Disusun Oleh:
Donny Asri Ananda (I1C015013)
NurLailiZuhriyyah (I1C015029)
Noer Qonita (1IC015047)
Norma Dewi Aprianti (I1C015063)
NindyastiPrameswari I. (1IC015081)
GeovannyAulia S (I1C015097 )
Megawati Maswatu (I1C015115)
Riwayat MRS
Tanggal MRS 28 Juni 2018 Tanggal KRS
Riwayat MRS Pasienmasuk ICU tanggal 28 Juni
Riwayat Penyakit Cholecystectomy 2 harisebelummasuk ICU
Riwayat Terapi -
Riwayat Lifestyle -
Informasi lain -
Diagnosa Sepsis Post Cholecystectomy
Data Pemeriksaan
Tanggal Ketera
Para NN 28/ 6 29/6 30/6 1/7 2/7 3/7 4/7 5/7 6/7 7/7 ngan
(MRS)
Suhu 36 - 36 36,8 36 37,2 36 37,5 37,4 38 37 39 37, 38,5 37,3 38,6 37 37,8 37,6 39,4 38 38,5 Demam
(°C) 37,4 5
Nadi 60- 11 130 110 138 80 140 120 150 120 145 12 140 100 140 98 110 90 130 11 125 Sepsis
( x/ 100 0 0 0
meni
t)
TTV
TD 120 80/ 152 102 170 110 150 130 160 100 160 90/ 150 120 160 110 165 110 190 92/ 110 Sepsis-
(mm /80 65 /90 /65 /90 /70 /88 /50 /90 /50 /80 50 /70 /70 /70 /60 /78 /70 /90 51 /60 Hipoten
Hg) si
Nafa 12- 14 14 23 33 24 30 21 34 17 47 21 41 11 44 14 33 28 45 38 42 Sepsis
s (x/ 24
meni
t)
Data Laboratorium
Pemerikasaan penunjang
Spesimen : sputum
Tanggal : 30 / 6 / 2016
Jenis pemeriksaan : Kultur urin Hasil ( 3 / 7 /2016 ) : tidak ada pertumbuhan kuman
Spesimen : urin
Tanggal : 30 / 6 / 2016
Tanggal : 30 / 6 / 2016
Terapi Saat MRS
Alinamin F 2 x 1 amp √ √ √
Dabutamin 1,4 cc / √ √ √ √ √ √ √ √ √
TERAPI PARENTERAL
jam
Navalgin Inj 3 x 1 √ √ √ √ √ √
gram
Pantoprazol 2 x 1 amp √ √ √ √ √ √ √ √ √
Inj
Ondensentro 3 x 4 mg √ √ √
n Inj
Panamin 500 cc √ √
Primperan 3 x 1 amp √ √ √ √ √
Inj
Vascon √ √ √ √ √
Vit K 1 x 1 amp √ √ √ √ √ √ √
KCL Inj 50 mg / 5 √ √ √ √ √ √
jam
Kalbamin 500 cc √
Amiparen 500 cc √ √ √ √ √
Albumin 20 100 cc √ √ √
%
Paracetamol 4 x 500 √
OR
AL
mg
Sonde 3 x 500 √ √
Calnex mg
Sonde DS 6 x 50 CC √
Sonde New √
Diatab
Sonde 1 mg / jam √
Nitrosin
Doripemen 3 x 500 √ √ √ √
mg
Nacl 5 % √ √ √
Asering 1500 cc √ √ √
IVD
Triofusin 1000 cc √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Ivelip 200 cc √ √ √ √ √
A. DASAR TEORI
1. Patofisiologi
a) Sepsis
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi
respons tubuh terhadap infeksi (perdici). Sepsisdipahamisebagaikeadaan
yang melibatkan aktivasi awaldarirespon pro-inflamasidananti-inflamasi
tubuh.Bersamaan dengan kondisi ini, terjadi abnormalitas sirkuler seperti
penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah perifer,
depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme yang menyebabkan
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan
oksigen yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok
(febian).
