Anda di halaman 1dari 23

MM JANTUNG KORONER

1. DEFINISI
Penyakit Jantung Koroner adalah penyempitan/penyumbatan (arteriosclerosis) pembuluh arteri
koroner yang disebabkan oleh penumpukan dari zat-zat lemak (kolesterol, trigliserida) yang
makin lama makin banyak dan menumpuk di bawah lapisan terdalam (endotelium) dari dinding
pembuluh nadi.

Dengan tersumbatnya Arteri Koroner, maka hal ini akan mengurangi atau menghentikan
aliran darah mensupply oksigen ke otot-otot jantung, sehingga mengganggu kerja
jantung sebagai pemompa darah. Dan bila sampai otot-otot jantung kekurangan supply
darah maka jantung akan menjadi lemah dan tidak dapat menyediakan darah ke seluruh
bagian tubuh.

Endapan lemak (ateroma atau plak) terbentuk secara bertahap dan tersebar di
percabangan besar dari kedua arteri koroner utama, yang mengelilingi jantung dan
menyediakan darah bagijantung. Proses pembentukan ateroma ini disebut aterosklerosis.
Ateroma bisa menonjol ke dalam arteri dan menyebabkan arteri menjadi sempit.
Jika ateroma terus membesar, bagian dari ateroma bisa pecah dan masuk ke dalam aliran
darah atau bisa terbentuk bekuan darah di permukaan ateroma tersebut.
Supaya bisa berkontraksi dan memompa secara normal, otot jantung (miokardium)
memerlukan pasokan darah yang kaya akan oksigen dari arteri koroner.
Jika penyumbatan arteri koroner semakin memburuk, bisa terjadi iskemi (berkurangnya
pasokan darah) pada otot jantung, menyebabkan kerusakan jantung.
Penyebab utama dari iskemi miokardial adalah penyakit arteri koroner.
Komplikasi utama dari penyakit arteri koroner adalah angina dan serangan jantung (infark
miokardial).

2. ETIOLOGI
 Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat konsumsi
kolesterol tinggi serta plak akibat kebiasaan merokok.
 Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
 Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus.
 Infeksi pada pembuluh darah.
Adapun faktor risiko
1. Faktor resiko tidak dapat diubah
a. Usia: Risiko aterosklerosis koroner meningkat dengan bertambahnya usia,hubungan
antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya
lama paparan terhadap faktor- faktor aterogenik. Penyakit yang serius jarang terjadi
sebelum usia 40 tahun.
b. Gender: Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit oleh adanya efek.
perlindungan estrogen,saat menopause kemudian menjadi sama rentannya seperti
pria
c. Ras: Orang Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis dari pada orang kulit
putih.
d. Riwayat keluarga: Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner
(saudara atau orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)
meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur.

2. Faktor resiko dapat diubah


a. Hiperlipidemia (LDL-C)
a) batas atas : 130-159 mg/dl
b) tinggi ≥160 mg/dl
b. HDL-C rendah : <40 mg/dl
c. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau pada obat antihipertensi)
d. Merokok
e. Diabetes Melitus
f. Obesitas,terutama abdominal
g. Ketidakaktifan fisik
h. Hiperhomosisteinemia (≥16µmol/L)
a) Normal 5-15µmol/L
b) Sedang 16-30µmol/L
c) Intermediet 31-100µmol/L
d) Berat>100µmol/L

1. Faktor Resiko Negatif


a. HDL-C tinggi

3. EPIDEMIOLOGI
Global
Data WHO menunjukkan akibat penyakit kardiovaskular, terjadi 4 juta kematian setiap
tahunnya pada 49 negara di benua Eropa dan Asia Utara. Data yang dikeluarkan oleh American
Heart Association (AHA) pada tahun 2016 menyebutkan 15,5 juta warga Amerika memiliki
penyakit kardiovaskular.[5]
Indonesia
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan bahwa secara nasional terdapat
0,5% prevalensi penyakit jantung koroner yang didiagnosis dokter. Prevalensi tersebut paling
tinggi di provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, DKI Jakarta dan Aceh.[6]

Di provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008-2009 berdasarkan Jakarta Acute Coronary Syndrome
Registry, terdapat 2103 pasien sindroma koroner akut dan 654 di antaranya adalah ST elevation
myocardial infarction (STEMI).[7]
Angka mortalitas dalam rawatan di rumah sakit pada IMA-STE dibanding IMA non STE adalah 7%
dibandingkan 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun), angka kematian pasien IMA non STE ternyata 2
kali lebih tinggi dibanding pasien IMA-STE (Rationale and design of GRACE, 2001).

