Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH METODE PERKAWINAN TERHADAP KEBERHASILAN

KEBUNTINGAN SAPI DONGGALA DI KABUPATEN SIGI


Sudirman
Sudirmancudi82@yahoo.co.id
Mahasiswa Program Studi Ilmu-ilmu Pertanian Pascasarjana Universitas Tadulako

Abstract
This studywas conducted Januari to Mei 2015 to evaluate effect of mating method on the
pregnancy success oflocal cows in Sigi Regency. The study involved 50 local cows as acceptors.
The data were analyzed byusing chi-square method. The observed variables werenon-returnrate
(NRR), the conception rate (CR) on thefirst mating, and that average of mating rate requiredto
getpregnant.The research result showed that mating method did not influence(P>0.05) on both
NRR and NR. The NRR rate were 68% and 64% for artificial insemination and natural mating,
respectively. The CR were 64% and 52% for artificial insemination and natural mating,
respectively. While service per conception (S/C) for artificial insemination was 1.6 and natural
mating was 1.9. It is concluded that the mating method did not have asignificant effect (P>0.5)on
the pregnancy success oflocal cows in Sigi Regency
Keywords: Artificial insemination, natural insemination, pregnancy, Donggala local cow

Kebutuhan protein hewani di Indonesia Salah satu indikator performans


yang cenderung meningkat setiap tahun seiring reproduksi ternak betina adalah keberhasilan
dengan terus meningkatnya laju pertambahan kebuntingan, kaitannya dengan metode
penduduk, maka perlu adanya kesinambungan perkawinan yang terarah, melalui kawin alam
peningkatan produksi peternakan. Menurut maupun IB. Perkawinan secara alam diduga
Lubis (2009), bahwa program peningkatan menghasilkan tingkat kebuntingan yang rendah
produksi ternak yang dilakukan pemerintah karena berbagai alasan antara lain kurangnya
merupakan salah satu usaha untuk mengejar kontrol terhadap manajemen estrus, ratio ternak
target akan kebutuhan gizi terhadap protein jantan dan betina yang tidak seimbang, adanya
hewani bagi masyarakat. Usaha peternakan sapi beberapa ekor ternak betina yang tidak mampu
potong adalah jenis usaha dibidang peternakan untuk bunting dan lain-lain. Pada sistim
yang sangat potensial untuk dikembangkan dan perkawinan alam khususnya ternak sapi potong,
diproduksi dalam jumlah yang cukup untuk produksi anak sapi potong (net calf crop) dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas
Di Sulawesi Tengah, usaha peternakan pakan pejantan dan betina selama kebuntingan,
terutama sapi potong, masih didominasi oleh penyapihan dini, ratio jantan dan betina,
petani-ternak dengan metode pemeliharaannya pemilihan pejantan untuk menghindari distokia
sampingan (tradisional). Salah satu ternak sapi dan pengontrolan penyakit.
yang perlu menjadi perhatian yaitu sapi Perkawinan dengan inseminasi buatan
Donggala. Populasi sapi Donggala makin lama merupakan teknologi yang dimodifikasi
makin berkurang akibat tidak terlaksananya diharapkan mempunyai peran besar dalam
sistem pemuliaan dan reproduksi pada ternak meningkatkan keberhasilan kebuntingan.
dengan baik. Pelaksanaan seleksi negatif Inseminasi Buatan merupakan suatu cara atau
maupun tidak terpantaunya sistem reproduksi teknik penting untuk memperbaiki genetik pada
pada ternak merupakan faktor yang ternak. Hafes (2000) mengatakan bahwa
menyebabkan tidak berkembangnya sapi keuntungan utama Inseminasi Buatan adalah
Donggala. perbaikan genetik, mengontrol penyakit

