Anda di halaman 1dari 24

TUGAS

Mata Kuliah Pendidikan Keperawatan Klinis

Objective Structured Clinical Examination (OSCE)

Oleh :

Ulul Azmi 176070300111050

M. Syukron Prasetyo Afandi 176070300111051

Anggun Setyarini 176070300111053

Eman Sulaiman 176070300111054

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

1
Bab
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Tenaga kesehatan menjadi kunci utama dan berkontribusi hingga
80% dalam keberhasilan pembangunan kesehatan (Kemenkes RI, 2011).
Perawat merupakan sumber daya penyedia layanan kesehatan yang
terbesar jumlahnya dan banyak dibutuhkan keberadaannya. Data
Kementerian Kesehatan menunjukkan terdapat 342.276 tenaga perawat
tersebar di seluruh Indonesia, jumlah ini 2 kali jumlah bidan dan 300 kali
lebih banyak dibandingkan profesi dokter (Pusdatin, 2017). Permintaan
tenaga perawat juga datang dari luar negara lain baik di kawasan Timur
Tengah maupun Asia Pasifik seperti Kuwait, Arab Saudi, Qatar, Jepang,
Taiwan, Australia, dan Amerika (BNP2TKI, 2017). Tingginya angka
kebutuhan perawat ini harus diimbangi dengan penyelenggaraan sistem
pendidikan yang berkualitas guna mencetak lulusan perawat yang
kompeten.
Perawat yang telah selesai jenjang profesi diharapkan sudah
menguasai dan kompeten dengan tindakan keperawatan (Nurhidayah,
Endah, & Nurbaiti, 2015). Kompetensi berasal dari kata bahasa Latin
‘competere’, yang memiliki arti kesesesuaian. Kompetensi umumnya
direferensikan sebagai kesesuaian dengan pekerjaan tertentu (Santoso et
al., 2015), Kompetensi perawat meliputi kemampuan inti (core ability)
yang diperlukan agar seseorang dapat memenuhi peran dan tugasnya
sebagai perawat (Fukada, 2018). Perawat diharapkan mampu membantu
kebutuhan pasien dengan menggunakan pengetahuan yang logis dan
tindakan keperawatan yang tepat. Kemampuan ini terdiri dari
kemampuan memahami kebutuhan pasien, melakukan tindakan,
kolaborasi dan memberi dukungan atas keputusan yang dibuat pasien.
Pembelajaran klinik yang efektif dan inovatif merupakan salah satu
strategi untuk mencapai tujuan ini (Niederhauser, Schoessler, Gubrud-
Howe, Magnussen, & Codier, 2012). Pendiidikan keterampilan klinis
bukan sesuatu yang baru lagi, bahkan menjadi hal utama dalam praktek

1
keperawatan. Tetapi seringkali prosesnya belum dapat memenuhi
kebutuhan pesrta didik. Proses yang ada lebih menekankan pada
persiapan memasuki praktek klinik, membahayakan pasien dan
mempengaruhi tingkat kompetensi saat registrasi perawat (Brosnan,
Evans, Brosnan, & Brown, 2006). Kompetensi ini dapat dicapai melalui
upaya berjenjang mulai dari penguatan pengetahuan di kelas, simulasi
keterampilan di laboratorium hingga pembelajaran klinik untuk
mengaplikasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan mereka pada
setting yang lebih nyata.
Salah satu upaya lain untuk mencetak mahasiswa perawat yang
kompeten adalah metode evaluasi OSCE (Objective Structured Clinical
Examination). Tidak seperti evaluasi konvensional, OSCE dapat menilai
area yang paling penting ditampilkan oleh perawat seperti keterampilan
berkomunikasi dan menangani perilaku pasien yang tidak terduga
(Zayyan, 2011). Penilaian pada kemampuan clinical reasoning juga dapat
dilakukan melalui pelaksanaan OSCE (Berger et al., 2012; Sim et al.
2015). OSCE merupakan salah satu bentuk assessment yang banyak
digunakan untuk menilai kompetensi pada proses pembelajaran di
kedokteran, namun sekarang telah banyak diterapkan pada pendidikan
tenaga kesehatan lain termasuk keperawatan. Hal-Hal tersebut menjadi
alasan yang menguatkan metode evaluasi OSCE dianggap berharga dan
layak untuk pengembangan evaluasi pendidikan perawat.
Banyak studi menunjukkan OSCE merupakan metode yang tepat
dalam mengevaluasi kemampuan dasar mahasiswa sebelum mereka
praktek di klinik. Di sisi lain, OSCE juga memiliki kelemahan seperti
perlunya perencanaan yang matang, perlunya anggaran, sarana dan
sumber daya yang lebih banyak dalam penyelenggaraannya. Makalah ini
bertujuan menjelaskan apakah definisi OSCE, bagaimanakah sejarah
perkembanganya, bagaimanakah merencanakan OSCE, bagaimana
keunggulan dan kelemahannya, serta bagaimanakah penerapannya di
Indonesia?

2
1.2 Manfaat Penulisan Makalah

Setelah membaca makalah ini mahasiswa diharapkan dapat lebih


memahami tentang definisi OSCE, sejarah OSCE, perencanaan OSCE,
keunggulan dan kelemahan OSCE. Melalui pemahaman tersebut,
mahasiswa diharapkan mampu mempertimbangkan aplikasi OSCE
sebagai salah satu strategi dalam sistem evaluasi pembelajaran
keperawatan di Indonesia.