4. KLASIFIKASI

1. Angina Pektoris Tak Stabil


Definisi Angina Pektoris Tak Stabil
Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia miokardium yang
reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian utama angina pektoris: angina pektoris
tipikal (stabil), angina pektoris prinzmetal (varian), dan angina pektoris tak stabil.).
Angina pektoris tak stabil ditandai dengan nyeri angina yang frekuensi nya meningkat. Serangan
cenderung di picu oleh olahraga yang ringan, dan serangan menjadi lebih intens dan berlangsung lebih
lama dari angina pektoris stabil. Angina tak stabil merupakan tanda awal iskemia miokardium yang lebih
serius dan mungkin ireversibel sehingga kadang-kadang disebut angina pra infark. Pada sebagian besar
pasien, angina ini di picu oleh perubahan akut pada plak di sertai trombosis parsial, embolisasi distal
trombus dan/ atau vasospasme. Perubahan morfologik pada jantung adalah arterosklerosis koroner dan
lesi terkaitnya (Kumar, 2007).
Epidemiologi Angina Pektoris Tak Stabil
Di Amerika serikat setiap tahun, 1 juta pasien di rawat di rumah sakit karena angina pek toris tak stabil;
dimana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang tidak fatal atau meninggal
dalam satu tahun setelah diagnosis di tegak kan (Trisnohadi, 2006).
Patogenesis Penyakit
1. Ruptur plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba
terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelunya mempunyai penyempitan yang
mininal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50%
atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai peny dengan intima yang
normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang
paling lemah karena adanya enzim protease yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik
melemahkan dinding plak (fibrous cap). Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah
100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan
hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil (Trisnohadi, 2006).
2. Trombosis dan agregasi trombosit Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah
satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu di sebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak
berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah,
faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang
menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin (Trisnohadi, 2006).
3. Vasospasme Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Di
perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam
perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti
pada angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak
yang tak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus (Trisnohadi, 2006).
4. Erosi pada plak tanpa ruptur Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh
dengan cepat dan keluhan iskemia (Trisnohadi, 2006).
Diagnosis Dan Pemeriksaan Penunjang
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari
biasa. Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu
istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual
sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak ada
yang khas.
Pemeriksaan penunjang
• Elektrokardiografi (EKG)
• Pemeriksan laboratorium Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah di terima
sebagai pertanda paling penting.
Penatalaksanaan Angina Pektoris Tak Stabil
Tindakan umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu di istirahatkan
(bed rest), di beri penenang dan oksigen; pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih
merasakan nyeri dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin (Trisnohadi, 2006).
Terapi medikamentosa
• Obat anti iskemia
• Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium.
• Obat anti agregasi trombosit
• Aspirin, tiklodipin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa
• Obat anti trombin
• Unfractionnated Heparin , low molecular weight heparin • Direct trombin inhibitors
Tindakan revaskularisasi pembuluh darah
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemia berat, dan refrakter
dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3
pembuluh darah, bila di sertai faal ventrikel kiri yang kurang, tindakan operasi bypass (CABG) dapat
memperbaiki harapan, kualitas hidup dan mengurangi resiko kembalinya ke rumah sakit. Pada tindakan
bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih buruk daripada bedah elektif. Pada pasien dengan faal
jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu atau dua pembuluh darah atau bila ada kontra
indikasi pembedahan, PCI merupakan pilihan utama. Pada angina tak stabil perlunya dilakukan tindakan
invasif dini atau konservatif tergantung dari stratifikasi risiko pasien; pada resiko tinggi, seperti angina
terus-menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin meningkat, faal ventrikel yang buruk, adanya
gangguan irama jantung seperti takikardi ventrikel, perlu tindakan invasif dini (Trisnohadi, 2006).

2. Infark Miokard Dengan Elevasi ST (STEMI)


Infark miokardium menunjukan terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium akibat iskemia total. MI
akut yang dikenal sebagai “serangan jantung”, merupakan penyebab tunggal tersering kematian diindustri
dan merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju (Kumar, 2007).
Epidemiologi STEMI
Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas
awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai
rumah sakit. Angka kejadian NSTEMI lebih sering di bandingkan dengan STEMI (Bassand, 2007).
Patofisiologi STEMI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada
plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara
lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI
terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di
cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus,
infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau
sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan
oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon
terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboxan
A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor
glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda
secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi. Kaskade koagulasi di aktivasi oleh
pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi
protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang
terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada
kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).
Diagnosis Dan Pemeriksaan
Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri dada yang di alami pasien,
sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri dada tipikal (angina). Faktor resiko seperti
hipertensi,diabetes melitus, dislipidemia, merokok, serta riwayat penyakit jantung koroner di keluarga
(Alwi, 2006). Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang menyertai. Walaupun STEMI bisa terjadi
sepanjang hari atau malam, tetapi variasi sirkadian di laporkan dapat terjadi pada pagi hari dalam
beberapa jam setelah bangun tidur.
Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat. Seringkali ektremitas pucat di
sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat di curigai kuat
adanya STEMI. Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau
late sistolik apikal yang bersifat sementara (Alwi, 2006).
Selain itu diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST kurang lebih 2mm, minimal
pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau kurang lebih 1mm pada 2 sadapan ektremitas.
Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis (Alwi, 2006).

Penatalaksanaan STEMI
Tatalaksana di rumah sakit ICCU; Aktivitas, Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama. Diet, karena
resiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau hanya minum cair
dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30% kalori total dan kandungan kolesterol
<300mg/hari. Menu harus diperkaya serat, kalium, magnesium, dan rendah natrium.
Bowels, istirahat di tempat tidur. Penggunaan narkotik sering menyebabkan efek konstipasi sehingga
di anjurkan penggunaan pencahar ringan secara rutin.
Sedasi, pasien memerlukan sedasi selama perawatan, untuk mempertahankan periode inaktivasi
dengan penenang (Alwi, 2006).
Terapi farmakologis
• Fibrinolitik
• Antitrombotik
• Inhibitor ACE
• Beta-Blocker

3. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (NSTEMI)


Epidemiologi NSTEMI
Gejala yang paling sering di keluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah satu gejala yang paling sering
di dapatkan pada pasien yang datang ke IGD , di perkirakan 5,3 juta kunjungan / tahun. Kirakira 1/3 darinya
di sebabkan oleh unstable angina / NSTEMI, dan merupakan penyebab tersering kunjungan ke rumah sakit
pada penyakit jantung. Angka kunjungan untuk pasien unstable angina / NSTEMI semakin meningkat
sementara angka STEMI menurun (Sjaharuddin, 2006).

Patofisiologi
NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen
miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses
vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tak
stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah,
fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur
mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi
ruptur plak dapat di jumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukan adanya proses inflamasi. Sel-sel
ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF α, dan IL-6. selanjutnya IL-6 kan merangsang
pengeluaran hsCRP di hati (Sjaharuddin, 2006).
Diagnosis Dan Pemeriksaan NSTEMI
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium dengan ciri seperti di peras,
perasaan seperti di ikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul,rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi
persentasi gejala yang sering di temukan pada penderita NSTEMI. Gejala tidak khas seperti dispnea, mual,
diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam kelompok
yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menentukan
resiko pada pasien. Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard yang lebih di sukai,
karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CK-MB. Pada pasien dengan infark
miokard akut, peningkatan awal troponin pada daerah perifer setelah 3-4 jamdan dapat menetap sampai
2 minggu (Sjaharuddin, 2006).
Penatalaksanaan NSTEMI
Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi segmen ST dan irama
jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
• Terapi antiiskemia
Terapi anti platelet/antikoagulan
• Terapi invasif (kateterisasi dini/ revaskularisasi)
• Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS.

