Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PENGANTAR EKONOMI ISLAM

“DASAR HUKUM EKONOMI ISLAM”

Dibuat untuk melengkapi nilai harian matakuliah


Pengantar Ekonomi Islam

Disusunoleh:
1. Anna Uswatun K / 4.42.15.1.04
2. BerlianaPutri C / 4.42.15.1.05

POLITEKNIK NEGERI SEMARANG

TAHUN AKADEMIK 2015/2016


A. HAKIKAT ZAKAT

Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu vertikal dan horizontal. Zakat
merupakan ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (hablu minallah; vertikal) dan
sebagai kewajiban kepada sesama manusia (hablu minannaas; horizontal).
Zakat juga sering disebut sebagai ibadah kesungguhan dalam harta (maaliyah
ijtihadiyah). Tingkat pentingnya zakat terlihat dari banyaknya ayat yang menyandingkan
perintah zakat dengan perintah shalat.
Zakat merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan
salah satu implementasi asas keadilan dalam sistem ekonomi Islam. Zakat mempunyai enam
prinsip, sebagai berikut :
1. Prinsip keyakinan keagamaan, yaitu bahwa orang yang membayar zakat merupakan salah
satu manifestasi dari keyakinan agamanya.
2. Prinsip pemerataan dan keadilan; merupakan tujuan sosial zakat, yaitu membagi kekayaan
yang diberikan Allah lebih merata dan adil kepada manusia.
3. Prinsip produktivitas, yaitu menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena milik
tertentu telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat jangka waktu tertentu.
4. Prinsip nalar, yaitu sangat rasional bahwa zakat harta yang menghasilkan itu harus
dikeluarkan.
5. Prinsip kebebasan, yaitu bahwa zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas atau merdeka
(hurr).
6. Prinsip etika dan kewajaran, yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena, tapi melalui
aturan yang disyariatkan.

Sedangkan tujuan zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi. Zakat
merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk
dialokasikan kepada si miskin.

Zakat merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang sangat penting di zaman
Nabi. Zakat sangat berpotensi menghilangkan konsentrasi kekayaan di kalangan elit ekonomi
tertentu. Tidak hanya itu, ia juga berpotensi meningkatkan produktivitas masyarakat dan
konsumsi total. Jika dikelola secara profesional, apalagi jika ada dukungan politik yang kuat
dari pemerintah (Indonesia), instrumen ekonomi ini juga dipercaya mampu mengurangi
tingkat pengangguran dan kemandirian ekonomi.
Di bawah genggaman ekonomi neo-liberal seperti saat ini, masyarakat muslim
Indonesia seharusnya mampu mengoptimalkan pendayagunaan zakat bagi kesejahteraan
umum. Sayangnya, pengelolaan zakat masih menyisakan beberapa kendala konseptual dan
teknis. Salah satu akar persoalannya ada pada formalitas zakat. Artinya, zakat hanya diangap
sebagai kewajiban normatif, tanpa memperhatikan efeknya bagi pemberdayaan ekonomi
umat. Akibatnya, semangat keadilan ekonomi dalam implementasi zakat menjadi hilang.
Orientasi zakat tidak diarahkan pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, tapi lebih karena ia
merupakan kewajiban dari Tuhan. Bahkan, tidak sedikit muzakki yang mengeluarkan zakat
disertai maksud untuk menyucikan harta atau supaya hartanya bertambah (berkah). Ini
artinya, muzakki membayarkan zakat untuk kepentingan subyektivitasnya sendiri. Memang
tidak salah, tapi secara tidak langsung, substansi dari perintah zakat serta efeknya bagi
perekonomian masyarakat menjadi terabaikan.

B. PELARANGAN RIBA

Adapun dalil yang terkait dengan perbuatan riba, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Di antara ayat tentang riba adalah sebagai berikut:

‫ضنعفن ةةة ًۭ نوٱتلحقوُاا ٱللن لننعللحكفم تحففللححوُنن‬ ‫ضيِونأ نميِهناًۭ ٱلللذيِنن نءانمحنوُاا نل تنأفحكحلوُاا ٱلرربن ض ووُاا أن ف‬
‫ضضنع ةفةاًۭ مم ض ن‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” QS Ali Imran : 130.

