PEran Pelestari Tosan Aji Sebagai Benteng Budaya Dan Ekonomi Di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

Peran

Pelestari Tosan Aji


Sebagai
Benteng Budaya Di Indonesia

Oleh
Muhamad Danuri,M.Kom
Tahun 2017
PRAKATA
Semakin merebaknya kesadaran masyarakat Indonesia akan Pelestarian
Budaya dan peninggalan adi luhung bangsa memberikan pengaruh
kepada berbagai elemen pengetahuan masyarakat tentang pentingnya
budaya bangsa, pentingnya jati diri bangsa dan pentingnya pelestarian
semua itu untuk bekal para kader bangsa dan modal bagi pembangunan
nasional.

Pada tulisan ini penulis memberikan profile dari data pelestari budaya
bangsa khususnya budaya tosan aji di Indonesia. Pelestari budaya
tersebut terbagi menjadi beberapa bagian mulai dari proses dasar
pembuatan tosan aji sampai pada pengkaji, penangguh, pelestarian dan
sampai kuratornya. Daerah yang menjadi kajian adalah daerah jawa
tengah, daerah jawa barat, daerah yogyakarta, daerah jawa timur , pulau
Madura dan bebrapa daerah di wilayah Indonesia yang dipandang
memiliki banyak pelestari tosan aji.

Semoga ulasan ini dapat memberikan wawasan baru dalam proses


peningkatan pemahaman budaya bangsa ini kepada masyarakat luas
sebagai modal pembangunan bangsa dan membentengi arus globalisasi
yang semakin deras mengalir.

Penulis
I. Pendahuluan
Kita tentunya patut berbangga akan hal ini, sebab Indonesia dengan
Keris, salah satu warisan budaya yang sudah diakui oleh UNESCO sebagai
warisan budaya asli Indonesia ini masih tetap dipertahankan dan
dilestarikan keberadaannya oleh para pengrajin di desa Aeng Tongtong.
Keris tidak lagi sebagai simbol dari kekuasaan dan keberanian, namun
menjadi identitas budaya dengan nilai seni yang berkelas serta memiliki
nilai tinggi sebagai komoditas unggulan yang patut untuk dipertahankan.

