A. Pendahuluan
Hingga saat ini di indonesia masih terdapat 4 masalah gizi utama yaitu
KKP (Kurang Kalori Protein), Kurang vitamin A, Gangguan Akibat Kurang
Iodium (GAKI) dan kurang zat besi yang disebut Anemia Gizi (kodyat, A,1993)
Sampai saat ini salah satu masalah yang belum nampak menunjukkan titik terang
keberhasilan penanggulangannya adalah masalah kekurangan zat besi atau dikenal
dengan sebutan anemia gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
paling umum dijumpai terutama di negara–negara sedang berkembang. anemia
gizi pada umumnya dijumpai pada golongan rawan gizi yaitu ibu hamil, ibu
menyusui, anak balita, anak sekolah, anak pekerja atau buruh yang berpenghasilan
rendah (wijayanti,Y,1989).
Khusus pada anak balita, keadaan anemia gizi secara perlahan – lahan
akan menghambat pertumbuhan dan perkambangan kecerdasan, anak – anak akan
lebihmudah terserang penyakit karena penurunan daya tahan tubuh, dan hal ini
tentu akan melemahkan keadaan anak sebagai generasi penerus (wijayanti,
T.1989)
Penyebab utamaanemia gizi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup
dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari
nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing tambang
memperberat keadaan anemia yang diderita pada daerah–daerah tertentu terutama
daerah pedesaan (Husaini, 1989). Soemantri (1983), menyatakan bahwa anemia
gizi juga dipengaruhi oleh faktor–faktor lain seperti sosial ekonomi, pendidikan,
status gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh
dan infeksi.
2
B. Pengertian
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb)
berkurang.
Gambaran diagnosis etiologis dapat ditegakkan dari petunjuk patofisiologi,
patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, diagnosis banding,
penatalaksanaan dan terapi. Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel
darah merah. Yang paling penting adalah zat besi, vitamin B12 dan asam folat,
tetapi tubuh juga memerlukan sejumlah kecil vitamin C, riboflavin dan tembaga
serta keseimbangan hormone, terutama eritroprotein. Tanpa zat gizi dan hormone
tersebut, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak
mencukupi, dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu
mengangkut oksigen sebagaimana mestinya.
c. Kebutuhan akan zat besi meningkat untuk pertumbuhan, terutama pada lahir
kurang bulan dan pada saat akil balik.
d. Kehilangan darah
1) Perdarahan yang bersifat akut maupun menahun, misalnya pada poliposis
rektum, divertkel Meckel
2) Infestasi parasit, misalnya cacing tambang.
E. Patofisiologi
Zat besi (Fe) diperlukan untuk pembuatan heme dan hemoglobin
(Hb).Kekurangan Fe mengakibatkan kekurangan Hb.Walaupun pembuatan
eritrosit juga menurun, tiap eritrosit mengandung Hb lebih sedikit daripada biasa
sehingga timbul anemia hipokromik mikrositik.
5
2. Imunitas humoral
Peranan sirkulasi antibodi sampai sekarang dianggap merupakan
pertahanan utama terhadap infeksi, dan hal ini dapat didemonstrasikan pada
manusia. Pada manusi kemampuan pertahanan tubuh ini berkurang pada
orang-orang yang menderita defisiensi besi.
Nalder dkk mempelajari pengaruh defisiensi besi terhadap sintesa
antibodi pada tikus-tikus dengan menurunkan setiap 10% jumlah zat besi
dalam diit. Ditemukan bahwa jumlah produksi antibodi menurun sesudah
imunisasi dengan tetanus toksoid, dan penurunan ini secara proporsional
sesuai dengan penurunan jumlah, zat besi dalam diit. Penurunan fifer antibodi
tampak lebih erat hubungannya dengan indikator konsumsi zat besi, daripada
dengan pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar besi dalam serum atau feritin,
atau berat badan.
