BAB I
PENDAHULUAN
tinggi (hiper-) atau terlalu rendah (hipo-). Jika hal ini terjadi, dapat menghasilkan
ketidakseimbangan atau gangguan elektrolit.
Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa pasien dalam kegawatan
yang kalau tidak dikelola dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan kematian.
Usaha pemulihan kembali volume serta komposisi cairan dan elektrolit tubuh
dalam kondisi yang normal disebut resusitasi cairan dan elektrolit.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. NATRIUM
Natrium mengatur jumlah total air dalam tubuh. Selain itu, transmisi
natrium keluar dan masuk sel juga berperan penting dalam fungsi tubuh.
Banyak proses dalam tubuh, terutama di otak, sistem saraf, dan otot, yang
memerlukan sinyal listrik untuk komunikasi. Perpindahan natrium sangat
penting dalam menyalurkan sinyal-sinyal listrik. Terlalu banyak atau
sedikit natrium dapat menyebabkan kerusakan sel.
Kadar normal natrium dalam serum adalah 135–145 mEq/L.
Sedangkan kebutuhan asupan natrium per hari ialah 1–2 mEq/kgBB/hari.
a. Hipernatremia
Hipernatremia hampir selalu disebabkan oleh kehilangan air
melebihi kehilangan natrium (kehilangan cairan hipotonik) atau retensi
natrium dalam jumlah yang besar. Bahkan ketika kemampuan ginjal
untuk memekatkan urine rusak, rasa haus paling efektif mencegah
hiponatremia. Hipernatremia sering terjadi pada pasien yang sakit dan
tidak bisa minum, sangat tua, sangat muda, dan pasien tidak sadar. Pasien
dengan hipernatremia dapat memiliki jumlah total natrium tubuh yang
rendah, normal, atau tinggi.
8
Pertimbangan Anestesi
Hipovolemia dapat mencetuskan vasodilatasi atau depresi
kardiovaskular dari agen anestesi serta merupakan predisposisi untuk
hipotensi dan hipoperfusi jaringan. Adanya penurunan volume distribusi
dari obat mengakibatkan perlunya penurunan jumlah obat untuk
kebanyakan agen intravena, di mana penurunan cardiac output dapat
mempertinggi uptake dari anestesi inhalasi.
10
b. Hiponatremia
Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik oleh
peningkatan absolut dari TBW (Total Body Water) ataupun kehilangan
natrium melebihi kehilangan air. Kapasitas normal ginjal untuk
mengencerkan urine dengan osmolalitas serendah 40 mOsm/kg dapat
mengekskresikan lebih dari 10L air per hari, jika diperlukan. Oleh karena
kemampuan yang hebat ini, hiponetremia hampir selalu diakibatkan oleh
defek pada kapasitas pengenceran urine (osmolalitas urine
100mOsm/kg). Hiponatremia tanpa abnormalitas dari kapasitas
pengenceran ginjal (osmolalitas urine <100 mOsm/kg) biasanya
dihubungkan dengan polidipsia primer atau ‘reset’ osmoreseptor; kedua
kondisi terakhir ini dapat dibedakan dengan pembatasan cairan.
Hiponatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Rendah
Kehilangan cairan yang mengakibatkan hiponatremia dapat berasal
dari renal atau ekstrarenal. Kehilangan akibat sebab renal, kebanyakan
berhubungan dengan diuretik thiazide dan menghasilkan kadar natrium
urine lebih dari 20 mEq/L. Kehilangan akibat sebab ekstrarenal biasanya
berhubungan dengan gastrointestinal dan menghasilkan urine dengan
kadar natrium kurang dari 10 mEq/L. Pengecualian utama ialah
hiponatremia akibat muntah, yang dapat menghasilkan kadar natrium
urine lebih dari 20 mEq/L. Hai ini disebabkan oleh bikarbonaturia pada
alkalosis metabolik yang disertai dengan ekskresi natrium untuk menjaga
netralitas muatan pada urine.
Hiponatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Tinggi
Kelainan edematosa ditandai dengan peningkatan baik jumlah total
natrium tubuh maupun TBW. Ketika peningkatan air melebihi natrium,
11
Pengobatan Hiponatremia
Sama dengan hipernatremia, pengobatan hiponatremia ditujukan
pada koreksi baik penyakit yang mendasarinya maupun kadar natrium
plasma. Saline isotonik umumnya merupakan pengobatan terpilih untuk
pasien hiponatremia dengan penurunan jumlah total natrium tubuh. Saat
penurunan cairan ekstraseluler dikoreksi, diuresis air yang spontan akan
mengembalikan kadar natrium plasma ke normal. Hal sebaliknya,
12
Pertimbangan Anestesi
Hiponatremia sering merupakan manifestasi yang serius dari
penyakit yang mendasarinya dan memerlukan perhatian terhadap
evaluasi preoperatif. Konsentrasi natrium plasma di atas 130 mEq/L
umumnya dianggap aman untuk pasien yang akan dibius umum.
Konsentrasi natrium plasma sebaiknya dikoreksi hingga di atas 130
mEq/L untuk semua operasi elektif, bahkan bila gejala tidak ada.
Konsentrasi yang lebih rendah akan menyebabkan edema otak yang
dapat bermanifestasi intraoperatif yaitu penurunan MAC (Minimum
Alveolar Concentration) atau agitasi, konfusi, somnolen postoperatif.
2. KALIUM
Kalium, ion intraseluler utama dalam tubuh, berperan penting
dalam menentukan potensial membran sel. Walaupun konsentrasi kalium
ekstraseluler rendah, kadar kalium pada cairan ekstraseluler diregulasi
secara hati-hati, karena perubahan pada konsentrasi ekstraseluler dapat
menimbulkan gangguan fungsi saraf dan kardiovaskular yang
mengancam jiwa. Perpindahan kalium antara kompartemen intraseluler
dan ekstraseluluer dapat berhubungan dengan perubahan hormon serta
pH pada cairan ekstraseluler.
Kadar normal kalium dalam serum adalah 3.5–5.5 mEq/L.
Sedangkan kebutuhan asupan kalium ialah 1–2 mEq/hari.
13
a. Hiperkalemia
Hiperkalemia terjadi saat kadar kalium plasma melebihi 5.5
mEq/L. Hiperkalemia jarang terjadi pada individu normal karena
kapasitas ginjal yang luar biasa untuk mengekskresi kalium. Ketika
intake kalium meningkat, ginjal dapat mengekskresikan sebanyak 500
mEq kalium per hari. Sistem simpatis dan sekresi insulin juga berperan
penting dalam mencegah peningkatan akut kadar kalium plasma.
Hiperkalemia dapat disebabkan oleh (1) perpindahan kalium
interkompartemen, (2) penurunan ekskresi kalium di urine, dan (3)
peningkatan intake kalium. Peningkatan palsu konsentrasi kalium plasma
dapat terjadi jika terdapat hemolisis sel darah merah pada spesimen darah
(kebanyakan disebabkan torniquet yang lama ketika mengambil darah).
Pengobatan Hiperkalemia
Oleh karena potensial letalnya, hiperkalemia yang melebihi 6
mEq/L sebaiknya diterapi. Terapi secara langsung ditujukan untuk
membalik manifestasi jantung, dan kelemahan otot skeletal, serta
mengembalikan kadar kalium plasma ke nilai normal. Hiperkalemia yang
berhubungan dengan hipoaldosterinisme dapat diobati dengan
penggantian hormon mineralokortikoid. Obat-obatan yang berperan
17
Pertimbangan Anestesi
Operasi elektif sebaiknya tidak dilaksanakan pada pasien dengan
hiperkalemia. Manajemen anestesi dari pasien dengan hiperkalemia
ditujukan pada penurunan kadar kalium plasma serta pencegahan
peningkatan yang lebih lanjut. EKG harus dimonitor secara hati-hati.
