Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

FARMAKOTERAPI PASIENSEPSIS POST CHOLECYSTECTOMY

Disusun Oleh:
Donny Asri Ananda (I1C015013)
NurLailiZuhriyyah (I1C015029)
Noer Qonita (1IC015047)
Norma Dewi Aprianti (I1C015063)
NindyastiPrameswari I. (1IC015081)
GeovannyAulia S (I1C015097 )
Megawati Maswatu (I1C015115)

Nama Dosen Pembimbing : IkaMustikaningtyas, M. Sc., Apt


Tanggal Diskusi Kelompok : 05 November 2018
Tanggal Diskusi Dosen : 19 November 2018

LABORATORIUM FARMASI KLINIK


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2018
FARMAKOTERAPI PASIEN SEPSIS POST CHOLECYSTECTOMY
KASUS FARMAKOTERAPI PASIEN RAWAT INAP
Identitas Pasien
Nama Pasien Ny. M Umur/TTL 53th
No. Rekam Medik 11. 04.70.xx BB 40 kg
Alamat - TB -
Status Jaminan - Jenis Kelamin Perempuan

Riwayat MRS
Tanggal MRS 28 Juni 2018 Tanggal KRS
Riwayat MRS Pasienmasuk ICU tanggal 28 Juni
Riwayat Penyakit Cholecystectomy 2 harisebelummasuk ICU
Riwayat Terapi -
Riwayat Lifestyle -
Informasi lain -
Diagnosa Sepsis Post Cholecystectomy
Data Pemeriksaan
Tanggal Ketera
Para NN 28/ 6 29/6 30/6 1/7 2/7 3/7 4/7 5/7 6/7 7/7 ngan
(MRS)
Suhu 36 - 36 36,8 36 37,2 36 37,5 37,4 38 37 39 37, 38,5 37,3 38,6 37 37,8 37,6 39,4 38 38,5 Demam
(°C) 37,4 5
Nadi 60- 11 130 110 138 80 140 120 150 120 145 12 140 100 140 98 110 90 130 11 125 Sepsis
( x/ 100 0 0 0
meni
t)
TTV

TD 120 80/ 152 102 170 110 150 130 160 100 160 90/ 150 120 160 110 165 110 190 92/ 110 Sepsis-
(mm /80 65 /90 /65 /90 /70 /88 /50 /90 /50 /80 50 /70 /70 /70 /60 /78 /70 /90 51 /60 Hipoten
Hg) si
Nafa 12- 14 14 23 33 24 30 21 34 17 47 21 41 11 44 14 33 28 45 38 42 Sepsis
s (x/ 24
meni
t)
Data Laboratorium

Nilai Tanggal Ket Interpretasi


Peme Satuan
Normal 25/6 28/6 29/6 30/6 1/7 2/7 4/7 5/7 6/7 7/7
HgB g/ dL 12,1 – 14,3 10,5 11,8 9, 6 9,2 10,6 10,2 ↓ Anemia
15,1
RBC 10-6/ 0–3 5,27 3,91 4,08 3,42 3,53 3,82 3,4 ↑
UL
HCt % 35 - 45 40,9 29.9 34,4 28,5 27,9 31,7 30,2 ↓ Anemia
MCV FL 80 - 77,6 76,5 84,3 83,4 79,2 83 88,8 ↓
100
MCH Pg 28-34 27,1 26,9 28,9 28 26,2 27,8 29,9 ↓
MCHC g/ dL 32 - 36 35 35,1 34,3 33,6 33,1 33,5 33,7 N
RDW- SD FL 39 - 47 49,5 44,8 ↑ Sepsis-
RDW- CV % 11,5 – 18,4 16,8 20,8 17,5 17,7 17,3 22,4 ↑ Koagulasi
14,5
PLT 10-3/ 170 – 891 584 354 297 308 287 87 ↑
UL 380
PDW FL 8,3 - 25 10,6 10,9 16,5 17,4 16,3 17 15,9 N
MPV FL 7 - 11,7 9,8 10 7,5 5,9 6,9 6,5 8,2 ↓
P-LCR % 15 - 35 22,7 24,4 N
PCT % 0,87 0,59 0,264 0,175 0,211 0,186 0,072 - Antibiotik
(Pirocalsitonin)
WBC 10-3/ 4 – 10 x 29,64 23.14 17,5 13,3 20,9 25 26,3 ↑ Sepsis-
UL 103 Inflamasi
Neutrofil % 36 - 37 85,8 87,3 ↑
Lymph % 15 – 45 6,3 5,1 5,5 6,8 9,3 5,2 8,1 ↓
Granulosit % 1,8 – 90,3 88,7 87,4 88,4 89,9 ↑
6,6 x
103
Monosit 10-3/ 0 – 10 2,26 1,26 0,8 0,6 0,7 1,6 1,5 N
UL
Eusinofil 10-3/ 0–6 0,02 0,48 N
UL
Basofil 10-3/ 0–2 0,06 0,03 N
UL
KIMIA KLINIK

SGOT U/ L 5 – 35 55 16 54 ↑ Gg. Liver


SGPT U/ L 5 – 35 30 10 25 N
BUN Mg/ 8 – 25 98 79,4 69 ↑
dL
sCr Mg/ ≤ 1,4 3,7 2,88 2,33 ↑ Sepsis- Gg.
dL Ginjal
Moderate

Bilirubin Total Mg/ 0,3 - - 4,1 1,3 0,9 ↑ Gg. Liver


dL 1,1
Bilirubin Mg/ 0 - 0,3 3,47 0,95 0,84 ↑
Direct dL
Albumin g/ dL 3,5 – 5 3,8 2,3 2,4 2,89 3,25 2,85 3,32 3,1 ↓
Ureum Mg/ 10-50 169,9 147,7 ↑ Gg. Liver
dL
GDA Mg/ ≤ 140 123 120 141 N
dL
K Mmol/ 3,6 – 3,7 2,7 2,64 3,14 3,25 2,5 2,4 ↓ Sepsis-
L 4,8 Resusitasi
Na Mmol/ 135 – 135 119 127,5 146,4 142,12 165 160 ↓↑ cairan
L 144
Cl Mmol/ 106 - 88 95,4 114,6 119 142 135 ↓↑
L 97
Ca Mg/ 8,8 – 6,8 7,6 8,7 7,4 8,5 8 ↓
dL 10,4
Amilase U/L 20 – 30 N
123
Lipase U/L 10 -140 88 N

GAS DARAH 3 Juli

pH 7,35- 7, 7,1 7,242 7,11 7,3 7,36 7,23 7,3 ↓ Asidosis


43
pCO2 mmHg 35 – 45 31 27,5 41 22 18 20 19 ↓ Metabolik
pO2 mmHg 75 - 104 113 47 113 67 127 94 70 ↓↑
100
HCO3 Mmol/ 21 – 28 6,9 9,3 11,8 13 11,6 8,1 8,4 9,3 ↑
L
BE -2 ke mEq/ L -15,7 -19,1 -16 -16,5 -14,3 -19 -19,2 17,1 ↓
+2
sO2 % ≥ 95% 98 91 77 97 91 98 96 92 ↓
TCO2 Mmol/ 22 - 32 7,2 10,3 13 14,3 12,7 8,7 9 9,9 ↓
L

Pemerikasaan penunjang

Jenis Pemerikasaan : Kultur Hasil ( 3 / 7 / 2016 )


Mikroba
Biakan : klebsiella sp., ESBL ( + )