22
23 e-Jurnal Mitra Sains, Volume 4 Nomor 3, Juli 2016 hlm 22-27 ISSN: 2302-2027

kelamin pada ternak (venereal diseases), Sinkronisasi Estrus


adanya catatan perkawinan/inbreeding yang Pelaksanaan sinkronisasi estrus dengan
teliti dan menjaga kesehatan induk dari menggunakan dua kali penyuntikan hormon
pejantan dalam satu kelompok. Namun prostaglandin F2α dilakukan dengan cara:
demikian keberhasilan IB, tergantung pada 1) Sinkronisasi pertama dengan menggunakan
keterampilan inseminator, ternak betina yang preparat hormon PGF2α (lutelise), dengan
diinseminasi benar-benar dalam keadaan estrus dosis 5 ml/ekor secara intramuskuler (im);
dan siap untuk menerima sperma. Sedangkan dan ditambahkan dengan suntikan
menurut Toelihere (1993), inseminasi buatan multivitamin atau vitamin ADE.
memungkinkan untuk menghasilkan lebih 2) Apabila ternak yang disinkronisasi pertama
banyak keturunan dari masing-masing pejantan, menunjukan berahi mulai 48 sampai dengan
dibandingkan kawin alam. 72 jam dari penyuntikan I, ternak
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dikawinkan baik secara kawin alam atau
telah dilakukan suatu penelitian untuk melihat inseminasi buatan (IB);
Pengaruh metode perkawinan terhadap 3) Setelah hari ke sebelas dari penyutikan
keberhasilan kebuntingan sapi Donggala di pertama dilakukan lagi penyuntikan
Kabupaten Sigi”.Data tersebut dapat digunakan sinkronisasi kedua khusus dengan dosis
untuk pengembangan sapi Donggala kedepan yang sama dengan penyuntikan pertama
terutama dalam hal reproduksi ternak sapi (untuk ternak yang belum berahi setelah
Donggala. penyuntikan pertama)
4) Pengamatan pada ternak dilakukan 1 jam
METODE setelah penyuntikan sampai pada 72 jam
untuk mengetahui estrus
Penelitian ini telah dilaksanakan di 5) Ternak sapi yang mengalami estrus untuk
Provinsi Sulawesi Tengah Kabupaten Sigi selanjutnya dilakukan kawin alam atau
Kecamatan Sigi Biromaru Desa Loru dan Desa inseminasi buatan oleh petugas inseminator
Solewe selama 5 (lima) bulan pada bulan keesokan harinya
Januari sampai dengan Mei 2015. 6) Ternak sapi yang tidak menunjukan tanda-
Teknik yang digunakan dalam penelitian tanda berahi setelah penyuntikan kedua,
ini adalah sebagai berikut: maka terhadap sapi-sapi tersebut tetap
1) Ternak-ternak yang akan dijadikan akseptor dilakukan IB paling lambat 72 jam setelah
dalam penelitian adalah ternak betina yang penyuntikan kedua.
pernah melahirkan dan memiliki umur diatas
2 tahun Proses Perkawinan Ternak
2) Pemilihan akseptor melalui seleksi induk- 1) Pengamatan onset estrus dilakukan sesaat
induk sapi Donggala dalam kondisi tidak setelah penyuntikan kedua hormon PGF2α
bunting, dibuktikan dengan melakukan sampai dengan awal timbul estrus.
pemeriksaan kebuntingan (PKB) dengan Pengamatan dilakukan dua kali dalam sehari
palpasi rektal; yaitu pada pagi hari jam 07.00 Wita sampai
3) Sebanyak 25 ekor betina untuk kawin alam 10.00 Wita, siang hari jam 13.00 Wita
dan 25 ekor untuk inseminasi buatan. sampai 20.00 Wita.
Penggunaan pejantan untuk kawin alam 2) Pada proses kawin alam kami menggunakan
sebanyak 3 ekor, sedangkan untuk metode hand mating dan untuk inseminasi
inseminasi buatan menggunakan semen beku buatan menggunakan semen beku produksi
yang berasal dari BIB Lembang. BIB Lembang.
Sudirman, Pengaruh Metode Perkawinan terhadap Keberhasilan Kebuntingan Sapi Donggala …………………… 24

