Anda di halaman 1dari 17

1.

DIFTERI
1.1. Pengertian dan Karakteristik

Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.
Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi
nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah
inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri
faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus
yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan
pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria. Berbentuk batang gram


positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive,
tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunyai
efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga tipe dari Corynebacterium
diphtheria ini yaitu : tipe mitis, tipe intermedius dan tipe gravis.

Corynebacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi


19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe
gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang
virulen. Corynebacterium diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas
dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa. (Depkes, 2007)

Gambar 1. Corynebacterium Diphtheriae

1.2. Patogenesis dan Gejala

Gejala

Bakteri Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri akan menginfeksi saluran nafas. Masa
inkubasinya adalah 2-4 hari. Tanda pertama dari difteri adalah sakit tenggorokan, demam dan
gejala yang menyerupai pilek biasa. Bakteri akan berkembang biak dalam tubuh dan
melepaskan toksin (racun) yang dapat menyebar ke seluruh tubuh dan membuat penderita
menjadi sangat lemah dan sakit. Gejala-gejala lain yang muncul, antara lain:

1. Menelan sakit, batuk keras dan suara menjadi paruh


2. Mual dan muntah-muntah
3. Demam, menggigil dan sakit kepala
4. Denyut jantung meningkat
5. Terbentuk selaput/membran yang tebal, berbintik, berwarna hijau kecoklatan atau
keabu-abuan di kerongkongan sehingga sukar sekali untuk menelan dan terasa sakit.
6. Bila difteri bertambah parah, tenggorokan menjadi bengkak sehingga menyebabkan
penderita menjadi sesak nafas, bahkan yang lebih membahayakan lagi, dapat pula
menutup sama sekali jalan pernafasan.
7. Kelenjar akan membesar dan nyeri di sekitar leher.
8. Kadang-kadang telinga menjadi terasa sakit akibat peradangan

1
9. Penyakit difteri dapat pula menyebabkan radang pembungkus jantung sehingga
penderita dapat meninggal secara mendadak.
Gejala-gejala ini disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh kuman difteri. Jika tidak
diobati, racun yang dihasilkan oleh kuman ini dapat menyebabkan reaksi peradangan pada
jaringan saluran napas bagian atas sehingga sel-sel jaringan dapat mati (nekrosis). Sel-sel
jaringan yang mati bersama dengan sel-sel radang membentuk suatu membran atau lapisan
yang dapat menggangu masuknya udara pernapasan. Membran atau lapisan ini berwarna abu-
abu kecoklatan, dan biasanya dapat terlihat. Gejalanya anak menjadi sulit bernapas. Jika
lapisan terus terbentuk dan menutup saluran napas yang lebih bawah akan menyebabkan anak
tidak dapat bernapas. Akibatnya sangat fatal karena dapat menimbulkan kematian jika tidak
ditangani dengan segera.

Patogenesis

Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes
ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila
rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk
polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan
P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui
proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-
EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk
rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di
daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin
semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah
suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah
yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila
dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada
masa penyembuhan.

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri


(misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit kedalam
laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,
terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel

2
mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi
regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi
lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

1.3. Transmisi Penyakit

Penularan penyakit difteri terjadi melalui:

1. Bersin
Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akanmelepaskan uap air yang
terkontaminasi dan memungkinkan orang disekitarnya terpapar bakteri tersebut

1. Kontaminasi barang pribadi


Penularan difteri bisa berasal dari barang- barang pribadi seperti gelas yang belum dicuci.

1. Barang rumah tangga


Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui barang-
barang rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti handuk atau mainan.
Selain itu, kita dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila menyentuh luka orang
yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri dan belum diobati dapat
menginfeksi orang nonimmunized selama enam minggu bahkan jika mereka tidak
menunjukkan gejala apapun.

1.4. Pengendalian

Pengobatan

Para ahli di Mayo Clinic, memaparkan, ada beberapa upaya pengobatan yang dapat dilakukan
diantaranya:

1. Pemberian antitoksin: Anti Difteri Serum (ADS)


Setelah dokter memastikan diagnosa awal difteri, anak yang terinfeksi atau orang dewasa
harus menerima suatu antitoksin. Antitoksin itu disuntikkan ke pembuluh darah atau otot
untuk menetralkan toksin difteri yang sudah terkontaminasi dalam tubuh.

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena
pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan
adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan.

Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan
garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva
bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi
(Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus
secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama

3
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI Pemberian
ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness).

1. Antibiotik
Difteri juga dapat diobati dengan antibiotik, seperti penisilin atau eritromisin. Antibiotik
membantu membunuh bakteri di dalam tubuh dan membersihkan infeksi. Anak-anak dan
orang dewasa yang telah terinfeksi difteri dianjurkan untuk menjalani perawatan di rumah
sakit untuk perawatan.

Mereka mungkin akan diisolasi di unit perawatan intensif karena difteri dapat menyebar
dengan mudah ke orang sekitar terutama yang tidak mendapatkan imunisasi penyakit ini.

1. Kortikosteroid
Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan
korikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit
miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak
terbukti.

