besar negara maju
mensyaratkan keandalan yang tinggi pada sistem tenaga listrik mereka
yang didisain dengan kriteria keandalan LOLP mencapai 0,15 hari
pertahun.
Perhitungan kapasitas pembangkit menggunakan kriteria LOLP akan
menghasilkan reserve margin tertentu yang nilainya dipengaruhi
ukuran unit pembangkit (unit size), tingkat ketersediaan (availability)
setiap unit pembangkit, jumlah unit, dan jenis unit.
Untuk wilayah Kalimantan, reserve margin ditetap kan oleh PLN
sekitar 35-40%. Hal ini dilakukan karena jumlah unit pembangkit
yang lebih sedikit, unit size yang relatif besar dibandingkan beban
pncak, derating yang presentasinya lebih besar, dan petumbuhan
listrik yang lebih tinggi dibandingkan Jawa Bali. Disisi lain reserve
margin yang cukup tinggi ini digunakan untuk mengantisipasi
keterlambatan proyek serta apabila terjadi pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi.
4. Faktor-faktor dalam pembangkitan
a. Faktor Beban
Faktor beban merupakan perbandingan antara beban rata-rata
terhadap beban puncak tertinggi dalam selang waktu tertentu
(misalnya satu bulan). Sedangkan beban rata-rata adalah jumlah
produksi kWh dalam selang waktu tertentu dibagi dengan jumlah
jam dari selang waktu tersebut.
𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎
𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 =
𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑝𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘
Bagi PLN sebagai perusahaan penyedia tenaga listrik, tentu
menginginkan faktor beban sistem setinggi mungkin, karena
faktor beban yang semakin tinggi membuat pemanfaatan alat-
alat yang ada dalam sistem menjadi tinggi.
b. Faktor Kapasitas
c. Forced Outage Rate
Forced outage rate adalah sebuah faktor yang menggambarkan
seberapa sering suatu unit pembangkit mengalami gangguan.
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑚 𝑔𝑎𝑛𝑔𝑔𝑢𝑎𝑛 𝑢𝑛𝑖𝑡
𝐹𝑂𝑅 =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑚 𝑜𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑢𝑛𝑖𝑡𝑠 + 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑚 𝑔𝑎𝑛𝑔𝑔𝑢𝑎𝑛 𝑢𝑛𝑖𝑡

Sebuah pembangkit termis memiliki FOR tahunan sekitar 0,5


sampai 0,10, sedangkan untuk PLTA sekitar 0,01. Apabila
semakin kecil nilai FOR, maka semakin besar nilai keandalan
units tersebut karena jarang mengalami gangguan. Sebaliknya,
semakin besar nilai FORnya, berarti keandalan pembangkit
tersebut semakin kecil.
5. Perkiraan Beban
Tenaga listrik yang diproduksi oleh pembangkit tidak dapat disimpan,
tetapi langsung habis digunakan. Sehingga daya yang dibangkitkan
harus sama atau mendekati sama dengan demand tenaga listrik yang
dibutukan konsumen. Disisi lain demand tenaga lsitrik selalu berubah
setiap waktu, hal ini harus diiringi dengan tenaga listrik yang harus
dibangkitan. Karena apabila pembangkitan tenaga listrik lebih kecil
dibandingkan demand akan mengakibatkan frekuensi dalam sistem
turun. Sebaliknya, bila pembangkitan lebih besar dibandingkan
demand maka frekuensi sistem akan naik. Padahal PLN memiliki
kewajban untuk menyediakan tenaga listrik dengan frekuensi yang
konstans, yaitu : 50 Hz atau 60 Hz dengan batas-batas penimpangan
yang masih diizinkan.
Dengan demikian pembangkitan tenaga listrik yang berubah ubah
karena harus mengikuti demand tenaga listrik dari konsumen
memerlukan perencanaan pembangkitan yang rumit dan berkaitan
dengan biaya bahan bakar yang cukup besar yang harus dikeluarkan
PLN. Maka dibutuhkan perkiraan beban atau perkiranaan kebutuhan
tenaga listrik sebagai dasar perencanaan pembangkit.
6. Load Duration curve
7. Load curve
8. PLTD
Sejalan dengan salah satu misi PLN yaitu menjalankan kegiatan usaha
yang berwawasan lingkungan dan peraturan pemerintah nomor
79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional serta Peraturan Menteri
ESDM Nomor 50 tahun 2017 tentang pemanfaatan Sumber Energi
Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, PLN merencanakan
pengembangan energi baru dan terbarukan, salah satunya pembangkit
tenaga air skala besar, menengah dan kecil. Hal ini juga yang
mendorong PLN untuk sebisa mungkin mengurangi jumlah PLTD
yang bertentangan dengan kebijakan tersebut. Kebijakan Energi
Nasional mempunyai sasaran bauran energi yang optimal, yaitu pada
tahun 2025 peran energi baru dan energi terbarukan paling sedikit
23% sepanjang keekonomiannya terpenuhi, minyak bumi kurang dari
25% batubata minimal 30% dan gas bumi minimal 22%.
9. Karakteristik Beban
10. Keandalan sistem
BAB 3
KONDISI KELISTRIKAN KALSELTENG
1. Kalimantan Selatan
Kalimantan Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia yang
terletak di pulau Kalimantan dengan ibu kotanya yaitu Banjarmasin.
Provinsi ini memilik luas 37.530,52 km2 yang berarti sama dengan
1,96% dari luas wilayah Indonesia. Jumlah penduduk yang
menghuni provinsi ini adalah 3,6 juta penduduk.
Provinsi Kalimantan Selatan sebagian besar sistem tenaga lsitrik
dipasok melalui Sistem Barito, sedangkan sistem-sitem yang masih
terisolated dipasok melalui sistem kecil kotabaru dan Unit Listrik
Desa atau ULD yang mengandalkan PLTD didaerah setempat. Saat
ini sistem barito merupakan sistem interkoneksi terluas diprovinsi
Kalimantan selatan yang membentang mulai dari batu licin sampai
sampit di Kalimantan tengah. Sistem barito memiliki jaringan
transmisi 150 kV dan 70 kV, dipasok dari bebrapa pembangkit, yaitu
PLTA,PLTU, PLTD, dan PLTG minyak.
Pembangkit Tenaa Listrik Eksisting pada Kalimantan Selatan
No. Sistem Jenis Jenis Pemilik Daya Beban
Pembangkit Bahan Terpasang Puncak
Bakar