Sensitifi : Gentamycin, amikacin, morepenem, ciprofloxacin, cotrimoxazole

Resisten : ceftriaxone, ceftazidin, cefixime, ampicilin, sulbacam, co- amoxcyclav, cefotaxime,


aztreonam, pipericilin, tarzobactam, cetoperazone

Spesimen : sputum
Tanggal : 30 / 6 / 2016

Jenis pemeriksaan : Kultur urin Hasil ( 3 / 7 /2016 ) : tidak ada pertumbuhan kuman

Spesimen : urin

Tanggal : 30 / 6 / 2016

Jenis pemeriksaan : kultur darah ( Hasil ( 3 / 7 /2016 )


mikrobiologi )
Biakan : CUP + perifer, E. Coli, ESBL ( + )

Spesimen : darah Sensitifi : Gentamycin, amikacin, morepenem

Resisten : ciprofloxacin, azireonam, ampicilin sulbactam, cefazolin, cotrimoxazole, ceftriaxone,


ceftazidin, cefixime,co-amoxiclam, piparicin sulbactam, cetoperazone sumbactam

Tanggal : 30 / 6 / 2016
Terapi Saat MRS

Terapi AturanPa Tanggal


kai
28/6 29/6 30/6 1/7 2/7 3/7 4/7 5/7 6/7 9/7

Alinamin F 2 x 1 amp √ √ √

Avelox Drip 1 x 1 amp √ √ √ √ √ √

Dabutamin 1,4 cc / √ √ √ √ √ √ √ √ √
TERAPI PARENTERAL

jam

Navalgin Inj 3 x 1 √ √ √ √ √ √
gram

Pantoprazol 2 x 1 amp √ √ √ √ √ √ √ √ √
Inj

Ondensentro 3 x 4 mg √ √ √
n Inj
Panamin 500 cc √ √

Primperan 3 x 1 amp √ √ √ √ √
Inj

Ranitidin Inj 2 x 1 amp √

Vascon √ √ √ √ √

Vit K 1 x 1 amp √ √ √ √ √ √ √

KCL Inj 50 mg / 5 √ √ √ √ √ √
jam

Kalbamin 500 cc √

Amiparen 500 cc √ √ √ √ √

Albumin 20 100 cc √ √ √
%

Paracetamol 4 x 500 √
OR
AL
mg

Sonde 3 x 500 √ √
Calnex mg

Sonde DS 6 x 50 CC √

Sonde New √
Diatab

Sonde 1 mg / jam √
Nitrosin

Doripemen 3 x 500 √ √ √ √
mg

Nacl 5 % √ √ √

Asering 1500 cc √ √ √
IVD

Triofusin 1000 cc √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Ivelip 200 cc √ √ √ √ √
A. DASAR TEORI
1. Patofisiologi
a) Sepsis
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi
respons tubuh terhadap infeksi (perdici). Sepsisdipahamisebagaikeadaan
yang melibatkan aktivasi awaldarirespon pro-inflamasidananti-inflamasi
tubuh.Bersamaan dengan kondisi ini, terjadi abnormalitas sirkuler seperti
penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah perifer,
depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme yang menyebabkan
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan
oksigen yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok
(febian).
Gambar 1. Patofisiologi Sepsis (Konrad Reinhart)

b) Hipotensi

Gambar 2. Patofisiologi Syok Sepsis (Dipiro, 2008)


Pada pasien sepsis, terjadi pelepasan peptida vasoaktif (bradikinin,
serotonin) dan kerusakan sel endotelial yang mengakibatkan vasodilatasi.
Kerusakan vaskular endotelial akibat pelepasan mediator-mediator inflamasi,
seperti TNF-α dan prostaglandin serta pelepasan hormon ACTH/endorfin yang
mengakibatkan vasodilatasi. Vasodilatasi menyebabkan terjadinya syok atau
hipotensi (Dipiro, 2008).
Gambar 3. Patofisiologi Stress Ulcer Akibat Penyakit Kritis di ICU (Stollman
and Metz, 2005)
Sepsis merupakan salah satu penyakit kritis yang dapat mengakibatkan
stress-related mucosal disease (SRMD) yang dapat memperpanjang perawatan
di RS dan meningkatkan mortalitas. Penyakit kritis menyebabkan hipovolemia,
penurunan cardiac output, vasokontriksi, dan pelepasan sitokinin proinflamasi
sehinga mengakibatkan hipoperfusi splanchnic dan gastrik. Hipoperfusi dapat
menyebabkan penurunan sekresi HCO3, aliran darah mukosal, motilitas GI, dan
difusi balik asam yang mengakibatkan stress ulcer akut. Selain itu, hipoperfusi
menyebabkan iskemia dan kerusakan mukosal. Iskemia menyebabkan
penurunan kemampuan netralisasi ion hidrogen sehingga mengakibatkan
kematian sel dan ulserasi (Stollman and Metz, 2005).
c) Asidosis metabolik
Seseorang dengan fungsi ginjal normal akan menghasilkan ion
hidrogen yang cukup untuk berikatan dengan bikarbonat yang disaring.
Akibatnya, pH cairan tubuh dapat dipertahankan melalui penyangga ion
hidrogen oleh protein, hemoglobin, fosfat, dan bikarbonat. Ammoniagenesis
ginjal dan ekskresi urin buffer fosfat akan memfasilitasi ekskresi asam. Pada
pasien dengan gangguan ginjal , kemampuan ginjal untuk mensintesis amonia
terganggu. Hal ini akan menyebabkan penurunan penyangga urin dan
menurunkan ekskresi asam dan keseimbangan ion hidrogen. Akibatnya,
asidosis metabolik berkembang (Dipiro et al, 2011).

d) Anemia

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya


penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron
store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.
Anemia defisiensi besi ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer.Anemia
defisiensi besi merupakan gangguan metabolisme besi dan peningkatan
hepcidin. Peningkatan produksi hepcidin di hati diakibatkan oleh proses
inflamasi. Hepcidin berikatan dengan ferroportin (protein ekspor iron) pada
hepatosit, makrofag, dan duodenal enterosit sehingga terjadi degradasi
ferroportin. Hal tersebut menyebabkan zat besi tidak dapat keluar ke plasma
darah dan terperangkap di dalam makrofag atau hepatosit sehingga terjadi
peningkatan penyimpanan zat besi atau peningkatan serum ferritin,
hipoferremia, defisiensi zat besi fungsional, dan eritropoiesis yang kekurangan
zat besi. Selain itu, hepcidin juga menghambat penyerapan zat besi di intestinal.
ACD ditandai dengan penurunan serum iron, transferrin, dan total iron binding
capacity serta peningkatan ferritin (Gangat and Alexaandria, 2013).Pada pasien
kritis anemia disebabkan oleh dua hal mendasar yaitu masa peredaran darah sel
darah merah yang diperpendek dan berkurangProduksi sel darah merah.obat-
obatan di ICU, seperti inhibitor enzim pengubah angiotensin,bloker reseptor
angiotensin, penghambat saluran kalsium,theophylline, dan b-adrenergic
blocker, juga menekan yang normalrenal EPO release sebagai respons terhadap
hipoksemia dan anemia. (Hayden et al, 2012 )
2. Guideline Terapi
a) Sepsis

Gambar 4. Klasifikasi Sepsis (Jeffrey E Gotts)

b) Terapi Cairan
Gambar 5. Guideline terapi cairan (Dipiro et al, 2015)
c) Hipotensi