‫س ِّ ضنذلل ن‬
‫ك بلأ ننلهحفم قناًۭلحووُاا إلنلنماًۭ ٱفلبنفيحع لمفثحل ٱلرربنضوُاا ۟ نوأننحييلل ٱللحيي ٱفلبنفييينع‬ ‫طحن لمنن ٱفلنم ر‬‫ٱلللذيِنن يِنأفحكحلوُنن ٱلرربنضوُاا نل يِنحقوُحموُنن إللل نكنماًۭ يِنحقوُحم ٱلللذىِ يِنتننخبلطحهح ٱللشفي ض ن‬
‫و‬
‫ب ٱلنلاًۭلر ًۭ هحفم لفيهناًۭ ضنخللحدونن‬ ‫ك أن ف‬
‫صضنح ح‬ ‫ف نوأنفمحر وهۥُح إلنلىَ ٱللل ًۭ نونمفن نعاًۭند فنأ حاوضلنئل ن‬ ‫نونحلرنم ٱلرربنضوُاا ِّ فننمن نجآَنءهۥُح نمفوُلع ن‬
‫ظ ةةة رمن لربرلهۦِ نفٱَنتنهنضىَ فنلنهۥُح نماًۭ نسلن ن‬

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.” QS:2: 275,
‫ب حكلل نكفلاًۭمر أنلثيمم‬ ‫صند ضقن ل‬
‫ت ۟ نوٱللح نل يِحلح م‬ ‫ق ٱللح ٱلرربنضوُاا نويِحفرلبىَ ٱل ل‬
‫يِنفمنح ح‬

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” QS Al-Baqarah : 276.

‫ضيِونأ نميِهناًۭ ٱلللذيِنن نءانمحنوُاا ٱتلحقوُاا ٱللن نونذحرواا نماًۭ بنقلنىَ لمنن ٱلرربن ض ووُاا لإن حكنحتم ممفؤلملنينن‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Al-Baqarah : 278).

‫ظللحموُنن نونل تح ف‬
‫ظلنحموُنن‬ ‫س أنفمضنوُللحكفم نل تن ف‬ ‫فنلإن للفم تنففنعحلوُاا فنأفنذحنوُاا بلنحفر ب م‬
‫ب رمنن ٱللل نونرحسوُلللهۦِ ًۭ نولإن تحفبتحفم فنلنحكفم حرحءو ح‬

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” QS Al-Baqarah :
279.

‫و‬
‫س فننل يِنفرحبوُاا لعنند ٱللل ًۭ نونمآَ نءاتنفيحتم رمن نزنكضوُبمة تحلريِحدونن نوفجهن ٱللل فنأ حاوضلنئل ن‬
‫ك هححم ٱفلحم ف‬
‫ضلعحفوُنن‬ ‫ا‬
‫نونمآَ نءاتنفيحتم رمن رر ةبةاًۭ لرينفربحنوُا فلوىَ أنفمضنوُلل ٱلنلاًۭ ل‬

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” QS. Rum : 39.

Dan di antara hadits yang terkait dengan riba adalah :

‫ هحفم نسنوُاةء‬: ‫ نونشاًۭلهندفيِله نوقناًۭنل‬، ‫ نونكاًۭتلبنهح‬، ‫ نوحموُلكلنهح‬، ًۭ‫ آلكنل الرربنا‬: ‫اح نعلنفيله نونسللنم‬
‫صللىَ ل‬ ‫ لننعنن نرحسوُحل ل‬: ‫اح نعفنهح قناًۭنل‬
‫ال ن‬ ‫ضني ل‬
‫نعفن نجاًۭبلمر نر ل‬

Dari Jabir r.a Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya,
penulisnya dan dua saksinya. HR. Muslim.

C. GHARAR
1. Pengertian dari Gharar
Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu
pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan objek akad.
Dalam kitab fikih, gharar berasal dari kata Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah
al-khathar (pertaruhan) dan menghadang bahaya.[2] Sehingga Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah).[3]
Sedangkan menurut Al-Musyarif, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-
jahalah (ketidakjelasan) serta jual beli dalam bahaya, yang tidak diketahui harga, barang,
keselamatannya, dan kapan memperolehnya, dan hal ini termasuk dalam kategori
perjudian.
Menurut ahli bahasanya lainnya, jual beli gharar adalah jual beli yang lahirnya
menggiurkan pembeli sedangkan isinya tidak jelas. Al-Azhari menyatakan: “Termasuk
dalam jual beli gharar semua jual beli tidak jelas yang mana kedua pihak berakad tidak
mengetahui hakikatnya sehingga ada faktor atau pihak lain yang menjelaskannya.