3
Bab II
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi OSCE (Objective Structured Clinical Examination)


OSCE merupakan suatu cara dimana komponen kompetensi klinis
seperti pengkajian riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik,
komunikasi, sikap, pelaksanaan prosedur dll diujikan menggunakan check
list yang telah disepakati dan merotasikan mahsiswa untuk menyelesaikan
sejumlah stase untuk diobservasi (Osaji, Opiah, & Onasoga, 2015).
Harden (1988) dalam Mitchell , Henderson , Groves , Dalton , and Nulty
(2009) mendefinisikan OSE sebagai pendekatan untuk menilai kompetensi
klinis dimana komponen kompetensi yang akan diuji dinilai dengan cara
yang terencana dan terstruktur dan menitikberatkan pada objektivitas.
Menurut (Osaji et al., 2015; Smrekar, Ficko, Hosnjak, & Ilic, 2017)
akronim OSCE memiliki kepanjangan Objectif Structured Clinical
Examination.
1. Objektif berarti sesuatu yang terjadi secara real dan aktual dan tidak
dipengaruhi oleh emosi atau kecenderungan personal. OSCE
dikatakan objektif karena penguji menggunakan ceklist untuk
mengevaluasi mahasiswa.
2. Structure, setiap mahasiswa dihadapkan pada masalah dan tugas
yang sama pada satu waktu. Selain itu, skema untuk masing-masing
stase juga dibuat secara terstruktur.
3. Clinical, tugas yang diberikan merupakan gambaran nyata untuk
menghadapi situasi klinis.
4. Examination, Keterampilan yang tunjukkan dinilai dalam suatu lembar
resmi ujian untuk menguji pengetahuan atau kemampuan.

Konsep pengembangan kompetensi klinis yang terkenal


dikembangkan oleh Miler (Mitchell et al., 2009) yang menilai kemampuan
mahasiswa dalam empat level yaitu : knows, knows how, shows how, dan
does Penerapan OSCE sejalan dengan level ketiga yaitu shows how (lihat
gambar 1.1). OSCE berfokus pada penilaian performa mahasiswa dalam
melakukan keterampilan tertentu pada setting yang telah dikondisikan,

4
sehingga metode ini sangat sesuai untuk kurikulum mahasiswa perawat,
dimana penilaian ini diimplementasikan dalam bentuk ujian.

Gambar 2.1 Pengembangan


Keterampilan/Kompetensi/Performa Klinis Miler ( (Mitchell et al., 2009)

2.2 Sejarah OSCE


OSCE pertama kali diperkenalkan pada tahun 1975 oleh Ronald
Harden dari University of Dendee, Skotlandia (Ahmad, 2009; Smrekar et
al., 2017). Pada awalnya OSCE dirancang untuk menguji kompetensi
klinis mahasiswa kedokteran dan berlangsung di bangsal perawatan
rumah sakit (Smrekar et al., 2017; Walsh, 2009). Pada
perkembangannya, disimpulkan bahwa OSCE merpakan salah satu
model uji yang dapat dipertanggung jawabkan dalam menguji kompetensi
klinis mahasiswa kedokteran. Semakin maju jaman, OSCE semakin
popular dan diadopsi oleh beberapa pendidikan tenaga kesehatan lain
seperti pendidikan kedokteran gigi, farmasi dan termasuk keperawatan
(Hussainy et al., 2016; Katowa-Mukwato, Mwape, Kabinga-Makukula,
Mweemba, & Maimbolwa, 2013; Kurniasih, 2014).

2.3 Validitas dan Reliabilitas OSCE


Viva voce examinination atau ujian praktek secara lisan sering
digunakan dalam penilaian keterampilan klinik. Metode ini hanya
melibatkan 1-2 orang penguji dan berlangsung selama 30 menit per
mahasiswa dan penguji. Mekanisme ini memberikan kebebasan pada

5
penguji dalam memberikan pertanyaan kepada satu mahasiswa dan
mahasiswa lainnya, meskipun ada checklist tetapi pertanyaan yang
ditanyakan masing-masing penguji biasanya tidak konsisten (Osaji et al.,
2015). Sejak OSCE banyak diterapkan dalam penyelenggaraan evaluasi
keterampilan mahasiswa, OSCE dianggap memiliki validitas dan reliabilitas
yang lebih baik dibandingkan dengan evaluasi klinik biasa (traditional)
seperti studi kasus atau viva voce examinination (ujian lisan) (Mitchell et
al., 2009). Tantangan mengenai validitas dan reliabilitas ini dapat diatasi
dengan melaksanakan OSCE dengan jumlah stase yang banyak dan
waktu yang singkat (kurang lebih 5 menit).

2.4 Perencanaan OSCE


Pelaksanaan OSCE diawali dengan serangkaian perencanaan dan
rapat koordinasi. Pada tahap awal apabila OSCE belum pernah dilakukan
sama sekali. Koordinasi dilakukan untuk memberikan gambaran OSCE
sebagai salah satu metode penilain, perbedaan karakteristiknya dengan
ujian yang lain, dan menentukan kriteria validitas dan reliabilitas.
Koordinasi berikutnya dapat meliputi rancangan pelaksanaan OSCE
meliputi jenis dan jumlah stase, serta mendiskusikan langkah-langkah
untuk pengembangan OSCE (Katowa-Mukwato et al., 2013). Tabel 2.1
menunjukkan delapan langkah fase perencanaan dan implementasi.

