Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Vernal keratokonjungtivitis (VKC) merupakan penyakit alergi bilateral yang jarang, biasanya

terjadi pada tahun-tahun prapurbertas dan berlangsung selama 5-10 tahun.

keratokonjungtivitisjuga merupakan penyakit rekuren, dengan peradangan tarsus dan

konjungtiva bilateral yang penyebabnya belum pasti namun ada keterkaitan dengan riwayat

atopi keluarga dan terutama terjadi pada musim panas. 1

Keratokonjungtivitis Vernal paling sering mengenai anak laki-laki dan pada musim panas,kering

iklim subtropik seperti di afrika, Amerika dan Asian terutama Jepang, Thailand, dan India.

Bentuk Limbal VKC lebih sering terjadi pada individu berkulit hitam di afrika dan India. Seperti

yang telah di jelaskan diatas prevalensi VKC lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan

perempuan. Dalam satu Rasio pria dan wanita adalah 3:1 pada pasien < 20 tahun, tetapi hampir

sama pada usia lebih tua. Kejadian paling sering terjadi pada onset anak usia 10 tahun, dan onset

paling dini dilaporkan pada anak usia 5 tahun. 2

Kejadian VKC sering dikaitkan dengan adanya kejadian atopi pada anak atau adanya riwayat

atopi di keluarga dan juga musim panas. Pasien dengan VKC biasanya akan mengeluhkan rasa

gatal, kemerahan pada kedua mata dan juga mata berair. Selain itu pasien dengan VKC dapat

pula mengeluhkan adanya fotopobia dan sensasi benda asing pada matanya. Pada pemeriksaan

fisik dapat ditemukan reaksi papiler pada konjungtiva tarsal superior (Cobble stone) atau

dijumpai satu atau lebih frpapil berwarna putil pada limbus (Trantas dots). 3

Pasien dengan VKC dapat di berikan terapi dengan farmakologi dan non farmakologi. Terapi

non farmakologi yaitu dengan edukasi pasien agar sering mencuci tangannya dan menghindari

menggosok mata mereka. Pasien dengan VKC juga dapat mengompres mata mereka dengan air

dingin dan air mata buatan juga dapat membantu meringankan gejala pasien VKC pada kondisi

ringan. Terapi Farmalokogi lini pertama untuk VKC adalah dengan pengobatan topikal.

Stabilisator sel mas merupakan salah satu andalah untuk profilaksis. Dalam kasus ringan

antihistamin mungkin bermanfaat. Stabilisator sel mast dapat diberikan pada pasien dengan

VKC. Untuk kasus lebih berat mungkin memerlukan perawatan kortikosteroid.


BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An. R
Umur : 11 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Negeri baru

2.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis)


2.2.1 Keluhan Utama
Kedua mata merah dan gatal ± sejak 3 bulan terakhir.

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan kedua mata merah dan gatal ± sejak 3 bulan terakhir.
Menurut ibu pasien, awalnya pasien sering bermain di lapangan pada siang hari, kemudian
pasien mulai merasakan keluhan-keluhan tersebut. Keluhan ini sudah sering dirasakan jika
pasien pulang sekolah dan setelah bermain di bawah terik matahari. Pasien juga
mengeluhkan penglihatan mata nya sering kabur dan seperti ada yang mengganjal di
matanya. Pasien juga mengeluhkan mata sering berair dan tedapat kotoran mata dan tidak
bisa membuka mata pada pagi hari. Pasien juga terkadang mengeluhkan silau saat melihat
cahaya.
Sebelumnya pasien sudah sering berobat ke puskesmas, diberi obat tetes mata dan
obat minum namun ibu pasien tidak tahu nama obat yang diberikan dari puskesmas.
Namun, walaupun sudah menggunakan obat-obat tersebut, keluhan tidak hilang. Gejala ini
pun sudah sering dirasa hilang timbul.
Adanya penglihatan ganda disangkal, keluhan sakit kepala disertai rasa sakit pada
daerah mata juga disangkal, demam (-).

2.2.3 Riwayat Pengobatan Sebelumnya


Pasien sebelumnya sudah pernah berobat ke puskesmas untuk keluhan mata merah
dan gatal pada kedua matanya. Kemudian oleh dokter puskesmas ia diberi obat tetes mata
dan obat minum, namun ibu pasien tidak tahu obat apa yang diberikan oleh dokter tersebut.