Gambar 6. Tata Laksana Terapi Hipotensi pada Sepsis


(Rhodes, et al., 2017)
Gambar 7 . Tata Laksana Profilaksis Stress Ulcer pada Pasien Sepsis
(Rhodes, et al., 2017)
d) Asidosis Metabolik

Gambar 8. Rekomendasi Terapi pasien asidosis (Dipiro,2015)


Berdasarkan dipiro (2015) Rekomendasi terapi asidosis metabolik
sedang dengan nilai PH 7,2 – 7,4 adalah Natrium Bikarbonat oral atau
sediaan Alkali lainya.
e) Anemia

Gambar 9. Tatalaksana anemia ( Goddard et al,2011)


B. PENATALAKSANAAN KASUS DAN PEMBAHASAN SOAP
1. Subjective
Nama Pasien : Ny. M
No. Rekam Medik : 11.04.70. xx
Umur/TTL : 53 tahun
BB : 40 kg
TB :
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : -
Status Jaminan : -
Riwayat MRS : Pasien masuk ICU tanggal 28/6
Riwayat Penyakit : Cholecystectomy 2 hari sebelum masuk ICU
Riwayat Terapi : -
Riwayat Obat : -
Riwayat Lifestyle : -
Diagnosa : Sepsis post Cholecystectomy
2. Objective
a) Parameter TTV
Tanggal Ketera
Para NN 28/ 6 29/6 30/6 1/7 2/7 3/7 4/7 5/7 6/7 7/7 ngan
(MRS)
Suhu 36 - 36 36,8 36 37,2 36 37,5 37,4 38 37 39 37, 38,5 37,3 38,6 37 37,8 37,6 39,4 38 38,5 Demam
(°C) 37,4 5
Nadi 60- 11 130 110 138 80 140 120 150 120 145 12 140 100 140 98 110 90 130 11 125 Sepsis
( x/ 100 0 0 0
meni
t)
TTV

TD 120 80/ 152 102 170 110 150 130 160 100 160 90/ 150 120 160 110 165 110 190 92/ 110 Sepsis-
(mm /80 65 /90 /65 /90 /70 /88 /50 /90 /50 /80 50 /70 /70 /70 /60 /78 /70 /90 51 /60 Hipoten
Hg) si
Nafa 12- 14 14 23 33 24 30 21 34 17 47 21 41 11 44 14 33 28 45 38 42 Sepsis
s (x/ 24
meni
t)
b) Data Laboratorium
Nilai Tanggal Ket Interpretasi
Pemeter Satuan
Normal 25/6 28/6 29/6 30/6 1/7 2/7 4/7 5/7 6/7 7/7
HgB g/ dL 12,1 – 14,3 10,5 11,8 9, 6 9,2 10,6 10,2 ↓ Anemia
15,1
RBC 10 /-6
0–3 5,27 3,91 4,08 3,42 3,53 3,82 3,4 ↑
UL
HCt % 35 - 45 40,9 29.9 34,4 28,5 27,9 31,7 30,2 ↓ Anemia
MCV FL 80 - 77,6 76,5 84,3 83,4 79,2 83 88,8 ↓
100
MCH Pg 28-34 27,1 26,9 28,9 28 26,2 27,8 29,9 ↓
MCHC g/ dL 32 - 36 35 35,1 34,3 33,6 33,1 33,5 33,7 N
RDW- SD FL 39 - 47 49,5 44,8 ↑ Sepsis-
RDW- CV % 11,5 – 18,4 16,8 20,8 17,5 17,7 17,3 22,4 ↑ Koagulasi
14,5
PLT 10 /-3
170 – 891 584 354 297 308 287 87 ↑
UL 380
PDW FL 8,3 - 25 10,6 10,9 16,5 17,4 16,3 17 15,9 N
MPV FL 7 - 11,7 9,8 10 7,5 5,9 6,9 6,5 8,2 ↓
P-LCR % 15 - 35 22,7 24,4 N
PCT % 0,87 0,59 0,264 0,175 0,211 0,186 0,072 - Antibiotik
(Pirocalsitonin)
WBC 10-3/ 4 – 10 x 29,64 23.14 17,5 13,3 20,9 25 26,3 ↑ Sepsis-
UL 103 Inflamasi
Neutrofil % 36 - 37 85,8 87,3 ↑
Lymph % 15 – 45 6,3 5,1 5,5 6,8 9,3 5,2 8,1 ↓
Granulosit % 1,8 – 90,3 88,7 87,4 88,4 89,9 ↑
6,6 x
3
10
Monosit 10-3/ 0 – 10 2,26 1,26 0,8 0,6 0,7 1,6 1,5 N
UL
Eusinofil 10-3/ 0–6 0,02 0,48 N
UL
Basofil 10-3/ 0–2 0,06 0,03 N
UL
KIMIA KLINIK

SGOT U/ L 5 – 35 55 16 54 ↑ Gg. Liver


SGPT U/ L 5 – 35 30 10 25 N
BUN Mg/ 8 – 25 98 79,4 69 ↑
dL
sCr Mg/ ≤ 1,4 3,7 2,88 2,33 ↑ Sepsis- Gg.
dL Ginjal
Moderate

Bilirubin Total Mg/ 0,3 - - 4,1 1,3 0,9 ↑ Gg. Liver


dL 1,1
Bilirubin Mg/ 0 - 0,3 3,47 0,95 0,84 ↑
Direct dL
Albumin g/ dL 3,5 – 5 3,8 2,3 2,4 2,89 3,25 2,85 3,32 3,1 ↓
Ureum Mg/ 10-50 169,9 147,7 ↑ Gg. Liver
dL
GDA Mg/ ≤ 140 123 120 141 N
dL
K Mmol/ 3,6 – 3,7 2,7 2,64 3,14 3,25 2,5 2,4 ↓ Sepsis-
L 4,8 Resusitasi
Na Mmol/ 135 – 135 119 127,5 146,4 142,12 165 160 ↓↑ cairan
L 144
Cl Mmol/ 106 - 88 95,4 114,6 119 142 135 ↓↑
L 97
Ca Mg/ 8,8 – 6,8 7,6 8,7 7,4 8,5 8 ↓
dL 10,4
Amilase U/L 20 – 30 N
123
Lipase U/L 10 -140 88 N

