Anda di halaman 1dari 90

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah (UU Pemda), yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah

penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan yang

dimaksud dengan Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota,

dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. UU

Pemda memberikan hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau yang

disebut dengan otonomi daerah.

Penyelenggaraan otonomi daerah yang sehat dapat diwujudkan apabila

aparatur pemerintah daerah memiliki kemampuan dan mentalitas yang baik.

Menurut S.P. Siagian, untuk menciptakan aparatur pemerintah daerah yang

profesional diperlukan beberapa langkah, yaitu:1

1
Martin Jimung, Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah dalam Perspektif Otonomi
Daerah (Yayasan Pustaka Nusatama, 2005) 250-251.

1|P a ge

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


1. Paradigma di bidang kelembagaan agar aparatur pemerintahan daerah

semakin mampu menjalankan fungsinya dengan tingkat efisiensi,

efektivitas, dan produktivitas tinggi;

2. Paradigma pengelolaan sumber daya manusia;

3. Pengembangan sistem kerja; dan

4. Pengembangan citra.

Kesemua langkah tersebut di atas ditujukan untuk menciptakan aparatur

pemeritahan daerah yang profesional dengan harapan akan mencegah

penyelewengan kewenangan yang mereka miliki, misalnya salah satunya yang

menjadi sorotan masyarakat adalah adanya praktik-praktik korupsi yang terjadi

di lingkungan pemerintah daerah yang dampaknya merugikan bagi pemerintah

daerah dengan berkurangnya pendapatan daerah dan menghambat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Menurut Robert Klitgaard dkk. korupsi sudah merupakan masalah dunia,

namun di berbagai belahan dunia korupsi paling banyak terjadi di tingkat lokal,

dalam pemerintahan daerah.2 Pemerintah daerah seringkali dipandang tidak

mampu melaksanakan wewenang dan kewajibannya dengan baik sehingga

terjadi penyelewengan uang rakyat untuk kepentingan-kepentingan pribadi.

Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai wewenang

untuk mengelola sumber pendapatan daerah, dalam hal ini pendapatan asli

daerah (PAD) dari pengelolaan perparkiran yang terdiri dari : pajak daerah dan

retribusi daerah.

Pendapatan daerah dari pengelolaan perparkiran berdasarkan Laporan

Pertanggungjawaban Walikota Bandung Tahun 2011 paling kecil dibanding

pendapatan lainnya seperti dari pajak reklame, pajak hiburan, pajak hotel, dan
2
Robert Klitgaard, Donald Maclean-Abaroa, dan H. Lindsay Parris, Penuntun
Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah (Yayasan Obor Indonesia, 2005) 1

2|P a ge

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


pajak restoran. Pendapatan daerah dari pengelolaan perparkiran baik pajak

parkir maupun retribusi parkir tidak mencapai target penerimaan yang

ditetapkan. Beberapa alasan tidak tercapainya target penerimaan dari

pengelolaan perparkiran antara lain : pengelola Mall menerapkan kebijakan free

parking, kurangnya kesadaran wajib pajak parkir dalam menyampaikan data

omzet penerimaan parkir, adanya penambahan target PAD dan terdapat titik

lokasi parkir yang dihilangkan serta posisi parkir yang diubah dari serong

menjadi sejajar. Bahkan dalam beberapa tahun yang lalu sebelum ada

penertiban oleh Pemerintah Kota Bandung pada tahun 2012, penetapan uang

parkir sangat bervariasi dan ditentukan oleh para pengelola parkir sendiri

termasuk besaran pada jam selanjutnya.

Walaupun pendapatan daerah dari pengelolaan perparkiran relatif kecil,

namun sesungguhnya potensial untuk ditingkatkan dan signifikan dapat

menyumbang PAD Kota Bandung. Tingkat kepemilikan dan atau jumlah

kendaraan kendaraan yang masuk di Kota Bandung relatif tinggi, terlebih lagi

pada setiap akhir pekan --seperti yang dapat kita amati-- Kota Bandung

menjadi tujuan liburan khususnya dari warga Jakarta.

Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Dinas Perparkiran Dishub Kota

Bandung, pendapatan setiap bulan sekitar Rp 348 juta dari target Rp 437 juta.

Hal tersebut berarti bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung kehilangan

pemasukan Rp 89 juta per bulan. Salah satu sebabnya adalah lemahnya

pengawasan perparkiran yang dilakukan oleh Pemkot Bandung dikarenakan

kurangnya personel pengawas dari Dinas Perhubungan sehingga berakibat

pendapatan per bulan dari sektor ini tidak sesuai dengan target yang

ditetapkan. Dampak lebih jauh, pendapatan daerah dari perparkiran tidak

bertambah. Pemkot Bandung selalu mematok target pemasukan dari sektor

3|P a ge

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


perparkiran ini Rp 6 miliar per tahun. Namun kenyataannya, perparkiran hanya

bisa menyumbang pendapatan asli daerah rata-rata Rp 4,5 miliar per tahun.3

Padahal menurut informasi Dinas Perhubungan Pemda Kota Bandung terdapat

227 titik atau ruas jalan yang dijadikan lahan parkir, yang mana dari 227 titik

parkir tersebut, 181 diantaranya dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah

(UPTD) Perparkiran Kota Bandung dengan jumlah juru parkir sebanyak 1.800

orang. Target 6 Milyar per tahun pun masih rendah, karena hasil studi dari

salah satu universitas menyatakan bahwa potensi pendapatan dari retribusi

parkir di Kota Bandung bisa mencapai Rp 15 miliar. Belum optimalnya

pendapatan daerah dari parkir, disamping kriteria penetapan target potensi

pendapatan parkir yang tidak akurat juga karena lemahnya pengawasan

sehingga titik parkir liar yang mengakibatkan pendapatan daerah dari sektor

perparkiran menjadi tidak optimal.

Berdasarkan laporan tersebut terdapat beberapa hal yang menjadi

permasalahan berkaitan dengan pengelolaan perparkiran, yaitu :

1. Tidak ada dasar atau landasan yang menjadi acuan dalam penetapan

target penerimaan daerah dari pengelolaan perparkiran baik dari

berdasarkan data wajib pajak parkir dan retribusi parkir.

2. Tampak adanya ruang untuk terjadi kebocoran atau penyelewenangan

dalam penerimaan pajak parkir.

3. Tidak ada analisis yang tajam dan akurat mengenai tidak tercapainya

target penerimaan daerah dari retribusi parkir bila dikaitkan dengan

praktik pungutan parkir yang terjadi.

Pengaturan mengenai pengelolaan perparkiran tampaknya belum secara

representatif dan komprehensif mengatur perparkiran dengan visi dan misi yang
3
Pendapatan Parkir Meleset Dari Target, www.kompas.com, Senin, 12 April 2010,
diunduh pada tanggal 2 Maret 2012.

4|P a ge

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


jelas dan tidak hanya dilihat dari aspek pendapatan daerah saja tetapi juga dari

aspek tata kota, keselamatan, keamanan, kenyamanan, ketertiban dan

kelancaran lalu lintas dan meningkatkan jasa pelayanan parkir bagi

masyarakat. Khusus untuk retribusi parkir, prosedur pemungutan dan setoran

hasil retribusi belum dikelola dengan baik.

Urgensi penelitian potensi korupsi dalam pengelolaan perparkiran adalah

untuk menunjukkan bahwa praktik-praktik korupsi dapat terjadi di semua

lapisan masyarakat dan menemukan modus dan pola terjadinya korupsi dalam

pengelolaan perparkiran dan mengoptimalkan potensi penerimaan pendapatan

daerah dari sektor perparkiran serta mencegah terjadinya korupsi dalam

penyelenggaraan perparkiran.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang “Potensi Korupsi Dalam Pengelolaan Dana

Perparkiran di Kota Bandung”.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Permasalahan penelitian yang akan dikaji adalah :

1. Bagaimanakah potensi terjadinya korupsi dalam pengelolaan dana

perparkiran di Kota Bandung ?

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam

pengelolaan dana perparkiran di kota Bandung ?

3. Bagaimanakah model pengelolaan perparkiran yang efektif dan efisien

mencegah terjadinya korupsi ?

5|P a ge

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


C. TUJUAN PENELITIAN

Sektor perparkiran memiliki potensi yang sangat besar dalam

menyumbang pendapatan daerah Kota Bandung. Tidak efektif dan efisiennya

pengelolaan perparkiran di Kota Bandung seperti peraturan yang belum dapat

mengakomodir pangelolaan perparkiran, belum memadainya sarana dan

prasana pendukung pengelolaan perparkiran, sampai masalah pengawasan,

mengakibatkan terjadinya penyimpangan di dalam pengelolaan perparkiran di

Kota Bandung, diduga sebagai sebab tidak optimalnya penerimaan dari sektor

ini.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan potensi korupsi yang

terjadi akibat penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan perparkiran di

Kota Bandung. Potensi korupsi tersebut meliputi jenis-jenis penyimpangan,

penyalahgunaan kekuasaan, modus, dan pola korupsi yang terjadi dalam

pengelolaan perparkiran, mulai dari pungutan oleh juru parkir sampai ke

pengelolaan dana parkir oleh pemerintah daerah.

Disamping potensi korupsi yang terjadi, juga akan dianalisis faktor-faktor

penyebab penyimpangan ini sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan dana perparkiran di

Kota Bandung serta diharapkan akan ditemukannya model pengelolaan

perparkiran yang efektif dan efisien guna mencegah terjadinya korupsi.

6|P a ge

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


BAB II

KORUPSI DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

2.1. Tindak Pidana Korupsi

a. Pengertian Korupsi

Korupsi sudah merambah ke berbagai aspek kehidupan manusia.

Korupsi tidak hanya terdapat dalam semua lapisan masyarakat tetapi

juga sistem politik, sistem ekonomi dan sosial. Korupsi ada baik dalam

pemerintahan otoriter maupun pemerintahan yang demokratis, bahkan

korupsi telah menembus jantung ekonomi pasar, yang menurut beberapa

ahli akan mencegah terjadinya korupsi. Korupsi telah mengacaukan

pengambilan keputusan, dan memberi imbalan pada orang yang korup

dan melakukan manipulasi.4 Menurut Syed Hussein Alatas masalah

korupsi adalah trans-sistemik, artinya korupsi terdapat dalam semua

sistem sosial : feodalisme, kapitalisme, komunisme, dan sosialisme.5

Oleh karena itu pula maka terdapat berbagai definisi korupsi yang dapat

kita temukan baik dari perspektif moral, ekonomi, politik, sosial, budaya,

dan tentunya hukum.

Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa Latin,

corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya

disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere,

suatu kata Latin yang berarti kebusukan, keburukan, kebejatan,

ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari

4
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi Yayasan Obor Indonesia, 2007) 4.
5
Ibid.

7|P a ge

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


6
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.

Dalam perspektif moral, korupsi diartikan sebagai segala sesuatu yang

merusak moral atau yang mencerminkan kerusakan moral. Tindakan

korupsi adalah tindakan yang menjauh dari yang baik, dari yang ideal.

Dalam perspektif ekonomi korupsi adalah pembayaran atau pengeluaran

yang mengangkangi aturan hukum yang berlaku. Dalam pengertian

politik, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik (politik) untuk

memperoleh keuntungan pribadi.7

Menurut Huntington, korupsi adalah perilaku menyimpang dari

public officer atau para pegawai dari norma-norma yang diterima dan

dianut oleh masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-

keuntungan pribadi.8 Senada dengan pengertian ini, Robert Klitgaard dkk

mendefinisikan korupsi sebagai menggunakan jabatan untuk

kepentingan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan.

Seseorang diberi wewenang atau kekuasaan untuk bertindak atas nama

lembaga, baik lembaga swasta, lembaga pemerintah atau lembaga

nirlaba.9

Secara sederhana korupsi didefinisikan sebagai menyalahgunakan

kekuasaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Korupsi mencakup

perilaku pejabat-pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri,

yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar

6
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional (PT. RajaGrafindo Persada, Edisi Revisi, 2005) 4
7
Reza A.A. Wattimena, Filsafat Anti Korupsi (Kanisius, 2012) 8.
8
Chaerudin et.all, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi, (Refika Aditama, 2008) 2
9
Robert Klitgaard, Donald Maclean-Abaroa, dan H. Lindsay Parris, Op.Cit., p. 2.

8|P a ge

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan

menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka.10

Dalam perspektif hukum definisi korupsi dapat dilihat dalam

Encyclopedia of Crime and Justice, pengertian corruption menunjuk

pada kata bribery yang mengandung arti : “the act or practice of

benefiting a person in order to betray a trust or to perform a duty meant

to be performed freely, bribery occurs in relation to a public official and

derivatively, in private transaction.11 Sedangkan dalam Black’s Law

Dictionary kata Corruption diartikan sebagai : “an act done with an inten

to give some advantage inconsistence with official duty and the right of

others. The of an offical or fiduciary person who unlawfully and wrongfully

uses his station or character to procure some benefit for himself or for

another person, contrary to duty and the rights of others. Dalam Blak’s

Law Dictionary selanjutnya juga menunjuk pada pengertian bribery

atau extortion.

Korupsi dalam pengertian politik dan hukum, pengertiannya pada

umumnya dikaitkan dengan pejabat publik, keuangan negara dan untuk

memperoleh keuntungan pribadi atau orang lain. Menurut Ulsaner secara

konseptual korupsi amat sulit untuk dijelaskan. Setiap definisi selalu

bermasalah, karena tidak cukup mewakili kerumitan arti kata itu. Dalam

penelitian digunakan pengertian korupsi dalam arti luas, yaitu

penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Kekuasan

publik disini diartikan sebagai kekuasaan yang diberikan oleh publik dan

10
Jeremy Pope, Op.Cit, p. 6-7.
11
Sanford H. Kadish, Encyclopedia of Crime and Justice (The Free Press, 1983)
278 dan 119.

9|P a ge

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


publik bisa berarti masyarakat ataupun organisasi-organisasi yang ada di

dalamnya.12

Di Indonesia korupsi sudah dipandang sebagai kejahatan yang luar

biasa, meluas, dan sistematis karena korupsi telah terjadi di semua

lapangan kehidupan dari yang paling rendah sampai tingkat tinggi.

Korupsi juga dipandang sudah melanggar hak-hak asasi sosial dan

ekonomi masyarakat dan menghambat pemerintah untuk menjalankan

pelayanan publik dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera

adil dan makmur serta merusak hasil-hasil pembangunan yang telah

dicapai.

Untuk memahami masalah korupsi dapat dilakukan dari berbagai

pendekatan seperti pendekatan sosiologis, ekonomi, politik, dan hukum.

Beberapa penulis sudah membahas masalah korupsi dari berbagai

pendekatan tersebut dan tetap mempunyai artinya tetap sesuai dengan

makna pokoknya. Pendekatan-pendekatan tersebut akan memberikan

kontribusi untuk melihat masalah korupsi secara komprehensif sehingga

dapat dihasilkan upaya penanggulangan korupsi yang lebih baik.

Banyak teori yang menjelaskan sebab-sebab terjadinya korupsi.

Menurut G. Jack Bologna korupsi disebabkan oleh 4 hal (dikenal dengan

teori GONE), yaitu :

G = Greek (tamak)

O = Opportunity (kesempatan)

N = Need (dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhannya)

E = Exposure (tindakan bila koruptor ditangkap).13

12
Reza A.A. Wattimena, Op.Cit., hlm. 10.
13
Hadi Setia Tunggal, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003 (Harvarindo, 2006) iii.

10 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Robert Klitgaard dkk. mengemukakan rumus : C = M + D – A.

Corruption (C) atau Korupsi sama dengan Monopoly power (M) atau

kekuasaan monopoli ditambah Discression by officials (D) atau

wewenang pejabat dikurangi Accountability (A) atau akuntabiitas. Jika

seseorang memegang monopoli atas sesuatu dan memiliki wewenang

untuk memutuskan siapa yang berhak mendapatkannya dan tidak ada

akuntabilitas dalam arti orang lain dapat menyaksikan apa yang

diputuskan oleh orang yang memegang wewenang itu, maka

kemungkinan besar akan kita temukan korupsi. Ini berlaku di sektor

swasta dan sektor pemerintah, bagi negara miskin dan negara kaya.14

Menurut para akuntan ada tiga kondisi yang menyebabkan

kecurangan, yang disebut fraud triangle, yaitu :

1) Incentives/pressure : manajemen atau karyawan lain memiliki insentif

atau ada tekanan untuk melakukan kecurangan;

2) Opportunities : keadaan memberikan peluang kepada manajemen

atau karyawan untuk melakuikan kecurangan.

3) attitudes/rationalization : sikap, karakater atau kumpulan nilai yang

ada, yang memperbolehkan manajemen atau karyawan melakukan

tindakan tidak jujur.15

Menurut Andi hamzah korupsi di Indonesia disebabkan oleh

beberapa hal, antara lain :

1) Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan

dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.

14
Robert Klitgaard, Donald Maclean-Abaroa, dan H. Lindsay Parris, Op.Cit., p. 29.
15
Hadi Setia Tunggal, Op.Cit., p. iii-iv.

11 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


2) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia merupakan

sumber atau sebab meluasnya korupsi.

3) Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurng efektif dan

efisien.

4) Modernisasi.16

Korupsi dapat terjadi dalam berbagai bidang kehidupan, antara lain :

1) Bidang politik, sasarannya adalah kekuasaan, misalnya dalam

pembentukan partai politik, pemilihan umum, dan komersialisasi

jabatan.

2) Bidang ekonomi, sasarannya adalah pendapatan misalnya dalam

transaksi bisnis, izin usaha, proyek.

3) Bidang hukum, sasarannya adalah peghindaran dari akibat-akibat

pelanggaran hukum, misalnya mempengaruhi proses peradilan,

produk hukum.

4) Bidang administrasi, sasarannya adalah kerapihan administrasi,

misalnya dalam administrasi keuangan : tanda bukti terima barang.

5) Bidang sosial, misalnya korupsi waktu, penyimpangan penyaluran

bantuan untuk bencana alam.17

Menurut Gunnar Myrdal korupsi tidak pernah membawa akibat positif

bagi kehidupan manusia. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh korupsi antara

lain :

1) Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang

mengenai kurangnya hasrat untuk terjun di dunia usaha dan kurang

tumbuhnya pasaran nasional.

16
Andi Hamzah, Op.Cit., p. 13-23.
17
Muljatno Sindhudarmoko, et.al., Ekonomi Korupsi, (Pustaka Quantum, 2001) 5-14

12 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


2) Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural dan pada

saat yang sama kesatuan negara bertambah lemah, karena turunnya

martabat atau kredibilitas pemerintah yang memiliki tendensi

membahayakan stabilitas politik.

3) Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial.18

b. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Upaya pemberantasan korupsi sepanjang sejarah Indonesia

Merdeka sesungguhnya telah dilakukan sejak lama melalui “Wet Boek

van Strafrecht voor Netherlandsch-Indie” pasal 209, 210, 387, 388, 415,

416, 417, 418, 419, 420, 423 dan 435. “Wet Boek van Strafrecht voor

Netherlandsch-Indie” ini berdasarkan Pasal VI Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1946 (selanjutnya disebut UU No. 1 Th 1946) telah diubah

namanya menjadi “Wetboek van Strafrecht” dapat pula disebut Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).. Di samping ketentuan-

ketentuan dalam KUHP, juga dibentuk Undang-undang lain yang

mengatur tindak pidana korupsi, seperti Peraturan Pemberantasan

Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 yang

ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 16 April 1958; UU No. 24 Prp

Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaaan

Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Peraturan Penguasa Perang

Pusat; Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan UU No. 24 Prp Tahun 1960;

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang mencabut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971,

18
Andi Hamzah, Op.Cit., p. 21-22.

13 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


yang kemudian diamandemen dengan Undang-undang nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang lain

yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah

Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Pembentukan perundang-undangan yang datang silih berganti dalam

upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi diikuti dengan

pembentukan Tim khusus yang menangani pemberantasan tindak

pidana korupsi, seperti : Team Pemberantasan Korupsi berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 228 tahun 1967. Namun karena dipandang

tidak efektif pada tahun 1970 dibentuk KOMISI-4 berdasarkan Keputusan

Presiden Nomor 13 Tahun 1970; Tim Gabungan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (TGPTPK) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

19 tahun 2000 jo. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang tidak

dapat bekerja karena terkait masalah prosedural dan efektivitasnya

tergantung institusi lain. Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang bersifat independen berdasarkan Undang-

undang Nomor 30 tahun 2002 sebagai implementasi ketentuan Pasal 43

Undang-undang Nomor 31 tahun 1999. Institusi lain yang signifikan

dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah Komisi

Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) sebagai

pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 tahun 1999.

Saat ini setelah adanya pembaharuan terhadap UU No. 31/1971,

yaitu dengan dibentuknya UU No. 31/1999 yang kemudian

diamandemen dengan UU No. 20/2001 memasuki babak baru dalam

14 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


pemberantasan korupsi, yaitu digunakannya paradigma baru dengan

dibentuknya Komisi Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

sebagai suatu lembaga negara, bersifat independen, mempunyai tugas

dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

serta dapat mengambil alih perkara korupsi yang sedang ditangani Polisi

dan Jaksa.19 Pokok-pokok pikiran pemberantasan korupsi dengan

paradigma baru menurut Romli Atmasasmita sebagai Ketua Tim

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah :

1) Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sistemik dan

meluas sehingga tidak saja merugikan keuangan negara tetapi juga

pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas;

2) Konsekuensinya untuk penyelesaian kasus korupsi harus

menggunakan metoda dan lembaga baru;

3) Pemberantasan korupsi di Indonesia sudah saatnya menggunakan

senjata pamungkas yang dibentuk berdasarkan Undang-undang dan

tidak dalam bentuk peraturan perundang-undangan lainnya, yang

dapat melindungi hak asasi seluruh rakyat Indonesia akan tetapi

sekaligus membatasi hak asasi tersangka atau terdakwa.20

Perumusan tindak pidana korupsi dalam pembaharuan hukum

pemberantasan tindak pidana korupsi sebagian pasal dengan cara

mengambil alih beberapa ketentuan dalam KUHP dengan menambah

berat sanksi pidananya, seperti delik penyuapan dalam Pasal 209, 210,

418, 419, dan 420 KUHP dalam UU No. 20/2001. Dalam perumusan

19
Adnan Buyung Nasution, Paradigma Baru Pemberantasan Korupsi, Tekad dan
Perangkat Baru Menyapu Korupsi, Makalah, Diskusi panel ”Mengkritisi RUU tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Bandung, 2 Mei 2001, p. 8-13
20
Romli Atmasasmita, Pembentukan Komisi Independen Anti Korupsi : Paradigma
Baru dalam Pemberantasan Korupsi, Makalah, Diskusi panel ”Mengkritisi RUU tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Bandung, 2 Mei 2001, p. 2-3.

15 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


norma hukum dalam UU No. 20/2001 yang berasal dari ketentuan KUHP

terjadi double kriminalisasi dengan ancaman pidana yang berbeda dan

kualifikasi tindak pidana yang berbeda diancam dengan sanksi pidana

yang sama.21

Saat ini peraturan mengenai korupsi ditambah lagi dengan adanya

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United

Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), (selanjutnya disebut UU No 7 Th

2006). Pada tanggal 7 Oktober 2003, Sidang Umum PBB telah

mengadopsi Konvensi Pemberantasan Korupsi dan merupakan salah

satu proses dari upaya masyarakat internasional dalam hal

pemberantasan korupsi22. Negara peserta Konvensi PBB 2003 mencapai

sebanyak 127 negara, dari jumlah tersebut 99% sudah menyatakan

kesediaannya untuk menandatangani konvensi tersebut, dan bersedia

meratifikasinya; dan hal ini merefleksikan komitmen kuat masyarakat

internasional terutama negara-negara Asia dan Afrika sebagai “Victim’s

State” untuk sungguh-sungguh memberantas korupsi yang diyakini

sebagai salah satu sumber utama kemiskinan di negara-negara

berkembang23. Indonesia, sebagai salah satu negara penandatangan,

telah meratifikasi Konvensi PBB 2003 ini dalam UU No 7 Th 2006

tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption,

2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), pada

tanggal 18 April 2006 di Jakarta.

21
Andi Hamzah, Op.Cit. 29-31.
22
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II (PT. Hecca
Mitra Utama, 2004) 139
23
Ibid, p. 140

16 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Ada beberapa perbedaan yang signifikan antara Konvensi PBB

2003 ini dengan UU No. 20 Th 2001, yakni:24

1) Adanya 4 karakteristik mendasar Konvensi PBB 2003 yang

membedakannya dengan UU No. 20 Th 2001. Keempat karakteristik

tersebut merupakan ketentuan yang sangat signifikan terhadap

perkembangan pembaruan perundang-undangan nasional dalam

pemberantasan korupsi, yaitu : Chapter II, Preventive Measures;

Chapter IV, International Cooperation; Chapter V, Asset Recovery;

dan Chapter VII, Mechanism For Implementation;

2) Konvensi PBB 2003 merupakan payung hukum internasional dalam

pemberantasan korupsi khususnya pengembalian aset-aset hasil

korupsi di negara lain, sedangkan dalam UU No, 31 Th 1999 juncto

UU No. 20 Th 2001 merupakan payung hukum nasional untuk

meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi pada level nasional

(Indonesia);

3) Penempatan peranan hubungan sektor swasta dan pejabat publik

termasuk pejabat publik negara asing dan Organisasi Internasional

PBB dalam korupsi lebih menonjol dalam Konvensi PBB 2003

dibandingkan dengan UU No, 31 Th 1999 juncto UU No. 20 Th 2001

yang lebih menitikberatkan pada sistem “pembuktian terbalik” dalam

upaya mencegah kerugian negara sebagai akibat tindak pidana

korupsi

4) Konvensi PBB 2003 menganut paradigma internasional dengan

mengutamakan harmonisasi model sistem hukum “Civil Law” dan

“Common Law” sedangkan dalam UU No, 31 Th 1999 juncto UU No.

24
Ibid., p. 141-142

17 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


20 Th 2001 menganut paradigma nasionalist yang mengutamakan

model sistem hukum “Civil Law”;

5) Tujuan Konvensi PBB 2003 lebih mengutamakan penguatan

kerjasama internasional tahun 2001 adalah untuk meningkatkan

efektivitas pemberantasan korupsi yang dinilai sudah tidak efektif

dengan instrumen hukum yang biasa.

c. Tipologi Korupsi

UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun

1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) berdasarkan hasil analisis penulis terdiri

dari 40 bentuk/jenis tindak pidana korupsi dan dikelompokkan dalam 7

tipologi tindak pidana korupsi, yang terdiri dari :

1) Tipe tindak pidana korupsi “Murni Merugikan Keuangan Negara”;

2) Tipe tindak pidana korupsi “Suap”;

3) Tipe tindak pidana korupsi “Pemerasan”;

4) Tipe tindak pidana korupsi “Penyerobotan”;

5) Tipe tindak pidana korupsi “Gratifikasi”;

6) Tipe tindak pidana korupsi “Percobaan, Pembantuan, dan

Permufakatan”;

7) Tipe tindak pidana korupsi “Lainnya”.

Pengelompokan tindak pidana korupsi sebagaimana diakui penulis

juga telah dilakukan oleh KPK yang mengelompokkan tindak pidana

korupsi dalam 8 tipologi dari 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi dan

Djatmiko Soemadihardjo yang mengelompokkan tindak pidana korupsi

dalam 7 tipologi dari 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Demikian

18 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


juga Andi Hamzah yang mengelompokkan tindak pidana korupsi dalam 2

kelompok besar, yaitu :

1) Rumusan delik yang dibuat oleh Pembuat UU PTPK.

Jenis-jenis tindak pidana korupsi yang termasuk kelompok ini

adalah:

a) Rumusan Pasal 2 UU PTPK;

b) Rumusan Pasal 3 UU PTPK;

c) Rumusan Pasal 13 UU PTPK;

2) Rumusan Delik yang Diadopsi dari KUHP.

Jenis-jenis tindak pidana korupsi yang termasuk kelompok ini

adalah:

a) Kelompok delik penyuapan;

b) Kelompok delik penggelapan;

c) Kelompok delik pemerasan dalam jabatan;

d) Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan,

leveransir, dan rekanan.

Pengelompokkan tindak pidana korupsi dalam 7 tipologi yang

dilakukan penulis sangat membantu dan memudahkan pembaca untuk

memahami tindak pidana korupsi dalam UU PTPK. Khusus bagi aparat

penegak hukum penjelasan mengenai tipe-tipe tindak pidana korupsi

yang diuraikan penulis sangat bermanfaat secara praktis berkaitan

dengan penerapan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi terhadap

kasus-kasus tindak pidana korupsi yang terjadi. Disadari atau tidak,

norma dalam Undang-Undang adalah hukum in abstracto sehingga

seringkali masih memerlukan penafsiran dengan berdasar pada teori,

asas, dan kaidah hukum agar norma tersebut menjadi jelas dan terang.

19 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Dalam buku Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ini, penulis

telah secara rinci menjelaskan ketujuh tipologi tindak pidana korupsi

termasuk di dalamnya bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang

termasuk dalam masing-masing tipologi. Namun sayang penulis tidak

menjelaskan kriteria atau dasar yang digunakan untuk pengelompokan

tindak pidana korupsi tersebut. Hal ini berbeda dengan pengelompokkan

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Andi Hamzah, yang

didasarkan pada rumusan delik tindak pidana korupsi yang digunakan

pembentuk Undang-Undang dalam UU PTPK.

2.2. Pengelolaan Keuangan Daerah

a. Kewenangan Pemerintahan Daerah

Pemerintahan Daerah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004. Dalam undang-undang tersebut, Pemerintahan

Daerah didefinisikan dalam Pasal 1 Ayat (2) sebagai berikut:

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan


oleh Pemerintahan daerah dan DPRD dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Sedangkan ruang lingkup pemerintahan daerah didefinisikan dalam

Pasal 1 Ayat (3) dan Ayat (4) yang meliputi Gubernur, Bupati, atau

Walikota serta unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang dalam

hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pasal I

Ayat (3) Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota,


dan Perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah.

20 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Ayat (4) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut
DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan

daerah juga menyebutkan tentang pembagian urusan pemerintahan.

Pembagian urusan ini dikelompokan kedalam tiga bagian urusan: Urusan

Pemerintah, Urusan Pemerintahan daerah Provinsi, dan Urusan

pemerintahan daerah kabupaten/Kota. Dalam menjalankan

pemerintahannya, Pemerintahan daerah (Pemda) diberi otonomi seluas-

luasnya untuk menjalankan urusan yang menjadi kewenangannya.

Namun, Kewenangan pemerintahan daerah tidak tak terbatas. Pada

prinsipnya, kewenangan Pemda dibatasi oleh Undang-undang.

Beberapa urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemda antara

lain: Perencanaan dan pengendalian pembangunan, Perencanaan,

pemanfaatan dan pengawasan tata ruang serta penyediaan saran dan

prasarana umum (Pasal 14 Ayat 1). Lebih jauh lagi, Undang-Undang No.

32 Tahun 2004 membuat semacam ketentuan tentang hubungan antara

pemerintah dan Pemerintahan daerah yang meliputi bidang keuangan,

hubungan dalam bidang pelayanan umum serta Hak dan Kewajiban

Daerah. Hubungan dalam bidang keuangan yang paling utama adalah

adanya bagi hasil pajak dan Non-pajak antaran pemerintahan daerah

provinsi dan Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota (Pasal 15 Ayat (2)

Huruf a).

Pasal 21 Undang-Undang pemerintahan daerah merinci

beberapa hak yang dimiliki daerah dalam menjalankan roda

pemerintahannya. Pemerintahan daerah antara lain berhak untuk

mengelola kekayaan daerahnya, Memungut pajak daerah dan retribusi

21 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


daerah serta mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah

(Pasal 21).

Pemerintahan daerah di Indonesia memiliki kewenangan yang

besar dalam mengelola keuangan daerah. Dalam Undang-Undang

tentang pemerintahan daerah disebutkan bahwa pemerintahan daerah

menerima dana bagi hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana

Alokasi Khusus (DAK).

b. Manajemen Keuangan Daerah

Sebuah pemerintahan akan berjalan baik jika pemerintahnya

menerapkan Manajemen atau pengaturan yang baik dalam tata kelola

pemerintahan. Manajemen yang baik diperlukan untuk memaksimalkan

program-program pemerintahan sehingga ia dapat dirasakan manfaatnya

oleh Rakyat. Ada berbagai macam definisi tentang apa itu manajemen.

Dalam bukunya ”Management Principles and Practices”, M. Murugan

berpendapat bahwa Manajemen memiliki banyak definisi, tergantung dari

siapa yang memberikan definisi tersebut. Seorang birokrat misalnya,

memandang Manajemen sebagai A system of authority to achieve

business goals25. Dari sekian banyak definisi tentang manajemen, dapat

ditarik satu definisi yang komprehensif sebagai berikut:

“Management is guiding human and physical resources into dynamic


organizational unit which attain their objective to the satisfaction of
those served and with a high degree of morale and sense of attainment
of the part of the rendering service – American Management
Association26”

25
. M Sakhtivel Murugan, Management Principles and Practices, (New Age
International Pvt Ltd Publisher, 2008), 2
26
. Ibid, p. 3

22 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Praktek manajemen dapat ditemui hampir di semua lini

kehidupan. Pada umumnya, setiap unit organisasi modern, baik itu

swasta atau pemerintahan sudah menerapkan prinsip-prinsip

manajemen umum seperti adanya pembagian kerja, wewenang dan

Tanggung jawab, Disiplin, Kesatuan perintah, Kesatuan Pengarahan dan

sebagainya.

Manajemen Keuangan merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari manajemen secara umum. Setiap unit organisasi baik itu

yang bersifat publik maupun privat, sangat bergantung pada manajemen

keuangan yang baik. Dapat dikatakan bahwa manajemen keuangan

memiliki peranan sentral untuk mencapai tujuan utama sebuah

organisasi atau menjaga keberlangsungan hidup sebuah organisasi.

Terdapat banyak perbedaan tentang definisi manajemen

keuangan. Sebuah lembaga atau organisasi swasta memiliki definisi

yang berbeda dengan organisasi publik. Organisasi swasta atau

perusahaan cenderung mendefinisikan manajemen sebagai sebuah

proses keputusan perencanaan untuk memaksimalkan kekayaan.

”The financial management is the process of the planning decisions

in order to maximize the owners wealth27”

Organisasi swasta seperti perusahaan memang bertujuan untuk

mencari keuntungan, Profit atau laba, sehingga dapat dipahahami

apabila manajemen keuangan didefinisikan sebagai aktifitas untuk

memaksimalkan laba. Hal ini berbeda dengan organisasi publik yang

didanai dari anggaran pemerintah, atau organisasi pemerintahan secara

keseluruhan.

27
. Jae K. Shim et.al., Financial Management Third Edition, (Barron, 2008), 1

23 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Berbicara tentang Manajemen Keuangan Daerah tidak bisa lepas

dari Manajemen keuangan Pemerintah/Publik secara keseluruhan.

Karena, Manajemen Keuangan Daerah adalah bagian integral dari

Manajemen Keuangan Publik. Dalam buku yang diterbitkan oleh

Overseas Development Institute (ODI), Manajemen Keuangan Publik

didefinisikan sebagai:

“Public Financial Management underlines all government activity. It

encompasses the mobilization of revenue; the allocation of this fund

to all various activities; expenditure; and accounting for spent funds28”

Pemerintahan daerah di Indonesia memiliki wewenang untuk

mengelola keuangannya sendiri. Sudah sejak lama pengelolaan

keuangan di daerah menjadi perhatian banyak pihak karena setiap

daerah memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam mengelola

keuangannya. Selain dari Perbedaan kapasitas juga terdapat perbedaan

potensi. Beberapa daerah di Indonesia memiliki potensi pendapatan (dan

pengeluaran) yang besar, seperti daerah yang kaya akan sumber daya

alam atau daerah yang menjadi kawasan wisata. Hal ini akan berdampak

kepada kemampuan daerah masing-masing untuk membiayai program-

program pembangunan di daerahnya masing-masing.

Manajemen keuangan daerah secara umum dibagi kedalam dua

bagian: Manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran

daerah. Dalam prosesnya, manajemen keuangan di daerah dibagi

kedalam empat tahap29:

1) Sistem Perencanaan dan Penganggaran

28
. Rebecca Simson et.al., A Guide to Public Financial Management Literature for
Practitioner in Developing countries, (ODI, 2011), iv
29
. Nasir Aziz, Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah: Perencanaan dan
Penganggaran, (Slideshare, 2007) 4

24 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


2) Sistem pelaksanaan anggaran

3) Sistem akuntansi keuangan daerah

4) Sistem pertanggungjawaban keuangan daerah

Keseluruhan sistem tersebut satu sama lain saling berkaitan untuk

menunjang keberlangsungan program di daerah masing-masing.

Pemerintahan daerah perlu menerapkan prinsip-prinsip

manajemen keuangan yang baik. Hal ini harus dilakukan agar setiap

daerah dapat memaksimalkan setiap potensi pendapatan yang ada.