2. Kalimantan Tengah
Kalimantan Tengah merupakan salah tahu provinsi yang terletak di
pulau Kalimantan, dengan luas wilayah 157.983 km2. Kalimantan
tengah memiliki 13 Kabupaten dan 1 kota, dengan Ibukota
provinsinya yaitu kota palangkaraya. Menurut sensus penduduk
pada tahun 2015, Kalimantan tengah memiliki jumlah penduduk
sebesar 2.680.680 jiwa.
Sistem tenaga listrik provinsi Kalimantan tengah dipasok dari sistem
interkoneksi 150 kV Barito melalui beberapa GI di Kalteng yaitu GI
Selat, GI Pulang Pisau, GI Palangkaraya, GI Kasongandan GI
Sampit. GI Selat memasok beban di Kabupaten Kuala Kapuas dan
sekitarnya, GI Pulang Pisau memasok beban di Kabupaten Pulang
Pisau, GI Palangkaraya memasok beban Kota Palangkaraya, GI
Kasongan memasok Kabupaten Katingan dan GI Sampit memasok
sebagian daerah Kab Kotawaringin Timur dan Kabupaten Seruyan.
Sistem kelistrikan lainnya merupakan sistem isolated dengan daya
mampu pembangkitan rata-rata dalam kondisi cukup namun tanpa
cadangan yang memadahi.
Sebagian besar beban provinsi Kalimantan tengah dipasok dari
sistem barito sedangkan sisanya tersebar di berbagai tempat
terisolasi dipasok dari pembangkit setempat
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Tengan dalam lima
tahun terakhir tumbuh cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 6,4% per
tahun. Kondisi tersebut berpengaruh pada kebutuhan listrik di
Kalimantan Tengah yang terus meningkat. Disisi lain rasio
eletrifikasi
3. Sumber Daya dan Cadangan Batubara Kalselteng
Menurut data dari Badan Geologi Kementerian ESDM dalam
Handbook of Energi & Economic Statistic of Indonesi 2017,
database batubara terdiri dari 1.029 lokasi yang tersebar di pulau
Sumatra, pulau Jawa bagian barat, pulau Kalimantan, pulau
Sulawesi bagian selatan, dan pulau Papua.
Tabel. Sumber Daya Batubara Provinsi Kalimantan Selatan dan
Tengah Tahun 2016
Sumber Daya (Juta Ton)
Provinsi
Hipotetik Tereka Tertunjuk Terukur Total
Kalimantan Selatan 0 4.739,10 4.402,79 5.893,65 15.036
Kalimantan Tengah 22,54 11.299,90 3.805,64 2.849,22 17.977

Tabel. Cadangan Batubara Provinsi Kalimantan Selatan dan Tengah


Tahun 2016
Cadangan (Juta Ton)
Provinsi
Terkira Terbukti Total
Kalimantan Selatan 1.308,49 3.961,76 5.270,25
Kalimantan Tengah 910,76 1.090,57 2001,33
4. Kalimantan
[1] PLN, "RUPTL PLN 2018-2027," ed. Jakarta: PT Perusahaan
Listrik Negara (Persero), 2018.
[2] I. D. Marsudi, PEMBANGKITAN ENERGI LISTRIK, 2 ed.
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011.

Anda mungkin juga menyukai