Pencegahan
Difteri adalah penyakit yang umum pada anak-anak. Penyakit ini tidak hanya dapat diobati
tetapi juga dapat dicegah dengan vaksin. Vaksin difteri biasanya dikombinasikan dengan
vaksin untuk tetanus dan pertusis, yang dikenal sebagai vaksin difteri, tetanus dan pertusis.

Versi terbaru dari vaksin ini dikenal sebagai vaksin DTaP untuk anak-anak dan vaksin Tdap
untuk remaja dan dewasa. Pemberian vaksinasi sudah dapat dilakukan saat masih bayi
dengan lima tahapan yakni, 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 12-18 bulan dan 4-6 tahun.

Vaksin difteri sangat efektif untuk mencegah difteri. Tapi pada beberapa anak mungkin akan
mengalami efek samping seperti demam, rewel, mengantuk atau nyeri pasca pemberian
vaksin. Pemberian vaksin DTaP pada anak jarang menyebabkan komplikasi serius, seperti
reaksi alergi (gatal-gatal atau ruam berkembang hanya dalam beberapa menit pasca injeksi),
kejang atau shock. Untuk beberapa anak dengan gangguan otak progresif – tidak dapat
menerima vaksin DTaP.

Selain pemberian vaksin untuk kekebalan tubuh hal lain yang perlu diperhatikan untuk
pencegahan difteri yaitu hindari kontak dengan penderita langsung difteri, Jaga kebersihan
diri, menjaga stamina tubuh dengan makan makanan yang bergizi dan berolahraga serta cuci
tangan sebelum makan, melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur, bila mempunyai
keluhan sakit saat menelan segera memeriksakan ke Unit Pelayanan Kesehatan terdekat.

A. Konsep Terjadinya Penyakit


1. Segitiga Epidemiologi
Segitiga epidemiologi (trias epidemiologi) merupakan konsep dasar epidemiologi yang
memberikan gambaran tentang hubungan antara tiga faktor utama yang berperan dalam

4
terjadinya penyakit atau masalah kesehatan. Segitiga ini merupakan gambaran interaksi
antara tiga faktor yakni host (tuan rumah/penjamu), agent (faktor penyebab), environment
(lingkungan). Timbulnya penyakit berkaitan dengan terjadinya ketidakseimbangan
interaksi antara ketiga faktor ini. Keterhubungan antara penjamu, agen, dan lingkungan ini
merupakan satu kesatuan dinamis yang berada keseimbangan (equilibrium) pada seorang
individu yang sehat. Jika terjadi gangguan terhadap keseimbangan hubungan segitiga ini,
maka akan menimbulkan status sakit.
Gangguan keseimbangan yang memungkinkan terjadinya penyakit berkaitan dengan :
1. Terjadinya penjamu yang rentan (susceptible host)
2. Keterpaparan oleh faktor agen yang potensial berisiko (faktor risiko)
3. Keadaan perubahan lingkungan yang mendukung keterpaparan oleh agent dan
penjamu yang makin rentan.
Keadaan ini dapat digambarkan pada gambar berikut.

perubahan
Lingkungan

Risiko
Sakit
Penjamu
keterpapara
n Agent
yang
Rentan

Kondisi tidak seimbangini sebenarnya berasal dari keadaan normal (sehat) dimana terjadi
keseimbangan antara ketiga faktor epidemiologi, seperti digambarkan pada gambar berikut.
mu
Penja

Agen

Lingkung
an

Selanjutnya sakit bisa terjadi jika ada interaksi negatif atau yang merugikan penjamu
seperti gambar berikut.

5
Agen

penjamu Lingkungan
Sakit

a. Faktor Penjamu (host = tuan rumah)


Penjamu adalah manusia atau makhluk hidup lainnya yang menjadi tempat
terjadinya proses alamiah penyebab penyakit. Faktor penjamu yang berkaitan dengan
kejadian penyakit dapat berupa :
a. Genetik : misalnya sickle cell disease, DM, asma, hipertensi
b. Umur : ada kecenderungan penyakit menyerang umur tertentu (osteoporosis)
c. Gender : ditemukan penyakit yang terjadi lebih banyak atau hanya mungkin pada
salah satu gender(ca. servik)
d. Suku/ras/warna kulit : dapat ditemukan perbedaan antara ras kulit putih dan kulit
hitam di Amerika
e. Keadaan fisiologi tubuh : kelelahan, kehamilan, pubertas, stres, atau keadaan gizi
f. Keadaan imunologis : kekebalan yang diperoleh karena adanya infeksi sebelumnya,
memperoleh antibodi dari ibu, atau pemberian kekebalan buatan (vaksinasi)
g. Tingkah laku (behaviour) : gaya hidup, personal hygiene, hubungan antarpribadi,
merokok, napza dan rekreasi.

b. Faktor Agen (faktor penyebab)