2. Dalil tentang Pelarangan Gharar


Jika dalam dasar hukum gharar adalah batil, dan yang dimaksudkan adalah gharar
yang dilarang dan diharamkan berdasarkan beberapa rujukan hadist antara lain:
Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar.
Menjual suatu barang dengan mengecualikan sebagiannya, kecuali yang dikecualikan itu
telah diketahui keberadaannya. Misalnya jika seorang menjual kebun, maka tidak
diperbolehkan baginya mengecualikan sutau pohon yang tidak diketahui karena
didalamnya mengandung unsur penipuan dan ketidakjelasan yang diharamkan.
“Rasulullah SAW telah melarang jual beli muhaqalah, muzabanah dan tsunayya, kecuali
jika telah diketahui” (HR At Tirmizi).

3. Hukum-hukum Gharar dan Hikmah dari Adanya Larangan Jual-Beli Gharar


Berdasarkan hukumnya gharar terbagi menjadi tiga:
 Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar yang menyolok (al-gharar
al-katsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan dan tidak perlu dilakukan. Contoh jual
beli ini adalah jual beli mulaamasah, munaabadzah, bai’ al-hashah, bai’ malaqih, bai’
al-madhamin, dan sejenisnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang
keharaman dan kebatilan akad seperti ini.
 Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar ringan (al-gharar al-yasir).
Para ulama sepakat, jika suatu gharar sedikit maka ia tidak berpengaruh untuk
membatalkan akad. Contohnya seseorang membeli rumah dengan tanahnya.
 Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau
kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti
wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya. Para ulama sepakat tentang
keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam
menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka diantaranya
Imam Malik memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya
dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya.

Karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap permusuhan pada orang
yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan kerugian yang besar kepada pihak lain. Oleh
karena itu dapat dilihat adanya hikmah larangan jual beli tanpa kepastian yang jelas
(Gharar) ini. Dimana dalam larangan ini mengandung maksud untuk menjaga harta agar
tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat jenis
jual beli ini.

4. Klasifikasi Gharar
Terdapat 4 (empat) konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahasan gharar
yaitu konsep game, zero sum-game, normal exchange (konsep pertukaran normal) dan
konsep resiko.
a. Game
Yang dimaksud adalah sebuah pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk
tujuan tertentu yang dalam terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi
qashd al-ribh.
b. Zero Sum Game
Seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah konsep
permainan yang hanya menghasilkan output win-lose (menang-kalah). Kemenangan
yang diperoleh satu pihak adalah secara terbalik kerugian bagi pihak lain. Hasil yang
diperoleh satu pihak tidak akan naik tanpa mengurangi hasil pihak lain. Dalam
ungkapan Friedman (1990, h. 20-21) bahwa zero sum-game adalah permainan
dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi kedua belah
pihak, tidak ada kerjasama. Disinilah terletak adanya unsur gharar sifat dari kontrak
berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang
rugi) juga mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir
ketika transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile)
pertukarannya dan sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak
berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas
jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance
(perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif. Disamping itu terlihat juga
bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidakseimbangan antara
hak dan kewajiban setiap pihak.
c. Normal Exchange
Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan kepuasaan bagi
kedua belah pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan istilah utility
dan profit maximis. Hal ini dapat dicapai jika marginal utility (kepuasaan
maksimum) yang dirasakan konsumen lebih besar dibandingkan harga barang yang
dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang yang dijual.
Berdasarkan asumsi diatas, jelas bahwa tujuan konsumen rasional dari kegiatan
konsumsinya adalah memaksimumkan kepuasaan materiil saja. Berarti seorang
konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa sehingga memperoleh kepuasaan
selalu menggunakan kerangka rasionalitas (bersifat duniawi). Dan dari pandangan
lain utiliti ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang
dikonsumsi, tetapi barang tersebut benar-benar diperlukan dan digunakan serta dapat
bermanfaat.
Dimana menurut islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi dalam teori
konsumsi tujuannya adalah untuk memperoleh maslahah terbesar, sehingga ia dapat
mencapai kemenangan dunia dan akhirat serta kesejahteraan jadi tidak hanya
kepuasaan materiil saja. Dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemasalahatan,
Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah baik
yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitis, kerusakan)
dalam meningkatkan kesejahteraan.[10] Jadi utilitas individu dalam islam sangat
tergantung pada utility individu lainnya (interpendent utility) sehingga dapat
terbentuk kemaslahatan.
d. Risk Concept
Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko. Menurut
Knight (1921) risiko menguraikan situasi dimana kemungkinan dari suatu peristiwa
(kejadian) dapat diukur. Karenanya, risiko ini dapat diperkirakan setidaknya secara
teoritis.