Tabel 2.1 Perencanaan dan implementasi OSCE

Langkah Deskripsi
Langkah 1 Mengidentifikasi kompetensi yang akan diuji berdasarkan
kurikulum
Langkah 2 Mengembankgan skenario berdasarkan kompetensi yang telah
diidentifikasi
Langkah 3 Mengidentifikasi/memodifikasi/mengembangkan alat penilaian
(check list, skala penilaian dlll)
Langkah 4 Mengidentifikasi tempat ujian dan laboratorium keteralmpilan

Langkah 5 Merencanakan sumber daya ( tenaga, simulator/model, alat


dan bahan habis pakai serta ATK)
Langkah 6 Mengorientasikan pasien standar (alumni atau staf)

6
Langkah 7 Mock OSCE

Langkah 8 Pelaksanaan OSCE

Kurniasih (2014) menekankan 5 komponen penting yang harus diperhatikan


dalam perencanaan OSCE yaitu :

1. Desain OSCE,
Disain OSCE meliputi penyusunan blue print, penyusunan soal kasus per
stase dan penyusunan checklist penilaian/rating scale. Gambar 2.2
menggambarkan contoh matriks sebagai blue print yang perlu disusun
dalam perencanaan OSCE.

Gambar 2.2 Contoh matriks blue print OSCE (Kurniasih, 2014)

Menurut Kurniasih (2014) terdapat dua format untuk form


penilaian biasanya digunakan yaitu item perilaku spesifik dan peringkat
penampilan keseluruhan (global rating). Global rating merupakan kesan
umum penguji tentang performa mahasiswa dalam domain tertentu
(misalnya, keterampilan komunikasi, pengetahuan medis,
profesionalisme).Checklist yang digunakan sebaiknya dapat digunakan
untuk menilai aspek afektif, yang sering kali tidak ditemukan pada
penilaian ujian klinik yang konvensional (Osaji et al., 2015). Poin
1,2,3,4,8,13 dan 14 pada gambar 2.3

7
2. Pasien standar,
Pasien standar merupakan individu- individu yang terlibat dalam
OSCE, yang memperagakan/menggambarkan suatu kasus klinis tertentu
secara konsisten pada suatu stase. Pasien standar bukanlah orang yang
sesungguhnya menderita kasus klinis yang digambarkan tetapi mereka
hanya mensimulasi masalah klinis hanya untuk tujuan penilaian.
Persiapan pasien standar merupakan hal yang penting dalam persiapan
kegiatan OSCE. Komite ujian harus melakukan rekruitment dan pelatihan
khusus terkait persiapan pasien standar. Kelelahan pasien standar dalam
pelaksanaan OSCE seharusnya dihindari dengan menyiapkan jumlah
pasien standar yang cukup, karena hal itu dapat mengganggu konsistensi
sikap dan tindakan pasien standar dalam memerankan suatu kasus.
Untuk membuat suatu kasus pasien yang nyata, pasien standar perlu
memenuhi 3 aspek berikut: (1) Pasien standar harus tahu semua detil
fisik, psikologis, dan sosial yang terkait dengan kasus yang akan
diperagakan; (2) Pasien standar harus mampu secara konsisten
melukiskan nada emosional dalam jumlah yang tepat yang sesuai dengan
kasus; (3) tindakan dan respon pasien standar harus diatur dengan
benar.

8
3. Penguji,
Tugas sebagai penilai adalah tugas yang sulit karena ada begitu banyak
faktor yang dapat mengganggu penilaian yang akurat. Penguji sebaiknya
merupakan kelompok penilai yang sudah terlatih. Penguji setidaknya
harus memahami dasar pemikiran yang mendasari penyusunan OSCE
yang dilaksanakan dan yakin bahwa penilaiannya tidak subjektif dan
sewenang-wenang. Sikap dan emosi juga dapat mempengaruhi proses
penilaian. Pelatihan penguji adalah investasi yang sangat berharga.
Penting bagi pelatih penguji untuk menyadarkan penguji tentang tugas
mereka. Seringkali dalam banyak OSCE, penguji juga diminta untuk
segera memberikan umpan balik. Biasanya ada keterbatasan waktu (5-10
menit) dan umpan balik harus singkat. Apabila institusi memiliki jumlah
penguji yang banyak hal ini dapat menguntungkan, tetapi juga dapat
menjadi kelemahan jika terjadi ketidaksesuaian antara penilai.
Ketidaksesuaian ini akan mengurangi keadilan dan kehandalan dari
OSCE.
4. Sarana prasarana,
OSCE memerlukan pengorganisasian yang baik mengingat sumberdaya
serta sarana dan prasarana (meliputi alat dan bahan, simulator, pasien
standar, petugas time keeper, petugas administrasi) yang diperlukan
sangat besar. Kesalahan pada saat pelaksanaan kegiatan OSCE sangat
mungkin terjadi, namun dengan perencanaan yang baik dan sumber daya
yang memadai, hal tersebut dapat diatasi. Hal hal yang bisa menjadi
sumber permasalahan antara lain terkait dengan kehadiran,
standardisasi, manajemen waktu dan manajemen emosi. OSCE dengan
jumlah stase yang banyak akan berdampak pada pembiayaan yang
besar.
5. Standar setting

Standard setting merupakan prosedur yang diterapkan pada


penilaian untuk menetapkan batas antara siswa yang lulus atau dianggap
kompeten, dan mereka yang harus gagal atau dianggap tidak kompeten.
Ada 2 tipe standar, yaitu relatif dan absolut. Standar relatif dinyatakan
sebagai suatu nilai atau persentase dari mahasiswa. Standar absolut
dinyatakan sebagai suatu nilai atau persentase dari item tes. Standar
absolut lebih sesuai untuk tes kompetensi yang tujuannya adalah untuk

9
meyakinkan bahwa kandidat/peserta OSCE cukup mengetahui tujuan tes
tersebut.