Dengan demikian, pembangunan di daerah tersebut dapat berjalan

sesuai dengan visi misi pemerintahannya. Selain itu, prinsip-prinsip

manajemen keuangan yang baik juga dapat menghindarkan

penyalahgunaan kewenangan khususnya terkait dengan keuangan

daerah.

c. Pajak dan Retribusi

Berjalannya sistem pemerintahan tidak dilepaskan dari sistem

keuangan negara. Dalam struktur Anggaran pendapatan dan Belanja

Negara (APBN), Sumber keuangan negara berasal dari Pajak dan

penerimaan Non-Pajak. Keduanya mempunyai peranan penting bagi

pemerintah untuk dapat menjalankan roda pemerintahannya sekaligus

membiayai program-program pembangunan.

Supramono dalam bukunya ”Perpajakan Indonesia”

mendefinisikan pajak sebagai iuran yang tidak mendapat jasa timbal

(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk

membayar pengeluaran-pengeluaran umum. Dari definisi diatas dapat

disimpulkan bahwa:

25 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


1) Pajak adalah iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak

memungut pajak adalah negara, baik melalui pemerintah pusat

ataupun pemerintah daerah. Iuran yang diberikan berupa uang bukan

barang.

2) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Sifat pemungutan pajak

adalah dipaksakan berdasarkan kewenangan yang diatur oleh

undang-undang beserta aturan pelaksanaannya.

3) Tidak ada kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah dalam

pembayaran pajak

4) Digunakan untuk membiayai pengeluaran negara30

Menurut undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga

atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

Tatacara perpajakan (KUP), Pasal I ayat 1 menyebutkan bahwa Pajak

adalah:

kontribusi wajib pada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pembayar pajak tidak

menerima secara langsung keuntungan dari pajak yang dibayarkan

kepada pemerintah. Tetapi, pembayar pajak mendapatkan keuntungan

tidak langsung berupa keamanan, infrastruktur serta program-program

pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pajak daerah ialah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau

badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, dapat

dipaksakan berdasarkan peraturan yang berlaku, digunakan untuk

30
. Supramono dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia, (Penerbit
Andi, 2010), 2

26 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Sedangkan

menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah, yang dimaksud denga pajak daerah adalah:

”Kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Sedangkan retribusi daerah menurut Undang-Undang yang sama

”Adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau

pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan

oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan”

Pajak daerah dan retribusi daerah memiliki peranan penting

khususnya dalam menunjang otonomi daerah. Menurut Sugianto,

Pembiayaan pemerintah dan pembangunan yang berasal dari

pendapatan asli daerah khususnya pajak harus ditingkatkan karena ini

akan memperkuat kemandirian daerah dalam pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan31.

2.3. Kebijakan Dibidang Perparkiran

Sektor perparkiran perlu menjadi perhatian utama bagi para

pembuat kebijakan (Policy Maker). Di negara-negara emerging market,

dimana pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, kepemilikan atas kendaraan

bermotor (Sepeda motor dan Mobil) terus bertambah. Hal ini sedikit-

banyaknya menyumbang terhadap pendapatan asli daerah (PAD).

Berangkat dari asumsi dasar bahwa Kota besar, dengan populasi yang

31
. Sugianto, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: Pengelolaan pemerintah daerah
dalam aspek keuangan, pajak dan retribusi daerah, (Cikal Sakti, 2007), 1

27 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


besar dan jumlah kendaraan yang besar pula pastinya memiliki

pendapatan yang tidak sedikit dari sektor perparkiran.

Studi yang pernah dilakukan oleh Asian Development Bank (2011),

terdapat tiga pendekatan dalam melihat kebijakan perparkiran, yaitu (1)

Konvensional, yang melihat perparkiran sebagai infrastruktur belaka dan

tujuan utama dari kebijakan perparkiran adalah untuk menjawab

permintaan/kebutuhan, (2) Manajemen Perparkiran, adalah pendekatan

yang menganggap kebijakan perparkiran sebagai alat untuk melayani

tujuan yang lebih luas dalam kebijakan transportasi dan perencanaan

perkotaan dan (3) Market Based, pendekatan pasar atas kebijakan

perparkiran.

Studi yang dilakukan ADB ini mencakup 14 Kota Besar di Asia

yang mencakup wilayah Asia Timur, Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Studi ini lebih banyak memotret kebijakan perparkiran secara umum

dengan lebih menitik beratkan pada parkir kendaraan roda empat.

Kondisi ini jelas berbeda dengan di Indonesia dimana kendaraan roda

dua atau sepeda motor memiliki dampak yang signifikan dengan kondisi

perparkiran di Kota-kota besar di Indonesia. Namun demikian, Studi yang

dilakukan oleh ADB tentang kebijakan perparkiran ini laik untuk

diperhatikan karena Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang

mengalami pertumbuhan kendaraan terbanyak dan Jakarta menempati

urutan kelima setelah Tokyo, Bangkok, Kuala Lumpur dan Taipeh.

Perparkiran yang disediakan oleh pemerintah cenderung tidak

efektif. Jenis perparkiran seperti ini menganggap parkir sebagai bagian

dari infrastruktur yang didanai dari pajak pemerintah. Oleh karenanya,

28 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


jenis parkir seperti termasuk barang publik (Public Goods) yang sudah

seharusnya gratis.

Kota-kota besar di Asia memiliki berbagai tipe tempat yang

biasanya dijadikan sebagai lahan parkir. Kota Jakarta misalnya memiliki

kurang lebih 11 tipe tempat parkir, yaitu (1) Retail dan perdagangan, (2)

Bioskop, (3) Hotel, (4) Restoran, (5) Club dan tempat hiburan, (6) Pasar,

(7) Tempat meeting dan pameran, (8) Tempat olahraga, (9) Rumah

Sakit, (10) Perguruan Tinggi dan (11) Sekolah.

Sedangkan Kota lain di Asia ada yang memiliki lebih banyak tipe

Seperti Kota Dhaka yang memiliki 18 jenis tempat parkir, atau Tokyo

yang justru hanya membagi jenis tempat parkir kedalam 2 kategori: Yang

memiliki kegunaan spesifik dan yang tidak memiliki kegunaan spesifik.

Persoalan lain yang muncul dari sektor perparkiran adalah

perparkiran dipinggir jalan. Kota-kota besar di Asia menghadapi kendala

dengan sistem perparkiran jalan yang tidak tertata rapi (dengan

pengecualian Tokyo yang menerapkan Market Based management).

Kota-kota di Asia selatan seperti Dhaka dan Ahmedabad memiliki

persoalan perparkiran yang akut. Sedangkan kota-kota di Asia Tenggara

mengalami persoalan perparkiran jalan khususnya di titik-titik tertentu,

seperti pusat bisnis.

Persoalan lain yang dirujuk dalam studi ADB ini adalah persoalan

pemungutan uang parkir. Kota di Asia tenggara boleh dibilang yang

paling parah karena pemungutan uang parkir terkadang bukan dilakukan

oleh petugas formal. Tidak jarang pemungutan uang parkir dilakukan

oleh preman. Sedangkan kota-kota di Asia Timur seperti Tokyo

cenderung rapi dan bersih dari pemungut uang parkir ilegal.

29 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Permintaan (demand) untuk tempat parkir di pinggir jalan di Asia

cukup tinggi. Beberapa kota di Asia melakukan pengaturan kebijakan

untuk menyesuaikan kebutuhan akan tempat parkir ini. Kota di Asia

selatan seperti Dhaka melakukan pemungutan yang luas khususnya di

daerah bisnis, dengan harga 0.78 US$ perjam. Namun demikian tidak

ditemukan adanya pembatasan waktu untuk parkir. Kebijakan harga

parkir di Kota-kota di Asia selatan seperti Dhaka dan Ahmedabad tidak

digunakan sebagai alat untuk mengatur permintaan. Kota Jakarta

melakukan pemungutan secara luas dibeberapa ruas jalan, dengan

harga 0.37 US$ perjam dan tidak ada pembatasan waktu parkir.

Pengaturan permintaan tidak menjadi tujuan utama di kota-kota di Asia

Tenggara seperti Bangkok dan Jakarta. Sedangkan Tokyo hanya

memungut ditempat-tempat tertentu dengan harga parkir yang cukup

mahal, 2.58 US$ perjam dan waktu parkir dibatasi hanya 60 menit.

Praktek pembatasan waktu parkir dipakai secara luas di Amerika dan

Australia.

Mekanisme pembayaran parkir di mayoritas kota-kota Asia masih

tergolong konvensional. Di Jakarta dan Dhaka, petugas parkir

(Attendant) biasanya mengeluarkan kupon atau tiket sebagai bukti

pembayaran. Praktek ini berbeda dengan di Negara modern. Kota Tokyo

misalnya sudah tidak lagi menggunakan tenaga manusia melainkan

menyediakan meteran khusus untuk parkir. Meteran tersebut hanya

menerima uang koin 100 Yen, dan akan menyala merah apabila

overstayed (tinggal melampaui waktu yang ditentukan).

Penegakan hukum dan pemberantasan terhadap parkir ilegal di

jalan-jalan di Kota-kota di Asia selatan cenderung lemah dan diabaikan.

30 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Ini berdampak pada berkurangnya pendapatan daerah dari sektor

perparkiran. Sedangkan di Kota seperti Tokyo, penegakan hukum untuk

memberantas parkir ilegal dianggap cukup berhasil. Mekanisme yang

digunakanpun cenderung lebih fleksibel. Penugasannya tidak lagi

dilakukan oleh polisi, melainkan beralih ke badan swasta (perusahaan)

untuk mengurus para pelanggar parkir.

Penyediaan lahan parkir oleh pemerintah cenderung mendapat

perhatian lebih. Logika ini dianggap sebagai pemikiran yang sah karena

perparkiran sering dianggap sebagai bagian infrastruktur yang mesti

disediakan oleh pemerintah lewat pajak masyarakat. Namun justru studi

yang dilakukan oleh ADB (2011) ini menentang jenis pemikiran demikian

karena seringkali sektor perparkiran yang disedikan oleh pemerintah

tidak efektif (kesulitan dalam penentuan harga) dan memarginalkan

keterlibatan swasta. Keterlibatan pemerintah dalam sektor perparkiran di

Kota-kota di Asia cenderung minimal. Di Dhaka, peranan pemerintah

dalam penyediaan lahan parkir sangat kecil, namun berkeinginan untuk

bisa memperluasnya. Sedangkan di Tokyo peranan pemerintah sangat

kecil sekali dan tidak ada kecenderungan untuk berekspansi. Menurut

studi ADB ini, Beijing adalah kota di Asia Timur yang memiliki peranan

pemerintah sangat besar dalam suplai lahan parkir.

Private Building atau bangunan yang dimiliki oleh swasta

merupakan salah satu lahan parkir yang paling umum digunakan. Kota-

kota di Asia timur dan Asia tenggara merupakan kota dengan bangunan

swasta yang paling banyak digunakan. Harga yang digunakan

merupakan harga umum. Namun hal serupa sedikit sekali terjadi di Asia

selatan. Sedangkan jenis parkir yang yang seutuhnya dimiliki dan

31 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


dikelola oleh swasta sedikit sekali ditemukan di banyak kota-kota di Asia.

Satu hal yang menjadi sorotang dalam studi ADB ini adalah kotrol harga

oleh pemerintah untuk parkir di bangunan milik swasta. Menurut studi ini,

kotrol harga dapat mendistori mekanisme pasar. Hal ini ditemukan di

Beijing dan Jakarta.

Kesimpulan dari studi ADB ini adalah bahwa mekanisme pasar

sebagaimana yang diterapkan oleh Jepang jauh lebih berhasil dalam

mengelola sektor perparkiran. Peran pemerintah harus seminimal

mungkin dalam sektor ini dengan tidak mencampuri harga parkir.

Persyaratan perparkiran di atur serendah dan seminimal mungkin,dan

aturan berdasarkan bukti parkir.

Studi lain tentang sektor perparkiran adalah yang pernah ditulis

oleh Todd Litman dari Victoria Transport Policy Institute tentang

Manajemen Perparkiran. Studi ini melihat Manajemen Perparkiran

sebagai :

Parking management refers to various policies and programs that


result in more efficient use of parking resources.

Dalam papernya, Todd Litman membagi dua jenis paradigma

manajemen perparkiran. Kedua hal ini cukup menarik karena menurut

Litman perubahan paradigma ini melihat bagaimana permasalahan parkir

dipahami dan bagaimana solusi terhadap permasalahn itu dievaluasi.

Misalnya model I, paradigma lama : masalah parkir karena tidak

memadainya suplai untuk lahan parkir. Paradigma baru : terdapat banyak

tipe permasalahan parkir, tidak memadai atau terlalu banyak lahan parkir,

terlalu rendah atau terlalu tinggi harga parkir, tidak cukup informasi bagi

pengguna, dan managemen yang tidak efisien. Model II, paradigma lama

32 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


: parkir harus disediakan secara gratis, didanai secara langsung melalui

sewa atau pajak. Paradigma baru : sebanyak mungkin, pengguna harus

membayar secara langsung untuk fasilitas parkir.

2.4. KERANGKA TEORITIS

Korupsi pada hakekatnya merupakan penyalahgunaan kekuasaan publik

untuk kepentingan pribadi, termasuk dalam pengertian kekuasaan disini adalah

kekuasaan yang diberikan oleh publik baik masyarakat maupun organisasi-

organisasi yang ada di dalamnya. Korupsi bersifat multi faset, yaitu berkaitan

dengan berbagai aspek kehidupan manusia seperti moral, ekonomi, politik,

hukum, sosial, dan budaya. Dengan demikian korupsi sesungguhnya

mempunyai makna yang lebih luas dan oleh karenanya harus dibedakan

dengan pengertian tindak pidana korupsi menurut hukum, yaitu berdasarkan

UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Tindak pidana korupsi berdasarkan

UUPTPK mencakup tindak pidana korupsi murni (Pasal 2 dan Pasal 3 UU

PTPK), suap, pemerasan dalam jabatan, penyerobotan, dan gratifikasi, serta

tipe tindak pidana korupsi lainnya. Dengan demikian dalam UUPTPK terdapat

beberapa kualifikasi tindak pidana korupsi yang sebagian berasal dari tindak

pidana umum. Korupsi menurut Robert Klitgaard dkk. dapat terjadi karena

adanya Monopoly power (M) atau monopoli kekuasaan ditambah Discression

by officials (D) atau diskresi wewenang pejabat dan dikurangi Accountability (A)

atau akuntabiitas (C = M + D – A).

Mengingat sifat multi faset dari korupsi maka motif, modus operandi, dan

tujuan korupsi menjadi beraneka ragam tergantung pada bidang kehidupan

tempat korupsi tersebut dilakukan. Korupsi di bidang politik mempunyai

33 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


karakteristik yang berbeda dengan korupsi di bidang ekonomi, administrasi,

hukum, dan sosial. Untuk menganalisis dan menjelaskan faktor-faktor terjadinya

penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan di bidang administrasi dalam

hal ini dalam pengelolaan perparkiran digunakan teori-teori tentang

penyimpangan perilaku.

Teori-teori yang menjelaskan penyimpangan perilaku tersebut dapat

dikelompokkan ke dalam tiga kelompok teori yakni individual, situasional dan

social structural/conflict theories. Masuk ke dalam kelompok teori individual

adalah teori klasik dan positif yang menjelaskan penyimpangan perilaku dari

sisi individunya. Teori-teori situasional meletakkan permasalahan pada

situasi/lingkungan di luar pelaku untuk menjelaskan fenomena penyimpangan

perilaku. Sedangkan kelompok teori social structural memandang struktur sosial

kemasyarakatan tertentu sebagai faktor yang penyebab penyimpangan perilaku

individu. Dari sekian banyak teori kriminologi yang menjelaskan penyebab

penyimpangan perilaku, teori kontrol, teori differential association, dan teori

subkultur dapat digunakan untuk menjelaskan penyimpangan perilaku dalam

penelitian ini.

Teori kontrol secara umum menjelaskan perihal bagaimana masyarakat

dapat “memaksa/meyakinkan” anggotanya untuk hidup sesuai aturan. Setiap

masyarakat membuat aturan dan mencoba untuk membatasi anggotanya agar

hanya melakukan aktivitas yang dibenarkan atau diperbolehkan oleh

masyarakat tersebut. Teori kontrol yang pertama kali dikemukakan Albert J

Reiss, terutama memfokuskan penelitiannya pada kontrol personal (individual)

dalam penyimpangan perilaku di kalangan remaja. Menurut Reiss32 lemahnya

32
Albert J. Reiss, “Delinquency as the Failure of Personal and Social Controls“ (April
1951) 16 American Sociological Review 196-207, dalam George B. Vold et al, Theoretical
Criminology, (Oxford University Press, 2002) 177-181.

34 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


kontrol ego dan superego pada individu berdampak pada penyimpangan

perilaku. Masih dengan fokus kajian remaja, teori ini terus dikembangkan antara

lain oleh Hirschi33 dengan konsep kontrol sosial yang pada dasarnya

menyatakan bahwa individu yang memiliki ikatan kuat dengan kelompok

sosialnya seperti keluarga, sekolah, dan peer group berpeluang kecil untuk

berperilaku menyimpang.

Kontrol personal dijelaskan oleh Reiss sebagai “how well individual

manages to resist using socially unacceptable methods to reach his goals”.

Sedangkan kontrol sosial adalah “the ability of social groups or institutions to

make norms or rules effective”. Reckless34 dalam Containment theory

menyatakan bahwa terdapat dorongan-dorongan (push factors) dan tarikan-

tarikan (pull factors) bagi individu untuk berperilaku menyimpang. Untuk

mencegah terjadinya penyimpangan diperlukan adanya kontrol yang muncul

dari faktor-faktor yang mampu menahan (insulators) individu dari godaan untuk

berperilaku menyimpang. Reckless menjelaskan push factors sebagai

dorongan psikologis seperti: agresi (yang berisfat internal) tekanan sosial

seperti kemiskinan, konflik dalam keluarga, ketiadaan kesempatan kerja (yang

bersifat eksternal). Pull factors dijelaskan sebagai faktor-faktor seperti: adanya

kesempatan untuk melakukan penyimpangan, keterlibatan dalam kelompok

yang beperilaku menyimpang, pencitraan gaya hidup melalui media.

Sedangkan insulator dibagi kedalam dua jenis yang bersifat internal dan

ekstrenal. Insulator yang bersifat internal meliputi faktor-faktor: perkembangan

super-ego; kemampuan untuk menemukan cara pemenuhan kebutuhan yang

33
Travis Hirschi, Causes of Delinquency, (University of California Pres, 1969) 16-34,
dalam George B. Vold et al, Theoretical Criminology, (Oxford University Press, 2002) 183-
187.
34
Walter Reckless, The Crime Problem, 4th Ed, (Appleton-Century-Crofts, 1967),
dalam Tim Newburn, Criminology, (Willan Publishing, 2007) 229-230.

