Anda di halaman 1dari 13

BAB 10

STRATEGI PEMBERIAN DOSIS ANTIBAKTERI GENERIK DAN


TEROPTIMALISASI DALAM KONDISI KRITIS III
Jan J. De Waele

10.1 Pengantar
Meskipun secara luas telah disepakati bahwa beberapa faktor merubah farmakokinetik
(FK) antibiotik secara signifikan pada para pasien yang sakit kritis, seringkali pemahaman ini
diterjemahkan kedalam strategi-strategi pemberian dosis untuk para pasien tersebut. Sebagian
besar fokus para dokter jaga tetaplah pada pilihan agen antibiotik yang benar dan pemberian
yang tepat waktu, sebagaimana yang ditekankan oleh petunjuk panduan internasional yang
terkemuka, seperti Surviving Sepsis Campaign (SSC).
Penelitian yang substansial sedang dilaksanakan untuk menantang konsep klasik
pemberian dosis antibiotik, dan ada banyak metode penyelidikan untuk meningkatkan
paparan antibiotik. Ini meliputi penggunaan teknologi informasi (TI) untuk memungkinkan
pengaplikasian model-model FK di tempat rawat pasien, dan juga obat terapetik (TDM)1 atas
antibiotik. Para perusahaan farmasi dan badan pengatur semakin sadar akan pentingnya
pemberian dosis antibiotik, dan seringkali percobaan-percobaan klinis yang terpisah
dilakukan terhadap para pasien kritis dengan menggunakan pemberian dosis yang meningkat
dari agen yang sedang diinvestigasi untuk menghindari overdosis dan kegagalan terapi
antibiotik. Serupa dengan antibiotik-antibiotik baru yang datang dipasaran, panduan
pemberian dosis seringkali disertakan pada paket penyerta yang disisipkan dikemasan sebagai
bagian dari pemberian dosis yang disarankan. Tantangan berikutnya adalah pemberian dosis
antibiotik yang teroptimalisasi, yang bertujuan untuk meningkatkan hasil pada pasien dan
menurunkan kesempatan berkembangnya resistensi antibiotik.
Peran potensial pemberian dosis yang teroptimalisasi seharusnya tidak diremehkan.
Pertama, ini memungkinkan kita untuk menggunakan antibiotik yang sekarang tersedia
secara lebih baik, yang akan meningkatkan hasil (sembuh secara klinis dan mortalitas klinis
dari infeksi parah), pemberian terapi antibiotik yang lebih pendek, dan penurunan paparan
terhadap multi antibiotik setelah kegagalan awal. Kedua, ini akan secara tidak langsung
memperlambat penyebaran resistensi antibiotik yang menjadi realitas di banyak negara dan
menjadi ancaman global terhadap perawatan kesehatan. Dalam bab ini kita akan mengkaji
1
Disebut juga TDM (Therapeutic Drug Monitoring)
1
strategi-strategi pemberian dosis yang sekarang ada dan keterbatasan mereka, dan juga
potensi pemberian dosis teroptimalisasi dalam perawatan infeksi parah.

10.2 Pandangan Klasik Terhadap Pemberian Dosis Antibiotik


Pemberian dosis antibiotik hanyalah hal penting sekunder dari banyak hal penting
lainnya, dan diakui, bahwa ketika meresepkan antibiotik, aspek pertama dan yang paling
penting adalah bahwa mikrorganisme penginfeksi itu rentan terhadap antibiotik yang
diberikan (terpisah dari fakta bahwa antibiotik harus juga mempenetrasi kepada jaringan yang
terinfeksi). Banyak dokter menganggap langkah paling penting dalam pengambilan
keputusan antibiotik dan panduan pemilihan antibiotik ini akan secara umum berfokus pada
proses ini, namun jarang memberikan saran pemberian dosis praktis yang rinci selain
daripada hanya pernyataan-pernyataan umum.
Dalam panduan awal SSC, dinyatakan bahwa “Semua pasien harus menerima satu
dosis muatan penuh untuk setiap antimikrobial. Namun, para pasien penderita sepsis atau
septic shock memiliki fungsi hepatik dan renal yang abnormal dan mungkin memiliki
distribusi volume abnormal terkait dengan resusitasi cairan agresif. Ahli farmasi IGD harus
dikonsultasi untuk memastikan bahwa konsentrasi serum tercapai yang memaksimalkan
kemanjuran dan meminimalkan toksisitas,” dan sedikti yang berubah dalam runtutan
perulangan panduan SSC. Meskipun panduan di tahun 2012 menckaup informasi untuk
pertama kalinya bahwa penyesuaian dosis mungkin diperlukan, pada saat yang bersamaan
mereka mengakui bahwa “keahlian yang menonjol diperlukan untuk memastikan bahwa
konsentrasi serum memaksimalkan kemanjuran dan meminimalkan toksisitas”. Adalah
mengejutkan untuk melihat bahwa meskipun tersedia pengetahuan sekarang ini, kita juga
gagal untuk menerjemahkan hal ini kedalam praktik klinis.
Dibandingkan dengan obat-obatan lain yang sering dipakai untuk perawatan kritis,
efek antibiotik tidak bisa diukur dengan mudah. Ketika menggunakan obat-obatan vasoaktif,
efeknya hampir segera dan terapinya bisa dengan mudah disesuaikan dengan efeknya. Untuk
antibiotik-antibiotik, respon klinis biasanya tertunda dan pengidentifikasian titik-titik
akhirnya untuk mengukur perbaikan infeksi adalah sulit. Eringkali kita berfokus kepada
perbaikan disfungsi organ, atau tanda-tanda secara tidak langsung dari sembuhnya jaringan
seperti pencitraan (contoh, evolusi ronsen dada), namun gagal menyadari bahwa banyak
proses lainnya mungkin berdapak secara signifikan terhadap titik-titik akhir ini. Pencarian

2
bio-penanda yang membantu pengambilan keputusan untuk antibiotik bersifat intens, dan
meskipun ini mungkin berharga dalam membatasi durasi terapi antibiotik, namun belum bisa
memberik kontribusi nyata dalam pengambilan keputusan antibiotik secara awal (dalam 48
jam pertama dari manajemen infeksi).

Gambar 10.1 Faktor-faktor yang menentukan kemanjuran antibiotik

10.3 Penentu Kemanjuran Antibiotik


Sebelum bergerak ke pemberian dosis antibiotik yang teroptimalisasi, adalah penting
untuk mengetahui penentu kemanjuran antibiotik, yang adalah (1) inang/ pasien, (2) patogen
penyebab, dan (3) antibiotik, yang diringkas di Gambar 10.1. Pada para pasien yang sakit
kritis, hal-hal tersebut berbeda antara pasien rawat jalan dan rawat inap, seperti yang telah
dibahas di bab-bab sebelumnya.

10.3.1 Inang
Fisiologi yang berubah pada inang akan secara fundamental merubah farmakokinetik
antibiotik yang diberikan. Perubahan volume distribusi (yang bisa meningkat empat kali
lipat), dalam penghilangan (eliminasi) obat, dan dalam pengikatan protein (yang utamanya
berkaitan dengan penurunan konsentrasi albumin) adalah perubahan yang paling nyata untuk
dideskripsikan dan secara khusus bersifat terkait dengan antibiotik-antibiotik hidrofilik.
Penghilangan obat dari sirkulasi, dan khususnya peningkatan pembersihan oleh ginjal
[augmented renal clearance (ARC)], yang didefinisikan sebagai tingkat filtrasi glomerular
3
(GFR) 130 mL/menit atau yang lebih tinggi, sering terjadi dan diasosiasikan dengan
konsentrasi rendah antibiotik yang dibersihkan secara renal seperti antibiotik-antibiotik beta-
lactam atau glycopeptida.

10.3.2 Patogen
Karena meikroorganisme yang menyebabkan infeksi itu tidak diketahui pada saat
permulaan terapi empiris, ini hanya akan berdampak pada tahapan-tahapan terapi antibiotik
setelahnya. Seringkali akan membutuhkan 48 hingga 72 jam sebelum hasil mikrobiologi
bersifat final, meskipun alat-alat diagnosa cepat termasuk penggunaan plymerase chain
reaction (PCR) bisa mengurangi waktu untuk konfirmasi. Dalam perlakuan/treatment awal,
penting sekali untuk mempertimbangkan skenario kasus-terburuk ketika sampai kepada
identifikasi dan kerentanan patogen yang diperkirakan, yang seringkali berdasarkan kepada
data historis di rumah sakit; dalam praktiknya, bisa digunakan jalan pintas epidemiologis
kerentanan antibiotik, yang bertujuan untuk patogen yang paling tidak rentan untuk antibiotik
mana yang cocok untuknya. Kerjasama yang erat dengan ahli mikrobiologi dalam proses
pengambilan keputusan adalah penting untuk meningkatkan hasil melalui identifikasi awal
dan pelaporan kerentanan. Harus diingat bahwa diluar dari permasalahan resistensi multi
obat, tingkat konsentrasi penghambat minimal (MIC = Minimum Inhibitory Consentration)
itu lebih tinggi pada para pasien yang sakit kritis; meskipun patogen-patogen dilaporkan
rentan, namun bisa jadi mereka itu tidak begitu rentan terhadap antibiotik.

10.3.3 Antibiotik
Meskipun obat adalah satu-satunya elemen yang dikenal baik dan konsisten dalam
proses pengambilan keputusan ini, ada perbedaan menonjol diantara obat-obatan ketika
berbicara masalah farmakokinetik (FK) dan farmakodinamika (FD) dan keduanya telah
dibahas di bab-bab sebelumnya. Penting untuk disadari bahwa dampak dari perubahan
karakteristik FK dan FD itu berbeda dari satu antibiotik dengan antibiotik lainnya, dan
mengakibatkan strategi pemberian dosis teroptimalisasi mungkin sangat berbeda dari satu
antibiotik ke antibiotik lainnya. Meskipun seringkali tidka dipertimbangkan pada para pasien
non-kritis (dimana perubahan-perubahan ini telah dipertimbangkan dalam dosis yang
disarankan), perubahan fisiologi para pasien IGD, dan juga penerapan intervensi invasif
(seperti terapi pergantian renal), dikombinasikan dengan peningkatan resistensi multi obat,
memerlukan pendekatan yang lebih canggih.

4
10.4 Pemberian Dosis Generik: Satu Ukuran Untuk Semua
Pemberian dosis generik, yang didefinisikan sebagai pemberian dosis menurut
petunjuk dalam paket, secara sistematis mengabaikan perubahan fisiologis pasien yang sakit
kritis, dan bisa jadi berkontribusi secara signifikan kepada munculnya bakteri yang resisten
terhadap multi obat. Saran pemberian dosis macam itu umumnya berdasarkan kepada data
FK Fase I dan II yang diperoleh dari para relawan yang sehat dan para pasien yang tidak sakit
kritis, dan perhitungan saran pemberian dosis ini tak pernah dipertanyakan. Para badan
pengatur hingga saat ini juga tidak mengharuskan data yang diperoleh dari pasien yang sakit
kritis sebelum suatu obat diberikan lisensi untuk jenis pasien tertentu atau infeksi tertentu.
Untuk alasan-alasan tersebut di atas, ada banyak penjelasan mengapa pemberian dosis secara
henerik mungkin tidak cukup bagi pasien yang sakit kritis, dengan paparan antibiotik yang
sub-optimal yang menjadi resiko paling penting yang diasosiasikan dengan pemberian dosis
secara generik. Untuk beberapa jenis infeksi yang lebih parah, seperti meningitis atau
endocarditis, disarankan dosis yang lebih besar. Ini besarnya berdasarkan pada perhatian
kepada penetrasi jaringan yang terganggu, dan tidak secara khusus terkait dengan perubahan-
perubahan lainnya dalam FK antibiotik pada pasien yang sakit kritis.
Oleh karena itu, pendekatan satu ukuran untuk semua adalah yang paling luas dipakai
di IGD secara global, dan secara mendesak diperlukan sikap yang berbeda terhadap
pemberian dosis antibiotik.
Harus diketahui bahwa dalam pemberian dosis secara generik, adaptasi dosis
disarankan dalam beberapa situasi, meskipun ini umumnya melibatkan pengurangan dosis
pada ksus-kasus fungsi organ yang terpengaruh yang bertanggungjawab atas semua (atau
sebagian penting) dari penghilangan/eliminasi obat. Cidera akut atau kronis adalah alasan
paling sering untuk mengurangi dosis antibiotik, namun disini, berlaku juga kekeliruan yang
sama, dengan data adaptasi dosis yang diperoleh dari para pasien penderita penyakit ginjal
kronis, yang mungkin tidak berlaku untuk para pasien penderita AKI di IGD. Seringkali
penggunaan terapi penggantian renal akan menambah dimensi kompleksitas lainnya. Gagal
hati mungkin juga menjadi pemicu lain untuk modifikasi dosis pada beberapa obat. Secara
keseluruhan, perhatian utama dalam pemberian dosis antibiotik generik adalah overdosis dan
potensi toksisitas. Meskipun hal ini mungkin relevan untuk obat-obatan seperti
aminoglycosides, sebagian besar antibiotik yang digunakan secara harian dalam perawatan

5
infeksi parah memiliki jendela teraptik yang luas, dan bisa secara aman digunakan pada dosis
yang tinggi, bahkan jika fisiologi pasien mungkin tidak mengharuskan hal tersebut.
Ada sedikit data yang tersedia untuk praktik peresepan antibiotik di IGD, namun jelas
bahwa data yang ada diterapkan secara beragam. Survey ADMIN-ICU menunjukkan bahwa
ada satu ragam luas dalam praktik peresepan untuk banyak antibiotik yang umum digunakan
(seperti piperacillin/tazobactam, meropenem, vancomycin, aminoglycosides, dan colistin),
khususnya dalam syarat-syarat dosis yang diberikan, penggunakan muatan dosis, penggunaan
infusi yang diperpanjang atau terus menerus, dan penggunaan pengawasan obat terapetik
(TDM). Dari data-data tersebut, jelas bahwa informasi sekarang ini yang berkaitan dengan
pemberian dosis yang layak pada pasien yang sakit kritis tidaklah mudah diakses atau secara
beragam diinterpretasikan oleh para dokter praktik.
Ketidakpastian ini seringkali dipecahkan dengan menyediakan sekisaran opsi dosis
pada panduan, dimana itu tergantung kepada tim perawatan untuk pasien untuk diberikan
dosis optimal untuk pasien tersebut. Wajib sifatnya supaya panduan lokal tidak hanya
mendaftar antibiotik-antibiotik yang digunakan namun juga dosis yang sesuai untuk setiap
situasi, untuk membantu team klinis. Secara tak terhindarkan pengetahuan kita sekarang akan
merubah penggunaan antibiotik dan pemberian dosis antibiotik secara generik yang segera
akan menjadi penggalan masa lalu.

10.5 Terapi Antibiotik Teroptimalisasi: Menyatukan Semua Kepingan Teka-teki


Strategi-strategi pemberian dosis yang teroptimalisasi mengacu kepada peningkatan
pemberian dosis dan strategi infusi yang berbeda. Strategi-strategi ini berdasarkan kepada
karakteristik kimia dari obat, FK pasien, dan karakteristik FD antibiotik. Konsep ini bisa
diterapkan untuk sebagian besar antibiotik di sebagian besar pasien, namun bisa terhalang
oleh kurangya data FK pada suatu populasi tertentu.
Dalam suatu strategi FK/PD yang teroptimalisasi (lihat Gambar 10.2), dicermati
seluruh dari ketiga faktor yang menentukan terapi antibiotik yang telah dibahas diatas.
Disarankan pendekatan yang bijaksana untuk hal ini. Langkah 1: pemilihan target FK/FD
untuk antibiotik yang diberikan; langkah 2: pemuatan awal (front loading) di permulaan
terapi; langkah 3: pemberian dosis pemeliharaan yang disesuaikan.

Gambar 10.2 Terapi FK/FD-teroptimalisasi

6
10.5.1 Langkah 1: Memilih target FK/FD
Bergantung pada antibiotik yang digunakan, target FK/FD akan berbeda. Beberapa
antibiotik seperti antibiotik jenis beta-lactam adalah antibiotik yang sifatnya bergantung pada
waktu, yang berarti bahwa kemanjuran antibiotik ditentukan oleh durasi dimana konsentrasi
antibiotik dijaga diatas konsentrasi penghambat minimal (MIC = Minimum Inhibitory
Consentration). Data in vitro menemukan bahwa ini adalah antara 40 dan 60% dari
pemberian dosis interval untuk mencapai bakteriostasis, dan pada pasien yang sakit kritis
hingga 100% dari waktu di atas tadi, 1-4 kali MIC disarankan untuk memaksimalkan efek
antibakteria. Aminoglycosides adalah berbeda dan memerlukan konsentrasi puncak yang
tinggi (Cmax), dengan kemanjuran optimal pada rasio Cmax hingga MIC 8-10. Kemanjuran dari
kategori yang lain seperti glycopeptida atau fluoroquinolone akan ditentukan oleh area
dibawah konsentrasi (AUC = Area Under Consentration) hingga ke rasio MIC (AUC0–24/MIC).
Penentuan target ini akan memandi dokter dalam memilih dosis, dan juga strategi infusi yang
baik.
Keterbatasan penting selama bagian pertama perlakuan/treatment adalah bahwa kita
tidak memiliki MIC yang tersedia untuk sebagian besar situasi. Penentuan MIC memerlukan
waktu (hingga 4 hari) bergantung kepada metode yang digunakan.

10.5.2 Langkah 2: Pemuatan di Awal (Front Loading)


Karena perubahan-perubahan fisiologis pada para pasien yang sakit kritis, suatu dosis
muatan yang layak diperlukan untuk mencapai konsentrasi yang cukup dari jam-jam pertama
terapi. Meskipun konsep ini sering digunakan ketika memberikan obat-obatan antihipertensif
dan sedatif, hal ini jarang dicermati dalam terapi antibiotik. Dosis muatan ini secara khusus
7
penting ketika digunakan strategi infusi yang lebih lama (lihat langkah 3), namun sekarang
telah diterapkan dalam skema pemberian dosis standar dari banyak antibiotik yang baru
dikembangkan; namun penggunaannya seharusnya tidak dibatasi pada antibiotik-antibiotik
baru saja sebagai konsep dasar mengapa penggunaan ini diterapkan kepada semua infeksi.
Lebih jauh, pada para pasien penderita penyakit renal kronis atau akut, dosis muatan
seharusnya tidak dikurangi, karena disfungsi renal utamanya mempengaruhi pembersihan
dari sirkulasi, dan hanya dosis selanjutnya yang harus disesuaikan dengan fungsi ginjal.

10.5.3 Langkah 3: Terapi Pemeliharaan yang Teroptimalisasi


Akhirnya dosis pemeliharaan harus juga dioptimalkan dalam hal dosis dan metode
pemberian. Untuk antibiotik beta-lactam, jika diberikan bahwa T > MIC adalah penentu
FK/FD, penggunaan infusi yang lebih lama (entah infusi berkelanjutan atau yang diperluas)
mengakibatkan peningkatan paparan antibiotik. Pada beberapa pasien perubahan pemberian
antibiotik mungkin belum cukup untuk mencapai target FK/FD yang dipilih, dan bahkan
diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk menjaga konsentrasi yang mencukupi.
Satu elemen kunci dalam pemilihan terapi pemeliharaan yang baik untuk banyak
antibiotik adalah fungsi ginjal. Banyak dari antibitoik yang secara umum kita gunakan
dikeluarkan secara renal dan pada fungsi renal beberapa pasien nampak normal namun
sesungguhnya “supra-normal”. Pembersihan augmentasi renal terjadi pada situasi-situasi
dimana ginjal membersihkan zat terlarut yang bersirkulasi pada tingkat yang lebih tinggi dari
yang normal, termasuk antibiotik. Fenomena ini memiliki implikasi yang besar dalam
pemilihan dosis pemeliharaan yang sesuai. Namun begitu, satu pertimbangan yang penting
adalah parameter yang digunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. Formula-formula
tingkat perkiraan filtrasi gromerular (GFR) seperti modifikasi diet pada penyakit renal atau
persamaan Cockcroft-Gault tidak bisa diandalkan pada sebagian besar pasien sakit kritis dan
pembersihan creatinine terukur yang berdasarkan pada pengumpulan urin pada setidaknya 2
jam adalah yang paling akurat, yang merupakan metode paling bisa diakses dengan mudah
untuk memperkirakan GFR di IGD.
10.5.4 Memilih Dosis yang Benar
Diluar dari kerangka kerja konseptual di atas, tantangan terbesarnya adalah memilih
dosis yang layak ketika menerapkan terapi antibiotik teroptimalisasi. Seperti telah dibahas,
salah satu perbedaan penting adalah berubahnya farmakokinetik pada kelompok pasien ini,
seperti bahwa pemberian dosis akan harus mengkompensasi perubahn tersebut.

8
Informasi yang diperoleh dari studi-studi FK pada para pasien sakit kritis bisa
membantu kita untuk memandu pemberian dosis; hal ini akan menawarkan perhitungan-
perhitungan kepada kita atas volume distribusi dan pembersihan yang bisa digunakan untuk
membangun sebuah model yang mendeskripsikan bagaimana suatu antibiotik akan berlaku
pada populasi target. Dengan menggunakan informasi ini, simulasi atas keragaman pasien
dan kerentanan patogen bisa dilakukan yang memberi informasi pemberi resep akan
kemungkinjan yang diharapkan atas pencapaian suatu target khusus pada seorang pasien
dengan menggunakan satu dosis tertentu, yang disebut sebagai “simulasi Monte-Carlo”.
Harus diketahui ini akan jarang terjadi prediksi yang tepat, dan beberapa ketidakpastian akan
ada di setiap waktu.
Satu pendekatan yang serupa, namun kurang diperbaiki, adalah penggunaan
nomogram pemberian dosis, yang berdasarkan pada satu atau dua variabel – yakni saran-
saran dosis yang bisa dibaca. Nomogram (grafik) pemberian dosis telah dikembangkan untuk
sejumlah antibiotik seperti vancomycin atau meropenem namun tidak sampai ke praktik
klinis, mungkin untuk banyak alasan yang juga berlaku untuk metode-metode yang lebih
maju untuk mengindividualisasikan pemberian dosis.
Sementara ini merupakan langkah ke arah yang tepat, metode-metode yang lebih maju
sekarang ini telah tersedia dimana model-model FK terintegrasikan ke dalam paket-paket
perangkat lunak yang menghitung dosis optimal untuk seorang pasien. Metode-metode ini
bisa dengan mudah digunakan pada pasien, namun meski metode-metode ini nampak popular
diantara para ahli farmasi, penggunaannya secara klinis nampaknya terbatas.
Langkah selanjutnya dan perbaikan lebih lanjut atas pendekatan ini melibatkan
integrasi perangkat lunak manajemen data pasien di unit-unit perawatan kritis. Langkah ini
menggunakan serangkaian parameter pasien secara penuh yang tersedia, dan memungkinkan
perbaikan lebih lanjut atas saran-0saran pemberian dosis sebagai konsentrasi aktual itu
terukur dan tergabung kedalam sistem. Langkah ini tidak akan hanya memungkinkan
penyetelan yang lebih baik atas pemberian dosis untuk para pasien individual namun juga
secara lebih jauh meningkatkan model asli yang telah digunakan untuk menghitung dosis
awal, sehingga memperbaiki prediksi di masa mendatang.
Akhirnya, penggunaan pengawasan obat terapetik (TDM) atas antibiotik telah
berubah secara signifikan selama tahun-tahun terakhir dimana TDM awalnya berfokus pada
penghidaran dan minimalisasi resiko toksisitas, peningkatan pengetahuan tentang perubahan
FK pada para pasien yang sakit kritis telah menyebabkan pergeseran paradigma. pengawasan

9
obat terapetik (TDM) antibiotik sekarang didukung juga sebagai alat untuk pengoptimalan
pemberian dosis. Sebagaimana telah disebutkan TDM bisa diintegrasikan kedalam strategi-
strategi optimalisasi pemberian dosis baik untuk meningkatkan dan mengurangi pemberian
dosis, selalu menyeimbangkan pencapaian target FK/FD dan toksisitas potensial atau efek-
efek samping lainnya.
Dosis muatan (loading dose) diperlukan untuk mencapai distribusi antibiotik yang
cepat ke dalam jaringan dan biasanya akan lebih tinggi dosisnya dikarenakan peningkatan
volume distribusi, khususnya untuk obat-obatan hidropolik seperti antibiotik-antibiotik beta-
lactam, namun sulit untuk menghitung seberapa tinggikah seharusnya. Seperti telah
disebutkan, ini sangat relevan ketika pemberian antibiotik diperpanjang dan, bahkan, sebagai
infusi berkelanjutan; ini telah ditunjukkan pada vancomycin dan sama rfelevannya untuk
antibiotik-antibiotik beta-lactam. Untuk situasi-situasi ini kita menyarankan menggunakan
satu dosis tunggal sebagaimana diterapkan dalam pemberian dosis berselang, segera diikuti
dengan pemberian dosis infusi yang diperpanjang.
Dosis pemeliharaan sebaliknya harus dipandu dengan jalur utama penghilangan
(eliminasi) obat. Pada para pasien yang memiliki fungsi renal normal, kita mendukung
penggunaan dosis tertinggi yang disarankan untuk infeksi tertentu, dalam situasi-situasi
dimana metode-metode maju tidak tersedia untuk memandu pemberian dosis. Alternatifnya,
jika tersedia, disarankan metode-metode yang telah dibahas diatas seperti nomogram atau
paket perangkat lunak yang memandu pemberian dosis, dengan atau tanpa penggunaan TDM.

10.6 Pertimbangan-pertimbangan Praktis


Pemberian antibiotik-antibiotik beta-lactam untuk infusi yang diperpanjang
menimbulkan sejumlah tantangan praktis dan sejumlah peringatan yang harus
dipertimbangkan. Satu pertimbangan praktis adalah ketersediaan jalur khusus untuk
pemberian obat secara intra vena (IV). Meskipun kateter vena pusat bisa dirujuk, infusi yang
diperpanjang bisa diberikan secara aman melalui kateter vena periferal. Ketika digunakan
pompa infusi, harus hati-hati untuk menghindari penyumbatan reguler kateter yang berkenaan
dengan pergerakan pasien karena ini bisa menginterupsi terapi. Lebih lanjut, penggunaan
pompa infusi untuk infusi yang diperluas (misalnya lebih dari 3 jam) menimbulkan resiko
infusi yang tidak komplit karena ruang mati dalam tabung infusi mungkin merupakan suatu

10
bagian penting dari dosis total. Maka, kita menyarankan penggunaan pompa jarum suntik
yang memiliki volume penyiapan yang lebih kecil.
Penggunaan TDM dalam terapi antibiotik meningkat secara dramatis. Ketika TDM
digunakan untuk mengoptimalisasi terapi, hasil-hasilnya seharusnya tersedia dalam satu
kerangka waktu yang masuk akal, optimalnya dalam 24 jam. Apapun di luar itu mungkin
memiliki dampak terbatas, khususnya mencermati bahwa terapi awal 24-48 jam adalah yang
paling penting dalam menentukan hasil dari infeksi. Penggunaan TDM mungkin sangat
berharga, namun mengapresiasi waktu yang tepat untuk pengambilan sampel juga penting.
Ketika konsentrasi puncak terukur, ini harus dilakukan dalam 30 menit dalam menyelesaikan
pemberian obat; melalui tingkat-tingkat yang harus diambil sampel tepat sebelum dosis
selanjutnya, dan hal semacam itu hanya akan membantu dalam menyesuaikan dosis
selanjutnya. Satu keuntungan dari infusi antibiotik berkelanjutan adalah bahwa pewaktuan itu
tidak penting dan sampel apapun bisa dipertimbangkan untuk menyesuaikan
perlakuan/treatment.

10.7 Hambatan-hambatan Pemberian Dosis Teroptimalisasi


Meskipun pembuatan model FK bisa memprediksi konsentrasi plasma pada para
pasien kita dengan ketepatan relatif, banyak dokter mungkin tidak nyaman dengan
memberikan dosis yang dua kali atau tiga kali tingginya dari saran yang terdapat dalam paket.
Adalah menonjol bahwa dimana penggunaan diluar label (off-label) sangat umum untuk
banyak obat-obatamn yang digunakan di IGD (merujuk pada indikasi dan dosisnya), resiko
yang dirasakan dalam memberikan dosis-dosis antibiotik yang lebih besar – meski dengan
menggunakan TDM – adalah terlalu tinggi, dan banyak pihak yang akan lebih menyandarkan
kepada meneruskan dengan dosis yang lebih rendah atau merubah antibiotik ke kelas
antibiotik lain (yang jelas juga mungkin memiliki persoalan pemberian dosis yang serupa).
Penggunaan TDM antibiotik tak diragukan lagi bisa mengatasi permasalahan-permasalahan
ini.
TDM antibiotik seringkali terbatas ketersediaannya, dan sebagian besar terbatas pada
sejumlah obat-obatana yang relative jarang digunakan seperti aminoglycoside atay
glycopeptide. Meski metodologi untuk melakukan uji kadar (assay) antibiotik beta-lactam
telah dideskripsikan dengan baik, masih diperlukan tenaga kerja yang intensif dan teknik
analisa yang maju seperti kromatografi cair berkinerja tinggi (HPLC) misalnya yang
digandengkan dengan spektometri massa dan oleh karena itu terbatas ke pusat-pusat spesialis

11
tertentu. Tidak ada program kontrol kualitas yang tersedia untuk uji kadar tersebut;
perkembangan immunoassay sedang berjalan dan mungkin secara radikal meningkatkan
ketersediaan TDM.

10.8 Pertanyaan-pertanyaan yang Tak Terjawab


Meskipun pendekatan terhadap pemberian dosis antibiotik teroptimalisasi adalah
langkah pertama menuju perawatan infeksi parah yang lebih baik, beberapa hal belum benar-
benar dipahami dan perlu lebih banyak penelitian untuk lebih lanjut memperbaiki strategi ini.
Banyak data dimana pendekatan ini didasarkan berasal dari studi-studi in vitro yang telah
melihat kepada kemampuan antibiotik untuk membunuh bakteri atau menekan resistensi
dalam tabung-tabung tes atau pada model-model yang lebih maju seperti model-model serat
berongga. Meskipun di tahun-tahun terkini data FK dari banyak antibiotik telah meningkat
secara substansial, untuk banyak antibiotik yang lain (seringkali jarang digunakan), pengujian
kadar (assay) sulit tersedia, data FK aktual yang berasal dari para pasien IGD mungkin
terbatas atau dalam beberapa kasus, penentuan konsentrasi penghambat minimal (MIC =
Minimum Inhibitory Consentration) mungkin tidak distandarisasikan. Keseluruhan
komplikasi ini bisa menghindarkan aplikasi konsep ini pada pasien. Satu permasalahan
tambahan adalah bahwa komplikasi-komplikais ini seringkali muncul dari antibiotik-
antibiotik yang digunakan untuk infeksi-infeksi parah dengan patogen-patogen yang resisten
terhadap multi obat.
Untuk banyak antibiotik, indeks FK/FD mungkin telah diidentifikasi, namun target
FK/FD klinis yang diacu terhadap ancaman optimal infeksi dan menghindari berkembangnya
resistensi antimikrobial belum diidentifikasi, atau masih menjadi bahan perdebatan. Sebagai
contoh, untuk antibiotik-antibiotik beta-lactam, indeks FK/FD bisa juga berbeda untuk
antibiotik-antibiotik yang diberikan secara berselang dan antibiotik-antibiotik yang diberikan
dalam infusi berkelanjutan.
Bahkan jikapun konsentrasi plasma suatu antibiotik berada dalam kisaran target
FK/FD, kita masih tidak yakin tentang penetrasi jaringan dari obat. Ini bisa disebabkan oleh
mikrosirkulasi yang terganggu atau penurunan penetrasi jaringan, diluar dari kemungkinan
gangguan mikrosirkulasi. Dampak pengikatan protein pada beberapa obat-obatan bisa
membuat lebih rumit gambaran tersebut. Semua hal yang dicermati di sana merupakan bukti
yang cukup bahwa FK plasma memberikan gambaran yang tidak utuh atas situasi.

12
Satu reaksi buta terhadap pemahaman kita sekarang atas berubahnya FK bisa jadi
adalah peningkatan dosis yang smebarangan terhadap semua pasien. Meskipun secara intuitif
menarik, ini tak bisa dihindarkan akan menyebabkan peningkatan toksisitas pada satu
populasi pasien yang telah cenderung kepada komplikasi iatrogenik di satu sisi, dan masih
terjadi pemberian dosis yang tidak cukup untuk banyak pasien di sisi lain dari spektrum.
Peningkatan biaya akan menjadi konsekuensi logis pendekatan ini.

10.9 Ringkasan
Ada banyak alasan megapa pemberian antibiotik secara generik harus ditinggalkan,
namun peningkatan infeksi yang resiten terhadap multi obat mungkin merupakan salah satu
argumen yang paling menekan untuk mendefinisi ulang pemberian antibiotik pada infeksi
parah di ruang IGD. Pemahaman FK antibiotik yang lebih baik dan tautan antara pemberian
antibiotik dibawah dosis dan hasil klinik yang kurang mengharuskan pendekatan
terindividualisasi dan teroptimalisasi untuk meningkatkan tingkat penyembuhan dan
menurunkan pemilihan patogen yang resisten antibiotik. Teknologi-teknologi maju seperti
perangkat lunak yang mengintegrasikan model-model FK dengan penggunaan TDM akan
menjadi keharusan dalam pendekatan ini, namun juga akan diperlukan strategi-strategi
pemberian dosis alternatif untuk mencapai tujuan ini.

13

Anda mungkin juga menyukai