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


‐ Pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya
‐ Riwayat operasi disangkal
‐ Riwayat trauma (-)
‐ Riwayat sering terpapar dengan matahari pada kedua mata (+)
‐ Riwayat alergi makanan (+)
‐ Riwayat Asma (+)

2.2.5 Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami sakit yang sama.
Riwayat keluarga dengan alergi (+), asma (+)

2.2.6 Riwayat gizi :


BB : 31 kg
TB : 130 cm
IMT : 18, 34 (baik)

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


2.3.1 Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
Nadi : 84 x/menit
RR : 21 x/menit
Suhu : Afebris

‐ Kepala : Normocephal
‐ Mata : Status Oftalmologi
‐ THT : Tidak ada keluhan
‐ Mulut : Tidak ada keluhan
‐ Leher : Tidak ada keluhan
‐ Thoraks : Tidak ada keluhan
‐ Abdomen : Tidak ada keluhan
‐ Endokrin : Tidak ada keluhan
‐ Ekstremitas : Tidak ada keluhan

2.3.2 Status Oftalmologikus

PEMERIKSAAN OD OS
Visus Jauh 6/7.5 6/6
Koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Visus Dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Proyeksi Sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Persepsi Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pemeriksaan Oculi Dextra Oculi Sinistra

Posisi bola mata Ortoforia Ortoforia

Pergerakan bola mata Normal ke segala arah Normal ke segala arah

Sekret + +

Palpebra superior Normal Normal

Palpebra inferior Oedem (-) Oedem (-)


Papil (-) Papil (-)

Cilia Normal Normal

Konjungtiva Hiperemi (+) Hiperemi (+)


Papil (+) Papil (+)
Cobble Stone (+) Cobble Stone (+)

Kornea Jernih Tampak Sikatrik Kornea di


parasternal, d 3 mm

COA jernih Jernih

Pupil
- Bentuk Bulat Bulat
- Diameter 3 mm 3 mm
- Refleks + +

Iris Gambaran baik Gambaran baik

Lensa Jernih Jernih

TIO (palpasi) Normal Normal

2.4 DIAGNOSIS KERJA


Keratokonjungtivitis Vernal Tipe Palpebra ODS + Sikatrik Kornea OS Makula

2.5 DIAGNOSIS BANDING


- Keratokonjungtivitis Vernal Tipe Limbal
- Keratokonjungtivitis alergi
- giant papillary conjungtivitis

2.6 ANJURAN PEMERIKSAAN


‐ Darah rutin (untuk melihat eosinofil)

2.7 PENATALAKSANAAN
 Non Medikamentosa
- Terapi Klimatologi
- Edukasi Ibu pasien agar anak tidak bermain diluar rumah saat terik matahari
- Edukasi Ibu pasien agar anak tidak mengucek mata dan menggunakan tissue
sekali pakai
 Medikamentosa
‐ Conver eye drop 1 tetes / 6 jam ODS
- Polidemisin eye drop 1 tetes/ 6 jam

2.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3. 1 DEFINISI

Vernal keratokonjungtivitis (VKC) merupakan penyakit alergi bilateral yang

jarang, biasanya terjadi pada tahun-tahun prapurbertas dan berlangsung selama 5-10 tahun.

(1) VKC juga merupakan penyakit rekuren, dengan peradangan tarsus dan konjungtiva

bilateral yang penyebabnya belum pasti namun ada keterkaitan dengan riwayat atopi

keluarga dan terutama terjadi pada musim panas . 5

Vernal keratokonjunggtivitis (VKC) adalah bentuk peradangan cukup berat yang

mengenai konjungtiva mata dan kornea mata.

3. 2 KLASIFIKASI

Terdapat tiga bentuk utama keratokonjungtivitis vernalis

1. Bentuk palpebra  terutama mengenai konjungtiva tarsal superior.

Terdapat pertumbuhan papil yang besar ( Cobble Stone ). Papillae ini biasanya membesar

sampai dengan ukuran >1mm. hipertropi papil dapat menyebabkan penebalan kelopak

mata dan ptosis. Selain itu diikuti dengan adanya Sekresi lendir yang banyak .

Gambar 2. Keratokonjungtivitis Vernal Palpebra dengan Tanda cobble stone


2. Bentuk Limbal  hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan

hiperplastik gelatin, dengan Trantas dot yang merupakan degenarasi epitel

kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus, dengan sedikit

eosinofil. (2,4)

Gambar 3. Keratokonjungtivitis Vernal Limbal dengan Tanda Trantas Dot

3. 3 ETIOLOGI

Keratokonjungtivitis vernal biasa dikaitkan dengan adanya riwayat atopi dalam

keluarga yang cenderung kambuh pada musim panas. Keratokonjungtivitis vernal sering

terjadi pada anak-anak, biasanya dimulai sebelum masa pubertas dan berhenti sebelum usia

20. Namun demikian penyebab pastinya masih belum diketahui

3. 4 PATOFISIOLOGI

Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang

insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV. Pada

konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan

diikuti dengan hiperplasia akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan

jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan

menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone.

Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan

sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak

berkilau. Proliferasi yang spesifik padakonjungtiva tarsal, oleh von Graefe

disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang
mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai keratitis serta

erosi epitel kornea. Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat

vasodilatasi dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat,

kekeruhan pada limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan

dalam kualitas maupun kuantitas stem cell limbus. Kondisi yang terakhir ini mungkin

berkaitan dengan konjungtivalisasi pada penderita keratokonjungtivitis dan

dikemudian hari berisiko timbulnya pterigium pada usia muda. Di samping itu,

jugaterdapat kista-kista kecil yang dengan cepat akan mengalami degenerasi. 1,2,4

3. 5 GAMBARAN HISTOPATOLOGIK

Tahap awal VKC ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam kaitan ini, akan tampak

pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup oleh satu lapis sel

epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta diantara papil serta pseudomembran milky

white. Pembentukan papil ini berhubungan dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN,

eosinofil, basofil, dan sel mast. Hasil penelitian histopatologik terhadap 675 pasien dengan

Vernal keratokeratokonjungtivitismata yang dilakukan oleh Wang dan Yang menunjukkan

infiltrasi limfosit dan sel plasma pada konjungtiva. Proliferasi limfosit akan membentuk

beberapa nodul limfoid. Sementara itu, beberapa granula eosinofilik dilepaskan dari sel

eosinofil, menghasilkan bahan sitotoksik yang berperan dalam kekambuhan konjungtivitis.

Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya reaksi hipersensitivitas. Tidak

hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal, tetapi juga di fornix, serta pada beberapa kasus

melibatkan reaksi radang pada iris dan badan siliar. Fase vaskular dan selular dini akan

segera diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih

mencolok, serta reduksi sel radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan

substansi dasar maupun seluler mengakibatkan terbentuknya deposit stone yang terlihat

secara nyata pada pemeriksaan klinis. Hiperplasia jaringan ikat meluas ke atas

membentuk giant papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas. Kolagen maupun

pembuluh darah akan mengalami hialinisasi. Epiteliumnya berproliferasi menjadi 5–10

lapis sel epitel yang edematous dan tidak beraturan. Seiring dengan bertambah besarnya

papil, lapisan epitel akan mengalami atrofi di apeks sampai hanya tinggal satu lapis sel

yang kemudian akan mengalami keratinisasi.6,7


Pada limbus juga terjadi transformasi patologik yang sama berupa pertumbuhan

epitel yang hebat meluas, bahkan dapat terbentuk 30-40 lapis sel (acanthosis). Horner-

Trantas dot’s yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri atas eosinofil, debris selular

yang terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan limfosit. 6,7

Gambar 4. Histologi keratokonjungtivitisvernal terlihat banyak sel radang terutama eosinofil

3. 6 GEJALA

Pasien umumnya mengeluh gatal yang berlebihan dan bertahi mata berserat,

terutama bila berada dilapangan terbuka yang panas terik. Biasanya

terdapat riwayat keluarga alergi. Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat

banyak papilla halus di konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra superior sering

terdapat papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papil raksasa berbentuk poligonal, dengan

atap rata, dan mengandung berkas kapiler. Mungkin terdapat tahi mata berserabut dan

pseudomembran fibrinosa (tanda Maxwell-Lyons). Pada beberapa kasus, terutama pada

orang negro turunan Afrika, lesi paling mencolok terdapat di limbus, yaitu pembengkakan

gelatinosa (papillae). Sebuah pseudogerontoxon (arcus) sering terlihat pada kornea dekat

papilla limbus. Trantas dot adalah bintik-bintik putih yang terlihat di limbus pada beberapa

pasien dengan Vernal keratokeratokonjungtivitisselama fase aktif dari penyakit ini. Sering

tampak mikropannus pada keratokonjungtivitisvernal palpebra dan limbus, namun pannus

besar jarang dijumpai. Biasanya tidak timbul parut pada konjungtiva

kecuali jika pasien telah menjalani krioterapi, pengangkatan papilla, iradiasi, atau prosedur

lain yang dapat merusak konjungtiva.1,2

Gambaran klinis keratokonjungtivitisvernal:


 Keluhan utama: gatal

Pasien pada umumnya mengeluh tentang gatal yang sangat. Keluhan gatal ini

menurun pada musim dingin.

 Ptosis

Terjadi ptosis bilateral, kadang-kadang yang satu lebih ringan dibandingkan

yang lain. Ptosis terjadi karena infiltrasi cairan ke dalam sel-sel konjungtiva palpebra

dan infiltrasi sel-sel limfosit plasma, eosinofil, juga adanya degenerasi hyalin pada

stroma konjungtiva.

 Kotoran mata

Keluhan gatal umumnya disertai dengan bertahi mata yang berserat-serat.

Konsistensi kotoran mata/tahi mata elastis ( bila ditarik molor).

 Kelainan pada palpebra

Terutama mengenai konjungtiva palpebra superior. Konjungtiva tarsalis

pucat, putih keabu-abuan disertai papil-papil yang besar (papil raksasa). Inilah yang

disebut “cobble stone appearance”. Susunan papil ini rapat dari samping

tampak menonjol. Seringkali dikacaukan dengan trakoma. Di permukaannya kadang-

kadang seperti ada lapisan susu, terdiri dari sekret yang mukoid. Papil

ini permukaannya rata dengan kapiler di tengahnya. Kadang-kadang konjungtiva

palpebra menjadi hiperemi, bila terkena infeksi sekunder.