GAS DARAH 3 Juli

pH 7,35- 7, 7,1 7,242 7,11 7,3 7,36 7,23 7,3 ↓ Asidosis


43 Metabolik
pCO2 mmHg 35 – 45 31 27,5 41 22 18 20 19 ↓
pO2 mmHg 75 - 104 113 47 113 67 127 94 70 ↓↑
100
HCO3 Mmol/ 21 – 28 6,9 9,3 11,8 13 11,6 8,1 8,4 9,3 ↑
L
BE -2 ke mEq/ L -15,7 -19,1 -16 -16,5 -14,3 -19 -19,2 17,1 ↓
+2
sO2 % ≥ 95% 98 91 77 97 91 98 96 92 ↓
TCO2 Mmol/ 22 - 32 7,2 10,3 13 14,3 12,7 8,7 9 9,9 ↓
L
3. Assesment
Problem medik pasien :
Problem Medik dan Asesment DRP (Drug Related Problem)
Problem Subjekif Objektif Terapi Assesment Plan
Medik
Septic Syok- Plasma Lyte DRP:ADR Penggunaan NaCl 3%
Resusitasi pemberian awal Uraian DRP : Pada tanggal 29/6 dihentikan kemudian diganti
masuk ICU 1000
Cairan Pasien diberikan Nacl 3% dengan Plasma Lyte sebanyak
mL kemudian
dilanjutkan sedangakan pasien masuk rumah 30 mL/kgBB berat badan pasien
dengan pemberian sakit pada tanggal 28/6 dengan 40 Kg. Pasien diberikan 1200
30 mL/kg
kondisi ICU pasien seharusnya mL (Fraze et al., 2015)
.(Dipiro, 2015)
mendapatkan terapi cairan saat
awal masuk ruang ICU. Pasien
mendapatkan NaCl 3% dimana
pasien mengalami gangguan
ginjal yang merupakan
kontraindikasi dengan pemberian
NaCl (Dipiro,2015). Menurut
Fraze etal (2015) diberikan
Kristaloid jenis plasma lyte
(Rendah larutan Cl )
Septic Syok- - Tekanan darah Dobutamin, DRP: Terapi kurang efektif Pemberian norepinephrine
Hipotensi menurun pada Vascon Berdasarkan Guideline dalam 6 jam pertama setelah
H1MRS tgl 28/6 Management of Severe Sepsis and serangan syok dan dapat
(80/65 mmHg) Septic Shock (2013), diberikan 1 sampai 6 jam
norepinephrine merupakan first setelah resusitasi cairan dengan
choice vasopressor. Sedangkan, dosis 0,1 mcg/kg/min (Beck, et
dobutamin dapat al., 2014; Arslantas, et al., 2015)
diberikan/ditambahkan dengan
vasopressor pada pasien dengan
disfungsi myocardial atau
hipoperfusi meskipun target MAP
telah tercapai (Rhodes, et al.,
2017). Namun, pada H1MRS,
pasien menerima terapi inisial
berupa dobutamin.
Profilaksis - - Ranitidin 2x1A; DRP: Terapi kurang efektif Menghentikan terapi ranitidin
stress ulcer Pantoprazol 2X1 Berdasarkan Guideline dan ondansetron sehingga terapi
A; Ondansetron Management of Severe Sepsis and SUP yang diberikan adalah
3x4 mg Septic Shock (2013), pasien sepsis Pantoprazol 40 mg diencerkan
dan syok sepsis dapat diberikan dengan 10 ml NS 0,9% secara
terapi profilaksis stress ulcer intravena selama 2 menit,
menggunakan PPI atau H2RA diberikan setiap 12 jam (Coelho,
(Rhodes, et al., 2017). Namun, et al., 2009).
pasien menerima 3 obat sekaligus
yaitu ranitidin, pantoprazol, dan
ondansetron. Pantoprazole dipilih
karena lebih efektif dibandingkan
ranitidin dalam mempertahankan
pH ≥ 4 lebih lama pada pasien
sepsis (Coelho, et al., 2009).
Septic Syok- - Penurunan PH Natrium DRP: Terapi kurang efektif Pemberian asering dihentikan
Asidosis darah, Bikarbonat Uraian Drp : Berdasarkan data dan digantikan dengan natrium
metabolik peningkatan objektif pasien mengalami bikarbonat, Diberikan I.v
HCO3 dan PCO2 asidosis metabolik kategori natrium bikarbonat apabila pH
sedang karna PH darah pasien darah <7,2 namun apabila pH
masih >7.0 ( Velissaris, 2015) darah sudah mencapai ≥ 7,2
asidosis pasien sudah diterapi pasien diberikan natrium
menggunakan asering namun bikarbonat oral ( Dipiro,2015)
belum menunjukan perbaikan
pada PH darah pasien. Menurut
guidline Dipiro (2015) terapi yang
direkomendasikan untuk asidosis
sedang dengan kategori HCO3 12-
20 mEq / L [12-20 mmol / L]; pH
7,2-7,4 adalah menggunakan
natrium bikarbonat oral atau
sediaan alkali lainya.

Penurunan SO2 DRP: Indikasi Tanpa Terapi Memberikan terapi O2 dengan


dan pO2 pada Uraian Drp : Berdasarkan AACP kanal nasal pada tanggal 29/6.
tanggal 29/6 (2009) PO2 <60 atau sO2 < 90%
maka pasien mengalami
hipoksemia. Butuh untuk
meningkatkan masukan O2 karena
gangguan metabolism dengan
pemberian O2 melalui kanal
nasal.
Septic Syok- Peningkatan nilai enoxaparin 40 mg DRP: indikasi tanpa terapi diberikan enoxaparin 40 mg
koagulasi RDW dan platelet tiap 12 jam Terjadi peningkatan nilai RDW setiap 12 jam ( PERDICI, 2017)
dan platelet pada pasien yang
mengindikasikan terjadinya
trombositosis. Namun pasien di
berikan terapi vitamin K yang
berperan dalam penggumpalan
darah sehingga dapat
meningkatkan resiko
trombositosis. Sehingga
pemberian terapi vitamin K
dihentikan. Untuk profilaksis
trombositosis diberikan
enoxaparin 40 mg setiap 12 jam (
PERDICI, 2017)
Sepsis- Kultur +; E. coli, DRP: Overdose Menerima doripenem 250 mg
Infeksi Klabseilla, ESBL Pasien memiliki gangguan ginjal dalam larutan normal salin 50
(+) moderate namun pemberian ml diberikan 3 x sehari selama 4
doripenem dosisnya tidak sesuai, jam selama 6-10 hari
sehingga perlu penurunan dosis
disesuaikan dengan nilai ClCr 30-
49 ml/ menit yaitu menerima
doripenem 250 mg dalam larutan
normal salin 50 ml diberikan 3 x
sehari selama 4 jam
Anemia Penurunan Hb, Fero sulfat DRP: indikasi tanpa terapi diberikan suplemen besi ferrous
defesiensi zat Hct, MCV, pasien memilki nilai Hb yang sulphate 324 mg 3 kali
besi MCHC dan MCH rendah (9,6 g/dL; 9,2 g/dL ; 10,6 sehari(Goddard et al,2011)
g/dL; 10,2 g/dL) pada tanggal
30/6 – 5/7. Selain itu, pasien juga
memiliki nilai hematokrit yang
rendah (29,9;34,5 ; 28,5; 27,9
;31,7 ;30,2) pada tanggal 28/6 -
5/7. Nilai MCV, MCH, dan
MCHC mengalami penurunan.
Penurunan hemoglobin
hematokrit MCV, MCH, dan
MCHC menunjukkan bahwa
pasien menderita anemia
mikrositik atau defisiensi zat besi.
(Kemenkes RI, 2011). Namun
pasien belum menerima terapi
anemia sehingga terdapat DRP
indikasi tanpa terapi. Pasien yang
mengalami anemia defisiensi zat
besi diberikan suplementasi zat
besi (Goddard et al,2011)