35 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


legitim, komitmen pada nilai dan aturan serta rasa tanggungjawab. Insulator

eksternal meliputi: memiliki peran berarti dalam masyarakat, rasa memiliki dan

identitas, hubungan suportif, disiplin.

Dari perspektif teori kontrol kemudian disimpulkan bahwa

ketiadaan/lemahnya kontrol individu dan kontrol sosial ditambah tersedianya

kesempatan untuk melakukan kejahatan merupakan faktor-faktor yang

mempengaruhi teradinya penyimpangan perilaku/kejahatan. Artinya

penyimpangan perilaku dapat dicegah dengan cara meningkatkan kontrol

individu dan kontrol sosial serta menghilangkan kesempatan/peluang.

Selanjutnya adalah teori Differential Association yang merupakan

pengembangan dari konsep disorganisasi sosial (Chicago School) yang

dikembangkan oleh Shaw dan Mc Kay pada tahun 1940 an. Teori Differential

Association dikembangkan oleh Edwin Sutherland dan Cressy35 dengan

didasarkan pula pada konsep Gabriel Trade tentang “laws of imitation”.

Sutherland dan Cressy mengembangkan konsep differential association untuk

menjelaskan proses dimana sebuah perilaku diasosiasikan atau dimaknai

secara berbeda oleh individu. Seseorang dapat mengasosiasikan atau

memaknai sebuah perilaku dengan perilaku kriminal sedangkan yang lain tidak.

Ada sembilan proposisi yang diajukan oleh Sutherland, namun secara ringkas

dapat dikemukakan bahwa inti dari teori ini adalah argumen bahwa kejahatan

adalah perilaku yang dipelajari. Apa yang dipelajari meliputi teknik, motif,

dorongan, rasionalisasi, termasuk cara memandang suatu aturan. Proses

belajar ini, sama halnya dengan proses belajar lainnya, amat tergantung pada

frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas. Pokok penting lainnya dari pemikiran

Sutherland tentang penyebab perilaku kriminal adalah ide “definitions favorable


35
Edwin H. Sutherland & Donald R. Cressy, Criminology, (Lippincott Company,
1974) dalam Rob White & Fiona Haines, (Oxord University Press, 2000) 67-69.

36 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


to law violation”.36 Disini Sutherland menyatakan bahwa penyimpangan perlaku

digantungkan pada pendefinisian/pemaknaan terhadap aturan/hukum dan

pengasosiasiannya dengan orang lain. Artinya, secara sederhana dapat

dijelaskan bahwa seorang melanggar hukum karena belajar dari orang (atau

kelompok) dengan siapa dia bergaul secara intens.

Terabkir adalah teori subkultur. Teori ini muncul didasarkan pada culture

conflict theory yang membahas tentang berkembangnya nilai atau norma yang

berbeda dalam masing-masing budaya dan kerap juga saling bertentangan.

Dalam teori ini subkultur dijelaskan sebagai subdivisi dalam suatu kultur yang

dominan, yang memiliki norma, keyakinan, dan nilainya sendiri. Subkultur

muncul ketika orang-orang yang berada dalam kondisi yang sama/senasib

merasa mereka terisolasi dari “mainstream”, kemudian mereka berkelompok

untuk saling memberikan dukungan. Subkultur muncul sebagai respons atas

problem tertentu yang tidak dialami oleh anggota dari kultur yang dominan.

Walter B. Miller dalam kajiannya tentang penyimpangan perilaku yang

dilakukan oleh geng laki-laki remaja, mengemukakan bahwa geng laki-laki

remaja dari masyarakat kelas bawah memiliki kultur yang berbeda dan terpisah

dari kultur masyarakat kelas menengah/atas.37 Subkultur ini lahir sebagai suatu

mekanisme untuk mempertahankan eksistensi mereka di tengah-tengah kultur

dominan. Munculnya subkultur ini berakar dari perbedaan kelas dalam

masyarakat dan terkait pula dengan persoalan aspirasi orang tua, pola asuh,

dan standar pendidikan. Remaja dari masyarakat kelas bawah tidak mampu

bersaing dengan remaja dari masyarakat kelas menengah. Mereka mengalami

“status frustration” dan tekanan di tengah-tengah masyarakat, terhadap mana

36
George B. Vold, Theoretical Criminology, (Oxford University Press, 2002) 164.
37
Walter B.Miller, “Lower Class Culture as a Generating Milieu of Geng
Delinquency” (1958), 14(3), Journal of Social Issues, 5-19 dalam George B. Vold,
Theoretical Criminology, (Oxford University Press, 2002)165.

37 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


mereka kemudian bereaksi dengan berperan sebagai salah satu dari ketiga

peran remaja yakni: corner boy, college boy, atau delinquent boy. Selanjutnya

Wolfgang dan Feracutti38 mengembangkan kajian subkultur kearah subkultur

kekerasan atau subkultur kriminal. Subkultur kekerasan atau subkultur kriminal

tumbuh di daerah slum di kota-kota besar di Amerika.Disini kekerasan

merupakan sarana yang digunakan oleh anggota subkultur dalam mencapai

tujuannya. Sistem nilai di beberapa subkultur mengharuskan penggunaan

kekerasan dalam situasi sosial tertentu. Sebagai ilustrasi pada subkultur

tertentu aktivitas kriminal diperlukan untuk memperoleh status. Meskipun

mereka membentuk norma sendiri, mereka tetap menginternalisasi norma

tertentu dari kelas dominan (kelas menengah). Disini dijelaskan bahwa mereka

memiliki harapan-harapan atau cita-cita atau tentang gaya hidup yang sama

dengan cita-cita atau harapan atau gaya hidup kelas dominan namun dicapai

melalui perilaku yang menyimpang.

Dengan dapat diidentifikasi dan ditemukan adanya potensi terjadinya

korupsi serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya korupsi dalam

pengelolaan perparkiran maka perlu dilakukan upaya pencegahan terjadinya

korupsi tersebut sebagai bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dalam

upaya penanggulangan kejahatan khususnya tindak pidana korupsi dalam

pengelolaan perparkiran. Kebijakan-kebijakan yang bersifat non penal berupa

kebijakan sosial dalam pelayanan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat

serta hukum administrasi akan menghasilkan efek preventif yang lebih luas

dibanding dengan upaya penal. Namun untuk adanya pencegahan yang efektif

38
Marvin E. Wolfgang & Franco Ferracuti, The Subculture of Violence, (Sage, 1981)
dalam George B. Vold, Theoretical Criminology, (Oxford University Press, 2002) 165.

38 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


harus ditentukan faktor-faktor khusus yang kondusif terhadap timbulnya

berbagai penyimpangan atau pelanggaran hukum.39

Menurut Marc Ancel Criminal policy diartikan sebagai the rational

organisation of the social reactions to crime. Selanjutnya Hoefnagels

menyatakan criminal policy as a science of policy is part of a larger policy : the

law enforcement policy. This makes it understandable that administrative and

civil law occupy the same place in the diagram as non-criminal legal crime

prevention. Pengertian dari Hoefnagels tersebut dapat dilihat dari skema

criminal policy berikut : 40

Gambar 2.1.
Hubungan Antara Kebijakan Kriminal, Kebijakan Penegakan Hukum Dan Kebijakan
Sosial

CRIMINAL POLICY LAW ENFORCEMENT SOCIAL POLICY


POLICY

INFLUENCING VIEW CRIMINAL LAW PREVENTION WITHOUT


OF SOCIETY ON APPLICATION PUNISHMENT
CRIME AND
PUNISHMENT -administration of -social policy
criminal justice in -community planning
narrow sense (crim. mental health
legislation, crim. -natural mental health
jurisprudence, crim. social work child
proses in wide sense, welfare
sentencing) -administrative and civil
-forensic psychiatry law
and psychology
-forensic social work
-crime, sentence
execution and police
statistic

39
G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, An Inversion of the Concept
of Crime, (Kluwer Deventer, 1973) 56.
40
G. Peter Hoefnagels, Loc. Cit.

39 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Dari skema di atas dapat dijelaskan bahwa upaya penanggulangan

kejahatan (criminal policy) dapat dilakukan melalui upaya penal, yaitu dalam

hal ini penerapan hukum pidana dan upaya non-penal, yaitu mempengaruhi

pandangan masyarakat tentang kejahatan dan pemidanaan melalui media

massa dan melakukan upaya pencegahan terjadinya kejahatan melalui

kebijakan sosial, hukum administrasi dan upaya non penal lainnya. Dalam

analisis terhadap potensi korupsi dalam pengelolaan perparkiran upaya non

penal atau pencegahan yaitu dalam hal ini dengan memperbaiki sistem

pengelolaan perparkiran dengan berdasarkan pembaharuan hukum

administrasi di bidang perparkiran merupakan upaya yang utama dalam

mencegah terjadinya korupsi dan sebagai upaya untuk meningkatkan

pelayanan dan kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan nyaman serta

mengoptimalkan pendapatan daerah untuk kesejahteraan masyarakat.

Mengingat hukum pidana merupakan hukum yang mempunyai fungsi

subsidair (ultima ratio principle) maka penggunaan sarana penal (hukum

pidana) hendaknya baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan

kurang memberi hasil yang memuaskan atau kurang sesuai. Apabila hukum

pidana akan digunakan harus dilihat dalam kerangka kebijakan kriminal

(criminal policy).41

41
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Alumni,1986) 96.

40 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. PENDEKATAN PENELITIAN

Untuk memahami potensi korupsi yang terjadi dalam pengelolaan

perparkiran khususnya dalam hal pengelolaan dana parkir yang bersumber dari

pajak dan retribusi sektor perparkiran di kota Bandung, tidak hanya dilakukan

dengan pendekatan normatif tetapi juga pendekatan non yuridis baik

pendekatan sosiologis, politis, maupun budaya. Penelitian ini tidak hanya

mengkaji norma atau kaidah hukum dalam peraturan perundangan-undangan

yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi, dan pengelolaan perparkiran

tetapi juga mengkaji data empiris yaitu menelusuri praktik-praktik yang

menyimpang dalam pengelolaan perparkiran meliputi jenis, modus dan pola

penyimpangan, faktor-faktor yang menyebabkan pendapatan dari sektor parkir

selalu tidak sesuai target dalam setiap tahunnya dan menemukan model

pengelolaan pajak dan retribusi parkir yang lebih efektif dalam mencegah tindak

pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan berdasarkan fokus penelitian

tersebut adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian

hukum sosiologis (socio legal research). Dengan menggunakan rumus M = f

(K), Metode adalah fungsi dari Konsep Hukum maka dalam penelitian ini kosep

hukumnya adalah hukum tidak hanya sebagai norma-norma hukum positif tetapi

41 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


juga sebagai lembaga dan proses bekerjanya hukum di masyarakat serta

hukum sebagai gejala sosial.42

Menurut Abdulkadir Muhammad, metode penelitian hukum empiris

(socio legal research) adalah metode penelitian yang menggunakan studi kasus

hukum empiris berupa perilaku hukum masyarakat. Pokok kajiannya adalah

hukum yang dikonsepkan sebagai perilaku nyata (actual behavior) sebagai

gejala sosial yang sifatnya tidak tertulis yang dialami setiap orang dalam

hubungan hidup bermasyarakat. Sumber data penelitian hukum empiris

dominan berasal dari hasil observasi di lokasi penelitian.43

Dalam penelitian ini, yang akan diamati adalah para pelaku dalam

pengelolaan perparkiran, yakni mereka yang terlibat baik kebijakan maupun

teknis dalam pengelolaan perparkiran (dishub, dispenda, komisi B dan Komisi C

DPRD Kota Bandung), pihak swasta baik badan hukum atau perorangan yang

terlibat dalam pengelolaan perparkiran atau terlibat dalam bisnis parkir,

akademisi sebagai pengamat perparkiran dan para juru parkir/petugas parkir

yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan perparkiran.

Metode hukum empiris (socio legal research) dipilih karena peneliti ingin

mengungkap pola-pola korupsi yang terjadi dalam pengelolaan pendapatan dari

parkir baik dari hasil pajak parkir maupun dari retribusi parkir. Penelusuran data-

data terkait hal ini akan lebih terakomodir dengan metode empiris (socio legal

research) karena pola-pola korupsi akan terungkap melalui observasi melalui

penelitian lapangan.

42
Soetandyo Wignyosoebroto, Masalah Metodologik dalam Penelitian Hukum
Sehubungan dengan Masalah Keragaman Pendekatan Konseptualnya, Makalah, Forum
Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Hukum, Dirjen Dikti, Depdikbud, Bandungan, 1994, p.
2; Lili Rasjidi, Menggunakan Teori/Konsep dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Makalah,
Bandung, 2007, hlm. 7.
43
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (PT. Citra Aditya Bakti,
2004) 45

42 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


3.2. SIFAT PENELITIAN

Mengacu pada sifat dan tujuannya, penelitian ini menggunakan metode

penelitian deskriptif analitis. Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum

deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran

(deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan

pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa

hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.

Penelitian ini akan menguraikan secara deskriptif tentang tiga hal, yaitu

1. potensi korupsi yang terjadi dalam pengelolaan dana parkir di Kota

Bandung. Deskripsi tentang hal ini akan diperoleh dari hasil observasi

terhadap perilaku hukum dari beberapa stakeholders yang terlibat dalam

pengelolaan pajak dan retribusi perparkiran di Kota Bandung

2. faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi dalam pengelolaan dana

parkir. Deskripsi tentang hal ini akan dilakukan setelah analisis terhadap

potensi korupsi yang terjadi berdasarkan temuan data-data di lapangan baik

melalui wawancara mendalam untuk analisis kualitatif maupun melalui

pertanyaan terbuka untuk analisis kuantitatif,

3. Model pengelolaan perparkiran secara efektif untuk mencegah terjadinya

korupsi. Deskripsi tentang hal ini merupakan solusi pengelolaan perparkiran

untuk mencegah terjadinya korupsi yang diperoleh berdasarkan analisis

deskriptif terhadap potensi korupsi dan faktor penyebab terjadinya korupsi

dalam pengelolaan pendapatan dari perparkiran di Kota Bandung.

43 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


3.3. SUMBER DATA

Ada dua jenis sumber data dalam penelitian ini, yaitu :

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh atau didapat secara langsung dari

objek penelitian. Data primer disini diperoleh langsung dari informan

penelitian dan responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini melalui

hasil wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara

dan pertanyaan terbuka.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan atau

dokumen yang telah dikumpulkan. Data ini berupa dokumen APBD kota

Bandung minimal dalam dua tahun terakhir, jumlah wajib pajak parkir,

penerimaan daerah dari sektor pajak dan retribusi parkir, jumlah titik parkir,

jumlah juruh parkir, dan bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier.

Bahan hukum primer, yaitu beberapa peraturan perundang-undangan

yang digunakan untuk membantu analisis kualitatif maupun kuantitatif dalam

penelitian ini antara lain UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, Perda No. 05 Tahun 2004 tentang Pajak Parkir, Perda No. 20 Tahun

2011 tentang Pajak Daerah, Perda No. 16 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Perhubungan dan Retribusi di Bidang Perhubungan, Perda

No. 391 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Parkir, dll. Bahan

Hukum sekunder, yaitu berbagai literatur tentang korupsi dan pengelolaan

perparkiran. Bahan hukum tersier adalah kamus dan ensiklopedi.

44 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


3.4. INFORMAN DAN RESPONDEN/SAMPEL PENELITIAN

Potensi korupsi dalam pengelolaan pendapatan dari parkir bisa terjadi di

dua lokus, yaitu (1) potensi korupsi pada lokus pendapatan dari pajak parkir

dan (2) potensi korupsi yang terjadi pada lokus retribusi parkir. Untuk

menelusuri potensi korupsi dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

tindak pidana korupsi dalam pengelolaan pajak parkir, maka ada beberapa

informan penelitian dan sejumlah responden yang dijadikan sampel dalam

penelitian ini. Informan tersebut terdiri dari (1) Pimpinan/anggota komisi B

DPRD Kota Bandung, (2) Kepala Dinas Pendapatan Asli Daerah Kota

Bandung/Pegawai yang menangani masalah pajak parkir dan (3) Pengamat

baik akademisi maupun praktisi yang konsen memperhatikan pengelolaan

pajak parkir di Kota Bandung.

Potensi korupsi di sektor pajak parkir juga ditelusuri melalui sejumlah

responden yang menjadi sampel, yakni melalui para wajib pajak parkir, dalam

hal ini badan usaha/perorangan yang terlibat dalam bisnis parkir, misalnya mall,

factory outlet dan jasa penitipan kendaraan. Untuk mengetahui potensi korupsi

di sektor ini, maka akan dilihat gap antara realisasi pajak parkir dalam tahun

tertentu dengan potensi penerimaan daerah dari pajak parkir. Jumlah sampel

wajib pajak parkir adalah 12. Penentuan sampel (sampling) mengacu pada

sampling frame berdasarkan tiga kategori dan dilakukan dengan stratified

random sampling, yaitu wajib pajak yang memiliki potensi pajak tinggi

(mall,kampus/sekolah, dan hotel) dengan jumlah sampel 3, wajib pajak yang

memiliki potensi pajak sedang (rumah sakit, pasar swalayan,

toko/FO/salon/ruko, perusahaan CV/PT) dengan jumlah sampel 4 dan wajib

pajak yang memiliki potensi pajak rendah (apotek, bank/koperasi/kantor pos,

45 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


restoran/cafe/tempat karaoke, garasi/pelataran parkir, dan tempat

rekreasi/tempat olahraga) dengan jumlah sampel 5. Secara lebih sederhana

metode sampling dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3.1. Mekanisme Penentuan Sampel dari Wajib Pajak Parkir

POPULASI

Wajib Pajak (Badan


Usaha/Perorangan)

Stratified Random Sampling

STRATA I Simple Random Jumlah sampel


Potensi Pajak Tinggi Sampling 3
(mall,kampus/sekolah,
dan hotel)

STRATA II
Potensi Pajak Sedang
(rumah sakit, pasar Simple Random Jumlah sampel 4
swalayan, Sampling
toko/FO/salon/ruko,
perusahaan CV/PT)

STRATA III
Potensi Pajak Rendah
(apotek, bank/koperasi/kantor Simple Random
pos, restoran/cafe/tempat Sampling Jumlah sampel 5
karaoke, garasi/pelataran
parkir, dan tempat
rekreasi/tempat olahraga)

Sumber : Hasil Analisis, 2012

Untuk menelusuri potensi tindak pidana korupsi dan faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi dalam pengelolaan pendapatan

parkir dari sektor retribusi parkir, maka ada beberapa informan penelitian dan

sejumlah responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. Informan

46 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


tersebut terdiri dari (1) Pimpinan/anggota DPRD komisi C Kota Bandung, (2)

Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung, (3) Kepala UPTD Parkir Kota

Bandung dan (4) pengamat perparkiran khususnya tentang retribusi baik

akademisi maupun praktisi.