Agen adalah suatu unsur, organisme hidup atau kuman infektif yang dapat
menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Pada beberapa penyakit agen ini adalah
sendiri, misalnya padapenyakit-penyakit infeksi. Sedangkan yang lain bisa terdiri dari
beberapa agen yang bekerja sama , misalnya pada penyakit kanker. Yang dapat
dimasukkan sebagai faktor agen adalah :
a. Faktor nutrisi (gizi) : bisa dalam bentuk kelebihan gizi, misalnya tinggi kadar
kolesterol atau bisa dalam bentuk kekurangan gizi baik lemak, protein,dan vitamin.
b. Penyebab kimiawi : misalnya zat-zat beracun seperti pengawet, pewarna, karbon
monoksida, asbes, cobalt, atau zat allergen.
c. Penyebab fisik : misalnya radiasi dan traumamekanik (pukulan, tabrakan).
d. Penyebab biologis:
 Metazoa : cacing tambang, cacing gelang, schitosomiasis.
 Protozoa : amoeba, malaria.
 Bakteri : typhoid, siphilis, pneumonia, tuberculosis.
 Fungi (jamur) : histoplasmosis, taenia pedis.

6
 Rickettsia : Rocky mountain spotted fever.
 Virus : campak, cacar (smallpox), poliomyelitis
Konsep faktor agen ini secara klasik memang hanya didefinisikan sebagai
organisme hidup atau kuman infektif yang dapat menyebabkan penyakit. Pengertian
agen ini tentunya hanya sebatas penyebab untuk penyakit infeksi. Dalam pengertian
klinik, faktor agen ini setara maksudnya atau penggunaanya dengan istilah etiologi. Dari
segi epidemiologi terjadi perkembangan konsep faktor agen ini dengan menggunakan
terminologi faktor risiko (risk factors). Istilah faktor risiko mencakup seluruh faktor
yang dapat memberi kemungkinan penyebab penyakit.

c. Faktor Lingkungan
Adalah semua faktor luar dari suatu individu yang dapat berupa lingkungan fisik,
biologis, dan sosial. Yang tergolong faktor lingkungan meliputi:
1) Lingkungan fisik
Keadaan fisik sekitar manusia yang berpengaruh terhadap manusia baik secara
langsung, maupun terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia.
Lingkungan fisik (termasuk unsur kimiawi serta radiasi) meliputi :
 Udara keadaan cuaca, geografis, dan golongan
 Air, baik sebagai sumber kehidupan maupun sebagai bentuk pemencaran pada
air, dan
 Unsur kimiawi lainnya pencemaran udara, tanah dan air, radiasi dan lain
sebagainya.
Lingkungan fisik ini ada yang termasuk secara alamiah tetapi banyak pula yang
timbul akibat manusia sendiri.

2) Lingkungan biologis
 Beberapa mikroorganisme patogen dan tidak patogen
 Vektor pembawa infeksi
 Berbagai binatang dan tumbuhan yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia,
baik sebagai sumber kehidupan (bahan makanan dan obat-obatan),maupun
sebagai reservoir/sumber penyakit atau pejamu antara (host intermedia) ; dan
 sekitar manusia yang berfungsi sebagai vektor penyakit tertentu terutama
penyakit menular.
Lingkungan biologis tersebut sangat berpengaruh dan memegang peranan yang
penting dalam interaksi antara manusia sebagai pejamu dengan unsur penyebab,
baik sebagai unsur lingkungan yang menguntungkan manusia (sebagai sumber
kehidupan) maupun yang mengancam kehidupan / kesehatan manusia.
3) Lingkungan sosial
Semua bentuk kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik, sistem organisasi.
Serta instusi/peraturan yang berlaku bagi setiap individu yang membentuk
masyarakat tersebut. Lingkungan sosial ini meliputi :
 hukum, administrasi dan lingkungan sosial politik, serta sistem ekonomi yang
berlaku
 Bentuk organisasi masyarakat yang berlaku setempat
 Sistem pelayanan kesehatanserta kebiasaan hidup sehat masyarakat setempat
 Kebiasaan hidup masyarakat
 Kepadatan penduduk. Kepadatan rumah tangga, serta berbagai sistem kehidupan
sosial lainnya.

7
 berupa migrasi/urbanisasi, lingkungan kerja, keadaan perumahan, keadaan sosial
masyarakat (kekacauan, bencana alam, perang, banjir)

Interaksi Agen, Host, dan Lingkungan:

1. Interaksi antara agen penyakit dan lingkungan


 Keadaan dimana agen penyakit langsung dipengaruhi oleh lingkungan
dan terjadi pada saat pre-patogenesis dari suatu penyakit.
 Misalnya: Viabilitas bakteri terhadap sinar matahari, stabilitas vitamin
sayuran di ruang pendingin, penguapan bahan kimia beracun oleh proses
pemanasan.
2. Interaksi antara Host dan Lingkungan
 Keadaan dimana manusia langsung dipengaruhi oleh lingkungannya
pada fase pre-patogenesis.
 Misalnya: Udara dingin, hujan, dan kebiasaan membuat dan
menyediakan makanan.
3. Interaksi antara Host dan Agen penyakit
 Keadaan dimana agen penyakit menetap, berkembang biak dan dapat
merangsang manusia untuk menimbulkan respon berupa gejala penyakit.
 Misalnya: Demam, perubahan fisiologis dari tubuh, pembentukan
kekebalan, atau mekanisme pertahanan tubuh lainnya.
 Interaksi yang terjadi dapat berupa sembuh sempurna, cacat,
ketidakmampuan, atau kematian.
4. Interaksi Agen penyakit, Host dan Lingkungan
 Keadaan dimana agen penyakit, manusia, dan lingkungan bersama-sama
saling mempengaruhi dan memperberat satu sama lain, sehingga
memudahkan agen penyakit baik secara langsung atau tidak langsung
masuk ke dalam tubuh manusia.
 Misalnya: Pencemaran air sumur oleh kotoran manusia, dapat
menimbulkan Water Borne Disease
Contoh segitiga epidemiologi pada penyakit diare

