Anda di halaman 1dari 36

DAFTAR ISI

BAB I. LAPORAN KASUS ......................................................................................................................... 2


1.1. Identitas Pasien ........................................................................................................................ 2
1.2. Anamnesis .................................................................................................................................. 2
1.3. Pemeriksaan Fisik ................................................................................................................... 3
1.4. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................................................... 5
1.5. Resume ............................................................................................................................................ 8
1.6. Diagnosis ......................................................................................................................................... 8
1.7. Daftar Masalah .............................................................................................................................. 9
1.8. Pengkajian Masalah .................................................................................................................... 9
1.9. Prognosis....................................................................................................................................... 10
1.10. Follow up .................................................................................................................................... 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................... 13
2.1. HEMOPTISIS ................................................................................................................................ 13
2.2. TB PARU ........................................................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 36

1
BAB I. LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : Nn. C
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Tangerang
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Penjahit di konveksi
Rekam medis : RSUS 00-83-53-71
Tanggal Pemeriksaan : 24/11/2018

1.2. Anamnesis
Dilakukan secara Autoanamnesis pada tanggal 24 November 2018 pukul 15.00 di
bangsal RSUS Isolasi lantai 3.
Keluhan Utama
• Batuk darah sejak 2 hari SMRS

1.2.1. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUS dengan keluhan batuk darah sejak 2 hari
SMRS. Pasien sudah mengeluhkan batuk sejak +2 bulan SMRS. Awalnya batuk
kering lalu menjadi berdahak berwarna kehijauan. Batuk muncul sepanjang hari,
tidak pada saat-saat tertentu. 2 hari SMRS pasien mengeluhkan batuk darah yang
diikuti muntah sehingga muntah berisi makanan bercampur darah sebanyak 1 gelas
aqua. Lalu pasien pergi ke klinik kemudian darisana diberikan obat. Malam hari
pasien pergi ke RS Qadr lalu diambil foto polos toraks. 1 hari SMRS pasien datang
dengan keluhan batuk berdahak bercampur darah merah segar 2 kali.
• Pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan 5kg sejak +1 tahun yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan lemas. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 5
hari SMRS. Nyeri dirasa terutama saat terlambat makan, seperti ditusuk-tusuk,
tidak menjalar, berkurang dengan lansoprazole dan antacid, dengan skala nyeri
5/10. Pasien menyangkal adanya sesak, demam, keringat malam, nafsu makan
turun, nyeri dada.

2
1.2.2. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami batuk darah maupun batuk lama
sebelumnya. Pasien sudah beberapa kali mengeluhkan nyeri ulu hatinya sejak +8
tahun. Riwayat asma (-), penyakit jantung (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (-),
trauma (-).

1.2.3. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada yang mengalami keluhan serupa di keluarga, lingkungan rumah,
maupun lingkungan kerja pasien. Ibu pasien menderita DM yang terkontrol.
Keluarga pasien tidak mempunyai riwayat asma (-), penyakit jantung (-), hipertensi
(-).

1.2.4. Riwayat Kebiasaan


Merokok + 10 tahun, 1 bungkus sehari
Minum Alkohol (-)
Minum kopi (+)  1 bungkus sehari
Olahraga (-)

1.2.5. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Lingkungan


Pasien tinggal bersama keluarga kakak pasien. Di dalam lingkungan rumah
pasien tidak ada yang menderita batuk lama atau terdiagnosis tb paru. Lingkungan
rumah pasien baik (tidak berasap dan ventilasi baik).

1.3.Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
• Keadaan umum : Tampak sakit sedang
• Tingkat kesadaran : Compos Mentis
• GCS : E4M6V5 (15)
• Tinggi Badan : 155 cm
• Berat Badan : 45 kg
• BMI : 18.7  Normal
Tanda-tanda vital

3
• Heart Rate : 97 x/menit, regular
• Respiratory Rate : 20 x/menit, regular
• Blood Pressure : 100/70 mmHg
• Temperature : 36,5 oC

4
1.4.Pemeriksaan Penunjang
1.4.1. Laboratorium darah

5
1.4.2. Xray Thorax

Temuan
• Paru: infiltrat pada lobus atas paru kanan, kavitas pada lobus atas paru kanan
• Hilus : pembesaran hilus kanan
• Mediastinum: normal
• Trakea dan Bronkus: normal
• Pleura: normal
• Jantung: CTR<50%
• Aorta: normal
• Vertebra thorakal dan tulang-tulang lainnya: normal
• Jar. Lunak: normal
• Abdomen yang tervisualisasi: normal
• Leher yang tervisualisasi: normal

6
Kesan
• TB paru aktif
1.4.3. EKG

Kesan EKG:
• Rhythm : sinus
• Rate : 90bpm
• Axis : normal
• P wave : 0,05 s 0,2mV
• Pr interval : 0,12 s
• Qrs complex : 0.08 s
• ST segment normal
• T wave normal
• Hipertropi (-)
• Blok (-)
Kesimpulan:
Sinus rhythm