2.5 Pelaksanaan OSCE

Osaji et al. (2015) menjelaskan bahwa umumnya OSCE


dilakukan dengan menugaskan mahasiswa melakukan rotasi (berputar
mengelilingi) seluruh stase dengan batasan waktu tertentu untuk setiap
stase. Menggunakan suatu tanda (signal) seperti bunyi bel, mahasiswa
melakukan perpindahan dari satu stase ke stase lainnya (lihat gambar
2.3). Waktu yang diberikan untuk semua stase harus sama sekitar 4-5
menit. Perlu dipertimbangkan juga bahwa mahasiswa memerlukan
waktu sekitar 30 detik untuk berpindah dari satu stase ke stase
berikutnya. Mahasiswa dapat memulai dari satu stase dan berotasi
hingga melewati seluruh siklus OSCE. Jumlah stase dapat bervariasi
mulai dari 12-15 stase bahkan mencapai 20 stase. Jumlah mahasiswa
disesuaikan dengan jumlah stase.

Masing-masing stase didesain untuk menilai kompetensi klinis.


Pada stase prosedur mahasiswa diberi tugas untuk menunjukkan
keterampilannya pada pasien, model atau simulator. Pada semua stase
terdapat penguji yang memegang checklist observasi yang digunakan
untuk menilai performa mahasiswa. Pada stase tertentu terdapat juga
“Questions station”, dimana mahasiswa harus menjawab suatu
pertanyaan atau menginterpretasi data atau mencatat hasil temuan yang
pada prosedur di stase sebelumnya. Untuk menghindari kredibilitas dan
objektivitas, semua mahasiswa yang akan diuji dikumpulkan, menunggu
dan memulai OSCE dari dari satu pintu dan keluar melalui pintu yang
berbeda. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa yang sudah selesai
melaksanakan ujian tidak dapat kontak atau berkomunikasi dengan
mahasiswa yang sedang bersiap untuk ujian. Setiap kandidat atau
mahasiswa peserta ujian dibriefing terlebih dahulu di ruang tunggu dan
diharapkan untuk menunggu giliran tanpa menghidupkan handphone.

10
Gambar 2.3 contoh perencanaan stase dalam pelaksanaan OSCE

Nilai untuk masing-masing item pada checklist ditentukan oleh penguji


berdasarkan pada pentingnya item yang dinilai.

2.6 Manfaat
Keunggulan metode OSCE diantaranya OSCE dipandang lebih
valid, lebih reliable dan lebih objektif dibanding ujian lisan kasus yang
selama ini dipakai dalam menilai kemampuan klinis, kemampuan
komunikasi dan perilaku. Namun Newbel (2008) mengingatkan reliabilitas
OSCE akan meningkat bila jumlah stase makin bayak. Dalam 6 stase 90
menit koefisien reliabilitasnya hanya 0,5-0,6. Sementara bila 40 stase
sekitar 4 jam koefisien reliabilitas mencapai 0.8. Dan OSCE dapat
digunakan sebagai penguji kompetensi skill siswa keperawatan yang
valid dan reliable jika dilakukan seleksi dan pelatihan terhadap pasien
standar, pemanfaatan alat dengan tepat dan pengolahan data yang baik
(Mcwilliam, 2012). Keunggulan lain dari OSCE adalah bisa melakukan
evaluasi peserta dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif
pendek secara serentak, menguji pengetahuan dan keterampilan yang
lebih luas dan semua peserta dievaluasi dengan Instrumen serta bahan
uji yang sama. Menggunakan metode OSCE sangat efektif digunakan
baik untuk formatif maupun sumatif jika scenario dikembangkan atau

11
update dan mencerminkan dari isi kurikulum, mengevaluasi pasien
simultan dan memberikan pelatihan, prosedur pengukuran yang akurat
dari performen mahasiswa. Melalui OSCE diharapkan mahasiswa akan
mendapatkan pengalaman evaluasi dengan setting dan suasana seperti
di Rumah Sakit atau klinis (Mcwilliam, 2012)

2.7 Kerugian
Kelemahan dari OSCE diantaranya ialah penilaiannya hanya
meliputi pengetahuan secara kompartemental, bukan suatu penilaian
dengan pendekatan holistic dari penanganan pasien dan dibutuhkan
pengorganisasian serta persiapan penyusunan soal-soal yang sangat
membutuhkan waktu dan tenaga. Guna menghindari evaluasi ang bersifat
kompartemental beberapa stase yang berurutan digunakan untuk
melakukan evaluasi masalah yang sama mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, komunikasi, perilaku serta interpretasi hasil
pemeriksaan sehingga dapat dilakukan secara penuh (Yanti., 2008)
Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya reliabilitas OSCE
antara lain terlalu sedikit stase atau terlalu sedikitnya waktu ujian,
checklist seharusnya tidak ada perbedaan dalam arti tidak terlalu mudah
juga tidak terlalu susah, pasien yang tidak reliable, penguji yang
memberikan skor nilai dengan tidak berpatokan pada standar penilaian,
dan problem administrasi misalnya ruangan terlalu bising, atau staf dan
pelaksana yang tidak terorganisir dengan baik.
Untuk menilai validitas evaluasi klinik terhadap kompetensi
profesional mahasiswa pendidikan kesehatan dengan format OSCE perlu
dipertimbangkan apakah problem pasien relevan dan penting sesuai
dengan kurikulum, akankah tiap stase mampu mengevaluasi
keterampilan yang telah diajarkan pada mahasiswa, dan sudahkah
dilakukan review untuk setiap stase oleh seorang yang dipandang ahli.
Kelemahan lain dari evaluasi klinik dengan format OSCE antara lain
keterbatasan waktu setiap stase, dan penggunaan checklist yang
mengasumsikan bahwa interaksi antara mahasiswa yang diuji dengan
pasien merupakan list of action, checklist cenderung menekankan pada
kecermatan atau ketelitian pada setiap tindakannya dilakukan atau tidak,
dan hal ini menyebabkan kesulitan dalam penilaian jika dilakukan tetapi
tidak sempurna.