Gambar 1. Patofisiologi Sepsis (Konrad Reinhart)
b) Hipotensi
d) Anemia
b) Terapi Cairan
Gambar 5. Guideline terapi cairan (Dipiro et al, 2015)
c) Hipotensi
TD 120 80/ 152 102 170 110 150 130 160 100 160 90/ 150 120 160 110 165 110 190 92/ 110 Sepsis-
(mm /80 65 /90 /65 /90 /70 /88 /50 /90 /50 /80 50 /70 /70 /70 /60 /78 /70 /90 51 /60 Hipoten
Hg) si
Nafa 12- 14 14 23 33 24 30 21 34 17 47 21 41 11 44 14 33 28 45 38 42 Sepsis
s (x/ 24
meni
t)
b) Data Laboratorium
Nilai Tanggal Ket Interpretasi
Pemeter Satuan
Normal 25/6 28/6 29/6 30/6 1/7 2/7 4/7 5/7 6/7 7/7
HgB g/ dL 12,1 – 14,3 10,5 11,8 9, 6 9,2 10,6 10,2 ↓ Anemia
15,1
RBC 10 /-6
0–3 5,27 3,91 4,08 3,42 3,53 3,82 3,4 ↑
UL
HCt % 35 - 45 40,9 29.9 34,4 28,5 27,9 31,7 30,2 ↓ Anemia
MCV FL 80 - 77,6 76,5 84,3 83,4 79,2 83 88,8 ↓
100
MCH Pg 28-34 27,1 26,9 28,9 28 26,2 27,8 29,9 ↓
MCHC g/ dL 32 - 36 35 35,1 34,3 33,6 33,1 33,5 33,7 N
RDW- SD FL 39 - 47 49,5 44,8 ↑ Sepsis-
RDW- CV % 11,5 – 18,4 16,8 20,8 17,5 17,7 17,3 22,4 ↑ Koagulasi
14,5
PLT 10 /-3
170 – 891 584 354 297 308 287 87 ↑
UL 380
PDW FL 8,3 - 25 10,6 10,9 16,5 17,4 16,3 17 15,9 N
MPV FL 7 - 11,7 9,8 10 7,5 5,9 6,9 6,5 8,2 ↓
P-LCR % 15 - 35 22,7 24,4 N
PCT % 0,87 0,59 0,264 0,175 0,211 0,186 0,072 - Antibiotik
(Pirocalsitonin)
WBC 10-3/ 4 – 10 x 29,64 23.14 17,5 13,3 20,9 25 26,3 ↑ Sepsis-
UL 103 Inflamasi
Neutrofil % 36 - 37 85,8 87,3 ↑
Lymph % 15 – 45 6,3 5,1 5,5 6,8 9,3 5,2 8,1 ↓
Granulosit % 1,8 – 90,3 88,7 87,4 88,4 89,9 ↑
6,6 x
3
10
Monosit 10-3/ 0 – 10 2,26 1,26 0,8 0,6 0,7 1,6 1,5 N
UL
Eusinofil 10-3/ 0–6 0,02 0,48 N
UL
Basofil 10-3/ 0–2 0,06 0,03 N
UL
KIMIA KLINIK
Demam - Penurunan suhu Paracetamol DRP : Terapi Kurang efektif Pasien diberikan paracetamol
Uraian DRP : sejak tanggal 1/7 hingga tanggal
Pasien mengalami demam dengan 7/7
shu lebih dari 37,5 sejak tanggal
1/7 akan tetapi pasien hanya
diberikan satu kali dan tidak
dilanjutkan sehingga demam pada
pasien tidak menurun. Seharusnya
pasien menerima terapi
paracetamol pada tangga; 1/7
hingga tanggal 7/7. Karna demam
pada pasien dapat menngkatkan
kebutuhna oksigen pada pasien.
Dan hal ini dapat memperparah
kondisi pasien (chiumello, 2016)
4. Plan
a. Tujuan Terapi
Sepsi dan septic shock
- Menormalkan hemodinamika dalam tubuh seperti volume
intravakular, curah jantung dan pengiriman oksigen
- Meningkatkan tekanan darah sistolik >90 mmHg dan MAP>65
mmHg (Gelinas & Russel, 2016).
- Tidak terjadi perdarahan GI (Rhodes, et al., 2017).
- meningkatkan nilai PH serum darah
- Tujuan terapi anemia adalah untuk menormalkan nilai hematologi
b. Terapi Non-Farmakologis
- Sepsis dan septic shock
- Anemia
Konsumsi makanan tinggi zat besi(seperti bayam), sayuran, daging,
ikan dan unggas untuk mengoptimalkan terapi eritropoetin dalam
peningkatan Hb (Wells, 2008; Rouli&Amalia, 2005; Handayani,
2008).
- Asidosis Metabolik
Tidak ada terapi non framakologi asidosis metabolik khusus, karena
hanya dibutuhkan intervensi farmakologis untuk memperbaiki
keadaan asidemia (Dipiro et al, 2011) Salah satu pendekatan non
farmakologis yang dapat diterapkan pada pasien asidosis metabolic
disertai gangguan ginjal yaitu diet rendah protein dengan banyak
mengonsumsi buah dan sayur (Di Lorio et.al, 2015).
c. Terapi Farmakologi
PROBLEM MEDIK Septic shock
- Terapi Cairan
Ny.M masuk rumah sakit dalam kondisi kritis memasuki ruangan
ICU. Pasien dengan sepsis sering diikuti dengan hipovelemik dari penurunan
dan peningkatan kehilangan yang tidak dirasakan.ketidak seimbangan dalam
pengiriman output dan permintaan oksigen ke jantung menyebabkan ketidak
seimbangan hemodinamika dalam tubuh. Pada pasien ICU diberikaan
kristaloid. Cairan kristaloid dibagi menjadi beberapa jenis yaitu Ringer
lakatat, plasma lyte dan NaCl 0,9% (norma saline).
Terapi utama cairan pada sepsis dan septic shock adalah NaCl 0,9%
akan tetapi berhubung pasien mengalami gangguan pada ginjal sehingga
penggunaan cairan NaCl dapat memperburuk fungsi ginjal (Dipiro,2015).
Menurut Freeze et al (2015) pasien dengan gangguan ginjal diberikan plasma
lyte dimana cairan kristaloid jenis ini tidak memperburuk fungsi ginjal dan
tidak ada perbedaan efektifitas yang signifikat terhadap kedua cairan tersebut.
- Terapi supportive
Terapi supportive berupa profilaksis stress ulcer dan support nutrisi
diperlukan untuk mencegah komplikasi selama perawatan di ICU. Profilaksis
stress ulcer sebaiknya diberikan kepada semua pasien dengan sepsis berat dan
syok sepsis. PPI dan H2RA memiliki kemampuan yang relatif sama dalam
meningkatkan pH lambung (Dipiro, 2008). Stress ulcer saluran gastrointestinal
(GI) pada pasien dengan penyakit kritis dapat berkaitan dengan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan. Hal tersebut terkait dengan mekanisme gangguan
proteksi lambung melawan asam lambung, hipoperfusi mukosa lambung,
peningkatan produksi asam, dan luka oksidatif terhadap saluran cerna.
Profilaksis stress ulcer dapat diberikan kepada pasien sepsis maupun syok
sepsis dengan atau tanpa faktor risiko perdarahan GI. Terapi SUP dapat
diberikan PPI atau H2RA tetapi Ny.M mendapatkan 3 obat yaitu injeksi
ranitidin, pantoprazol, dan ondansetron sehingga terdapat DRP berupa terapi
kurang efektif. Berdasarkan meta-analisis, PPI lebih efektif dibandingkan
H2RA dalam mencegah perdarahan GI (Rhodes, et al., 2017). Berdasarkan
meta-analisis yang lain, profilaksis PPI dapat menurunkan risiko perdarahan GI
secara signifikan dibandingkan H2RA dengan OR sebesar 0,3 (Barkun, et al.,
2012). PPI yang dipilih yaitu pantoprazol karena merupakan first choice PPI
yang digunakan oleh pasien ICU sebagai profilaksis stress ulcer (Krag, et al.,
2016). Pantoprazol lebih efektif sebagai profilaksis stress ulcer pada pasien
sepsis dibandingkan ranitidin karena dapat mempertahankan pH ≥ 4 lebih lama.
Dosis pantoprazol 40 mg diencerkan dengan 10 ml NS 0,9% secara intravena
selama 2 menit, diberikan setiap 12 jam (Coelho, et al., 2009). Durasi
pemberian profilaksis stress ulcer selama 7 hari (MacLaren, et al., 2014).
- Terapi Antibiotik
Berdsarkan riwayat terapi Ny. W diberikan terpi antibiotic berupa Avelox
(moxifloxacin) dan Doripenem. Avelox diberikan sebagai terapi antibiotic
empiric ketika berda di ICU. Menurut Sphen H. Liang terapi antibiotic di ICU
harus diberikan berupa antibiotic yang memiliki spectrum luas untuk bakteri
gram negative mau positif. Ny. M baru melakukan operasi cholecystectomy
yang kemudian mengalami sepsis. Kemudian dari data medic sCr menunjukkan
adanya peningkatan yang mengindikasikan adanya gangguan ginjal pada
pasien. Antibiotik yang banyak digunakan pada sepsis dengan gangguan ginjal
akut adalah golongan quinoloe (levofloxacin ) dan karbapenem (meropenem)
menunjukkan hasil yang baik karena tidak terdapat perburukan pada ginjal
(Hidayati). Namun menurut Antoine Grillon moxifloxacin memiliki aktivitas in
vitro yang lebih baik dibandingkan dengan lefofloxacin dan ciprofloxacin.
Selain penggunaan moxifloxacin tidak perlu dilakukan adjsment dosis terkait
dengan adanya gangguan ginjal.
Gambar 10. Dosis Moxifloxacin terkiat infeksi
Berdasarkan gambar diatas dosis yang diberikan 1 x 1 ampul (400mg)
sudah sesuai.. Kemudain di tanggal 3 Juni hasil kultur mikrobiologi dari Ny.
M menunjukkan adanya Klebsiella, (+) ESBL dan E. coli. Maka penggunaan
antibiotic empiric harus segera digantian dengan antibiotic yang sesifik pada
pathogen.
Procalcitonin adalah prekursor peptida kalsitonin diproduksi sebagai
respon terhadap racun bakteri dan, terutama, untuk mediator pro-inflamasi
seperti interleukin 1b, Tumor necrosis factor dan interleukin 6. Tingkat
prokalsitonin meningkat dalam 6 hingga 12 jam dari awal infeksi bakteri, dan
diperkirakan akan turun setelah kontrol presentasi infeksi. Protokol
procalcitonin banyak digunakan untuk menentukan penggunaan antibiotik
namun bukan untuk memuli tetapi untuk penghentian antimikroba.
Berdasarkan nilai procalcitonin dari hari ke hari, penggunaan antibiotic
empiric moxifloxacinjuga sudah tepat hingga tgl 02/ 07 sudah < 0,2 yang
menunjukkan bahwa tidak perlu pengguaan empiric lagi, terlebiih dengan
ditunjang hasil kultur (Camila Delfino Ribeiro).
Gambar 11. AlgortimA Procalcitonin (Nicolas Bréchot).
Antibiotik yang digunakan setelah adanya hasil kultur adalah doripenem.
Terapi ini sudah sesuai dengan potogen yang positif berada pada specimen Ny.
M berupa Klebsiella, (+) ESBL dan E. coli. Menurut Slobodan Mihaljević
untuk terapi antibiotic untuk mengatasi Klebsiella dan E. coliadalah golongan
carbapenem. Dalam guideline penggunaan antibiotic dalam ICU juga d
sampaikan hal serupa.
Namun karena Ny. M memiliki gangguan terkait dengan ginjal dari nilai sCr maka
perlu dilakukan perubahan dosis dengan konversi nilai sCr terhadap ClCr adalah 30-
49 ml/ menit maka Ny M menerima doripenem 250 mg dalam larutan normal salin 50
ml diberikan 3 x sehari selama 4 jam.
Gambar. Dosis Konversi Doripenem
Terapi koagulasi
Ny.M memilki nilai Hb yang rendah rendah (9,6 g/dL; 9,2 g/dL ; 10,6
g/dL; 10,2 g/dL) pada tanggal 30/6 – 5/7. Selain itu, pasien juga memiliki
nilai hematokrit yang rendah (29,9;34,5 ; 28,5; 27,9 ;31,7 ;30,2) pada tanggal
28/6 -5/7. Nilai MCV, MCH, dan MCHC mengalami penurunan. Penurunan
hemoglobin hematokrit MCV, MCH, dan MCHC menunjukkan bahwa pasien
menderita anemia mikrositik atau defisiensi zat besi. (Kemenkes RI,
2011)Pasien memiliki Hb pada rentang 9-10 g/dL sehingga termasuk dalam
anemia moderate (Dicato, et al., 2010). Namun, pasien belum mendapatkan
terapi untuk mengatasi anemia sehingga terdapat DRP berupa indikasi tanpa
terapi.
Pasien yang mengalami anemia defisiensi zat besi ( anemia mikrositik
) diberikan suplemen besi (Goddard et al, 2011). Suplemen besi yang dipilih
ialah fero sulfat karena memiliki kandungan zat besi dua kali lebih banyak
dibandingkan dengan Ferrous gluconate dan Ferrous fumarate.Pada 1 tablet
ferro sulfat mengandung sekitar 60 mg besi. Dengan mengasumsikan bahwa
10% besi diabsorbsi maka diperkirakan 5000 mg zat besi oral diberikan untuk
penyerapan 500 mg zat besi (500-800 mg zat besi, dapat meningkatkan
hemoglobin darah utuh 2-3 g / dL). (Alleyne et all,2008)
Durasi
Aturan
Obat Dosis 28/ 29 30/ 1/ 2/ 3/ 4/ 5/ 6/
Pakai
6 /6 6 7 7 7 7 7 7
saat mmHg
masuk
ruang
ICU
Natrium √
bikarbonat
Paracetamol 500 mg 4x1 √ √ √ √ √ √ Hingga suhu mencapai 36
-37ºC
IVFD
Terapi yang disarankan saat KRS
f. Monitoring
Nila ph darah
Natrium Mual, perut kembung , kram Nila ph darah kembali normal
kembali normal
bikarbonat perut (mims,2018) (7,35-7,45)Nilai HCO3
(7,35-7,45)Nilai
kembali normal (22-26 mEq/L)
HCO3 kembali
normal (22-26 (Dipiro et al, 2011)
mEq/L) (Dipiro et
al, 2011)
Iskemik, bradikardi, Tekanan darah sistolik >90
takikardi, cemas, mmHg dan MAP>65 mmHg
Norepinephrin
Syok teratasi ekstravasasi pada tempat (Gelinas & Russel, 2016).
e
penusukan jarum suntik
(MIMS, 2018)
Durasi
Aturan
Obat Dosis 28/ 29 30/ 1/ 2/ 3/ 4/ 5/ 6/
Pakai
6 /6 6 7 7 7 7 7 7
saat mmHg
masuk
ruang
ICU
R
A
L
Barkun, A.N., Bardou, M., Pham, C.Q.D., Martel, M. 2012. Proton Pump Inhibitors
vs. Histamine 2 Receptor Antagonists for Stress-Related Mucosal Bleeding
Prophylaxis in Critically Ill Patients: A Meta-Analysis. The American Journal
of Gastroenterology. Vol 107 : 507- 520.
Beck, V., Chateau, D., Bryson, G. L., Pisipati, A., Zanotti, S., Parrillo, J. E., Kumar,
A. 2014. Timing of vasopressor initiation and mortality in septic shock: a
cohort study. Critical Care. 18(3) : 1-8.
Chiumello, D., Gotti, M., & Vergani, G. 2017. Paracetamol in fever in critically ill
patients—an update. Journal of critical care, 38, 245-252.
Coelho, C. B. T., Dragosavac, D., Coelho Neto, J. S., Montes, C. G., Guerrazzi, F., &
Andreollo, N. A. 2009. Ranitidine is unable to maintain gastric pH levels above
4 in septic patients. Journal of Critical Care. 24(4) : 7-13.
Colling, K.P., Banton, K.L., Beilman, G.J. 2018. Vasopressors in Sepsis. Surgical
Infection. Vol 19(2) : 1-6.
Hayden, S. J., Albert, T. J., Watkins, T. R., & Swenson, E. R. (2012). Anemia in
critical illness: insights into etiology, consequences, and management. American
journal of respiratory and critical care medicine, 185(10), 1049-1057.
Krag, M., Perner, A., Moller, M.H. 2014. Stress ulcer prophylaxis in the intensive
care unit. Curr Opin Crit Care. 22 : 186–190.
MacLaren, R., Reynolds, P.M., Allen, R.R. 2014. Histamine-2 Receptor Antagonists
vs Proton Pump Inhibitors on Gastrointestinal Tract Hemorrhage and Infectious
Complications in the Intensive Care Unit. American Medical Association. Vol
174 (4) : 564-574.
MIMS. 2018. Monthly Index Of Medicinal Specialities.www.mims.com/indonesia.
Diakses tanggal 16 November 2018.
Stollman, N. and Metz, D.C. 2005. Pathophysiology and prophylaxis of stress ulcer in
intensive care unit patients. Journal of Critical Care, 20(1), 35–45.
Velissaris, D., Karamouzos, V., Ktenopoulos, N., Pierrakos, C., & Karanikolas, M.
(2015). The use of sodium bicarbonate in the treatment of acidosis in sepsis: a
literature update on a long term debate. Critical care research and practice.
Young, P. J., & Bellomo, R. 2014. Fever in sepsis: is it cool to be hot?. Critical Care,
18(1), 109.