1.4.4. Sputum BTA


Sputum BTA I
Leukosit : 80/lpf
Epitel : <10/lpf
BTA : +2
2. Sputum BTA II
Leukosit : 80/lpf
Epitel : <10/lpf
BTA : +1

7
1.5. Resume
Pasien datang ke IGD RSUS dengan keluhan batuk darah sejak 2 hari SMRS.
Pasien sudah mengeluhkan batuk sejak + 2 bulan SMRS. Awalnya batuk kering lalu
menjadi berdahak berwarna kehijauan. Batuk muncul sepanjang hari. 2 hari SMRS pasien
batuk darah diikuti muntah, muntah berisi makanan bercampur darah sebanyak 1 gelas
aqua. Pasien kemudian pergi ke klinik dan kemudian diberikan obat. Pada malam hari
pasien pergi ke RS Qadr kemudian dilakukan foto toraks. 1 hari SMRS pasien batuk
berdahak bercampur darah merah segar sebanyak 2 kali. Pasien menyadari adanya
penurunan berat badan sebanyak 5 kg sejak +1 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
lemas. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 5 hari SMRS. Nyeri terutama muncul
saat terlambat makan, seperti ditusuk-tusuk, dan tidak menjalar. Nyeri berkurang dengan
minum obat lansoprazole dan antacid. Skala nyeri 5 dari 10. Pasien juga mengeluhkan
mual.
Pasien sudah beberapa kali mengalami nyeri ulu hati dalam 8 tahun terakhir. Ibu
pasien menderita DM terkontrol. Pasien merokok + 10 tahun, 1 bungkus sehari dan minum
kopi 1 bungkus sehari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas
normal. Pada pemeriksaan paru, pergerakan nafas stasis dan dinamis simetris,
Pengembangan dada kanan & kiri simetris, Taktil fremitus kanan sama dengan kiri, Sonor
pada kedua lapang paru, suara paru vesikuler +/+, rhonki -/- , wheezing -/-. Pada
pemeriksaan abdpmen ditemukan nyeri tekan regio epigastrik. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan Hb 11,60, leukosit 15.940, MCV 79,50, MCH 25,90, MCHC
32,60, kalium 3,5. Pada foto polos toraks ditemukan infiltrat pada lobus atas paru kanan,
kavitas pada lobus atas paru kanan, kesan TB paru aktif. Pada pemeriksaan sputum BTA I
ditemukan BTA +2 dan pada pemeriksaan sputum BTA II ditemukan BTA +1.

1.6. Diagnosis
Diagnosis kerja :
- TB paru
- Dyspepsia
Diagnosis banding :
- Pneumonia
- Bronkitis

8
1.7. Daftar Masalah
- Hemoptisis et causa TB paru kasus baru BTA +
- Dyspepsia
- Anemia mikrositik hipokrom

1.8. Pengkajian Masalah


Hemoptisis et causa TB paru kasus baru BTA +
 Atas dasar :
- Anamnesis : batuk > 2 minggu, batuk darah, lemas, BB ↓  suspek TB paru ; px
belum pernah mendapatkan OAT sebelumnya  kasus baru
- CXR : perselubungan pada lobus atas paru kanan, kavitas pada lobus atas paru kanan,
kesan TB paru aktif  gambaran radiologi curiga tb aktif  TB paru BTA (?)
- Pemeriksaan sputum : I (+2), II (+1)  pemeriksaan definitifa  TB paru BTA (+)
- Pemeriksaan penunjang lain yang mendukung : LED ↑ (54)
 Yang dipikirkan : hemoptoe et causa TB paru kasus baru BTA + DD pneumonia
DD bronkitis
 Rencana diagnostik : -
 Terapi
- IGD
Oksigen nasal kanul 2L
Akses IV line 20G
NS 500cc/8jam
Asam traneksamat IV 3x1 amp
Ambroxol PO 3x30 mg
Ceftriaxone IV 1gr
Tampung sputum
- Ruang rawat
Rawat di ruang isolasi suspek
Tampung sputum
Dyspepsia
 Atas dasar :

9
- Anamnesis : nyeri ulu hati, terutama muncul saat terlambat makan, seperti
ditusuk-tusuk, tidak menjalar. Nyeri berkurang dengan minum lansoprazole dan
antacid. Mual (+)
- PF : nyeri tekan regio epigastrik (+)
- Yang dipikirkan : dyspepsia
- Rencana diagnostik : endoskopi saluran napas atas + H. Pylori test
- Terapi :
IGD :
Omeprazole IV 2x40 mg
Ruang rawat :
Omeprazole IV 2x40mg
Sucralfat PO 3x1cth
Anemia mikrositik hipokrom
 Atas dasar :
- Anamnesis : lemas (+)
- Pemeriksaan laboratorium : Hb 11,6 ↓, MCV 79.50 fL ↓ MCH 25.90 pg ↓
 Yang dipikirkan : anemia mikrositik hipokrom
 Rencana diagnostik : apusan darah tepi
 Terapi :
- Tangani penyebab anemia
- Transfusi darah apabila Hb<7mg/dL