5. PATOFISIOLOGI
Lapisan endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan oleh adanya faktor risiko antara
lain, faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat-zat vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap
rokok, peningkatan gula darah dan oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C) (Libby,1995; Hamm
dkk,2004). Kerusakan ini akan menyebabkan sel endotel menghasilkan cell molecule adhesion seperti
sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor (TNF-α), kemokin (monocyte chemoatractant factor-I), dan
platelet derived growth factor. Sel inflamasi seperti monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel
dan bermigrasi dari endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berproliferasi menjadi makrofag dan
mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik. Makrofag ini terus membentuk sel busa
(Braunwald, 1989; Libby,1995). LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan
menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari angiotensin II yang menyebabkan
gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek protrombin dengan melibatkan platelet dan faktor
koagulasi. Akibat kerusakan endotel terjadi respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi
fibrofatty dan fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil (vulnerable) dan mengalami rupture
(Libby, 1995). Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen, adenosin diphosphate
(ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan-A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
reseptor glikoprotein II/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein
adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen. Dimana keduanya adalah
molekul multivalent yang dapat mengikat platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan
silang platelet dan agregasi (Deckelbaum,1990; Foo dkk,2000).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X di
aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
dari agregat trombus dan fibrin (Findlay dkk, 2005; Braunwald, 1989). IMA STE umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu IMA
STE karena timbulnya banyak kolateral sepanjang waktu. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika
plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi ruptur lokal akan menyebabkan
oklusi arteri koroner. Penelitian histologi menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada IMA STE gambaran klasik terdiri dari fibrin rich
red trombus yang dipercaya menjadi dasar sehingga IMA STE memberikan respon terhadap terapi
trombolitik ( Hamm dkk,2004)

SINGKAT

Proses terjadinya trombus dimulai dengan gangguan pada salah satu dari Trias Virchow. Antara
lain akibat kelainan pada pembuluh darah, gangguan endotel, serta aliran darah terganggu.
Selanjutnya proses koagulasi berlangsung diawali dengan aterosklerosis, inflamasi, terjadi
ruptur/fissura dan akhirnya menimbulkan trombus yang akan menghambat pembuluh darah.
Sedangkan letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan elevasi ST
adalah dari jenis trombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan trombus mural, Non-
elevasi ST dengan thrombus inkomplet/nonklusif, sedangkan pada elevasi ST adalah trombus
komplet/oklusif.
Apabila pembuluh darah tersumbat 100% maka terjadi infark miokard dengan elevasi ST segmen.
Namun bila sumbatan tidak total, tidak terjadi infark, hanya unstable angina atau infark jantung
akut tanpa elevasi segmen ST.

6.MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri

Jika otot tidak mendapatkan cukup darah (suatu keadaan yang disebut iskemi), maka
oksigen yang tidak memadai dan hasil metabolisme yang berlebihan menyebabkan
kram atau kejang.
2. Angina
Merupakan perasaan sesak di dada atau perasaan dada diremas-remas, yang timbul
jika otot jantung tidak mendapatkan darah yang cukup. Jenis dan beratnya nyeri atau
ketidaknyamanan ini bervariasi pada setiap orang. Beberapa orang yang mengalami
kekurangan aliran darah bisa tidak merasakan nyeri sama sekali (suatu keadaan yang
disebut silent ischemia).
3. Sesak nafas
Gejala yang biasa ditemukan pada gagal jantung. Sesak merupakan akibat dari
masuknya cairan ke dalam rongga udara di paru-paru (kongesti pulmoner atau edema
pulmoner).
4. Kelelahan atau kepenatan
Jika jantung tidak efektif memompa, maka aliran darah ke otot selama melakukan
aktivitas akan berkurang, menyebabkan penderita merasa lemah dan lelah. Gejala ini
seringkali bersifat ringan. Untuk mengatasinya, penderita biasanya mengurangi
aktivitasnya secara bertahap atau mengira gejala ini sebagai bagian dari penuaan.
5. Palpitasi (jantung berdebar-debar)
Pusing & pingsan. Penurunan aliran darah karena denyut atau irama jantung yang
abnormal atau karena kemampuan memompa yang buruk, bisa menyebabkan pusing
dan pingsan
6. Beberapa hari atau minggu sebelumnya tubuh terasa tidak bertenaga, dada tidak enak,
waktu olahraga atau bergerak jantung berdenyut keras, napas tersengal-sengal,
kadang-kadang disertai mual, muntah dan tubuh mengeluarkan banyak keringat.
7. Dalam kondisi sakit : nyeri terutama di dada sebelah kiri tulang bagian atas dan
tengah sampai ke telapak tangan.
8. Terjadinya sewaktu dalam keadaan tenang
- Demam, suhu tubuh umumnya sekitar 38 derajat celcius
- Mual-mual dan muntah, perut bagian atas kembung dan sakit
- Debar jantung abnormal
- Tekanan darah rendah atau stroke
- Muka pucat pasi
- Kulit menjadi basah dan dingin badan bersimbah peluh
- Gerakan menjadi lamban (kurang semangat)
- Pingsan
- Tenaga dan pikiran menjadi lemah, ketakutan yang tidak ada alasannya.
Nyeri dada yang menjalar hingga ke ekstremitas superior kiri, keringat dingin, mual,
muntah, sakit kepala, pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali, hipertensi, bising
jantung dan kelainan bunyi jantung. Tak jarang pula pasien langsung mati mendadak.

7. DIAGNOSIS DAN D BANDING


1. Anamnesis: Nyeri dada iskemik, identifikasi factor pencetus dan atau factor resiko.
Sifatnyeri dada yang spesifik angina:
a. Lokasi: substernal, retrosternal, dan precordial.
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terkabakr, ditindih benda berat,
sepertiditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibular, gigi, punggung/intraskapula, dan
dapat juga ke lengan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istrihat atau obat nitrate.
e. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makanf.
f. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dinging.
g. Hati-hati pada pasien dm, kerap pasien tidak mengeluh nyeri dada akibat neuropati
diabetic.
2. Pemeriksaan fisik : Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi factor pencetus dan kondisi
lain sebagaikonsekuensi dari PJK. Hipertensi tak terkontrol, takikardi, anemis, tiroksikosis,
stenosisaorta berat (bising sistolik), dan kondisi lain, seperti penyakit paru. Dapat
jugaditemukan retinopati hipertensi/diabetic.

1) Pemeriksaan Penunjang
1.1. Elektrokardiogram (EKG)
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina sering masih normal.
Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa pasien pernah mendapat infark miokard di
masa lampau. Kadang-kadang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien
hipertensi dan angina; dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST dan gelombang
T yang tidak khas. Pada saat serangan angina, EKG akan menunjukkan depresi segmen
ST dan gelombang T dapat menjadi negatif.