Suksinil kolin dikontraindikasikan, sebagaimana juga larutan intravena
yang mengandung kalium seperti injeksi Ringer Laktat. Penghindaran
asidosis metabolik atau respiratorik penting untuk mencegah peningkatan
kadar kalium plasma lebih lanjut.
18
b. Hipokalemia
Hipokalemia ditentukan saat kadar kalium plasma kurang dari 3.5
mEq/L dan dapat terjadi oleh karena: (1) perpindahan kalium
interkompartemen, (2) peningkatan kehilangan kalium, dan (3) intake
kalium tidak adekuat.
Hipokalemia Akibat Perpindahan Kalium Interkompartemen
Hal ini terjadi saat alkalosis, terapi insulin, pemberian β2-
adrenergik agonis, dan hipotermia. Hipokalemia juga dapat terjadi pada
transfusi sel darah merah beku; di mana sel-sel tersebut kehilangan
kalium saat proses pengawetan.
Hipokalemia Akibat Peningkatan Kehilangan Kalium
Hal ini hampir selalu disebabkan oleh kelainan ginjal dan
gastrointestinal. Pengeluaran kalium melalui ginjal kebanyakan
merupakan hasil dari diuresis atau peningkatan aktivitas
mineralokortikoid. Peningkatan kehilangan kalium dari gastrointestinal
kebanyakan disebabkan oleh muntah atau diare. Peningkatan
pembentukan keringat kronik biasanya menyebabkan hipokalemia,
terutama saat intake kalium dibatasi. Dialisis dengan larutan rendah
kalium dapat pula menyebabkan hipokalemia.
Hipokalemia Akibat Penurunan Intake Kalium
Oleh karena kemampuan ginjal untuk menurunkan eskresi kalium
rendah, yaitu 5-20 mEq/L, adanya penurunan intake kalium sangat
berpengaruh terhadap terjadinya hipokalemia. Intake kalium yang
rendah, bagaimanapun, sering meningkatkan efek dari peningkatan
kehilangan kalium.
Pengobatan Hipokalemia
Penggantian oral dengan larutan kalium klorida umumnya aman
(60–80 mEq/hari). Penggantian kekurangan kalium biasanya memerlukan
beberapa hari. Penggantian intravena dengan larutan kalium klorida
sebaiknya diberikan pada pasien dengan atau yang beresiko terhadap
manifestasi jantung atau kelemahan otot. Tujuan dari terapi intravena ini
adalah untuk mengeluarkan pasien dari keadaan bahaya daripada
mengoreksi seluruh kekurangan kalium. Penggantian kalium intravena
perifer sebaiknya tidak melebihi 8 mEq/jam karena efek iritatif dari
kalium pada vena perifer. Larutan yang mengandung dekstrosa sebaiknya
dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan sekresi insulin
sekunder dapat menurunkan kadar kalium plasma lebih jauh lagi.
Pertimbangan Anestesi
Hipokalemia umum ditemukan saat preoperatif. Keputusan untuk
melakukan operasi elektif sering didasarkan pada batas antara 3 dan 3.5
mEq/L. Keputusan ini, bagaimanapun, sebaiknya juga didasarkan pada
tingkat mana hipokalemia berkembang serta ada tidaknya disfungsi organ
sekunder. Umumnya, hipokalemia kronik ringan (3–3.5 mEq/L) tanpa
perubahan EKG tidak terlihat meningkatkan resiko anestesi. Hal tersebut
tidak berlaku jika pasien memperoleh digoxin, yang dapat meningkatkan
resiko berkembangnya toksisitas digoxin akibat hipokalemia.
Kalium intravena sebaiknya diberikan bila terjadi aritmia atrium
atau ventrikel. Larutan bebas glukosa sebaiknya digunakan dan
hiperventilasi dihindari untuk mencegah penurunan kadar kalium plasma
lebih lanjut. Peningkatan sensitivitas terhadap NMBAs (NeuroMuscular
Blocking Agents) dapat terlihat pada beberapa pasien. Dosis NMBAs
sebaiknya dikurangi 25-50% dan stimulator saraf sebaiknya digunakan
untuk mengikuti tingkat paralisis dan reverse yang adekuat.
20
3. KALSIUM
Ion kalsium berperan pada hampir semua fungsi esensial biologik
tubuh, meliputi kontraksi otot, pelepasan neurotransmiter dan hormon,
koagulasi darah, serta metabolisme tulang. Kalsium secara normal
memasuki cairan ekstraseluler melalui absorpsi dari traktus intestinal
atau resorpsi tulang. Sebaliknya, kalsium meninggalkan kompartemen
ekstraseluler melalui (1) deposisi di tulang, (2) ekskresi urine, (3) sekresi
ke traktus gastrointestinal, dan (4) pembentukan keringat. Kadar kalsium
ekstraseluler diregulasi oleh tiga hormon: hormon paratiroid (PTH),
vitamin D, dan kalsitonin. Ketiga hormon ini terutama bekerja pada
tulang, tubulus distal ginjal, dan usus halus.
PTH merupakan regulator kalsium plasma yang paling penting.
Penurunan kadar kalsium plasma akan menstimulasi PTH, sedangkan
peningkatan kadar kalsium plasma dapat menghambat sekresi PTH. Efek
kalsemik dari PTH berhubungan dengan (1) mobilisasi kalsium dari
tulang, (2) peningkatan reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal, dan
(3) peningkatan tidak langsung absorpsi intestinal melalui 1.25-
dihidroksikolekalsiferol yang disintesis di ginjal.
Vitamin D berupa 1.25-dihidroksikolekalsiferol mencetuskan
absorpsi kalsium di usus, memudahkan kerja PTH di tulang, dan
meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus distal.
Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang disekresi oleh sel
parafolikuler kelenjar tiroid. Sekresinya distimulasi oleh hiperkalsemia
dan dihambat oleh hipokalsemia. Kalsitonin menghambat reabsorpsi
tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium urine.
Kadar normal kalsium dalam serum adalah 2.38–2.66 mEq/L.
Sedangkan kebutuhan asupan kalsium ialah 0.2–0.3 mEq/kgBB/hari.
a. Hiperkalsemia
Hiperkalsemia dapat terjadi sebagai hasil dari berbagai gangguan.
Pada hiperparatiroidisme primer, sekresi PTH meningkat dan tidak
terpengaruh oleh kadar kalsium. Sebaliknya, pada hiperparatiroidisme
21
Pengobatan Hiperkalsemia
Hiperkalsemia simptomatik memerlukan terapi yang cepat. Terapi
awal yang paling efektif ialah rehidrasi diikuti dengan diuresis cepat
(urine output 200–300 ml/jam) dengan pemberian infus saline intravena
dan loop diuretic untuk meningkatkan ekskresi kalsium. Terapi diuretik
prematur yang lebih dahulu dibandingkan dengan rehidrasi akan
memperberat hiperkalsemia melalui penurunan volume.
22
Pertimbangan Anestesi
Hiperkalsemia merupakan kedaruratan medis yang harus
diperbaiki, jika memungkinkan, diutamakan daripada pemberian anestesi
tertentu. Kadar ion kalsium sebaiknya diawasi dengan ketat. Jika operasi
harus tetap dilaksanakan, diuresis saline sebaiknya tetap dilanjutkan
intraoperatif dengan perawatan yang baik untuk mencegah hipovolemia.
Ventilasi sebaiknya dikontrol saat pembiusan umum. Asidosis sebaiknya
dihindari sehingga tidak terjadi peningkatan kadar kalsium plasma lebih
jauh.
b. Hipokalsemia
Hipokalsemia akibat hipoparatiroidisme biasanya berhubungan
dengan hipokalsemia simptomatik. Hiperparatiroidisme dapat disebabkan
oleh pembedahan, idiopatik, atau bagian dari defek endokrin multipel
(kebanyakan akibat insufisiensi adrenal), atau berhubungan dengan
23
Pengobatan Hipokalsemia
Hipokalsemia simptomatik merupakan kedaruratan medis yang
harus diterapi nsegera dengan kalsium klorida (larutan 10% 3–5 ml) atau
24
Pertimbangan Anestesi
Hipokalsemia sebaiknya dikoreksi preoperatif. Kadar ion kalsium
serial sebaiknya diawasi intraoperatif pada pasien dengan riwayat
hipokalsemia. Alkalosis sebaiknya dihindari untuk mencegah penurunan
kadar kalsium lebih lanjut. Kalsium intavena dapat diberikan menyertai
tansfusi cepat dari produk darah berupa sitrat atau larutan albumin
volume besar. Efek potensiasi inotropik negatif dari barbiturat dan
anestesi volatil sebaiknya dapat diperkirakan. Respon terhadap NMBAs
tidak konsisten dan memerlukan pengawasan ketat dengan stimulator
saraf.
4. MAGNESIUM
Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting,
berfungsi sebagai kofaktor berbagai jalur enzim. Hanya 1–2% dari total
magnesium tubuh yang disimpan di cairan ekstraseluler, 67% terdapat di
tulang, dan sisanya 31% ada di intraseluler.
Kadar magnesium normal dalam serum adalah 1.7–2.1 mEq/L.
Sedangkan kebutuhan asupan magnesium ialah 0.2–0.5 mEq/kgBB/hari.
a. Hipermagnesemia
Peningkatan kadar magnesium plasma hampir selalu berhubungan
dengan kelebihan intake (antasida atau laksatif yang mengandung
magnesium), kerusakan ginjal (GFR < 30 mL/menit), atau keduanya.
Hipermagnesemia iatrogenik juga terjadi selama terapi magnesium sulfat
pada hipertensi gestational yang berpengaruh pada ibu dan janin.
Penyebab lainnya berupa insufisiensi adrenal, hipotiroidisme,
rhabdomiolisis, dan pemberian lithium.
25
Pengobatan Hipermagnesemia
Semua sumber intake magnesium (kebanyakan akibat antasida)
sebaiknya dihentikan. Kalsium intravena (1 g kalsium glukonat) dapat
secara sementara mengantagonis sebagian besar efek dari
hipermagnesemia. Loop diuretic yang disertai dengan ½-normal saline
dalam dekstrosa 5% dapat meningkatkan ekskresi magnesium.
Pertimbangan Anestesi
Hipermagnesemia memerlukan pengawasan yang ketat terhadap
EKG, tekanan darah, dan fungsi neuromuskuler. Potensiasi dari
vasodilatasi dan inotropik negatif agen anestesi sebaiknya diperhatikan.
Dosis NMBAs sebaiknya dikurangi 25–50%. Kateter urine dibutuhkan
ketika infus diuretik dan saline digunakan untuk meningkatkan ekskresi
magnesium.
b. Hipomagnesemia
Hipomagnesemia penting diperhatikan pada pasien yang sakit.
Hipomagnesemia umumnya berhubungan dengan defisiensi dari
komponen intraseluler seperti kalium dan fosfor. Defisiensi magnesium
disebabkan oleh intake yang tidak adekuat, penurunan absorpsi
gastrointestinal, dan peningkatan ekskresi ginjal. β-adrenergik agonis
26
Pengobatan Hipomagnesemia
Hipomagnesemia asimptomatik dapat diterapi per oral
(magnesium sulfat heptahidrat atau magnesium oksida) atau
intramuskular (magnesium sulfat). Menifestasi serius seperti kejang
harus diterapi dengan magnesium sulfat intravena, 1–2 g (8–16 mEq atau
4–8 mmol) diberikan secara lambat selama 15–60 menit.
Pertimbangan Anestesi
Walaupun tidak ada interaksi anestesi spesifik yang disebutkan,
gangguan elektrolit yang menyertainya seperti hipokalemia dan
hipokalsemia sering terjadi dan harus dikoreksi lebih dahulu
dibandingkan dengan pelaksanaan operasi. Hipomagnesemia isolasi
sebaiknya dikoreksi sebelum prosedur elektif sebab dapat menyebabkan
aritmia jantung. Lebih lanjut, magnesium nampaknya memiliki efek
antiaritmia intrinsik dan protektif terhadap otak, di mana seringkali
diberikan pada operasi bypass kardiopulmonar.
27
5. KLORIDA
Klorida, anion utama dari cairan ekstraseluler, ditemukan lebih
banyak pada kompartemen interstitial dan cairan limfoid daripada dalam
darah. Klorida juga merupakan bagian dari cairan sekresi lambung dan
pankreas, keringat, kantung empedu, dan air liur. Natrium dan klorida
merupakan komposisi elektrolit terbesar dalam cairan ekstraseluler dan
berperan dalam menentukan tekanan osmotik. Klorida diproduksi dalam
lambung, yang dikombinaksikan dengan hidrogen untuk membentuk
adam hidroklorida. Kontrol klorida tergantung dari intake klorida,
ekskresi, dan absorpsi ion tersebut dari ginjal. Klorida dalam jumlah
kecil dibuang dalam feses.
Kadar klorida dalam serum mencerminkan pengenceran atau
pemekatan yang terjadi di cairan ekstrseluler serta menunjukkan secara
langsung proporsi konsentrasi natrium. Osmolalitas serum paralel dengan
kadar klorida. Sekresi aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium, yang
juga meningkatkan reabsorpsi klorida. Pleksus koroid, yang mensekresi
cerebrospinal fluid di otak, bergantung pada natrium dan klorida untuk
menarik air dan membentuk proporsi dari cerebrospinal fluid.
Bikarbonat memiliki hubungan dengan klorida. Saat klorida
berpindah dari plasma menuju sel darah merah (disebut dengan chloride
shift), bikarbonat berpindah kembali ke plasma. Ion hidrogen terbentuk,
yang kemudian membantu pelepasan oksigen dari hemoglobin.
Ketika kadar salah satu dari elektrolit ini terganggu (natrium,
bikarbonat, dan klorida), kedua elektrolit lainnya pun akan terpengaruh.
Klorida berperan dalam menjaga keseimbangan asam basa dan bekerja
sebagai buffer dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam sel
darah merah. Klorida diperoleh dari makanan seperti garam dapur.
Kadar normal klorida dalam serum ialah 97–107 mEq/L.
Sedangkan kebutuhan asupan klorida ialah 1–2 mEq/kgBB/hari.
28
a. Hiperkloremia
Kadar klorida serum yang tinggi dapat mengakibatkan
hiperkloremia asidosis metabolik oleh karena iatrogenik pemberian
klorida seperti larutan NaCl 0.9%, larutan NaCL 0.45%, atau larutan
Ringer Laktat. Kondisi ini dapat pula disebabkan oleh kehilangan ion
bikarbonat dari ginjal dan saluran pencernaan yang diikuti dengan
peningkatan ion klorida. Ion klorida dalam bentuk garam asam
terakumulasi, dan asidosis terjadi dengan menurunnya ion bikarbonat.
Trauma kepala, peningkatan produksi keringat, kelebihan hormon
mineralokortikoid, dan penurunan filtrasi ginjal dapat menuju
peningkatan kadar klorida serum.
Pengobatan Hiperkloremia
Koreksi penyakit yang menyebabkan hiperkloremia serta
mengembalikan keseimbangan elektrolit, cairan, dan asam-basa
sangatlah penting. Larutan hipotonik intravena dapat diberikan untuk
mengembalikan keseimbangan. Larutan Ringer Laktat dapat diberikan
supaya laktat diubah menjadi bikarbonat di hati, sehingga dapat
meningkatkan kadar bikarbonat dan mengoreksi asidosis. Natrium
bikarbonat intravena dapat diberikan untuk meningkatkan kadar
bikarbonat yang menuju pada ekskresi ginjal terhadap ion klorida akibat
kompetisi bikarbonat dan klorida untuk berikatan dengan natrium.
29
b. Hipokloremia
Hipokloremia dapat terjadi akibat drainase tube gastrointestinal,
suction lambung, pembedahan lambung, muntah berat, dan diare.
Pemberian larutan intravena dengan kadar klorida rendah, intake natrium
yang rendah, penurunan kadar natrium, alkalosis metabolik, transfusi
masif darah, terapi diuretik, luka bakar, dan demam dapat menyebabkan
hipokloremia. Pemberian aldosteron, ACTH, kortikosteroid, bikarbonat,
dan laksatif dapat menyebabkan penurunan kadar klorida serum. Saat
klorida menurun (biasanya karena penurunan volume), ion natrium dan
bikarbonat ditahan oleh ginjal untuk menyeimbangkan kehilangan
klorida. Bikarbonat terakumulasi di cairan ekstraseluler, yang
meningkatkan pH dan berujung pada hiperkloremia asidosis metabolik.
Pengobatan Hipokloremia
Terapi meliputi koreksi penyebab hipokloremia serta
ketidakseimbangan asam-basa dan elektrolit. Larutan normal saline
(NaCl 0.9%) atau ½ normal saline (NaCl 0.45%) diberikan intravena
30
d. Stress
Stress dapat meningkatkan metabolisme sel, glukosa darah, dan
pemecahan glykogen otot. Mrekanisme ini dapat meningkatkan natrium
dan retensi air sehingga bila berkepanjangan dapat meningkatkan volume
darah
e. Kondisi Sakit
Kondisi sakit sangat berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan
cairan dan elektrolit tubuh. Misalnya :
Trauma seperti luka bakar akan meningkatkan kehilangan air melalui
IWL.
Penyakit ginjal dan kardiovaskuler sangat mempengaruhi proses
regulator
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran akan mengalami
gangguan pemenuhan intake cairan karena kehilangan kemampuan untuk
memenuhinya secara mandiri.
f. Tindakan Medis
Banyak tindakan medis yang berpengaruh pada keseimbangan
cairan dan elektrolit tubuh seperti : suction, nasogastric tube dan lain-lain.
g. Pengobatan
Pengobatan seperti pemberian deuretik, laksative dapat
berpengaruh pada kondisi cairan dan elektrolit tubuh.
h. Pembedahan
Pasien dengan tindakan pembedahan memiliki resiko tinggi
mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh,
dikarenakan kehilangan darah selama pembedahan.
32
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
2. Ganong W.F, ’Fungsi Ginjal dan Miksi’ pada Buku Ajar Fisiologi
725-756.
3. Guyton A.C and Hall J.E, dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-
4. Matfin G. and Porth C.M, ‘Disorders of Fluid and Electrolyte Balance’ In:
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Managemen of Patiens with Fluid and
At a Glance Sistem Ginjal, Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009, hh.
22-68.
Sensors and Electrolytes and Blood Gases’’ In: Tietz Text Book of Clinical
34
Chemistry and Molecular Diagnostics, 4th Ed. Vol.1, Elsevier Saunders Inc.,
Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-5, Interna publishing, Jakarta, 2009, hh. 175-
189.
10. Smeltzer SC, Bare BG, Hinkle JL. Fluid and Electrolytes: Balance and
11. Tashiro T. Buku Saku Nutrisi Klinik. 2nd ed. Jakarta: PT. Otsuka Indonesia;
2003; 94.