1.9. Prognosis
Qua ad vitam : Dubia ad bonam
Qua ad functionam : Dubia ad bonam
Qua ad sanationam : Dubia ad bonam

1.10. Follow up
24/11/18
• S : batuk berkurang, batuk berdahak bercampur darah 1-2x, nyeri ulu hati
berkurang, lemas (+), mual (-), muntah (-), sesak (-)
• O:

10
• Tampak sakit ringan, CM, TTV : TD 100/70, HR 72, RR: 20, T: 36,7,
konjungtiva pucat -, sklera ikterik -
• Paru : pengembangan dada simetris, taktil fremitus kanan=kiri, perkusi
sonor, vbs +/+, rh -/-, wh -/- pada seluruh lapang paru
• Abdomen : supel, NT (+) regio epigastrik
• A : hemoptoe ec TB paru kasus baru BTA (?), dyspepsia
• P:
• Asam traneksamat IV 3x1 amp
• Ambroxol PO 3x30 mg
• Curcuma PO 3x1 tab
• Omeprazole IV 2x40mg
• Sucralfat PO 3x1cth
• Ceftriaxone IV 1gr
• Tampung sputum
26/11/18
• S : batuk berkurang, dahak berkurang, batuk berdahak bercampur darah (-), nyeri
ulu hati berkurang, lemas (+), nafsu makan membaik, mual (-), muntah (-), sesak (-
)
• O:
• Tampak sakit ringan, CM, TTV : TD 110/70, HR 90, RR: 20, T: 36,4,
konjungtiva pucat -, sklera ikterik -
• Paru : pengembangan dada simetris, taktil fremitus kanan=kiri, perkusi
sonor, vbs +/+, rh -/-, wh -/- pada seluruh lapang paru
• Abdomen : supel, NT (+) regio epigastrik
• Pemeriksaan sputum BTA I 25/11/2018 (+2), sputum BTA II 26/11/2018
(+1), mulai OAT sejak 25/11/2018
• A : hemoptoe ec TB paru kasus baru BTA +, dyspepsia
• P:
• Asam traneksamat IV 3x1 amp
• Ambroxol PO 3x30 mg
• Curcuma PO 3x1 tab
• FDC 1x3tab
• Pyridoxine hcl 1x25mg

11
• Omeprazole IV 2x40mg
• Sucralfat PO 3x1cth
• Ceftriaxone IV 1gr
• Boleh pulang
• Resep pulang
• Asam traneksamat 3x500mg
• Curcuma PO 3x1 tab
• FDC 1x3 tab
• Pyridoxine hcl 1x25mg
• Sucralfat syr PO 3x1cth
• Datang kontrol 1 minggu

12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HEMOPTISIS

2.1.1. Definisi
Hemoptisis adalah ekspektoransi darah atau dahak bercampur darah yang berasal
dari saluran napas bawah dan parenkim paru.1

2.1.2. Klasifikasi
Klasifikasi hemoptisis dibedakan berdasarkan tingkat keparahan atau kuantitas
darah yang keluar dari saluran napas. Hemoptisis dibedakan menjadi hemoptisis masif dan
nonmasif. Batasan kriteria masif bervariasi dan belum ada keseragaman. Hemoptisis
dikatakan masif jika volum ekspektoransi darah yang dikeluarkan dalam 24 jam sejumlah
100-1.000 mililiter. Tahun 1978 Busroh mengajukan 3 kriteria untuk mendefinisikan
hemoptisis masif. Kriteria ini digunakan di bagian pulmonologi fakultas kedokteran
Universitas Indonesia, yaitu:2
1. Batuk darah dengan volume sedikitnya 600mL dalam 24 jam.
2. Batuk darah dengan volume antara 250-600mL dalam 24 jam pada pasien yang
memiliki kadar hemoglobin (Hb) < 10 gram/desiliter (gr/dL) dan dalam
pengamatan masih terus berlangsung.
3. Batuk darah dengan volume antara 250-600mL dalam 24 jam pada pasien yang
memiliki kadar Hb>10gr/dL sedangkan dalam waktu 48 jam masih belum berhenti.
Tahun 2011 W.H Ibrahim mengajukan suatu kriteria baru sebagai revisi dari kriteria yang
sudah ada. Kriteria life threatening hemoptysis yaitu:3
1. Batuk darah dengan volume lebih dari 100mL dalam 24 jam.
2. Batuk darah menyebabkan abnormalitas pertukaran gas dan atau obstruksi saluran
napas
3. Batuk darah menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik.
Selain mengklasifikasikan hemoptisis berdasarkan kuantitas darah yang keluar
dalam 24 jam, terdapat definisi lain dari hemoptisis masif yaitu jika volum ekspektoransi
darah yang dikeluarkan > 100mL/jam.d Hemoptisis juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
tingkat keparahannya menjadi ringan (<30ml), sedang (30-100ml), berat (100-600ml), dan
masif (>600ml).