 Horner Trantas dots

Gambaran seperti renda pada limbus, dimana konjungtiva bulbi menebal, berwa

rna putih susu, kemerah-merahan, seperti lilin. Merupakan penumpukan eosinofil dan

merupakan hal yang patognomosis pada keratokonjungtivitisvernal yang berlangsung

selama fase aktif.

 Kelainan di kornea

Dapat berupa pungtat epithelial keratopati. Keratitis epithelial difus khas ini
sering dijumpai. Kadang-kadang didapatkan ulkus kornea yang berbentuk bulat
lonjong vertikal pada superfisial sentral atau para sentral, yang dapat
diikuti dengan pembentukan jaringan sikatrik yang ringan. Kadang juga didapatkan
panus, yang tidak menutupi seluruh permukaan kornea, sering berupa mikropannus.
Penyakit ini mungkin juga disertai keratokonus. Kelainan di kornea ini tidak
membutuhkan pengobatan khusus, karena tidak satu pun lesi kornea ini berespon baik
terhadap terapi standar.
3. 7 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa kerokan konjungtiva untuk mempelajari

gambaran sitologi. Hasil pemeriksaan menunjukkan banyak eosinofil dan granula-

granula bebas eosinofilik. Di samping itu, terdapat basofil dan granula basofilik bebas. 6

3. 8 PENGOBATAN

Karena Vernal keratokonjungtivitis adalah penyakit yang sembuh sendiri, perlu

diingat bahwa medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya memberi hasil jangka pendek,

berbahaya jika dipakai jangka panjang.1,2

Pilihan perwatan VKC berdasarkan luasnya gejala yang muncul dan durasinya,
yaitu:

1. Non Farmakologi

Pasien dan orang tua harus diinstruksikan mengenai sifat dan durasi dari penyakit, karakteristik klinis
dan mungkin komplikasi. Dukungan psikologis mungkin diperlukan dalam kasus yang parah.
Manajemen pertama VKC yang harus dilakukan adalah , bila memungkinkan, adalah identifikasi alergen
dan penghindaran faktor-faktor lingkungan yang mungkin memperburuk penyakit. Menghindari paparan
faktor pemicu nonspesifik, seperti matahari, angin, dan air asin, dengan menggunakan kacamata hitam,
topi , dan berenang dengan kacamata renang . menjaga kebersihan seperti mencuci tangan, wajah, dan
cuci telinga dengan benar . Kompres dingin dapat membantu sebagai dekongestan alami.

2. Farmakologi
Mast Cell Stabilizer
Mast sel stabilizer merupakan obat lini pertama untuk VKC. sel mast Stabilisator topikal
umumnya aman dan memiliki efek samping okular yang minimal. Beberapa penelitian telah
menunjukkan keberhasilan pengobatan dengan sodium cromoglicate 2% dan 4% (DSCG,
cromolyn), nedocromil sodium 2%, lodoxamide tromethamine 0,1%, dan asam spaglumic 4%.
Dosis yang dianjurkan adalah 4-6 kali sehari, dengan waktu pemberian minimal 7 hari dan onset
sebanyak 2 minggu. Namun pada beberapa penelitian DSCG memiliki efek terbatas untuk
pengobatan VKC dibandingkan dengan obat baru yang kini ada seperti Nedocromil tampaknya
lebih kuat daripada DSCG, dimana Nedocromil ini bekerja pada beberapa sel yang terlibat dalam
peradangan alergi, termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast, monosit, dan trombosit.

Antihistamin
Antihistamin bekerja untuk memblokir efek inflamasi histamin endogen dan mencegah atau
meringankan gejala inflamasi atau peradangan. Kebanyakan antihistamin yang digunakan dalam
pengobatan alergi adalah antagonis reseptor H1. Antagonis H2 telah terbukti memodulasi
pertumbuhan sel dan migrasi. Obat okular dengan aktivitas antihistamin dapat memberikan
manfaat terapeutik untuk pasien dengan konjungtivitis alergi, termasuk VKC, dengan
menghambat sekresi sitokin proinflamasi dari sel epitel konjungtiva. Antihistamin generasi
pertama pheniramine dan antazoline memiliki catatan keamanan yang panjang.
Antihistamin yang lebih baru masih merupakan antagonis H1, tetapi memiliki durasi yang lebih
lama (4-6 jam), dan lebih baik ditoleransi daripada pendahulu mereka. Ini termasuk
levocabastine hydrochloride 0,5% dan emedastine difumarate 0,05%.
Pada Sebuah penelitian meta-analisis dari uji klinis acak di VKC menunjukkan sejumlah besar
penelitian mengevaluasi efektivitas tetes mata anti alergi umum (levocabastine, lodoxamide,
mipragoside, NAAGA, nedocromil sodium, DCG). Di antaranya, lodoxamide tampaknya
menjadi yang paling efektif

Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (NSAID)


Umumnya OAINS yang digunakan dalam pengobatan alergi okular menghambat enzim
siklooksigenase (COX) -1 dan COX-2. Ketorolac,natrium diklopenac, dan pranoprofen, mungkin
juga merupakan alternatif yang baik untuk steroid.