Gambar 13. Perubahan EKG klasik pada Iskemia.


A: Inversi gelombang T, B: Penurunan segmen ST
1.2. Foto rontgen dada
Foto rontgen dada seringmenunjukkan bentuk jantung yang normal; pada pasien
hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang tampak adanya
kalsifikasi arkus aorta.
2) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu penting dalam diagnosis angina pektoris. Walaupun
demikian untuk menyingkirkan diagnosis infark jantung akut sering dilakukan pemeriksaan
enzim CPK, SGOT atau LDH. Enzim tersebut akan meningkat kadarnya pada infark jantung
akut sedangkan pada angina kadarnya masih normal. Pemeriksaan lipid darah seperti
kolesterol, HDL, LDL, trigliserida dan pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untuk mencari
faktor risiko seperti hiperlipidemia dan/atau diabetes melitus.
(M. Santoso, T Setiawan. 2005)
Enzim jantung biomarker Infark Miokard
Enzim Meningkat Puncak Normal
CK-MB 6 jam 24 jam 1.5 – 2 hari
Mioglobin 1 jam 4 – 8 jam 1 – 1,5 hari
LDH 24 jam 48 – 72 jam 7 – 10 hari
Troponin T dan I 3 jam 12 – 24 jam 7 – 10 hari
a. CK ( Creatin Phosphokinase)
- Enzim yg mengkatalisis kreatin, kreatinin, dalam sel otot, otak
- Normal W: <110 u/l, P : <130 u/l.
b. CKMB (isoenzyme CK : Creatin Kinase Myocard Band)
- Meningkat : Angina pectoris berat , iskhemik reversibel
- Kadarmeningkat : 4 - 8 jam setelah IMA
- Puncak : 12 - 24 jam
- Menurun : hari ke 3
- Normal : < 16 IU
- Meningkat pad : AMI, gagal ginjal, kerusakan otot (skelet, jantung)
c. LDH (Laktat Dehidrogenase)
- Mengkatalisis laktat piruvat
- 5 jenis isoenzim
- Otot jantung: LDH1, LDH2
- Kadar meningkat : 8 - 12 jam setelah IMA
- Puncak : 24 - 48 jam
- Menurun : Hari ke 14
- Normal : LDH 1/LDH 2 : < 0,85
- Meningkat pada : kerusakan gagal ginjal, otot jantung, leukemia
d. TROPONIN
o Unit kontraktil otot serang lintang tersusun atas filamen tipis & tebal.
o Kompleks troponin terdpt pd filamen tipis & mengkontrol proses kontraksi
o Otot jantung kompleks terdiri dari troponin T, I,C. Bereaksi dengan actin &
tropomiosin
o TnC: IkatCa & menginisiasi kontraksi
o Tn I: penghambat kontraksi pd kead istirahat
o Tn T: Pengikat kompleks troponin & tropomiosin
o cTn akan dilepas otot jantung krn:
- Kerusakan otot jantung (miokard infark)
- Miokarditis
- Kardiomiopati
- Trauma
o cTnI
- Meningkat : 2 - 8 jam
- Puncak : 10 ² 24 jam
- Menurun : Hari ke 7
o cTnT
- Meningkat : 2 - 8 jam
- Puncak : 10 ² 24 jam
- Menurun : Hari ke 14
- Normal : cTnI : < 1,0 , cTnT : < 0,1

e. MIOGLOBIN
o Protein heme (2% total protein dlm otot)
o Berada dlm sitoplasma sel otot skelet & jantung
o Berguna dlm oksigenasi otot
o BM kecil cepat di lepas ke sirkulasi dibandingCK,CKMB, Troponin
o Lebih sensitif dibanding parameter lain (82%, Tn T 64%,CKMB 23%)
o Meningkat pd : kerusakan otot skelet & otot jantung
o Dideteksi : 2 jam setelah IMA
o Puncak : 8-12 jam
o Hilang : < 24 jam post infark
o Metode pemeriksaan : RIA, ELISA (darah 5 ml, urin 1 ml)
o Darah vena AK : heparin
o Sensitifitas pd fase dini > CKMB, fase lanjut sensitifitas hilang (ginjal)
o Perlu parameter lain untuk menjelaskan lokasi kerusakan (jantung/skelet)
o Ekskresi oleh ginjal gangguan fungsi ginjal
o Konsentrasi tinggi mioglobin merusak ginjal
o Rujukan :
- Pria : 16-76 ng/ml
- Wanita : 7-64 ng/ml
- Cut off point : 70 ng/ml
f. CRP (C Reaktif Protein)
o Reaktan fase akut utama hati
o Kadar stabil: waktu lama
o Tanda inflamasi akut hsCRP (high sensitivityCRP)
o Tanda risiko penyakit kardiovaskuler
risiko rendah : < 1,0 µg/L
sedang : 1,0 ² 3,0 µg/L
tinggi : > 3,0 µg/L
o Pengeluaran distimulasi oleh regangan dinding ventrikel
o Semakin meningkat, semakin berat gagal jantung bahkan subklinis terlihat
meningkat
o Manfaat pemeriksaan : Diagnosis, stratifikasi risiko, prognosis &
pemantauanpasien gagal jantung
o Bisa membedakan kausa pada pasien sesak napas untuk menyingkirkan dugaan
gagal jantung baru
o Rujukan : < 50 mg/mL : Gagal jantung (-)
: >100 mg/mL : Prediksi gagal jantung

DIAGNOSIS BANDING
Berbagai diagnosa banding sindrom koroner akut antara lain:
a. Mengancam jiwa dan perlu penanganan segera: diseksi aorta, perforasi ulkus
peptikum atau saluran cerna, emboli paru, dan tension pneumothorax.
b. Non iskemik: miokarditis, perikarditis, kardiomyopati hipertropik, sindrom
Brugada, sindrom wolf-Parkinson-White.
c. Non kardiak: nyeri bilier, ulkus peptikum, ulkus duadenum, pleuritis, GERD,
nyeri otot dinding dada, serangan panik dan gangguan psikogenik.