13
2.1.3. Etiologi
Hemoptisis biasanya menyertai suatu penyakit yang mendasari sehingga diperlukan
investigasi lebih lanjut untuk menentukan penyebab pastinya. Penyakit penyebab
hemoptisis yang paling sering dilaporkan yaitu TB paru, infeksi jamur khususnya
Aspergilloma, dan bronkiektasis.1
Berikut adalah penyebab-penyebab hemoptisis:4
Kelompok kelainan Penyakit
Kelainan pada jalan napas Trauma jalan napas
Bronkitis: akut atau kronik
Bronkiektasis*
Emfisema bulosa
Fistula bronkovaskuler
Adenoma bronkial
Karsinoma bronkogenik*
Dieulafoy disease
Metastasis ke bronkus atau trakea
Benda asing pada jalan napas
Penyakit parenkim paru
Infeksi Antraks
Abses paru
Mycetoma dan infeksi jamur lain
Necrotizing pneumonia
Parasit
Mikobakterium tuberkulosa dan non tuberkulosa*
Tuleremia
Virus (contoh:herpes simpleks)
Yersinia pestis
Penyakit reumatik Amyloid
Goodpasture disease
Behcet’s disease
Kelainan genetik kolagen

14
Granulomatosis dengan poliangitis
Antiphospholipid antibody syndrome
Lupus
Kelainan vaskuler paru Kelainan jantung kongenital
Gagal jantung
Stenosis mitral
Endokarditis trikuspid
Malformasi arteriovena paru
Pseudoaneurisma arteri paru
Embolisme paru
Penyakit veno-oklusi paru
Kelainan koagulasi Pengobatan antikoagulan dan antiplatelet
DIC
Leptospirosis
Disfungsi platelet
Trombositopenia (ITP, TTP, HUS)
Von willebrand disease
Trauma iatrogenik Stent saluran napas
Fistula aortobronkial akibat graft atau sten aorta
Bronkoskopi dengan biopsi endobronkial atau
transbronkial atau aspirasi jarum
Aspirasi jarum transtoraks
Trauma baskuler dari kateter arteri pulmoner
Lain – lain
Obat-obatan dan racun Minyak sayur yang terkontaminasi Argemone alkaloid
Bevacizumab
Hemoptisis katamenial karena endometriosis toraks
Kokain
Keracunan nitrogen dioksida
Trauma Trauma tumpul
Trauma tajam
Idiopatik

15
2.1.4. Patofisiologi
Hemoptisis terjadi akibat ruptur pembuluh darah di sekitar percabangan
trakeobronkial. Darah keluar melalui robekan kapiler dan memasuki saluran napas. Darah
yang ada di saluran napas dapat keluar melalui batuk. Sirkulasi darah pada paru dibentuk
oleh 2 sistem percabangan pembuluh darah yaitu sistem sirkulasi pulmonal dan bronkial.
Sistem sirkulasi pulmonar memiliki fungsi yaitu mengalirkan 99% volume darah menuju
ke kapiler paru untuk proses pertukaran gas. Arteri pulmonalis berjalan sepanjang bronkus
menuju alveolus dan membentuk anyaman kapiler alveopulmonal. Sistem sirkulasi
pulmonal merupakan sirkulasi bertekanan rendah. Rerata tekanan arteri pulmonalis utama
yaitu sekitar 15mmHg.2
Sirkulasi bronkial berfungsi memberikan nutrisi bagi paru dan saluran napas. Arteri
bronkialis adalah cabang langsung dari arteri torakalis. Arteri bronkialis bertanggung
jawab untuk memasok darah kaya oksigen ke parenkim paru. Tekanan pembuluh darah
rata-rata arteri bronkialis adalah 100mmHg. Hemoptisis masif terjadi karena pecahnya
arteri bronkialis. Peningkatan pembentukan pembuluh darah baru dapat dialami penderita
penyakit paru kronis seperti bronkiektasis, bronkitis kronik, tuberkulosis, mikosisi paru,
abses paru kronis, neoplastik.2

2.1.5. Patogenesis
Hemoptisis pada tuberkulosis
Tuberkulosis paru dapat menyebabkan hemoptisis melalui beberapa mekanisme
berbeda. Hemoptisis pada penderita TB paru dapat terjadi pada penderita infeksi TB aktif
maupun inaktif (bekas TB). Serta berkaitan dengan luasnya lesi. Patogenesis hemoptisis
pada paru aktif yaitu adanya kavitas disertai peradangan yang menyebabkan ulserasi
bronkus atau alveolus di sekitarnya. Kavitas dengan peradangan menyebabkan nekrosis
atau erosi pembuluh darah dinding bronkus dan alveolus di sekitarnya. Erosi menyebabkan
pecahnya pembuluh darah dan terjadi batuk darah. Batuk darah dapat bersifat masif
maupun non masif tergantung pembuluh darah yang terlibat. Hemoptisis dapat dialami
penderita dengan riwayat sakit Tb yang telah sembuh.5
Patogenesis hemoptisis pada bekas TB paru berkaitan dengan kerusakan struktural
parenkim paru dan pembuluh darah akibat luasnya lesi TB yang telah diderita sebelumnya.
Penderita bekas TB dengan hemoptisis dijumpai memiliki lesi ektasis bronkus sisa lesi