Potensi korupsi di sektor retribusi parkir juga ditelusuri melalui sejumlah

responden, yakni melalui para juru parkir yang berada di 227 titik parkir di Kota

Bandung. Jumlah sampel adalah 6 titik parkir. Sampling frame berdasarkan

potensi penerimaan retribusi, sehingga metode penentuan sampel dilakukan

dengan stratified random sampling dari tiga kategori wilayah titik parkir, yaitu

titik potensi retribusi parkir tinggi, titik potensi retribusi parkir sedang dan titik

potensi retribusi parkir rendah. Penentuan sampel di level wilayah dilakukan

secara simple random sampling. Jumlah sampel di wilayah potensi retribusi

tinggi adalah 3 titik parkir (masing-masing minimal 1 juru parkir/titik), Jumlah

sampel di wilayah potensi retribusi sedang adalah 1 titik parkir (minimal 1 juru

parkir) dan Jumlah sampel di wilayah potensi retribusi rendah adalah 2 titik

parkir (masing-masing minimal 1 juru parkir/titik). Secara lebih sederhana

metode sampling dapat digambarkan sebagai berikut :

47 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Gambar 3.2. Mekanisme Penentuan Sampel dari Juru Parkir

POPULASI Hanya diambil beberapa titik


sebagai perwakilan dari masing-
Jumlah Titik Parkir masing strata. Masing-masing titik
(227 Titik Parkir) diwakili minimal satu juru parkir

Stratified Random Sampling

STRATA I
Potensi Retribusi Simple Random Jumlah sampel
Tinggi Sampling 3 titik parkir

STRATA II Jumlah sampel 1


Simple Random
Potensi Retribusi titik parkir
Sampling
Sedang

STRATA III Simple Random Jumlah sampel 2


Potensi Retribusi Sampling titik parkir
Rendah

Sumber : Hasil Analisis, 2012

3.5. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara,

yaitu :

1. Studi kepustakaan atau dokumen, yaitu mengumpulkan data sekunder

berupa bahan hukum primer : peraturan perundang-undangan yang

mengatur tindak pidana korupsi dan pengelolaan perparkiran, bahan

hukum sekunder : berbagai literatur mengenai tindak pidana korupsi dan

perparkiran, serta bahan hukum tersier.

48 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


2. Teknik Observasi, yaitu teknik pengambilan data yang dilakukan dengan

cara mengadakan pengamatan langsung terhadap para pelaku yang

terlibat dalam pengelolaan dana parkir baik yang terlibat dalam perumusan

kebijakan perparkiran seperti DPRD dan Pemda maupun mereka yang

hanya terlibat dalam teknis penyelenggaraan perparkiran seperti para juru

parkir dan pengusaha parkir,

3. Teknik Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara tanya

jawab dengan semua stakeholders perparkiran yang terlibat dalam

penelitian ini baik yang berperan sebagai informan maupun yang berperan

sebagai responden (sampel) dengan menggunakan daftar pertanyaan

tertulis baik pedoman wawancara maupun pertanyaan terbuka yang telah

disiapkan. Data yang diperoleh dipergunakan sebagai data primer,

4. Teknik pencatatan, yaitu mencatat data yang diperlukan serta ada

hubungannya dengan penelitian ini baik yang berada di instansi maupun

publikasi dari internet. Data yang diperoleh sebagai data sekunder,

5. FGD, yakni mengumpulkan data dari pendapat beberapa orang yang

terlibat dalam diskusi terfokus. Dalam penelitian ini FGD yang akan

dilaksanakan adalah yaitu FGD tentang hasil temuan di lapangan berkaitan

dengan potensi korupsi dan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana

korupsi dalam pengelolaan dana parkir.

3.5. ANALISIS DATA

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu

analisis secara kualitatif dan analisis secara kuantitatif. Teknik analisis kualitatif,

mengikuti konsep yang dikemukakan oleh Miles and Huberman (1984) dimana

49 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


analisis data dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus

pada setiap tahapan penelitian hingga tuntas dan datanya sampai jenuh.

Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display dan conclusion

drawing/verification.

Data reduction yaitu memilih, memusatkan perhatian, pengabstraksian

dan pentransformasikan data kasar dari lapangan. Fungsinya untuk

menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan

mengorganisasikan sehingga interpretasi bisa ditarik. Data display yaitu

sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan untuk menarik

kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk penyajiannya antara lain berupa

teks naratif, matriks, grafik, jaringan dan bagan. Conclusion drawing/verification

yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi agar makna-makna yang muncul dari

data dapat diuji kebenarannya dan kesesuaiannya sehingga validitasnya

terjamin. Langkah-langkah analisis ditunjukkan dalam gambar berikut :

Gambar 3.3.
Tahapan Analisis Data Kualitatif

Data
Collection
Data display

Data reduction

Conclusions :
Drawing/verifyin
g

50 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Analisis data dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini juga

menggunakan bahan hukum yang berasal dari beberapa peraturan perundang-

undangan. Makna tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana parkir

khususnya dalam menjawab permasalahan pertama tentang potensi korupsi

mengacu pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Penggunaan analisis kuantitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara deskriptif analisis. Data-data temuan yang berupa angka-angka baik yang

berkaitan dengan pajak parkir maupun retribusi parkir dianalisis secara

deskriptif.

51 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


BAB IV

HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

A. POTENSI TERJADINYA KORUPSI DALAM PENGELOLAAN DANA

PERPARKIRAN DI KOTA BANDUNG

1. Potensi Terjadinya Korupsi dalam Pengelolaan Pajak Perparkiran Kota

Bandung

Pajak parkir merupakan pajak yang dikenakan pada perorangan atau

badan hukum yang menyelenggarakan usaha parkir baik sebagai usaha

pokok atau usaha tambahan sebagai konsekwensi dari usaha utama yang

dijalankan. Pajak parkir juga dikenakan bagi tempat penitipan kendaraan

yang diselenggarakan oleh individu atau usaha yang berbadan hukum. Di

Kota Bandung ada beberapa regulasi yang mengatur tentang pajak parkir.

Secara teknis tentang mekanisme pemungutan dan tata cara pembayaran

diatur dalam Peraturan Walikota Bandung Nomor 391 Tahun 2012 tentang

Tata Cara Pemungutan Pajak Parkir.

Disamping teknis pemungutan, hal penting yang diatur dalam pajak

parkir adalah makna filosofinya yakni objek pajak, wajib pajak, tarif pajak dan

dasar serta besaran pengenaan pajak yang diatur dalam regulasi yang lebih

tinggi berupa UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah. Hal penting dalam regulasi-regulasi tersebut bahwa tarif pajak parkir

yang dikenakan kepada wajib pajak adalah maksimal 30%. Pemerintah Kota

Bandung sendiri sudah menetapkan tarif parkir sebesar 25% melalui Perda

No. 20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah. Tarif pajak parkir tersebut mulai

52 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


berlaku tahun 2012. Tarif itu mengalami kenaikan 5% dari tahun sebelumnya

yang hanya 20% berdasarkan Perda Kota Bandung No. 5 Tahun 2004

tentang Pajak Parkir..

Regulasi parkir dimaksudkan agar pendapatan dari sektor parkir bisa

dikelola secara teratur, mudah dalam pengontrolannya dan bisa maksimal

dalam mendorong peningkatan pendapatan asli daerah. Di Kota Bandung

pelaksana regulasi pajak parkir adalah Dinas Pendapatan Daerah

(Dispenda). Sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Komisi B DPRD

Kota Bandung. Pada tahun 2012, Dispenda bersama dengan Komisi B

DPRD Kota Bandung sudah menetapkan bahwa target penerimaan dari

sektor pajak parkir sebesar 7 milyar44. Target tersebut ditetapkan

berdasarkan dua pertimbangan, yaitu (1) mengacu pada tuntutan target

penerimaan daerah berdasarkan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah) Kota Bandung dan (2) tuntutan secara spesifik untuk

PAD (Pendapatan Asli Daerah) di tahun 2012 45.

Penetapan target 7 milyar untuk pendapatan Kota Bandung dari pajak

parkir juga di dasarkan pada diskresi yang melekat pada Dispenda bahwa

Dispenda hanya bisa menarik pajak parkir bagi usaha-usaha yang hanya

memiliki izin. Diskresi ini berdasarkan arahan Walikota dan mulai berlaku

sejak Desember 201146. Atas dasar diskresi ini lah pada akhirnya ditempuh

cara moderat dalam penentuan target parkir meskipun bagi sebagian

pegawai Dispenda bahwa prespektif penentuan target itu masih cenderung

menggunakan kaca mata kuda, dimana dasar penentuannya tidak rinci dan

44
Zain Iskandar, Hasil Wawancara tanggal 10 Oktober 2012
45
Nofidi Ekaputera, FGD Hasil Penelitian pada tanggal 8 Januari 2013
46
Zain Iskandar, Hasil Wawancara tanggal 10 Oktober 2012

53 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


akurat47 Cara moderat itu kemudian mematok penerimaan pajak parkir

diangka yang tidak terlalu tinggi yakni sebesar 7 milyar di tahun 2012.

Target 7 milyar untuk penerimaan di sektor pajak parkir sesungguhnya

masih terlalu kecil. Dengan predikat kota Bandung sebagai destinasi wisata,

penetapan target penerimaan dari pajak parkir seharusnya lebih dari 7 milyar

bahkan diangka 20an milyar masih dianggap wajar. Berdasarkan hasil

penelitian, potensi penerimaan Kota Bandung khusus dari sektor parkir

minimal 22,6 milyar. Angka tersebut di dasarkan pada hitung-hitungan yang

tertera dalam tabel berikut :

Tabel 4.1.
Tabel Potensi Penerimaan Kota Bandung dari Pajak Parkir

No Kategori Jumlah Pajak/Wajib Penerimaan/Tahun


Wajib Pajak/Tahun
Pajak
1. Tinggi Tipe 1 18 394.800.000 7.106.400.000
(≥ 120.000.000) Tipe 2 4 469.806.000 1.879.224.000
Tipe 3 13 180.000.000 2.340.000.000
2. Sedang Tipe 1 9 42.600.000 383.400.000
(12.000.000 ≤ x < 120.000.000) Tipe 2 30 72.300.000 2.169.000.000
Tipe 3 30 34.680.000 1.040.400.000
Tipe 4 59 118.500.000 6.991.500.000
3. Rendah Tipe 1 14 2.040.000 28.560.000
(< 12.000.000) Tipe 2 46 8.400.000 386.400.000
Tipe 3 38 2.400.000 91.200.000
Tipe 4 31 3.600.000 111.600.000
Tipe 5 11 11.640.000 128.040.000
Total 303 - 22.655.724.000
Sumber : Diolah oleh Peneliti, 2012

47
Nofidi Ekaputera. FGD Hasil Penelitian tanggal 8 Januari 2013

54 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Berdasarkan tabel diatas, potensi penerimaan sebesar 22,6 milyar dari

sektor pajak parkir merupakan potensi yang besar. Padahal, nilai tersebut

bukan angka maksimal sebab perhitungan diatas mengambil sampel wajib

pajak paling kecil dari masing-masing tipe. Artinya, potensi penerimaan Kota

Bandung bisa lebih dari 22,6 milyar. Oleh karena itu, penentuan target 7

milyar di tahun 2012 menunjukkan pesimisme Dispenda terhadap

penerimaan di sektor ini.

Sampai dengan penulisan laporan ini, real penerimaan Kota Bandung

tahun 2012 dari pajak parkir belum juga dihitung. Untuk melihat real

pendapatan dari sektor pajak parkir, bisa dilihat di tahun-tahun sebelumnya.

Jika mengacu pada LKPJ Walikota Bandung di tahun 2009, 2010 dan 2011

penerimaan dari sektor pajak parkir termasuk kecil yakni 5,8 milyar48, 4,5

milyar49, dan 5,9 milyar50. Jika dibandingkan dengan potensi penerimaan

sesungguhnya cukup jauh berbeda. Secara lebih jelas, perbandingan

penerimaan pajak parkir dalam tiga tahun terakhir dengan potensi

penerimaannya bisa dilihat dalam grafik berikut :

Grafik 4.1. Perbandingan Penerimaan Pajak Parkir Tahun 2009, 2010, dan 2011
dengan Potensi Penerimaan Pajak Parkir di Kota Bandung (dalam
milyar rupiah)
25
20
15
10
5
0
Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Potensi

Sumber : Hasil Analisis, 2013

48
LKPJ Walikota Bandung Tahun 2009
49
LKPJ Walikota Bandung Tahun 2010
50
LKPJ Walikota Bandung Tahun 2011

55 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Mengacu pada grafik di atas, dengan mengambil penerimaan pajak

parkir tahun 2011 sebagai pembanding, terjadi gap penerimaan sebesar

16,7 milyar. Nilai gap tersebut dianggap sebagai lost potensi, artinya ada

minimal sebesar 16,7 milyar yang tidak masuk ke khas daerah. Fenomena

gap penerimaan ini menimbulkan dugaan adanya potensi korupsi dalam

pengelolaan penerimaan daerah dari sektor pajak parkir. Penelitian ini tidak

bermaksud menjustifikasi bahwa telah terjadi korupsi di sektor pajak parkir,

tetapi fakta gap tersebut menunjukkan kemungkinan adanya kebocoran atau

penyimpangan atau pengelolaan pajak parkir yang belum optimal sehingga

sejumlah uang yang masuk ke kas daerah atau masuk ke tempat yang

tidak tepat. Untuk dapat mengidentifikasi potensi-potensi korupsi dalam

pengelolaan dana parkir berupa pajak parkir dapat dilihat dari mekanisme

pemungutan dan penerimaan pajak parkir tersebut.

Potensi korupsi dalam pengelolaan penerimaan pajak parkir bisa saja

terjadi karena sistem penerimaan pajaknya masih dominan manual.

Dispenda Kota Bandung masih menerapkan sistem manual dalam

pemungutan pajak parkir. Dewasa ini, sistem manual sudah mulai di

tinggalkan oleh beberapa kota besar dalam mengurus pajak. Pemda DKI

Jakarta suda mulai menerapkan sistem on line. Laporan pajak setiap wajib

pajak bisa diakses oleh publik sehingga kontrol publik sangat besar dan

meminimalisir penyimpangan. Penerapan sistem on line tersebut juga sudah

diterapkan di sektor pajak parkir.

Analisis lebih dalam menunjukkan bahwa sistem manual dalam pajak

parkir menyimpan sejumlah potensi terjadinya korupsi. Hal itu bisa terjadi di

beberapa titik dalam alur mekanisme pembayaran pajak parkir. Untuk

memudahkan analisis tersebut, peneliti mencoba mengacu pada gambar

56 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


alur penentuan dan penarikan pajak parkir di Kota Bandung. Secara lebih

jelas terlihat dalam gambar berikut :

Gambar 4.1.
Alur Penentuan Nilai Pajak dan Pembayaran Pajak Parkir di Kota Bandung

Dispenda menyerahkan WP mengisi SPTPD dan Dispenda menentukan


SPTPD kepada WP secara disampaikan kembali ke besarnya pajak WP dengan
langsung atau WP Dispenda disertai lampiran cara 25% dari nilai SPTPD
mengaksesnya di Website rekap penerimaan 1 bulan yang dilaporkan
Dispenda dan karcis parkir

1 2 3

Uang pajak parkir masuk di Dispenda menerima pajak WP membayar pajak


kas Dispenda untuk di kantor atau tempat lain kepada Dispenda
selanjutnya disetor ke kas dan memberikan bukti berdasarkan hitungan pajak
daerah SSPD kepada WP

6 5 4
Keterangan : SPTPD = Surat Pemberitahuan Tentang Pajak Daerah
SSPD = Surat Setor Pajak Daerah
WP = Wajib Pajak

Sumber : Hasil Analisis, 2013

Berdasarkan gambar diatas, potensi terjadinya korupsi di pajak parkir

bisa terjadi di tiga tahap sebagai berikut :

a. Tahap Pengisian SPTPD oleh wajib pajak

Pada tahap ini, wajib pajak melaporkan pendapatannya dari parkir

selama satu bulan. Dalam laporan tersebut, wajib pajak melampirkan

karcis sebagai bukti transaksi dari penerima jasa parkir. Modus korupsi

yang terjadi dalam tahap ini adalah manipulasi laporan pendapatan. Dari

hasil penelitian, modus ini sulit dibuktikan di Kota Bandung. Namun, dari

57 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


semua wajib pajak yang menjadi sampel dalam penelitian ini tidak ada

satu pun yang berani menyerahkan laporan pendapatannya kepada

peneliti. Fakta yang ditemukan adalah semua wajib pajak

menyembunyikan data laporan pendapatan dengan berbagai alasan,

salah satunya pimpinan tidak mengizinkannya karena data tersebut

masuk dalam kategori rahasia perusahaan. Selain itu, alasan yang sering

dikemukakan adalah data tersebut hanya digunakan untuk kepentingan

audit.

Sistem pengisian SPTPD yang cenderung tertutup memberi celah

manipulasi data oleh wajib pajak. Ketertutupan tersebut memungkinkan

wajib pajak mengisi SPTPD tidak sesuai dengan kondisi yang

sebenarnya. Masyarakat sulit mengontrol karena tidak ada akses

informasi akan data penerimaan wajib pajak. Satu-satunya pihak yang

bisa mengontrol adalah pihak Dispenda sendiri. Persoalan yang

kemudian muncul adalah Dispenda tidak memiliki hasil uji petik semua

wajib pajak. Dari 303 data wajib pajak, hanya beberapa saja yang

memungkinkan dilakukan uji petik karena keterbatasan SDM51. Kondisi ini

membuat Dispenda sulit untuk mengontrol kejujuran laporan pendapatan

pada wajib pajak.

Menurut Robert Klitgaard52, bahwa korupsi bisa terjadi pada saat

tidak adanya akuntabilitas atau minimnya keterbukaan informasi/data

kepada publik. Fenomena yang terjadi pada wajib pajak parkir di kota

Bandung yang cenderung tertutup makin memungkinkan terjadi

penyimpangan di tahap ini. Sangat sulit mengharapkan kejujuran dari

para wajib pajak parkir. Padahal pajak parkir yang masuk dalam kategori
51
Zain Iskandar, Wawancara tanggal 10 Oktober 2012
52
Robert Klitgaard, Donald Maclean-Abaroa, dan H. Lindsay Parris, Op.Cit., p. 29

58 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


self menurut PP Nomor 91 Tahun 2011 menuntut kejujuran dari para

wajib pajak karena kategori self memberikan keleluasaan bagi wajib pajak

untuk menentukan pendapatannya dan petugas pajak hanya menghitung

prosentase berdasarkan laporan pendapatan dari wajib pajak.