3) Data yang diambil berdasarkan Pengamatan R = Baris


dilakukan pada ternak setelah ada proses C = kolom
perkawinan secara alami dan IB.
a. Ternak yang tidak kembali birahi, 30 s/d HASIL DAN PEMBAHASAN
40 hari setelah perkawinan
b. Ternak positip bunting (palpasi rectal), 60 Gambaran Umum Kabupaten Sigi
s/d 90 hari setelah perkawinan Kabupaten Sigi merupakan salah satu
kabupaten yang terdapat di Provinsi Sulawesi
Variabel yang Diamati Tengah yang beribukota di Bora dengan jarak
Pengamatan keberhasilan kebuntingan tempuh 30 Km dari Kota Palu sebagai ibukota
dilakukan berdasarkan: provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten Sigi
1. Non return rate (NRR) adalah persentase terletak pada ketinggian 32 s/d 1.350 m diatas
ternak yang tidak kembali birahi permukaan laut.Luas wilayah 5.196,02 Km2,
2. Conception rate (CR) adalah persentase dengan batas-batas daerah:
ternak sapi yang bunting pada IB pertama. - Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten
3. Service per conception (S/C) adalah rata- Donggala dan Kota Palu,
rata jumlah perkawinan (IB dan kawin alam) - Sebelah selatan berbatasan dengan provinsi
yang dibutuhkan oleh seekor ternak sapi Sulawesi Selatan,
sampai terjadi kebuntingan. - Sebelah barat berbatasan dengan kabupaten
Donggala dan provinsi Sulawesi Barat,
Analisis Data - Sebelah timur berbatasan dengan kabupaten
Data yang diperoleh diidentifikasi dan Poso dan kabupaten Parigi Moutong.
ditabulasi dan ditampilkan dalam bentuk tabel
frekuensi dan persentase. Adapun data yang Populasi Ternak Sapi di Kabupaten Sigi
dianalisis adalah:
1. Data ternak yang kembali birahi Tabel 1. Populasi ternak sapi di Kabupaten Sigi
2. Data ternak yang positif bunting tahun 2013 s/d 2015
Data tersebut dianalisis menggunaka chi- Tahun Jumlah Populasi ternak sapi
square. Chi-square digunakan untuk
mengadakan pendekatan dari beberapa faktor 2013 26.540
atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki
atau frekuensi hasil observasi dengan frekuensi 2014 29.131
yang diharapkan dari sampel apakah terdapat
hubungan atau perbedaan yang signifikan atau 2015 31.118
tidak (Purnomo, 1992). Sumber: data statistik Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan tahun 2015

Non Return Rate


Jumlah ternak betina yang tidak kembali
menunjukan birahinya setelahdikawinkan atau
diinseminasi. Evaluasi dengan cara ini
merupakan yang paling cepat untuk mengukur
Keterangan : keberhasilan pelaksanaan inseminasi dan
X2p = Besaran nilai chi-square dikenal dengan istilah non return rate (NRR)
Fij = Frekuensi kenyataan (Salisbury & Van Denmark, 1985;
Eij = Frekuensi harapan cel i s/d j Partodihardjo, 1992; Toelihere 1993).
∑ij = Jumlah seluruh cel
(hasil dari ( Fij- Eij)² / Eij))
25 e-Jurnal Mitra Sains, Volume 4 Nomor 3, Juli 2016 hlm 22-27 ISSN: 2302-2027

