Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I

PENDAHULUAN

Elektrolit merupakan molekul ionisasi yang ditemukan dalam darah,


jaringan, dan sel-sel tubuh. Molekul ini, baik yang bermuatan positif (kation) dan
negatif (anion), mengkonduksi aliran listrik serta membantu keseimbangan pH
dan nilai asam basa dalam tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi aliran cairan di
antar dan di dalam sel melalui proses yang dikenal sebagai osmosis; serta
berperan serta dalam fungsi regulasi sistem neuromuskular, endokrin, dan
ekskresi.
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi
tubuh tetap sehat. Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah
merupakan salah satu bagian dari fisiologi homeostatis. Cairan dan elektrolit
merupakan bagian dalam tubuh yang berperan dalam memelihara fungsi dari
organ tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit sangat penting dalam proses
hemostasis baik untuk meningkatkan kesehatan maupun dalam proses
penyembuhan penyakit. Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi
dan perpindahan berbagai cairan tubuh. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam
tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke
seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi
yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh.
Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya,
jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya.
Terdapat beberapa elektrolit seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium,
dan klorida yang secara normal terdapat dalam tubuh. Elektrolit tersebut, yang
juga dikenal sebagai garam tubuh, diperlukan dalam jumlah tertentu di dalam
tubuh. Namun, terkadang kadar elektrolit dapat meningkat atau menurun dalam
keadaan tertentu. Hal ini yang dikenal sebagai gangguan elektrolit.
Gangguan elektrolit merupakan ketidakseimbangan antara garam ionisasi
tertentu (seperti, natrium, kalium, kalsium, dan magnesium) dalam darah. Obat-
obatan, penyakit kronik, dan trauma (seperti luka bakar, fraktur, dan lain-lain)
dapat menyebabkan konsentrasi elektrolit tertentu dalam tubuh menjadi terlalu
2

tinggi (hiper-) atau terlalu rendah (hipo-). Jika hal ini terjadi, dapat menghasilkan
ketidakseimbangan atau gangguan elektrolit.
Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa pasien dalam kegawatan
yang kalau tidak dikelola dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan kematian.
Usaha pemulihan kembali volume serta komposisi cairan dan elektrolit tubuh
dalam kondisi yang normal disebut resusitasi cairan dan elektrolit.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Elektrolit dan Kebutuhan Elektrolit

Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel


bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan. Elektrolit
terdapat pada seluruh cairan tubuh. Cairan tubuh mengandung oksigen,
nutrien, dan sisa metabolisme (seperti karbondioksida), yang semuanya
disebut ion. Beberpa jenis garam akan dipecah menjadi elektrolit. Contohnya
NaCl akan dipecah menjadi Na+ dan Cl-. Pecahan elektrolit tersebut
merupakan ion yang dapat mengahantarkan arus litrik. Elektrolit adalah
substansi ion-ion yang bermuatan listrik yang terdapat pada cairan. Satuan
pengukuran elektrolit menggunakan istilah milliequivalent (mEq). Satu
milliequivalent adalah aktivitas secara kimia dari 1 mg dari hidrogen.
 Ion-ion positif disebut kation. Contoh kation antara lain natrium, kalium,
kalsium, dan magnesium
 ion-ion negatif disebut anion. Contoh anion antara lain klorida,
bikarbonat, dan fosfat.

II.2 Keseimbangan Elektrolit


Keseimbangan elektrolit sangat penting, karena total konsentrasi
elektrolit akan mempengaruhi keseimbangan cairan dan konsentrasi elektrolit
berpengaruh pada fungsi sel. Elektrolit berperan dalam mempertahankan
keseimbangan cairan, regulasi asam basa, memfasilitasi reaksi enzim dan
transmisi reaksi neuromuscular. Ada 2 elektrolit yang sangat berpengaruh
terhadap konsentrasi cairan intasel dan ekstrasel yaitu natrium dan kalium.
1) Keseimbangan Natrium/sodium (Na+)
Natrium merupakan kation paling banyak pada cairan ekstrasel
serta sangat berperan dalam keseimbangan air, hantaran impuls saraf dan
kontraksi otot. Ion natrium didapat dari saluran pencernaan, makanan
4

atau minuman kemudian masuk ke dalam cairan ekstrasel melalui proses


difusi. Pengeluaran ion natrium melalui ginjal, pernapasan, saluran
pencernaan dan kulit. Pengaturan konsentrasi ion natrium dilakukan oleh
ginjal, jika konsentrasi natrium serum menurun maka ginjal akan
mengeluarkan cairan sehingga konsentrasi natrium akan meningkat.
Sebaliknya jika terjadi peningkatan konsentrasi natrium serum maka
akan merangsang pelepasan ADH sehingga ginjal akan menahan air.
Jumlah normal 135-148 mEq/Lt
2) Keseimbangan kalium/potassium (K+)
Kalium adalah kation yang paling banyak pada intraseluler. Ion
kalium 98% berada pada cairan intasel, hanya 2% berada pada cairan
ekstrasel. Kalium dapat diperoleh melalaui makanan seperti daging,
buah-buahan dan sayuran. Jumlah normal 3,5-5,5 mEq/Lt.
3) Keseimbangan Kalsium (Ca2+)
Kalsium merupakan ion yang paling banyak dalam tubuh,
terutama berikatan dengan fosfor membentuk mineral untuk
pembentukan tulang dan gigi. Diperoleh dari reabsorpsi usus dan
reabsorpsi tulang. Dikeluarkan melalui ginjal, sedikit melalui keringat
dan disimpan dalam tulang. Pengaturan konsentrasi kalsium dilakukan
hormon kalsitonin yang dihasilkan oleh kelnjar tiroid dan hormon
paratiroid. Jika kadar kalsium rendah maka hormon paratiroid dilepaskan
sehingga terjadi peningkatan reabsorpsi kalsium pada tulang dan jika
terjadi peningkatan kadar kalsium maka hormon kalsitonin dilepaskan
untuk menghambat reabsorpsi tulang. Jumlah normal 4-5mEq/Lt.3
4) Keseimbangan Magnesium (Mg2+)
Magnesium biasanya ditemukan pada cairan intrasel dan tulang,
berperan dalam metabolisme sel, sintesis DNA, regulasi neuromuscular
dan fungsi jantung. Sumbernya didapat dari makanan seperti sayuran
hijau, daging dan ikan. Magnesium Diabsorpsi dari usus halus,
peningkatan absorpsi dipengaruhi oleh vitamin D dan hormon paratiroid.
5

5) Keseimbangan Fosfor (PO4-)


Fosfor merupakan anion utama cairan intasel, ditemukan juga di
cairan ekstrasel, tulang, otot rangka dan jaringan saraf. Fosfor sangat
berperan dalam berbagai fungsi kimia, terutama fungsi otot, sel darah
merah, metabolisme protein, lemak dan karbohidrat, pembentukan tulang
dan gigi, regulasi asam basa, regulassi kadar kalsium. Di reabsorpsi dari
usus halus dan banyak ditemukan dari makanan daging, ikan dan susu.
Disekresi dan reabsorpsi melalui ginjal. Pengaturan konsentrasi fosfor
oleh hormon paratiroid dan berhubungan dengan kadar kalsium. Jika
kadar kalsium meningkat akan menurunkan kadar fosfat demikian
sebaliknya. Jumlah normal sekitar 2,5-4,5 mEq/Lt.
6) Keseimbangan Klorida (Cl-)
Klorida merupakan anion utama pada cairan ekstrasel. Klorida
berperan dalam pengaturan osmolaritas serum dan volume darah bersama
natrium, regulasi asam basa, berperan dalam buffer pertukaran oksigen
dan karbondioksida dalam sel darah merah. Disekresi dan direabsorpsi
bersama natrium diginjal. Pengaturan klorida oleh hormon aldosteron.
Kadar klorida yang normal dalam darah orang dewasa adalah 95-
108mEq/Lt.
7) Keseimbangan Bikarbonat
Bikarbonat berada di dalam cairan intrasel maupun di dalam
ekstrasel dengan fungsi utama yaitu regulasi keseimbangan asam basa.
Disekresi dan direabsorpsi oleh ginjal. Bereaksi dengan asam kuat untuk
membentuk asam karbonat dan suasana garam untuk menurunkan PH.
Nilai normal sekitar 25-29mEq/Lt.
6