12
2.8 Hasil Penelitian Terkait Dengan OSCE
Herlianita & Pratiwi, (2010), dalam penelitian kuantitatifnya
menyatakan adanya peningkatan yang sangat signifikan dari kompetensi
klinik kegawatdaruratan mahasiswa dengan pelaksanaan peer assessment
pada OSCE. Hal tersebut memudahkan mahasiswa sebagai peserta didik
untuk menerapkan di klinik nantinya. Dengan demikian penerapan metode
OSCE ini sangat sesuai diterapkan di mahasiswa keperawatan meskipun
disadari bahwa metode ini bukan satu-satunya yang menentukan dari
keberhasilan mahasiswa keperawatan dalam pendidikan klinisnya. OSCE
memungkinkan mahasiswa keperawatan untuk mengembangkan
kompetensi klinis yang didasarkan pada pengetahuan teoritis dan praktik
keperawatan berbasis bukti (Bradshaw & Merriman, 2008).
Brighton, (2016) dalam penelitiannya menyatakan bahwa OSCE
memberi siswa kepercayaan diri dalam kemampuan mereka dengan
manajemen obat. Lebih lanjut dari penelitian ini adalah perspektif
mahasiswa keperawatan harus dilakukan untuk mengeksplorasi
bagaimana meningkatkan peluang untuk melakukan OSCE dalam
mempengaruhi kemampuan dan keyakinan siswa dalam praktik masa
depan mereka sebagai Register nurse.
Ahmad , Ahmad, and Bakar (2009) dalam publikasinya yang
berjudul Assessing Nursing Clinical Skills Performance Using Objective
Structured Clinical Examination (OSCE) for Open Distance Learning
Students in Open University Malaysia menemukan fakta bahwa OSCE
tetap penting dilakukan kepada mahasiswa perawat yang menempuh
pendidikan jarak jauh di Malaysia. Lamanya masa kerja perawat belum
tentu menjamin kemampuan keterampilan perawat. Melalui OSCE ini
maka kemampuan keterampilan klinis mahasiswa dapat dinilai dengan
objektif.

13
BAB III
KASUS

3.1 KASUS

Bulan Desember ini Sekolah Perawat X menyelenggarakan evaluasi akhir


semester. STIKES X melangsungkan OSCE untuk mengevaluasi keterampilan
mahasiswa profesi yang sudah menyelesaikan praktek klinik di tiga bangsal,
KMB, gawat darurat, anak dan maternitas. Ini adalah OSCE pertama bagi
mahasiswa profesi sebelumnya mahasiswa hanya melalui ujian lisan dan tulis.
Tiga minggu sebelum pelaksanaan telah dilakukan rapat persiapan yang dihadiri
oleh koordinator OSCE, dosen-dosen penguji dan staf laboratorium dan petugas
admin, dengan menghasilkan beberapa kesepakatan :

1. Terdapat 12 stase ujian yang terdiri dari 3 stase medikal bedah, 3 stase
anak, 2 stase maternitas , 3 stase gawat darurat dan 1 stase istirahat.
2. Masing-masing stase harus dapat dilalui dalam waktu 5 menit, sehingga
jumlah waktu yang diperlukan dalam 1 rotasi (sesi) adalah 60 menit.
3. Diperlukan 7 pasien standar : 2 untuk stase KMB, 2 orang untuk stase
anak, 1 orang untuk stases maternitas, 2 orang untuk stase gawat
darurat, 1 orang time keeper, 2 orang pasien standar cadangan, 2 staf
admin dan 1 petugas konsumsi.
4. OSCE direncanakan berlangsung selama dua hari. Hari pertama untuk
kelas A yang berjumlah 40 orang dan hari kedua untuk mahasiswa kelas
B yang berjumlah 38 orang.
5. Soal ujian dan check list penilaian harus dikumpulkan pada H-3
6. Setting tempat dan alat dan pasien standar sudah siap pada H-1
7. Undangan dan jadwal OSCE harus sudah dibagikan kepada penguji
8. Pada Hari H semua penguji dan panitia pelaksana harus hadir 30 menit
sebelum jam 08.00.

Tiga hari sebelum hari H, semua soal ujian sudah terkumpul. Setting alat dan
tempat sudah siap pada H-1. Tanggal pelaksanaan pun tiba. Mahasiswa
tampak telah bersiap di halaman lokasi ujian. 30 menit sebelum pelaksanaan
koordinator OSCE melakukan briefing dengan pasien standar, dan petugas
time keeper. 5 menit menjelang pukul 08.00 tampak terdapat 1 stase yang

14
belum ada pengujinya yaitu Bapak B. Setelah dihubungi ternyata Pak B
mengkonfirmasi terlambat sekitar 1 jam dan meminta satu orang tim instruktur
untuk menggantikan sementara waktu. Satu penguji Ibu C di stase lain
tampak marah-marah karena ada peralatan yang kurang di stasenya.
Mahasiswa D Salah satu pasien standar utama juga belum hadir. Hal ini
mengakibatkan waktu OSCE mundur sekitar 20 menit. Tepat pukul 08.25 12
orang mahasiswa dipanggil sebagai peserta ujian sesi I. Mahasiswa
diorientasikan dengan ruang ujian dan dipersilahkan berdoa, tepat pukul 08.30
ujian dimulai. Time keeper bertugas sesuai tugasnya, setiap 5 menit sekali
ditekan tombol bel pertukaran stase, rotasi pertama tepat berlangsung
selama 60 menit. Sementara 12 peserta sesi II telah bersiap di depan ruang
ujian.
Bagaimanakah penilaian Anda terhadap pelaksanaan OSCE tersebut?
Apakah seharusnya sikap Bapak B, Ibu C, dan mahasiswa D?