8
H

Keadaan dimana agent penyakit yang menetap, berkembang biak dan


dapat merangsang manusia untuk menimbulkan penyakit.
Agent:
1. Bakteri,
Host: manusia
Lingkungan:
1. Tidak memadainya penggunaan air bersih
2. Air yang tercemar oleh tinja
3. Pembuangan tinja yang tidak hygenis
4. Kebersihan perorangan dan lingkungan yang jelek
5. Penyiapan dan makanan yang tidak semestinya
2. Karakteristik Segitiga Epidemiologi
Ketiga faktor dalam trias epidemiologi terus-menerus berinteraksi satu sama lainnya.
Jika interaksinya seimbang, terciptalah keadaan sehat. Begitu terjadi gangguan
keseimbangan, muncul penyakit. Terjadinya gangguan keseimbangan bermula dari
perubahan unsur-unsur dalam trias tersebut. Perubahan unsur trias yang berpotensi
menyebabkan kesakitan tergantung pada karakteristik dari ketiganya dan interaksi antara
ketiganya.
a. Karakteristik Penjamu
1) Resistensi : kemampuan dari penjamu untuk bertahan terhadap suatu infeksi.
Terhadap suatu infeksi kuman tertentu, manusia mempunyai mekanisme pertahanan
tersendiri dalam menghadapinya.
2) Imunitas: kesanggupan host untuk mengembangkan suatu respon imunologis, dapat
secara alamiah maupun perolehan (non-alamiah), sehingga tubuh kebal terhadap
suatu penyakit tertentu. Selain mempertahankan diri, padajenis-jenis penyakit
tertentumekanisme pertahanan tubuh dapat menciptakan kekebalan tersendiri.
Misalnya campak, manusia mempunyai kekebalan seumur hidup, mendapat munitas
yang tinggi setelahterserang campak, sehingga seusai kena campak sekali maka akan
kebal seumur hidup.
3) lnfektifnes (infectiousness) : potensi penjamu yang terinfeksi untuk menularkan
penyakit kepada orang lain. Pada keadaan sakit maupunsehat, kuman yang berada
dalam tubuh manusia dapat berpindah kepada manusia dan sekitarnya.
b. Karakteristik Agen

9
1) Infektivitas : kesanggupan dan organisme untuk beradaptasi sendiri terhadap
lingkungan dan penjamu untuk mampu tinggal dan berkembang biak (multiply)
dalam jaringan penjamu. Umumnya diperlukan jumlah tertentu dan suatu
mikroorganisma untuk mampu menimbukan infeksi terhadap penjamunya. Dosis
infektivitas minimum (minimum infectivious dose) adalah jumlah minimal organisma
yang dibutuhkanuntuk menyebabkan infeksi.jumlah ini berbeda antara berbagai
spesies mikroba dan antara individu.
2) Patogenesitas : kesanggupan organisme untuk menimbulkan suatu reaksi klinik
khusus yang patologis setelah terjadinya infeksi pada penjamu yang diserang.
Dengan perkataanlain, jumlah penderita dibagi dengan jumlah orang yang terinfeksi,
Hampir semua orang yang terinfeksi dengan virus smallpox menderita penyakit (high
pathogenicthy), sedangkan orang yang terinfeksi poliovirus tidak semua jatuh sakit
(low pathogenicity).
3) Virulensi : kesanggupan organisme tertentu untuk menghasilkan reaksi patologis
yang berat yang selanjutnya mungkin menyebabkan kematian. Virulensi kuman
menunjukkan beratnya (severity) penyakit.
4) Toksisitas : kesanggupan organisme untuk memproduksi reaksi kimia yang toksis
dan substansi kimia yang dibuatnya. Dalam upaya merusak jaringan untuk
menyebabkan penyakit berbagai kuman mengeluarkan zat toksis.
5) Invasitas : kemampuan organisme untuk melakukan penetrasi dan menyebar setelah
memasuki jaringan.
6) Antigenisitas : kesanggupan organisme untuk merangsang reaksi imunologis dalam
penjamu. Beberapa organisma mempunyai antigenisitas Iebih kuat dibanding yang
lain. Jika menyerang pada aliran darah (misalnya virus measles)akan lebih
merangsang immunoresponse dan yang hanya menyerang permukaan membran
(misalnya gonococcus).

c. Karakteristik Lingkungan

1) Topografi : situasi lokasi tertentu, baik yang natural maupun buatan manusia yang
mungkin mempengaruhi terjadinya dan penyebaran suatu penyakit tertentu.
2) Geograuis : keadaan yang berhubungan dengan struktur geologi dan bumi yang
berhubungan dengan kejadian penyakit.

