Anda di halaman 1dari 8

Maksud Allah di Balik

Penderitaan
Pembacaan:
Lukas 13:1-5 “Dosa dan penderitaan”
Selama beberapa minggu belakangan ini, tidak bisa dipungkiri, pikiran
kita sedang tertuju ke wilayah Sulawesi Tengah, khususnya di kota
Palu, Donggala, dan beberapa wilayah sekitarnya. Musibah demi
musibah datang menghantam tanah kelahiran dari sebagian besar kita
yang hadir di ruangan ini sore hari ini. Gempa yang begitu keras,
menimbulkan tsunami, diikuti sebuah fenomena alam “Likuifaksi” di
mana ketika tanah terbelah, maka air yang ada di bawah permukaan
tanah keluar dan memperparah kerusakan yang terjadi, dan fenomena
ini disebutkan sebagai yang terbesar yang pernah terjadi di dunia
modern sejauh ini. Permukaan tanah bergeseran hingga belasan
bahkan puluhan meter, jalanan hancur, bangunan runtuh, lereng-
lereng gunung longsor, kebakaran, dan berlanjut pada penjarahan di
sana-sini oleh orang-orang yang putus asa, dan kini berlanjut dengan
krisis kebersihan dan kesehatan akibat banyaknya sampah dan jenazah
yang tidak bisa teratasi lagi.

Ketika beberapa tahun lalu terjadi musibah Tsunami di dataran


Sumatera, tersiar kabar yang begitu trending pada waktu itu, bahwa
musibah itu dianggap terjadi karena umat yang tidak percaya kepada
Kristus, melarang umat Kristen untuk merayakan Hari Natal di tengah
kota, sehingga mereka diharuskan untuk naik ke atas gunung dan
melakukan perayaan di sana. Dan ketika umat Kristen sedang
berkumpul di atas gunung, maka datanglah Tsunami, menghempas
mereka yang tidak percaya, yang di mata kita telah bersikap kasar
kepada umat Allah.

Saudara, waktu itu kita bisa berkata, seakan-akan itu adalah hukuman
Tuhan bagi mereka, hukuman atas sikap kasar mereka terhadap umat
Allah yang hendak beribadah. Waktu itupun saya cenderung berpikir
demikian. Dan kita berkata bahwa itu hukuman, karena di sana umat
Kristen hanya sebagian kecil dari total penduduk yang ada.

Namun, apa yang mau kita katakan sekarang, ketika Tuhan ijinkan
bencana yang bahkan lebih dahsyat dari yang pernah terjadi dahulu,
kini terjadi di tengah-tengah kota tempat begitu banyak umat Tuhan
yang percaya kepada-Nya tinggal dan secara rutin beribadah kepada
Allah?

Apa yang hendak kita katakan? Apa yang Tuhan maksudkan dari semua
ini? Sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya, mengapa Tuhan
ijinkan umat-Nya menderita, bahkan kehilangan nyawa-Nya dalam
sekejap mata dengan cara yang amat tragis.

Ada isu yang sementara ini ramai di media sosial, bahwa peristiwa
bencana yang terjadi di Palu dan sekitarnya ada kaitannya dengan
ritual adat yang dilaksanakan secara resmi di dalam bentuk festival
budaya yang dirancangkan oleh bapak Walikota Palu, sehingga mulai
ada suara-suara yang menyalahkan bencana ini kepada bapak walikota
dan wakilnya, dan meminta mereka turun dari jabatan. Tapi, benarkah
ini semua adalah akibat perbuatan manusia? Layakkah kita
menyalahkan mereka atas penderitaan yang akhirnya harus dialami
oleh ribuan warga Sulawesi Tengah?
Sore hari ini, kita mau belajar bersama, bahwa di balik setiap
penderitaan yang dialami manusia, ada pesan yang
sebenarnya ingin Tuhan sampaikan kepada kita. Kita perlu
mendengarkan pesan tersebut, supaya kita tahu apa maksud
Tuhan bagi kita ketika kita diijinkan untuk menyaksikan
bahkan mengalami penderitaan terjadi di tengah umat yang
percaya.
Apa pesan yang Yesus ingin sampaikan kepada kita melalui setiap
penderitaan yang kita saksikan terjadi di tengah-tengah umat yang
percaya kepada-Nya?

Mari kita ikuti satu bagian firman Tuhan dalam Injil Lukas 13:1-5.
(bacakan Alkitab bagi jemaat).

Apa yang terjadi dalam pembacaan ini?

Ada beberapa orang datang kepada Yesus. Mereka membawa kabar


mengenai orang-orang Galilea yang dibunuh atas perintah Pilatus,
pada saat mereka sedang mempersembahkan korban di rumah
ibadah. Ini terlihat dari ungkapan “orang-orang Galilea, yang darahnya
dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka
persembahkan”. Dalam artian, darah mereka tertumpah di tempat
penyembelihan kurban, dan tercampur dengan darah kurban yang
sedang mereka persembahkan.