1. Pengaturan dan Fungsi Elektrolit


Elektrolit Pengaturan Fungsi
 - Reabsorpsi dan sekresi ginjal  - Pengaturan dan distribusi volume
 - Aldosteron,meningkatkan cairan ekstrasel
Sodium (Na+)  - Mempertahankan volume darah
reabsorpsi natrium di duktus
kolekting nefron  - Menghantarkan impuls saraf dan
kontraksi otot
 - Sekresi dan konservasi oleh
 - Mempertahankan osmolaritas dan
ginjal cairan intrasel
 - Aldosteron  - Transmisi saraf dan impuls elektrik
meningkatkan
pengeluaran  - Pengaturan transmisi impuls jantung
 - Pemindahan dalam dan luar dan kontraksi otot
Potassium (K+)
sel  - Pengaturan asam basa
 - Insulin  - Kontraksi tulang dan otot polos
membantu
memindahkan ke dalam sel
dan luar sel, jaringan yang
rusak
 - Distribusi antara tulang dan
 - Pembentukan tulang dan gigi
cairan ekstrasel  - Transmisi impuls saraf
 - Hormon  - Pengaturan kontraksi otot
paratiroid
Kalsium (Ca2+)
meningkatkan serum , - Mempertahankan pace maker jantung
 - Pembekuan darah
kalsitonin menurunkan kadar
serum  - Aktivitas enzim pancreas,seperti lipase
 - Dipertahankan  - Metabolisme intrasel
dan
dikeluarkan oleh ginjal  - Pompa sodium-potasium
Magnesium
 - Meningkatkan adsorpsi oleh
 - Relaksasi kontraksi otot
(Mg2+ )
vitamin D dan  - Transmisi impuls saraf
hormon
paratiroid  - Pengaturan fungsi jantung
 - Pengeluaran dan reabsorpsi
 - Produksi HCl
bersama sodium dalam ginjal  - Pengaturan keseimbangan cairan
Klorida (Cl-) - Aldosteron meningkatkan ekstrasel dan volume vaskuler
adsorpsi klorida  - Keseimbangan asam-basa
dengan
sodium
7

  - Pembentukan tulang dan gigi


- Eksresi dan reabsorpsi oleh
ginjal  - Metabolisme karbohidrat,lemak,dan
 - Paratiroid hormon protein
menurunkan kadar  - Metabolisme seluler produksi ATP
serum
Pospat (PO43-)
dengan meningkatkan sekresi dan DNA
ginjal  - Fungsi otot,saraf,dan sel darah merah
 - Pengaturan asam-basa
 - Pengaturan kadar kalsium
 - Eksresi dan reabsorpsi oleh
 - Buffer utama dalam keseimbangan
Bikarbonat
ginjal asam-basa
(HCO3)
 - Pembentukan oleh ginjal

II.3 Gangguan atau Masalah Kebutuhan Elektolit

1. NATRIUM
Natrium mengatur jumlah total air dalam tubuh. Selain itu, transmisi
natrium keluar dan masuk sel juga berperan penting dalam fungsi tubuh.
Banyak proses dalam tubuh, terutama di otak, sistem saraf, dan otot, yang
memerlukan sinyal listrik untuk komunikasi. Perpindahan natrium sangat
penting dalam menyalurkan sinyal-sinyal listrik. Terlalu banyak atau
sedikit natrium dapat menyebabkan kerusakan sel.
Kadar normal natrium dalam serum adalah 135–145 mEq/L.
Sedangkan kebutuhan asupan natrium per hari ialah 1–2 mEq/kgBB/hari.

a. Hipernatremia
Hipernatremia hampir selalu disebabkan oleh kehilangan air
melebihi kehilangan natrium (kehilangan cairan hipotonik) atau retensi
natrium dalam jumlah yang besar. Bahkan ketika kemampuan ginjal
untuk memekatkan urine rusak, rasa haus paling efektif mencegah
hiponatremia. Hipernatremia sering terjadi pada pasien yang sakit dan
tidak bisa minum, sangat tua, sangat muda, dan pasien tidak sadar. Pasien
dengan hipernatremia dapat memiliki jumlah total natrium tubuh yang
rendah, normal, atau tinggi.
8

Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Rendah


Pasien ini kehilangan baik natrium maupun air, tetapi kehilangan
air melebihi kehilangan natrium. Kehilangan hipotonik dapat disebabkan
oleh renal (diuresis osmotik) atau ektrarenal (diare atau berkeringat).
Pada kasus lainnya, pasien biasanya memiliki manifestasi berupa tanda-
tanda hipovolemia. Konsentrasi natrium dalam urine biasanya lebih dari
20 mEq/L pada sebab renal dan kurang dari 10 mEq/L pada sebab
ekstrarenal.
Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Normal
Pasien ini umumnya bermanifestasi dengan kehilangan air tanpa
hipovolemia berlebih kecuali jika terjadi kehilangan air yang masif.
Jumlah total natrium biasanya normal. Kehilangan air yang murni dapat
terjadi melalui kulit, traktus respiratorius, atau ginjal.
Penyebab utama hipernatremia dengan jumlah total natrium tubuh
yang normal adalah diabetes insipidus (pada pasien sadar). Diabetes
insipidus ditandai dengan rusaknya kemampuan ginjal untuk
memekatkan urine baik karena menurunnya sekresi ADH (diabetes
insipidus sentral) ataupun karena kegagalan ginjal untuk berespon normal
terhadap ADH sirkulasi (diabetes insipidus nefrogenik). Selain itu,
‘hipernatremia esensial’ dialami oleh pasien dengan gangguan sistem
saraf. Pasien ini memiliki osmoreseptor dengan ambang batas osmolalitas
yang tinggi.
Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Tinggi
Kondisi ini kebanyakan merupakan hasil dari pemberian larutan
saline hipertonik (NaCl 3% atau NaHCO3 7.5%). Pasien dengan
hiperaldosteronisme primer dan sindroma Cushing dapat mengalami
sedikit peningkatan konsentrasi natrium serum sejalan dengan
peningkatan retensi natrium.

Manifestasi Klinis Hipernatremia


Manifestasi neurologis mendominasi pasien dengan hipernatremia
dan biasanya diakibatkan oleh dehidrasi selular. Kelemahan, letargi, dan
9

hiperrefleksi dapat berlanjut menjadi kejang, koma, bahkan kematian.


Gejala ini lebih berhubungan dengan perpindahan air keluar dari sel otak
daripada kadar absolut hipernatremia. Penurunan cepat dari volume otak
dapat menyebabkan rupturnya vena cerebral dan mengakibatkan
perdarahan fokal intraserebral atau subarakhnoid. Kejang dan kerusakan
neurologis serius biasa terjadi, terutama pada anak dengan hipernatremia
akut ketika kadar natrium plasma melebihi 158 mEq/L. Hipernatremia
kronik biasanya lebih dapat ditoleransi daripada bentuk akut. Setelah
24–48 jam, osmolalitas intraseluler mulai meningkat akibat peningkatan
konsentrasi inositol dan asam amino (glutamin dan taurin). Sejalan
dengan peningkatan zat terlarut intraseluler, cairan dalam sel saraf pun
mulai kembali normal.

Pengobatan untuk Hipernatremia


Pengobatan untuk hipernatremia bertujuan mengembalikan
osmolalitas plasma ke nilai normal sejalan dengan koreksi masalah yang
mendasarinya. Kekurangan air sebaiknya dapat dikoreksi dalam waktu 48
jam dengan larutan hipotonik seperti dekstrosa 5% dalam air.
Abnormalitas volume ekstraseluler juga harus dikoreksi. Pasien
hipernatremia dengan penurunan jumlah total natrium tubuh sebaiknya
lebih dahulu diberi cairan isotonik untuk mengembalikan volume plasma
ke normal daripada terapi dengan larutan hipotonik. Pasien hipernatremia
dapat berujung pada kejang, edema otak, kerusakan neurologis
permanen, bahkan kematian.