3. Segitiga Distribusi Epidemiologi


Segitiga atau tiga faktor yang dapat dipakai untuk menerangkan distribusi epidemiologi
adalah person, tempat, dan waktu. Ketiga faktor ini yang membentuk gambaran distribusi
masalah atau penyakit. Informasi PPT (person, place, time) berguna untuk menggambarkan
adanya perbedaan dalam keterpaparan dan susceptibilitas. Artinya jika ada perbedaan
dalam PPT maka itu dapat menjadi petunjuk adanya perbedaan paparan (exposure) agen
dan kepekaan (susceptibiity) penjamu. Perbedaan ini dapat dipakai sebagai petunjuk
tentang sumber, agen yang bertanggung jawab, transmisi, dan penyebaran suatu penyakit.
a. Faktor Person

10
Person adalah karakteristik dari individu yang mempengaruhi keterpaparan
yang mereka dapatkan serta susceptibilitasnya terhadap penyakit. Person yang
karakteristiknya mudah terpapar dan peka terhadap suatu penyakit akan mudah
jatuh sakit. Karakteristik dari person ini bisa berupa faktor genetik, umur, jenis
kelamin, pekerjaan, kebiasaan, dan status sosial ekonomi besarnya keluarga,
struktur keluarga dan paritas.

1. Umur
Variabel yang selalu diperhatikan didalam penyelidikan-penyelidikan
epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian didalam hampir
semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur.

Dengan cara ini orang dapat membacanya dengan mudah dan melihat
pola kesakitan atau kematian menurut golongan umur. Persoalan yang
dihadapi adalah apakah umur yang dilaporkan tepat, apakah panjangnya
interval didalam pengelompokan cukup untuk tidak menyembunyikan
peranan umur pada pola kesakitan atau kematian dan apakah
pengelompokan umur dapat dibandingkan dengan pengelompokan umur
pada penelitian orang lain.

Didalam mendapatkan laporan umur yang tepat pada masyarakat


pedesaan yang kebanyakan masih buta huruf hendaknya memanfaatkan
sumber informasi seperti catatan petugas agama, guru, lurah dan
sebagainya. Hal ini tentunya tidak menjadi soal yang berat dikala
mengumpulkan keterangan umur bagi mereka yang telah bersekolah.

2. Jenis Kelamin
Angka-angka dari luar negeri menunjukkan bahwa angka kesakitan
lebih tinggi dikalangan wanita sedangkan angka kematian lebih tinggi
dikalangan pria, juga pada semua golongan umur. Untuk Indonesia masih
perlu dipelajari lebih lanjut. Perbedaan angka kematian ini, dapat
disebabkan oleh faktor-faktor intinsik.
Yang pertama diduga meliputi faktor keturunan yang terkait dengan
jenis kelamin atau perbedaan hormonal sedangkan yang kedua diduga oleh
karena berperannya faktor-faktor lingkungan (lebih banyak pria mengisap
rokok, minum minuman keras, candu, bekerja berat, berhadapan dengan
pekerjaan-pekerjaan berbahaya, dan seterusnya).
Sebab-sebab adanya angka kesakitan yang lebih tinggi dikalangan
wanita, di Amerika Serikat dihubungkan dengan kemungkinan bahwa
wanita lebih bebas untuk mencari perawatan. Di Indonesia keadaan itu
belum diketahui. Terdapat indikasi bahwa kecuali untuk beberapa penyakit
alat kelamin, angka kematian untuk berbagai penyakit lebih tinggi pada
kalangan pria.
3. Kelas Sosial
Kelas sosial adalah variabel yang sering pula dilihat hubungannya
dengan angka kesakitan atau kematian, variabel ini menggambarkan tingkat
kehidupan seseorang. Kelas sosial ini ditentukan oleh unsur-unsur seperti
pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan banyak contoh ditentukan pula oleh
tempat tinggal. Karena hal-hal ini dapat mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan termasuk pemeliharaan kesehatan maka tidaklah mengherankan

11
apabila kita melihat perbedaan-perbedaan dalam angka kesakitan atau
kematian antara berbagai kelas sosial.
Masalah yang dihadapi dilapangan ialah bagaimana mendapatkan
indikator tunggal bagi kelas sosial. Di Inggris, penggolongan kelas sosial ini
didasarkan atas dasar jenis pekerjaan seseorang yakni I (profesional), II
(menengah), III (tenaga terampil), IV (tenaga setengah terampil) dan V
(tidak mempunyai keterampilan).
Di Indonesia dewasa ini penggolongan seperti ini sulit oleh karena jenis
pekerjaan tidak memberi jaminan perbedaan dalam penghasilan. Hubungan
antara kelas sosial dan angka kesakitan atau kematian kita dapat
mempelajari pula dalam hubungan dengan umur, dan jenis kelamin.
4. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan dapat berperan didalam timbulnya penyakit melalui
beberapa jalan yakni :
a. Adanya faktor-faktor lingkungan yang langsung dapat menimbulkan
kesakitan.Seperti bahan-bahan kimia, gas-gas beracun, radiasi, benda-
benda fisik yang dapat menimbulkan kecelakaan dan sebagainya.
b. Situasi pekerjaan yang penuh dengan stress (yang telah dikenal sebagai
faktor yang berperan pada timbulnya hipertensi, ulkus lambung).
c. Ada tidaknya “gerak badan” didalam pekerjaan; di Amerika Serikat
ditunjukkan bahwa penyakit jantung koroner sering ditemukan di
kalangan mereka yang mempunyai pekerjaan dimana kurang adanya
“gerak badan”.
d. Karena berkerumun di satu tempat yang relatif sempit maka dapat terjadi
proses penularan penyakit antara para pekerja.
e. Penyakit karena cacing tambang telah lama diketahui terkait
denganpekerjaan di tambang.