Penelitian ini makin mengafirmasi bahwa penerapan pajak dalam

kategori self sulit dilakukan di Indonesia termasuk di Kota Bandung.

Menurut Dewi Kania, ada tiga hal yang menyebabkan mengapa pajak

kategori self sulit diterapkan, yaitu (1) kejujuran wajib pajak, (2) kesadaran

wajib pajak, dan (3) kedisiplinan wajib pajak. Ketiga hal tersebut sulit

diterapkan di Indonesia termasuk di Kota Bandung karena mentalitas

masyarakat belum siap53.

b. Tahap Penentuan nilai pajak oleh Dispenda

Dengan mengacu pada laporan pendapatan pajak parkir, Dispenda

menentukan nilai pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak.

Berdasarkan Perda No. 20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah,

prosentase untuk pajak parkir adalah 25% dari omset yang diperoleh

wajib pajak. Modus korupsi yang bisa saja muncul dalam tahap ini adalah

penyuapan dari wajib pajak.

Di Kota Bandung pengelolaan pajak parkir masih menggunakan

pola konvensional di mana wajib pajak dan petugas pajak masih ada

kontak fisik. Hal ini memungkinkan ada tawar menawar nilai pajak yang

akan dikenakan oleh petugas pajak. Penelitian ini tidak sampai

membuktikan bahwa ada perubahan nilai pajak akibat tawar menawar

dengan petugas pajak di Dispenda. Namun dari hasil penelitian, pihak

53
Dewi Kania, FGD Hasil Penelitian tanggal 8 Januari 2013

59 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Dispenda masih sangat tertutup dan tidak mempublikasikan nilai pajak

yang dibayarkan oleh wajib pajak.

Pada tahap ini masih mengindikasikan ada persoalan. Indikasi itu

nampak ketika peneliti melakukan wawancara dengan pihak Dispenda

dan meminta data terkait dengan penerimaan pajak parkir di Kota

Bandung, data tersebut tidak bisa diberikan. Alasannya bahwa data

tersebut data rahasia dan hanya bisa di publikasikan untuk kepentingan

audit. Penelitian ini hanya bisa mengakses jumlah wajib pajaknya saja

yakni terdapat 303 wajib pajak yang dikenakan pajak parkir. Sejauh ini,

penelitian ini tidak dapat meganalisis lebih dalam modus korupsi yang

terjadi di tahap ini karena keterbatasan data dan informasi.

c. Tahap Pembayaran Pajak

Di Kota Bandung pembayaran pajak parkir bisa dilakukan di dua

tempat, yakni (1) di Dispenda dan langsung kepada petugas pajak, (2) di

tempat lain yang ditentukan dan diluar kantor melalui pertemuan dengan

wajib pajak54. Ketika pajak dibayarkan di luar kantor, maka berdasarkan

ketentuan uang pajak harus masuk ke kas daerah paling lambat 1 X 24

jam.

Modus korupsi yang bisa terjadi pada tahap ini adalah penyuapan

dari wajib pajak. Modus ini hampir mirip dengan modus tahap sebelumnya

yakni pada saat penentuan nilai pajak oleh Dispenda. Perbedaannya

adalah pada tahap ini suap dilakukan untuk memuluskan pembayaran

nilai pajak sesuai kesepakatan dengan petugas pajak saat penentuan

nilai pajak. Bisa dikatakan modus korupsi pada tahap ini adalah suap

54
Peraturan Walikota Bandung Nomor 391 Tahun 2012 Tentang Tata Cara
Pemungutan Pajak Parkir, Pasal 9 ayat (1) dan (2).

60 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


lanjutan untuk memudahkan rencana awal berupa kesepakatan nilai pajak

yang bukan seharusnya.

Penelitian yang dilakukan tidak sampai pada afirmasi modus

korupsi di tahap ini. Namun hasil penelitian yang menunjukkan bahwa

penerimaan pajak parkir sesungguhnya bisa mencapai 22,6 milyar dan

sangat jauh dari realisasi menunjukkan bahwa tidak menuntut

kemungkinan modus korupsi di tahap ini bisa terjadi di Kota Bandung.

2. Potensi Terjadinya Korupsi dalam Pengelolaan Retribusi Perparkiran

Kota Bandung

Kota Bandung merupakan kota dengan penduduk terpadat ketiga di

Indonesia dengan jumlah rata-rata hampir mencapai tiga juta jiwa (Data

Sensus penduduk 2010). Dengan jumlah penduduk yang besar ini,

kebutuhan akan transportasi yang nyaman dan aman menjadi sangat besar.

Namun demikian, jenis transportasi publik yang ada tidak dapat menjawab

kebutuhan warga kota Bandung. Sehingga, banyak warga kota Bandung

beralih kepada kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor yang

mengakibatkan tingginya angka kepemilikan kendaraan pribadi, disamping

juga karena alasan-alasan lainnya.

Selain tingginya angka kepemilikan kendaraan pribadi, kota Bandung

juga merupakan salah satu tujuan wisata favorit. Kombinasi ini

mengakibatkan tingginya kebutuhan akan area parkir di Kota Bandung.

Kondisi ini menimbulkan dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, tingginya

kebutuhan akan area parkir bisa menjadi hal positif dimana pemerintah

dapat mengoptimalkan pemasukan dari sektor perparkiran. Tetapi pada

faktanya, kondisi transportasi di Kota Bandung cukup memprihatinkan

61 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


karena selain banyaknya kendaraan bermotor, kondisi perparkiran yang

tidak tertata dengan rapih pun menjadi sumber kemacetan utama di

beberapa ruas jalan di kota Bandung.

Dengan kondisi di atas, banyaknya kendaraan di Kota Bandung serta

tingginya kebutuhan akan lahan parkir, pemerintah daerah sebenarnya

dapat mengoptimalkan pendapatan daerah dari sektor perparkiran. Salah

satu pendapatan penting dalam sektor perparkiran ini adalah pendapatan

retribusi yang dipungut dari wajib retribusi atau pengguna parkir.

Retribusi pelayanan parkir ditepi jalan umum sebagaimana dijelaskan

dalam Peraturan Daerah (PERDA) Kota Bandung No. 16 Tahun 2012

Tentang Penyelenggaraan Perhubungan dan Retribusi di Bidang

Perhubungan Pasal 1 angka 35 adalah: “Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi

Jalan Umum adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa

penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang disediakan dan

ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.” Dalam hal ini, sektor perparkiran khususnya di badan

jalan umum merupakan pelayanan jasa yang disediakan oleh pemerintah

daerah kepada warga. Sehingga warga yang menggunakan fasilitas ini

dipungut biaya yang dinamakan dengan retribusi. Dalam banyak hal,

retribusi perparkiran turut membantu pemasukan daerah bagi Kota yang

pendapatannya sebagian besar berasal dari sektor jasa seperti kota

Bandung.

Namun di sisi lain, pendapatan retribusi, terutama retribusi pelayanan

parkir di tepi jalan umum bukan sesuatu hal yang strategis. Hal ini

sebagaimana disampaikan oleh Ketua Komisi C DPRD Kota Bandung,

Bapak Entang Suryana, bahwa ke depan justru perparkiran di badan jalan itu

62 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


harus dihilangkan karena mengganggu transportasi secara umum. Usul

yang selama ini berkembang sebagai alternatif dari pengurangan parkir di

badan jalan adalah pembuatan parkir robot/gedung serta Mass Rapid

Transport (MRT). Usulan pertama untuk membangun area parkir khusus di

gedung masih terkendala oleh sedikitnya lahan yang bisa digunakan untuk

area parkir. Sedangkan pembangunan MRT yang merupakan alternatif

transportasi massa, membutuhkan investasi yang cukup besar. Keduanya

memerlukan kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta (Public

Private Partnership).

Retribusi selain sebagai sumber pendapatan juga sebenarnya dapat

dijadikan sebagai alat kontrol dalam merespon kebutuhan lahan parkir yang

tinggi. Studi yang dilakukan oleh ADB tentang perparkiran di Asia

(ADB:2011) menunjukan bahwa harga atau pricing bisa dijadikan alat untuk

mengontrol kebutuhan lahan parkir yang tinggi. Mengikuti prinsip ekonomi

ketika pemerintah menaikan tarif retribusi parkir maka seharusnya

masyarakat akan meresponnya dengan tidak banyak menggunakan

kendaraan bermotor untuk mengurangi pengeluaran.

Prinsip ini sebetulnya sudah diterapkan dalam beberapa aturan yang

ada sebagaimana tercantum dalam Bab VI Pasal 8 tentang prinsip

penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi: “Prinsip dan sasaran dalam

penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum

dan Tempat Khusus Parkir didasarkan atas tujuan untuk mengendalikan dan

penggunaan jasa pelayanan parkir dalam rangka mempelancar lalu lintas

jalan, dengan tetap memperhatikan biaya penyelenggaraan, kemampuan

masyarakat dan aspek keadilan yang meliputi biaya pengadaan marka,

biaya pengadaan rambu-rambu, biaya operasional, pemeliharaan,

63 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


administrasi dan biaya transfortasi”. Namun demikian, prinsip penetapan

tersebut tidak berjalan karena bertolak belakang dengan penetapan tarif

retribusi yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Dengan kata lain, pemerintah

menetapkan tarif yang terlalu rendah untuk retribusi perparkiran sehingga

tujuan awal dari penetapan tarif parkir ini tidak tercapai. Di beberapa negara

maju, pemerintahnya sengaja memasang tarif parkir yang tinggi untuk

mengurangi pengguna parkir di tepi jalan umum sehingga hal ini berdampak

pada berkurangnya kemacetan.

Sebagai sumber pendapatan yang sifatnya sementara, wajar jika

pemerintah tidak mentargetkan hasil yang tinggi dari sektor retribusi

perparkiran ini. Namun di sisi lain, tingginya pengguna parkir di Kota

Bandung tentunya akan menjadi pertanyaan khususnya mengenai besaran

pendapatan dari sektor perparkiran di Badan jalan/Tepi Jalan Umum.

Berdasarkan laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah

(LKPJ KD) Tahun 2011, realisasi pendapatan retribusi pelayanan parkir di

tepi jalan umum hanya mencapai kurang lebih 4 miliar. Ini bertolak belakang

dengan kenyataan dilapangan, sebab hasil survey lapangan yang dilakukan

oleh Fakultas Hukum Unpad dan BIGS menunjukan angka yang cukup tinggi

dibandingkan angka yang ditampilkan oleh pemerintah.

Tabel 4.2. Potensi Penerimaan Retribusi Parkir Kota Bandung

No. Kategori Jumlah Titik Pendapatan/Titik/ Penerimaan/Tahun


Tahun
1 Tinggi Tipe 1 16 207.360.000 3.317.760.000
Tipe 2 12 115.200.000 1.382.400.000
Tipe 3 23 108.960.000 2.506.080.000
2. Sedang Tipe 1 150 64.800.000 9.720.000.000
3. Rendah Tipe 1 19 23.400.000 444.600.000
Tipe 2 17 11.520.000 195.840.000
Total 237 - 17.566.680.000
Sumber : Hasil Analisis 2013

64 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Tabel diatas menunjukan bahwa potensi pendapatan retribusi dari

sektor perparkiran di pinggir jalan dapat mencapai 17 Milyar lebih. Survey

yang dilakukan oleh Fakultas Hukum UNPAD dan BIGS mengambil sampel

berdasarkan Keputusan Walikota No. 551/Kep. 140disHub/2012 Tentang

Penetapan Lokasi dan Posisi Parkir di Tepi Jalan Umum dan Tempat

Khusus Parkir di Kota Bandung yang dibagi ke dalam beberapa

kategori/Tipe sebagai berikut:

 Tinggi

1. Tipe 1 = Posisi parkir 45´ pada satu sisi jalan

2. Tipe 2 = Posisi parkir 60’ pada satu sisi jalan

3. Tipe 3 = Posisi parkir 30’ pada satu sisi jalan

 Sedang

1. Tipe 1 = Posisi parkir paralel pada satu sisi jalan

 Rendah

1. Tipe 1 = Posisi parkir paralel pada dua sisi jalan

2. Tipe 2 = Lokasi tempat khusus parkir

Angka tersebut cukup jauh jika dibandingkan dengan angka realisasi

pendapatan retribusi dari sektor perparkiran sebagaimana dikeluarkan dalam

LKPJ Walikota Tahun 2011 yang hanya mencapai 4 Milyar lebih. Adapun

formula yang digunakan oleh dinas perhubungan dalam menghitung target

pendapatan retribusi adalah sebagai berikut:

Target = Tarif X Frekuensi X Jumlah Hari dalam setahun

1. Tarif : Adalah tarif parkir di Badan Jalan

2. Frekuensi : Adalah frekuensi parkir yang dibagi kedalam 3 zona

 Zona Pusat Kota: 6 Frekuensi

65 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


 Zona Penyangga Kota: 5 Frekuensi

 Zona pinggira: 3 Frekuensi

3. Jumlah hari dalam setahun : 365 Hari

Sumber: Hasil Wawancara FGD dengan Bpk. Apip S. Apip

Formula diatas tergolong sederhana karena pemda (Dishub) hanya

mengambil frekuensi rata-rata dari setiap zona parkir.

Grafik 4.2. Perbandingan Antara Potensi Serta Realisasi Pendapatan

Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum

Pendapatan Retribusi dari sektor Perparkiran


17.566.680.000
18.000.000.000
16.000.000.000
14.000.000.000
12.000.000.000
10.000.000.000
8.000.000.000 4.827.487.000
6.000.000.000 Pendapatan Retribusi dari sektor
4.000.000.000 Perparkiran
2.000.000.000
0
Realisasi Potensi
Pendapatan pendapatan
Pemerintah (LKPJ retribusi parkir
KD 2011) (Survey UNPAD-
BIGS)

Sumber: Hasil Analisis 2012

Dari tabel diatas dapat dilihat adanya Gap yang cukup besar antara

realisasi dengan potensi pendapatan retribusi pelayanan parkir di tepi jalan

umum. Kondisi ini jelas merugikan karena pemerintah mengalami loss atau

kehilangan pendapatan dari yang seharusnya ia terima. Masyarakatpun

dirugikan karena dari retribusi yang dibayar tidak memberikan outcome atau

66 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


hasil apapun, khususnya dalam peningkatan infrastruktur atau sarana dan

prasarana yang terkait dengan perparkiran atau transportasi secara umum.

Apabila pemerintah mengelola pendapatan retribusi dengan baik, tentu

hasilnya akan optimal dan hasil dari pendapatan retribusi tersebut dapat

digunakan untuk pembangunan gedung parkir (yang menggantikan parkir di

tepi jalan umum) serta pembangunan transportasi publik seperti MRT.

Pertanyaan yang muncul adalah kemana uang hasil retribusi parkir

tersebut ? Ini bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Namun dari

hasil penelitian dapat dilihat bahwa pemerintah Kota Bandung menargetkan

pendapatan yang kecil dari retribusi di tepi jalan umum. Target ini

nampaknya tidak menggambarkan kondisi riil di lapangan dimana pemda

sebenarnya dapat mentargetkan angka yang lebih besar lagi.

Potensi korupsi di Pendapatan retribusi pada sektor perparkiran juga

bisa dilihat dari mekanisme pemungutan dan penerimaan hasil retribusi

parkir dan mengaitkannya dengan faktor-faktor : pertama adalah faktor

SDM, kedua faktor system yang mengatur aliran dana retribusi, ketiga

adalah faktor eksternal. Pertama, dari sisi Sumber Daya Manusia, potensi

korupsi di sektor perparkiran di Kota Bandung amatlah besar karena uang

retribusi langsung masuk ke kantong Juru Parkir (Jukir). Kondisi ini

menyebabkan sulitnya dilakukan verifikasi karena tim pengawas yang ada

tidak dapat memantau secara langsung dan tidak dapat mengetahui berapa

jumlah uang sebenarnya yang masuk ke kantong juru parkir. Di sisi lain,

Kondisi dari juru parkir itu sendiri yang statusnya hanya sebagai mitra dari

lembaga pemerintah (Dishub), dan bukan karyawan PNS atau karyawan

kontrak karena tidak memungkinkan berdasarkan peraturan perundang-

undangan. Kondisi ini menyebabkan ketidakpastian pendapatan pada si

67 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Juru Parkir itu sendiri. Mereka menggantungkan hidupnya sepenuhnya pada

pendapatan parkir yang diterima setiap hari. Status Juru Parkir yang hanya

sebagai mitra tidak memberi kejelasan tentang sistem remunerasi yang

harus mereka terima.

 237 Lokasi titik parkir Badan Jalan

 180 Lokasi yang menjadi potensi

 1774 Juru Parkir

Sumber: Wawancara FGD dengan Bpk Apip S. Apip

Potensi Korupsi pendapatan retribusi dari sektor perparkiran dapat muncul

akibat lemahnya mekanisme pengawasan aliran dana retribusi itu sendiri.

Mengacu kepada hasil FGD dengan Kepala UPTD perparkiran Kota

Bandung, Aliran dana retribusi dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.2.
Aliran Dana Retribusi Kota Bandung

1 Juru Parkir memungut uang


parkir dari Wajib retribusi
Wajib Retribusi membayar sambil menyerahkan karcis.
Uang parkir kepada Juru Kemudian menyerahkannya
Parkir
kepada Kepala Sektor
sambil menandatangani
Kuitansi

4 Kepala Sektor memungut


dari Jukir dan menyerahkan
Bendahara ke Bendahara dengan
mengisi format yang sudah
ditentukan
Sumber: Hasil analisis, 2013

68 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Dari gambar diatas petugas perparkiran memungut langsung uang

parkir dari Wajib retribusi. Kemudian Juru Parkir menyerahkan uang parkir

kepada Kepala sektor setelah dikurangi oleh biaya operasional untuk dirinya

sendiri. Juru Parkir menanda tangani kuitansi yang nantinya akan diteruskan

sampai ke Bendahara. Kepala sektor yang berjumlah 24 orang di Kota

Bandung, tugasnya adalah memfasilitasi pemungutan uang parkir dari setiap

juru parkir yang ada di Kota Bandung. Kepala sektor bertugas untuk

memungut uang parkir untuk kemudian menyerahkan hasil uang parkir

tersebut ke Bendahara dengan membawa rekap kuitansi serta mengisi

formulir yang sudah disediakan oleh Bendahara.