TATA LAKSANA

A. Terapi Awal

Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah sebagai berikut:


a. pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,
b.periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT
c. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat memperbaiki kekurangan oksigen pada
miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai
dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit secara kanul hidung.

d. Nitrogliserin (NTG): Kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit),
takikardia. Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada
tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan
lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah
memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard;
menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri
koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet (masih
menjadi pertanyaan).
e. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan; mengurangi rasa
sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik;
serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load menurun,
beban miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil
memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan. Dapat diulang tiap 5 menit
sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg iv
f. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika tidak ada kontraindikasi
(ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan
mencegah pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan
konstriksi arterial. Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik
"chewable" dari pada tablet. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang mual
atau muntah.
g.Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini menghambat agregasi
platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara
menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan
kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal
infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang
pada pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat
memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100
mg/hari) bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan
menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi
perdarahan dari 10–16% menjadi 0,2–5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan
trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik
trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II –
III. Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun
tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila
dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000
pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah 17,22. Clopidogrel
1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2
jam setelah pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian CAPRIE
(Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel
secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah
(IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).

B. Terapi lanjutan (Reperfusi) : dilakukan oleh yang berkompeten dan dalam pengawasan ketat di
ICU
a. Trombolitik
Penelitian menunjukan bahwa secara garis besar semua obat trombolitik bermanfaat. Trombolitik
awal (kurang dari 6 jam) dengan strptokinase atau tissue Plasminogen Activator (t-PA) telah
terbukti secara bermakna menghambat perluasan infark, menurunkan mortalitas dan memperbaiki
fungsi ventrikel kiri.

Indikasi :
- Umur < 70 tahun
- Nyeri dada khas infark, lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat.
- Elevasi ST lebih dari 1 mm sekurang-kurangnya pada 2 sadapan EKG
Saat ini ada beberapa macam obat trombolisis yaitu streptokinase, urokinase, aktivator
plasminogen jaringan yang direkombinasi (r-TPA) dan anisolated plasminogen activator complex
(ASPAC). Yang terdapat di Indonesia hanya streptokinase dan r-TPA. R-TPA ini bekerja lebih
spesifik pada fibrin dibandingkan streptokinase dan waktu paruhnya lebih pendek.
Kontraindikasi :
- Perdarahan aktif organ dalam
- Perkiraan diseksi aorta
- Resusitasi kardio pulmonal yang berkepanjangan dan traumatik
- Trauma kepala yang baru atau adanya neoplasma intrakranial
- Diabetic hemorrhage retinopathy
- Kehamilan
- TD > 200/120 mmHg
- Telah mendapat streptokinase dalam jangka waktu 12 bulan

b. Antikoagulan dan antiplatelet


Beberapa hari setelah serangan IMA, terdapat peningkatan resiko untuk terjadi tromboemboli dan
reinfark sehingga perlu diberikan obat-obatan pencegah. Heparin dan Aspirin referfusion trias
menunjukkan bahwa heparin (intravena) diberikan segera setelah trombolitik dapat
mempertahankan potensi dari arteri yang berhubungan dengan infark.
Pada infus intravena untuk orang dewasa heparin 20.000-40.000 unit dilarutkan dalam 1 liter
larutan glukosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan dalam 24 jam. Untuk mempercepat efek,
dianjurkan menambahkan 500 unit intravena langsung sebelumnya. Kecepatan infus berdasarkan
pada nilai APTT (Activated Partial Thromboplastin Time). Komplikasi perdarahan umumnya
lebih jarang terjadi dibandingkan dengan pemberian secara intermiten

Jenis obat Contoh Cara kerja


Penyerap asam empedu Kolestiramin Mengikat asam empedu di usus
Kolestipol Meningkatkan pembuangan LDL
dari aliran darah
Mengurangi kecepatan pembentukan
Penghambat sintesa VLDL
Niasin
lipoprotein (VLDL merupakan prekursos dari
LDL)
adrenalin,
Fluvastatin
Lovastatin
Menghambat pembentukan
Pravastatin
Penghambat koenzim A kolesterol
Simvastatin
reduktase Meningkatkan pembuangan LDL
Atorvastatin
dari aliran darah
Rosuvastatin
Pitavastatin
Ezetimibe
Klofibrat
Belum diketahui, mungkin
Derivat asam fibrat Fenofibrat
meningkatkan pemecahan lemak
Gemfibrosil

PENCEGAHAN

1. Pola makan sehat


Hindari makanan yang banyak mengandung lemak jenuh atau yang mengandung kolesterol
tinggi. Seafood memiliki kandungan kolesterol tinggi yang dapat membahayakan jantung.
Kurangi menyantap makanan yang digoreng yang banyak mengandung lemak, sebaliknya
makanan dapat diolah dengan cara direbus, dikukus atau dipanggang. Menggoreng dengan
menggunakan minyak zaitun memiliki kandungan lemak yang sedikit sehingga bisa
menjadi pilihan bila harus mengolah makanan dengan cara digoreng.
2. Hindari juga makanan dengan kandungan gula tinggi
seperti soft drink, usahakan menggunakan gula jagung. Jangan pula tertalu banyak
mengkonsumsi karbohirat, karena dalam tubuh, karbohidrat akan dipecah menjadi lemak.
Sebaliknya, konsumsi oat atau gandum yang dapat membantu menjaga jantung tetap sehat.
3. Menjaga Tubuh ideal dari kegemukan
karena seseorang yang memiliki lingkar pinggang lebih dari 80 cm, berisiko lebih besar
terkena penyakit ini.
4. Berhenti merokok
Mengisap rokok sangat tidak baik untuk kesehatan jantung, maka segera hentikan
kebiasaan ini agar jantung tetap sehat.
5. Hindari Stres
Stres memang sangat sulit dihindari jika hidup di kota besar seperti Jakarta yang dikenal
karena kemacetan dan kesibukannya. Saat seseorang mengalami stres, tubuhnya akan
mengeluarkan hormon cortisol yang menyebabkan pembuluh darah menjadi kaku. Hormon
norepinephrine akan diproduksi tubuh saat menderita stres, yang akan mengakibatkan
naiknya tekanan darah. Maka, sangat baik bila Anda menghindari stres baik di kantor atau
di rumah.
6. Hipertensi
Problem hipertensi atau tekanan darah tinggi juga bisa menyebabkan penyakit jantung.
Hipertensi dapat melukai dinding arteri dan memungkinkan kolesterol LDL memasuki
saluran arteri dan meningkatkan penimbunan plak.
7. Obesitas
Kelebihan berat atau obesitas meningkatkan tekanan darah tinggi dan ketidaknormalan
lemak. Menghindari atau mengobati obesitas atau kegemukan adalah cara utama untuk
menghindari diabetes. Diabetes mempercepat penyakit jantung koroner dan meningkatkan
risiko serangan jantung.
8. Olahraga secara teratur.
Anda dapat melakukan kegiatan olahraga seperti berjalan kaki, jalan cepat, atau jogging.
Kegiatan olahraga yang bukan bersifat kompetisi dan tidak terlalu berlebihan dapat
menguatkan kerja jantung dan melancarkan peredaran darah ke seluruh tubuh.
Konsumsi antioksidan
Polusi udara, asap kendaraan bermotor atau asap rokok menciptakan timbulnya radikal
bebas dalam tubuh. Radikal bebas dapat menyebabkan bisul atau endapan pada pembuluh
darah yang dapat menyebabkan penyumbatan. Untuk mengeluarkan kandungan radikal
bebas dalam tubuh, perlu adanya antioksidan yang akan menangkap dan membuangnya.
Antioksidan dapat diperoleh dari berbagai macam buah-buahan dan sayuran.

