PEran Pelestari Tosan Aji Sebagai Benteng Budaya Dan Ekonomi Di Indonesia
PEran Pelestari Tosan Aji Sebagai Benteng Budaya Dan Ekonomi Di Indonesia
PEran Pelestari Tosan Aji Sebagai Benteng Budaya Dan Ekonomi Di Indonesia
Oleh
Muhamad Danuri,M.Kom
Tahun 2017
PRAKATA
Semakin merebaknya kesadaran masyarakat Indonesia akan Pelestarian
Budaya dan peninggalan adi luhung bangsa memberikan pengaruh
kepada berbagai elemen pengetahuan masyarakat tentang pentingnya
budaya bangsa, pentingnya jati diri bangsa dan pentingnya pelestarian
semua itu untuk bekal para kader bangsa dan modal bagi pembangunan
nasional.
Pada tulisan ini penulis memberikan profile dari data pelestari budaya
bangsa khususnya budaya tosan aji di Indonesia. Pelestari budaya
tersebut terbagi menjadi beberapa bagian mulai dari proses dasar
pembuatan tosan aji sampai pada pengkaji, penangguh, pelestarian dan
sampai kuratornya. Daerah yang menjadi kajian adalah daerah jawa
tengah, daerah jawa barat, daerah yogyakarta, daerah jawa timur , pulau
Madura dan bebrapa daerah di wilayah Indonesia yang dipandang
memiliki banyak pelestari tosan aji.
Penulis
I. Pendahuluan
Kita tentunya patut berbangga akan hal ini, sebab Indonesia dengan
Keris, salah satu warisan budaya yang sudah diakui oleh UNESCO sebagai
warisan budaya asli Indonesia ini masih tetap dipertahankan dan
dilestarikan keberadaannya oleh para pengrajin di desa Aeng Tongtong.
Keris tidak lagi sebagai simbol dari kekuasaan dan keberanian, namun
menjadi identitas budaya dengan nilai seni yang berkelas serta memiliki
nilai tinggi sebagai komoditas unggulan yang patut untuk dipertahankan.
Keris sendiri sebenarnya adalah senjata khas yang digunakan oleh daerah-
daerah yang memiliki rumpun Melayu. Pada saat ini, keberadaan keris
sangat umum dikenal di daerah Indonesia terutama di daerah pulau Jawa
dan Sumatra, Malaysia, Brunei, Thailand dan Filipina khususnya di daerah
Filipina selatan (Pulau Mindanao). Namun, bila dibandingkan dengan
Indonesia dan Malaysia, keberadaan keris dan pembuatnya di Filipina
sesuatu hal yang sangat langka dan bahkan hampir punah.
Tata cara penggunaan keris juga berbeda di masing-masing daerah. Di
daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian
belakang. Sementara di Sumatra, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris
ditempatkan di depan. Sebenarnya keris sendiri memiliki berbagai macam
bentuk, ada yang bermata berkelok kelok (7, 9 bahkan 13), ada pula yang
bermata lurus seperti di daerah Sumatera. Selain itu masih ada lagi keris
yang memliki kelok tunggal seperti halnya rencong di Aceh atau Badik di
Sulawesi.
Menurut Wikipedia, Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung
runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang
dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan
mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian
pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di
antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan
logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan
dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara
adalah kerambit.
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam
duel/peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada
penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman)
dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda
koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah
terpengaruh oleh Majapahit seperti Jawa, Madura, Nusa
tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung
malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao
dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-
sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.
Hamsuri pada tahun 1988, dalam bukunya Keris, membahas tentang
sejarah keris yang termasuk senjata tikam. Menurut penelitian para ahli,
senjata tikam hanyalah terdapat di Asia Tenggara, khususnya di kepulauan
Nusantara. Akibat keadaan geografis kepulauan Nusantara yang terpisah
satu sama lain, senjata tikam tadi mengalami perkembangannya berbeda-
beda. Perbedaan itu meliputi bentuk, nama, dan fungsinya dalam kehidupan
masyarakat daerah. Aceh memiliki senjata berupa rencong, di Sulawesi
Selatan berupa badik, di Jawa barat berupa kujang, dan di Jawa Tengah
serta Jawa Timur berupa keris sendiri akhirnya tersebar di berbagai daerah
Indonesia, misalnya Jawa Barat, Madura, Bali, Sumatra, Sulawesi,
Kalimantan dan lain sebagainya. Sejalan dengan perkembangan kebudayaan
dan sistem kehidupan sosial, maka fungsi keris mengalami perkembangan
dan perubahan pula. (Hamsuri, 1998).