Tabel 2. Nilai non return rate, conception rate, service untuk penentuan nilai CR sudah dapat
per conceptioninduk sapi Donggala di dipastikan atau diyakini bahwa ternaknya telah
Kabupaten Sigi yang dikawinkan secara
alam dan inseminasi buatan.
bunting sedangkan NRR baru berupa
pendugaan ternak yang bunting. sesuai dengan
Metode Perkawinan pendapat Jainudeen dan Hafez (2000) terjadi
kecenderungan penurunan persentase dari NRR
Uraian Kawin Alam Inseminasi Buatan ke CR sebesar 10 – 15%. Lebih lanjut menurut
Nominal % Nominal %
Drajat (2002), bahwa keberhasilan kebuntingan
ternak tergantung pada : a. kemampuan petani
Non Return Rate 16 64 17 68 untuk mendeteksi birahi dekat setiap hari, b.
NRR 5-10% lebih tinggidariternak yang benar-
Conception Rate 13 52 16 64 benar bunting, c. fase positif sering terjadi yaitu
Service per 1,6 1,9
ternak yang mengalami anestrus dan false
Conception negatif terjadi pada ternak yang menunjukkan
birahi, padahal ternak tersebut bunting.
Perkawinan alammaupun IB pada seekor hewan
Pada Tabel 2 bahwa induk sapi Donggala betina dapat disusul dengan kebuntingan bila
yang dikawinkan dengan metode perkawinan terjadi pembuahan, atau menjadi tidak bunting
yang berbeda memperlihatkan perbedaan bila terjadi kegagalan pembuahan.Hal ini
angka yang tidak terlalu jauh, dimana NRR tergantung pada kesuburan pejantan maupun
yang dikawinkan secara inseminasi buatan kualitas semen yangdigunakan.
adalah 17 ekor (68%) sedangkan kawin alam16 Pada Tabel 2 bahwa induk sapi Donggala
ekor (64%). Hasil tersebut masih batas nomal yang dikawinkan dengan metode perkawinan
sesuai pernyataan, Toelihere (1993) bahwa yang berbeda menghasilkan kebuntingan yang
NRR pada ternak sapi normal berkisar antara berbeda pula. Keberhasilan kebuntingan yang
65 – 72%. Terhadap hasil NRR pada inseminasi dikawinkan secara inseminasi buatan lebih
buatan menunjukan bahwa sapi-sapi yang tinggi dengan induk sapi Donggala yang
diamati masih pada batas normal, akan tetapi dikawinkan secara alam, dimana keberhasilan
untuk kawin alam menunjukan bahwa sapi-sapi kebuntingan yang dikawinkan secara
yang diamati berada dibawah batas normal. Hal inseminasi buatan 16 ekor (64%) sedangkan
tersebut sesuai dengan pernyataan Toelihere kawin alam 13 ekor (52%). Tingginya
(1993), bahwa sapi-sapi yang tidak kembali keberhasilan kebuntingan pada metode
berahi pasca inseminasi dianggap bunting dan inseminasi buatan disebabkan oleh estrus yang
tidak dilaporkan peternak, diantaranya terkontrol dan ketepatan waktu inseminasi.
mengalami berahi tenang, mati, dijual, hilang Angka kebuntingan dipengaruhi oleh kualitas
atau gangguan reproduksi. dan penanganan semen, kesuburan betina,
waktu perkawinan, deteksiestrus, dan teknik
Conception rate (CR) inseminasi (Whittier & Steevens,1993). Hal ini
Berdasarkan hasil analisis statistik menggambarkan bahwa kemampuan sapi betina
memperlihatkan bahwa metode perkawinan untuk bunting pada inseminasi pertama sangat
tidak memberikan pengaruh yang nyata dipengaruhi oleh variasi lingkungan. Nutrisi
(P>0,05) terhadap tingkat kebuntingan yang sapi sebelum dan sesudah beranak juga
diamati. berpengaruh terhadap CR. Kekurangan nutrisi
Mencermati hasil yang diperlihatkan Pada sebelum melahirkan dapat menyebabkan
Tabel 2tampak bahwa terjadi pengurangan tertundanya siklusestrus (Corah and Lusby,
induk yang bunting sebagai akibat keakuratan 2007).
pemeriksaan kebuntingan padaternak, dimana
Sudirman, Pengaruh Metode Perkawinan terhadap Keberhasilan Kebuntingan Sapi Donggala …………………… 26

