Anda di halaman 1dari 4

4.

PEMBUMIHANGUSAN KOTA DILI, TIMOR TIIMUR OLEH MILITER


INDONESIA DAN MILISI PRO INTEGRASI 20 AGUSTUS 1999

(Catatan tentang kiprah NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB


di Timor Lorosae paska referendum)

"Tidak ada rumah mewah, tidak ada bar untuk minum bir, tidak ada
diskotik, bagaimana mungkin pekerja-pekerja kemanusiaan itu mau menetap di
sini", ungkap seorang ketua adat ketika dimintai komentarnya tentang tidak
adanya pelayanan kesehatan oleh NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB
di Kec. Alas, Same.

"Apakah anda memiliki identitas? Apakah lembaga anda memiliki pengalaman


bekerja untuk distribusi bahan makanan di daerah ini? Demikian pertanyaan
yang diajukan oleh seorang staf WFP (World Food Programme) ketika seorang
staf NGO nasional/lokal yang telah lama beroperasi di Timor Lorosae
menemuinya dikantor untuk melakukan koordinasi distribusi bahan makanan di
Baucau, Timor Lorosae".

Operasi pembumihangusan Timor Lorosae oleh milisi dan militer Indonesia


telah menimbulkan kerugian yang luar biasa. Mulai dari harta benda hingga
jiwa manusia yang melayang akibat operasi pembumihangusan tersebut. Dalam
konteks politik internasional, bisa dikatakan bahwa terjadi keterlambatan
tindakan oleh PBB yang saat itu sedang bertugas di Timor Lorosae. Akibat
"politik ketidak acuhan" dari komunitas internasional (baca: UNAMET), maka
milisi bersama militer Indonesia dengan leluasa melancarkan operasi burning
down pasca pengumuman hasil referendum, 4 September 1999. Setelah
menjadi korban dalam operasi pembumihangusan oleh milisi dan militer
Indonesia, kini Timor Lorosae menghadapi operasi baru yakni "operasi
kemanusiaan".

Penghancuran Timor Lorosae pasca referendum telah menimbulkan persoalan


baru. Walaupun diakui bahwa terlepas dari semua itu, Timor Lorosae
berhasil mengusir militer Indonesia dari bumi Lorosae. Seolah-olah
dengan penghancuran tersebut telah membuka jalan tol bagi berbagai
kelompok untuk "mengoperasikan" program-programnya di Timor Lorosae. Dengan
bungkus operasi kemanusiaan, berbagai NGO internasional maupun lembaga
intergovernmental seakan-seakan berlomba melakukan programnya di Timor
Lorosae.

Membanjirnya bantuan kemanusiaan lewat berbagai NGO dan lembaga


intergovernmental di Timor Lorosae pasca referendum, tidak dengan
sendirinya berarti mengakhiri mata rantai penderitaan rakyat. Sebaliknya,
dengan membanjirnya bantuan ini bisa saja menjadi rantai baru yang akan
menjerat rakyat Timor Lorosae dalam ketergantungan abadi.

Belakangan diketahui bahwa jumlah NGO internasional yang beroperasi di


Timor Lorosae diperkirakan sekitar 30-an NGO. Sedangkan lembaga
intergovernmental (lembaga-lembaga PBB) yang beroperasi di Timor Lorosae
antara lain UNHCR, UNICEF, UNESCO, FAO, WFP (World Food Programme).
Sementara NGO nasional yang beroperasi di Timor Lorosae sekitar 20-an NGO.
Kelompok-kelompok kemanusiaan ini datang dengan berbagai program seperti
distribusi makanan, kesehatan, shelter, urusan pengungsi, pembagian benih
tanaman dan berbagai program lainnya.

Keberadaan semua lembaga ini, seperti dipaparkan diatas menjadi menarik


untuk dikaji dalam konteks upaya mengatasi krisis yang terjadi di Timor
Lorosae saat ini. Sebelum tiba pada pembahasan mengenai berbagai
persoalan yang dihadapi NGO dan lembaga intergovernmental dalam operasi
kemanusiaan di Timor Lorosae, terlebih dahulu akan dibahas politik ideologi
bantuan kemanusiaan.

Politik Bantuan Kemanusiaan.


Sejarah mencatat bahwa sangat banyak bantuan kemanusiaan yang didrop
dinegara-negara jajahan di Afrika. Setiap kali ada gejolak baik internal
maupun gejolak eksternal, maka berbagai kelompok, NGO ineternasional
maupun lembaga-lembaga PBB (UN agency) dengan caranya masing-masing
menceburkan diri dalam konflik tersebut dengan "bungkus operasi
kemanusiaan". Di Mozambique, di Angola, di Rwanda, Somalia dan berbagai
negara di benua hitam tersebut paling sering menjadi target operasi
kemanusiaan karena sering dilanda konflik. Walaupun bantuan kemanusiaan
membanjiri wilayah-wilayah tersebut, namun angka kematian karena kelaparan
dan penyakit tidak semakin mengecil. Tapi sebaliknya, angka kematian karena
kelaparan dan penyakit justru semakin meningkat.

Bantuan kemanusiaan lewat NGO maupun lembaga PBB sering menjadi persoalan
tersendiri bagi kelompok masyarakat yang diberi bantuan. Ada beberapa
persoalan menyangkut bantuan kemananusiaan tersebut.