Kortikosteroid topikal
VKC dengan kondisi sedang sampai berat memerlukan terapi steroid topikal berulang untuk
menurunkan regulasi inflamasi konjungtiva. Gejala berat terus-menerus, lendir lendir tebal
dengan keterlibatan kornea sedang sampai berat, banyak dan meradang infiltrat limbal dan / atau
papila raksasa, menunjukkan kebutuhan akan kortikosteroid. Namun, kortikosteroid harus
dihindari sebagai garis pertahanan pertama dalam pengobatan VKC. Jika steroid digunakan,
mereka yang memiliki penyerapan intraokular rendah, seperti hidrokortison, klobetason,
desonida, fluorometholone, loteprednol, difluprednate dan rimexolone, harus digunakan terlebih
dahulu. Dosis dipilih berdasarkan keadaan inflamasi mata, dengan terapi yang ditentukan dalam
denyut nadi 3-5 hari. Loteprednol etabonat biasanya diindikasikan untuk 7-8 hari dalam
pengobatan fase akut.Prednisolon, deksametason, atau betametason harus digunakan hanya
ketika steroid pilihan pertama yang disebutkan di atas telah terbukti tidak efektif. Obat tetes mata
steroid-antibiotik harus dihindari, karena VKC adalah peradangan alergi, bukan
infeksi. Kortikosteroid tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang karena kemungkinan
efek samping okular, termasuk peningkatan tekanan intraokular (IOP), induksi atau eksaserbasi
glaukoma, pembentukan katarak, penyembuhan luka yang tertunda, dan peningkatan kerentanan
terhadap infeksi atau superinfeksi. Efek samping ini tergantung, sebagian, pada struktur, dosis,
durasi pengobatan dan disposisi jender [ 36 ]. Bahkan, setelah pemberian kortikosteroid setiap
hari selama 4-6 minggu, sekitar sepertiga dari populasi normal akan menjadi “penanggap tinggi
atau moderat” dengan peningkatan IOP antara 6 dan 15 mm Hg [ 36 ]. Empat puluh satu dari 145
(28,3%) pasien dengan VKC berat dalam serangkaian kasus Singapura mengembangkan respon
kortikosteroid, yang delapan (5,5%) berkembang menjadi glaukoma [ 37 ]. Enam dari pasien ini
( n = 8 mata) membutuhkan trabeculectomy / mitomycin-C. Faktor risiko utama untuk
trabeculectomy adalah peningkatan TIO yang lebih besar dari awal, yang independen dari
pembaur potensial seperti jenis dan durasi penggunaan kortikosteroid [ 38 ].