16
lama berupa bronkiektasis, hipervaskularisasi, pelebaran pembuluh darah bronkial kavitas,
serta pembentukan pembuluh darah kolateral anastomosis. 5
Aneurisma rassmusen’s adalah pelebaran darah pulmonal yang berada di sekitar
dinding kavitas yang telah lama terbentuk. Ruptur aneurisma Rassmussen’s telah diketahui
menjadi penyebab utama batuk darah masif pada penderita TB paru aktif maupun bekas
TB. Ruptur aneurisma rassmusen”s terjadi karena keterlibatan tunika adventisia pembuh
darah yang mengalami destruktsi akibat inflamasi lokal. Inflamasi lokal mungkin terjadi
akibat infeksi TB yang aktif kembali, infeksi bakteri sekunder yang menumpangi, maupun
infeksi jamur. 5
Infeksi jamur pada penderita bekas TB merupakan faktor penyebab hemoptisis
masif yang banyak dijumpai. Infeksi jamur aspergillus yang tumbuh di dalam kavitas
secara khas membentuk fungus ball. Penderita sering ditemukan mengalami gejala
hemoptisis masif. Erosi klasifikasi merupakan sebab lain hemoptsis yang banyak dijumpai
pada bekas TB. Gerakan saluran napas saat batuk menyebabkan erosi dinding pembuluh
darah oleh kalsifikasi tersebut dan terjadi hemoptsis masif. 5

2.1.6. Penegakkan diagnosis


Riwayat pasien
Riwayat pasien dapat membedakan hemoptisis dari hematemesis. Riwayat pasien juga
dapat mengidentifikasi lokasi anatomis perdarahan, membedakan hemoptisis dan
pseudohemoptsis, dan mempersempit diagnosis banding. Faktor-faktor seperti umur, status
nutrisi, dan kondisi komorbid dapat membantu diagnosis dan manajemen hemoptisis.
Apabila hemoptisis dicurigai, investigasi harus berfokus pada sistem respirasi. Darah dari
bronkus bawah menginduksi batuk, riwayat epistaksis atau keluar darah tanpa batuk
menandakan sumber dari saluran napas atas. Sulit untuk menghitung banyaknya darah
yang keluar sehingga pasien harus diminta menampung sputum. Penting untuk mengetahui
apakah pasien pernah memiliki episode hemoptisis yang sama sebelumnya. Hemoptisis
ringan yang terjadi berulang dalam beberapa tahun sering ditemukan pada perokok yang
memiliki bronkitis kronik dengan akut bronkitis yang memperparahnya. Riwayat batuk
kronis dengan sputum purulen dan pneumonia yang sering terjadi dapat merepresentasikan
bronkiektasis.6

17
Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital harus dinilai untuk melihat adanya demam, takikardia, takipnea. Kulit
dan membran mukosa harus dilihat untuk mencari adanya sianosis, pucat, ekimosis,
telangiektasia, gingivitis, atau perdarahan mukosa oral atau nasal. Pemeriksaan
pembesaran kelenjar limfe leher dan aksila. Pemeriksaan kardiovaskuler meliputi
pemeriksaan tekanan vena juguler, suara jantung abnormal, dan edema. Pemeriksaan paru-
paru meliputi mencari ada atau tidaknya wheezing, rales, atau trauma. Pemeriksaan
abdomen mencari adanya pembesaran hepar. Pemeriksaan ekstremitas mencari adanya
edema, sianosis, atau clubbing.6

18
Evaluasi Diagnostik
Setelah riwayat dan pemeriksaan fisik pasien, foto polos toraks harus diambil. Apabila
diagnosis masih belum jelas, pencitraan dengan computed tomography (CT) atau
visualisasi langsung dengan bronkoskopi diindikasikan. Pada pasien risiko tinggi dengan
radiografi dada yang normal, bronkoskopi fiberoptik harus dipikirkan untuk
menyingkirkan keganasan. Faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan keganasan
adalah laki-laki, umur lebih tua dari 40 tahun, riwayat merokok lebih dari 40 bungkus
pertahun, dan durasi hemoptisis lebih dari 1 minggu.
Bronkoskopi fiberoptik dianjurkan apabila keganasan dicurigai, ini diagnostik
untuk penyakit endobronkial sentral dan memungkinkan visualisasi langsung lokasi
perdarahan. Bronkoskopi juga memungkinkan biopsi jaringan dan bilas bronkus.
Bronkoskopi kaku dipilih untuk perdarahan masif karena baik untuk penyedotan dan
pertahanan saluran napas. CT resolusi tinggi menjadi semakin berguna untuk evaluasi awal
hemoptisis dan dipilih untuk penyakit parenkim paru. Pasien dengan hemoptisis berulang
atau tidak jelas memerlukan evaluasi laboratorium tambahan untuk menegakkan
diagnosis.6