5. Dampak dari Gharar, Alasan Pelarangan Gharar beserta Contoh Singkatnya.


Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga kepentingan
manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar dalam
bisnis Islam mempunyai peranan yang begitu hebat dan menjamin keadilan.
Ketidaktentuan dan ketidakjelasan berkenaan timbul khususnya daripada aspek-
aspek berikut:
 Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;
 Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan ataupun
tidak;
 Kaedah transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas tetapi menarik perhatian
sehinggakan mungkin wujud elemen penipuan bagi menarik pihak-pihak untuk
bertransaksi;
 Akad atau kontrak yang mendasari sesuatu transaksi itu sendiri sifatnya tidak jelas.

Contoh jual-beli gharar ini adalah membeli atau menjual anak lembu yang masih di
dalam perut ibunya. Menjual burung yang terbang di udara. Ia menjadi gharar karena
tidak dapat dipastikan. Yang menjadi pertanyaan adalah Sempurnakah janin yang akan
dilahirkan, dapatkah ditangkap burung itu. Maka, jika harga dibayar, tiba-tiba barangnya
tidak sempurna, lalu pembeli tidak puas hati hingga terjadi permusuhan dan keributan.
Islam melarang gharar untuk menghindari kejadian seperti ini. Akan tetapi, Islam
memaklumi gharar yang sedikit yang tidak dapat dielakkan.

Contoh berikutnya, Gharar/ketidakjelasan bisa terjadi pada asuransi konvensional,


dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia
tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang
Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan
meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara
materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung
merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui
seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan
jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan
suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa
perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.

D. MAISIR
1. Pengertian dari Maisir dan Dalil yang Mendasari Pelarangannya
Kebiasaannya perjudian (maisir) menerangkan permainan yang memberi peluang
pada nasib daripada permainan yang menunjukkan skill kemahiran. Walaupun perjudian
ini biasanya dimotivasikan dengan kegembiraan, pada masa yang sama mendapat
ganjaran yang berganda, namun terdapat risiko transaksi yang dimotivasikan oleh insentif
sebenar. Kita sudah maklum bahawa maisir telah diamalkan sejak zaman Arab Jahiliyyah
untuk membantu kepada orang yang susah dan memberi kepada orang yang memerlukan.
Perbedaan antara perjudian dan gharar di dalam transaksi ialah telah
mengurangkan, dan oleh itu ahli ekonomi telah menyedari akan struktur pada kedua-
duanya. Menurut pendapat Ahli Ekonomi Goodman (1995): Pertambahan peningkatan
bagi bisnes perjudian di dalam beberapa tahun dilihat melebarkan banyak masalah di
dalam Ekonomi Amerika terutamanya kecenderungan perkembangan mengendalikan
nasib ekonomi yang dilihat bertentangan dengan asas kemahiran dan kerja sebenar.
Maysir atau Qimar secara harfiah bermakna judi. Secara tekniknya adalah setiap
permainan yang di dalamnya disyaratkan adanya sesuatu (berupa loteri) yang diambil dari
pihak yang kalah untuk pihak yang menang.
Agar bisa dikategorikan judi maka harus ada 3 unsur untuk dipenuhi:
1. Adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi.
2. Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang
kalah.
3. Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan,
sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya.
Jika 3 syarat diatas terpenuhi maka termasuk kategori judi dan Islam mengharamkannya.
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (al-maysir),
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan
(Al-Maidah 90)
Disebutkan bahawa istilah lain dari judi adalah spekulasi. Hal ini biasa terjadi dalam
bursa saham. Setiap menitnya selalu saja terjadi transaksi spekulasi yang sangat
merugikan penerbit saham. Setiap perusahaan yang memiliki right issue selalu saja
didatangi para spekulasi. Ketika harga saham suatu badan usaha sedang jatuh maka
spekulan buru-buru membelinya sedangkan ketika harga naik para spekulan menjualnya
kembali atau melepas ke pasar saham. Hal ini sering membuat indeks harga saham
gabungan menurun dan mempeburukkan perekonomian bangsa.
Makna Bahasa: Maisir dan Undian. Maisir dan qimar adalah dua kata dalam bahasa
Arab yang artinya sama,yaitu menjadi judi. Makna Istilah: Maisir dan Undian.
Berikut beberapa definisi judi (Maisir/Qimar) :
Menurut Ibrahim Anis dalam Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 758 menyatakan bahawa
judi adalah setiap permainan (la’bun) yang mengandung taruhan dari kedua pihak
(muraahanah).
Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya Rawa’i’ Al-Bayan fi
Tafsir Ayat Al-Ahkam (I/279),menyebut bahawa judi adalah setiap permainan yang
menimbulkan keuntungan (rabh) bagi satu pihak dan kerugian (khasarah) bagi pihak
lainnya.
Beberapa definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi, sehingga darinya dapat
disimpulkan sebuah definisi judi yang menyeluruh. Jadi, judi adalah segala permainan
yang yang mengandung unsur taruhan (harta/materi) dimana pihak-pihak yang menang
mengambil harta/materi dari pihak yang kalah.
Dengan demikian, dalam judi terdapat tiga unsur :
1. Adanya taruhan harta/materi (yang berasal dari kedua pihak yang berjudi).
2. Ada suatu permainan, yang digunakan untuk menetukan pihak yang menang dan
yang kalah.
3. Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya/kelipatan) yang menjadi
taruhan (murahanah), sedang pihak yang kalah akan kehilangan hartanya.