Pertama, persoalan transparansi dana. Kebanyakan NGO internasional


memanfaatkan dana bantuan untuk pemerintah yang dilanda bencana guna
menjalankan program-program mereka. Hal ini terjadi misalnya di
Mozambique. Pada tahun 1989, ketika Mozambique dilanda kelaparan akibat
konflik, berbagai NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB melancarkan
operasi kemanusiaan. Dana terbesar dari operasi NGO dan lembaga PBB itu
kebanyakan diambil dari bantuan/grant yang semestinya dipakai sendiri oleh
pemerintah Mozambique saat itu.

Kedua adalah persoalan ketergantungan. Bangladesh adalah satu kasus yang


sangat baik sebagai gambaran mengenai persoalan ketergantungan akibat
operasi kemanusiaan oleh NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB.
Masyarakat seolah-olah dimanjakan dengan bantuan kemanusian. Karena itu
setelah berhentinya bantuan tersebut, masyarakat seolah-olah kaget dan
tidak siap menghadapi kenyataan. Selain itu, operasi bantuan kemanusiaan
tersebut tidak jarang memarjinalkan rakyat karena penyaluran bantuan
tersebut justru hanya menggemukan kelompok kaya baru baik di desa maupun
di kota. Sementara kelompok marjinal semakin termarjinal karena
ketergantungan kepada orang kaya baru .
Ketiga adalah persoalan minimya koordinasi. Banyak NGO internasional dan
lembaga PBB yang melakukan operasi di berbagai tempat dengan tingkat
koordinasi dengan kelompok lokal yang sangat minim. Akibat minimnya
koordinasi tersebut menimbulkan kesan seolah-olah kelompok NGO
lokal/nasional atau kelompok potensial lainnya yang berada di tingkat
lokal/nasional menjadi "kelas dua". Bahkan untuk menjalankan
program-programnya, NGO-NGO lokal terpaksa harus menjadi "pengemis" kepada
NGO internasional ataupun lembaga-lembaga PBB yang notabene sebagian besar
memakai dana bantuan untuk pemerintah yang dilanda "bencana" tersebut.
Pada titik ini, kelihatannya pemerintahan-pemerintahan yang menjadi donor
ataupun lembaga-lembaga donor dunia merasa lebih tertarik untuk memakai
NGO internasional yang mempunyai jalinan kerja sama yang kuat dan lembaga
PBB guna "menghabiskan" dana baik berupa pinjaman maupun hibah dinegara
yang dilanda bencana. Pemerintah yang menjadi donor bahkan kerap mencari
sendiri NGO internasional untuk menjalankan operasi kemanusiaan yang
dana dan progarmnya telah dirancang oleh pemerintah yang bersangkutan.
Karena itu, NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB yang sering
melakukan operasi kemanusiaan tersebut cenderung didifinisikan oleh
sebagian kalangan sebagai private voluntary organizasation (PVO) atau
organisasi voluntir swasta. Misalnya dalam pengamatan yang dilakukan oleh
Joseph Hanlon di Mozambique, ditemukan bahwa dalam banyak hal NGO-NGO
internasional seperti World Vision atau Care Internasional berperilaku
seperti lembaga-lembaga bisnis besar atau lembaga-lembaga transnasional
yang mempunyai afiliasi di berbagai negara. Karena berperan sebagai bisnis
transnasional, maka kepentingan NGO internasional adalah distribusi uang,
distribusi makanan, bantuan darurat dan pelayanan. Sementara untuk
overhead cost lembaga, mereka bisa mendapat dari bunga bantuan/grant yang
diterima selain dari fundrisingnya sendiri . Akibat minimnya koordinasi,
sering kali NGO atau lembaga PBB melakukan proyek-proyek dalam jumlah
besar, tapi proyek-proyek tersebut tidak menjadi skala prioritas kelompok
masyarakat sasaran yang dibantu.

Keempat adalah persoalan "pesan sponsor". Banyak NGO internasional yang


dalam operasinya sarat dengan pesan sponsor. World Vision dalam operasi
kemanusiaan di Mozambique praktis menjadi pelopor pesan sponsor CIA
(baca: pemerintah USA). World Vision terkenal sebagai lembaga kristen yang
sangat anti komunis sehingga World Vision "dipakai" oleh lembaga donor
untuk melawan pengaruh Frelimo yang dikenal beraliran sosialis. Bahkan
dalam operasinya, beberapa staf World Vision malah menyarankan agar Renamo
(tandingan Frelimo) mengambil alih tampuk pemerintahan yang sah dari
Frelimo . World Vision juga dikenal mempunyai hubungan erat dengan
rejim-rejim militer represif di Amerika tengah. Contoh lain adalah
kehadiran Care Internasional (khususnya Care USA). Kehadiran Care USA di
Mozambique pada tahun 80-an jelas banyak membantu operasi CIA untuk
memantau keadaan massa rakyat yang saat itu sangat mendukung
program-program Frelimo. Dalam banyak hal NGO-NGO ini memiliki informasi
yang lebih lengkap dibanding kelompok lain bahkan pemerintah setempat.
Misalnya Care Internasional dalam observasi Joseph Hanlon, memiliki
informasi mengenai keadaan sosial dan politik yang lebih lengkap dibanding
dengan NGO lain atau bahkan pemerintah Mozambique sekalipun.
Informasi-informasi ini tidak pernah didistribusikan kepada pihak lain
termasuk pemerintah Mozambique, kecuali kepada pemerintah USA sebagai
sponsor saat itu.

Anda mungkin juga menyukai