Penelitian mengenai hubungan jenis pekerjaan dan pola kesakitan


banyak dikerjakan di Indonesia terutama pola penyakit kronis misalnya
penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan kanker. Jenis pekerjaan apa saja
yang hendak dipelajari hubungannya dengan suatu penyakit dapat pula
memperhitungkan pengaruh variabel umur dan jenis kelamin.

5. Penghasilan
Yang sering dilakukan ialah menilai hubungan antara tingkat
penghasilan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan.
Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin
oleh karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat, membayar
transport, dan sebagainya.
6. Golongan Etnik
Berbagai golongan etnik dapat berbeda didalam kebiasaan makan,
susunan genetika, gaya hidup dan sebagainya yang dapat mengakibatkan
perbedaan-perbedaan didalam angka kesakitan atau kematian.
Didalam mempertimbangkan angka kesakitan atau kematian suatu
penyakit antar golongan etnik hendaknya diingat kedua golongan itu harus
distandarisasi menurut susunan umur dan kelamin ataupun faktor-faktor lain
yang dianggap mempengaruhi angka kesakitan dan kematian itu.
Penelitian pada golongan etnik dapat memberikan keterangan
mengenai pengaruh lingkungan terhadap timbulnya suatu penyakit. Contoh

12
yang klasik dalam hal ini ialah penelitian mengenai angka kesakitan kanker
lambung.
Didalam penelitian mengenai penyakit ini di kalangan penduduk asli
di Jepang dan keturunan Jepang di Amerika Serikat, ternyata bahwa
penyakit ini menjadi kurang prevalen di kalangan turunan Jepang di
Amerika Serikat. Ini menunjukkan bahwa peranan lingkungan penting
didalam etiologi kanker lambung.

7. Status Perkawinan
Dari penelitian telah ditunjukkan bahwa terdapat hubungan antara angka
kesakitan maupun kematian dengan status kawin, tidak kawin, cerai dan
janda; angka kematian karena penyakit-penyakit tertentu maupun kematian
karena semua sebab makin meninggi dalam urutan tertentu.
Diduga bahwa sebab-sebab angka kematian lebih tinggi pada yang tidak
kawin dibandingkan dengan yang kawin ialah karena ada kecenderungan
orang-orang yang tidak kawin kurang sehat. Kecenderungan bagi orang-
orang yang tidak kawin lebih sering berhadapan dengan penyakit, atau
karena adanya perbedaan-perbedaan dalam gaya hidup yang berhubungan
secara kausal dengan penyebab penyakit-penyakit tertentu.

8. Besarnya Keluarga
Didalam keluarga besar dan miskin, anak-anak dapat menderita oleh
karena penghasilan keluarga harus digunakan oleh banyak orang.
9. Struktur Keluarga
Struktur keluarga dapat mempunyai pengaruh terhadap kesakitan
(seperti penyakit menular dan gangguan gizi) dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan. Suatu keluarga besar karena besarnya tanggungan secara relatif
mungkin harus tinggal berdesak-desakan didalam rumah yang luasnya
terbatas hingga memudahkan penularan penyakit menular di kalangan
anggota-anggotanya; karena persediaan harus digunakan untuk anggota
keluarga yang besar maka mungkin pula tidak dapat membeli cukup
makanan yang bernilai gizi cukup atau tidak dapat memanfaatkan fasilitas
kesehatan yang tersedia dan sebagainya.
10. Paritas
Tingkat paritas telah menarik perhatian para peneliti dalam hubungan
kesehatan si ibu maupun anak. Dikatakan umpamanya bahwa terdapat
kecenderungan kesehatan ibu yang berparitas rendah lebih baik dari yang
berparitas tinggi, terdapat asosiasi antara tingkat paritas dan penyakit-
penyakit tertentu seperti asma bronchiale, ulkus peptikum, pilorik stenosis
dan seterusnya. Tapi kesemuanya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

b. Faktor Place

Faktor tempat ini berkaitan dengan karakteristik geografis. Informasi tempat


bisa berupa batas alamiah seperti sungai dan gunung, atau bisa juga berdasarkan
batas administratif dan batas-batas historis/komuniti. Perbedaan distribusi penyakit
menurut tempat ini memberikan petunjuk pola perbedaan penyakit yang dapat
menjadi pegangan dalam mencari faktor-faktor lain yang belum diketahui.
Pengetahuan mengenai distribusi geografis dari suatu penyakit berguna untuk