E. Dzat yang Dilarang dan Argumentasi atas Pelarangannya


Dalam Qur’an beberapa dzat yang dilarang, diantaranya : alkohol (khamr), babi, darah,
dan bangkai. Tentang ini bisa dilihat pada ayat al Quran : Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka
bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.”
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS Al
Baqoroh: 219).
Juga pada ayat yang lain disebutkan : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan
atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut
nama selain Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak
menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (QS An Nahl 115)
Menyinggung sedikit tentang masalah rokok, karena Muhammadiyah belum lama ini
mengeluarkan fatwa haramnya rokok. oleh karena itu, disini akan dijelaskan sedikit secara
saintifik, mengapa zat-zat tersebut haram. Kira-kira seperti apa penjelasannya, sehingga
masyarakat tidak hanya tau bahwa hukumnya haram, tetapi juga alasan mengapa zatnya
diharamkan. Diharapkan dengan adanya penjelasan secara saintifik, akan menambah
keyakinan akan haramnya zat-zat yang memang dinyatakan haram tersebut.
Ketika menjelaskan manfaat dan mudharat alkohol, maka sudah banyak dipersiapkan
bahan perihal alkohol tersebut. Tentang bahaya alkohol telah banyak diperbincangkan di
berbagai kesempatan. Benar adanya jika dikatakan pada jumlah tertentu dan bentuk tertentu,
alkohol bermanfaat. Alkohol memang merupakan pelarut yang baik untuk banyak jenis obat,
alkohol juga penyari yang baik bagi zat-zat dari dalam tanaman. Ia juga punya efek antiseptik
(untuk pemakaian luar). Tetapi bahayanya memang lebih besar daripada manfaatnya. Di
banyak kesempatan para ahli menyarankan pada jama’ah/masyarakat luas untuk jeli jika
memilih obat dalam bentuk sirup yang kadang mengandung etanol/alkohol sebagai pelarut.
Walaupun mungkin tidak sampai memberikan efek memabukkan, tetapi untuk prinsip kehati-
hatian lebih baik dihindarkan, kecuali jika memang tidak ada pilihan yang lain. Adapun cara
untuk mengetahui obat yang akan digunakan bebas alkohol atau tidak bisa dengan
menanyakannya terlebih dahulu kepada apoteker yang lebih mengerti mengenai obat-obatan
tersebut.
Juga tentang rokok yang lebih banyak merugikan daripada bermanfaat, rasanya tidak
terlalu sulit karena banyak informasinya. Korelasi paparan rokok dengan kejadian kanker
paru dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) mudah dijumpai di mana-mana. Bangkai
dan darah juga demikian, relatif tidak kesulitan. Dan dalam babi sendiri terkandung cacing
pita, yang mana mudharatnya lebih besar daripada manfaat yang didapat. Dalam ekonomi
Islam segala sesuatu yang dilakukan harus halalan toyyiban, yaitu benar secara hukum Islam
dan baik dari perspektif nilai dan sesuatu yang jika dilakukan akan menimbulkan dosa. Haram
dalam hal ini bisa di kaitkan dengan zat atau prosesnya dalam hal zat, Islam melarang
mengonsumsi, memproduksi, mendistribusikan, dan seluruh matarantainya terhadap beberapa
komoditas dan aktivitasnya.