19
20
Penatalaksanaan
Prioritas utama tata laksana hemoptisis adalah menjaga agar saluran napas tetap
terbuka. Darah yang keluar dari percabangan trakeobronkial dapat menyebabkan obstruksi
saluran napas dan hambatan pertukaran gas. Lakukan pemantauan saturasi oksigen pasien,
apabila pasien mengalami desaturasi, segera lakukan intubasi. Tujuan penatalaksanaan
seluruh pasien dengan hemoptisis adalah :1,6
1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah terjadinya aspirasi
3. Mengobati penyakit paru yang menjadi penyebab dasar
Penderita hemoptisis dengan infeksi biasanya memiliki risiko penularan penyakit
yang tinggi. Petugas kesehatan perlu melakukan pencegahan penularan penyakit. Langkah
awal adalah evaluasi ABC (airway, breathing, circulation. Pasang infus intravena jika
perlu 2 jalur untuk rute masuk cairan, medikamentosa, dan transfusi darah bila diperlukan.
Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium yang diperlukan antara lain
darah rutin, hitung jenis sel, elektrolit, fungsi ginjal, profil koagulasi darah, dan d-dimer,
serta analisis gas darah. Lakukan foto toraks dan persiapkan pasien untuk dirawat di ruang
rawat intensif apabila terdapat indikasi. Apabila kondisi pasien dengan oksigenasi dan
hemodinamik stabil, lakukan CT scan toraks dengan kontras untuk evaluasi diagnosis
penyebab hemoptisis.1
Pasien dengan dahak dengan bercak darah tidak perlu dirawat inap, kecuali
dibutuhkan untuk mencari penyebab hemoptisis. Pasien rawat jalan perlu kontrol 1-2 hari
kemudian. Pasien dengan hemoptisis jelas perlu dirawat inap. Penanganan di rumah sakit
meliputi beberapa hal. Tidur dekubitus lateral ke arah paru yang sakit agar mencegah
aspirasi darah ke paru-paru normal. Fisioterapi harus dihindari. Terapi antibiotik empirik
berguna untuk hemoptisis yang berhubungan dengan infeksi paru-paru dan untuk
mencegah komplikasi. Pemberian obat hemostatik pada penderita batuk darah yang tidak
disertai kelainan faal hemostatik masih terdapat perbedaan pendapat. Penelitian Prutsky
dkk tahun 2012 menyarankan pemberian obat antifibrinolitik (aminocaproic acid , asam
traneksamat) bekerja dengan inhibisi proses disolusi bekuan darah yang pada akhirnya
mengurangi perdarahan. Asam traneksamat injeksi 0,5-1 gram sebanyak 2-3 kali
pemberian perhari dapat menurunkan durasi perdarahan.7 Obat antitusif ringan hanya
diberikan bila terdapat batuk yang berlebihan dan merangsang timbulnya perdarahan yang

21
lebih banyak.. Transfusi diberikan jika Hb<10 atau hematokrit<25-30% sedangkan
perdarahan masih berlangsung.

2.2. TB PARU

2.2.1. Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit pada paru-paru yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.8

2.2.2. Epidemiologi
Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang
penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada setiap 100.000 penduduk. Insidens
kasus TB secara global tahun 2015 menurut WHO adalah 10,4 juta dan di Indonesia tahun
2016 adalah 360.565 kasus.2 Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis
pada tahun 2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu
625.000 orang atau angka mortalitas sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka
mortalitas tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi
HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. Saat ini
Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
China. 8

2.2.3. Patogenesis
Tuberkulosis primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan
sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar
getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
- Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum

22
- Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
- Menyebar dengan cara
> Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan
obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis
akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis.
> Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya
atau tertelan
> Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara
spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat
tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi
dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan:
>> Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak
setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau
>> Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.8

Tuberkulosis postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis
primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama
yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,
tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi
masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis
postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus
superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni
kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:
- Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

23
- Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan
jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
- Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
> meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini akan
mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas
> memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma
dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadi kaviti lagi
> bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan
membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
Perkembangan sarang tuberkolosis postprimer dan perjalanan penyembuhannya dapat
dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 Skema perkembangan sarang tuberkolosis postprimer dan perjalanan


penyembuhannya. 8

2.2.4. Definisi Kasus


 Suspek TB

24
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB paru
adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu yang disertai gejala pernapasan (sesak
napas, nyeri dada, hemoptisis) dan atau gejala tambahan (tidak nafsu makan,
penurunan berat badan, keringat malam, dan mudah lelah).8
 Kasus TB
- Kasus TB pasti yaitu pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium tuberculosis
complex yang diidentifikasi dari spesimen klinik (jaringan, cairan tubuh, usap
tenggorok, dll) dan kultur. Kasus TB paru dapat ditegakkan apabila ditemukan satu
atau lebih dahak BTA positif.
ATAU
- Seorang pasien yang setelah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk TB
sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan dan diobati dengan
paduan dan lama pengobatan yang lengkap.