Demam - Penurunan suhu Paracetamol DRP : Terapi Kurang efektif Pasien diberikan paracetamol
Uraian DRP : sejak tanggal 1/7 hingga tanggal
Pasien mengalami demam dengan 7/7
shu lebih dari 37,5 sejak tanggal
1/7 akan tetapi pasien hanya
diberikan satu kali dan tidak
dilanjutkan sehingga demam pada
pasien tidak menurun. Seharusnya
pasien menerima terapi
paracetamol pada tangga; 1/7
hingga tanggal 7/7. Karna demam
pada pasien dapat menngkatkan
kebutuhna oksigen pada pasien.
Dan hal ini dapat memperparah
kondisi pasien (chiumello, 2016)
4. Plan
a. Tujuan Terapi
Sepsi dan septic shock
- Menormalkan hemodinamika dalam tubuh seperti volume
intravakular, curah jantung dan pengiriman oksigen
- Meningkatkan tekanan darah sistolik >90 mmHg dan MAP>65
mmHg (Gelinas & Russel, 2016).
- Tidak terjadi perdarahan GI (Rhodes, et al., 2017).
- meningkatkan nilai PH serum darah
- Tujuan terapi anemia adalah untuk menormalkan nilai hematologi

b. Terapi Non-Farmakologis
- Sepsis dan septic shock
- Anemia
Konsumsi makanan tinggi zat besi(seperti bayam), sayuran, daging,
ikan dan unggas untuk mengoptimalkan terapi eritropoetin dalam
peningkatan Hb (Wells, 2008; Rouli&Amalia, 2005; Handayani,
2008).
- Asidosis Metabolik
Tidak ada terapi non framakologi asidosis metabolik khusus, karena
hanya dibutuhkan intervensi farmakologis untuk memperbaiki
keadaan asidemia (Dipiro et al, 2011) Salah satu pendekatan non
farmakologis yang dapat diterapkan pada pasien asidosis metabolic
disertai gangguan ginjal yaitu diet rendah protein dengan banyak
mengonsumsi buah dan sayur (Di Lorio et.al, 2015).
c. Terapi Farmakologi
PROBLEM MEDIK Septic shock
- Terapi Cairan
Ny.M masuk rumah sakit dalam kondisi kritis memasuki ruangan
ICU. Pasien dengan sepsis sering diikuti dengan hipovelemik dari penurunan
dan peningkatan kehilangan yang tidak dirasakan.ketidak seimbangan dalam
pengiriman output dan permintaan oksigen ke jantung menyebabkan ketidak
seimbangan hemodinamika dalam tubuh. Pada pasien ICU diberikaan
kristaloid. Cairan kristaloid dibagi menjadi beberapa jenis yaitu Ringer
lakatat, plasma lyte dan NaCl 0,9% (norma saline).
Terapi utama cairan pada sepsis dan septic shock adalah NaCl 0,9%
akan tetapi berhubung pasien mengalami gangguan pada ginjal sehingga
penggunaan cairan NaCl dapat memperburuk fungsi ginjal (Dipiro,2015).
Menurut Freeze et al (2015) pasien dengan gangguan ginjal diberikan plasma
lyte dimana cairan kristaloid jenis ini tidak memperburuk fungsi ginjal dan
tidak ada perbedaan efektifitas yang signifikat terhadap kedua cairan tersebut.
- Terapi supportive
Terapi supportive berupa profilaksis stress ulcer dan support nutrisi
diperlukan untuk mencegah komplikasi selama perawatan di ICU. Profilaksis
stress ulcer sebaiknya diberikan kepada semua pasien dengan sepsis berat dan
syok sepsis. PPI dan H2RA memiliki kemampuan yang relatif sama dalam
meningkatkan pH lambung (Dipiro, 2008). Stress ulcer saluran gastrointestinal
(GI) pada pasien dengan penyakit kritis dapat berkaitan dengan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan. Hal tersebut terkait dengan mekanisme gangguan
proteksi lambung melawan asam lambung, hipoperfusi mukosa lambung,
peningkatan produksi asam, dan luka oksidatif terhadap saluran cerna.
Profilaksis stress ulcer dapat diberikan kepada pasien sepsis maupun syok
sepsis dengan atau tanpa faktor risiko perdarahan GI. Terapi SUP dapat
diberikan PPI atau H2RA tetapi Ny.M mendapatkan 3 obat yaitu injeksi
ranitidin, pantoprazol, dan ondansetron sehingga terdapat DRP berupa terapi
kurang efektif. Berdasarkan meta-analisis, PPI lebih efektif dibandingkan
H2RA dalam mencegah perdarahan GI (Rhodes, et al., 2017). Berdasarkan
meta-analisis yang lain, profilaksis PPI dapat menurunkan risiko perdarahan GI
secara signifikan dibandingkan H2RA dengan OR sebesar 0,3 (Barkun, et al.,
2012). PPI yang dipilih yaitu pantoprazol karena merupakan first choice PPI
yang digunakan oleh pasien ICU sebagai profilaksis stress ulcer (Krag, et al.,
2016). Pantoprazol lebih efektif sebagai profilaksis stress ulcer pada pasien
sepsis dibandingkan ranitidin karena dapat mempertahankan pH ≥ 4 lebih lama.
Dosis pantoprazol 40 mg diencerkan dengan 10 ml NS 0,9% secara intravena
selama 2 menit, diberikan setiap 12 jam (Coelho, et al., 2009). Durasi
pemberian profilaksis stress ulcer selama 7 hari (MacLaren, et al., 2014).
- Terapi Antibiotik
Berdsarkan riwayat terapi Ny. W diberikan terpi antibiotic berupa Avelox
(moxifloxacin) dan Doripenem. Avelox diberikan sebagai terapi antibiotic
empiric ketika berda di ICU. Menurut Sphen H. Liang terapi antibiotic di ICU
harus diberikan berupa antibiotic yang memiliki spectrum luas untuk bakteri
gram negative mau positif. Ny. M baru melakukan operasi cholecystectomy
yang kemudian mengalami sepsis. Kemudian dari data medic sCr menunjukkan
adanya peningkatan yang mengindikasikan adanya gangguan ginjal pada
pasien. Antibiotik yang banyak digunakan pada sepsis dengan gangguan ginjal
akut adalah golongan quinoloe (levofloxacin ) dan karbapenem (meropenem)
menunjukkan hasil yang baik karena tidak terdapat perburukan pada ginjal
(Hidayati). Namun menurut Antoine Grillon moxifloxacin memiliki aktivitas in
vitro yang lebih baik dibandingkan dengan lefofloxacin dan ciprofloxacin.
Selain penggunaan moxifloxacin tidak perlu dilakukan adjsment dosis terkait
dengan adanya gangguan ginjal.
Gambar 10. Dosis Moxifloxacin terkiat infeksi
Berdasarkan gambar diatas dosis yang diberikan 1 x 1 ampul (400mg)
sudah sesuai.. Kemudain di tanggal 3 Juni hasil kultur mikrobiologi dari Ny.
M menunjukkan adanya Klebsiella, (+) ESBL dan E. coli. Maka penggunaan
antibiotic empiric harus segera digantian dengan antibiotic yang sesifik pada
pathogen.
Procalcitonin adalah prekursor peptida kalsitonin diproduksi sebagai
respon terhadap racun bakteri dan, terutama, untuk mediator pro-inflamasi
seperti interleukin 1b, Tumor necrosis factor dan interleukin 6. Tingkat
prokalsitonin meningkat dalam 6 hingga 12 jam dari awal infeksi bakteri, dan
diperkirakan akan turun setelah kontrol presentasi infeksi. Protokol
procalcitonin banyak digunakan untuk menentukan penggunaan antibiotik
namun bukan untuk memuli tetapi untuk penghentian antimikroba.
Berdasarkan nilai procalcitonin dari hari ke hari, penggunaan antibiotic
empiric moxifloxacinjuga sudah tepat hingga tgl 02/ 07 sudah < 0,2 yang
menunjukkan bahwa tidak perlu pengguaan empiric lagi, terlebiih dengan
ditunjang hasil kultur (Camila Delfino Ribeiro).
Gambar 11. AlgortimA Procalcitonin (Nicolas Bréchot).
Antibiotik yang digunakan setelah adanya hasil kultur adalah doripenem.
Terapi ini sudah sesuai dengan potogen yang positif berada pada specimen Ny.
M berupa Klebsiella, (+) ESBL dan E. coli. Menurut Slobodan Mihaljević
untuk terapi antibiotic untuk mengatasi Klebsiella dan E. coliadalah golongan
carbapenem. Dalam guideline penggunaan antibiotic dalam ICU juga d
sampaikan hal serupa.