KOMPLIKASI

1. Nyeri dada (angina). Ketika arteri koroner sempit, jantung tidak dapat menerima
darah yang cukup ketika permintaan paling besar -terutama selama aktivitas fisik.
Dapat menyebabkan nyeri dada (angina) atau sesak napas
2. Serangan jantung
Jika ruptur plak kolesterol dan membentuk bekuan darah, penyumbatan komplit arteri
dapat memicu serangan jantung. Kurangnya aliran darah ke jantung mungkin
kerusakan pada otot jantung. Jumlah kerusakan sebagian bergantung pada seberapa
cepat perawatan.
3. Gagal jantung. Jika beberapa area jantung secara kronis kekurangan oksigen dan
nutrisi karena aliran darah berkurang, atau jika jantung telah rusak oleh serangan
jantung, jantung mungkin menjadi terlalu lemah untuk memompa darah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Kondisi ini dikenal sebagai gagal jantung.
4. Irama jantung abnormal (aritmia). Suplai darah yang tidak memadai ke jantung
ataukerusakan jaringan jantung dapat mengganggu dengan impuls listrik jantung
menyebabkan irama jantung yang abnormal.
PROGNOSIS

Semua penderita penyakit jantung koroner berisiko tinggi untuk mendapatkan serangan jantung.
Prognosis penyakit jantung koroner tergantung pada kendali semua faktor risiko utama dan faktor
risiko tinggi, seperti kadar kolesterol tinggi, hipertensi, rokok, diabetes melitus termasuk juga
kegemukan. Kendali faktor risiko yang dapat dikendalikan lainnya seperti kebiasan tidak aktif dan
stres. Bila kendali semua hal diatas buruk maka prognosis penyakit jantung koroner akan buruk,
keluhan nyeri dada akan menjadi lebih sering seiring dengan semakin tebalnya plak stabil di
dinding pembuluh darah coroner risiko timbulnya serangan jantung menjadi meningkat. Pada
penderita paska angioplasti atau operasi pintas koroner, tanpa kendali faktor risiko maka sumbatan
koroner dapat terbentuk kembali.

MM INFARK MIOKARD
1. definisi
Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal, disebabkan oleh obstruksi
sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena trombus atau embolus (Dorland, 2002). Iskemia terjadi oleh
karena obstruksi, kompresi, ruptur karena trauma dan vasokonstriksi. Obstruksi pembuluh darah dapat
disebabkan oleh embolus, trombus atau plak aterosklerosis. Kompresi secara mekanik dapat disebabkan
oleh tumor, volvulus atau hernia. Ruptur karena trauma disebabkan oleh aterosklerosis dan vaskulitis.
Vaskokonstriksi pembuluh darah dapat disebabkan obat-obatan seperti kokain (Wikipedia, 2010). Infark
miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa
serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005).

Otot jantung diperdarahi oleh 2 pembuluh koroner utama, yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner
kiri. Kedua arteri ini keluar dari aorta. Arteri koroner kiri kemudian bercabang menjadi arteri desendens
anterior kiri dan arteri sirkumfleks kiri. Arteri desendens anterior kiri berjalan pada sulkus interventrikuler
hingga ke apeks jantung. Arteri sirkumfleks kiri berjalan pada sulkus arterio-ventrikuler dan mengelilingi
permukaan posterior jantung. Arteri koroner kanan berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan
bawah (Oemar, 1996).

2. etiologi
Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara lain:
1. Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak aterosklerosis. Selain
itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya
infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.
2. Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan aliran darah
miokard.
3. Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini disebabkan sampel darah
penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat
meningkat.
4. a. Infark miokard tipe 4a
Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai
normal akibat pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark
miokard. b. Infark miokard tipe 4b Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.
5. Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard jenis ini
berhubungan dengan operasi bypass koroner.

Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras,
dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang
serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi
dapat memperlambat proses aterogenik (Santoso, 2005). Faktor- faktor tersebut adalah abnormalitas
kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-buahan, diet
dan alkohol, dan aktivitas fisik (Ramrakha, 2006).

Menurut Anand (2008), wanita mengalami kejadian infark miokard pertama kali 9 tahun lebih lama
daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko
tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita agaknya relatif kebal
terhadap penyakit ini sampai menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal diduga
karena adanya efek perlindungan estrogen (Santoso, 2005).

Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah hiperlipidemia. Hiperlipidemia
adalah peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas batas normal. The National Cholesterol
Education Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner.
The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga
menurunkan mortalitas akibat infark miokard (Brown, 2006).

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik
sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi
untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk
miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan
rendahnya kadar oksigen yang tersedia (Brown, 2006).

Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar 50%. Seorang perokok pasif
mempunyai resiko terkena infark miokard. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit
kardiovaskuler berhubungan dengan rokok (Ramrakha, 2006). Menurut Ismail (2004), penggunaan
tembakau berhubungan dengan kejadian miokard infark akut prematur di daerah Asia Selatan.

Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung
koroner di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight
didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2 . Obesitas sentral adalah
obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan
kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah,
inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2006).

Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak
simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten meningkatkan resiko terkena aterosklerosis (Ramrakha,
2006). Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet yang rendah serat,
kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil
per hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun bila mengkonsumsi
berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien memiliki peningkatan resiko terkena penyakit
(Beers, 2004).

