GBS Saraf
GBS Saraf
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Guillain-Barré syndrome
1.1. Batasan
Guillain-Barré syndrome(GBS) adalah gangguan inflamasi akut pada susunan saraf
perifer yang disebabkan karena adanya gangguan autoimun (Hughes R. , Immunotherapy for
Guillain-Barre Syndrome: a systematic review, 2007).
Klasifikasi GuillainBarre syndrome(Hauser & Asbury, 2008):
NO Subtype Features Electrodiagnosis Pathology
1 Acute inflamatory Dewasa lebih mudah Demyelinating Pertama menyerang
demyelinating terjangkit daripada pada permukaan sel
polyneuropathy anak-anak; 90% schwan; kerusakan
(AIDP) kasus terjadi pada myelin; aktivasi
western world; macrophage; dan
pemulihan cepat; infiltrasi limfotik;
anti-GM1 antibodies kerusakan axonal
(<50%)
2 Acute motor axonal Terjadi pada anak- Axonal Pertama menyerang
neuropathy (AMAN) anak dan anak muda; pada motor nodes
prevalensi pada dari ranvier; aktivasi
china dan meksiko; makrophage; sedidit
dapat terjadi imfosit; umumnya
musiman; anti-GD1a periaxonal
antibodies macrophage; meluas
hingga kerusakan
pada axonal
3 Acute motor sensory Umumnya pada Axonal ~AMAN, tetai juga
axonal neuropathy dewasa, berefek pada nervus
(AMSAN) penyembuhan sensorik dan akar;
lambat, berkaitan umumnya kerusakan
dengan AMAN axonal sudah berat
4 M.Fisher syndrome Pada dewasa dan Demyelinating Menyerupai AIDP
(MFS) anak-anak; tidak
umum;
opthalmoplegia,
ataxia dan areflexia;
anti GQ1b-
antibodies (90%)
1
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SURABAYA
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2016
2
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SURABAYA
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2016
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap,
dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan
gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan
pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan
GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada
pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan
tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki
fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring
tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis.
Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan
istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat
saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu
proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin
bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan
spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan
gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini
ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan
3
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SURABAYA
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2016
kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan
otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita
mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala
ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
1.1.4 Penatalaksana terapi
a) Terapi spesifik
- IV Immunoglobulin
- Plasmaparesis (Plasma exchange)
- Kortikosteroid
b) Terapi Suportif
Manajemen dari : kegagalan nafas, profilaksis trombosis vena, disautonomik, nyeri,
disfungsi kandung kemih dan usus, rehabiitasi serta nutrisi.
Gambar 2. Algoritma terapi Guillain-Barré syndrome (Willison, Jacobs, & Doorn, 2016)
4
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SURABAYA
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2016
5
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SURABAYA
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2016
BAB II
PEMBAHASAN
Perlu diketahui apa yang menjadi penyebab timbulnya GBS. Karena GBS merupakan
suatu penyakit autoimun yang bisa disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylorisehingga
menyebabkan suatu proses autoimunitas sehingga terjadi kompleks antigen antibodi di myelin
yang menyebabkan demyelinasi.
Tujuan dari pengobatan secara medis adalah mencegah serta mengatasi komplikasi
respiratori, imobilitas, instabilitas autonomik yang potensial terjadi. Secara umum terapi pada
GBS terdiri dari terapi utama dan suportif. Dimana terapi utama bertujuan untuk mengatasi
autoantibodi dengan pemberian imunoglobulin intravena (IV IG) atau plasma exchange. Plasma
exchange diberikan bila pasien terdapat kontraindikasi terhadap IV IG. Pada kasus yang ringan
dimana gejala yang muncul hanya ringan serta sedikit mengalami progresifitas, maka tidak
diindikasikan pemberian IV IG.
IVIG atau immunoglobulin intravena merupakan suatu sediaan yang dihasilkan dari
fraksionasi plasma manusia yang kandungan utamanya adalah IgG. Plasma ini didapatkan dari
1.000 hingga 10.000 donor dan mengandung berbagai jenis antibodi. IVIG mengandung anti-
idiotypic antibodies yang ,pengikat F(ab) untuk menetralisir autoantibody yang menyebabkan
GM1-related neuropathypada GBS. Efek yang bermanfaat untuk GBS dari IV IG berkaitan
dengan hilangnya komplemen pada otot termasuk penekanan fungsi makrofag, mengurangi
aktivitas fagositosis.