Pertimbangan Anestesi
Hipovolemia dapat mencetuskan vasodilatasi atau depresi
kardiovaskular dari agen anestesi serta merupakan predisposisi untuk
hipotensi dan hipoperfusi jaringan. Adanya penurunan volume distribusi
dari obat mengakibatkan perlunya penurunan jumlah obat untuk
kebanyakan agen intravena, di mana penurunan cardiac output dapat
mempertinggi uptake dari anestesi inhalasi.
10

Operasi elektif sebaiknya ditunda pada pasien dengan


hipernatremia signifikan (>150 mEq/L) sampai sebabnya dapat
diperbaiki dan kekurangan cairan dikoreksi. Kekurangan air maupun
cairan isotonik sebaiknya dikoreksi lebih dahulu daripada pelaksanaan
operasi.

b. Hiponatremia
Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik oleh
peningkatan absolut dari TBW (Total Body Water) ataupun kehilangan
natrium melebihi kehilangan air. Kapasitas normal ginjal untuk
mengencerkan urine dengan osmolalitas serendah 40 mOsm/kg dapat
mengekskresikan lebih dari 10L air per hari, jika diperlukan. Oleh karena
kemampuan yang hebat ini, hiponetremia hampir selalu diakibatkan oleh
defek pada kapasitas pengenceran urine (osmolalitas urine
100mOsm/kg). Hiponatremia tanpa abnormalitas dari kapasitas
pengenceran ginjal (osmolalitas urine <100 mOsm/kg) biasanya
dihubungkan dengan polidipsia primer atau ‘reset’ osmoreseptor; kedua
kondisi terakhir ini dapat dibedakan dengan pembatasan cairan.
Hiponatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Rendah
Kehilangan cairan yang mengakibatkan hiponatremia dapat berasal
dari renal atau ekstrarenal. Kehilangan akibat sebab renal, kebanyakan
berhubungan dengan diuretik thiazide dan menghasilkan kadar natrium
urine lebih dari 20 mEq/L. Kehilangan akibat sebab ekstrarenal biasanya
berhubungan dengan gastrointestinal dan menghasilkan urine dengan
kadar natrium kurang dari 10 mEq/L. Pengecualian utama ialah
hiponatremia akibat muntah, yang dapat menghasilkan kadar natrium
urine lebih dari 20 mEq/L. Hai ini disebabkan oleh bikarbonaturia pada
alkalosis metabolik yang disertai dengan ekskresi natrium untuk menjaga
netralitas muatan pada urine.
Hiponatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Tinggi
Kelainan edematosa ditandai dengan peningkatan baik jumlah total
natrium tubuh maupun TBW. Ketika peningkatan air melebihi natrium,
11

hiponatremia terjadi. Kelainan edematosa meliputi gagal jantung


kongestif, sirosis, gagal ginjal, dan sindrom nefrotik. Hiponatremia pada
keadaan ini diakibatkan oleh kerusakan progesif dari ginjal untuk
mengekskresi air dan biasanya paralel dengan keparahan penyakit yang
mendasarinya. Mekanisme patofisiologinya meliputi penglepasan ADH
nonosmotik dan penurunan aliran cairan ke segmen pengenceran tubulus
distal di nefron. Volume ‘efektif’ sirkulasi darah berkurang.
Hiponatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Normal
Hiponatremia dengan tidak adanya edema atau hipovolemia dapat
dilihat pada insufisiensi glukokortikoid, hipotiroidisme, terapi obat
(klorpropamid dan siklofosfamid), dan SIADH (Syndrome of
Inappropriate AntiDiuretic Hormone). Hiponatremia yang berhubungan
dengan hipofungsi adrenal merupakan akibat dari ko-sekresi ADH
dengan CRF (Corticotrophin-Releasing Factor).

Manifestasi Klinis Hiponatremia


Gejala hiponatremia terutama berupa gangguan neurologis dan
diakibatkan oleh peningkatan air intraseluler. Tingkat keparahannya
berhubungan dengan kecepatan terjadinya hipoosmolalitas ekstraseluler.
Gejala awal biasanya nonspesifik dan meliputi anoreksia, mual, dan
kelemasan. Edema otak yang progresif, bagaimanapun, mengakibatkan
letargi, konfusi, kejang, koma, bahkan kematian. Manifestasi serius dari
hiponatremia umumnya berhubungan dengan konsentrasi natrium plasma
< 120 mEq/L.

Pengobatan Hiponatremia
Sama dengan hipernatremia, pengobatan hiponatremia ditujukan
pada koreksi baik penyakit yang mendasarinya maupun kadar natrium
plasma. Saline isotonik umumnya merupakan pengobatan terpilih untuk
pasien hiponatremia dengan penurunan jumlah total natrium tubuh. Saat
penurunan cairan ekstraseluler dikoreksi, diuresis air yang spontan akan
mengembalikan kadar natrium plasma ke normal. Hal sebaliknya,
12

pembatasan cairan merupakan pengobatan terpilih untuk pasien


hiponatremia dengan jumlah total natrium tubuh yang normal atau
meningkat. Terapi spesifik seperti penggantian hormon pada pasien
dengan hipofungsi adrenal atau tiroid, dan tindakan yang bertujuan untuk
meningkatkan cardiac output pada pasien dengan gagal jantung dapat
diindikasikan. Demeclocycline, obat yang mengantagonis aktivitas ADH
pada tubulus renalis, sudah terbukti dapat menjadi terapi tambahan yang
berguna untuk pembatasan cairan pada pasien dengan SIADH.

Pertimbangan Anestesi
Hiponatremia sering merupakan manifestasi yang serius dari
penyakit yang mendasarinya dan memerlukan perhatian terhadap
evaluasi preoperatif. Konsentrasi natrium plasma di atas 130 mEq/L
umumnya dianggap aman untuk pasien yang akan dibius umum.
Konsentrasi natrium plasma sebaiknya dikoreksi hingga di atas 130
mEq/L untuk semua operasi elektif, bahkan bila gejala tidak ada.
Konsentrasi yang lebih rendah akan menyebabkan edema otak yang
dapat bermanifestasi intraoperatif yaitu penurunan MAC (Minimum
Alveolar Concentration) atau agitasi, konfusi, somnolen postoperatif.

2. KALIUM
Kalium, ion intraseluler utama dalam tubuh, berperan penting
dalam menentukan potensial membran sel. Walaupun konsentrasi kalium
ekstraseluler rendah, kadar kalium pada cairan ekstraseluler diregulasi
secara hati-hati, karena perubahan pada konsentrasi ekstraseluler dapat
menimbulkan gangguan fungsi saraf dan kardiovaskular yang
mengancam jiwa. Perpindahan kalium antara kompartemen intraseluler
dan ekstraseluluer dapat berhubungan dengan perubahan hormon serta
pH pada cairan ekstraseluler.
Kadar normal kalium dalam serum adalah 3.5–5.5 mEq/L.
Sedangkan kebutuhan asupan kalium ialah 1–2 mEq/hari.
13

Perpindahan Kalium Interkompartemen


Perpindahan kalium interkompartemen diketahui terjadi
mengikuti perubahan pH ekstraseluler, kadar insulin dalam sirkulasi,
aktivitas katekolamin dalam sirkulasi, osmolalitas plasma, dan
kemungkinan hipotermia. Perubahan konsentrasi ion hidrogen
ektraseluler (pH) berefek langsung terhadap kadar kalium plasma. Saat
asidosis, ion hidrogen ekstraseluler memasuki sel, menggantikan ion
kalium intraseluler; perpindahan ion kalium keluar dari sel akan menjaga
keseimbangan muatan tetapi meningkatkan kadar kalium ekstraseluler
dan plasma. Hal sebaliknya, saat alkalosis, ion kalium ekstraseluler akan
masuk ke dalam sel untuk menyeimbangkan perpindahan ion hidrogen ke
luar sel; sehingga kadar kalium plasma menurun.
Perubahan kadar insulin dalam sirkulasi dapat berpengaruh
langsung terhadap peningkatan kadar kalium plasma yang tidak
bergantung pada transpor glukosa. Insulin meningkatkan aktivitas Na+–
K+ ATPase pada membran, meningkatkan uptake kalium seluler pada
hati dan otot skeletal. Faktanya, sekresi insulin berperan penting terhadap
kontrol basal dari konsentrasi kalium plasma dan mengatur peningkatan
kadar kalium.
Stimulasi simpatis juga meningkatkan uptake kalium intraseluler
dengan meningkatkan aktivasi Na+–K+ ATPase. Efek ini dimediasi
melalui aktivasi reseptor β2-adrenergik. Sebaliknya, aktivitas reseptor α-
adrenergik dapat menghambat perpindahan kalium intraseluler. Kadar
kalium plasma sering menurun seiring dengan pemberian β2-adrenergik
agonis yang mengakibatkan meningkatnya uptake kalium oleh otot dan
hati. Selanjutnya, blokade β-adrenergik dapat mengganggu pengaturan
beban kalium pada sebagian pasien.
Peningkatan akut dari osmolalitas plasma (hipernatremia,
hiperglikemia, dan pemberian manitol) dilaporkan meningkatkan kadar
kalium plasma. Dalam hal ini, perpindahan air keluar dari sel diikuti
dengan perpindahan kalium keluar sel. Ini mungkin merupakan hasil dari
14