3. epidemiologi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap paling sering di negara maju. Laju
mortalitas awal (30 hari) pada penderita infark miokard akut mencapai 30% dengan lebih dari separuh
kematian terjadi sebelum penderita infark miokard mencapai rumah sakit (Alwi, 2006). Infark miokard
akut dengan ST-elevasi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Namun,
setelah adanya pelayanan CCU (Coronary Care Unit), angka kematian turun menjadi 20% dan setelah
penggunaan terapi trombolitik dapat menurunkan angka kematian menjadi 10% (Stiermaier et al., 2013).
Penyakit kardiovaskuler di Amerika Serikat pada tahun 2005, mengakibatkan 864.500 kematian atau
35,3% dari seluruh kematian pada tahun itu, dan 151.000 kematian akibat infark miokard. Sebanyak
715.000 orang di Amerika Serikat diperkirakan menderita infark miokard pada tahun 2012 (Li Yulong et
al., 2014). Sebanyak 478.000 pasien di Indonesia terdiagnosis penyakit jantung koroner menurut
Departemen Kesehatan pada tahun 2013. Prevalensi infark miokard akut dengan ST-elevasi saat ini
meningkat dari 25% ke 40% (Depkes, 2013). Prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013
pada usia ≥ 15 tahun berdasar wawancara terdiagnosis dokter sebesar 0,5 % dan yang berdasarkan
terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5 %. Prevalensi penyakit jantung koroner berdasar jenis
kelaminnya, yang didiagnosis dokter atau gejala lebih tinggi pada perempuan yaitu 0,5% dan 1,5%.
Sedangkan pada laki-laki adalah 0,4% dan 1,3%. Prevalensi infark miokard akut tertinggi berada di Nusa
Tenggara Timur (4,4%), diikuti Sulawesi Tengah (3,8%), sedangkan di Jawa Tengah mencapai 0,5 %
berdasar wawancara terdiagnosis dokter dan 1,4% diagnosis dokter atau gejala (Riskesdas, 2013).

4. klasifikasi
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar EKG 12 sandapan menjadi:
NSTEMI (Non ST-segmen Elevasi Miokard Infark)
Oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan
miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.

STEMI (ST-segmen Elevasi Miokard Infark)


Oklusi parsial dari arteri koroner akibat trombus dari plak atherosklerosis, tidak disertai adanya elevasi
segmen ST pada EKG

5. patofisiologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian ruptur dan
menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di
dalam dinding arteri. Lamakelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen
menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi
(Ramrakha, 2006).

Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen
species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor
di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi
molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-
proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan
angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel (Ramrakha, 2006).

Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi ke sub
endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja
mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel
busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media
ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma
matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan
trombosit ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur
mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri (Price,
2006).

Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak. Kejadian tersebut secara
temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan
manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan
keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri
koroner desendens kiri berbahaya (Selwyn, 2005).

Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat
menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke
subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang
disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung
berkontraksi dan berelaksasi (Selwyn, 2005).

Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard
normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen
yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel
menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan
kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (20 menit).
Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard (Selwyn, 2005).

Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi infark miokard
tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI
karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI
hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat (Antman, 2005).

Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi
koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan
oklusi menyeluruh lumen arteri koroner (Kalim, 2001).

Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural). Infark miokard transmural
disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8
jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard
subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada
waktu berbeda-beda (Selwyn, 2005).
6. manifestasi klinis
Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi lebih intensif dan berlangsung
lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin (Irmalita, 1996).
Angina pektoris adalah “jeritan” otot jantung yang merupakan rasa sakit pada dada akibat kekurangan
pasokan oksigen miokard. Gejalanya adalah rasa sakit pada dada sentral atau retrosentral yang dapat
menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher dan punggung. Faktor pencetus yang menyebabkan
angina adalah kegiatan fisik, emosi berlebihan dan terkadang sesudah makan. Hal ini karena kegiatan
tersebut mencetuskan peningkatan kebutuhan oksigen. Namun, sakit dada juga sering timbul ketika
pasien sedang beristirahat (Hanafiah, 1996).

Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas. Pasien terus
menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk menemukan posisi yang dapat
mengurangi rasa sakit, namun tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas
biasanya terasa dingin (Antman, 2005).

Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat (Irmalita, 1996).
Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke volume yang dipompa jantung (Antman, 2005).
Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat.
Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam
atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal (Irmalita, 1996).

Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya juga sulit
dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis
otot-otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung
dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar
dengan seksama, dapat terdengar suara friction rub perikard, umumnya pada pasien infark miokard
transmural tipe STEMI

7. diagnosis dan db
Menurut Irmalita (1996), diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu
1. Adanya nyeri dada Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat biasa.
2. Perubahan elektrokardiografi (EKG) Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal
miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen
ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian
kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak menyebabkan oklusi total, maka tidak
terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam
unstable angina atau Non STEMI (Cannon, 2005).
3. Peningkatan petanda biokimia. Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang
interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik (Patel, 1999).
Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang disebabkan
kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain aspartate aminotransferase (AST), lactate
dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin
light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT) (Samsu, 2007). Peningkatan kadar serum
protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard (Nigam, 2007).

2.2. EKG sebagai Penegakan Diagnosis Infark Miokard


Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik miokard ketika ventrikel berdepolarisasi.
Bagian nekrosis tidak berespon secara elektrik. Vektor gaya bergerak menjauhi bagian nekrosis dan
terekam oleh elektroda pada daerah infark sebagai defleksi negatif abnormal. Infark yang menunjukkan
abnormalitas gelombang Q disebut infark gelombang Q. Pada sebagian kasus infark miokard, hasil
rekaman EKG tidak menunjukkan gelombang Q abnormal. Hal ini dapat terjadi pada infark miokard
dengan daerah nekrotik kecil atau tersebar. Gelombang Q dikatakan abnormal jika durasinya ≥ 0,04 detik.
Namun hal ini tidak berlaku untuk gelombang Q di lead III, aVR, dan V1, karena normalnya gelombang Q
di lead ini lebar dan dalam (Chou, 1996).

Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara sempurna. Area tersebut lebih positif
dibandingkan daerah yang normal pada akhir proses depolarisasi. Jika elektroda diletakkan di daerah ini,
maka potensial yang positif akan terekam dalam bentuk elevasi segmen ST. Jika elektroda diletakkan di
daerah sehat yang berseberangan dengan area injury, maka terekam potensial yang negatif dan
ditunjukkan dalam bentuk ST depresi. ST depresi juga terjadi pada injury subendokard, dimana elektroda
dipisahkan dari daerah injury oleh daerah normal. Vektor ST bergerak menjauhi elektroda, yang
menyebabkan gambaran ST depresi (Chou, 1996).

Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik menjadi lebih negatif dibandingkan
area yang sehat pada masa repolarisasi. Vektor T bergerak menjauhi daerah iskemik. Elektroda yang
terletak di daerah iskemik merekam gerakan ini sebagai gelombang T negatif. Iskemia subendokard tidak
mengubah arah gambaran gelombang T, mengingat proses repolarisasi secara normal bergerak dari
epikard ke arah endokard. Karena potensial elektrik dihasilkan repolarisasi subendokardium terhambat,
maka gelombang T terekam sangat tinggi (Chou, 1996).

Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST. Nilai elevasi segmen
ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usia ≥ 4 0
tahun, STEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien
berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung
hingga lebih dari 2 minggu (Antman, 2005).

Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan elevasi segmen ST yang
persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang
T, gelombang T yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk
menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di
sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan
amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm
semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Tedjasukmana, 2010).

2.3. Pertanda Biokimia Troponin T pada Infark Miokard


Troponin adalah suatu protein regulator yang terdapat pada filamen tipis
aparatus kontraktil otot bergaris. Troponin terdiri dari 3 subunit, yaitu troponin T
(39 kDa), troponin I (26 kDa), dan troponin C (18 kDa) (Maynard, 2000).
Troponin C berikatan dengan ion Ca2+ dan berperan dalam proses pengaturan
aktifasi filamen tipis selama kontraksi otot jantung. Berat molekulnya adalah
18.000 Dalton. Troponin I yang berikatan dengan aktin, berperan menghambat
interaksi aktin miosin. Berat molekulnya adalah 24.000 Dalton. Troponin T yang
berikatan dengan tropomiosin dan memfasilitasi kontraksi, bekerja meregulasi
kontraksi otot. Berat molekulnya adalah 37.000 Dalton. Struktur asam amino
troponin T dan I yang ditemukan pada otot jantung berbeda dengan struktur
troponin pada otot skeletal dalam hal komposisi imunologis, sedangkan struktur
troponin C pada otot jantung dan skeletal identik (Tarigan, 2003)

Cardiac troponin T (cTnT) berada dalam miosit dengan konsentrasi yang


tinggi pada sitosol dan secara struktur berikatan dengan protein. Sitosol, yang
merupakan prekursor tempat pembentukan miofibril, memiliki 6% dari total
massa troponin dalam bentuk bebas. Sisanya (94%), cTnT berikatan dalam
miofibril. Dalam keadaan normal, kadar cTnT tidak terdeteksi dalam darah
(Rottbauer, 1996). Keberadaan cTnT dalam darah diawali dengan keluarnya cTnT
bebas bersamaan dengan sitosol yang keluar dari sel yang rusak. Selanjutnya
cTnT yang berikatan dengan miofibril terlepas, namun hal ini membutukan waktu
lebih lama (Antman, 2002).
Karena pelepasan cTnT terjadi dalam 2 tahap, maka perubahan kadar
cTnT pada infark miokard memiliki 2 puncak (bifasik). Puncak pertama
disebabkan oleh keluarnya cTnT bebas dari sitosol. Puncak kedua terjadi karena
pelepasan cTnT yang terikat pada miofibril. Oleh sebab itu, pelepasan cTnT
secara sempurna berlangsung lebih lama, sehingga jendela diagnostiknya lebih
besar dibanding pertanda jantung lainnya (Tarigan, 2003).
Berat dan lamanya iskemia miokard menentukan perubahan miokard yang
reversible atau irreversible. Pada iskemia miokard, glikolisis anaerob dapat
mencukupi kebutuhan fosfat energi tinggi dalam waktu relatif singkat. Penghambatan proses transportasi
yang dipengaruhi ATP dalam membran sel menimbulkan pergeseran elektrolit, edema sel dan hilangnya
integritas membran sel. Dalam hal kerusakan sel ini, mula-mula akan terjadi pelepasan protein yang
terurai bebas dalam sitosol melalui transpor vesikular. Setelah itu terjadi difusi bebas dari isi sel ke dalam
interstisium yang mungkin disebabkan rusaknya seluruh membran sel. Peningkatan kadar laktat intrasel
disebabkan proses glikolisis. pH intrasel menurun dan kemudian diikuti oleh pelepasan dan aktifasi enzim-
enzim proteolitik lisosom. Perubahan pH dan aktifasi enzim proteolitik menyebabkan disintegrasi struktur
intraseluler dan degradasi protein terikat. Manifestasinya adalah jika terjadi kerusakan miokard akibat
iskemia, cTnT dari sitoplasma dilepaskan ke dalam aliran darah. Keadaaan ini berlangsung terus menerus
selama 30 jam sampai persediaan cTnT sitoplasma habis. Bila terjadi iskemia yang persisten, maka sel
mengalami asidosis intraseluler dan terjadilah proteolisis yang melepaskan sejumlah besar cTnT terikat ke
dalam darah. Masa pelepasan cTnT ini berlangsung 30-90 jam, lalu perlahan-lahan kadarnya turun
(Tarigan, 2003). Peningkatan kadar cTnT terdeteksi 3-4 jam setelah jejas miokard. Kadar cTnT mencapai
puncak 12-24 jam setelah jejas (Samsu, 2007). Peningkatan terus terjadi selama 7-14 hari (Ramrakha,
2006). cTnT tetap meningkat kira-kira 4-5 kali lebih lama daripada CKMB. cTnT membutuhkan waktu 5-15
hari untuk kembali normal (Samsu, 2007). Diagnosis infark miokard ditegakkan bila ditemukan kadar cTnT
dalam 12 jam sebesar ≥0.03 µg/L, dengan atau tanpa disertai gambaran iskemi atau infark pada lembaran
EKG dan nyeri dada (McCann, 2009).

DIAGNOSIS BANDING

TATA LAKSANA

Anda mungkin juga menyukai