2.2.5. Klasifikasi
1. Berdasarkan letak anatomi penyakit
 Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru. TB
milier termasuk di dalamnya.
 TB ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain paru
seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan atau hilus),
abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang, dan selaput otak.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi
 Tuberkulosis paru BTA positif
- Minimal satu dari sekurang-kurangnya 2 kali pemeriksaan dahak
menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat quality
external assurance (EQA).
- Pada laboratorium yang belum memiliki syarat EQA, maka TB paru BTA
positif adalah :
> 2 atau lebih hasil pemeriksaan dahak menunjukkan hasil BTA positif
> Pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
> Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif

25
 Tuberkkulosis paru BTA negatif
- Pemeriksaan dahak negatif tapi kultur positif
> Setikdanya dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif, tapi biakan M.
tuberculosis positif
> Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil pemeriksaan dahak BTA
negatif untuk memastikan diagnosis
ATAU
- Pemeriksaan dahak BTA dua kali negatif di daerah yang belum memiliki
fasilitas kultur, tetapi memenuhi kriteria sebagai berikut:
> Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif dan disertai salah satu
dibawah ini:
>> Hasil pemeriksaan HIV positif atau
>> Jika HIV negatif, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian
antibiotik spektrum luas.
 Kasus bekas TB
- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif kalau ada) dan
gambaran tadiologi menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial
(dalam 2 bulan) menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan TB adekuat akan lebih mendukung
- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi.
3. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
 Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah mendapatkan OAT kuraang dari satu bulan.
Pasien dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi
penyakit dimanapun.
 Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah
pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal selama satu
bulan dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi
penyakit dimanapun.
> Kambuh

26
Hasil BTA +/- hasil pengobatan sebelumnya dinyatakan sembuh dan
pengobatan lengkap
> Gagal
Hasil BTA + hasil pengobatan sebelumnya dinyatakan gagal
> Lalai
Hasil BTA + hasil pengobatan sebelumnya dinyatakan gagal
 Pindah
Hasil BTA +/- masih dalam pengobatan
 Lain-lain
Untuk semua kasus yang tidak memenuhi kriteria diatas
> Riwayat pengobatan tidak diketahui sebelumnya
> Riwayat pengobatan diketahui, hasil tidak
> Pasien datang kembali untuk pengobatan dengan hasil dahak BTA negatif
atau bakteriologis ekstraparu negatif.
4. Status HIV
Status HIV merupakan hal yang penting untuk keputusan pengobatan.

2.2.6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
bakteriologi, radiologi, dan penunjang lainnya. 8
 Gejala klinik
Dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
• batuk ≥ 2 minggu
• batuk darah
• sesak napas
• nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala Sistemik
• demam

27
• gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
3. Gejala TB ekstraparu
Tergantung dari organ yang terlibat, misalnya limfadenitis TB, meningitis TB, pleuritis
TB.

 Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak ditemukan kelainan. Kelainan
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen
posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara
lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma & mediastinum.

 Pemeriksaan Bakteriologi
 Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteri untuk menemukan kuman tuberkulosis sangat penting
dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Bahan yang dipakai dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, LCS, bilasan bronkus, bilasan lambung, urin, feses, dan
biopsi.
 Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari. Bahan
pemeriksaan hasil biopsi jarum halus dapat dibuat sediaan apus kering di gelas
objek atau untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan ditambahkan NaCl 0,9% 3-
5ml sebelum dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan patologi anotomi.
 Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan
cara:
> Mikroskopik

> Biakan

Pemeriksaan mikroskopik:

28
> Mikroskopik biasa: pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan Kinyoun Gabbett

> Mikroskopik fluoresens:pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk


screening) Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD.

Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease):

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif


- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan biakan kuman:


Pemeriksaan identifikasi M. Tuberculosis dengan cara:
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara
:
> Biakan
- Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
- Agar base media: Middle brook
- Mycobacteria growth indicator tube test
- BACTEC
> Uji molekular
- PCR based methods of Is6110 genotyping
- Spoligotyping
- Restriction fragment length polymorphism
- MIRU/VNTR analysis
- PGS RFLP
- Genomic Deletion Analysis
Identifikasi M. Tuberculosis dan uji kepekaan:
- Hain test (uji kepekaan untuk R dan H)
- Molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R)
- Gene X-pert (uji kepekaan untuk R)
>Uji lainnya:

29
- Uji tuberkulin, IGRA, T-SPOT TB
- Uji serologi ( ELISA, ICT, Mycodot, dan IgG/IgM TB)
 Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform).
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
• Fibrotik
• Kalsifikasi
• Schwarte
Luluh paru (destroyed lung)
Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari ateletaksis, ektasis/multikavitas, dan fibrosis
parenkim paru. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas
proses penyakit.
 Pemeriksaan Penunjang
1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat,
serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat
diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu:
- Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)

- Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)

30
- Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka)

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam
larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang
kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap
darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit pun kurang spesifik.
Hb, RBC, platelet turun. ESR CRP WBC naik.

2.2.7. Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.
 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

31
- Rifampisin
- INH
- Pirazinamid
- Streptomisin
- Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
- Kanamisin
- Kapreomisin
- Amikasin
- Kuinolon
- Sikloserin
- Etionamid/protionamid
- Para-amino salisilat
OAT lini kedua digunakan untuk kasus resisten obat, terutama multidrug resistant.
Kemasan:
- Obat tunggal
Obat disajikan secara terpisah masing-masing rifampisin, INH, pirazinamid, dan
etambutol.

- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination)


Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari:
4 obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg,
pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg, dan
Tabel 2. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
BB Fase intensif Fase lanjutan

32
2-3 bulan 4 bulan
Harian Harian 3x/minggu
RHZE RH (150/75) RH (150/150)
(150/75/400/275)
30-37 2 2 2
38-54 3 3 3
55-70 4 4 4
>71 5 5 5

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama
WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap
berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 2.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan
yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi
 Paduan pengobatan anti tuberkulosis
o Pasien baru
2RHZE/4RH dengan pemberian dosis setiap hari atau 2RHZE /4H3R3
o Pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Selama
menunggu hasil uji kepekaan diberikan 2RHZES/HRZE/5HRE
o Pasien MDR
Regimen pengobatan TB ekstraparu

33
o Meningitis TB : lama pengobatan 9-12 bulan, etambutol diganti streptomisin
o TB tulang : lama pengobatan 9 bulan
o Kortikosteroid diberikan pada meningitis TB dan perikarditis TB
o Limfadenitis TB : lama pengobatan 9 bulan
 Evaluasi pengobatan
o Evaluasi klinis
- Pasien dievaluasi secara periodik
- Evaluasi terhadap respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya komplikasi penyakit
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis
o Evaluasi bakteriologi (0-2-6/8 bulan pengobatan)
o Evaluasi radiologi (0-2-6/8 bulan pengobatan)
o Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien dinyatakan sembuh dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah
sembuh, dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah
mikroskopis BTA dahak dan foto toraks.
Definisi kasus hasil pengobatan
Hasil Definisi
Sembuh Sputum BTA + atau kultur + sebelum
berobat dan hasil – pada akhir
pengobatan serta sedikitnya satu kali
pemeriksaan sputum sebelumnya negatif
Pada foto toraks gambaran serial tetap
sama atau perbaikan
Biakan negatif
Pengobatan lengkap Telah selesai berobat tapi tidak ada hasil
pemeriksaan sputum atau kultur pada
akhir pengobatan
Gagal pengobatan Hasil sputum atau kultur + pada bulan
kelima atau lebih dalam pengobatan
Meninggal Pasien meninggal selama dalam
pengobatan

34
Lalai berobat Pengobatan terputus dalam waktu dua
bulan berturut-turut atau lebih
Pindah Pindah ke unit berbeda dan hasil akhir
pengobatan belum diketahui
Pengobatan sukses Jumlah pasien sembuh ditambah
pengobatan lengkap

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Larici AR, et. Al. 2014. Diagnosis and management of hemoptysis. Diagn Interv
Radiol. 2014;20:2990309
2. Pramahdi S. 2008. Batuk Darah. Dalam: Kosasih A, et al. Diagnosis dan
tatalaksana kegawatdaruratan paru dalam praktek sehari-hari. Banten: CV
Sagung Seto; p 1-17
3. Ibrahim WH. 2008. Massive hemoptysis: the definition should be revised. Eur
Repir J. 2008;32(4):1131-2
4. Weinberger S. 2018. Uptodate : Etiology and evaluation of hemoptysis in adults.
5. Hopewell PC, et. al. M. Tuberculosis. In: Mason RJ et. Al. Textbook of repiratory
medicine. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Inc p. 745-67
6. Bidwell J, et. Al. 2005. Hemoptysis : Diagnosis and Management. American
Family physician, October 1, 2005: Volume 72, No. 7: 1253-1260.
7. Cordovilla R, et. Al. 2016. Diagnosis and Treatment of Hemoptysis. Arch
Bronconeumol. 2016. http://dx.doi.org/10.1016/j.arbres.2015.12.002
8. PDPI.Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia, 2014.

36

Anda mungkin juga menyukai