F. Sumber Hukum Ekonomi Islam


Ekonomi islam memiliki beberapa sumber dasar hukum sebagai berikut :

1. Al-Qur'an

Al-Quran adalah sumber pertama dan utama bagi ekonomi syariah. Al-Qur’an juga
memberikan hukum-hukum ekonomi yang sesuai dengan tujuan dan cita-cita ekonomi
Islam itu sendiri. Al-Qur’an memberi hukum-hukum ekonomi yang dapat menciptakan
kesetabilan dalam perekonomian itu sendiri.
Di dalamnya dapat ditemui hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan juga
terdapat hukum-hukum dan undang-undang diharamkannya riba, dan diperbolehkannya
jual beli yang tertera pada surat Al-Baqarah ayat 275:

‫س ضنذلل ن‬
‫ك بلأ ننلهحفم قناًۭحلوُا إلنلنماًۭ افلبنفيييحع لمفثييحل الرربنيياًۭ نوأننحييلل‬ ‫الللذيِنن يِنأفحكحلوُنن الرربناًۭ نل يِنحقوُحموُنن إللل نكنماًۭ يِنحقوُحم الللذيِ يِنتننخبلطحهح اللشفي ن‬
‫طاًۭحن لمنن افلنم ر‬
‫ب النيلياًۭلرهحفم‬ ‫ك أن ف‬
‫صينحاًۭ ح‬ ‫ال نونمييفن نعياًۭند فنحأو ضلنلئي ن‬ ‫ف نوأنفمحرهح إلنلىَ ل‬ ‫اح افلبنفينع نونحلرنم الرربناًۭ فننمفن نجاًۭنءهح نمفوُلع ن‬
‫ظةة لمفن نربرله فناًۭفنتنهنضىَ فنلنهح نماًۭ نسلن ن‬ ‫ل‬
٢٧٥:‫﴾لفيهناًۭ نخاًۭللحدونن ﴿البقرة‬

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.”

2. Hadist dan sunnah

Secara harfiah diartikan sebagaai cara, kebiasaan, maupun adat istiadat. Hal ini
diambil dari perilaku Nabi SAW dengan menjadikannya sebuah teladan dan biasanya
didasarkan atas praktek normatif masyarakat di zaman tertentunya. Tetapi sunnah perlu
dibedakan dengan hadist yang biasa diambil dari cerita singkat mengenai informasi apa
yang telah dikatakan, dan yang lainnya ataupun tidak disetujui oleh Nabi SAW begitu
pula dengan informasi terkait sahabat - ahabatnya. Dengan demikian hadist biasanya
bersifat teoritik, sementara sunnah merupakan pemberitahuan yang sesungguhnya.

Hadist biasanya bukan sekedar norma - norma hukum melainkan kepercayaan dan
asas - asas keagamaan. Sedangkan sunnah merupakan praktik dengan norma - norma
perilaku kesehariannya. Dicontohkan semisal dalam Al Qur’an menyebut mengenai
shalat dan zakat, setelah itu Nabi SAW yang melanjutkan dengan menulis rincian -
rinciannya yang dijelaskan kepada pengikutnya secara praktis. Meskipun banyak
pertentangan yang terjadi tetapi pengertian sunnah itu bisa merupakan bahan baru yang
perlu dipertimbangkan dan dicerna karena proses penafsiran yang dilakukan secara
perlahan oleh para sahabat-sahabat sendiri, dan berbagai ketentuan dasar dari kitab suci
Al Qur’an. Penafsiran dari hadist dan sunnah perlu memperhatikan perspektif dari sejarah
dan arti penting fungsionalnya dalam konteks sejarah.