3. Imunitas sel mediated
Invitro responsif dari limfosit dalam darah tepi dari pasien defisiensi besi
terhadap berbagai mitogen dan antigen merupakan topik hangat yang saling
kontraversial. Bhaskaram dan Reddy menemukan bahwa terdapat reduksi yang
8
nyata jumlah sel T pada 9 anak yang menderita defisiensi besi. Sesudah
pemberian Suplemen besi selama empat minggu, jumlah sel T naik bermakna.
Srikanti dkk membagi 88 anak menjadi empat kelompok menurut
kadar hemoglobin yaitu defisiensi besi berat (Hb<8,0 g/dl). Pada anak yang
defisiensi besi sedang (Hb antara 8,0 - 10,0 g/dl), defisiensi ringaan (Hb antara
10,1 - 12,0 g/dl), dan normal (Hb > 12 g/dl). Pada anak yang defisiensi berat
dan sedang terjadi depresi respons terhadap PHA oleh limfosit, sedangkan
pada kelompok defisiensi ringan dan normal tidak menunjukkan hal serupa.
Keadaan ini diperbaiki dengan terapi besi.
4. Fagositosis
Faktor penting lainnya dalam aspek defisiensi besi adalah aktivitas fungsional
sel fagositosis. Dalam hal ini, defisiensi besi dapat mengganggu sintesa asam
nukleat mekanisme seluler yang membutuhkan metaloenzim yang
mengandung Fe. Schrimshaw melaporkan bahwa sel-sel sumsum tulang dari
penderita kurang besi mengandung asam nukleat yang sedikit dan laju
inkorporasi (3H) thymidin menjadi DNA menurun.
Kerusakan ini dapat dinormalkan dengan terapi besi. Sebagai
tambahan, kurang tersedianya zat besi untuk enzim nyeloperoksidase
menyebabkan kemampuan sel ini membunuh bakteri menurun.
Anak-anak yang menderita defisiensi besi menyebabkan persentase
limfosit T menurun, dan keadaan ini dapat diperbaiki dengan suplementasi
besi. Menurunnya produksi makrofag juga dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Secara umum sel T, di mana limfosit berasal, berkurang pada hewan dan orang
yang menderita defisiensi besi. Terjadi penurunan produksi limfosit dalam
respons terhadap mitogen, dan ribonucleotide reductase juga menurun.
Semuanya ini dapat kembali normal setelah diberikan suplemen besi.
H. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai
adalah :
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom
mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai
berat. MCV, MCHC dan MCH menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada
anemia difisiensi besi dan thalassemia mayor. RDW (red cell distribution
width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis.Indeks eritrosit sudah
dapa mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar
hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia
yang mencolok karena anemia timbul perlahan-perlahan. Apusan darah
menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis,
anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan
mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan
thalassemia. Leukosit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan
derajat anemia. Pada kasus ankilostomiasis sering dijumpai eosinofilia.
10
I. Diagnosis
- Mudah lelah.
- Sering berkeringat.
- Nafas pendek.
- Proses menghisap yang buruk pada bayi.
- Kulit pucat.(pucat lilin terlihat pada anemia berat.
b. Manifestasi system saraf pusat
- Sakit kepala
- Pusing.
- Kunag-kunang.
- Peka rangsang.
- Proses berpikir lambat.
- Penurunan lapang pandang.
- Apatis.
- Depresi.
c. Syok (anemia kehilangan darah)
- Perfusi perifer buruk.
- Kulit lembab dan dingin.
- Tekanan darah rendah dan tekanan vena sentral.
- Peningkatan frekuensi jantung.
J. Diagnosis Banding
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya,
seperti :
1. Thalasemia (khususnya thallasemia minor) :
a. Hb A2 meningkat
b. Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
2. Anemia kaena infeksi menahun :
a. Biasanya anemia normokromik normositik. Kadang-kadang terjadi anemia
hipokromik mikrositik.
b. Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
3. Keracunan timah hitam (Pb) :
a. Terdapat gejala lain keracunan P.
12
4. Anemia sideroblastik :
a. Terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang.1
K. Penatalaksanaan
2. Pemberian preparat Fe :
Pemberian preparat besi (ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat) dosis 4-6 mg
besi elemental/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu
makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin
normal.
3. Bedah
Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena
diverticulum Meckel.