13
perencanaan pelayanan kesehatan dan dapat memberikan penjelasan mengenai
etiologi penyakit.
Perbandingan pola penyakit sering dilakukan antara :
1. Batas daerah-daerah pemerintahan
2. Kota dan pedesaan
3. Daerah atau tempat berdasarkan batas-batas alam (pegunungan,
sungai, laut atau padang pasir)
4. Negara-negara
5. Regional
Untuk kepentingan mendapatkan pengertian tentang etiologi penyakit,
perbandingan menurut batas-batas alam lebih berguna daripada batas-batas
administrasi pemerintahan.
Hal-hal yang memberikan kekhususan pola penyakit di suatu daerah dengan
batas-batas alam ialah : keadaan lingkungan yang khusus seperti temperatur,
kelembaban, turun hujan, ketinggian diatas permukaan laut, keadaan tanah, sumber air,
derajat isolasi terhadap pengaruh luar yang tergambar dalam tingkat kemajuan
ekonomi, pendidikan, industri, pelayanan kesehatan, bertahannya tradisi-tradisi yang
merupakan hambatan-hambatan pembangunan, faktor-faktor sosial budaya yang tidak
menguntungkan kesehatan atau pengembangan kesehatan, sifat-sifat lingkungan
biologis (ada tidaknya vektor penyakit menular tertentu, reservoir penyakit menular
tertentu, dan susunan genetika), dan sebagainya.
Pentingnya peranan tempat didalam mempelajari etiologi suatu penyakit
menular dapat digambar dengan jelas pada penyelidikan suatu wabah, yang akan
diuraikan nanti. Didalam membicarakan perbedaan pola penyakit antara kota dan
pedesaan, faktor-faktor yang baru saja disebutkan diatas perlu pula diperhatikan. Hal
lain yang perlu diperhatikan selanjutnya ialah akibat migrasi ke kota atau ke desa
terhadap pola penyakit, di kota maupun di desa itu sendiri.
Migrasi antar desa tentunya dapat pula membawa akibat terhadap pola dan
penyebaran penyakit menular di desa-desa yang bersangkutan maupun desa-desa di
sekitarnya.
Peranan migrasi atau mobilitas geografis didalam mengubah pola penyakit di
berbagai daerah menjadi lebih penting dengan makin lancarnya perhubungan darat,
udara dan laut; lihatlah umpamanya penyakit demam berdarah.
Pentingnya pengetahuan mengenai tempat dalam mempelajari etiologi suatu
penyakit dapat digambarkan dengan jelas pada penyelidikan suatu wabah dan pada
menyelidikan-penyelidikan mengenai kaum migran. Didalam memperbandingkan
angka kesakitan atau angka kematian antar daerah (tempat) perlu diperhatikan terlebih
dahulu di tiap-tiap daerah (tempat) :
1. Susunan umur
2. Susunan kelamin
3. Kualitas data
4. Derajat representatif dari data terhadap seluruh penduduk.

Walaupun telah dilakukan standarisasi berdasarkan umur dan jenis kelamin,


memperbandingkan pola penyakit antar daerah di Indonesia dengan menggunakan data
yang berasal dari fasilitas-fasilitas kesehatan, harus dilaksanakan dengan hati-hati,
sebab data tersebut belum tentu representatif dan baik kualitasnya.
Variasi geografis pada terjadinya beberapa penyakit atau keadaan lain mungkin
berhubungan dengan 1 atau lebih dari beberapa faktor sebagai berikut :

14
1. Lingkungan fisis, kemis, biologis, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda dari
suatu tempat ke tempat lainnya.
2. Konstitusi genetis atau etnis dari penduduk yang berbeda, bervariasi seperti
karakteristik demografi.
3. Variasi kultural terjadi dalam kebiasaan, pekerjaan, keluarga, praktek higiene
perorangan dan bahkan persepsi tentang sakit atau sehat.
4. Variasi administrasi termasuk faktor-faktor seperti tersedianya dan efisiensi
pelayanan medis, program higiene (sanitasi) dan lain-lain.
Banyaknya penyakit hanya berpengaruh pada daerah tertentu. Misalnya
penyakit demam kuning, kebanyakan terdapat di Amerika Latin. Distribusinya
disebabkan oleh adanya “reservoir” infeksi (manusia atau kera), vektor (yaitu Aedes
aegypty), penduduk yang rentan dan keadaan iklim yang memungkinkan suburnya agen
penyebab penyakit. Daerah dimana vektor dan persyaratan iklim ditemukan tetapi tidak
ada sumber infeksi disebut “receptive area” untuk demam kuning.
Contoh-contoh penyakit lainnya yang terbatas pada daerah tertentu atau yang
frekuensinya tinggi pada daerah tertentu, misalnya Schistosomiasis di daerah dimana
terdapat vektor snail atau keong (Lembah Nil, Jepang), gondok endemi (endemic
goiter) di daerah yang kekurangan yodium.