‘solven drag’ atau peningkatan kadar kalium intraseluler yang mengikuti


dehidrasi seluler.
Hipotermia dilaporkan dapat menurunkan kadar kalium plasma
sebagai akibat dari uptake seluler. Penghangatan akan membalik
perpindahan dan mengakibatkan hiperkalemia transien jika kalium
diberikan saat hipotermia.

a. Hiperkalemia
Hiperkalemia terjadi saat kadar kalium plasma melebihi 5.5
mEq/L. Hiperkalemia jarang terjadi pada individu normal karena
kapasitas ginjal yang luar biasa untuk mengekskresi kalium. Ketika
intake kalium meningkat, ginjal dapat mengekskresikan sebanyak 500
mEq kalium per hari. Sistem simpatis dan sekresi insulin juga berperan
penting dalam mencegah peningkatan akut kadar kalium plasma.
Hiperkalemia dapat disebabkan oleh (1) perpindahan kalium
interkompartemen, (2) penurunan ekskresi kalium di urine, dan (3)
peningkatan intake kalium. Peningkatan palsu konsentrasi kalium plasma
dapat terjadi jika terdapat hemolisis sel darah merah pada spesimen darah
(kebanyakan disebabkan torniquet yang lama ketika mengambil darah).

Hiperkalemia Akibat Perpindahan Kalium Interkompartemen


Perpindahan kalium keluar dari sel dapat terlihat pada asidosis,
lisis sel setelah kemoterapi, hemolisis, rhabdomiolisis, trauma masif
jaringan, overdosis digitalis, pemberian arginin hidroklorida, dan blokade
β2-adrenergik.
Blokade β2-adrenergik mencetuskan peningkatan kadar kalium
plasma yang terjadi setelah olahraga. Digitalis menghambat Na+–K+
ATPase pada membran sel; overdosis digitalis telah dilaporkan
menyebabkan hiperkalemia pada beberapa pasien. Arginin hidroklorida,
yang digunakan untuk mengobati alkalosis metabolik, dapat
menyebabkan hiperkalemia saat kation arginin memasuki sel dan ion
kalium keluar dari sel untuk menjaga netralitas muatan.
15

Hiperkalemia Akibat Penurunan Ekskresi Kalium pada Ginjal


Penurunan ekskresi kalium pada ginjal merupakan hasil dari (1)
reduksi filtrasi glomerulus, (2) penurunan aktivitas aldosteron, atau (3)
defek sekresi kalium di nefron distal.
Filtrasi glomerulus rata-rata kurang dari 5 mL/menit hampir
selalu berhubungan dengan hiperkalemia. Pasien dengan penurunan
tingkat kerusakan ginjal dapat juga berkembang menjadi hiperkalemia
jika terjadi peningkatan beban kalium (makanan, katabolik, atau
iatrogenik). Uremia juga dapat mengganggu aktivitas Na+–K+ ATPase.
Hiperkalemia karena menurunnya aktivitas aldosteron dapat
merupakan hasil dari defek primer pada sintesis hormon adrenal atau
defek pada sistem renin-angiotensian-aldosteron. Pasien dengan
insufisiensi primer adrenal (penyakit Addison) dan yang berhubungan
dengan defisiensi enzim 21-hidroksilase telah diketahui berhubungan
dengan gangguan sintesis aldosteron.
Obat yang menginterferensi sistem renin-angiotensin-aldosteron
berpotensi untuk menimbulkan hiperkalemi, terutama yang memiliki
kerusakan ginjal. NSAID menghambat pelepasan prostaglandin-
mediated renin. Obat ACEI (Angiotensin Converting Enzym Inhibitor)
menginterferensi angiotensin II mediated release of aldosterone. Dosis
besar heparin dapat menginteferensi sekresi aldosteron. Diuretik hemat
kalium Spironolakton secara langsung mengantagonis aktivitas
aldosteron di ginjal.
Penurunan ekskresi kalium dapat juga terjadi akibat defek
intrinsik atau didapat pada kemampuan ginjal untuk mengsekresi kalium
pada nefron distal. Defek seperti ini dapat terjadi pada fungsi ginjal yang
normal dan tidak responsif terhadap terapi mineralokortikoid. Ginjal
pasien dengan pseudohipoaldosteronisme menunjukkan resistensi
intrinsik terhadap aldosteron.
16

Hiperkalemia Akibat Peningkatan Intake Kalium


Peningkatan beban kalium jarang terjadi pada individu normal
kecuali kalium dalam jumlah yang besar diberikan secara cepat dan
intrvena. Hiperkalemia, bagaimanapun, dapat terlihat meningkat pada
pasien yang menerima β-bloker atau dengan gangguan fungsi ginjal atau
defisiensi insulin. Sumber kalium yang tidak disadari termasuk penisilin
kalium, pengganti natrium (terutama garam kalium), dan transfusi whole
blood yang disimpan. Kadar kalium plasma pada satu unit whole blood
dapat meningkat menjadi 30 mEq/L setelah penyimpanan 21 hari. Resiko
hiperkalemia dari transfusi berulang dapat direduksi (tetapi tidak
dieliminasi) dengan meminimalkan volume plasma yang diberikan
melalui transfusi Packed Red Cell (PRC).

Manifestasi Klinis Hiperkalemia


Efek paling penting dari hiperkalemia ialah pada jantung dan otot
skeletal. Kelemahan otot skeletal umumnya tidak terlihat sampai kadar
kalium plasma melebihi 8 mEq/L. Kelemahan ini disebabkan oleh
depolarisasi spontan dan inaktivasi Na+ channel dari membran otot (mirip
dengan suksinil kolin), yang akhirnya dapat menghasilkan paralisis
ascending. Manifestasi jantung terutama akibat delayed depolarization
dan biasanya terjadi saat kadar kalium plasma lebih dari 7 mEq/L.
Hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis dapat menonjolkan efek
kardiak dari hiperkalemia.

Pengobatan Hiperkalemia
Oleh karena potensial letalnya, hiperkalemia yang melebihi 6
mEq/L sebaiknya diterapi. Terapi secara langsung ditujukan untuk
membalik manifestasi jantung, dan kelemahan otot skeletal, serta
mengembalikan kadar kalium plasma ke nilai normal. Hiperkalemia yang
berhubungan dengan hipoaldosterinisme dapat diobati dengan
penggantian hormon mineralokortikoid. Obat-obatan yang berperan
17

dalam terjadinya hiperkalemia sebaiknya dihentikan dan sumber


peningkatan intake kalium sebaiknya dikurangi atau dihentikan.
Kalsium (kalsium glukonat 10% 5–10 mL atau kalsium klorida
10% 3–5 mL) dapat mengantasonis efek kardiovaskuler dari
hiperkalemia dan berguna pada pasien dengan tanda hiperkalemia. Efek
ini cepat namun jangka waktunya pendek. Perhatian juga ditujukan pada
pasien yang menerima pengobatan digoxin karena kalsium dapat
mempotensiasi toksisitas digoxin.
Ketika asidosis metabolik terjadi, natrium bikarbonat intravena
(biasanya 45 mEq) akan meningkatkan uptake seluler dari kalium dan
dapat menurunkan kadar kalium plasma dalam waktu 15 menit. β-agonis
meningkatkan uptake seluler kalium dan dapat berguna pada
hiperkalemia akut yang berhubungan dengan transfusi masif; epinefrin
dosis rendah (0.5–2mg/menit) sering menurunkan kadar kalium plasma
secara cepat dan menyediakan bantuan inotropik pada keadaan ini. Infus
glukosa dan insulin intravena (glukosa 30g dengan insulin 10U) juga
efektif dalam meningkatkan uptake seluler dari kalium serta menurunkan
kadar kalium plasma.
Dialisis diindikasikan pada pasien simptomatik dengan
hiperkalemia berat atau refrakter. Hemodialisis lebih cepat dan efektif
dari dialisis peritoneal dalam menurunkan kadar kalium plasma.