4. Suportif
Makanan gizi seimbang terutama yang megandung kadar besi tinggi yang
bersumber dari hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-
kacangan).
L. TERAPI
Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi, terapi
terhadap anemia difesiensi besi dapat berupa :
1. Terapi kausal: tergantung penyebabnya,misalnya : pengobatan cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengubatan menoragia. Terapi kausal harus
dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh :
a. Besi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan
aman.preparat yang tersedia, yaitu:
i. Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan pertama (murah
dan efektif). Dosis: 3 x 200 mg.
13
Daftar pustaka
Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi.
Jakarta : EGC.
Wahyuni, arlinda sari. 2004. Anemia difisiensi besi pada balita. Sulawasi utara:
library usu.
KESIMPULAN/PENUTUP
Anemia defisiensi besi (Anemia Gizi) adalah suatu keadaan kadar hemoglobin di
dalam darah leih rendah daripada nilai normal. Untuk balita kadar Hb Normal
adalah 12 g/dl. Adapun kebutuhan zat besi pada anak adalah sekitar 5 – 9
mmg/hari.
Menurut SKRT 1995 prevalensi Anemia Gizi pada Balita yaitu 40,1% hal ini
tergolong tingkat yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan
masyarakat.
Penyebab anemia Gizi pada balita sangat banyak diantaranya: Pengadaan zat besi
yang tidak cukup seperti cadangan besi yang tidak cukup. Selain itu absorbsiyang
kurang karena diare ataupun infestasi cacing yang memperberat anemia. Faktor-
18
faktor lain turut pula mempengaruhi seperti faktor sosial ekonomi, pendidikan,
pola makan, fasilitas kesehatan dan faktor budaya.
Pengaruh Anemia pada balita diantaranya adalah penurunan kekebalan tubuh
dimana terjadi penurunan kemampuan sel humural dan seluler di dalam tubuh.
Hal ini mengakibatkan balita mudah terkena infeksi. Terhadap fungsi kognitif
terjadi pula penurunan sehingga kecerdasan anak berkurang, kurang atensi
(perhatian) dan prestasi belajar terganggu. Hal ini akan melemahkan keadaan anak
sebagai generasi penerus.
Strategi penanggulangan anemia gizi meliputi strategi operasional KIE, strategi
operasioanl Suplementasi, Strategi penanggulangan anemia gizi secara tuntas
hanya mungkin kalau intervensi dilakukan terhadap sebab langsung maupun sebab
mendasar.
Mengingat balita adalah penentu dari tinggi rendahnya kualitas pemuda dan
bangsa kelak maka penanganan sedini mungkin sangatlah berarti bagi
kelangsungan pembangunan.
Selama ini upaya penanggulangan anemia gizi masih difokuskan pada sasaran ibu hamil,
sedangkan kelompok lainnya seperti bayi, anak balita, anak sekolah dan buruh berpenghasilan
rendah belum ditangani. Padahal dampak negatif yang ditumbuhkan anemia gizi pada anak balita
sangatlah serius, karena mereka sedang dalam tumbuh kembang yang cepat, yang nantinya akan
berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasannya. Mengingat mereka adalah penentu dari
tinggi rendahnya kualitas pemuda dan bangsa kelak. Penganganan sedini mungkin sangatlah
berarti bagi kelangsungan pembangunan.
BAB II
TINJAUAN MENGENAI ZAT BESI
Zat besi merupakan unsur kelumit (trace element) terpenting bagi manusia.
besi dengan konsentrasi tinggi terdapat dalam sel darah merah, yaitu sebagai
bagian dari molekul hemoglobin yang menyangkut oksigen dari paru–paru.
Hemoglobin akan mengangkut oksigen ke sel–sel yang membutuhkannya
untuk metabolisme glukosa, lemak dan protein menjadi energi (ATP). Besi
juga merupakan bagian dari sistem enzim dan mioglobin, yaitu molekul yang
mirip Hemoglobin yang terdapat di dalam sel–sel otot. Mioglobin akan
berkaitan dengan oksigen dan mengangkutnya melalui darah ke sel–sel otot.