Inhibitor Calcineurin dan Imunomodulator Lainnya


Siklosporin A (CsA) efektif dalam mengendalikan inflamasi okular VKC terkait dengan
menghambat proliferasi limfosit Th2 dan produksi interleukin-2. Ini menghambat pelepasan
histamin dari sel mast dan basofil melalui pengurangan produksi IL-5, dan dapat mengurangi
perekrutan eosinofil dan efek pada konjungtiva dan kornea [ 39 ]. CsA bersifat lipofilik dan
dengan demikian harus dilarutkan dalam basis minyak alkohol [ 39 ]. Ketiadaan persiapan
komersial CsA topikal, kesulitan teknis dalam mengeluarkan obat tetes mata dan pembatasan
hukum pada penggunaan topikal di banyak negara, menghalangi penggunaannya secara luas
untuk pengobatan VKC. Formulasi 2% memiliki rekam jejak terlama, tetapi konsentrasi yang
lebih rendah (1%, 0,5%, dan 0,05%) telah digunakan dan terbukti efektif. Sejauh ini, tidak ada
konsensus umum mengenai konsentrasi efektif minimum dari CsA. Hanya formulasi 0,05% yang
tersedia secara komersial untuk pengobatan mata kering.
Setelah siklus lama pengobatan, CsA memiliki efek steroid-sparing yang ditandai, berpotensi
memungkinkan kontrol simtomatologi tanpa steroid [ 40 ]. Bila perlu, steroid topikal tambahan
dapat digunakan dalam siklus pendek. Penyerapan sistemik dari CsA tidak terdeteksi oleh
metode laboratorium klinis. Pembakaran dan iritasi sering terjadi efek samping. Pengobatan
dapat diresepkan secara musiman atau tahunan, mengurangi dosis pada fase non-aktif
penyakit. Efek samping, seperti infeksi bakteri atau virus jarang terjadi, sementara perubahan
TIO belum dilaporkan.
CsA 1% atau 2% emulsi dalam jarak atau minyak zaitun yang ditanamkan empat kali sehari
dapat dipertimbangkan untuk pengobatan VKC sedang hingga berat dan dapat berfungsi
sebagai alternatif yang baik untuk steroid [ 39 , 41 ]. Setelah 2 minggu, CsA 1% empat kali sehari
secara signifikan mengurangi tanda dan gejala dan tingkat air mata ECP dalam kelompok pasien
VKC [ 42 ].
CsA 1% dilaporkan menjadi konsentrasi efektif minimum dalam pengobatan peradangan ulkus,
dengan kekambuhan diamati pada konsentrasi yang lebih rendah [ 43 ]. Dalam uji coba
terkontrol secara acak, efek CsA 0,05% mirip dengan plasebo [ 44 ]. Sebaliknya, dalam
penelitian lain, CsA 0,05% menurunkan tingkat keparahan gejala dan tanda klinis secara
signifikan setelah 6 bulan dan kebutuhan untuk steroid berkurang, menunjukkan bahwa CsA
pada dosis rendah adalah agen steroid-sparing yang efektif dalam VKC [ 45 ]. Dalam penelitian
prospektif dan observasional klinis pada 594 pasien, CsA 0,1% terbukti efektif dan aman untuk
pengobatan VKC [ 46 ]. Sebuah tinjauan sistematis dan studi meta-analisis baru-baru ini
menunjukkan bahwa CsA topikal efektif dan aman untuk pengobatan VKC, karena tanda dan
gejala secara signifikan membaik setelah pengobatan, terlepas dari dosis CsA [ 47 ].
Sebuah studi crossover dua tahun yang dilakukan secara acak dan terkontrol menunjukkan
keamanan dan kemanjuran CsA 0,05% untuk pencegahan jangka panjang kambuhan VKC
[ 40 ]. Pasien yang diobati dengan ketotifen memiliki risiko kekambuhan 2,4 kali lebih tinggi
daripada pasien yang diobati dengan CsA. Selain itu, CsA secara signifikan meningkatkan gatal,
fotofobia dan skor hiperemia konjungtiva dibandingkan dengan ketotifen. Data ini sangat
penting untuk manajemen jangka panjang pasien anak-anak yang berisiko mengalami gangguan
penglihatan, apakah karena penyalahgunaan steroid atau terus berulangnya peradangan akut
[ 40 ].
Tacrolimus adalah obat yang manjur, mirip dengan CsA dalam cara kerjanya, tetapi secara kimia
berbeda. Salep kulit tacrolimus dilisensikan untuk pengobatan penyakit kelopak atopik sedang
hingga berat dan mungkin memiliki manfaat sekunder untuk AKC [ 48 - 50 ]. Aplikasi
konjungtiva salep tacrolimus 0,03% dan 0,1% efektif, ditoleransi dengan baik, dan aman dalam
pengobatan konjungtivitis alergi berat [ 49 , 51 ]. Dalam uji klinis terkontrol multisenter, acak,
double-masked, plasebo-terkontrol, tacrolimus ophthalmic suspensi 0,1% terbukti efektif dalam
mengobati konjungtivitis alergi berat. Pasien dirawat dua kali sehari selama 4 minggu. Tanda-
tanda obyektif, gejala subyektif, papila raksasa dan keterlibatan kornea secara signifikan
meningkat. Efek samping tacrolimus yang paling sering terjadi adalah iritasi okular [ 52 ]. Dalam
penelitian yang sama juga dilaporkan bahwa dosis tacrolimus didasarkan pada hasil dari studi
dosis-rentang sebelumnya di mana tacrolimus ophthalmic suspensi 0,01%, 0,03%, dan 0,1%
diuji. Karena 0,1% menunjukkan peningkatan yang lebih kuat dan profil keamanan serupa
dibandingkan dengan 0,01% dan 0,03%, 0,1% dianggap sebagai dosis optimal.
Dokumentasi tentang kualitas, keamanan dan kemanjuran dari berbagai persiapan yang
digunakan dalam laporan klinis yang berbeda akan diperlukan sebelum tacrolimus diberikan
status pengobatan orphan untuk VKC.
Sebuah percobaan komparatif acak double-masked membandingkan kemanjuran 0,1%
tacrolimus salep mata dengan CsA 2% menunjukkan bahwa keduanya sama-sama efektif dalam
pengobatan VKC [ 53 ].
Mitomycin-C 0,01% jangka pendek, dosis rendah, dan topikal telah dipertimbangkan untuk
mengobati eksaserbasi akut pada pasien dengan refraktori VKC berat untuk pengobatan
konvensional [ 54 ]. Penurunan signifikan dalam tanda dan gejala dibandingkan dengan
kelompok plasebo ditunjukkan pada akhir periode pengobatan 2 minggu. Tidak tersedianya
persiapan topikal komersial, durasi studi yang singkat, dan kurangnya data pada profil keamanan
dan hasil jangka panjang adalah keterbatasan utama dalam merekomendasikan mitomycin untuk
pengobatan VKC.