Pertimbangan Anestesi
Operasi elektif sebaiknya tidak dilaksanakan pada pasien dengan
hiperkalemia. Manajemen anestesi dari pasien dengan hiperkalemia
ditujukan pada penurunan kadar kalium plasma serta pencegahan
peningkatan yang lebih lanjut. EKG harus dimonitor secara hati-hati.
Suksinil kolin dikontraindikasikan, sebagaimana juga larutan intravena
yang mengandung kalium seperti injeksi Ringer Laktat. Penghindaran
asidosis metabolik atau respiratorik penting untuk mencegah peningkatan
kadar kalium plasma lebih lanjut.
18

b. Hipokalemia
Hipokalemia ditentukan saat kadar kalium plasma kurang dari 3.5
mEq/L dan dapat terjadi oleh karena: (1) perpindahan kalium
interkompartemen, (2) peningkatan kehilangan kalium, dan (3) intake
kalium tidak adekuat.
Hipokalemia Akibat Perpindahan Kalium Interkompartemen
Hal ini terjadi saat alkalosis, terapi insulin, pemberian β2-
adrenergik agonis, dan hipotermia. Hipokalemia juga dapat terjadi pada
transfusi sel darah merah beku; di mana sel-sel tersebut kehilangan
kalium saat proses pengawetan.
Hipokalemia Akibat Peningkatan Kehilangan Kalium
Hal ini hampir selalu disebabkan oleh kelainan ginjal dan
gastrointestinal. Pengeluaran kalium melalui ginjal kebanyakan
merupakan hasil dari diuresis atau peningkatan aktivitas
mineralokortikoid. Peningkatan kehilangan kalium dari gastrointestinal
kebanyakan disebabkan oleh muntah atau diare. Peningkatan
pembentukan keringat kronik biasanya menyebabkan hipokalemia,
terutama saat intake kalium dibatasi. Dialisis dengan larutan rendah
kalium dapat pula menyebabkan hipokalemia.
Hipokalemia Akibat Penurunan Intake Kalium
Oleh karena kemampuan ginjal untuk menurunkan eskresi kalium
rendah, yaitu 5-20 mEq/L, adanya penurunan intake kalium sangat
berpengaruh terhadap terjadinya hipokalemia. Intake kalium yang
rendah, bagaimanapun, sering meningkatkan efek dari peningkatan
kehilangan kalium.

Manifestasi Klinik Hipokalemia


Efek kardiovaskular paling menonjol meliputi abnormalitas EKG,
aritmia, penurunan kontraktilitas jantung, dan tekanan darah arteri yang
labil akibat disfungsi otonom. Hipokalemia kronik juga dilaporkan dapat
menyebabkan fibrosis miokardia. Manifestasi EKG terutama ialah
repolarisasi ventrikel yang tertunda (delayed ventricular repolarization).
19

Peningkatan automatisitas sel miokardium dan repolarisasi yang tertunda


akan berkembang menjadi aritmia atrium dan ventrikel.

Pengobatan Hipokalemia
Penggantian oral dengan larutan kalium klorida umumnya aman
(60–80 mEq/hari). Penggantian kekurangan kalium biasanya memerlukan
beberapa hari. Penggantian intravena dengan larutan kalium klorida
sebaiknya diberikan pada pasien dengan atau yang beresiko terhadap
manifestasi jantung atau kelemahan otot. Tujuan dari terapi intravena ini
adalah untuk mengeluarkan pasien dari keadaan bahaya daripada
mengoreksi seluruh kekurangan kalium. Penggantian kalium intravena
perifer sebaiknya tidak melebihi 8 mEq/jam karena efek iritatif dari
kalium pada vena perifer. Larutan yang mengandung dekstrosa sebaiknya
dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan sekresi insulin
sekunder dapat menurunkan kadar kalium plasma lebih jauh lagi.

Pertimbangan Anestesi
Hipokalemia umum ditemukan saat preoperatif. Keputusan untuk
melakukan operasi elektif sering didasarkan pada batas antara 3 dan 3.5
mEq/L. Keputusan ini, bagaimanapun, sebaiknya juga didasarkan pada
tingkat mana hipokalemia berkembang serta ada tidaknya disfungsi organ
sekunder. Umumnya, hipokalemia kronik ringan (3–3.5 mEq/L) tanpa
perubahan EKG tidak terlihat meningkatkan resiko anestesi. Hal tersebut
tidak berlaku jika pasien memperoleh digoxin, yang dapat meningkatkan
resiko berkembangnya toksisitas digoxin akibat hipokalemia.
Kalium intravena sebaiknya diberikan bila terjadi aritmia atrium
atau ventrikel. Larutan bebas glukosa sebaiknya digunakan dan
hiperventilasi dihindari untuk mencegah penurunan kadar kalium plasma
lebih lanjut. Peningkatan sensitivitas terhadap NMBAs (NeuroMuscular
Blocking Agents) dapat terlihat pada beberapa pasien. Dosis NMBAs
sebaiknya dikurangi 25-50% dan stimulator saraf sebaiknya digunakan
untuk mengikuti tingkat paralisis dan reverse yang adekuat.
20

3. KALSIUM
Ion kalsium berperan pada hampir semua fungsi esensial biologik
tubuh, meliputi kontraksi otot, pelepasan neurotransmiter dan hormon,
koagulasi darah, serta metabolisme tulang. Kalsium secara normal
memasuki cairan ekstraseluler melalui absorpsi dari traktus intestinal
atau resorpsi tulang. Sebaliknya, kalsium meninggalkan kompartemen
ekstraseluler melalui (1) deposisi di tulang, (2) ekskresi urine, (3) sekresi
ke traktus gastrointestinal, dan (4) pembentukan keringat. Kadar kalsium
ekstraseluler diregulasi oleh tiga hormon: hormon paratiroid (PTH),
vitamin D, dan kalsitonin. Ketiga hormon ini terutama bekerja pada
tulang, tubulus distal ginjal, dan usus halus.
PTH merupakan regulator kalsium plasma yang paling penting.
Penurunan kadar kalsium plasma akan menstimulasi PTH, sedangkan
peningkatan kadar kalsium plasma dapat menghambat sekresi PTH. Efek
kalsemik dari PTH berhubungan dengan (1) mobilisasi kalsium dari
tulang, (2) peningkatan reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal, dan
(3) peningkatan tidak langsung absorpsi intestinal melalui 1.25-
dihidroksikolekalsiferol yang disintesis di ginjal.
Vitamin D berupa 1.25-dihidroksikolekalsiferol mencetuskan
absorpsi kalsium di usus, memudahkan kerja PTH di tulang, dan
meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus distal.
Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang disekresi oleh sel
parafolikuler kelenjar tiroid. Sekresinya distimulasi oleh hiperkalsemia
dan dihambat oleh hipokalsemia. Kalsitonin menghambat reabsorpsi
tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium urine.
Kadar normal kalsium dalam serum adalah 2.38–2.66 mEq/L.
Sedangkan kebutuhan asupan kalsium ialah 0.2–0.3 mEq/kgBB/hari.

a. Hiperkalsemia
Hiperkalsemia dapat terjadi sebagai hasil dari berbagai gangguan.
Pada hiperparatiroidisme primer, sekresi PTH meningkat dan tidak
terpengaruh oleh kadar kalsium. Sebaliknya, pada hiperparatiroidisme
21

sekunder (gagal ginjal kronik atau malabsorpsi), peningkatan kadar PTH


merupakan respon dari hipokalsemia kronik. Hiperparatiroidisme
sekunder yang memanjang menyebabkan sekresi otomatis dari PTH,
mengakibatkan peningkatan atau normalnya kadar kalsium
(hiperparatiroidisme tersier).
Pasien dengan kanker dapat mengalami hiperkalsemia dengan
atau tanpa adanya metastase tulang. Dektruksi tulang secara langsung
atau sekresi mediator humoral dari hiperkalsemia (substansi seperti-PTH,
sitokin, atau prostaglandin) mungkin berperan pada kebanyakan pasien.
Hiperkalsemia yang berhubungan dengan peningkatan turn-over kalsium
dari tulang dapat dialami oleh pasien dengan kondisi yang lebih jinak
seperti penyakit Paget dan imobilisasi kronik. Peningkatan absorpsi
kalsium dari gastrointestinal dapat menyebabkan hiperkalsemia pada
pasien dengan milk-alkali syndrome (ditandai dengan peningkatan intake
kalsium), hipervitaminosis D, dan penyakit granulomatosa (peningkatan
sensitivitas vitamin D).