Mengapa hal ini sampai terjadi? Dari sudut pandang sejarah, kita
mendapati beberapa fakta yang mungkin melatarbelakangi peristiwa
tersebut. Pada waktu itu, Pilatus, yang adalah Gubernur Romawi untuk
wilayah Yudea, sedang dalam keadaan bermusuhan secara politik
dengan Raja Herodes, yang adalah pemimpin wilayah Galilea pada
waktu itu. Juga, tercatat pada kitab Kisah Para Rasul, nama Yudas,
seorang Galilea, yang adalah seorang pemberontak pada masa itu.
Mungkin saja, orang-orang yang dibunuh oleh Pilatus ini diyakini
sebagai anggota dari kelompok pemberontakan Yudas.

Banyak alasan bisa dikemukakan untuk membuat Yesus mengiyakan,


bahwasanya orang-orang Galilea itu memang harus menderita dan
mati karena mereka berdosa. Tetapi bagaimana reaksi Yesus yang kita
lihat di dalam pembacaan tadi? Yesus berkata: “Sangkamu, orang-
orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang
Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! Kata-Ku
kepadamu.”

1. Jangan Menghakimi  Pesan pertama yang Yesus ingin


sampaikan kepada orang-orang yang datang pada-Nya dan juga
kepada kita sore hari ini adalah: “Jangan kita menghakimi”.
Dalam bahasa Yunani, Yesus menyebut orang-orang Galilea yang
mati tadi sebagai ‘hamartolos’ (a`martwlo,j), yang artinya
pendosa, orang yang tidak akan lepas dari dosa, orang yang benar-
benar jahat  artinya orang yang memang secara sadar berbuat
dosa dan kejahatan kepada sesamanya. Ada orang yang meski
berdosa, tetapi bukan penjahat, dalam arti mereka berdosa atas
tindakan mereka terhadap diri sendiri. Yesus tahu, bahwa orang-
orang yang datang ini menganggap bahwa orang-orang Galilea
yang mati ini adalah ‘hamartolos’, pendosa. Meski Yesus
mengetahui dosa yang dilakukan oleh orang-orang yang disiksa
dan dibunuh oleh Pilatus ini, tapi Yesus tidak sekalipun
membenarkan sikap menghakimi yang Yesus tahu ada dalam diri
orang-orang yang datang kepada-Nya.
Saudara, bagaimana dengan hidup kita sejauh ini? Bukankah kita
juga terkadang seperti ini? Kita terkadang juga berusaha menelaah
penderitaan yang harus dialami oleh orang-orang di sekitar kita.
Kita mungkin menghakimi orang lain ketika melihat penderitaan
dan musibah yang mereka alami, berarti mereka mengalaminya
karena dosa. Semakin naasnya seseorang mati dalam musibah,
seakan-akan menunjukkan betapa besarnya dosa dan kejahatan
mereka di hadapan Tuhan. Peristiwa yang terjadi di Palu dan
sekitarnya seharusnya mengingatkan kita, bahwa kita tidak
sedang dalam posisi untuk menghakimi sesama kita. Mana
mungkin kita dibenarkan untuk menghakimi para korban, yang
bisa saja adalah saudara kita sendiri, keluarga kita, rekanan dekat,
atau sesama jemaat Tuhan di gereja Bala Keselamatan? Tuhan
tidak menghendaki kita untuk menghakimi sesama. Kita sama
sekali tidak dibenarkan untuk menghakimi.
2. Penderitaan terjadi bukan semata-mata karena dosa  Pesan
kedua yang Yesus ingin sampaikan kepada kita adalah bahwa
penderitaan terjadi bukan semata-mata karena dosa.
Yesus mengingatkan orang-orang tadi mengenai sebuah peristiwa
yang tampaknya belum lama terjadi sebelumnya. Menara di dekat
Kolam Siloam, tempat orang-orang percaya menantikan
kesembuhan, rubuh dan menimpa orang-orang yang sedang
menantikan kesembuhan. 18 orang meninggal secara tragis dalam
peristiwa itu. Yesus berkata kepada orang-orang yang datang
kepada-Nya, “Atau sangkamu kedelapan belas orang, yang mati
ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya dari pada
kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem? Tidak! Kata-
Ku kepadamu.”
Yesus ingin orang-orang tersebut menyadari, bahwa ketika mereka
menghakimi orang lain dengan berkata bahwa kematian yang naas
itu menggambarkan besarnya dosa, maka tentu mereka
beranggapan yang sama terhadap orang-orang yang mati di kolam
Siloam. Mengapa? Ya karena kedelapan belas orang tersebut mati
dengan cara yang sangat mengenaskan! Bisa jadi, ketika peristiwa
itu terjadi, orang-orang ini telah sempat berpikir, dosa besar yang
bagaimanakah kira-kira yang telah kedelapan belas orang ini
lakukan, sehingga mereka kena hukuman Allah. Tetapi pada
akhirnya mereka tidak menemukan jawabannya. Karena,
kedelapan belas orang ini tentunya tidak berasal dari satu daerah,
dan akhirnya disimpulkan bahwa kematian mereka bukan karena