3.2 ANALISIS KASUS


1. Persiapan OSCE telah dilakukan:
Dibuktikan dengan adanya rapat koordinasi, penentuan stase dan
material ujian, persiapan SDM, tempat dan peralatan serta pasien
standar.
2. Komitmen dan kerjasama tim sangat diperlukan untuk kelancaran
OSCE:
Ketidaklengkapan tim, sarana dan prasarana dapat mengganggu
kelancaran OSCE
3. Penggantian tim penguji secara tiba-tiba dapat mempengaruhi validitas
penilaian.
4. Pasien standar seharusnya dapat dilibatkan memberikan feedback
terhadap aspek komunikasi dan empati mahsiswa.

15
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Persiapan OSCE


Ilustrasi kasus pada bab 3 menunjukkan bahwa tim kurikulum STIKES
X telah berupaya untuk mengembangkan sistem evaluasi pendidikan
klinisnya. OSCE dirasa perlu untuk dilaksanakan untuk mengevaluasi
pencapaian kompetensi mahasiswa profesi selain evaluasi lisan dan tulis yang
pernah diberlakukan pada kurikulum sebelumnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Osaji et al. (2015) bahwa pelaksanaan ujian konvensional seperti
ujian oral atau viva voce examination tidak konsisten untuk setiap pertanyaan
yang diajukan oleh penguji, meskipun ada checklist tetapi penguji memliki
kebebasan dalam bertanya kepada peserta ujian, sehingga dapat
mengakibatkan subjektivitas yang tinggi. OSCE merupakan pendekatan yang
tepat untuk menilai kompetensi klinis dengan lebih objektif. OSCE juga dapat
menilai aspek-aspek seperti kemampuan memahami kebutuhan pasien,
melakukan tindakan, kolaborasi dan memberi dukungan atas keputusan yang
dibuat pasien.yang tidak mampu dilihat pada uji konvensional seperti uji tulis
dan lisan. Di sisi lain ujian praktek yang diterapkan langsung pada pasien
dapat membahayakan pasien, sementara evaluasi seperti pelaksanaan
prosedur dengan simulasi pada OSCE lebih aman untuk dilaksanakan.
Pelaksanaan OSCE oleh STIKES X telah dilakukan dengan persiapan
yang cukup baik. Koordinasi yang dillakukan untuk membahas rencana
pelaksanaan OSCE sangat penting untuk memastikan komponen-komponen
pendukung OSCE tersedia. Seperti dijelaskan oleh Kurniasih (2014) ada lima
komponen penting dipersiapkan dalam perencanaan OSCE meliputi desain
OSCE, pasien standar, penguji, sarana dan prasarana, dan standar setting.
Hasil rapat persiapan OSCE telah menentukan desain OSCE sebanyak 12
stase mewakili 4 departemen (KMB, gawat darurat, anak dan maternitas).
Satu stase disediakan untuk istirahat, hal ini akan membantu peserta ujian
untuk relaksasi sejenak dan mengurangi stress yang dirasakan selama
beberapa stase yang dilalui.
Setiap mahasiswa memiliki hak yang sama untuk menyelesaikan ujian
di setiap stase yaitu 5 menit.

telah dilakukan:

16
Dibuktikan dengan adanya rapat koordinasi, penentuan stase dan
material ujian, persiapan SDM, tempat dan peralatan serta pasien
standar.
1. Komitmen dan kerjasama tim sangat diperlukan untuk kelancaran
OSCE:
Ketidaklengkapan tim, sarana dan prasarana dapat mengganggu
kelancaran OSCE
2. Penggantian tim penguji secara tiba-tiba dapat mempengaruhi validitas
penilaian.
3. Pasien standar seharusnya dapat dilibatkan memberikan feedback
terhadap aspek komunikasi dan empati mahsiswa.

17
BAB V
Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
1. Objective Structure Clinical Evaluation (OSCE) merupakan metode
evaluasi yang sangat efektif digukanan untuk mengevaluasi
kemampuan pengetahuan, psikomotor dan sikap peserta didik secara
terstruktur dan bersifat objektif.
2. OSCE dapat digunakan untuk memeriksa berbagai keterampilan klinis
dimana semua mahasiswa melakukan tugas yang sama dan dinilai
dengan kriteria yang jelas oleh penguji yang sama.
3. OSCE dapat digunakan pada setiap tingkat sesuai dengan stase yang
diprogramkan pada tingkat masing-masing.
4. Mahasiswa dan penguji sama-sama memahami dan mengerti dari
setiap instruksi tertulis maupun verbal dan tujuan dari tiap stase.
5. Hasil evaluasi OSCE terdokumentasi dengan baik dan dapat
langsung mengetahui kemampuan dari masing-masing peserta didik
dari lembar penilaian masing-masing stase yang dinilai oleh tim
penilai.