Manifestasi Klinik Hiperkalsemia


Hiperkalsemia biasanya menyebabkan anoreksia, mual, muntah,
kelemahan, dan poliuria. Ataksia, iritabilitas, letargi, atau konfusi dapat
dengan cepat berkembang menjadi koma. Hiperkalsemia meningkatakan
sensitivitas jantung terhadap digitalis. Pankreatitis, ulkus peptik, dan
gagal ginjal dapat berkomplikasi menjadi hiperkalsemia.

Pengobatan Hiperkalsemia
Hiperkalsemia simptomatik memerlukan terapi yang cepat. Terapi
awal yang paling efektif ialah rehidrasi diikuti dengan diuresis cepat
(urine output 200–300 ml/jam) dengan pemberian infus saline intravena
dan loop diuretic untuk meningkatkan ekskresi kalsium. Terapi diuretik
prematur yang lebih dahulu dibandingkan dengan rehidrasi akan
memperberat hiperkalsemia melalui penurunan volume.
22

Walaupun hidrasi dan diuresis dapat menghilangkan resiko


potensial dari komplikasi kardiovaskuler dan neurologis, serum kalsium
umumnya tetap meningkat di atas normal. Terapi tambahan dengan
bifosfat atau kalsitonin mungkin dibutuhkan untuk menurunkan serum
kalsium lebih jauh. Hiperkalsemia berat biasanya memerlukan terapi
tambahan setelah hidrasi saline dan lasix calsiuresis. Bifosfat
(pamidronate 60–90 mg intravena) atau kalsitonin (2–8 U/kg subkutan)
merupakan agen yang lebih disukai. Pamidronate menjadi agen pilihan
yang baik pada keadaan ini karena memiliki durasi aksi yang lebih lama
tetapi harus dihindari pada keadaan insufisiensi ginjal (kreatinin serum >
2.5 mg/dL).
Kebanyakan 90% dari semua hiperkalsemia disebabkan oleh
keganasan atau hiperparatiroidisme. Test laboratorium yang paling baik
untuk membedakan kedua kategori hiperkalsemia ini ialah dengan
double-antibody PTH assay. Konsentrasi serum PTH biasanya akan
menurun pada keganasan dan meningkat pada hipotiroidisme.

Pertimbangan Anestesi
Hiperkalsemia merupakan kedaruratan medis yang harus
diperbaiki, jika memungkinkan, diutamakan daripada pemberian anestesi
tertentu. Kadar ion kalsium sebaiknya diawasi dengan ketat. Jika operasi
harus tetap dilaksanakan, diuresis saline sebaiknya tetap dilanjutkan
intraoperatif dengan perawatan yang baik untuk mencegah hipovolemia.
Ventilasi sebaiknya dikontrol saat pembiusan umum. Asidosis sebaiknya
dihindari sehingga tidak terjadi peningkatan kadar kalsium plasma lebih
jauh.

b. Hipokalsemia
Hipokalsemia akibat hipoparatiroidisme biasanya berhubungan
dengan hipokalsemia simptomatik. Hiperparatiroidisme dapat disebabkan
oleh pembedahan, idiopatik, atau bagian dari defek endokrin multipel
(kebanyakan akibat insufisiensi adrenal), atau berhubungan dengan
23

hipomagnesemia. Defisiensi magnesium berhubungan dengan kegagalan


sekresi PTH dan efek antagonisnya pada tulang. Hipokalsemia selama
sepsis juga dipikirkan akibat supresi pelepasan PTH. Hipokalsemia oleh
karena defisiensi vitamin D dapat diakibatkan oleh berkurangnya intake
(nutrisi), malabsorpsi vitamin D, atau abnormalitas metabolisme vitamin
D.
Pembentukan kelat antara ion kalsium dan ion sitrat pada
pengawetan darah merupakan sebab yang penting dari hipokalsemia
perioperatif; mirip dengan penurunan transien kadar kalsium plasma
yang menyertai infus cepat dari albumin volume besar. Hipokalsemia
yang menyertai pankreatitis akut disebabkan oleh presipitasi kalsium
dengan lemak (penyabunan) yang diikuti oleh pelepasan enzim lipolitik
dan nekrosis lemak; hipokalsemia yang menyertai emboli lemak juga
memiliki dasar yang serupa.
Penyebab lainnya dari hipokalsemia meliputi calcitonin-secreting
medullary carcinoma dari tiroid, penyakit metastase osteoblastik (kanker
payudara dan prostat), dan pseudohipoparatiroidisme (tidak respon
terhadap hormon paratiroid). Hipokalsemia transien juga dapat menyertai
pemberian heparin, protamin, dan glukagon serta transfusi darah masif
(dari sitrat).

Manifestasi Klinis Hipokalsemia


Manifestasi meliputi parastesia, konfusi, stridor laringeal
(laringospasme), spasme karpopedal, spasme masseter, dan kejang.
Iritabilitas jantung dapat menuju aritmia. Penurunan kontraktilitas
jantung dapat mengakibatkan gagal jantung, hipotensi, dan keduanya.
Penurunan respon terhadap digoxin dan β-adrenergik agonis juga
dilaporkan.

Pengobatan Hipokalsemia
Hipokalsemia simptomatik merupakan kedaruratan medis yang
harus diterapi nsegera dengan kalsium klorida (larutan 10% 3–5 ml) atau
24

kalsium glukonat (larutan 10% 10–20 mL). Untuk mencegah presipitasi,


kalsium intravena sebaiknya tidak diberikan dengan larutan yang
mengandung bikarbonat dan fosfat. Pada hipokalsemia kronik, kalsium
oral (CaCO3) dan penggantian vitamin D biasanya diperlukan.

Pertimbangan Anestesi
Hipokalsemia sebaiknya dikoreksi preoperatif. Kadar ion kalsium
serial sebaiknya diawasi intraoperatif pada pasien dengan riwayat
hipokalsemia. Alkalosis sebaiknya dihindari untuk mencegah penurunan
kadar kalsium lebih lanjut. Kalsium intavena dapat diberikan menyertai
tansfusi cepat dari produk darah berupa sitrat atau larutan albumin
volume besar. Efek potensiasi inotropik negatif dari barbiturat dan
anestesi volatil sebaiknya dapat diperkirakan. Respon terhadap NMBAs
tidak konsisten dan memerlukan pengawasan ketat dengan stimulator
saraf.

4. MAGNESIUM
Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting,
berfungsi sebagai kofaktor berbagai jalur enzim. Hanya 1–2% dari total
magnesium tubuh yang disimpan di cairan ekstraseluler, 67% terdapat di
tulang, dan sisanya 31% ada di intraseluler.
Kadar magnesium normal dalam serum adalah 1.7–2.1 mEq/L.
Sedangkan kebutuhan asupan magnesium ialah 0.2–0.5 mEq/kgBB/hari.

a. Hipermagnesemia
Peningkatan kadar magnesium plasma hampir selalu berhubungan
dengan kelebihan intake (antasida atau laksatif yang mengandung
magnesium), kerusakan ginjal (GFR < 30 mL/menit), atau keduanya.
Hipermagnesemia iatrogenik juga terjadi selama terapi magnesium sulfat
pada hipertensi gestational yang berpengaruh pada ibu dan janin.
Penyebab lainnya berupa insufisiensi adrenal, hipotiroidisme,
rhabdomiolisis, dan pemberian lithium.
25

Manifestasi Klinis Hipermagnesemia


Hipermagnesemia simptomatik biasanya meliputi manifestasi
neurologis, neuromuskular, dan jantung. Hiporefleksia, sedasi dan
kelemahan otot skeletal merupakan tanda hipermagnesemia. Hal ini
terjadi akibat kegagalan pelepasan asetilkolin dan penurunan sensitivitas
motor end-plate terhadap asetilkolin di otot. Vasodilatasi, bradikardi, dan
depresi miokardium dapat berakhir dengan hipotensi pada level > 10
mmol/dL (>24 mg/dL). Tanda EKG tidak konsisten tetapi termasuk
pemanjangan interval P–R dan pelebaran kompleks QRS.
Hipermagnesemia dapat menyebabkan henti napas.

Pengobatan Hipermagnesemia
Semua sumber intake magnesium (kebanyakan akibat antasida)
sebaiknya dihentikan. Kalsium intravena (1 g kalsium glukonat) dapat
secara sementara mengantagonis sebagian besar efek dari
hipermagnesemia. Loop diuretic yang disertai dengan ½-normal saline
dalam dekstrosa 5% dapat meningkatkan ekskresi magnesium.