Keris sendiri sebenarnya adalah senjata khas yang digunakan oleh daerah-
daerah yang memiliki rumpun Melayu. Pada saat ini, keberadaan keris
sangat umum dikenal di daerah Indonesia terutama di daerah pulau Jawa
dan Sumatra, Malaysia, Brunei, Thailand dan Filipina khususnya di daerah
Filipina selatan (Pulau Mindanao). Namun, bila dibandingkan dengan
Indonesia dan Malaysia, keberadaan keris dan pembuatnya di Filipina
sesuatu hal yang sangat langka dan bahkan hampir punah.
Tata cara penggunaan keris juga berbeda di masing-masing daerah. Di
daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian
belakang. Sementara di Sumatra, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris
ditempatkan di depan. Sebenarnya keris sendiri memiliki berbagai macam
bentuk, ada yang bermata berkelok kelok (7, 9 bahkan 13), ada pula yang
bermata lurus seperti di daerah Sumatera. Selain itu masih ada lagi keris
yang memliki kelok tunggal seperti halnya rencong di Aceh atau Badik di
Sulawesi.
Menurut Wikipedia, Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung
runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang
dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan
mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian
pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di
antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan
logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan
dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara
adalah kerambit.
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam
duel/peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada
penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman)
dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda
koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah
terpengaruh oleh Majapahit seperti Jawa, Madura, Nusa
tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung
malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao
dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-
sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.
Hamsuri pada tahun 1988, dalam bukunya Keris, membahas tentang
sejarah keris yang termasuk senjata tikam. Menurut penelitian para ahli,
senjata tikam hanyalah terdapat di Asia Tenggara, khususnya di kepulauan
Nusantara. Akibat keadaan geografis kepulauan Nusantara yang terpisah
satu sama lain, senjata tikam tadi mengalami perkembangannya berbeda-
beda. Perbedaan itu meliputi bentuk, nama, dan fungsinya dalam kehidupan
masyarakat daerah. Aceh memiliki senjata berupa rencong, di Sulawesi
Selatan berupa badik, di Jawa barat berupa kujang, dan di Jawa Tengah
serta Jawa Timur berupa keris sendiri akhirnya tersebar di berbagai daerah
Indonesia, misalnya Jawa Barat, Madura, Bali, Sumatra, Sulawesi,
Kalimantan dan lain sebagainya. Sejalan dengan perkembangan kebudayaan
dan sistem kehidupan sosial, maka fungsi keris mengalami perkembangan
dan perubahan pula. (Hamsuri, 1998).
Koesni pada tahun 2003 dalam bukunya Pakem Pengetahuan Tentang
Keris, membahas tentang pakem keris. Secara umum keris dibedakan atas
dua hal. Hal tersebut dilihat dari pembuatannya dan dari bahan apa keris
itu dibuat. Melalui pembuatannya, keris disebut sebagai pusaka ageman dan
ada yang disebut pusaka tayuhan. Ageman berarti keris tersebut hanya
untuk hiasan atau dipakai di dalam acara-acara biasa,
sedangkan tayuhan adalah keris yang dianggap sebagai benda pusaka dan
dipercayai mempunyai suatu kekuatan magis. (Koesni, 2003).
Mas Ngabehi Wirasoekadja pada tahun 1993 dalam bukunya Misteri
Kerismenerangkan tentang asal-usul keris. Seorang yang memiliki keahlian
membuat keris dinamakan empu. Dewasa ini sudah banyak yang mengerti
tentang seluk beluk pembuatan keris. Keris di era sekarang telah beralih
dari benda pusaka menjadi benda cinderamata. Masih banyak masyarakat
Jawa yang menganggap keris sebagai benda yang keramat. Hal ini terbukti
dari kebiasan-kebiasan dalam budaya masyarakat Jawa, seperti melakukan
pemujaan dan pembersihan pusaka. Kegiatan ini dilakukan pada setiap
bulan yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa yaitu adalah
bulan Suro (Muharam). Prosesi ini masih sangat kental dalam kehidupan
masyarakat Jawa hingga saat ini.(Wirasoekadja, 1993).
Ragil Pamungkas pada tahun 2007, dalam bukunya Mengenal Keris
Senjata Magis Masyarakat Jawa mengulas tentang sejarah keris atau asal-
usul keris. Keris merupakan senjatakhas suku Jawa dan suku lainnya yang
juga memiliki senjata seperti keris. Keris memang memiliki peranan khusus
bagi orang yang memakainya. Keris selain dipercaya sebagai senjata
mematikan, juga memiliki kekuatan gaib yang dapat dilihat oleh mata batin
saja. Masyarakat Jawa mempercayai keris merupakan benda leluhur yang
memerlukan kelestarian tersendiri. Keris dibuat dengan waktu, tenaga, dan
kemampuan yang mengagumkan. Melalui karya sang empu, maka keris
dibentuk melalui pèjètan (proses pembuatan dengan jari tangan) atau
dengan panas api. (Pamungkas, 2007).

II. Pelestari Tosan aji dan Nilai luhur Tosan aji


Pelestari tosan aji adalah mereka yang berperan aktif dalam proses menjaga
budaya tosan aji melalui berbagai macam kegaiatan dan usahanya untuk
terus mempertahankan dan meningkatkan pemahaman kepada masyarakat
luas tentang budaya tosan aji. Para pelestari tosan aji membentuk sebuah
oragnisasi di daerah masing-masing dna dikenal dengan istilah Paguyuban.
Mereka memberikan pemahaman tentang nilai – nilai luhur bangsa yang
terkandung dalam sebuah budaya tosan aji.
Salah satu bentuk tosan aji yang cukup dikenal masyarakat luas adalah
keris, disamping masih banyak jenis yang l;ain seperti tombak, pedang,
badik, kujang, menur, patrem dan lain sebagainya. Dibalik keris terkandung
nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan, dan yang harus tidak terbuang oleh
hiruk-pikuknya orang mencintai keris (komunitas). Pembacaan nilai-nilai
itu telah sangat sering diutarakan dan dituliskan oleh pengemar keris di
Indonesia.