5.2. Saran
1. Diperlukan kerjsama dan komitmen tim yang baik.
2. Ketersediaan saran dan prasarana yang lengkap mendukung
pelaksaaan osce berjalan degan baik.
3. Ketersediaan pasien yang standar dapat mendukung kepekaan
mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan klinisnya
4. Para tim penguji harus sudah terlatih dan memahami konsep osce
yang dilaksanakan
5. Ruangan pelaksanaan harus lebih kondusif untuk menghindari
kebisingan.
6. Ketersediaan waktu yang sangat pendek perlu dipertimbangkan
dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai dari masing-masing
peserta didik.

18
Daftar Pustaka

Ahmad, C. A., N. Bakar, Abu. (2009). Assessing nursing clinical skills performance
using objective structured clinical examination (OSCE) for opendistance
learning students in Open University Malaysia Paper presented at the ICI9.
Paper presented at the International Conference on Information.

BNP2TKI (Producer). (2017, 21 Oktober 2018). Raih Peluang untuk Menjadi


Perawat di Luar Negeri. Retrieved from
http://www.bnp2tki.go.id/read/12116/Raih-Peluang-untuk-Menjadi-
Perawat-di-Luar-Negeri
Fukada, M. (2018). Nursing Competency: Definition, Structure and Development.
Yonaga Acta Medica, 61, 001-007.
Hussainy, S. Y., Crum, M. F., White, P. J., Larson, I., Malone, D. T., Manallack, D. T., . . .
Kirkpatrick, C. M. (2016). Developing a Framework for Objective Structured
Clinical Examinations Using the Nominal Group Technique. American Journal
of Pharmaceutical Education, 80(9), 158.
Katowa-Mukwato, P., Mwape, L., Kabinga-Makukula, M., Mweemba, P., & Maimbolwa,
M. C. (2013). Implementation of Objective Structured Clinical Examination
for Assessing Nursing Students’ Clinical Competencies: Lessons and
Implications. Creative Education, 4(10A), 48-53. doi:
10.4236/ce.2013.410A008
Kemenkes RI. (2011). Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011-2025.
Jakarta: Retrieved from
http://www.who.int/workforcealliance/countries/inidonesia_hrhplan_201
1_2025.pdf.
Kurniasih, I. (2014). Lima Komponen Penting dalam Perencanaan OSCE. IDJ, 3(1).
Mcwilliam, P. b., CA. (2012). Identifying Strenghs And Weaknesess In The Utilization
Of Objective Structured Clinical Examination (OSCE) In A Nursing Program.
Nurs educ,perspect, 33(1).
Mitchell , M. L., Henderson , A., Groves , M., Dalton , M., & Nulty , D. (2009). The
objective structured clinical examination (OSCE): Optimising its value in the
undergraduate nursing curriculum. Nurse Education Today, 29, 398-404.
Niederhauser, V., Schoessler, M., Gubrud-Howe, P. M., Magnussen, L., & Codier, E.
(2012). Creating Innovative Models of Clinical Nursing Education. Journal of
Nursing Education, 51(X).
Nurhidayah, Endah, R., & Nurbaiti. (2015). Inhibiting Factors of Nursing Students’
Skills Competencies Achievement during Nursing Professional Education
Program in Faculty of Nursing, University Of Sumatera Utara, Medan,
Indonesia. International Journal of Nursing Sciences, 2(2), 13-17. doi:
10.15640/ijn.v2n2a3

nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


jakarta.
Osaji, T. A., Opiah, M. M., & Onasoga, O. A. (2015). OSCE / OSPE: A tool for objectivity
in general nursing examination in Nigeria. Journal of Research in Nursing and
Midwifery (JRNM), 4(3), 47-52. doi: 10.14303/JRNM.2015.035
Pusdatin. (2017). Pusat Data dan Informasi: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Santoso, M., Putra, A., Muhidong, J., Sailah, I., Mursid, S., Rifandi, A., . . . Endrotomo.
(2015). Dokumen KKNI: Paradigma Capaian Pembelajaran.

19
Smrekar, M., Ficko, S. L., Hosnjak, A. M., & Ilic, B. (2017). Use of the Objective
Structured Clinical Examination in Undergraduate Nursing Education. Croat
Nurs J, 1(1), 91-102. doi: 10.24141/2/1/1/8
Walsh, M. B., P. H. Koren, I. (2009). Objective structured clinical evaluation of clinical
competence. an integrative review Journal of Advanced Nursing, 65(8), 1584-
1595.
Yanti., P. (2008). Panduan Praktek Menghadapi UAP Metode OSC. Yogjakarta: Mitra
Cendekia.
Zayyan, M. (2011). Objective Structured Clinical Examination: The Assessment of
Choice. Oman Medical Journal, 26(4), 219.

20
Ahmad , C. a., Ahmad, N., & Bakar, R. A. (2009, 12-13 August 2009). Assessing Nursing
Clinical Skills Performance Using Objective Structured Clinical Examination
(OSCE) for Open Distance Learning Students in Open University Malaysia

. Paper presented at the International Conference on Information, Kuala Lumpur.