Pertimbangan Anestesi
Hipermagnesemia memerlukan pengawasan yang ketat terhadap
EKG, tekanan darah, dan fungsi neuromuskuler. Potensiasi dari
vasodilatasi dan inotropik negatif agen anestesi sebaiknya diperhatikan.
Dosis NMBAs sebaiknya dikurangi 25–50%. Kateter urine dibutuhkan
ketika infus diuretik dan saline digunakan untuk meningkatkan ekskresi
magnesium.

b. Hipomagnesemia
Hipomagnesemia penting diperhatikan pada pasien yang sakit.
Hipomagnesemia umumnya berhubungan dengan defisiensi dari
komponen intraseluler seperti kalium dan fosfor. Defisiensi magnesium
disebabkan oleh intake yang tidak adekuat, penurunan absorpsi
gastrointestinal, dan peningkatan ekskresi ginjal. β-adrenergik agonis
26

dapat menyebabkan hipomagnesemia transien di mana ion magnesium


diambil oleh jaringan adiposa. Obat-obatan yang dapat menyebabkan
pengeluaran magnesium oleh ginjal meliputi etanol, teofilin, diuretik,
cisplatin, siklosporin, dan amfoterisin-B.

Manifestasi Klinis Hipomagnesemia


Kebanyakan pasien dengan hipomagnesemia tidak menunjukkan
gejala, tetapi anoreksia, kelemahan, fasikulasi, parestesia, konfusi,
ataksia, dan kejang dapat menonjol. Hipomagnesemia biasanya
berhubungan dengan hipokalsemia (kerusakan sekresi hormon paratiroid)
dan hipokalemia (akibat pembuangan oleh ginjal). Manifestasi jantung
meliputi iritabilitas listrik dan potensiasi intoksikasi digoxin; kedua
faktor ini diperburuk oleh hipokalemia. Hipomagnesemia juga
berhubungan dengan peningkatan insiden fibrilasi atrium. Pemanjangan
interval P–R dan QT dapat nampak seiring dengan hipokalsemia.

Pengobatan Hipomagnesemia
Hipomagnesemia asimptomatik dapat diterapi per oral
(magnesium sulfat heptahidrat atau magnesium oksida) atau
intramuskular (magnesium sulfat). Menifestasi serius seperti kejang
harus diterapi dengan magnesium sulfat intravena, 1–2 g (8–16 mEq atau
4–8 mmol) diberikan secara lambat selama 15–60 menit.

Pertimbangan Anestesi
Walaupun tidak ada interaksi anestesi spesifik yang disebutkan,
gangguan elektrolit yang menyertainya seperti hipokalemia dan
hipokalsemia sering terjadi dan harus dikoreksi lebih dahulu
dibandingkan dengan pelaksanaan operasi. Hipomagnesemia isolasi
sebaiknya dikoreksi sebelum prosedur elektif sebab dapat menyebabkan
aritmia jantung. Lebih lanjut, magnesium nampaknya memiliki efek
antiaritmia intrinsik dan protektif terhadap otak, di mana seringkali
diberikan pada operasi bypass kardiopulmonar.
27

5. KLORIDA
Klorida, anion utama dari cairan ekstraseluler, ditemukan lebih
banyak pada kompartemen interstitial dan cairan limfoid daripada dalam
darah. Klorida juga merupakan bagian dari cairan sekresi lambung dan
pankreas, keringat, kantung empedu, dan air liur. Natrium dan klorida
merupakan komposisi elektrolit terbesar dalam cairan ekstraseluler dan
berperan dalam menentukan tekanan osmotik. Klorida diproduksi dalam
lambung, yang dikombinaksikan dengan hidrogen untuk membentuk
adam hidroklorida. Kontrol klorida tergantung dari intake klorida,
ekskresi, dan absorpsi ion tersebut dari ginjal. Klorida dalam jumlah
kecil dibuang dalam feses.
Kadar klorida dalam serum mencerminkan pengenceran atau
pemekatan yang terjadi di cairan ekstrseluler serta menunjukkan secara
langsung proporsi konsentrasi natrium. Osmolalitas serum paralel dengan
kadar klorida. Sekresi aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium, yang
juga meningkatkan reabsorpsi klorida. Pleksus koroid, yang mensekresi
cerebrospinal fluid di otak, bergantung pada natrium dan klorida untuk
menarik air dan membentuk proporsi dari cerebrospinal fluid.
Bikarbonat memiliki hubungan dengan klorida. Saat klorida
berpindah dari plasma menuju sel darah merah (disebut dengan chloride
shift), bikarbonat berpindah kembali ke plasma. Ion hidrogen terbentuk,
yang kemudian membantu pelepasan oksigen dari hemoglobin.
Ketika kadar salah satu dari elektrolit ini terganggu (natrium,
bikarbonat, dan klorida), kedua elektrolit lainnya pun akan terpengaruh.
Klorida berperan dalam menjaga keseimbangan asam basa dan bekerja
sebagai buffer dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam sel
darah merah. Klorida diperoleh dari makanan seperti garam dapur.
Kadar normal klorida dalam serum ialah 97–107 mEq/L.
Sedangkan kebutuhan asupan klorida ialah 1–2 mEq/kgBB/hari.
28

a. Hiperkloremia
Kadar klorida serum yang tinggi dapat mengakibatkan
hiperkloremia asidosis metabolik oleh karena iatrogenik pemberian
klorida seperti larutan NaCl 0.9%, larutan NaCL 0.45%, atau larutan
Ringer Laktat. Kondisi ini dapat pula disebabkan oleh kehilangan ion
bikarbonat dari ginjal dan saluran pencernaan yang diikuti dengan
peningkatan ion klorida. Ion klorida dalam bentuk garam asam
terakumulasi, dan asidosis terjadi dengan menurunnya ion bikarbonat.
Trauma kepala, peningkatan produksi keringat, kelebihan hormon
mineralokortikoid, dan penurunan filtrasi ginjal dapat menuju
peningkatan kadar klorida serum.

Manifestasi Klinik Hiperkloremia


Tanda dan gejala dari hiperkloremia hampir menyerupai asidosis
metabolik; hipervolemia dan hipernatremia. Takipneu; kelemahan;
letargi; napas yang dalam dan cepat; kemampuan kognitif yang menurun;
dan hipertensi dapat terjadi. Jika tidak diterapi, hiperkloremia dapat
menuju pada penurunan cardiac output, disaritmia, dan koma. Kadar
klorida yang tinggi diikuti dengan kadar natrium yang tinggi serta retensi
cairan.

Pengobatan Hiperkloremia
Koreksi penyakit yang menyebabkan hiperkloremia serta
mengembalikan keseimbangan elektrolit, cairan, dan asam-basa
sangatlah penting. Larutan hipotonik intravena dapat diberikan untuk
mengembalikan keseimbangan. Larutan Ringer Laktat dapat diberikan
supaya laktat diubah menjadi bikarbonat di hati, sehingga dapat
meningkatkan kadar bikarbonat dan mengoreksi asidosis. Natrium
bikarbonat intravena dapat diberikan untuk meningkatkan kadar
bikarbonat yang menuju pada ekskresi ginjal terhadap ion klorida akibat
kompetisi bikarbonat dan klorida untuk berikatan dengan natrium.
29

Diuretik dapat diberikan untuk mengeliminasi klorida. Natrium, klorida,


dan cairan dibatasi.

b. Hipokloremia
Hipokloremia dapat terjadi akibat drainase tube gastrointestinal,
suction lambung, pembedahan lambung, muntah berat, dan diare.
Pemberian larutan intravena dengan kadar klorida rendah, intake natrium
yang rendah, penurunan kadar natrium, alkalosis metabolik, transfusi
masif darah, terapi diuretik, luka bakar, dan demam dapat menyebabkan
hipokloremia. Pemberian aldosteron, ACTH, kortikosteroid, bikarbonat,
dan laksatif dapat menyebabkan penurunan kadar klorida serum. Saat
klorida menurun (biasanya karena penurunan volume), ion natrium dan
bikarbonat ditahan oleh ginjal untuk menyeimbangkan kehilangan
klorida. Bikarbonat terakumulasi di cairan ekstraseluler, yang
meningkatkan pH dan berujung pada hiperkloremia asidosis metabolik.