c. Faktor Time
Waktu kejadian penyakit dapat dinyatakan dalam jam, hari, bulan, atau tahun. Informasi
waktu bisa menjadi pedoman tentang kejadian yang timbul dalam masyarakat. Misalnya
banyaknya kelahiran dalam setahun dapat menunjukkan keberadaan faktor-faktor terkait
lainnya seperti banyaknya perkawinan dan perceraian, banyaknya anak yang diinginkan,
keadaan ekonomi, migrasi yang terjadi, pelayanan abortus, dan program Keluarga
Berencana.
4. Model Roda
Model ini digambarkan dengan lingkaran yang didalamnya terdapat lingkaran yang
lebih kecil. Lingkaran yang besar sebagai faktor eksternal dan lingkaran yang kecil sebagai
faktor internalnya. Faktor internalnya (host) menyatakan bahwa suatu penyakit disebabkan
oleh adanya interaksi antara genetic dengan lingkungannya. Faktor internal ini juga
berkaitan dengan kepribadian individu dimana kepribadian tertentu akan meningkatkan
resiko penyakit tertentu. Faktor eksternal pada model ini adalah lingkungan, yang juga
dibedakan menjadi lingkungan biologi (agen, reservoir, vector, binatang atau tumbuhan),
fisik (curah hujan, kelembaban, atmosfer, bahan kimia, panas, cahaya, udara, suhu) dan

15
social (politik, budaya, ekonomi dan psikologi). Model ini biasanya digunakan untuk
menggambarkan enyakit yang penyebabnya tidak spesifik, seperti penyakit jantung, stroke,
hipertensi, kanker. Dimana menekankan faktor lingkungan sebagai penyebab terjadinya
penyakit.
5. Kejadian Penyakit Dalam Komuniti

Jika seseorang sakit atau menderita penyakit tertentu biasa disebut pasien, tetapi jika
beberapa orang, kelompok orang atau suatu masyarakat tersebut terserang penyakit maka
dikenal beberapa istilah.
a. Endemis : suatu keadaan dimana penyakit menetap berada dalam masyarakat
pada suatu tempat atau populasi tertentu
b. Epidemic : terjadinya penyakit dalam komuniti atau daerah tertentu dalam
jumlah yang melebihi atas jumlah normal atau biasa
c. Pandemic : epidemic yang terjadi dalam daerah yang sangat luas dan biasanya
mencakup proporsi populasi yang banyak
d. Kasus : seorang anggota masyarakat yang menderita penyakit yang telah
didiagnosis terhadapnya, bukan sekedar terinfeksi
e. Kasus indeks : kasus pertama yang diperoleh atau mendapat perhatian dalam
laporan kejadian penyakit/wabah atau penelitian.
Kasus primer : kasus pertama yang menjadi sumber penyakit menular terjadi dalam
komuniti.

DAFTAR PUSTAKA

Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Guilfoile PG. Future prospects of diphtheria. In : Guilfoile PG. Deadly diseases and
epidemics diphtheria. United States of America : Chelsea house publishers; 2009.p. 97 – 105.

http://dc308.4shared.com/doc/1J8IFAiF/preview.html diakses pada 30 November 2013 15:15


http://www.gentongmas.com/berita/1078-cara-pencegahan-tetanus.html diakses pada 1
Desember 2013 08:51
http://www.kimiafarmaapotek.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1435:
penyakit-difteri&catid=223:penyakit-umum&Itemid=82. Diakses pada 1 Desember 2013
10:20
http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422 diakses pada 30
November 2013 16:00
http://www.scribd.com/doc/13758759/DIFTERI diakses pada 30 November 2013 13:00
http://www.scribd.com/doc/52023858/PERTUSIS diakses pada 30 November 2013 13:36
http://www.scribd.com/doc/7477552/Tetanus diakses pada 30 November 2013 13:52
I Dewa Ayu Vanessa. Tetanus. Skripsi (Online). Diambil dari
: http://www.scribd.com/doc/7432195/Laporan-Kasus-TETANUS

16
Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis Edisi 2,
Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 2008. Hal 331 – 337.

James D. Cherry. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May
2005, pp. 1422-1427.

Kiking Ritarwan. Tetanus. Jurnal (Online). 2004 : Diambil dari


: http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf
Lee GM, Lett S, Schauer S, et al. Societal costs and morbidity of pertussis
in adolescents and adults. Clin Infect Dis. 2004;39:1572–1580

Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson Textbook Of
Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000. Hal
: 960 – 965

Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1, Cetakan III.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal 20 -33.

Strebel P, Nordin J, Edwards K, et al. Population-based incidence of pertussis among


adolescents and adults, Minnesota, 1995–1996. J Infect Dis. 2001;183:1353–1359

DAFTAR PUSTAKA

Nadjib, M.Bustan. 2012.Pengantar Epidemiologi.Jakarta : Rineka Cipta.

Rajab, Wahyudin. 2009. Buku Ajar Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC

https://coretankecilhanfiz.wordpress.com/2014/03/24/konsep-dasar-timbulnya-penyakit/

http://azharasyafia.blogspot.co.id/2012/05/konsep-dasar-epidemiologi-penyakit.html

Buku Epidemiologi Lingkungan Poltekkes Kemenkes Jakarta II

17

Anda mungkin juga menyukai