Untuk meminimalisir penyelewengan aliran dana, Pemerintah kota

lewat dinas perhubungan sebenarnya sudah membentuk tim pengawas yang

terdiri dari:

a. Tim Pengawas Lapangan

b. Tim Verifikasi untuk Kepala Sektor

c. Tim Pengawas gabungan

Pengawas lapangan langsung terjun ke lapangan memantau para juru

parkir. Tim Verifikasi bertugas memantau kepala sektor yang memungut

uang dari pada juru parkir. Namun demikian, potensi korupsi dapat terjadi

dengan mudah karena Ketersediaan pengawas dengan jumlah juru parkir

tidak seimbang. Potensi Korupsi dapat terjadi di titik Juru Parkir karena

beberapa hal, pertama Juru parkir menerima langsung uang dari wajib

retribusi, Kedua juru parkir itu sendiri yang mengetahui besaran total uang

parkir yang diterima setiap harinya. Hal ini menjadi rawan untuk

dimanipulasi. Kemudian titik rawan lain terjadi di Kepala Sektor yang

memungut uang parkir dari juru parkir. Dimana Kepala Sektor dapat

69 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


membuat kesepakatan tertutup antara dirinya dengan juru parkir dalam

menentukan jumlah besaran uang yang akan diserahkan ke Bendahara.

Faktor ketiga yang menjadi potensi korupsi pada pendapatan retribusi

adalah faktor-faktor luar atau faktor-faktor eksternal diluar sistem. Pertama

adalah oknum keamanan (Patroli Polisi) yang meminta uang langsung

kepada juru parkir, kedua preman, ketiga adalah para juru parkir illegal.

Khusus untuk juru parkir illegal ini, sebagaimana diakui oleh pihak dinas

perhubungan sangat sulit untuk diberantas. Namun demikian, pihak

pemerintah daerah Kota Bandung, bekerjasama dengan unsur-unsur terkait

sudah melakukan penindakan, salah satunya dengan melakukan

penggembokkan pada kendaraan yang parkir illegal serta pemenjaraan pada

juru parkir illegal55.

B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB YANG MENYEBABKAN TERJADINYA

PENYIMPANGAN DALAM PENGELOLAAN DANA PERPARKIRAN DI KOTA

BANDUNG

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana

meningkatkan potensi pemasukan dari sektor perparkiran dengan cara:

mengenali potensi korupsi (hilangnya uang) di dalam keseluruhan aliran kerja

dan uang yang muncul dalam mekanisme pengelolaan perparkiran; dan

memberikan penjelasan dari sudut pandang teori kriminologi, faktor-faktor

kriminogen apakah yang menyebabkan dan memungkinkan pelaku dalam

posisi/kedudukan tertentu melakukan penyimpangan perilaku (korupsi), dan

selanjutnya menemukan model pengelolaan parkir yang dapat meminimalisir

kebocoran pemasukan asli daerah (PAD).

55
. Apip S. Apip, FGD Hasil Penelitian, 8 Januari 2013

70 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Untuk memberikan penjelasan dari sudut pandang kriminologi, maka

berangkat dari uraian terdahulu dapat diberikan sketsa mekanisme pengelolaan

perparkiran di Kota Bandung yakni: pengelolaan parkir yang diserahkan kepada

swasta (pemilik gedung atau penyewa lahan parkir); pengelolaan parkir yang

diserahkan kepada Dinas Perhubungan, terbatas pada badan jalan di sejumlah

titik titik di kota Bandung; dan pengelolaan parkir yang diserahkan pada PD

Pasar (pengelolaan model ini di luar cakupan penelitian ini). Dari masing-

masing mekanisme demikian, kemudian diidentifikasi berbagai permasalahan

yang merupakan hasil temuan di lapangan.

1. Parkir yang dikelola oleh swasta

Dalam pengelolaan parkir yang diserahkan kepada swasta dapat

diidentifikasi sejumlah aktor terpenting yang meliputi: Pertama, pemilik

gedung/lahan yang atas dasar kesepakatan perdata (kontrak) menyewakan

atau memberikan persetujuan bagi pengelola parkir untuk mengelola

kegiatan perparkiran; Kedua, pengelola parkir swasta yang memiliki izin

(pengelolaan parkir) dan karenanya kemudian menjadi wajib pajak; Ketiga,

petugas Pajak yang memeriksa besaran pajak yang harus disetorkan

pengelola parkir. Perhitungan besaran pajak dari hasil pengelolaan parkir

ditetapkan sebesar 25% dari pemasukan bruto, namun demikian

penghitungan total bruto diserahkan kembali kepada pengelola parkir (self

assessment); Keempat, Dinas Pendapatan Daerah yang berkewajiban

memenuhi target jumlah pemasukan tertentu dari sektor perparkiran

(swasta). “Over target” diperhitungkan sebagai bonus yang dapat dibagi-

bagikan sebagai “reward” bagi pegawai; Kelima, Petugas jasa keamanan

legal/illegal: kepolisian dan/atau preman yang berkedudukan sebagai free

71 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


riders. Uang yang “wajib” dibayarkan secara berkala maupun insidental dan

dalam jumlah tetap atau tidak akan diperhitungkan oleh pengelola parkir

swasta sebagai “fixed cost” atau “overhead”. Pos pengeluaran tersebut ini

mempengaruhi perhitungan besaran pemasukan bruto.

Bagaimana bekerjanya aktor-aktor ini sebagaimana diungkap dalam

penelitian dapat dirangkum dalam temuan-temuan terpenting sebagai

berikut:

a. Pengelola parkir yang pemasukannya diperhitungkan sebagai potensi

pendapatan pajak daerah hanyalah pengelola parkir yang memiliki izin.

Pihak pengelola parkir dari pemilik lahan/gedung yang belum mengurus

izin tidak (belum) diperhitungkan sebagai subyek pajak. Tidak ada data

tentang jumlah dan sebaran pemilik lahan atau pengelola parkir yang

belum memiliki izin. Karenanya sektor ini luput dari perhitungan potensi

pendapatan pajak daerah.

b. Tidak ada data akurat tentang luasan lahan parkir. Ketiadaan data akurat

ini menyulitkan pengawasan (dan perhitungan potensi secara lebih tepat).

c. Pengelola parkir swasta harus melakukan self assessment pemasukan

bruto untuk kepentingan pembayaran pajak parkir yang besarannya

ditetapkan sepihak oleh pemerintah (25%). Mekanisme self assessment

ini disadari merupakan peluang besar terjadinya kebocoran pemasukan

pajak daerah. Wajib pajak kerap tidak jujur dalam melaporkan

pendapatan atau terpaksa mengelola pembukuan ganda dan dalam

laporan keuangan serta penetapan besaran pajak yang harus disetorkan

menjalin kerjasama tidak resmi oknum petugas pemungut pajak. Tidak

ada informasi tentang pemeriksaan ulang terhadap laporan keuangan

wajib pajak oleh petugas pajak.

72 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


d. Ketidakjujuran wajib pajak dalam melaporkan penghasilan bruto nya

dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut: tingginya “overhead cost” yang

meliputi: biaya sewa lahan, gaji para pegawai, dan pembayaran jasa

keamanan baik resmi maupun tidak resmi, yang menagih pembayaran

tersebut rutin maupun insidentil, baik untuk kepentingan kepolisian

maupun preman.

e. Penentuan target pemasukan dari sektor pengelolaan parkir swasta tidak

didasarkan pada suatu penelitian atau analisis yang cermat. Target

pencapaian retribusi tahunan ditetapkan oleh Pemerintah daerah

(Pemerintah Kota). Penetapan target ini tidak memiliki dasar yang jelas.

Pemerintah Kota hanya memberikan angka (target) yang harus dicapai

selama kurun waktu satu tahun. Pada lain pihak, dinyatakan bahwa

pemerintah kota memiliki formula tersendiri dalam penetapan angka

tersebut. Penetapan target biasanya didasarkan pada jumlah capaian

tahun sebelumnya.

f. (Akibat dari itu semua) besaran parkir yang dibebankan kepada pemilik

kendaraan ditetapkan sendiri oleh pengelola parkir. Karena dibandingkan

dengan biaya parkir di pinggir jalan yang jauh lebih murah daripada parkir

di mall misalnya, maka pemilik kendaraan cenderung memilih

memarkirkan kendaraan di ruas/badan jalan.

2. Parkir yang dikelola oleh Dinas Perhubungan/Unit Pelaksana Teknis

Daerah (Parkir Badan Jalan)

Aktor-aktor terpenting dalam pola pengelolaan parkir badan jalan ini

meliputi: Pemerintah daerah/kota yang menentukan titik-titik parkir di ruas

badan jalan serta target pemasukan dari sektor perparkiran di ruas badan

73 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


jalan; kedua Pengawas (Dishub/UPTD) yang melaksanakan kontrol harian

dengan menetapkan target/sistem setoran, penggunaan karcis parkir, dan uji

petik; Ketiga, yang terpenting, adalah Juru Parkir yang menetapkan target

pendapatan hariannya sendiri (self assessment).

Bagaimana bekerjanya aktor-aktor ini sebagaimana diungkap dalam

penelitian dapat dirangkum dalam temuan-temuan terpenting sebagai

berikut:

a. Penentuan titik-titik parkir tidak dilakukan berdasarkan suatu

kajian/analisis yang memadai. Pemerintah kota hanya menetapkan 237

titik parkir di Kota Bandung. Akibatnya di luar itu, muncul banyak titik-titik

parkir tidak resmi (illegal) yang memberi penghidupan pada juru parkir

(atau jasa keamanan resmi/tidak resmi). Titik-titik ini tidak memberikan

sumbangan atau diperhitungkan ke dalam pemasukan daerah.

b. Penetapan target tidak memiliki dasar yang jelas. Pemerintah kota hanya

memberikan angka yang harus dicapai selama kurun waktu satu tahun.

Pemerintah memiliki formula tersendiri dalam penetapan angka tersebut

berdasarkan zonasi. Penetapan target biasanya didasarkan pada jumlah

capaian tahun sebelumnya atau berdasarkan uji petik.

c. Tidak ada mekanisme perekrutan juru parkir yang jelas. Juru parkir pada

akhirnya menjadi profesi yang diwariskan atau diturunkan atau diserahkan

dari masing-masing individu kepada individu lain. Juru parkir tidak

mendapat gaji atau pemasukan lain dari pemerintah. Mereka bebas

mempekerjakan dan menggaji diri mereka sendiri (self employed)

berdasarkan pendapatan yang mereka peroleh sehari-hari. Artinya disini

samasekali tidak ada mekanisme kontrol. Kontrol yang ada hanya dalam

bentuk target yang harus disetorkan kepada UPTD Dishub yang kerapkali

74 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


tidak tercapai dengan berbagai alasan. Salah satu alasan yang

mengemuka adalah adanya biaya yang harus dikeluarkan baik untuk

mempertahankan wilayah kerja maupun untuk menjaga keamanan

kepada preman di wilayah tersebut.

d. Juru parkir tidak langsung menyerahkan uang retribusi kepada UPTD

Dishub (sebagai collector) melainkan melalui agen (mandor) yang

ditugaskan mengawasi sejumlah titik parkir (wilayah). Namun mandor-pun

bekerja berdasarkan target capaian tertentu dengan akibat tidak semua

uang hasil parkir yang disetorkan juru parkir kemudian diteruskan kepada

UPTD Dishub.

e. Meskipun peraturan daerah yang ada mensyaratkan pemberian tiket

parkir kepada pengguna lahan parkir, tidak pernah ada pemeriksaan

silang dari pihak yang berwenang. Dengan demikian tidak terlacak jumlah

tiket yang masuk (diberikan kepada juru parkir) dan berapa yang keluar

(diberikan kepada pengguna lahan parkir). Di samping itu, juru parkir

kerap tidak menyerahkan tiket pada pengguna. Tiket parkir, dengan kata

lain, dalam praktiknya tidak berfungsi sebagai sarana kontrol.

Disamping temuan-temuan diatas terdapat sejumlah temuan yang bersifat

umum dalam pengelolaan perparkiran badan jalan maupun parkir yang

dikelola oleh swasta, sebagai berikut:

a. Satuan pengawasan memiliki fungsi pengawasan tanpa disertai

kewenangan untuk menindak. Unit pengawas hanya diberi kewenangan

menyampaikan laporan kepada aparat penegak hukum. Fakta ini dapat

dikaitkan pula pada kenyataan tidak ada tindakan tegas dari pemerintah

maupun aparat penegak hukum terhadap wajib pajak maupun juru parkir

75 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


yang melanggar (menyimpangi atau menyelundupi aturan), misalnya

parkir liar.

b. Tidak ada sistem penghargaan bagi para juru parkir maupun wajib pajak

pengelola perparkiran dan tidak ada tindakan yang tegas dari pemerintah

maupun aparat penegak hukum terhadap wajib pajak maupun juru parkir

yang menyalahi aturan.

c. Pendapatan juru parkir maupun pengelola parkir swasta, harus

dikurangkan dengan biaya tetap yang harus dibayarkan pada jasa

keamanan resmi (kepolisian) atau tidak resmi (preman) yang secara

berkala atau insidental meminta “jatah” yang tidak sedikit.

Berdasarkan paparan tentang sketsa di atas dan temuan-temuan

penelitian yang terpenting dapat dilakukan kajian kriminologis. Tujuan analisis

kriminologis ini adalah mengungkap faktor-faktor apa yang mempengaruhi

penyimpangan perilaku dari aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan

perparkiran di kota Bandung dalam pengelolaan dana parkir. Dari penjelasan ini

diharapkan pemangku kepentingan dapat mengambil pilihan kebijakan yang

dilandaskan informasi cukup (well informed policy). Perspektif kriminologi ini

kemudian akan menjadi landasan pengembangan model-model pengelolaan

perparkiran yang diharapkan dapat menanggapi permasalahan kebocoran

pemasukan daerah dari sektor perparkiran.

Teori yang di sini akan digunakan adalah teori Kontrol, teori Differential

Association/Learning theory dan teori sub-culture. Pilihan ini dilandaskan pada

temuan-temuan yang diungkap di atas yang terfokus pada kurangnya

kontrol/pengawasan yang mengakibatkan kebocoran serta perilaku yang

dipelajari (ditiru/diwariskan) dari orang-orang lain atau lingkungan sekitar

pelaku.

76 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Pada pokoknya teori kontrol mencoba menjelaskan: conformity and ask

why most of us don’t commit crime more often, dan dilandaskan asumsi bahwa

crime is a normal phenomena and is something that should be expected in the


56
absence of adequate control. Teori ini menjawab pertanyaan tentang

“conformity” di atas dengan menjelaskan bahwa adanya kontrol akan

mencegah orang melakukan penyimpangan/kejahatan.57 Tidak adanya external

atau internal control menyebabkan orang cenderung untuk melakukan

penyimpangan perilaku (kriminalitas). Teori Differential Association

menjelaskan antara lain: criminal behavior is learned in interaction with other

persons in a process of communication.58 Dari perspektif ini penyimpangan

perilaku atau kejahatan terjadi karena orang secara sadar memilih untuk meniru

perilaku orang lain (significant others) dan perilaku tersebut dipandang lebih

menguntungkan. Sedangkan teori Sub-culture menjelaskan bagaimana

terbentuknya suatu kultur ditengah-tengah kultur dominan yang memiliki nilai

dan norma yang berbeda sebagai suatu mekanisme survival dalam

menghadapi permasalahan mereka.59

Perilaku juru parkir/pengelola parkir yang tidak menyetorkan sepenuhnya

uang parkir yang mereka kumpulkan sesuai target merupakan dampak dari

kurangnya kontrol eksternal dan (yang memunculkan) kesempatan. Dikatakan

sebelumnya bahwa perhitungan jumlah yang harus disetorkan sepenuhnya

merupakan hasil self assessment. Selain itu pengawasan dari luar (mandor

ataupun petugas pajak) sangat lemah. Dapat pula ditambahkan lemahnya

kontrol internal dari masing-masing aktor yang terlibat dalam penyimpangan

perilaku yang disorot. Teori yang sama juga dapat menjelaskan perilaku

56
Tim Newburn, Op.Cit., p. 228
57
George B. Vold et al, Op.Cit., p. 177.
58
Ibid, p. 159.
59
Rob White & Fiona Haines, Op.Cit., p. 60.

77 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


“oknum” petugas pemungut pajak maupun mandor yang seyogianya

mengawasi kinerja juru parkir.

Selanjutnya kontrol internal melalui ikatan sosial menurut Hirschi60

terbentuk dari empat elemen penting: attachment, commitment, involvement

and beliefs. Attachment digambarkan sebagai the ties of affection and respect

to significant others in one’s life, and more generally a sensitivity to the opinion

of others. Commitment adalah the investment of time and energy to (social)

activities and goals. Involvement adalah the patterns of living that shapes

immediate and long term opportunities. Sedangkan beliefs adalah the degree to

which people agree with the rightness of legal rules which are seen to reflect

moral consensus in society. Singkat kata internal kontrol dibentuk oleh

bagaimana individu memaknai lingkungan hidup atau dunia sosial disekitarnya.

Dari perspektif ini penting memahami siapa dan lingkungan hidup pelaku

perbuatan menyimpang. Jaringan kerja dan kegiatan pelaku dalam

pengelolaan perparkiran dengan demikian turut membentuk pilihan-pilihan yang

diambil dan yang dianggapnya wajar.

Beranjak dari ini pula, maka learning theory atau differential association

dapat dipergunakan untuk menjelaskan perilaku menyimpang yang disorot di

atas. Juru parkir/pengelola parkir tidak dengan sendirinya mengetahui

bagaimana “menyimpangi aturan”, bersikap “memandang remeh aturan”, atau

“menyelundupi aturan”. Kegiatan ini dipelajari dari orang-orang disekitar pelaku

yang dianggap significant olehnya. Sementara itu orang-orang yang paling

penting (significant dalam arti luas) dalam kegiatan pengelolaan perparkiran

adalah “oknum” petugas pajak, penyedia jasa keamanan (formal-informal).

Untuk yang terakhir dapat ditambahkan kegiatan ekonomi formal (jasa

60
Tim Newburn, Op.cit, p. 232-234.

78 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


perparkiran) bersinggungan erat dengan premanisme. Seperti telah disinggung

di atas, tingginya biaya operasional pengelolaan parkir disebabkan antara lain

oleh kewajiban pengelola parkir/juru parkir untuk membayar jasa keamanan

secara insidental ataupun rutin.

Premanisme sendiri yang muncul di sektor formal (kepolisian) maupun

informal (preman jalanan atau lainnya) dapat dijelaskan dengan menggunakan

pendekatan sub-culture. Pada pokoknya teori sub-culture menyatakan bahwa

kelompok preman (sebahagian besar merupakan kelompok masyarakat yang

terpinggirkan) menciptakan sub-kultur yang berbeda dari kultur dominan.