Manifestasi Klinik Hipokloremia


Tanda dan gejala dari hipokloremia berhubungan dengan
ketidakseimbangan asam-basa dan elektrolit. Tanda dan gejala dari
hiponatremia, hipokalemia, dan alkalosis metabolik dapat terjadi.
Alkalosis metabolik merupakan gangguan akibat kelebihan intake alkali
atau kehilangan ion hidrogen. Hipereksibilitas otot, tetani, kelemasan,
dan kram otot juga dapat terjadi. Hipokalemia dapat menyebabkan
hipokloremia sehingga terjadi disritmia jantung. Selain itu, oleh karena
rendahnya kadar klorida paralel dengan rendahnya kadar natrium, kadar
air dapat menjadi berlebihan. Hiponatremia dapat menyebabkan kejang
dan koma.

Pengobatan Hipokloremia
Terapi meliputi koreksi penyebab hipokloremia serta
ketidakseimbangan asam-basa dan elektrolit. Larutan normal saline
(NaCl 0.9%) atau ½ normal saline (NaCl 0.45%) diberikan intravena
30

untuk menggantikan klorida. Jika pasien menerima diuretik (loop,


osmotik, atau thiazid), dapat dihentikan atau diberikan diuretik tipe lain.
Amonium klorida, sebuah agen yang bersifat asam, dapat
diberikan untuk mengatasi alkalosis metabolik; dosisnya tergantung dari
berat pasien dan kadar klorida serum. Agen ini dimetabolisasi oleh hati
dan berefek sekitar 3 hari. Amonium klorida ini sebaiknya dihindari pada
pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.

II.4 Faktor yang Berpengaruh pada Keseimbangan Cairan dan Elektrolit


Faktor-faktor yang berpengaruh pada keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh antara lain :
a. Umur
Kebutuhan intake cairan bervariasi tergantung dari usia, karena
usia akan berpengaruh pada luas permukaan tubuh, metabolisme, dan berat
badan. Infant dan anak-anak lebih mudah mengalami gangguan
keseimbangan cairan dibanding usia dewasa. Pada usia lanjut sering terjadi
gangguan keseimbangan cairan dikarenakan gangguan fungsi ginjal atau
jantung.
b. Iklim
Orang yang tinggal di daerah yang panas (suhu tinggi) dan
kelembaban udaranya rendah memiliki peningkatan kehilangan cairan
tubuh dan elektrolit melalui keringat. Sedangkan seseorang yang
beraktifitas di lingkungan yang panas dapat kehilangan cairan sampai
dengan 5 L per hari.
c. Diet
Diet seseorag berpengaruh terhadap intake cairan dan elktrolit.
Ketika intake nutrisi tidak adekuat maka tubuh akan membakar protein dan
lemak sehingga akan serum albumin dan cadangan protein akan menurun
padahal keduanya sangat diperlukan dalam proses keseimbangan cairan
sehingga hal ini akan menyebabkan edema.
31

d. Stress
Stress dapat meningkatkan metabolisme sel, glukosa darah, dan
pemecahan glykogen otot. Mrekanisme ini dapat meningkatkan natrium
dan retensi air sehingga bila berkepanjangan dapat meningkatkan volume
darah
e. Kondisi Sakit
Kondisi sakit sangat berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan
cairan dan elektrolit tubuh. Misalnya :
 Trauma seperti luka bakar akan meningkatkan kehilangan air melalui
IWL.
 Penyakit ginjal dan kardiovaskuler sangat mempengaruhi proses
regulator
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
 Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran akan mengalami
gangguan pemenuhan intake cairan karena kehilangan kemampuan untuk
memenuhinya secara mandiri.
f. Tindakan Medis
Banyak tindakan medis yang berpengaruh pada keseimbangan
cairan dan elektrolit tubuh seperti : suction, nasogastric tube dan lain-lain.
g. Pengobatan
Pengobatan seperti pemberian deuretik, laksative dapat
berpengaruh pada kondisi cairan dan elektrolit tubuh.
h. Pembedahan
Pasien dengan tindakan pembedahan memiliki resiko tinggi
mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh,
dikarenakan kehilangan darah selama pembedahan.
32

BAB III

PENUTUP

Elektrolit merupakan substansi berupa ion dalam larutan yang dapat


mengkonduksi muatan listrik di dalam tubuh. Keseimbangan elektrolit dalam
tubuh sangat esensial untuk menjalankan fungsi normal dari sel dan organ tubuh.
Elektrolit yang umumnya diperiksa oleh dokter dengan tes darah meliputi
natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan klorida.
Elektrolit serum meliputi: natrium, elektrolit bermuatan positif yang
membantu keseimbangan cairan dalam tubuh dan berhubungan dengan fungsi
neuromuskular; kalium, komponen utama cairan intraseluler yang membantu
regulasi fungsi neuromuskular dan tekanan osmotik; kalsium, kation yang
mempengaruhi kerja neuromuskular dan membantu pertumbuhan tulang serta
koagulasi darah; magnesium, mempengaruhi kontraksi otot serta aktivitas
intraseluler; klorida, elektrolit bermuatan negatif yang membantu regulasi tekanan
darah.
Terapi dari gangguan elektrolit tergantung dari penyakit yang
mendasarinya serta jenis elektrolit yang terlibat. Jika gangguan ini disebabkan
oleh kurangnya konsumsi atau intake cairan yang tidak tepat, perubahan
nutrisional dapat dianjurkan. Jika pengobatan seperti diuretik mencetuskan
gangguan elektrolit ini, maka penghentian atau pengaturan terapi obat dapat
memperbaiki kondisi tersebut secara efektif. Terapi penggantian cairan atau
elektrolit, baik melalui oral alatu intravena, dapat mengembalikan penurunan
elektrolit menjadi normal.
Dokter seharusnya berhati-hati dalam pemberian obat yang mempengaruhi
kadar elektrolit serta keseimbangan asam-basa tubuh. Individu dengan penyakit
ginjal, masalah tiroid, dan kondisi lainnya yang dapat mencetuskan gangguan
elektrolit sebaiknya diedukasi tentang tanda dan gejala gangguan elektrolit ini.
33

DAFTAR PUSTAKA

1. Darwis D, Moenajat Y, Nur B.M, Madjid A.S,Siregar P, Aniwidyaningsih W,

dkk, ’Fisiologi Keseimbangan Air dan Elektrolit’ dalam Gangguan

Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa, Fisiologi, Patofisiologi,

Diagnosis dan Tatalaksana, ed. ke-2, FK-UI, Jakarta,2008, hh. 29-114.

2. Ganong W.F, ’Fungsi Ginjal dan Miksi’ pada Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran, edisi ke-22, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,2005,hh.

725-756.

3. Guyton A.C and Hall J.E, dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-

11, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2008, hh.307-400.

4. Matfin G. and Porth C.M, ‘Disorders of Fluid and Electrolyte Balance’ In:

Pathophysiology Concepts of Altered Health States, 8th Edition, McGraw

Hill Companies USA, 2009,pp. 761-803.

5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Managemen of Patiens with Fluid and

Electrolyte Disturbances. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: Lange

Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2006; 28:662-689

6. O’Callaghan C, ’Sains Dasar Ginjal dan Gangguan Fungsi Metabolik Ginjal’

At a Glance Sistem Ginjal, Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009, hh.

22-68.

7. Sacher R.A. dan Mcpherson R.A,‘Pengaturan Asam-Basa dan Elektrolit’

pada: Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi kedua, Penerbit

Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2002, hh.320-340.

8. Scott M.G., LeGrys, V.A. and Klutts J, ‘Electrochemistry and Chemical

Sensors and Electrolytes and Blood Gases’’ In: Tietz Text Book of Clinical
34

Chemistry and Molecular Diagnostics, 4th Ed. Vol.1, Elsevier Saunders Inc.,

Philadelphia, 2006, pp. 93-1014.

9. Siregar P, ‘Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit’ dalam: Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-5, Interna publishing, Jakarta, 2009, hh. 175-

189.

10. Smeltzer SC, Bare BG, Hinkle JL. Fluid and Electrolytes: Balance and

Disturbance. Brunner and Suddarth's Textbook of Medical-Surgical Nursing.

10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003;14:292-293

11. Tashiro T. Buku Saku Nutrisi Klinik. 2nd ed. Jakarta: PT. Otsuka Indonesia;

2003; 94.

Anda mungkin juga menyukai