Gambar12. Terapi Sepsis dengan Patogrn spesifik

Namun dari golongan karbapenem doripenem memiliki aktivitas


paling baik, bisa dikatakan adalah antibiotic yang memiliki spectrum luas berupa
gabungan dari kualitas baik dari inimepem dan meropenem sehingga pemilihan terpai
ini sudah tepat (Fiona Walsh). Pemberian awal doripenem adalah oral, namun
berdasarkan guideline pemberian doripenem dalam bentuk infus lebih baik sehingga
doripenem diganti jadi extended infusion karena sediaan tersebut dapat meningkatkan
waktu obat bebas dalam MIC sehingga kinerja untuk membunuh bakteri lebih baik.
Doripenem diberikan selama 6-10 hari hingga hasil kultur menunjukkan nilai negait
dari pathogen tersebut.

Gambar 13 Dosis Doripenem

Namun karena Ny. M memiliki gangguan terkait dengan ginjal dari nilai sCr maka
perlu dilakukan perubahan dosis dengan konversi nilai sCr terhadap ClCr adalah 30-
49 ml/ menit maka Ny M menerima doripenem 250 mg dalam larutan normal salin 50
ml diberikan 3 x sehari selama 4 jam.
Gambar. Dosis Konversi Doripenem

Terapi koagulasi

Venous thromboembolism (VTE) dengan manifestasi klinisnya yaitu


trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru (PE), merupakan komplikasi yang
sering dijumpai pada pasien- pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU).
Sepsis terutama yang disertai dengan hipotensi dan syok merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya DVT dan PE. Patogenesis yang mendasari terjadinya VTE pada
sepsis diduga terjadi oleh karena berbagai faktor, antara lain: pemakaian obat
vasopresor, sedasi, imobilisasi, aktivasi jalur thromboinflamasi, Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC), dan stasis vena. VTE pada pasien sepsis ini juga
cukup sulit untuk didiagnosa dan sering tidak terdiagnosa, yang pada akhirnya
menimbulkan komplikasi seperti hipotensi, takikardi, hipoksia dan cedera paru, sulit /
gagal penyapihan ventilator. Dan pada akhirnya, VTE akan meningkatkan lamanya
perawatan di ICU dan meningkatkan angka kesakitan dan kematian. Pada kasus
pasien nilai platelet pasien meningkat pada tanggal 28/6 dan 29/6 yang
mengindikasikan trombositosis namun diberikan terapi vitamin K yang berperan
dalam penggumpalan darah sehingga dapat meningkatkan resiko trombositosis.
Sehingga pemberian terapi vitamin K dihentikan. Untuk profilaksis trombositosis
diberikan enoxaparin 40 mg ( PERDICI, 2017)

Gambar 14 .terapi trombositosis ( PERDICI, 2017)

PROBLEM MEDIK HIPOTENSI


Pasien mengalami penurunan tekanan darah pada hari pertama masuk
rumah sakit sebesar 80/65 mmHg. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Ny.M
mengalami syok sepsis karena pasien mengalami hipotensi. Vasopressor
diberikan ketika tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau mean
arterial pressure (MAP) kurang dari 65 mmHg. Agen inotropik dobutamin
dapat dikombinasikan dengan norepinephrine (Dipiro, 2008).

Gambar 15. Tatalaksana hipotensi (Rhodes, et al., 2017)


Berdasarkan Guideline Management of Severe Sepsis and Septic Shock
(2013), norepinephrine merupakan first choice vasopressor. Sedangkan, agen
inotropik dobutamin dapat diberikan/ditambahkan sebagai kombinasi dengan
vasopressor pada pasien dengan disfungsi myocardial atau hipoperfusi persisten
setelah pemberian cairan dan agen vasopressor. Dobutamin dosis rendah
disarankan tidak diberikan kepada pasien sepsis untuk perlindungan ginjal
sehingga Ny.M tidak diberikan dobutamin karena mengalami gangguan ginjal
moderate. Norepinephrine (NE) sebagai first choice vasopressor dan dipilih
sebagai terapi Ny.M karena memiliki mortalitas lebih rendah (RR 0,89; 95% CI
0,81-0,98, bukti berkualitas tinggi) dan risiko aritmia yang lebih rendah (RR
0,48; 95% CI 0,40-0,58; bukti berkualitas tinggi) dibandingkan dengan
dopamin. NE lebih efektif daripada dopamin dalam mengatasi hipotensi pada
pasien syok sepsis. Selain itu, NE lebih aman karena dopamin lebih tinggi
risiko terjadinya aritmia dibandingkan NE sedangkan Ny.M memiliki denyut
nadi yang tinggi. Sedangkan, tidak ada perbedaan signifikan dalam mortalitas
antara NE dengan epinephrine tetapi epinephrine lebih tinggi kejadian ADR
dan dapat memicu peningkatan produksi laktat aerobik sehingga dapat
memperparah asidosis pada Ny.M (Rhodes, et al., 2017). Oleh karena itu, Ny.M
diberikan terapi norepinephrine untuk mengatasi hipotensi akibat syok sepsis.
Vasopressor NE diberikan apabila dalam 1 sampai 6 jam setelah onset
syok telah dilakukan resusitasi cairan tetapi pasien masih mengalami hipotensi.
Terapi NE diberikan 3 jam setelah pasien terdiagnosis syok. Semakin cepat
pemberian NE maka dapat menekan mortalitas pasien (Beck, et al., 2014).
Dosis NE dimulai dari 0,1 µg/kg/menit sehingga dosis yang diberikan kepada
Ny.M sebesar 4 µg/menit atau 240 µg/jam yang dibulatkan menjadi 0,25
mg/jam diberikan via infus berkelanjutan hingga perbaikan syok sepsis dengan
target MAP ≥ 70 mmHg (Arslantas, et al., 2015). Pada pasien sepsis dengan
gagal ginjal maka dosis NE dapat dititrasi hingga 12 µg/menit dengan dosis
rata-rata NE ketika terjadi ADR yang serius yaitu 0,79 µg/kg/menit sehingga
dosis maksimal pada Ny.M sebesar 31,6 µg/menit. Target terapi yang ingin
dicapai yaitu tekanan darah sistolik >90 mmHg dan MAP 65 sampai 75 mmHg
(Gordon, et al., 2016; Gelinas & Russel, 2016).

PROBLEM MEDIK ASIDOSIS METABOLIK


Menurut Dipiro (2011) pemberian terapi Natrium bikarbonat
intravena hanya diberikan pada kasus asidosis metabolic berat dengan HCO3
<8 dan nilai pH <7.2 sedangkan pada kasus ini digolongkan pada asidosis
metabolik ringan sehingga terapi diganti menggunakan terapi oral.menurut
Velissaris (2015) Penggunaan Natrium bikarbonat merupakan komponen utama
dalam pengobatan sepsis pada pasien dengan asidosis metabolik karna terbukti
dapat meningkatkan PH darah pasien serta dapat memperbaiki kondisi sepsis
dengan asidosis dan menurut andany et al (2014) pemberian natrium
bikarbonat berguna sebagai strategi renoprotektif pada pasien dengan gangguan
ginjal ringan.