Perawatan Bedah
Injeksi supratarsal baik kortikosteroid jangka pendek atau menengah telah diusulkan sebagai
pendekatan terapeutik untuk mengobati pasien dengan VKC refrakter [ 65 ]. Meskipun perbaikan
gejala dan klinis yang signifikan telah dilaporkan, peningkatan TIO yang persisten terjadi pada
satu dari 12 pasien VKC [ 65 ].
Operasi pengangkatan plak kornea direkomendasikan untuk meringankan gejala berat dan
untuk memungkinkan kornea re-epitelisasi. Papillae eksisi raksasa dengan intraoperatif 0,02%
mitomycin-C diikuti oleh pengobatan topikal CsA dapat diindikasikan dalam kasus pseudoptosis
mekanik atau adanya papila raksasa kasar dan penyakit aktif terus menerus [ 66 , 67 ].
Cryotherapy dan / atau eksisi papila raksasa seharusnya dihindari karena tindakan ini hanya
mengobati komplikasi dan bukan penyakit yang mendasarinya, dan dapat menyebabkan
jaringan parut yang tidak perlu. Transplantasi membran amnion (AMT) setelah keratektomi
telah digambarkan sebagai pengobatan yang berhasil untuk ulkus dalam, pada kasus dengan
penipisan stroma ringan [ 68 ]. Kehadiran membran sisa di bawah epitel dapat mempengaruhi
transparansi kornea pasca operasi. Algoritma pengobatan untuk komplikasi kornea dapat
didasarkan pada penilaian klinis Cameron peradangan ulkus [ 69 ]: Grade 1, ulkus menerima
terapi medis saja;Ulkus kelas 2 dan kelas 3 menerima terapi medis saja atau terapi medis yang
dikombinasikan dengan debridemen, AMT, atau keduanya. Dengan menggunakan pendekatan
ini, ditunjukkan bahwa ulkus Grade 1 berespon baik terhadap terapi medis saja; Ulkus grade 2
kadang-kadang mungkin memerlukan debridemen tambahan atau AMT;Derajat 3 ulkus sering
refrakter terhadap terapi medis dan membutuhkan debridemen dan AMT untuk re-epitelisasi
cepat [ 70 ].
Defisiensi sel induk limbal yang signifikan sebagai komplikasi peradangan limbal yang berat dan
persisten telah diobati dengan transplantasi sel punca [ 71 , 72 ].
Prosedur ini dan prosedur lain yang lebih invasif seperti pencangkokan mukosa oral harus
dihindari atau dipertimbangkan hanya oleh ahli oftalmologi dalam manajemen VKC.

Komplikasi

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien anak R usia 11 tahun datang dengan keluhan mata merah sejak 1 tahun yang lalu, mata

merah dirasakan sering kambuh setiap pasien selesai bermain di lapangan dan biasanya juga
sering pada saat pasien pulang sekolah. Pasien juga mengeluhkan matanya gatal sehingga pasien

sering menggosok matanya. Pasien juga mengeluhkan terdapat belek berwarna putih, dan mata

sering berair. Penglihatan kabur terkadang dirasakan pasien, dan juga rasa mengganjal. Silau

terhadap matahari atau lampu terkadang dirasakan pasien. pasien sudah berobat ke puskesmas

namun tidak mengalami perubahan. Pasien memiliki riwayat alergi makanan dan riwayat asma di

keluarga

Pasien ini di diagnosis dengan Vernal keratokeratokonjungtivitis(VKC) tipe palpebra atau yang

biasa disebut juga dengan catarrh musim semi dan keratokonjungtivitismusiman atau

keratokonjungtivitismusim kemarau. Yaitu suatu penyakit alergi bilateral yang jarang, yang

biasanya mulai pada tahun tahun prapurbertas dan pasien dengan riwayat atopi lebih besar untuk

menderita KCV. KCV ini memiliki 3 tipe yaitu tipe palpebra, limbus atau campuran keduanya.

Prevalensi KCV lebih tinggi di daerah tropis, musim panas, kering iklim subtropik seperti di

africa,America dan Asian terutama Jepang, Thailand, dan India. KCV lebih sering terjadi pada

orang kulit hitam, dan lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibanding anak perempuan dengan

perbandingan 3:1. Pasien an R didiagnosis KCV diteggakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan anamnesa pasien mengeluhkan tajam penglihatan menurun,terdapat silau, mata

merah, berair, terdapat sekret/ kotoran mata terutama pagi hari dan mata sangat gatal. Hal ini

merupakan gejala campuran dari keratitis dan keratokonjungtivitis sehingga pasien didiagnosa

keratokonjungtivitis. Selain itu pasien ini adalah anak laki-laki dengan riwayat atopi dan pasien

memiliki kulit berwarna gelap. Etiologi dari KCV sampai saat ini belum diketahui tapi faktor

penyebab yang diduga adalah alergen serbuk sari, debu, tungau, bulu kucing dan makanan serta

faktor fisik berupa panas sinar matahari dan angin.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya mata merah dengan injeksi siliar dan injeksi

konjungtiva. Selain itu ditemukan cobble stone di konjungtiva tarsalis superior. Seharusnya

dilakukan pemeriksaan scrapping konjungtiva untuk memastikan jumlah eosinofil, untuk

memastikan adanya atopi.