3. Ijma'
Ijma' merupakan sumber ketiga dari hukum islam. Dilihat dari perbedaan antara
sunnah dengan ijma’ yaitu dari konseptual yang terletak pada kenyataanya bahwa sunnah
terkait ajaran - ajaran Nabi SAW kemudian diperluas para sahabat karena mereka sumber
panyampaiannya. Ijma’ merupakan prinsip isi hukum baru yang timbul karena akibat
perlakuan penalaran dan logika untuk mengahadapi masyarakat yang menyebar luas.
Ijma’ bukan dimaksudkan untuk melihat kebenaran yang terjadi dimasa kini maupun di
masa depan melainkan juga membina adanya kebenaran dimasa lampau. Ijma’ pula yang
menetukan bahwa sunnah itu bagaimana cara penafsirannya dalam Al Qur’an. Sedangkan
untuk analisis terkahir dari Al Qur’an dan sunnah keasilannya dibuktikan melalui ijma’.
Oleh karena itu ijma’ dianggap sebagai hal yang ampuh untuk memecahkan
kepercayaan maupun kerumitan yang terjadi pada umat islam. Adakalanya ijma’
merupakan kesahihan tertinggi, dimana keputusannya hanya dalam arti nisbi menolak
sesuai dengan kehidupan modern. Meskipun sifat ijma’ ini mempersatukan, tetapi masih
banyak perbedaan. Dengan demikian adanya perbedaan ini menandakan bahwa adanya
rahmat Tuhan didalamnya.

Ijma’ juga didasarkan hadist yang diungkapkan oleh Nabi SAW : “perbedaan
pendapat umatku, adalah pertanda adanya rahmat yang datang dari Tuhan. “ijma’ juga
bersifat suatu keharusan yang biasa disebut dengan ijma’ masyarakat. Sedangkan ijma’
yang disepakati oleh para ulama yang idgunakan untuk menciptakan perpaduan
perbedaan pendapat para ulama yang timbul akibat kegiatan individunya tersebut. Dalam
kepemilikan ijma’ tidak perlu melakukan penekanan pembenaran yang sifatnya otoriter.

4. Qiyas / Ijtihad

Dalam tekhnik ijtihad bisa diartikan meneruskan setiap usaha untujk menentukan
sedikit banyaknya kemungkinan persoalan sesuai syariat. Memiliki pengaruh hukum
yang berpendapat benar meski mungkin saja ada kekeliruan. Sedangkan untuk ruang
lingkup ijtihad dihitung dari wafatnya Nabi dengan delapan judul yang terpisah. Tujuh
diantaranya yaitu dari penafsiran terhadap ayat - ayat yang diwahyukan dengan metode
analogi, untuk yang kedelapan adlah kesimpulan yang memiliki arti lain yaitu penafsiran
ayat - ayat yang diwahyukan dengan penalaran. Di zaman islam terkini dengan adanya
ra’y (pendapat pribadi) dijadikan alat pokok ijtihad. Tetapi asas hukum ditetapkan secara
sistematik dan digantikan dengan adanya Qiyas. Kehidupan manusia, persoalan hidup,
dengan hukum yang dapat berubah sesuai keadaan maka diperlukan ijtihad. Untuk
peranan dari Qiyas adalah memperluas hukum ayat kepada soal yang tidak termasuk
dalam bidang syaratnya dengan alasan sebab efektif yang dianggap biasa bagi kedua hal
tersebut sehingga tidak dapat dipahami dengan pernyataan mengenai yang asli. Pada abad
pertengahan dinyatakan bahwa pintu ijtihad ditutup dan orang harus mengikuti suatu
mazhab yang telah terbentuk, kare na kecenderungan taqlid yang berarti penerimaan
sebuah pendapat lain dengan sepenuhnya tanpa adanya bukti. Hal ini dapat
mempengaruhi masyarakat dan orang mulai mengikuti suatu mazhab hukum. Karena dari
pendiri mazhab tersebut memiliki kemampuan besar dan ketelitian mendalam
mengusahakan berbagai pilihan logik dalam batas dengan ayat yang diwahyukan.
Menurut sunnah Nabi meskipun seseorang berbuat kesalahan dalam melakukan ijtihad
maka dai akan tetap memperoleh pahala. Tetapi jika perbuatannya tersebut sampai
menuju kepada kebenaran, maka pahalanya akan berlipat ganda. Syarat untuk melakuakn
ijtihad adalah memiliki pengetahuan yang baik tentang perintah Al Qur’an maupun
sunnah. Disiplin dalam etikanya, dengan kewajiban yang telah ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai