Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun
2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta
orang, 37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di
negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata
terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk,
dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan
insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang.
Myastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi
kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan
waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Myasthenia gravis
mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Kelemahan otot yang parah yang
disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain, termasuk
kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicaracadel, kelopak
mata murung dan kabur atau penglihatan ganda.
Myastenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur.
Namun lebih sering terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan
40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan jarang terjadi selama masa
kanak-kanak.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini.
Sekitar 65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran
kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus
(thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker (malignant). Beberapa
orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor
acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan dengan
pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa
memerlukan pengobatan berbeda.
1
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada
dasarnya epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang
timbul akibat adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidak
seimbangan polarisasi listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif
pada neuron sehingga menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang
berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada di dalam otak. Epilepsi
sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi
psikososial yang berat bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah,
pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak
menikah bagi penyandangnya).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asuhan keperawatan pada myastenia gravis?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada epilepsi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada myastenia gravis
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada epilepsi
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Myastenia Gravis
1. Pengertian
Gambar 2.1
3
2. Etiologi
Hasil penelitian menunjukan bahwa kelemahan pada myastenia
gravis diakibatkan dari sirkulasi antibodi dalam reseptor Ach. Menurut
hipotesa bahwa sel-sel myoid (sel-sel thymus yang menyerupai sel otot
skeletal) sebagai tempat yang paling awal terjangkit penyakit. Virus
bertanggung jawab terhadap sel-sel ini, dimana menyebabkan
pembentukan antibodi.
Penyebab lain diperkirakan karena faktor keturunan, dimana 15%
dari bayi yang baru lahir dari ibu menderita myastenia gravis
memperlihatkan gejala-gejala seperti kelemahan pada muskular, ptosis,
kesulitan menghisap dan sesak napas. Setelah 7-14 hari bayi lahir,
gejala-gejala ini akan hilang seiring hilangnya natibodi. Hal ini
memperkuat teori bahwa antibodi berperan dalam penyakit ini.
3. Patofisiologi
Konsep dasar terjadinya myastenia gravis adalah
ketidakmampuan impuls saraf melalui otot pada neuromuskular junction.
Pada keadaan normal hantaran listrik saraf atau impuls dimulai dari
dendrit dan berjalan ke akson melalui sinap untuk kemudian diteruskan
ke sel saraf lainnya. Komponen dari sinap itu sendiri terdiri atas
presinap, celah sinap dan post sinap. Presinap terdiri dari akson terminal
(bouton) yang memproduksi dan menyimpan asetilkolin yang merupakan
neurotransmiter. Celah sinap adalah ruang yang terdapat antara membran
presinap dan post sinap, didalam nya terdapat zat gelatin dan melalui
gelatin inilah cairan ekstra sel dapat berdifusi. Sedangkan pada post
sinap terdapat reseptor-reseptor asetilkolon dan dapat menghasilkan
potensial aksiotot. Pada membran post sinap juga terdapat enzim asetil
kolinesterase yang dapat menghancurkan asetilkolin.
Bila impuls sudah mencapai presinap maka membran akson
terminal presinap akan mengalami depolarisasi dan asetilkolin
dilepaskan dalam celah sinap kemudian ditangkap atau bergabung
4
dengan reseptor-reseptor asetilkolin pada pist sinap. Penggabungan ini
akan mempengaruhi permeabilitas natrium dan kalium pada post sinap
yang selanjutnya berperan dalam membangkitkan potensial aksi. Potensi
aksi inilah yang memicu serangkaian reaksi terhadap kontraksi otot.
Pada myastenia gravis terjadi gangguan dalam konduksi
neuromuskuler dimana setikolin yang diperlukan sebagai
neurotransmiter kurang pembentukannya, terganggu pelepasannya, cepat
terurai oleh enzim asetil kolineterase, rusaknya reseptor asetilkolin oleh
antibodi antiasetilkolin reseptor sehingga tidak dapat menimblkan
potensial aksi.
Pasien dengan myastenia gravis kemungkinan terjadi kelainan
kelenjar thymus. Tumor kelenjar thmus dan thyoma, diperkirakan telah
terjadi sekitar 15% kasus yag menimbulkan hiperplasia pada thymus
sekitar 80% (Adam dan Viktor, dkk).
5
Pathway myastenia gravis
Bagan 2.1
Penurunan hubungan
Kelemahan otot-otot
6
4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala myastenia gravis bervariasi dari masing-masing
individu, namun demikian pada pasien myastenia gravis tanda dan gejala
mungkin timbul adalah:
a. Gangguan pada mata seperti adanya diplopia (pandangan ganda)
b. Gangguan pada otot wajah seperti kesulitan mengunyah, menelan
dan bicara
c. Gangguan pada kelemahan otot palatal, dan pharing sehingga
pasien tidak mampu menelan dan hal ini beresiko menimbulkan
aspirasi
d. Kelemahan otot leher sehingga kepala pasien sulit tegak
e. Kelemahan pada otot-otot pernapasan seperti diafragma dan otot
intercosta megakibatan terganggunya pernapasan
f. Terjadinya krisis myastenia, disebabkan karena kekurangan
asetilkolin, keadaan ini disebabkan karena perubahan atau
ketergantungan obat, emosi dan stres fisik, infeksi atau
pembedahan.
g. Terjadinya krisis kolinergi, disebabkan karena kelebihan dari
asetilkolin sebagai akibat over dosis pengobatan atau efek toksik
dari pemberian asetilkolin.
5. Klasifikasi
Menurut Osserman myastenia grafis dapat diklasifikasikan menjadi IV
kelas :
Kelas I : Myastenia okular, hanya menyerang otot-otot okular
seperti diplopia. Sifatnya ringan dan tidak menimbulkan
kematian
Kelas II A : Myastenia umum ringan, awitan lambat, biasanya pada
mata kemudian menyebar ke otot rangka, tidak gawat,
respon terhadap obat baik, kematian rendah.
7
Kelas II B : Myastenia umum sedang menyerang beberapa otot
skeletal dan bulbar, kesulitan mengunyah, menelan.
Respon terhadap obat kurang, angka kematian rendah.
Kelas III : Myastenia fulminan akut, perkembangan penyakit cepat
disertai krisi pernapasan, respon terhadap obat buruk,
terjadinya thyoma tinggi dan angka kematian tinggi.
Kelas IV : Myastenia berat lanjut, berkembang selama 2 tahun dari
kelas I ke Kleas II. Dapat berkembang secara pelan atau
tiba-tiba, respon terhadap pengobatan kurang dan
kematian tinggi.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Rontgen dada, CT Scan dada :Mengetahui kemungkinan adanya
thyoma.
b. Tensilon test ( Edrofonium Klorida ) : Dengan menyuntikan 1-2
mg tensilon intavena, jika tidak perkembangan suntikan kembali
5-8 tensilon reaksi dinaggap positif apabila ada perbaikan
kekuatan otot yang jelas ( Misalnya dalam 1 menit) ptosis hilang.
c. Test Wertenberg : Penderita diminta menatap benda diatas bidang
kedua mata tanpa berkedip. Pada stemia grafis maka kelopak
mata yang terkena akan ptosis.
d. Test Prostigmin : 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atrpon
sulfas disuntikan IM atau SC. Positif apabila ada perbaikan
kekuatan otot, atau gejala menghilang.
e. Electromyogram : Menegetahui kontraksi otot
f. Antibodi Anti respetor asetilkolin : Terjadi peningkatan
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan umum
1) Pemenuhan kebutuhan nutrisi
2) Aktivitas fisik dan pencegahan komplikasi
3) Penggunaan ventilator jika ada indikasi
b. Pengobatan
8
1) Plasmaferesis, terapi penggantian plasma sebanyak 3-8
kali
2) Antikolisterase, seperti piridostigmin 30-120 mg per oral
tiap 3 jam
3) Steroid, seperti prednison diberikan selang seling sehari
sekali untuk menghindari efek samping
4) Immunosuppresan, seperti azatioprin
c. Pembedahan
1) Timektomi, pengangkatan kelenjar thymus.
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas klien
2) Keluhan utama : Keluhan utama yang sering menyebabkan
klien miastenia gravis meminta pertolongan kesehatan sesuai
dengan kondisi dari adanya penurunan atau kelemahan
otot-otot dengan manifestasi diplopia (penglihathan
ganda), ptosis (jatuhnya kelopak mata) merupakan keluhan
utama dari 90% klien miastenia gravis, disfonia (gangguan
suara), masalah menelan dan mengunyah makanan. Pada
kondisi berat keluhan utamanya biasanya adalah
ketidakmampuan menutup rahang, ketidakmampuan
batuk efektif dan dispnea.
3) Riwayat kesehatan : Diagnosa miasenia didasarkan
pada riwayat dan pesentasi klinis. Riwayat kelemahan otot
setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan pasial setelah
istirahat sangatlah menunukkan miastenia gravis, pasien
mugkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan
fisik yang sederhana . riwayat adanya jatuhnya kelopak mata
pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti
tentang kelemahan otot. Selain itu juga perlu diperhatikan
9
tentang riwayat penyakit sekarang, dahulu dan riwayat
penyakit keluarga.
4) Pengkajian Psiko-sosial-spiritual Klien miastenia gravis
sering mengalami gangguan emosi dan kelemahan otot
apabila mereka berada dalam keadaan tegang. Adanya
kelemahan pada kelopak mata (ptosis), diplopia, dan
kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien
sering mengalami gangguan citra diri
5) Pemeriksaan fisik
a) B1 (Breathing) Inspeksi apakah klien mempunyai
kemampuan atau penurunan batuk efektif, produksi
sputum, dispnea, prnggunaan otot-otot bantu
pernafasan dan peningkatan frekuensi pernafasan sering
didapatkan pada klien yang disertai adanya
kelemahan otot-otot pernafasan. Auskultasi buyi
nafas tambahan seperti ronchi atau stridor pada klien
menandakan adanya akumulasi secret pada jalan nafas
dan penurunan kemampuan otot-otot pernafasan.
b) B2 (Bleeding)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama
dilakukan untuk memantau perkembangan status
kardiovaskuler, terutama denyut nadi
(takikardi/bradikardi) dan tekanan darah
(hipertensi/hipotensi) yang secara progresif akan
berubah sesuai dengan kondisi tidak membaiknya
status pernafasan.
c) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran, Biasanya pada kondisi awal
kesadaran klien masih baik
Fungsi serebral
10
Status mental : observasi penampilan klien dan
tingkah lakunya, nilai gaya bicara dan observasi
ekspresi wajah, aktivitas motorik yang mengalami
perubahan seperti adanya gangguan perilaku,
alam perasaan, dan persepsi
6) Pemeriksaan saraf cranial
a) Saraf I
Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan
fungsi penciuman tidak ada kelainan.
b) Saraf II
Penurunan pada test ketajaman penglihatan, klien
sering mengeluh adanya penglihatan ganda
c) Saraf III, IV dan VI
Sering didapat adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia,
mimic dari Pseudointernuklear oftalmoplegia akibat
gangguan motorik pada saraf VI
d) Saraf V
Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah
akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah
e) Saraf VII
Persepsi pengecapan terganggu akibat adanya
gangguan motorik lidah/triple-furrowed lidah
f) Saraf VIII
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
g) Saraf IX dan X
Ketidakmampuan dalam menelan
h) Saraf XI
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius
i) Saraf XII
11
Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu
titik akibat kelemahan otot motorik pada lidah/triple-
furrowed lidah terganggu akibat adanya gangguan
motorik lidah/triple-furrowed lidah
7) Sistem motorik
Karakteristik utama miastenia gravis adalah kelemahan dari
systemnmotorik. Adanya kelemahan umum pada otot-otot
rangka memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas dan
intoleransi aktivitas klien
8) Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum, atau periosteum derajat reflex pada respon normal
9) Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsy biasanya didapatkan
perasaan raba normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan
abnormal di permukaan tubuh.
a) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya
didapatkan berkurangnya volume output urine, hal ini
berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung ke ginjal. Selain itu dimungkinkan adanya
penurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine,
hilangnya sensasi saat berkemih.
b) B5 ( Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan
produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien
miastenia gravis menurun karena ketidakmampuan
menelan makanan sekunder dari kelemahan otot-otot
menelan, kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus
turun.
c) B6 (Bone)
12
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan
hambatan pada mobilitas dan mengganggu aktivitas
perawatan diri.
9. Analisa Data
Kelemahan otot
pernapasan
Ketidakmampuan
batuk efektif
kelemahan otot-otot
pernapasan
13
2 Ds: Gangguan autoimun Resiko tinggi
yang merusak reseptor aspirasi
Do:
acetilkolin
• Tersedak
Jumlah reseptor
acetilkolin berkurang
pada membran post
sinap
Penurunan hubungan
Kelemahan otot
wajah, laring faring
Regurgitasi makanan
ke hidung pada saat
menelan suara
abnormal
ketidakmampuan
menutup rahang
14
beraktivitas Jumlah reseptor
acetilkolin berkurang
• Merasa letih
pada membran post
• Merasa lemah sinap
• Gaya hidup
monoton Penurunan hubungan
Kelemahan otot
volunter
Kelemahan otot
Intoleransi aktivitas
15
Gangguan otot levator
palpebra
16
B. EPILEPSI
Gambar 2.2
1. Pengertian
2. Etiologi
Masalah dasarnya di perkirakan dari gangguan listrik disritmia
pada sel saraf pada salah satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini
mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang dan tidak terkontrol
(Smeltzer, 2006). Menurut Mansjoer, Arif etiologi epilepsi adalah:
a. Idiopatik, sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi
idiopatik
17
b. Faktor herediter, ada beberapa penyakit yang bersifat herediter
yang disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberose,
neurofibromatosis, hipoglikemi, hipopratiroidisme, angiomatosis
ensefalotrigeminal, fenilketonuria
c. Faktor genetik, pada kejang demam dan breath holding spell
d. Kelainan congenital otak, seperti atrofi, poresenfali, agnesis
korpus kolosum
e. Gangguan metabolic, seperti hipernatremia, hiponatremia,
hipokalsemia, hipoglikemia
f. Infeksi, radang yang di sebabkan bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya
g. Lain-lain nya seperti penyakit darah, gangguan keseimbangan
hormon, degenerasi serebral.
3. Patofisiologi
Sampai saat ini patofisiologi epilepsi belum diketahui dengan
jelas. Namun ada hipotesis yang menduga bahwa epilepsi disebabkan
karena adanya sekelompok neuron yang secara intrinsik mempunyai
kelainan pada membran nya dan bersifat iritatif. Pada keadaan normal sel
saraf bekerja karena adanya depolarisasi dan repolarisasi secara terus
menerus dan seimbang. Depolarisasi terjadi akibat perbedaan medan
listrik yang di cetuskan oleh ketidakseimbangan elektrolit atau ion
karena sebab tertentu.
Elektrolit ditampung oleh sel-sel pendukung neuron yaitu sel glia.
Jika sel glia rusak maka ion-ion seperti kalsium, kalium tidak pada
tempatnya, hal ini yang kemudian menimbulkan perbedaan medan listrik
dan berakibat pada terjadinya depolarisasi. Lonjatan arus listrik yang
terjadi juga tidak terlepas dari peran neurotrasmier, dimana bila ekstitasi
lebih besar dan inhibisi lebih kecil akson mulai terangsang, suatu
potensial aksi akan dikirimkan sepanjang akson untuk menghambat atau
meningkatkan rangsangan pada neuron lain.
18
Pada tingkat membran sel neuron epileptik ditandai oleh
fenomena biokimia tertentu diantaranya adanya ketidakstabilan membran
sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif
dengan ambang yang menurun sehingga mudah terangsang secara
berturut-turut, mungkin terjadi polarisasi yang abnormal.
19
Pathway epilepsi, Nanda 2016, Bagan 2.2
Psikomotor Grandmal
Penyakit kronik
Perubahan proses
keluarga
Ketidakefektifan
4. Manifestasi Klinis
a. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran
atau gangguan penginderaan
g. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala
sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi,
bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal
m. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air
kecil.
21
5. Klasifikasi
Kejang di klasifikasikan berdasarkan kriteria klinik dan EEG. Ada dua
kategori, yaitu:
1) Kejang umum
Adalah kejang yang menunjukan sinkronisasi keterlibatan semua
bagian otak pada kedua hemisfer., yang termasuk kedalam kejang
umum adalah:
a. Petit Mall (absen)
22
c. Mioklonik
d. Atonik
23
Dahulu disebut epilepsi jakson, pasien sadar akan apa
yang terjadi, tetapi ia tidak mampu mengendalikannya. Gejala
kejang ini bisa hanya sensori, motorik, automatik atau ketiga nya
tergantung dari area yang terkena.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Computer Tomography (CT) Scan, yaitu adanya perubahan struktur
pada otak
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI), adanya perubahan struktur otak
c. Cerebral Angiography, kemungkinan abnormalitas vaskuler
d. Electroencephalogram (EEG), yaitu adanya gelombang paku (spike),
gelombang paku, lambat (spike and slow wave)
e. Test urine untuk menentukan kadar obat.
7. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah menyembuhkan atau mengatasi gejala-
gejala dan mengurangi efek samping pengobatan obat. Setiap obat
epilepsi mempunyai efektivitas yang terbatas untuk mengatasi masalah
epilepsi yang berbeda. Sehingga apabila pilihan tidak tepat dapat
menimbulkan toksikasi. Prinsip pengobatan farmakologis pasien dengan
epilepsi adalah:
a. Tegakan diagnosa dengan mengklasifikasikan jenis kejang
24
a. Tingkatkan dosis secara lambat sampai mencapai dosis
terapi, tentukan efek samping
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
b. Identitas klien
c. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya
ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami
penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-
kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan
sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau
anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
d. Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan
diri.
e. Riwayat penyakit dahulu:
1) Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2) Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
hiponatremia)
4) Tumor Otak
25
6) Demam
7) Stroke
8) Gangguan tidur
9) Penggunaan obat
10) Hiperventilasi
3) Perubahan pupil
26
4) Gerakan atau aktivitas motorik
6) Apnea
7) Cyanosis
9) Lidah tergigit
9. Analisa data
Spasme otot
pernapasan
Obstruksi
trakheobronkial
Ketidakefektifan
27
bersihan jalan
napas
Ketidakmapuan
koping keluarga
3 Ds: Epilepsi Harga diri rendah
Do:
• Perilaku bimbang Psikomotor
• Gangguan citra
tubuh Gangguan
• Perubahan peran neurologis
sosial
Gangguan
perkembangan
28
4 Ds: Epilepsi Kerusakan
Do: memori
• Mengalami lupa Aktivitas kejang
• Ketidakmampuan
mengingat perilaku Hipoksia
yang pernah
dilakukan Kerusakan memori
Risiko cidera
6 Ds: Epilepsi Isolasi sosial
Do:
• Tidak ada dukungan Aktivitas kejang
orang yang dianggap
penting Perubahan status
• Tidak ada kontak kesehatan
mata
• Ingin sendirian Isolasi sosial
7 Ds: Sistem saraf Kerusakan
Do: mobilitas fisik
• Dispneu Ketidakseimbangan
• Keterbatasan aliran listrik pada
kemampuan sel saraf
melakukan
keterampilan Epilepsi
motorik kasar
29
• Gerakan bergetar Petitmal
Kerusakan
mobilitas fisik
8 Ds: Epilepsi Ansietas
Do:
• Gelisah Aktivitas kejang
• Distress
• Ketakutan Perubahan proses
• Bingung keluarga
Penyakit kronik
Pengobatan,
keperawatan,
keterbatasan
Ansietas
5. Resiko cidera
30
7. Kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kendali dan masa otot,
gangguan sensori perseptual
31
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Myastenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur.
Namun lebih sering terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan
40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan jarang terjadi selama masa
kanak-kanak.
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada
dasarnya epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang
timbul akibat adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidak
seimbangan polarisasi listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif
pada neuron sehingga menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang
berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada di dalam otak
B. Saran
Diharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan
masukkan bagi mahasiswa/mahasiswi atau tenaga kesehatan dalam upaya
mengenali penyakit epilepsi dan penyakit myastenia gravis.
32