Service per conception (S/C) bioteknologi IB pada ternak ditentukan oleh


Hasil perhitungan menunjukan bahwa empat faktor utama, yaitu semen beku, ternak
S/C sapi lokal Donggala di Kabupaten Sigi betina sebagai akseptor Inseminasi Buatan,
yang dikawinkan dengan metode Inseminasi keterampilan tenaga pelaksana (inseminator)
Buatan adalah sebesar 1,6 dan dengan kawin dan pengetahuan zooteknis peternak. Keempat
alam adalah sebesar 1,9. Nilai S/C faktor ini berhubungan satu dengan yang lain
normalberkisar antara 1,6 – 2,0 (Toelihere, dan bila salah satu nilainya rendah akan
1993). Berdasarkan kisaran nilai yang menyebabkan hasil IB juga akan rendah, dalam
didapatkan, maka metode perkawinan pengertian efesiensi produksi dan reproduksi
inseminasi buatan memiliki nilai S/C yang tidak optimal.
lebih baik sebagaimana dinyatakan bahwa Oleh sebab itu, peternak dan petugas
apabila nilai S/C darisuatu kelompok ternak lapangan harus mutlak mengetahui dan
lebih rendah maka kesuburan sekelompok memahami kapan gejala berahi ternak terjadi
betina tersebutbagus dan sebaliknya makin sehingga tidak ada keterlambatan IB.
tinggi nilai S/C maka makin rendah nilai
kesuburankelompokbetina tersebut (Toelihere, KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1993). Penyebab tingginya angka S/C
umumnya dikarenakan 1) peternak terlambat Kesimpulan
mendeteksi saat birahi atau terlambat Dari hasil penelitian maka dapat
melaporkan birahi sapinya kepada petugas. 2) disimpulkan bahwa metode perkawinan tidak
adanya kelainan pada reproduksi induk sapi. 3) memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap
inseminator kurang terampil. 4) fasilitas keberhasilan kebuntingan sapi Donggala di
pelayanan inseminasi yang terbatas dan 5) Kabupaten Sigi.
kurang lancarnya transportasi (Iswoyo dan
Widiyaningrum, 2008). Rekomendasi
Jika kita membandingkan hasil yang Rekomendasi yang diharapkan dari
didapatkan oleh Soeharsono et al. (2013), penelitian yaitu diharapkan terdapat perbaikan
Tingkat keberhasilan perkawinan ditinjau dari manajemen pemeliharaan oleh peternak, yakni
service per conception induk sapi Donggala perbaikan pakan, lebih memperhatikan deteksi
nilai S/C rata-rata 1,28 untuk sampai terjadi birahi serta melaporkan lebih awal kepada
kebuntingan tergolong baik maka nilai S/C inseminator, dan tidak menunda perkawinan.
pada penelitian masih rendah.
Apabila kita perbandingkan nilai S/C DAFTAR RUJUKAN
pada penelitian ini dengan pelaksanaan
inseminasi buatan di Kabupaten Sigi Corah, L. and K. Lusby. 2007. Factors
berdasarkan laporan petugas lapangan yang Influencing Conception Rate. Extenssion
dilaporkan di Dinas Peternakan Kabupaten Beef CattleResources Committee. USA.
mendapatkan nilai S/C 2-3, tentunya ada Hafez E. S. E. and Hafez, B. 2000.
perbedaan yang cukup jauh. Maka ada beberapa Reproduction In Farm Animal. 7th
hal yang menjadi indikasi yaitu 1) ketersediaan edition. Leafebiger. Philadelphia.
N2 cair dan semen beku yang tidak kontiniu Iswoyo dan Widiyaningrum, P. 2008.
dan sangat tergantung dengan bantuan Performans Reproduksi Sapi Peranakan
pemerintah; 2) sapi betina mengalami gangguan Simmental (Psm) Hasil Inseminasi
reproduksi; 3) inseminator kurang terampil; 4) Buatan di Kabupaten Sukoharjo Jawa
pengetahuan peternak terhadap ternak yang Tengah. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu
berahi terutama berahi tenang. Hal tersebut Peternakan. 11(3): 125-133.
sesuai pernyataan Toelihere (1995), penerapan
27 e-Jurnal Mitra Sains, Volume 4 Nomor 3, Juli 2016 hlm 22-27 ISSN: 2302-2027

Jainudeen, M. R. and E. S. E. Hafez. 2000. Soeharsono, M. Takdir dan F. F. Munier. 2013.


Cattle and Buffalo. In Reproduction In Performan induk sapi lokal Donggala
Farm Animal. Hafez, B and E. S. E. yang dipelihara secara ekstensif di
Hafez (ed). 7 th Lippincott Williams & lembah palu Sulawesi Tengah.
Wilkins. Philadelphia. Unpublish. Balai Pengkajian Teknologi
Lubis, M. A. 1992. Bioteknologi Reproduksi Pertanian Sulawesi Tengah.
Peternakan Dalam Menunjang perbaikan Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan Pada
Mutu Genetik Ternakdi Indonesia. Ternak. Angkasa, Bandung.
Buletin Peternakan Edisi Khusus. BPPT. Toelihere, M. R. 1995. Fisiologi Reproduksi
Jakarta. Ternak. Cetakan ke 2. Angkasa,
Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Bandung.
Hewan. Ed. Ke-3. Mutiara Sumber Whittier, J. C and B. Steevens. 1993. Body
Widya, Jakarta. Condition Scoring of Beef and Dairy
Purnomo, 1992. Analisis Data Katagorial. Animals. Departement of Animal Science.
Lembaga Penelitian Universitas University of Missouri.
Airlangga, Surabaya
Salisbury, G. W. dan N. L. Van Dermark. 1985.
Fisiologis Reproduksi dan Inseminasi
Buatan Pada Ternak Sapi.
(Diterjemahkanoleh R. DJanuar). Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai