10.1 Pengantar
Meskipun secara luas telah disepakati bahwa beberapa faktor merubah farmakokinetik
(FK) antibiotik secara signifikan pada para pasien yang sakit kritis, seringkali pemahaman ini
diterjemahkan kedalam strategi-strategi pemberian dosis untuk para pasien tersebut. Sebagian
besar fokus para dokter jaga tetaplah pada pilihan agen antibiotik yang benar dan pemberian
yang tepat waktu, sebagaimana yang ditekankan oleh petunjuk panduan internasional yang
terkemuka, seperti Surviving Sepsis Campaign (SSC).
Penelitian yang substansial sedang dilaksanakan untuk menantang konsep klasik
pemberian dosis antibiotik, dan ada banyak metode penyelidikan untuk meningkatkan
paparan antibiotik. Ini meliputi penggunaan teknologi informasi (TI) untuk memungkinkan
pengaplikasian model-model FK di tempat rawat pasien, dan juga obat terapetik (TDM)1 atas
antibiotik. Para perusahaan farmasi dan badan pengatur semakin sadar akan pentingnya
pemberian dosis antibiotik, dan seringkali percobaan-percobaan klinis yang terpisah
dilakukan terhadap para pasien kritis dengan menggunakan pemberian dosis yang meningkat
dari agen yang sedang diinvestigasi untuk menghindari overdosis dan kegagalan terapi
antibiotik. Serupa dengan antibiotik-antibiotik baru yang datang dipasaran, panduan
pemberian dosis seringkali disertakan pada paket penyerta yang disisipkan dikemasan sebagai
bagian dari pemberian dosis yang disarankan. Tantangan berikutnya adalah pemberian dosis
antibiotik yang teroptimalisasi, yang bertujuan untuk meningkatkan hasil pada pasien dan
menurunkan kesempatan berkembangnya resistensi antibiotik.
Peran potensial pemberian dosis yang teroptimalisasi seharusnya tidak diremehkan.
Pertama, ini memungkinkan kita untuk menggunakan antibiotik yang sekarang tersedia
secara lebih baik, yang akan meningkatkan hasil (sembuh secara klinis dan mortalitas klinis
dari infeksi parah), pemberian terapi antibiotik yang lebih pendek, dan penurunan paparan
terhadap multi antibiotik setelah kegagalan awal. Kedua, ini akan secara tidak langsung
memperlambat penyebaran resistensi antibiotik yang menjadi realitas di banyak negara dan
menjadi ancaman global terhadap perawatan kesehatan. Dalam bab ini kita akan mengkaji
1
Disebut juga TDM (Therapeutic Drug Monitoring)
1
strategi-strategi pemberian dosis yang sekarang ada dan keterbatasan mereka, dan juga
potensi pemberian dosis teroptimalisasi dalam perawatan infeksi parah.
2
bio-penanda yang membantu pengambilan keputusan untuk antibiotik bersifat intens, dan
meskipun ini mungkin berharga dalam membatasi durasi terapi antibiotik, namun belum bisa
memberik kontribusi nyata dalam pengambilan keputusan antibiotik secara awal (dalam 48
jam pertama dari manajemen infeksi).
10.3.1 Inang
Fisiologi yang berubah pada inang akan secara fundamental merubah farmakokinetik
antibiotik yang diberikan. Perubahan volume distribusi (yang bisa meningkat empat kali
lipat), dalam penghilangan (eliminasi) obat, dan dalam pengikatan protein (yang utamanya
berkaitan dengan penurunan konsentrasi albumin) adalah perubahan yang paling nyata untuk
dideskripsikan dan secara khusus bersifat terkait dengan antibiotik-antibiotik hidrofilik.
Penghilangan obat dari sirkulasi, dan khususnya peningkatan pembersihan oleh ginjal
[augmented renal clearance (ARC)], yang didefinisikan sebagai tingkat filtrasi glomerular
3
(GFR) 130 mL/menit atau yang lebih tinggi, sering terjadi dan diasosiasikan dengan
konsentrasi rendah antibiotik yang dibersihkan secara renal seperti antibiotik-antibiotik beta-
lactam atau glycopeptida.
10.3.2 Patogen
Karena meikroorganisme yang menyebabkan infeksi itu tidak diketahui pada saat
permulaan terapi empiris, ini hanya akan berdampak pada tahapan-tahapan terapi antibiotik
setelahnya. Seringkali akan membutuhkan 48 hingga 72 jam sebelum hasil mikrobiologi
bersifat final, meskipun alat-alat diagnosa cepat termasuk penggunaan plymerase chain
reaction (PCR) bisa mengurangi waktu untuk konfirmasi. Dalam perlakuan/treatment awal,
penting sekali untuk mempertimbangkan skenario kasus-terburuk ketika sampai kepada
identifikasi dan kerentanan patogen yang diperkirakan, yang seringkali berdasarkan kepada
data historis di rumah sakit; dalam praktiknya, bisa digunakan jalan pintas epidemiologis
kerentanan antibiotik, yang bertujuan untuk patogen yang paling tidak rentan untuk antibiotik
mana yang cocok untuknya. Kerjasama yang erat dengan ahli mikrobiologi dalam proses
pengambilan keputusan adalah penting untuk meningkatkan hasil melalui identifikasi awal
dan pelaporan kerentanan. Harus diingat bahwa diluar dari permasalahan resistensi multi
obat, tingkat konsentrasi penghambat minimal (MIC = Minimum Inhibitory Consentration)
itu lebih tinggi pada para pasien yang sakit kritis; meskipun patogen-patogen dilaporkan
rentan, namun bisa jadi mereka itu tidak begitu rentan terhadap antibiotik.
10.3.3 Antibiotik
Meskipun obat adalah satu-satunya elemen yang dikenal baik dan konsisten dalam
proses pengambilan keputusan ini, ada perbedaan menonjol diantara obat-obatan ketika
berbicara masalah farmakokinetik (FK) dan farmakodinamika (FD) dan keduanya telah
dibahas di bab-bab sebelumnya. Penting untuk disadari bahwa dampak dari perubahan
karakteristik FK dan FD itu berbeda dari satu antibiotik dengan antibiotik lainnya, dan
mengakibatkan strategi pemberian dosis teroptimalisasi mungkin sangat berbeda dari satu
antibiotik ke antibiotik lainnya. Meskipun seringkali tidka dipertimbangkan pada para pasien
non-kritis (dimana perubahan-perubahan ini telah dipertimbangkan dalam dosis yang
disarankan), perubahan fisiologi para pasien IGD, dan juga penerapan intervensi invasif
(seperti terapi pergantian renal), dikombinasikan dengan peningkatan resistensi multi obat,
memerlukan pendekatan yang lebih canggih.
4
10.4 Pemberian Dosis Generik: Satu Ukuran Untuk Semua
Pemberian dosis generik, yang didefinisikan sebagai pemberian dosis menurut
petunjuk dalam paket, secara sistematis mengabaikan perubahan fisiologis pasien yang sakit
kritis, dan bisa jadi berkontribusi secara signifikan kepada munculnya bakteri yang resisten
terhadap multi obat. Saran pemberian dosis macam itu umumnya berdasarkan kepada data
FK Fase I dan II yang diperoleh dari para relawan yang sehat dan para pasien yang tidak sakit
kritis, dan perhitungan saran pemberian dosis ini tak pernah dipertanyakan. Para badan
pengatur hingga saat ini juga tidak mengharuskan data yang diperoleh dari pasien yang sakit
kritis sebelum suatu obat diberikan lisensi untuk jenis pasien tertentu atau infeksi tertentu.
Untuk alasan-alasan tersebut di atas, ada banyak penjelasan mengapa pemberian dosis secara
henerik mungkin tidak cukup bagi pasien yang sakit kritis, dengan paparan antibiotik yang
sub-optimal yang menjadi resiko paling penting yang diasosiasikan dengan pemberian dosis
secara generik. Untuk beberapa jenis infeksi yang lebih parah, seperti meningitis atau
endocarditis, disarankan dosis yang lebih besar. Ini besarnya berdasarkan pada perhatian
kepada penetrasi jaringan yang terganggu, dan tidak secara khusus terkait dengan perubahan-
perubahan lainnya dalam FK antibiotik pada pasien yang sakit kritis.
Oleh karena itu, pendekatan satu ukuran untuk semua adalah yang paling luas dipakai
di IGD secara global, dan secara mendesak diperlukan sikap yang berbeda terhadap
pemberian dosis antibiotik.
Harus diketahui bahwa dalam pemberian dosis secara generik, adaptasi dosis
disarankan dalam beberapa situasi, meskipun ini umumnya melibatkan pengurangan dosis
pada ksus-kasus fungsi organ yang terpengaruh yang bertanggungjawab atas semua (atau
sebagian penting) dari penghilangan/eliminasi obat. Cidera akut atau kronis adalah alasan
paling sering untuk mengurangi dosis antibiotik, namun disini, berlaku juga kekeliruan yang
sama, dengan data adaptasi dosis yang diperoleh dari para pasien penderita penyakit ginjal
kronis, yang mungkin tidak berlaku untuk para pasien penderita AKI di IGD. Seringkali
penggunaan terapi penggantian renal akan menambah dimensi kompleksitas lainnya. Gagal
hati mungkin juga menjadi pemicu lain untuk modifikasi dosis pada beberapa obat. Secara
keseluruhan, perhatian utama dalam pemberian dosis antibiotik generik adalah overdosis dan
potensi toksisitas. Meskipun hal ini mungkin relevan untuk obat-obatan seperti
aminoglycosides, sebagian besar antibiotik yang digunakan secara harian dalam perawatan
5
infeksi parah memiliki jendela teraptik yang luas, dan bisa secara aman digunakan pada dosis
yang tinggi, bahkan jika fisiologi pasien mungkin tidak mengharuskan hal tersebut.
Ada sedikit data yang tersedia untuk praktik peresepan antibiotik di IGD, namun jelas
bahwa data yang ada diterapkan secara beragam. Survey ADMIN-ICU menunjukkan bahwa
ada satu ragam luas dalam praktik peresepan untuk banyak antibiotik yang umum digunakan
(seperti piperacillin/tazobactam, meropenem, vancomycin, aminoglycosides, dan colistin),
khususnya dalam syarat-syarat dosis yang diberikan, penggunakan muatan dosis, penggunaan
infusi yang diperpanjang atau terus menerus, dan penggunaan pengawasan obat terapetik
(TDM). Dari data-data tersebut, jelas bahwa informasi sekarang ini yang berkaitan dengan
pemberian dosis yang layak pada pasien yang sakit kritis tidaklah mudah diakses atau secara
beragam diinterpretasikan oleh para dokter praktik.
Ketidakpastian ini seringkali dipecahkan dengan menyediakan sekisaran opsi dosis
pada panduan, dimana itu tergantung kepada tim perawatan untuk pasien untuk diberikan
dosis optimal untuk pasien tersebut. Wajib sifatnya supaya panduan lokal tidak hanya
mendaftar antibiotik-antibiotik yang digunakan namun juga dosis yang sesuai untuk setiap
situasi, untuk membantu team klinis. Secara tak terhindarkan pengetahuan kita sekarang akan
merubah penggunaan antibiotik dan pemberian dosis antibiotik secara generik yang segera
akan menjadi penggalan masa lalu.
6
10.5.1 Langkah 1: Memilih target FK/FD
Bergantung pada antibiotik yang digunakan, target FK/FD akan berbeda. Beberapa
antibiotik seperti antibiotik jenis beta-lactam adalah antibiotik yang sifatnya bergantung pada
waktu, yang berarti bahwa kemanjuran antibiotik ditentukan oleh durasi dimana konsentrasi
antibiotik dijaga diatas konsentrasi penghambat minimal (MIC = Minimum Inhibitory
Consentration). Data in vitro menemukan bahwa ini adalah antara 40 dan 60% dari
pemberian dosis interval untuk mencapai bakteriostasis, dan pada pasien yang sakit kritis
hingga 100% dari waktu di atas tadi, 1-4 kali MIC disarankan untuk memaksimalkan efek
antibakteria. Aminoglycosides adalah berbeda dan memerlukan konsentrasi puncak yang
tinggi (Cmax), dengan kemanjuran optimal pada rasio Cmax hingga MIC 8-10. Kemanjuran dari
kategori yang lain seperti glycopeptida atau fluoroquinolone akan ditentukan oleh area
dibawah konsentrasi (AUC = Area Under Consentration) hingga ke rasio MIC (AUC0–24/MIC).
Penentuan target ini akan memandi dokter dalam memilih dosis, dan juga strategi infusi yang
baik.
Keterbatasan penting selama bagian pertama perlakuan/treatment adalah bahwa kita
tidak memiliki MIC yang tersedia untuk sebagian besar situasi. Penentuan MIC memerlukan
waktu (hingga 4 hari) bergantung kepada metode yang digunakan.
8
Informasi yang diperoleh dari studi-studi FK pada para pasien sakit kritis bisa
membantu kita untuk memandu pemberian dosis; hal ini akan menawarkan perhitungan-
perhitungan kepada kita atas volume distribusi dan pembersihan yang bisa digunakan untuk
membangun sebuah model yang mendeskripsikan bagaimana suatu antibiotik akan berlaku
pada populasi target. Dengan menggunakan informasi ini, simulasi atas keragaman pasien
dan kerentanan patogen bisa dilakukan yang memberi informasi pemberi resep akan
kemungkinjan yang diharapkan atas pencapaian suatu target khusus pada seorang pasien
dengan menggunakan satu dosis tertentu, yang disebut sebagai “simulasi Monte-Carlo”.
Harus diketahui ini akan jarang terjadi prediksi yang tepat, dan beberapa ketidakpastian akan
ada di setiap waktu.
Satu pendekatan yang serupa, namun kurang diperbaiki, adalah penggunaan
nomogram pemberian dosis, yang berdasarkan pada satu atau dua variabel – yakni saran-
saran dosis yang bisa dibaca. Nomogram (grafik) pemberian dosis telah dikembangkan untuk
sejumlah antibiotik seperti vancomycin atau meropenem namun tidak sampai ke praktik
klinis, mungkin untuk banyak alasan yang juga berlaku untuk metode-metode yang lebih
maju untuk mengindividualisasikan pemberian dosis.
Sementara ini merupakan langkah ke arah yang tepat, metode-metode yang lebih maju
sekarang ini telah tersedia dimana model-model FK terintegrasikan ke dalam paket-paket
perangkat lunak yang menghitung dosis optimal untuk seorang pasien. Metode-metode ini
bisa dengan mudah digunakan pada pasien, namun meski metode-metode ini nampak popular
diantara para ahli farmasi, penggunaannya secara klinis nampaknya terbatas.
Langkah selanjutnya dan perbaikan lebih lanjut atas pendekatan ini melibatkan
integrasi perangkat lunak manajemen data pasien di unit-unit perawatan kritis. Langkah ini
menggunakan serangkaian parameter pasien secara penuh yang tersedia, dan memungkinkan
perbaikan lebih lanjut atas saran-0saran pemberian dosis sebagai konsentrasi aktual itu
terukur dan tergabung kedalam sistem. Langkah ini tidak akan hanya memungkinkan
penyetelan yang lebih baik atas pemberian dosis untuk para pasien individual namun juga
secara lebih jauh meningkatkan model asli yang telah digunakan untuk menghitung dosis
awal, sehingga memperbaiki prediksi di masa mendatang.
Akhirnya, penggunaan pengawasan obat terapetik (TDM) atas antibiotik telah
berubah secara signifikan selama tahun-tahun terakhir dimana TDM awalnya berfokus pada
penghidaran dan minimalisasi resiko toksisitas, peningkatan pengetahuan tentang perubahan
FK pada para pasien yang sakit kritis telah menyebabkan pergeseran paradigma. pengawasan
9
obat terapetik (TDM) antibiotik sekarang didukung juga sebagai alat untuk pengoptimalan
pemberian dosis. Sebagaimana telah disebutkan TDM bisa diintegrasikan kedalam strategi-
strategi optimalisasi pemberian dosis baik untuk meningkatkan dan mengurangi pemberian
dosis, selalu menyeimbangkan pencapaian target FK/FD dan toksisitas potensial atau efek-
efek samping lainnya.
Dosis muatan (loading dose) diperlukan untuk mencapai distribusi antibiotik yang
cepat ke dalam jaringan dan biasanya akan lebih tinggi dosisnya dikarenakan peningkatan
volume distribusi, khususnya untuk obat-obatan hidropolik seperti antibiotik-antibiotik beta-
lactam, namun sulit untuk menghitung seberapa tinggikah seharusnya. Seperti telah
disebutkan, ini sangat relevan ketika pemberian antibiotik diperpanjang dan, bahkan, sebagai
infusi berkelanjutan; ini telah ditunjukkan pada vancomycin dan sama rfelevannya untuk
antibiotik-antibiotik beta-lactam. Untuk situasi-situasi ini kita menyarankan menggunakan
satu dosis tunggal sebagaimana diterapkan dalam pemberian dosis berselang, segera diikuti
dengan pemberian dosis infusi yang diperpanjang.
Dosis pemeliharaan sebaliknya harus dipandu dengan jalur utama penghilangan
(eliminasi) obat. Pada para pasien yang memiliki fungsi renal normal, kita mendukung
penggunaan dosis tertinggi yang disarankan untuk infeksi tertentu, dalam situasi-situasi
dimana metode-metode maju tidak tersedia untuk memandu pemberian dosis. Alternatifnya,
jika tersedia, disarankan metode-metode yang telah dibahas diatas seperti nomogram atau
paket perangkat lunak yang memandu pemberian dosis, dengan atau tanpa penggunaan TDM.
10
bagian penting dari dosis total. Maka, kita menyarankan penggunaan pompa jarum suntik
yang memiliki volume penyiapan yang lebih kecil.
Penggunaan TDM dalam terapi antibiotik meningkat secara dramatis. Ketika TDM
digunakan untuk mengoptimalisasi terapi, hasil-hasilnya seharusnya tersedia dalam satu
kerangka waktu yang masuk akal, optimalnya dalam 24 jam. Apapun di luar itu mungkin
memiliki dampak terbatas, khususnya mencermati bahwa terapi awal 24-48 jam adalah yang
paling penting dalam menentukan hasil dari infeksi. Penggunaan TDM mungkin sangat
berharga, namun mengapresiasi waktu yang tepat untuk pengambilan sampel juga penting.
Ketika konsentrasi puncak terukur, ini harus dilakukan dalam 30 menit dalam menyelesaikan
pemberian obat; melalui tingkat-tingkat yang harus diambil sampel tepat sebelum dosis
selanjutnya, dan hal semacam itu hanya akan membantu dalam menyesuaikan dosis
selanjutnya. Satu keuntungan dari infusi antibiotik berkelanjutan adalah bahwa pewaktuan itu
tidak penting dan sampel apapun bisa dipertimbangkan untuk menyesuaikan
perlakuan/treatment.
11
tertentu. Tidak ada program kontrol kualitas yang tersedia untuk uji kadar tersebut;
perkembangan immunoassay sedang berjalan dan mungkin secara radikal meningkatkan
ketersediaan TDM.
12
Satu reaksi buta terhadap pemahaman kita sekarang atas berubahnya FK bisa jadi
adalah peningkatan dosis yang smebarangan terhadap semua pasien. Meskipun secara intuitif
menarik, ini tak bisa dihindarkan akan menyebabkan peningkatan toksisitas pada satu
populasi pasien yang telah cenderung kepada komplikasi iatrogenik di satu sisi, dan masih
terjadi pemberian dosis yang tidak cukup untuk banyak pasien di sisi lain dari spektrum.
Peningkatan biaya akan menjadi konsekuensi logis pendekatan ini.
10.9 Ringkasan
Ada banyak alasan megapa pemberian antibiotik secara generik harus ditinggalkan,
namun peningkatan infeksi yang resiten terhadap multi obat mungkin merupakan salah satu
argumen yang paling menekan untuk mendefinisi ulang pemberian antibiotik pada infeksi
parah di ruang IGD. Pemahaman FK antibiotik yang lebih baik dan tautan antara pemberian
antibiotik dibawah dosis dan hasil klinik yang kurang mengharuskan pendekatan
terindividualisasi dan teroptimalisasi untuk meningkatkan tingkat penyembuhan dan
menurunkan pemilihan patogen yang resisten antibiotik. Teknologi-teknologi maju seperti
perangkat lunak yang mengintegrasikan model-model FK dengan penggunaan TDM akan
menjadi keharusan dalam pendekatan ini, namun juga akan diperlukan strategi-strategi
pemberian dosis alternatif untuk mencapai tujuan ini.
13