Koesni pada tahun 2003 dalam bukunya Pakem Pengetahuan Tentang
Keris, membahas tentang pakem keris. Secara umum keris dibedakan atas
dua hal. Hal tersebut dilihat dari pembuatannya dan dari bahan apa keris
itu dibuat. Melalui pembuatannya, keris disebut sebagai pusaka ageman dan
ada yang disebut pusaka tayuhan. Ageman berarti keris tersebut hanya
untuk hiasan atau dipakai di dalam acara-acara biasa,
sedangkan tayuhan adalah keris yang dianggap sebagai benda pusaka dan
dipercayai mempunyai suatu kekuatan magis. (Koesni, 2003).
Mas Ngabehi Wirasoekadja pada tahun 1993 dalam bukunya Misteri
Kerismenerangkan tentang asal-usul keris. Seorang yang memiliki keahlian
membuat keris dinamakan empu. Dewasa ini sudah banyak yang mengerti
tentang seluk beluk pembuatan keris. Keris di era sekarang telah beralih
dari benda pusaka menjadi benda cinderamata. Masih banyak masyarakat
Jawa yang menganggap keris sebagai benda yang keramat. Hal ini terbukti
dari kebiasan-kebiasan dalam budaya masyarakat Jawa, seperti melakukan
pemujaan dan pembersihan pusaka. Kegiatan ini dilakukan pada setiap
bulan yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa yaitu adalah
bulan Suro (Muharam). Prosesi ini masih sangat kental dalam kehidupan
masyarakat Jawa hingga saat ini.(Wirasoekadja, 1993).
Ragil Pamungkas pada tahun 2007, dalam bukunya Mengenal Keris
Senjata Magis Masyarakat Jawa mengulas tentang sejarah keris atau asal-
usul keris. Keris merupakan senjatakhas suku Jawa dan suku lainnya yang
juga memiliki senjata seperti keris. Keris memang memiliki peranan khusus
bagi orang yang memakainya. Keris selain dipercaya sebagai senjata
mematikan, juga memiliki kekuatan gaib yang dapat dilihat oleh mata batin
saja. Masyarakat Jawa mempercayai keris merupakan benda leluhur yang
memerlukan kelestarian tersendiri. Keris dibuat dengan waktu, tenaga, dan
kemampuan yang mengagumkan. Melalui karya sang empu, maka keris
dibentuk melalui pèjètan (proses pembuatan dengan jari tangan) atau
dengan panas api. (Pamungkas, 2007).
Simbolisasi dari jenis dhapur sangatlah panjang jika diuraikan, tetapi ada
beberapa pokok yang perlu dipegang antara lain dhapur Pandawa (luk 5)
adalah simbol agar senantiasa manusia berwatak ”satria-pinandita” seperti
pendawa lima yang dihayati sebagai sebuah rangkuman dalam hal
kebijaksanaan bertindak. Watak ”satria-pinadita” bisa dibahas sebagai
keadaan manusia ”pemimpin” atau sering disebut satria pinandita sinisih
wahyu. Tuntunan untuk menjadi tokoh pemimpin yang amat sangat religius
sampai-sampai di dalam kisah-kisah pewayangan digambarkan bagaikan
seorang resi begawan (pinandita) dan akan senantiasa bertindak atas dasar
hukum/petunjuk Gusti Allah (sinisihan wahyu), dengan selalu bersandar
hanya kepada kekuasaan Gusti Allah, bangsa ini diharapkan akan mencapai
zaman keemasan yang sejati. Maka tak heran pada jaman kerajaan sering
seorang raja juga disebut sebagai ”Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kanjeng ........, Senopati Ing Ngalogo, Abdurahman Sayidin Panata Gomo,
Kalifatulah Ingkang Kaping .........”. Hal ini menunjukan bahwa nilai-nilai
kepemimpinan diharapkan dapat selalu dipegang teguh sebagai seorang
yang berwatak ’kesatria’ yang pemberani, berani marah, berani menegur,
berani merombak dan berani bertindak serta berjiwa religius.
Maka empu kita yang menganut maguru alam selalu melakukan sebuah
penyatuan atau dalam bahasa Jawa ’diwor’ – ’dimor’ yang kemudian disebut
’pamor’. Penyatuan dirinya terhadap api, maka sang empu seolah ikut
beresonansi sebagai api, disinilah terjadi sebuah kekuatan ”Illahi” dimana
sang empu menjadi sebuah media Allah. Penyatuan besi (pasir bumi)
dengan benda angkasa (iron meteorite) telah dilakukan oleh mereka (para
empu) sebagai sebuah perlambangan penyatuan Ibu Bumi dan Bapa Akasa.
Dari langit dan dari bumi disatukan dalam tunggku api yang dikendalikan
oleh resonansi penyatuan empu bersama api (kemanunggalan dalam
keadaan berKetuhanan). Maka keris sebagai karya adalah merupakan
ciptaan Tuhan melalui tangan manusia. Tak heran jika akhirnya diagungkan
dan disakralkan. (Dang dahana bagni niraweh sara sudarma).
Maka dari itu ada sebutan ”Empu adalah pancer atau titik temu
kemanunggalan antara yang tinemu ing nalar dan yang tan tinemu ing
nalar” artinya bahwa dipercaya atau tidak dunia perkerisan memasuki
keadaan penelaahan transcendental antara nalar dan tidak ketemu nalar
dengan obyek yang diciptakan oleh utusan itu (empu).
Maka jika keris dianggap sakti, secara turun temurun baik itu melewati
periode megalitik, hingga agama-agama jelas sekali bahwa keris tetap
universal dari jaman ke jaman. Hakekat dari apa yang terkandung
merupakan makna penyempurnaan dalam perjalanan olah spiritual
manusia menuju kesempurnaan hidupnya yang tercermin dari kekuatan
prosesi pembuatan keris tersebut.
Orang Jawa lebih suka menelaah hal ini dengan beberapa anggapan bahwa
manusia selayaknya berusaha menghayati semesta beserta isinya. Manusia
diberi prabot komplit (lahir dan batin) oleh Tuhan YME dan dimana
disadari derajat manusia lebih tinggi dari hewan. Manusia beradab adalah
manusia yang berbudaya (culture men). Dalam falsafah Jawa inti dari
peradaban itu secara bertahap dan naluriah digerakkan oleh kemauan
manusia (niat) untuk: Titi mangerti pranataning WIJI (mengerti atau
berusaha mengerti tentang asal usul manusia), Titi mangerti pranataning
DUMADI (mengerti atau berusaha mengerti tatanan yang tergelar pada
jagat raya), Titi mangerti pranataning PAMBUDI (mengerti atau berusaha
mengerti tatanan hidup yang berbudi), Titi mangerti pranataning PAKARTI
(mengerti atau berusaha mengerti tatanan dari pekerti manusia). Kalau
sudah mengerti ungkapan-ungkapan tersebut, maka semua yang ada di
dunia ini akan menjadi alat manusia (gumelaring jagat dadi pirantining
manungso).
Berikut pelestari tosan aji bisa perorangan dan organisasi, dengan uraian
sebagai berikut :
IV. Kesimpulan
Pelestari tosan aji di Indonesia semakin meningkat jumlahnya dari
tahun ke tahun, hal ini memberikan peluang kepada pemerintah untuk
memberikan fasilitas melalui berbagai kesempatan kepada mereka untuk
meningkatkan komptensinya.
Daftar Pustaka
1. Beta Harton, Cara Pembuatan Keris,
http://www.vedcmalang.com/pppptkboemlg/index.php/menuutama/mesin-
cnc/1437 -beta-0001?tmpl=component&print=1&page=
2. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Keris, 3-6-2017
3. Ragil Pamungkas, 2007, Mengenal Keris Senjata Magis Masyarakat Jawa
4. Mas Ngabehi Wirasoekadja, 1993 , Misteri Keris
5. Koesni, 2003 , Pakem Pengetahuan Tentang Keris
6. Hamsuri, 1988, Keris,
7. Slamet Kuntjoro, Keris, Sebagai Panduan Hidup Berbudi Luhur,
http://noenkcahyana.blogspot.co.id/2011/05/dibalik-keris-terkandung-nilai-
nilai.html