Mioglobin yang berkaitan dengan oksigen inilah menyebabkan daging dan
otot–otot menjadi berwarna merah. Di samping sebagai komponen
19
Zat besi dalam tubuh terdiri dari dua bagin, yaitu yang fungsional dan yang
reserve (simpanan). Zat besi yang fungsional sebagian besar dalam bentuk
Hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk myoglobin, dan jumlah yang
sangat kecil tetapi vitl adalah hem enzim dan non hem enzim
Zat besi yang ada dalam bentuk reserve tidak mempunyai fungsi fisiologi
selain daripada sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi kalau dibutuhkan
untuk kompartmen fungsional. Apabila zat besi cukup dalam bentuk
simpanan, maka kebutuhan kan eritropoiesis (pembentukan sel darah merah)
dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi. Dalam keadaan normal, jumlah
zat besi dalam bentuk reserve ini adalah kurang lebih seperempat dari total
zat besi yang ada dalam tubuh. Zat besi yang disimpan sebagai reserve ini,
berbentuk feritin dan hemosiderin, terdapat dalam hati, limpa, dan sumsum
tulang. Pada keadaan tubuh memerlukan zat besi dalam jumlah
banyak,misalnya pada anak yang sedang tumbuh (balita), wanita menstruasi
dan wanita hamil, jumlah reserve biasanya rendah.
Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan, maka
kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan perlu ditambahkan kepada jumlah zat
besi yang dikeluarkan lewat basal.
Dalam memenuhi kebutuhan akan zat gizi, dikenal dua istilah kecukupan
(allowance) dan kebutuhan gizi (requirement). Kecukupan menunjukkan
kecukupan rata – rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut
golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktifitas untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal. Sedangkan kebutuhan gizi menunjukkan
banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan masing – masing individu untuk
hidup sehat. Dalam kecukupan sudah dihitung faktor variasi kebutuhan antar
individu, sehingga kecukupan kecuali energi, setingkat dengan kebutuhan
ditambah dua kali simpangan baku. Dengan demikian kecukupan sudah
mencakup lebih dari 97,5% populasi (Muhilal et al, 1993).
Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan perlu
ditambahkan kepada jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal.
Kebutuhan zat besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak daripada orang
dewasa apabila dihitung berdasarkan per kg berat badan. Bayi yang berumur
dibawah 1 tahun, dan anak berumur 6 – 16 tahun membutuhkan jumlah zat
besi sama banyaknya dengan laki – laki dewasa. Tetapi berat badannya dan
kebutuhan energi lebih rendah daripada laki – laki dewasa. Untuk dapat
memenuhi jumlah zat besi yang dibutuhkan ini, maka bayi dan remaja harus
dapat mengabsorbsi zat besi yang lebih banyak per 1000 kcal yang
dikonsumsi.
Kebutuhan zat besi pada anak balita dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel :1
Kebutuhan Zat Besi Anak Balita Umur Kebutuhan
0 – 6 bulan 3 mg
7 – 12 bulan 5 mg
1 – 3 tahun 8 mg
4 – 6 tahun 9 mg
20
Untuk menjaga badan supaya tidak anemia, maka keseimbangan zat besi di
dalam badan perlu dipertahankan. Keseimbangan disini diartikan bahwa
jumlah zat besi yang dikeluarkan dari badan sama dengan jumlah besi yang
diperoleh badan dari makanan. Suatu skema proses metabolisme zat besi
untuk mempertahankan keseimbangan zat besi di dalam badan, dapat dilihat
pada skema di bawah ini :
setiap hari turn over zat besi ini berjumlah 35 mg, tetapi tidak semuanya
harus didapatkan dari makanan. Sebagian besar yaitu sebanyak 34 mg
didapat dari penghancuran sel – sel darah merah tua, yang kemudian disaring
oleh tubuh untuk dapat dipergunakan lagi oleh sumsum tulang untuk
pembentukan sel – sel darah merah baru. Hanya 1 mg zat besi dari
penghancuran sel – sel darah merah tua yang dikeluarkan oleh tubuh melalui
kulit, saluran pencernaan dan air kencing. Jumlah zat besi yang hilang lewat
jalur ini disebut sebagai kehilangan basal (iron basal losses).
c. PENYERAPAN ZAT BESI
absorbsi zat besi dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu :
- Kebutuhan tubuh akan besi, tubuh akan menyerap sebanyak yang
dibutuhkan. Bila besi simpanan berkurang, maka penyerapan besi akan
meningkat.