dosa.
Yesus ingin kita mengingat bahwa penderitaan, bahkan kematian
tidak terjadi semata-mata hanya karena dosa. Ada begitu banyak
faktor lain yang bisa menyebabkannya, dan pada saat inipun, Yesus
tidak mendorong orang-orang tersebut untuk mencari faktor-
faktor apakah itu. Yang Yesus inginkan adalah kita belajar untuk
tidak menilai seseorang, bila ia menderita, lalu mati dengan cara
yang tidak lazim, maka itu disebabkan oleh karena dosa.
Ketika Yesus menegaskan bahwa pemikiran orang-orang tersebut
salah, Yesus berkata: “Tidak! Kataku kepadamu.” Kalimat ini,
dalam bahasa Yunani, menjadi lebih jelas penekanannya. Kata
‘tidak’, dalam bahasa Yunani adalah ‘ouchi’, yang artinya ‘tidak
sama sekali’ atau ‘tidak demikian maksudnya’.
Yesus menunjukkan ketidaksetujuannya atas pemikiran yang
demikian. Pemikiran yang demikian bukan saja keliru, tapi
memang tidak benar sama sekali.
Bagi kita yang hidup di masa kini, kita sendiri juga perlu mengubah
pola pikir kita. Mungkin selama ini kita sempat berpikiran seperti
orang-orang yang datang kepada Yesus. Kita menyangka
penderitaan dan bagaimana seseorang meninggal bisa
mengidentifikasikan dosa dalam dirinya. Sekarang, saudara-
saudara kita menderita. Beberapa di antara mereka harus
meninggal dengan cara yang sama sekali tidak wajar. Masihkah
kita bertahan dengan pemikiran ini? Tuhan sudah katakan,
penderitaan terjadi bukan semata-mata karena dosa.
3. Bertobat  Pesan ketiga yang Yesus sampaikan kepada kita sore
hari ini adalah agar umat Tuhan bertobat. Mengapa saya katakan
bahwa bertobat adalah bagian dari pesan yang penting yang Yesus
ingin sampaikan pada kita?
Perhatikanlah, bahwa dalam 5 ayat pembacaan perikop ini, 2 kali
berturut-turut Yesus menyampaikan hal ini (ayat 3b dan ayat 5b).
2 kali Yesus mengingatkan kita, dan 2 kali pula Yesus
menyampaikan akibatnya bila kita tidak mau bertobat.
“Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas
cara demikian.”
Yesus memakai peristiwa penderitaan yang dialami oleh sesama
kita, bukan supaya kita menarik kesimpulan bahwa yang
meninggal tragis itu adalah mereka yang berdosa. Yesus
mengijinkan kita menyaksikannya supaya kita sadar bahwa sebagai
manusia berdosa, tidak ada di antara kita yang tahu kapan Tuhan
akan panggil kita pulang, dan syarat pertama untuk bisa siap
‘pulang’ dan menghadap kepada Bapa di surga adalah dengan kita
bertobat.
Semua ajaran yang Yesus sampaikan kepada manusia selama Ia
hidup di dunia bermaksud agar kita, yang mendengarnya, baik di
masa lalu, maupun di masa kini, mau bertobat dan menerima Dia
sebagai Juru Selamat. Yesus ingin orang-orang yang datang
kepada-Nya menyadari bahwa pada akhirnya, manusia akan
binasa, dan bisa saja binasa seperti mereka yang mengalami
penderitaan dan kematian yang tragis, bila kita tidak bertobat dan
menerima Yesus. Ketika Yesus mengucapkan “Jikalau kamu tidak
bertobat”, Yesus mengubah pusat pembicaraan orang-orang
tersebut, dari yang berbicara mengenai orang yang telah mati,
kepada pembicaraan mengenai kehidupan mereka masing-
masing. Yesus mengingatkan, betapa kita seringkali menghabiskan
waktu memikirkan hal yang tidak perlu kita pikirkan mengenai
orang lain, sehingga kita lupa memikirkan, bahwa nasib kita di
kemudian hari juga ditentukan dari keputusan dan tindakan yang
kita lakukan hari ini. Yesus mengingatkan, bila hari ini mereka
belum bertobat, bila hari ini kita belum bertobat, maka jangan
menunda-nunda, sebab tidak ada yang tahu kapan waktunya
tiba-tiba bencana itu datang.
Mengakhiri perenungan kita pada sore hari ini, marilah kita semakin
peka terhadap firman Tuhan yang Ia sampaikan melalui peristiwa-
peristiwa di sekitar kita. Ketika Tuhan mengijinkan kita menyaksikan
peristiwa-peristiwa yang tidak dapat kita pahami secara manusia,
biarlah kita peka dan menyadari bahwa sesungguhnya semua itu
Tuhan maksudkan agar kita mengakui bahwa Dia memang adalah
Maha Kuasa atas kehidupan kita. Penderitaan yang terjadi di tengah
kehidupan umat Allah tidak dimaksudkan agar kita menghakimi
sesama kita, mencari siapa yang salah dan menilai bahwa penderitaan
itu adalah akibat dari pada dosa, tetapi agar kita semua bertobat dan
kembali kepada Kristus, Tuhan kita.

Anda mungkin juga menyukai