Sekaligus mereka di dalam sub-kultur tersebut mengembangkan norma

perilaku yang berbeda dari yang dianggap wajar oleh kultur dominan. Sub-

kultur ini lahir sebagai mekanisme survival.

C. MODEL PENGELOLAAN PERPARKIRAN YANG EFEKTIF DAN EFISIEN

MENCEGAH TERJADINYA TINDAK PIDANA KORUPSI

Pengelolaan perparkiran di Indonesia termasuk di Kota Bandung selalu

terkait dengan pajak parkir dan retribusi parkir sebagai pendapatan asli daerah

sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah khususnya Pasal 62 – Pasal 66 tentang pajak parkir dan

Pasal 127, Pasal 132, dan Pasal 150 tentang retribusi parkir. Berdasarkan

ketentuan tersebut dan pengaturan pajak parkir dan retribusi parkir dalam

peraturan daerah penyelenggaraan tempat parkir dapat dibagi menjadi 3

kategori, yaitu :

1. Penyelenggaraan tempat parkir yang dikelola pihak swasta terkait dengan

pajak parkir;

79 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


2. Penyelenggaraan tempat parkir yang dikelola Pemerintah Daerah terkait

dengan retribusi parkir;

3. Penyelenggaraan tempat parkir yang dikelola secara mandiri yang

dikecualikan dari pajak parkir dan retribusi parkir.

Pada tahun 2008 Kota Bandung memiliki peraturan daerah yang

mengatur mengenai penyelenggaraan perparkiran yaitu Peraturan Daeran No.

03 tahun 2008 tentang penyelenggara perparkiran. Walaupun perda tersebut

belum mengatur dan menjadi pedoman untuk melakukan pengelolaan

perparkiran dengan baik dan representatif, namun setidaknya Kota Bandung

sudah memiliki regulasi yang bertujuan untuk mengatur mengenai pengelolaan

perparkiran. Namun sayangnya Perda No. 03 tahun 2008 tesebut sudah

dicabut dengan Perda No. 16 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Perhubungan dan Retribusi di Bidang Perhubungan (Pasal 226). Perda No. 16

Tahun 2012 sendiri sesuai dengan judulnya adalah berkaitan dengan retribusi

parkir di bidang perhubungan dan bukan tentang pengelolaan perparkiran yang

meliputi penyelenggaraan tempat parkir dengan pajak parkir dan retribusi

parkir. Untuk pengaturan mengenai pajak parkir diatur dalam Perda No. 05

tahun 2004 tentang Pajak Parkir dan di dalamnya mengatur norma-norma yang

berkaitan dengan pengenaan pajak parkir dan tidak mengatur mengenai

pengelolaan tempat parkir. Demikian pula dengan Perda No. 20 tahun 2011

tentang Pajak Daerah dan Peraturan Walikota Bandung No. 391 tahun 2012

tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Parkir. Dengan telah dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku Perda No. 03 tahun 2008 tentang penyelenggara

perparkiran maka saat ini tidak ada regulasi di Kota Bandung yang khusus

dapat dijadikan dasar hukum dan atau mengatur mengenai pengelolaan

perparkiran di Kota Bandung. Penyelenggaraan perparkiran dilakukan dalam

80 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


konteks pajak parkir dan retribusi parkir sehingga orientasinya hanya pada

pendapatan daerah. Padahal maksud dan tujuan pengelolaan perparkiran

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 Perda No. 03 tahun 2008 sudah

cukup baik yaitu untuk menunjang keselamatan, keamanan, ketertiban, dan

kelancaran lalu lintas angkutan jalan, meningkatkan jasa pelayanan parkir dan

meningkatkan pendapatan asli daerah. Jadi dalam Perda No. 03 tahun 2008

tujuan meningkatkan pendapatan asli daerah hanya salah satu saja dan

merupakan tujuan terakhir. Dalam Perda No.03 tahun 2008 juga dirumuskan

ketentuan mengenai tempat parkir yang harus memperhatikan :

1. rencana tata ruang wilayah dan rencana detail tata ruang kota;

2. keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas;

3. penataan dan kelestarian lingkungan;

4. kemudahan bagi pengguna jasa parkir; dan

5. estetika kota.

Menurut Mubiar Purwasasmita seorang gurubesar dari ITB pemerhati

masalah transportasi dan perparkiran, dalam pengelolaan perparkiran

seharusnya dilakukan rekayasa ruang dan bukan rekayasa lahan karena lahan

tidak pernah bertambah tetapi justru berkurang. Yang dilakukan saat ini oleh

pemerintah daerah adalah baru menata luasan dan belum menata ruang.

Pengelolaan perparkiran sebaiknya mendasarkan pada filosofi pohon yang

selalu menata ruang di sekitarnya : di bawah, samping dan di atasnya, untuk

tumbuh dan kembang dirinya dengan memberikan manfaat bagi lingkungan

sekitarnya.61

Pengelolaan perparkiran menurut Mubiar Purwasasmita dan juga menurut

Nofidi Eka Putera, Dispenda Kota Bandung, harus dilihat sebagai bagian dari

61
Mubiar Purwasasmita, FGD Hasil Penelitian, 8 Januari 2013

81 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


penataan taman kota, lingkungan terbuka hijau, jasa pelayanan parkir,

keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas angkutan jalan,

tidak semata-mata sebagai sumber pendapatan asli daerah melalui pajak parkir

dan retribusi parkir.62

Berdasarkan konsep tersebut dan memperhatikan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku serta hasil penelitian maka model

pengelolaan perparkiran harus dilakukan secara terintegrasi yang dilakukan

oleh suatu lembaga yang mengelola penyelenggaraan perparkiran baik yang

diselenggarakan oleh swasta, pemerintah daerah, maupun secara mandiri. Hal

ini didukung dengan instrumen hukum berupa peraturan daerah yang mengatur

pengelolaan perparkiran baik secara kelembagaan, mekanisme

penyelenggaraan perparkiran, pembinaan dan pengendalian, dan sanksi.

Regulasi pengelolaan perparkiran seharusnya didasarkan pada hasil kajian

teknisnya baik mengenai jumlah kendaraan, lahan yang tersedia, arus

transportasi, pusat kegitan/usaha, sumber daya manusia, dll.

Model pengelolaan perparkiran berdasarkan konsep tersebut adalah :

a. Pengelolaan perparkiran diselenggarakan secara terintegrasi baik

diselenggarakan oleh pemerintah daerah, swasta, kerjasama pemerintah

daerah dan swasta atau secara mandiri dengan menggunakan gedung dan

pelataran parkir, atau halaman pasar/pertokoan milik atau yang dikuasai

badan hukum/perorangan.

b. Penyelenggaraan perparkiran untuk umum di tepi jalan umum baik pada

badan jalan dan atau pada ruang milik jalan ditiadakan secara bertahap.

c. Pemerintah daerah baik sendiri maupun bekerjasama dengan swasta

membangun gedung-gedung untuk perparkiran berdasarkan hasil

62
Ibid.

82 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


perhitungan kebutuhan parkir pada masing-masing titik parkir dengan

mempertimbangkan, rencana tata ruang wilayah dan rencana detail tata

ruang kota, pusat-pusat kegiatan masyarakat, keselamatan, keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas, penataan dan kelestarian lingkungan;

kemudahan bagi pengguna jasa parkir, dan estetika kota.

d. Pengelolaan perparkiran dilakukan secara elektronik/online untuk

menghindari terjadinya manipulasi dan untuk kepentingan transparansi dan

akuntabilitas.

e. Penggunaan sistem parkir berlangganan.

f. Dalam hal pengelolaan parkir dikerjasamakan antara pemilik gedung

dengan pengusaha parkir wajib melibatkan dan atas ijin dari lembaga

pengelola perparkiran.

g. Pemungutan pajak parkir tidak didasarkan pada ijin usaha yang dimiliki

pelaku usaha karena pada hakekatnya pajak adalah kontribusi wajib

seseorang atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-

Undang dan bukan berdasarkan ijin usaha.

h. Pengelolaan perparkiran baik oleh swasta, pemerintah daerah, atau secara

mandiri didasarkan ijin pengelolaan tempat parkir dari Kepala Daerah yang

diberikan secara selektif.

i. Pemerintah mengembangkan kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan

perparkiran yang mendorong perseorangan dan/atau badan untuk

melakukan investasi dalam pengelolaan gedung di satu sisi dan di sisi lain

mendorong pengurangan penggunaan kendaraan pribadi.

j. Penegakan hukum yang tegas atas pelanggaran ketentuan perparkiran

seperti menggunakan gembok dan derek terhadap mobil yang melanggar

larangan parkir.

83 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Dengan model pengelolaan perparkiran yang baik dan transparan dapat

menjadi salah satu instrumen pencegahan penyimpangan atau

penyalahgunaan kekuasaan dalam pengelolaan perparkiran dan akhirnya dapat

mencegah terjadinya korupsi dalam pengelolaan perparkiran.

84 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis terhadap permasalahan penelitian dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengelolaan dana perparkiran di Kota Bandung dilakukan melalui pajak

parkir dan retribusi parkir. Berdasarkan alur pembayaran pajak parkir

dan mekanisme pemungutan dan penerimaan hasil retribusi parkir di

Kota Bandung terdapat potensi terjadinya korupsi dalam kedua

pengelolaan dana perparkiran tersebut. Dalam pengelolaan pajak

perparkiran potensi terjadinya korupsi terdapat pada : pertama, tahap

pengisian Surat Pemberitahuan Tentang Pajak Daerah (SPTPD) oleh

wajib pajak yaitu dengan memanipulasi laporan pendapatan wajib pajak

yang sebenarnya; kedua, tahap penentuan nilai pajak oleh Dinas

Pendapatan Daerah (Dispenda) yaitu dengan menyuap petugas pajak

oleh wajib pajak; dan ketiga, tahap pembayaran pajak yaitu dengan

melakukan penyuapan terhadap petugas pajak. Sedangkan dalam

pengelolaan retribusi perparkiran potensi terjadinya korupsi terdapat

mulai dari pemungutan retribusi parkir dari wajib retribusi oleh juru parkir

yaitu Juru Parkir dapat menggunakan uang retribusi parkir untuk

kepentingannya sendiri, penyerahan uang parkir oleh Juru Parkir

kepada Kepala Sektor yaitu dengan tidak menyerahkan uang retribusi

85 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


parkir yang seharusnya atau kolusi dengan Kepala Sektor, dan pihak-

pihak di luar sistem yang mengambil uang retribusi parkir seperti oknum

Polisi dan preman yang meminta jatah dari Juru Parkir serta

pemungutan retribusi parkir illegal.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyimpangan dalam

pengelolaan perparkiran di Kota Bandung kurangnya kontrol atau

pengawasan baik internal maupun eksternal terhadap wajib pajak, jurur

parkir, kepala sektor sehingga menimbulkan adanya kesempatan untuk

melakukan penyimpangan, berbagai praktik penyimpangan dalam

pengelolaan dana perparkiran baik oleh orang-orang yang terlibat dalam

pengelolaan perparkiran maupun bukan menjadi referensi dalam

melakukan penyimpangan, dan premanisme dalam pengelolaan

perparkiran yang mengakibatkan adanya kebocoran dana perparkiran.

3. Model pengelolaan perparkiran di Kota Bandung untuk mencegah

terjadinya korupsi sebaiknya tidak hanya dilihat dari aspek pendapatan

asli daerah tetapi juga dari aspek tata kota, lalu lintas dan transportasi,

lingkungan hidup, dan pengguna jasa perparkiran, yaitu :

a. Pengelolaan perparkiran diselenggarakan secara terintegrasi baik

diselenggarakan oleh pemerintah daerah, swasta, kerjasama

pemerintah daerah dan swasta atau secara mandiri dengan

menggunakan gedung dan pelataran parkir, atau halaman

pasar/pertokoan milik atau yang dikuasai badan hukum/perorangan.

b. Penyelenggaraan perparkiran untuk umum di tepi jalan umum baik

pada badan jalan dan atau pada ruang milik jalan ditiadakan secara

bertahap.

86 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


c. Pemerintah daerah baik sendiri maupun bekerjasama dengan

swasta membangun gedung-gedung perparkiran berdasarkan hasil

perhitungan kebutuhan parkir pada masing-masing titik parkir

dengan mempertimbangkan, rencana tata ruang wilayah dan

rencana detail tata ruang kota, pusat-pusat kegiatan masyarakat,

keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas,

penataan dan kelestarian lingkungan; kemudahan bagi pengguna

jasa parkir, dan estetika kota.

d. Pengelolaan perparkiran dilakukan secara elektronik/online untuk

menghindari terjadinya manipulasi dan untuk kepentingan

transparansi dan akuntabilitas.

e. Penggunaan sistem parkir berlangganan.

f. Dalam hal pengelolaan parkir dikerjasamakan antara pemilik

gedung dengan pengusaha parkir wajib melibatkan dan atas ijin dari

lembaga pengelola perparkiran.

g. Pemungutan pajak parkir tidak didasarkan pada ijin usaha yang

dimiliki pelaku usaha karena pada hakekatnya pajak adalah

kontribusi wajib seseorang atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan Undang-Undang dan bukan berdasarkan ijin usaha.

h. Pengelolaan perparkiran baik oleh swasta, pemerintah daerah, atau

secara mandiri didasarkan ijin pengelolaan tempat parkir dari

Kepala Daerah yang diberikan secara selektif.

i. Pemerintah mengembangkan kebijakan-kebijakan dalam

pengelolaan perparkiran yang mendorong perseorangan dan/atau

badan untuk melakukan investasi dalam pengelolaan gedung di

87 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


satu sisi dan di sisi lain mendorong pengurangan penggunaan

kendaraan pribadi.

j. Penegakan hukum yang tegas atas pelanggaran ketentuan

perparkiran seperti menggunakan gembok dan derek terhadap

mobil yang melanggar larangan parkir.

B. REKOMENDASI

1. Perlu regulasi mengenai pengelolaan perparkiran yang diselenggarakan

secara terintegrasi baik swasta, pemerintah daerah, maupun mandiri

yang meliputi aspek kelembagaan, mekanisme/prosedur pengelolaan

perparkiran, pembinaan dan pengendalian serta aspek teknis yang

didasarkan hasil kajian model teknis yang berkaitan dengan jumlah

kendaraan, luasan lahan, pusat kegiatan, arus transportasi, dll.

2. Penetapan pengelolaan perparkiran oleh pihak swasta harus dilakukan

selektif berdasarkan standar tertentu yang ditetapkan pemerintah

daerah.

3. Rekrutmen sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan

perparkiran harus mempertimbangkan kejujuran, kesadaran, dan

kedisiplinan.

4. Penggunaan sarana dan prasarana perparkiran yang dilengkapi dengan

teknologi informasi atau sistem komputerisasi yang memadai untuk

meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta mencegah terjadinya

manipulasi.

88 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


DAFTAR PUSTAKA

Apip, S. Apip, FGD Hasil Penelitian, 8 Januari 2013

Atmasasmita, Romli, Pembentukan Komisi Independen Anti Korupsi : Paradigma


Baru dalam Pemberantasan Korupsi, Makalah, Diskusi panel
”Mengkritisi RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”, Bandung, 2 Mei 2001

--------------------------, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II (PT. Hecca


Mitra Utama, 2004)

Aziz, Nasir, Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah: Perencanaan dan


Penganggaran, (Slideshare, 2007)

Chaerudin et.all, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana


Korupsi, (Refika Aditama, 2008)

Ekaputera, Nofidi, FGD Hasil Penelitian pada tanggal 8 Januari 2013

Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan


Internasional (PT. RajaGrafindo Persada, Edisi Revisi, 2005)

Hoefnagels, G. Peter, The Other Side of Criminology, An Inversion of the Concept of


Crime, (Kluwer Deventer, 1973)

Iskandar, Zain, Hasil Wawancara tanggal 10 Oktober 2012

Jimung,Martin, Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah dalam Perspektif Otonomi


Daerah (Yayasan Pustaka Nusatama, 2005)

Kadish, Sanford H., Encyclopedia of Crime and Justice (The Free Press, 1983)

Kania, Dewi, FGD Hasil Penelitian tanggal 8 Januari 2013

Klitgaard, Robert, dkk, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan


Daerah (Yayasan Obor Indonesia, 2005)

LKPJ Walikota Bandung Tahun 2009

LKPJ Walikota Bandung Tahun 2010

LKPJ Walikota Bandung Tahun 2011

Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, (PT. Citra Aditya Bakti,
2004)

Murugan, M Sakhtivel, Management Principles and Practices, (New Age


Internataional Pvt Ltd Publisher, 2008)

89 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Nasution, Adnan Buyung, Paradigma Baru Pemberantasan Korupsi, Tekad dan
Perangkat Baru Menyapu Korupsi, Makalah, Diskusi panel ”Mengkritisi
RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”,
Bandung, 2 Mei 2001,

Newburn, Tim, Criminology, (Willan Publishing, 2007)

Peraturan Walikota Bandung Nomor 391 Tahun 2012 Tentang Tata Cara
Pemungutan Pajak Parkir

Pope, Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi Yayasan Obor Indonesia, 2007)

Purwasasmita, Mubiar, FGD Hasil Penelitian, 8 Januari 2013

Rasjidi, Lili, Menggunakan Teori/Konsep dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum,


Makalah, Bandung, 2007

Shim, Jae K. et.al., Financial Management Third Edition, (Barron, 2008)

Simson, Rebecca et.al., A Guide to Public Financial Management Literature for


Practitioner in Developing countries, (ODI, 2011),

Sindhudarmoko, Muljatno, et.al., Ekonomi Korupsi, (Pustaka Quantum, 2001)

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Alumni,1986)

Sugianto, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: Pengelolaan pemerintah daerah


dalam aspek keuangan, pajak dan retribusi daerah, (Cikal Sakti, 2007)

Supramono dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia, (Penerbit Andi,


2010)

Tunggal, Hadi Setia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan


Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003 (Harvarindo, 2006)

Vold, George B. et al, Theoretical Criminology, (Oxford University Press, 2002)

Wattimena, Reza A.A., Filsafat Anti Korupsi (Kanisius, 2012)

White, Rob, & Fiona Haines, (Oxord University Press, 2000)

Wignyosoebroto, Soetandyo, Masalah Metodologik dalam Penelitian Hukum


Sehubungan dengan Masalah Keragaman Pendekatan Konseptualnya,
Makalah, Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Hukum, Dirjen
Dikti, Depdikbud, Bandungan, 1994,

Pendapatan Parkir Meleset Dari Target, www.kompas.com, Senin, 12 April 2010,


diunduh pada tanggal 2 Maret 2012

90 | P a g e

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)

Anda mungkin juga menyukai