Pada saat keris mendapat penghargaan UNESCO, maka semaraklah berdiri


paguyuban-paguyuban. Sebagai kekuatan moral bangsa, paguyuban adalah
”pilar-pilar kebudayaan” yang harus dipertahankan, karena selain
tradisional, wadah seperti ini sangat fleksibel untuk berkegiatan. Maka
kesinambungan mempertahankan nilai luhur keris harus dimulai dari sini,
selain itu dibutuhkan ruang publik yang lebih terbuka seperti dilakukan
pula penerbitan-penerbitan buku dan seminar-seminar.

Nilai-nilai yang terkandung dalam keris sangatlah dapat untuk menjadi


tuntunan bagi kehidupan. Melalui renstra (program kerja strategis) SNKI
pada kepimpinan masa mendatang, semoga saja disadari mulai menjamah
nilai-nilai keutamaan untuk berbudi luhur agar disosialisasikan baik kepada
anggotanya (intern paguyuban) menjadi suri tauladan keluar. Karena jika
hal ini dikaji dan digalakkan maka sebagai penggemar keris tentunya dapat
memberikan sumbangsih kepada negara setidaknya dengan memberikan
ketauladanan yang dapat diambil dari nilai luhur keris dan dapat menjadi
banteng globalisasi untuk menyaring budaya asing yang masuk.

Keris mengandung ajaran dalam simbol-simbol Keris sebagai sebuah karya


merupakan penggambaran dari simbol-simbol yang merupakan kaca
benggala pola tatanan hidup dan pemahaman Ketuhanan. Bentuk dhapur
yang berbagai jenis adalah pengejawantahan pesan tentang apa yang dapat
dihayati sebagai hasil dari penghayatan maguru alam. Dhapur atau bentuk
keris yang condong (condong leleh) sebagai penggambaran manusia yang
membungkukkan badannya - manembah (menyembah kepada Tuhan
YME). Bentuk lurus merupakan sebuah tuntunan untuk bertakwa kepada
Tuhan serta bentuk berlekuk atau keluk seperti asap dupa yang berkeluk -
keluk menuju kearah atas sebagai manifestasi menuju kemanunggalan
terhadap sang Maha Kuasa. Ratusan bentuk dhapur sangat dapat
mencerminkan apa yang dapat diharapkan sebagai sebuah keutamaan
berbudi luhur, dapur Brojol misalnya, adalah sebuah pengejawantahan
keinginan manusia untuk dapat lancar (mbrojol) dalam hal menyelesaikan
kesulitan yang dihadapinya. Lalu keris lurus yang dibahasakan dengan
sebutan keris berdhapur ”bener” adalah sebuah simbolisasi tantangan untuk
dapat mempertimbangkan segala sesuatu yang dialaminya dengan jiwa yang
lurus (bener – pener).

Simbolisasi dari jenis dhapur sangatlah panjang jika diuraikan, tetapi ada
beberapa pokok yang perlu dipegang antara lain dhapur Pandawa (luk 5)
adalah simbol agar senantiasa manusia berwatak ”satria-pinandita” seperti
pendawa lima yang dihayati sebagai sebuah rangkuman dalam hal
kebijaksanaan bertindak. Watak ”satria-pinadita” bisa dibahas sebagai
keadaan manusia ”pemimpin” atau sering disebut satria pinandita sinisih
wahyu. Tuntunan untuk menjadi tokoh pemimpin yang amat sangat religius
sampai-sampai di dalam kisah-kisah pewayangan digambarkan bagaikan
seorang resi begawan (pinandita) dan akan senantiasa bertindak atas dasar
hukum/petunjuk Gusti Allah (sinisihan wahyu), dengan selalu bersandar
hanya kepada kekuasaan Gusti Allah, bangsa ini diharapkan akan mencapai
zaman keemasan yang sejati. Maka tak heran pada jaman kerajaan sering
seorang raja juga disebut sebagai ”Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kanjeng ........, Senopati Ing Ngalogo, Abdurahman Sayidin Panata Gomo,
Kalifatulah Ingkang Kaping .........”. Hal ini menunjukan bahwa nilai-nilai
kepemimpinan diharapkan dapat selalu dipegang teguh sebagai seorang
yang berwatak ’kesatria’ yang pemberani, berani marah, berani menegur,
berani merombak dan berani bertindak serta berjiwa religius.

Simbol-simbol pada dhapur keris selalu menjadi ’pameling’ (pesan agar


diingat) yang sangat penting dan perlu dilakukan semacam penyusunan dan
pengelompokan atau penulisan kembali agar penggemar keris dapat
memanfaatkannya sebagai sebuah ajaran.

Ketika sang empu mewasuh besi (ditempa untuk membersihkan besi)


sekian ribu kali pukulan sebagai perlambangan ”tapisan gebagan”
membersihkan diri. Manusia senantiasa harus eling dan selalu
membersihkan diri untuk berbuat sesuai nurani yang positif. Apa yang
disebut hasil bakal keris (kodokan) adalah sebuah pemahaman bahwa
manusia diberi wadah dan manusia diberi kesempatan karena memiliki akal
pikiran untuk dapat digunakan menuju kepada kesucian dengan perilaku
berbudi luhur.

Maka empu kita yang menganut maguru alam selalu melakukan sebuah
penyatuan atau dalam bahasa Jawa ’diwor’ – ’dimor’ yang kemudian disebut
’pamor’. Penyatuan dirinya terhadap api, maka sang empu seolah ikut
beresonansi sebagai api, disinilah terjadi sebuah kekuatan ”Illahi” dimana
sang empu menjadi sebuah media Allah. Penyatuan besi (pasir bumi)
dengan benda angkasa (iron meteorite) telah dilakukan oleh mereka (para
empu) sebagai sebuah perlambangan penyatuan Ibu Bumi dan Bapa Akasa.
Dari langit dan dari bumi disatukan dalam tunggku api yang dikendalikan
oleh resonansi penyatuan empu bersama api (kemanunggalan dalam
keadaan berKetuhanan). Maka keris sebagai karya adalah merupakan
ciptaan Tuhan melalui tangan manusia. Tak heran jika akhirnya diagungkan
dan disakralkan. (Dang dahana bagni niraweh sara sudarma).

Prosesi pembuatannya yang selalu menyebut mantera berulang adalah


seperti halnya trend pada masa kini aliran ’Gerakan New Age’ yang
berkembang berupa religius barat yang meniru timur sebagai gerakan
spiritual yang berkembang pada paruh kedua abad ke-20. ’Gerakan New
Age’ berputar di sekitar "menggambarkan kesahihan spiritual metafisik
tradisi di Timur dan kemudian menanamkan segala sesuatu menjadi
kekuatan dengan pengaruh dari self-help seperti halnya pembacaan
mantera berulang-ulang, motivasi psikologi, pencapaian kesehatan holistik,
parapsikologi, penelitian kesadaran dan hingga pengkajian fisika kuantum".
Hal ini bertujuan untuk menciptakan "spiritualitas tanpa batas atau dogma"
sehingga dapat berdiri sebagai ajaran yang inklusif dan pluralistik. Satu lagi
ciri utamanya adalah memegang "pandangan dunia holistik," demikian
halnya seperti empu sebagai manusia yang menekankan bahwa Pikiran,
Tubuh dan Roh untuk saling berhubungan dalam
Kesatuan/Kemanunggalan dan persatuan seluruh alam semesta
(manunggaling kawula Gusti). Lebih lanjut sebetulnya apa yang dilakukan
empu telah mengangkat harkat manusia sebagai utusan sehingga
sebenarnya prosesi yang panjang dalam pembuatan keris itu telah
mencakup sejumlah bentuk ilmu pengetahuan dan pseudosains.

Maka dari itu ada sebutan ”Empu adalah pancer atau titik temu
kemanunggalan antara yang tinemu ing nalar dan yang tan tinemu ing
nalar” artinya bahwa dipercaya atau tidak dunia perkerisan memasuki
keadaan penelaahan transcendental antara nalar dan tidak ketemu nalar
dengan obyek yang diciptakan oleh utusan itu (empu).

Maka jika keris dianggap sakti, secara turun temurun baik itu melewati
periode megalitik, hingga agama-agama jelas sekali bahwa keris tetap
universal dari jaman ke jaman. Hakekat dari apa yang terkandung
merupakan makna penyempurnaan dalam perjalanan olah spiritual
manusia menuju kesempurnaan hidupnya yang tercermin dari kekuatan
prosesi pembuatan keris tersebut.

Menelaah tiga bagian keris (Peksi – Gonjo – Wilah), menjadi sebuah


pemahaman simbol dari Yoni sebagai asal muasal atau alam Purwa, dan
Gonjo atau Linggam yang melahirkan pemaknaan alam madya dan
selanjutnya menuju ke pucuk bilah sebagai pemaknaan alam wusana. Yaitu
sebagai penghayatan manusia sebelum berwujud, masih dalam alam purwa,
yang perlu di hayati dengan merenungkan dari mana sebenarnya manusia
ini berasal, kemudian dalam alam madya manusia bergumul dalam
kehidupan masa kini yang harus dilalui dengan perenungan dan tindakan
dengan segala kawicaksanan dan berbudi, hingga menuju kematian yang
sempurna.

Orang Jawa lebih suka menelaah hal ini dengan beberapa anggapan bahwa
manusia selayaknya berusaha menghayati semesta beserta isinya. Manusia
diberi prabot komplit (lahir dan batin) oleh Tuhan YME dan dimana
disadari derajat manusia lebih tinggi dari hewan. Manusia beradab adalah
manusia yang berbudaya (culture men). Dalam falsafah Jawa inti dari
peradaban itu secara bertahap dan naluriah digerakkan oleh kemauan
manusia (niat) untuk: Titi mangerti pranataning WIJI (mengerti atau
berusaha mengerti tentang asal usul manusia), Titi mangerti pranataning
DUMADI (mengerti atau berusaha mengerti tatanan yang tergelar pada
jagat raya), Titi mangerti pranataning PAMBUDI (mengerti atau berusaha
mengerti tatanan hidup yang berbudi), Titi mangerti pranataning PAKARTI
(mengerti atau berusaha mengerti tatanan dari pekerti manusia). Kalau
sudah mengerti ungkapan-ungkapan tersebut, maka semua yang ada di
dunia ini akan menjadi alat manusia (gumelaring jagat dadi pirantining
manungso).

Maka prosesi keris yang diwasuh (dibersihkan dengan tapisan gebagan)


kemudian dibentuk sedemikian rupa memuat pesan-pesan yang tak lepas
dari nilai-nilai luhur untuk menjadikan kita para penggemar keris,
penghayat keris memiliki pegangan yang bukan berasal dari kekuatan Jin,
setan atau pengertian yang menjerumuskan tetapi merupakan tauhid dari
apa yang terkandung secara falsafati.

Dengan demikian memang sangat perlu penghayat keris mulai merangkum


nilai-nilai keutamaan untuk pembangunan manusia berbudi luhur dan ikut
memantapkan pembangunan karakter bangsa, yang sangat dibutuhkan
pada masa kini. Mengingat konstelasi politik yang berkecamuk di negeri ini
tampak sekali disebabkan pula oleh karena adanya krisis moral dan
hilangnya ajaran atau pameling untuk berbudi luhur.

Berikut pelestari tosan aji bisa perorangan dan organisasi, dengan uraian
sebagai berikut :

A. Pelestari Tosan Aji pada Proses Produksi


 Pembuat Keris
a. Pengrajin pembuat keris
b. Pengrajin Pembuat disain
c. Pengrajin Pembuat Kodokan
d. Pengrajin Penempa Bahan Keris
e. Pengrajin Pengukir Keris

 Pengrajin pembuat Warangka


a. Pengrajin pembuat Warangka Keris
b. Pengrajin pembuat Pendok
c. Pengrajin pembuat Deder
d. Pengrajin pembuat Selut
e. Pengrajin pembuat Mendak
B. Pelestari Tosan Aji pada Proses Perawatan Keris
a. Ahli Pemutihan Keris
b. Ahli Pewarang Keris
c. Ahli Penjamas Keris
C. Pelestari Tosan Aji pada Proses Pengindentifikasi Keris
a. Ahli Penangguh Keris
b. Ahli Kurator Keris
c. Ahli Tanjeg Keris
D. Pelestari Tosan Aji dengan Oragnisasi Keris
a. Organisasi tingkat NAsional
b. Oraganisasi Tingkat Propinsi
c. Organisasi Tingkat Daerah
d. Organisasi Online
e. Organisasi Media Sosial

Berikut table data pelestari Tosan Aji Di Indonesia ;

Tabel Pelestari Tosan Aji Di Indonesia

No Pengrajin / Ahli Jumlah Daerah Sumber

1 Pembuat Keris 684 Sumenep, http://www.beritasatu.com


Madura
200 Banyusumurup, yogyes.com
Y ogyakarta
6 Y ogya
10 Solo News Room, Rabu ( 24/04 )
6 Malang
2 Pembuat Akesories 100 Banyusumurup, yogyes.com
Keris Y ogyakarta
200 Sumenep, http://www.beritasatu.com
Madura
100 Solo REPUBLIKA.CO.ID, SOLO
3 Perawatan Keris, 100 Solo Kajian Berita
penjamas, 75 Y ogya yogyes.com
pewarang dan 150 MAdura Kajian berita,
pemutihan keris http://www.beritasatu.com
100 Semarang KErtabrata jawa tengah
100 Malang AJI SAKA Malang
80 Surabaya PATAKA Suaranaya
4 Penangguh Keris 235 JAwa Tengah Kertabrata dan Giling Wesi
dari Organisasi dan 125 JAwa Timur PAta Surabaya
Paguyuban Keris 135 Jakarta dan Asta Jaya dan SNKI
Bandung
5 Paguyuban Keris 137 Sumenep http://www.beritasatu.com
35 JAwa Tengah Pasopati, Kertabrata dan Giling
Wesi
25 JAwa Timur PATAKA Surabaya
25 Jakarta dan Asta Jaya, TMII dan SNKI
Bandung
III. Peningkatan Kompetensi Pelestari Tosan aji Di Indonesia
Begitu besarnya jumlah pelestari tosan aji di Indonesia yang dapat
memebrikan peluang pada banteng moral bangsa perlu mendapatkan
perhatian dari berbagai pihak untuk mendapatkan pengakuan yang lebih
dan dapat bersaing di dunia internasional.
Proses pengakuan pemerintah dan standarisasinya terhadap para
pelestari budaya ini sudah terlihat berjalan dengan baik, namun perlu
segera direalisasikan standarisasi yang lebih kompeten terhadap berbagai
keahlian para pelestari tosan aji tersebut. Sehingga nantinya budaya yang
sudah menjadi Milik Bangsa ini memiliki pondasi yang kuat di Indonesia.

IV. Kesimpulan
Pelestari tosan aji di Indonesia semakin meningkat jumlahnya dari
tahun ke tahun, hal ini memberikan peluang kepada pemerintah untuk
memberikan fasilitas melalui berbagai kesempatan kepada mereka untuk
meningkatkan komptensinya.

Daftar Pustaka
1. Beta Harton, Cara Pembuatan Keris,
http://www.vedcmalang.com/pppptkboemlg/index.php/menuutama/mesin-
cnc/1437 -beta-0001?tmpl=component&print=1&page=
2. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Keris, 3-6-2017
3. Ragil Pamungkas, 2007, Mengenal Keris Senjata Magis Masyarakat Jawa
4. Mas Ngabehi Wirasoekadja, 1993 , Misteri Keris
5. Koesni, 2003 , Pakem Pengetahuan Tentang Keris
6. Hamsuri, 1988, Keris,
7. Slamet Kuntjoro, Keris, Sebagai Panduan Hidup Berbudi Luhur,
http://noenkcahyana.blogspot.co.id/2011/05/dibalik-keris-terkandung-nilai-
nilai.html

Anda mungkin juga menyukai