Efek samping yang bisa muncul pada pemberian IV IG umumnya berkaitan dengan
kecepatan infusinya dan paling sering terjadi selama jam-jam pertama infusi. Jika lajunya terlalu
cepat, pasien dapat mengalami beberapa gejala seperti dyspnoea, bronkospasme, dada sesak,
kemrah-merahan demam/menggigil, Hives/Rash, perubahan tekanan darah, sakit kepala, mual-
muntah, nyeri abdomen, nyeri punggung/arthralgia, batuk parah. Jika muncul pertama kali
gejala-gejala tersebut, maka infusi harus segera dihentikan. Untuk reaksi yang ringan, jika
gejalanya sudah hilang, infusi direkomendasikan deberikan dengan laju yang lebih lambat.
Karena partikel IV Ig besar, maka berpotensi menyebabkan tromboemboli serta gagal ginjal
akut. Oleh karena itu, IV Ig hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal normal, karena
eliinasinya melalui ginjal.
Berdasarkan review yang dilakukan Hughes et al, pada tahun 2014 dalam cochrane review,
dimana peneitian tersebut membandingkan penggunaan IV IG vs Plasma Exchangemenunjukkan
bahwa dari 567 subjek, perubahan rata-rata terhadap seven grade disability scale (gambar 4)
setelah empat minggu tidak berbeda secara signifikan antara IV Ig group vs PE group (gambar
3)(Hughes & Swan, 2014).
Pada pemberian Iv Ig harus dimonitor secara ketat saat pemberian infusi Iv Ig sehingga
bisa segera dilakukan tindakan untuk mengataasi efek samping tersebut. Sebaiknya ikuti
rekomendasi pabrik kecepatan pemberian (laju infusi) IV Ig. Lakukan pencatatan tanda klinis
(Vital Sign ) pasien awal sebelum infusi Iv Ig (suhu, nadi, RR, tekanan darah) serta lakukan
pencatatan lagi pada 15 menit pertama infusi, kemudian diikuti dengan monitoring tanda klinis
setiap satu jam.
2
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SURABAYA
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2016
KCl sebaiknya diberikan iv jika pasien tidak bisa makan dan mengalami hipokalemia
berat.
Secara umum, jangan tambahkan KCl ke dalam botol infus. Gunakan sediaan siap-pakai
dari pabrik. Pada koreksi hipokalemia berat (< 2 mmol/L), sebaiknya gunakan NaCl,
bukan dekstrosa. Pemberian dekstrosa bisa menyebabkan penurunan sementara K+ serum
sebesar 0,2—1,4 mmol/L karena stimulasi pelepasan insulin oleh glukosa.
Infus yang mengandung KCl 0,3% dan NaCl 0,9% menyediakan 40 mmol K+ /L. Ini
harus menjadi standar dalam cairan pengganti K+.
Volume besar dari normal saline bisa menyebabkan kelebihan beban cairan. Jika ada
aritmia jantung, dibutuhkan larutan K+ yang lebih pekat diberikan melalui vena sentral
dengan pemantauan EKG. Pemantauan teratur sangat penting. Pikirkan masak-masak
sebelum memberikan > 20 mmol K+/jam.
Konsentrasi K+ > 60 mmol/L sebaiknya dihindari melalui vena perifer, karena cenderung
menyebabkan nyeri dan sklerosis vena.
3
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SURABAYA
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2016
DAFTAR PUSTAKA
Brunton, L. (2011). Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics (Vol. 12th
Edition). United States: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Hauser, S., & Asbury, A. (2008). Harrison’s Principle of Internal Medicine. Mc.Graw-Hill .
Hughes, R. (2007). Immunotherapy for Guillain-Barre Syndrome: a systematic review. Brain 130, 2245-
2257.
Hughes, R., & Swan, A. v. (2014). Intravenous immunoglobulin for Guillain-Barré syndrome. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2014, Issue 9.
Hughes, R., A.V, S., & Van Doorn, P. (2010). Intravenous Immunoglobulin for Gullain Barre Syndrome
Review. The Cochrane Collaboration.
Katzung, B. G., & Trevor, A. J. (2015). Basic & Clinical Pharmacology (Vol. Thirteenth Edition). United
states: McGraw-Hill Education.
Lacy, CF, Armstrong, LL, Goldman, LP, Lance, LL, 2011, Drug Information Handbook,Lexi-
Comp, USA.
Varannes, S., Coron, e., & Galmiche, J. (2010). Short and long term PPI treatment for GERD. Do we
need more potent anti secretory drugs?
Sweetman, SC 2009, Martindale The Complete Drug Reference, 36th edChicago: Pharmaceutical
Press
Trissel, l. A., 2009. Handbook on Injectable Drugs. Bethesda: American Society of Health-
System Pharmacist
Willison, H. J., Jacobs, B. C., & Doorn, P. A. (2016). Guillain-Barré syndrome (Vol. Vol 388, 717–27).
UK: The Lancet .