Pemberian IV sodium bicarbonat bertujuan untuk meningkatkan pH


darah hingga 7,2 , bila pH sudah mencapai ≥7,2 terapi dilanjutkan
menggunakan natrium bikarbonat oral hingga pH darah normal (7,35-7,45)
(Dipiro,2015).

Berdasarkan kondisi pasien, adanya sepsis menyebabkan gangguan


kebutuhan oksigen sehingga tidak seimbang antara kebutuhan oksigen untuk sel
dengan oksigen yang tersedia dalam tubuh (). Menurut AACP (2009) ketika
terjadi penurunanan PO2 <60 atau sO2 < 90% maka pasien perlu diterapi untuk
mengatasi hipoksis dengan meningkatkan kadar oksigen agar memberikan
oksigen melalui beberapa cara. Salah satunya adalah kanal nasal,
mempertimbangkan kondisi pasien yang berada d ICU maka cara tersebut
sudah sesuai untuk mengembalikan saturasi oksigen yang menurun drastic di
tanggal 29/ 6.
PROBLEM MEDIK ANEMIA

Ny.M memilki nilai Hb yang rendah rendah (9,6 g/dL; 9,2 g/dL ; 10,6
g/dL; 10,2 g/dL) pada tanggal 30/6 – 5/7. Selain itu, pasien juga memiliki
nilai hematokrit yang rendah (29,9;34,5 ; 28,5; 27,9 ;31,7 ;30,2) pada tanggal
28/6 -5/7. Nilai MCV, MCH, dan MCHC mengalami penurunan. Penurunan
hemoglobin hematokrit MCV, MCH, dan MCHC menunjukkan bahwa pasien
menderita anemia mikrositik atau defisiensi zat besi. (Kemenkes RI,
2011)Pasien memiliki Hb pada rentang 9-10 g/dL sehingga termasuk dalam
anemia moderate (Dicato, et al., 2010). Namun, pasien belum mendapatkan
terapi untuk mengatasi anemia sehingga terdapat DRP berupa indikasi tanpa
terapi.
Pasien yang mengalami anemia defisiensi zat besi ( anemia mikrositik
) diberikan suplemen besi (Goddard et al, 2011). Suplemen besi yang dipilih
ialah fero sulfat karena memiliki kandungan zat besi dua kali lebih banyak
dibandingkan dengan Ferrous gluconate dan Ferrous fumarate.Pada 1 tablet
ferro sulfat mengandung sekitar 60 mg besi. Dengan mengasumsikan bahwa
10% besi diabsorbsi maka diperkirakan 5000 mg zat besi oral diberikan untuk
penyerapan 500 mg zat besi (500-800 mg zat besi, dapat meningkatkan
hemoglobin darah utuh 2-3 g / dL). (Alleyne et all,2008)

Gambar 16. Dosis ferrous sulfate (Alleyne et all,2008)


PROBLEM MEDIK DEMAM
Ny. M memiliki suhu diatas 37 ºC pada tanggal 1/7 hingga 7/7 akan
tetapi pasien hanya diberikan paracetamol pada tanggal 1/7. Seharusnya pasien
menerima terapi paracetamol sejak tanggal 1/7 karna kondisi demam dikaitkan
dengan lama rawat inap pasien di ICU karena kondisi demam dapat
meningkatkan uptake oksigen dimna pada pasien sepsis ketersediaan oksigen
sangat minim sehingga apabila demam tidak teratasi dapat memperparah
kedaan pasien. Paracetamol selain bermanfaat sebagai antipiretik, paracetamol
juga efektif untuk pasien sepsis (Bellomo et al, 2014) . Penggunaaan
paracetamol pada pasien demam dengan sepsis sudah tepat karena menurut
Chiumello (2016) penggunaan paracetamol efektif dan dapat menurunkan
angka mortalitas pada pasien.

d. Terapi farmakologis yang Diterima Pasien

Durasi
Aturan
Obat Dosis 28/ 29 30/ 1/ 2/ 3/ 4/ 5/ 6/
Pakai
6 /6 6 7 7 7 7 7 7

Plasma Lyte 1200mL 1200 mL √ Selama nilai MAP < 65


TERAPI PARENTERAL

saat mmHg
masuk
ruang
ICU

Pantoprazol 40 mg 2xsehari √ √ √ √ √ √ √ 7 hari


dalam 10
ml NS
0,9%
Norepine- 4 Infus √ √ 2 hari
phrine mcg/meni kontinu
(Vascon) t
Natrium 3.9 mEq 1x 3,9 √
bikarbonat bicarbonat mEq
e/tablet
(325 mg)
Doripenem 250 mg Dalam √ √ √ 6- 10 hari hingga kutur
NS 50 pathogen negatif
ml,
diberikan
selama 4
jam 3 x
sehari
Avelox 400mg Dalam √ √ √ √ √ √ 6 hari atau nilai
0,8 % pirocalsitonin < 0,25
NS
enoxaparin 40 mg Setiap 12 √ √ √ √ √ √ √ 7 hari
jam
Ferosulfat 324 mg 3x 1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ 4 minggu
ORAL

Natrium √
bikarbonat
Paracetamol 500 mg 4x1 √ √ √ √ √ √ Hingga suhu mencapai 36
-37ºC
IVFD
Terapi yang disarankan saat KRS

Obat Dosis Frekuensi Jumlah Keterangan


Ferrous sulfate 324 3 kali sehari Durasi : 3 minggu
Doripenem 250 mg 3 x sehari 21 tablet Durasi : 6-10 hari

e. Konseling Informasi dan Edukasi (KIE)


1. Untuk pasien
2. Untuk keluarga pasien
- Membantu pasien dalam menerapkan pola hidup sehat
- Meminta kepada keluarga pasien akan pentingnya untuk mengontrol penyakit
- Mengingatkan pasien untuk menggunakan obat sesuai aturan.
3. Untuk Tenaga Kesehatan
- Memantau kadar Hb dan Hct, MCH,MCV dan MCHC
- Dilakukan monitoring tentang nilai MAP untuk menentukan cairan yang akan
diberikan
- Monitoring tekanan sistolik dan nilai MAP (Gelinas & Russel, 2016).
- Melakukan pemantauan dan membantu pasien untuk menjaga pola hidup
dengan sehat.

f. Monitoring

Obat Monitoring Target Keberhasilan


Keberhasilan ESO
Menyeimbangkan Nilai CVP >8 mmHG
Plasma Lyte hemodinamik Feses hitam, diare
tubuh Nilai ScVO2 > 70 %

Nila ph darah
Natrium Mual, perut kembung , kram Nila ph darah kembali normal
kembali normal
bikarbonat perut (mims,2018) (7,35-7,45)Nilai HCO3
(7,35-7,45)Nilai
kembali normal (22-26 mEq/L)
HCO3 kembali
normal (22-26 (Dipiro et al, 2011)
mEq/L) (Dipiro et
al, 2011)
Iskemik, bradikardi, Tekanan darah sistolik >90
takikardi, cemas, mmHg dan MAP>65 mmHg
Norepinephrin
Syok teratasi ekstravasasi pada tempat (Gelinas & Russel, 2016).
e
penusukan jarum suntik
(MIMS, 2018)