Diagnosa banding pada pasien ini adalah konjungtivitis alergika musiman, giant papillary

conjungtivitis. Pada keratokonjungtivitisalergi musiman bersifat akut, mereda saat musim dingin,

terdapat edema konjungtiva, jarang disertai perubahan kornea. Pada giant papillary conjunctivitis
kelainan juga terdapat konjungtiva tarsal superior namun dengan kurang diameter papila yang

lebih dari 0.3 mm, penyebab tersering nya adalah iritasi mekanik yang lama terutama karena

riwayat penggunaan kontak lensa.

Terapi utama yang diberikan untuk pasien VKC adalah dengan pemberian edukasi ke pasien

untuk menghindari semua kemungkinan alergen penyebab. Berdasarkan jurnal clinical

ophtalmologi, sampai saat ini belum ada algoritma gold terapi untuk pasien dengan VKC, namun

ada banyak pilihan yang tersedia dan dilakukan pengawasan pengobatan. Pada kasus ringan

antihistamin dapat bermanfaat. Namun pada kasus berat mungkin membutuhkan kortikosteroid.

Saat ini ada obat obatan terbaru yang menggabungan anti histamin dan cell mast stabilization

seperti ketotifen dan olopatadin sudah terbukti lebih efektif untuk penanganan VKC. Pemberian

stabilisator sel mast yaitu natrum kromoglikat 2% atau sodium kromolyn 4 % atau iodoksamid

trometamin dapat mencegah degranulasi dan lepasnya substansi vasoaktif, sehingga dapat

mengurangi kebutuhan akan kortikosteroid topikal. Pemakaian iodoksamid dikatakan

mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan dengn natrium kromoglikat 2% atau sodium

kromolyn 4%. Obat anti inflamasi NSAID merupakan pilihan yang tepat untuk mengurangi

gejala dengan cepat, namun obat ini dilaporkan menyebabkan toksisitas kornea yang tinggi.

Sehingga pengobatan harus dibatasi dalam jangka pendek. Kortikosteroid topikal juga

merupakan komponen penting dari pengobatan VKC, khususnya pada eksaserbasi, namun

memang memiliki efeksamping yang sangat tinggi, sehingga perlu diberikan dengan dodid

rendah terlebih dahulu.

Pada pasien telah di berikan terapi Conver dengan komposisi Natrium Kromoglikat 2% dimana

terapi ini memang merupaka pilihan terapi yang tepat diberika untuk pasien dengan VKC. Pasien

juga telah di berikan terapi polidemisin dimana merupakan kombinasi dexametasone topikal

dengan antibiotik neomycn sulfate. Pada kasus ini sebenarnya tidak perlu penggunaan antibiotik,

namun karena keterbatasan obat yang ada dan kita memerlukan kortikosteroid topikal dalam

pengobatan sehingga dipilihlah kombinasi obat topikal yang mengandung kortikosteroid topikal.

Pada pasien ini juga ditemukannya sikatrik pada kornea dimana dapat diberikan terapi tambahan

debridemen puing-puing inflamasi guna untuk mensterilkan sikatrik kornea. (saya tidak pernah

terbaca klu sudah sikatrik tidak perlu tatalaksana). Pada pasien VKC sering dijumpai ulkus

kornea, ulkus pada pasien sering disebut ulkus steril terjadi karena gesekan (trauma mekanik)
berulang dari cobble stone palpebra yang terjadi saat kelopak berkedip. (coba cari lagi di buku

atau jurnal). Dalam beberapa jurnal menjelaskan bahwa penggunaan antibiotik spektrum luas,

seperti moxifloxacin atau gatifloxacin empat kali per hari. Penambalan ulkus dan tarsorrhaphy

sementara (kelopak mata atas dan bawah sebagian dijahit bersama) mungkin diperlukan untuk

membantu menyembuhkan cacat epitel. Ulkus infeksius harus segera dirujuk ke spesialis yang

sesuai karena kemungkinan kehilangan penglihatan yang tinggi dan kompleksitas perawatan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum, Edisi 17, Jakarta: Widya Medika, 2007. Hal

268, 274-287.

2. Ilyas Sidharta, Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi ke

tiga, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2006. Hal 179-188.

3. A.K. Khurana. Comprehenship Opthalmology 4th Edition dalam Chapter 12-New Age

International 2007. P 288-96.

4. Wijana Nana S,D, Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke 6, Abdi Tegal.Jakarta 1993.Hal 332-

342.

5. Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC

6. Addis, H. Jong, B.H. 2018.Vernal Keratokonjungtivitis. 119-123. J of Clinical

Ophtalmology.

7. Craul, K.L. 2016. Vernal Keratokonjungtivitis. American Academy of Opthalmology.

https://www.aao.org/disease-review/vernal-keratoconjunctivitis-5

Klu bisa cari referensi terbaru 5 tahun terakhir ....

Anda mungkin juga menyukai