Ahmad, C. A., N. Bakar, Abu. (2009). Assessing nursing clinical skills performance
using objective structured clinical examination (OSCE) for open

distance learning students in Open University Malaysia Paper presented at the ICI9.
Paper presented at the International Conference on Information.
BNP2TKI (Producer). (2017, 21 Oktober 2018). Raih Peluang untuk Menjadi
Perawat di Luar Negeri. Retrieved from
http://www.bnp2tki.go.id/read/12116/Raih-Peluang-untuk-Menjadi-
Perawat-di-Luar-Negeri
Brosnan, M., Evans, W., Brosnan, E., & Brown, G. (2006). Implementing objective
structured clinical skills evaluation (OSCE) in nurse registration
programmes in a centre in Ireland: A utilisation focused evaluation. Nurse
Education Today, 26, 115-122. doi: doi:10.1016/j.nedt.2005.08.003
Fukada, M. (2018). Nursing Competency: Definition, Structure and Development.
Yonaga Acta Medica, 61, 001-007.
Hussainy, S. Y., Crum, M. F., White, P. J., Larson, I., Malone, D. T., Manallack, D. T., . . .
Kirkpatrick, C. M. (2016). Developing a Framework for Objective Structured
Clinical Examinations Using the Nominal Group Technique. American Journal
of Pharmaceutical Education, 80(9), 158.
Katowa-Mukwato, P., Mwape, L., Kabinga-Makukula, M., Mweemba, P., & Maimbolwa,
M. C. (2013). Implementation of Objective Structured Clinical Examination
for Assessing Nursing Students’ Clinical Competencies: Lessons and
Implications. Creative Education, 4(10A), 48-53. doi:
10.4236/ce.2013.410A008
Kemenkes RI. (2011). Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011-2025.
Jakarta: Retrieved from
http://www.who.int/workforcealliance/countries/inidonesia_hrhplan_201
1_2025.pdf.
Kurniasih, I. (2014). Lima Komponen Penting dalam Perencanaan OSCE. IDJ, 3(1).
Mcwilliam, P. b., CA. (2012). Identifying Strenghs And Weaknesess In The Utilization
Of Objective Structured Clinical Examination (OSCE) In A Nursing Program.
Nurs educ,perspect, 33(1).
Mitchell , M. L., Henderson , A., Groves , M., Dalton , M., & Nulty , D. (2009). The
objective structured clinical examination (OSCE): Optimising its value in the
undergraduate nursing curriculum. Nurse Education Today, 29, 398-404.
Niederhauser, V., Schoessler, M., Gubrud-Howe, P. M., Magnussen, L., & Codier, E.
(2012). Creating Innovative Models of Clinical Nursing Education. Journal of
Nursing Education, 51(X).
Nurhidayah, Endah, R., & Nurbaiti. (2015). Inhibiting Factors of Nursing Students’
Skills Competencies Achievement during Nursing Professional Education

21
Program in Faculty of Nursing, University Of Sumatera Utara, Medan,
Indonesia

. International Journal of Nursing Sciences, 2(2), 13-17. doi: 10.15640/ijn.v2n2a3


Osaji, T. A., Opiah, M. M., & Onasoga, O. A. (2015). OSCE / OSPE: A tool for objectivity
in general nursing examination in Nigeria. Journal of Research in Nursing and
Midwifery (JRNM), 4(3), 47-52. doi: 10.14303/JRNM.2015.035
Pusdatin. (2017). Pusat Data dan Informasi: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Santoso, M., Putra, A., Muhidong, J., Sailah, I., Mursid, S., Rifandi, A., . . . Endrotomo.
(2015). Dokumen KKNI: Paradigma Capaian Pembelajaran.
Smrekar, M., Ficko, S. L., Hosnjak, A. M., & Ilic, B. (2017). Use of the Objective
Structured Clinical Examination in Undergraduate Nursing Education. Croat
Nurs J, 1(1), 91-102. doi: 10.24141/2/1/1/8
Walsh, M. B., P. H. Koren, I. (2009). Objective structured clinical evaluation of clinical
competence. an integrative review Journal of Advanced Nursing, 65(8), 1584-
1595.
Yanti., P. (2008). Panduan Praktek Menghadapi UAP Metode OSC. Yogjakarta: Mitra
Cendekia.
Zayyan, M. (2011). Objective Structured Clinical Examination: The Assessment of
Choice. Oman Medical Journal, 26(4), 219.

Daftar Pustaka
Bowen, J. L. (2006). Educational strategies to promote clinical diagnostic
reasoning. New England Journal of Medicine, 355(21), 2217-2225.
Kassirer, J. P. (2010). Teaching clinical reasoning: case-based and
coached. Academic Medicine, 85(7), 1118-1124.
Dorothy Devine Rentschler, Jeffrey Eaton, Joyce Cappiello, Sunny Fenn
McNally, Paula McWilliam, (2005). R e s e a r c h B r i e f s: Evaluation of
Undergraduate Students Using Objective Structured Clinical Evaluation. March
2007, Vol. 46, No. 3
Berger, A. J., Gillespie, C. C., Tewksbury, L. R., Overstreet, I. M., Tsai, M.
C., Kalet, A. L., & Ogilvie, J. B. (2012). Assessment of medical student clinical
reasoning by “lay” vs physician raters: inter-rater reliability using a scoring guide
in a multidisciplinary objective structured clinical examination. The American
Journal of Surgery, 203(1), 81-86.
BRADSHAW A & MERRIMAN C (2008) BRADSHAW A & MERRIMAN C
(2008). Nursing competence 10 years on: fit for practice and purpose yet?.
Journal of Clinical Nursing 17, 1263– 1269

22
Risa Herlianita & Indah Dwi Pratiwi. PEER ASSESSMENT DALAM OSCE
UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI KETERAMPILAN
KEGAWATDARURATAN. JURNAL KEPERAWATAN. Volume 3, Nomor 2. Juli
2012
Renee Brighton, Maria Mackay, Roy A. Brown, Carley Jans, Carolyn
Antoniou, (2016). Research Briefs: Introduction of Undergraduate Nursing
Students to an Objective Structured Clinical Examination. Journal of Nursing
Education • Vol. 56, No. 4, 2017

23

Anda mungkin juga menyukai