Tidak terjadi Pusing, mual, muntah, Tidak terjadi perdarahan GI


Pantoprazol
perdarahan GI diare (MIMS, 2018) (Rhodes, et al. 2017)

Ferrous sulfate Meningkatkan Hb Demam, feses hitam Meningkatkan Hb 2-3 g/dL


(drugs.com, 2018) selama 4 minggu (Alleyne,
2008)
Doripenem Membunuh bakteri Hipersensitivitas, Kultur pathogen negatif
(infkesi)
Avelox Antibiotik empiric, Hipersensitivitas, Patogen tidak meluas, hasil
mencegah infeksi tendonopathy kultur negatif
Enoxaparin Menurunkan Edema, hematuria, Nilai platelet ( 170-380 ) dan
paltelet pusiang dan diare ( Mims, RDW (11,5 – 14,5)
2018)
KESIMPULAN

1. Jadi, terapi yang disarankan untuk Ny

Durasi
Aturan
Obat Dosis 28/ 29 30/ 1/ 2/ 3/ 4/ 5/ 6/
Pakai
6 /6 6 7 7 7 7 7 7

Plasma Lyte 1200mL 1200 mL √ Selama nilai MAP < 65


TERAPI PARENTERAL

saat mmHg
masuk
ruang
ICU

Pantoprazol 40 mg 2xsehari √ √ √ √ √ √ √ 7 hari


dalam 10
ml NS
0,9%
Norepine- 4 Infus √ √ 2 hari
phrine mcg/meni kontinu
(Vascon) t
Natrium 3.9 mEq 1x 3,9
bikarbonat bicarbonat mEq
e/tablet
(325 mg)
Avelox 400mg Dalam √ √ √ √ √ √ 6 hari atau nilai
0,8 % pirocalsitonin < 0,25
NS
Doripenem 500 mg Dalam √ √ √ 6- 10 hari hingga kutur
NS 50 pathogen negatif
ml,
diberikan
selama 4
jam 3 x
sehari
enoxaparin 40 mg Setiap 12 √ √ √ √ √ √ √ 7 hari
jam
Ferosulfat 324 mg 3x 1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ 4 minggu
PI
O
R
A

R
A
L

Paracetamol 500 mg 4x1 √ √ √ √ √ √ Hingga suhu mencapai 36


-37ºC
DAFTAR PUSTAKA

Adeva-Andany, M. M., Fernández-Fernández, C., Mouriño-Bayolo, D., Castro-


Quintela, E., & Domínguez-Montero, A. (2014). Sodium bicarbonate therapy in
patients with metabolic acidosis. The Scientific World Journal.
Alleyne Michael, MD,a,c McDonald K. Horne, MD,b Jeffery L. Miller, MDc, 2008.
Individualized Treatment for Iron-deficiency Anemia in Adults The American
Journal of Medicine, Vol 121, No 11
Arslantas, M., Gul, F., Kararmaz, A., Sungur, F., Ayanoglu, H., & Cinel, I. 2015.
Early Administration of Low Dose Norepinephrine for the Prevention of Organ
Dysfunctions In Patients with Sepsis. Intensive Care Medicine Experimental.
Vol 3 (Suppl 1).

Barkun, A.N., Bardou, M., Pham, C.Q.D., Martel, M. 2012. Proton Pump Inhibitors
vs. Histamine 2 Receptor Antagonists for Stress-Related Mucosal Bleeding
Prophylaxis in Critically Ill Patients: A Meta-Analysis. The American Journal
of Gastroenterology. Vol 107 : 507- 520.

Beck, V., Chateau, D., Bryson, G. L., Pisipati, A., Zanotti, S., Parrillo, J. E., Kumar,
A. 2014. Timing of vasopressor initiation and mortality in septic shock: a
cohort study. Critical Care. 18(3) : 1-8.

Chiumello, D., Gotti, M., & Vergani, G. 2017. Paracetamol in fever in critically ill
patients—an update. Journal of critical care, 38, 245-252.
Coelho, C. B. T., Dragosavac, D., Coelho Neto, J. S., Montes, C. G., Guerrazzi, F., &
Andreollo, N. A. 2009. Ranitidine is unable to maintain gastric pH levels above
4 in septic patients. Journal of Critical Care. 24(4) : 7-13.

Colling, K.P., Banton, K.L., Beilman, G.J. 2018. Vasopressors in Sepsis. Surgical
Infection. Vol 19(2) : 1-6.

Di Lorio, B. G et al. 2015. Very Low-Protein Diet (VLPD) Reduces Metabolic


Acidosis in Subjects with Chronic Kidney Disease: The “Nutritional Light
Signal” of the Renal Acid Load. Nutrients 9(69) : 1-14.
Dipiro et al. 2011. Pharmacoteraphy 8th edition. Mc graw Hill. New york.
Dipiro, et al. 2008. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach Sevent Edition.
New York : Mc.Graw Hill.Gelinas & Russel. 2016.
Frazee, E. N., Leedahl, D. D., & Kashani, K. B. (2015). Key controversies in colloid
and crystalloid fluid utilization. Hospital pharmacy, 50(6), 446-453.
Gangat and Alexaandria. 2013. Anemia of Chronic Disease. Seminars inHematology,
Vol 50, No3 : 232-238.
Gelinas, J. P., & Russell, J. A. (2016). Vasopressors During Sepsis. Clinics in Chest
Medicine. 37(2), 251–262.

Goddard Andrew F, Martin W James, Alistair S McIntyre, Brian B Scott,2011


Guidelines for the management of iron deficiency anaemia.
Gordon, et al. 2016. Effect of Early Vasopressin vs Norepinephrine on Kidney
Failure in Patients With Septic Shock. JAMA. 316(5) : 509-518.

Hayden, S. J., Albert, T. J., Watkins, T. R., & Swenson, E. R. (2012). Anemia in
critical illness: insights into etiology, consequences, and management. American
journal of respiratory and critical care medicine, 185(10), 1049-1057.
Krag, M., Perner, A., Moller, M.H. 2014. Stress ulcer prophylaxis in the intensive
care unit. Curr Opin Crit Care. 22 : 186–190.

MacLaren, R., Reynolds, P.M., Allen, R.R. 2014. Histamine-2 Receptor Antagonists
vs Proton Pump Inhibitors on Gastrointestinal Tract Hemorrhage and Infectious
Complications in the Intensive Care Unit. American Medical Association. Vol
174 (4) : 564-574.
MIMS. 2018. Monthly Index Of Medicinal Specialities.www.mims.com/indonesia.
Diakses tanggal 16 November 2018.

PERCIDI, 2017. Penatalaksanaan Sepsis dan Syok Septik Optimalisasi Fasthugsbid.


Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI)

Rhodes, et al. 2017. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for


Management of Sepsis and Septic Shock: 2016. Intensive Care Me. 43 : 304-
377.

Stollman, N. and Metz, D.C. 2005. Pathophysiology and prophylaxis of stress ulcer in
intensive care unit patients. Journal of Critical Care, 20(1), 35–45.

Velissaris, D., Karamouzos, V., Ktenopoulos, N., Pierrakos, C., & Karanikolas, M.
(2015). The use of sodium bicarbonate in the treatment of acidosis in sepsis: a
literature update on a long term debate. Critical care research and practice.
Young, P. J., & Bellomo, R. 2014. Fever in sepsis: is it cool to be hot?. Critical Care,
18(1), 109.

Anda mungkin juga menyukai