- Rendahnya asam klorida pada lambung (kondisi basa) dapat menurunkan
3+ 2+
penyerapan Asam klorida akan mereduksi Fe menjadi Fe yang lebih
mudah diserap oleh mukosa usus.
- Adanya vitamin C gugus SH (sulfidril) dan asam amino sulfur dapat
meningkatkan bsorbsi karena dapat mereduksi besi dalam bentuk ferri
menjadi ferro. Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi besi dari makanan
melalui pembentukan kompleks ferro askorbat. Kombinasi 200 mg asam
askorbat dengan garam besi dapat meningkatkan penyerapan besi
sebesar 25 – 50 persen.
- Kelebihan fosfat di dalam usus dapat menyebabkan terbentukny kompleks
besi fosfat yang tidak dapat diserap.
21
Zat besi diserap di dalam duodenum dan jejunum bagian atas melalui proses
yang kompleks. Proses ini meliputi tahap – tahap utama sebagai berikut :
3+
a. Besi yang terdapat di dalam bahan pangan, baik dalam bentuk Fe atau
2+
Fe mula – mula mengalami proses pencernaan.
3+
b. Di dalam lambung Fe larut dalam asam lambung, kemudian diikat oleh
2+
gastroferin dan direduksi menjadi Fe
2+ 3+ 3+
c. Di dalam usus Fe dioksidasi menjadi FE . Fe selanjutnya berikatan
dengan apoferitin yang kemudian ditransformasi menjadi feritin,
2+
membebaskan Fe ke dalam plasma darah.
2+ 3+
d. Di dalam plasma, Fe dioksidasi menjadi Fe dan berikatan dengan
2+
transferitin Transferitin mengangkut Fe ke dalam sumsum tulang untuk
bergabung membentuk hemoglobin. Besi dalam plasma ada dalam
keseimbangan.
2+
e. Transferrin mengangkut Fe ke dalam tempat penyimpanan besi di dalam
tubuh (hati, sumsum tulang, limpa, sistem retikuloendotelial), kemudian
3+ 3+
dioksidasi menjadi Fe . Fe ini bergabung dengan apoferritin membentuk
ferritin yang kemudian disimpan, besi yang terdapat pada plasma
seimbang dengan bentuk yang disimpan.
Pada bayi absorbsi zat besi dari ASI meningkat dengan bertambah tuanya
umur bayi perubahan ini terjadi lebih cepat pada bayi yang lahir prematur
dari pada bayi yang lahir cukup bulan. Jumlah zat besi akan terus berkurang
apabila susu diencerkan dengan air untuk diberikan kepada bayi.
Walaupun jumlah zat besi dalam ASI rendah, tetapi absorbsinya paling tinggi.
Sebanyak 49% zat besi dalam ASI dapat diabsorbsi oleh bayi. Sedangkan
susu sapi
bayi normal, sehingga reserve zat besi lebih cepat bisa habis. Oleh sebab itu
kebutuhan zat besi pada bayi ini lebih besar dari pada bayi normal. Jika bayi
BBLR mendapat makanan yang cukup mengandung zat besi, maka pada usia
9 bulan kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal.
Prevalensi anemia yang tinggi pada anak balita umumnya disebabkan karena
makanannya tidak cukup banyak mengandung zat besi sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhannya, terutama pada negara sedang berkembang dimana
serelia dipergunakan sebagai makanan pokok. Faktor budaya juga berperanan
penting, bapak mendapat prioritas pertama mengkonsumsi bahan makanan
hewani, sedangkan anak dan ibu mendapat kesempatan yang belakangan.
Selain itu erat yang biasanya terdapat dalam makanannya turut pula
menhambat absorbsi zat besi.
BAB III