Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Diri

1. Definisi Konsep Diri

William D. Brooks (dalam Rakhmat, 2007) mendefinisikan konsep diri


sebagai “those physical, social, and psychological perceptions of ourselves
that we have derived from experiences and our interaction with others”.
Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita sendiri.
Persepsi ini bisa bersifat psikologi, sosial, dan fisik. Persepsi yang bersifat
psikologi misalnya pandangan mengenai watak sendiri. Persepsi yang
bersifat sosial misalnya pandangannya tentang bagaimana orang lain
menilai dirinya. Persepsi yang bersifat fisik misalnya pandangan tentang
penampilannya sendiri.
Taylor (dalam Rakhmat, 2007: 100) mendefinisikan konsep diri
sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and
attitudes you hold about yourself”. Konsep diri meliputi apa yang kita
pikirkan tentang diri kita sendiri dan yang kita rasakan tentang diri kita
sendiri.
Calhaoun dan Acocella (dalam Ghufron dan Risnawati , 2012: 13-14)
mendefinisikan konsep diri sebagai gambaran mental diri seseorang.
Hurlock menyatakan bahwa konsep diri merupakan gambaran seseorang
mengenai dirinya sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik,
psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai. Burn
mendefinisikan konsep diri sebagai kesan terhadap diri sendiri secara
keseluruhan yang mencakup pendapatnya terhadap diri sendiri, pendapat
tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapatnya tentang hal-hal
yang dicapai

7
8

Buss (Asip F. Hadipranata, dkk, 2010: 74) menyatakan bahwa konsep


diri diartikan sebagai gambaran keadaan diri sendiri yang dilakukan
seseorang terhadap dirinya sendiri. Pendapat dari Arndt mengatakan bahwa
konsep diri merupakan konsep seseorang mengenai keseluruhan tentang
dirinya sendiri, baik dari segi kejasmanian maupun psikisnya.
Menurut Hendra Surya (2007: 3) mengatakan bahwa konsep diri
adalah gambaran, cara pandang, keyakinan, pemikiran, perasaan terhadap
apa yang dimiliki orang tentang dirinya sendiri yang meliputi kemampuan,
karakter diri, sikap, perasaan, kebutuhan, tujuan hidup, dan penampilan diri.
Konsep diri ini sangat dipengaruhi oleh gabungan keyakinan karakter fisik,
psikologis, sosial, aspirasi, prestasi, dan bobot emosional yang
menyertainya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa konsep diri adalah gambaran, pandangan, pikiran, perasaan,
mengenai diri sendiri dan pandangan diri di mata orang lain yang meliputi
keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional, dan prestasi yang telah
dicapai.

2. Pembentukan Konsep Diri


Elizabeth B. Hurlock (1978: 59-60) menyatakan bahwa konsep diri
bersifat hierarki. Konsep diri primer merupakan yang pertama terbentuk atas
dasar pengalaman anak di rumah. Konsep diri ini dibentuk dari berbagai
konsep terpisah, yang masing-masing merupakan hasil dari pengalaman
dengan anggota keluarga. Konsep diri primer mencakup gambaran diri (self
image), baik itu fisik maupun psikologis.Dengan meningkatnya pergaulan
dengan orang di luar rumah, anak memperoleh konsep lain tentang diri
mereka. Ini membentuk konsep diri sekunder Konsep diri ini berhubungan
dengan bagaimana anak melihat dirinya melalui mata orang lain. Konsep
diri ini juga akan membentuk gambaran diri (self image).
Gambaran diri (self image) merupakan cara seseorang melihat dirinya
dan berpikir mengenai dirinya. Hal ini akan berpengaruh terhadap
9

bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Gambaran diri


mulai muncul pada masa balita, dimana anak-anak mulai mengembangkan
kesadaran diri.
Setelah terbentuknya gambaran-gambaran diri akan terbentuk pula
penilaian terhadap harga diri. Jika anak melihat tinggi dirinya, maka akan
mendapat harga diri (self esteem) yang tinggi pula. Jika anak melihat dirinya
rendah, maka akan mendapat harga diri (self esteem) yang rendah pula.
Perasaan harga diri berkembang pada masa awal kanak-kanak dan terbentuk
dari interaksi anak dengan orang tua mereka.
3. Penggolongan Mengenai Pembentukan Konsep Diri
Kemudian menurut Amaryllia Puspasari (2007:) terdapat beberapa
penggolongan mengenai pembentukan konsep diri.
a. Pola pandang diri subjektif (subjective self)
Konsep diri terbentuk melalui pengenalan diri. Pengenalan diri
merupakan proses bagaimana orang melihat dirinya sendiri. Proses ini
dapat terjadi saat orang melihat bayangannya sendiri di cermin. Apa
yang dipikirkan seseorang pada proses pengenalan diri ini dapat terdiri
dari gambaran-gambaran diri (self image), baik itu potongan visual
maupun persepsi diri. Potongan visual ini seperti bentuk wajah dan
tubuh yang dicermati ketika bercermin, sedangkan persepsi diri
biasanya diperoleh dari komunikasi terhadap diri sendiri maupun
pengalaman berinteraksi dengan orang lain.
b. Bentuk dan bayangan tubuh (body image)
Selain melalui proses pengenalan diri yang biasa dilakukan dengan
melihat bayangan diri sendiri di cermin, pembentukan konsep diri dapat
melalui penghayatan diri terhadap bentuk fisiknya. Persepsi ataupun
pengalaman emosional dapat memberikan pengaruh terhadap
bagaimana seseorang mengenali bentuk fisiknya.
c. Perbandingan ideal (the ideal self)
Salah satu proses pengenalan diri adalah dengan membandingkan diri
dengan sosok ideal yang diharapkan. Dengan melihat sosok ideal yang
10

diharapkannya, seseorang akan mengacu pada sosok tersebut dalam


proses pengenalan dirinya. Pada masa anak-anak, lingkungan keluarga
menjadi pusat pembentukan konsep diri pada anak.
d. Pembentukan diri secara sosial (the sosial self)
Proses pembentukan diri secara sosial merupakan proses dimana
seseorang mencoba untuk memahami persepsi orang lain terhadap
dirinya. Penilaian kelompok terhadap seseorang akan membentuk
konsep diri pada orang tersebut.

4. Teori Perkembangan Konsep Diri

Pada awalnya konsep diri merupakan suatu konstruk yang bersifat


umum atau yang lebih dikenal dengan istilah unidimensional (Videbeck,
Sheila. L, 2008). Konsep diri umum merupakan generalisasi pemahaman
konsep diri tanpa melihat deskripsi spesifik dari apa yang dilihat secara
khusus. Hal ini mengandung arti bahwa konsep diri umum merupakan
pemahaman seorang individu terhadap diri mereka secara umum tanpa
melihat bagian-bagian yang lebih spesifik dari diri mereka (Amarrilia
Puspasari, 2012).
Perkembangan konsep diri selanjutnya lebih mengarah pada konsep
diri yang bersifat spesifik atau yang lebih dikenal dengan istilah
multidimensional. Konsep diri spesifik merupakan pola penilaian konsep
diri individu yang melihat ke dalam perspektif yang lebih luas terhadap diri
individu, sehingga bias mendapatkan gambaran diri individu dari berbagai
sudut pandang yang beragam dan dinamis (Metivier, 2009). Jika hanya ada
satu penjelasan mengenai konsep diri unidimensional, maka pada konsep
diri multidimensional dapat melihat diri seseorang dari berbagai konteks,
seperti konsep diri spiritual, konsep diri sosial, konsep diri terhadap
lingkungan dan lain sebagainya (James, dalam Metivier, 2009).
Pada seperempat abad terakhir, penelitian mengenai konsep diri
semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena keinginan para peneliti untuk
mengembangkan konstruk konsep diri pada diri individu. Salah satu pola
11

pengembangan konsep diri yang banyak dilakukan adalah dengan


menggunakan pola konsep diri yang bersifat multidimensional (Marsh &
Craven, 2008). Marsh & Parker (dalam Metivier, 2009) mengatakan
bahwasanya pola pengukuran konsep diri yang bersifat multidimensional
memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan pola unidimensional.
Dalam konsep diri yang bersifat multidimensional kita dapat melihat
karakteristik individu dari berbagai macam konteks pada diri individu, dapat
memprediksi perilaku seseorang, dapat membantu menyelesaikan
permasalahan pada individu, dan dapat mengembangkan integrasi antar
konstruk daripada konsep diri yang bersifat unidimensional.

5. Komponen Konsep Diri


a. Menurut Stuart (2009) Konsep diri terdiri atas lima komponen, yaitu :
1. Gambaran diri adalah kumpulan sikap individu yang disadari dan
tidak disadari terhadap tubuhnya.
2. Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana dia seharusnya
berperilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai personal
tertentu.
3. Peran diri adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh
lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai
kelompok sosial.
4. Identitas diri adalah prinsip pengorganisasian kepribadian yang
bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi,
dan keunikan individu.
5. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang
diperoleh dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya
dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang
berasal dari penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun
melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan tetap merasa
sebagai individu yang penting dan berharga (Stuart, 2009). Harga
diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah
12

diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri


dan kemampuan diri (NANDA, dalam Herdman, T.H 2012).
Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami
keberhasilan, sebaliknya individu akan merasa harga dirinya rendah
bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai atau tidak diterima di
lingkungan.
b. Menurut Acocella (dalam Ghufron dan Risnawati , 2012 Konsep diri
terdiri atas lima komponen, yaitu :
1. Gambaran diri (body-image) adalah sikap individu terhadap
tubuhnya, baik secara sadar maupun tidak sadar, meliputi:
performance, potensi tubuh, fungsi tubuh, serta persepsi dan
perasaan tentang ukuran dan bentuk tubuh. Stressor pada tiap
perubahan adalah :

a. Perubahan ukuran tubuh : berat badan yang turun akibat penyakit


b. Perubahan bentuk tubuh : tindakan invasif, seperti operasi,
suntikan, daerah pemasangan infus
c. Perubahan struktur : sama dengan perubahan bentuk tubuh disrtai
dengan pemasanagn alat di dalam tubuh
d. Perubahan fungsi : berbagai penyakit yang dapat merubah system
tubuh
e. Keterbatasan : gerak, makan, kegiatan
f. Makna dan obyek yang sering kontak : penampilan dan dandan
berubah, pemasangan alat pada tubuh klien ( infus, fraksi,
respitor, suntik, pemeriksaan tanda vital, dll)

2. Ideal diri (self-ideal) adalah persepsi individu tentang perilakunya,


disesuaikan dengan standar pribadi yang terkait dengan cita-cita,
harapan, dan keinginan, tipe orang yang diidam-idamkan, dan nilai
yang ingin dicapai. Tanda dan gejala yang dapat dikaji :
13

a. Mengungkapkan keputusasaan akibat penyakitnya , misalnya :


saya tidak bisa ikut ujian karena sakit, saya tidak bisa lagi jadi
peragawati karena bekas operasi di muka saya, kaki saya yang
dioperasi tidak dapat main bola.
b. Mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi, misalnya : saya
pasti bisa sembuh padahal prognosa penyakitnya buruk; setelah
sehat saya akan sekolah lagi padahal penyakitnya mengakibatkan
tidak mungkin lagi sekolah.

3. Peran diri (self-role) adalah pola perilaku, sikap, nilai, dan aspirasi
yang diharapkan individu berdasarkan posisinya di masyarakat.
Tanda dan gejala yang dapat dikaji :

a. Mengingkari ketidakmampuan menjalankan peran


b. Ketidakpuasan peran
c. Kegagalan menjalankan peran yang baru
d. Ketegangan menjalankan peran yang baru
e. Kurang tanggung jawab
f. Apatis/bosan/jenuh dan putus asa

4. Identitas diri (self-identity) adalah kesadaran akan diri pribadi yang


bersumber dari pengamatan dan penilaian, sebagai sintesis semua
aspek konsep diri dan menjadi satu kesatuan yang utuh. Tanda dan
gejala yang dapat dikaji :

a. Tidak ada percaya diri


b. Sukar mengambil keputusan
c. Ketergantungan
d. Masalah dalam hubungan interpersonal
e. Ragu / tidak yakin terhadap keinginan
f. Projeksi ( menyalahkan orang lain )
14

5. Harga diri (self- esteem) adalah penilaian individu terhadap hasil


yang dicapai, dengan cara menganalisis seberapa jauh perilaku
individu tersebut sesuai dengan ideal diri. Gangguan gejala yang
dapat dikaji :

a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat


tindakan terhadap penyakit.
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri
c. Merendahkan martabat.
d. Gangguan hubungan sosial.
e. Percaya diri kurang.
f. Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan
yang suram, mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.

6. Karakteristik konsep diri positif

Menurut Carpenito (1995, dalam Tarwoto & Wartonah, 2010) Karakteristik


individu dengan konsep diri yang positif, yaitu

a. Mampu membina hubungan pribadi, mempunyai teman dan mudah


menjalin persahabatan.
b. Mampu berpikir dan membuat keputusan.
c. Dapat beradaptasi dan mengusai lingkungan.
Karakteristik individu dengan konsep diri yang negatif, yaitu :
a. Menghindari sentuhan atau melihat bagian tubuh tertentu.
b. Menghindari diskusi tentang topik dirinya.
c. Melakukan usaha sendiri dengan tidak tepat.
d. Mengingkari perubahan pada dirinya.
e. Peningkatan ketergantungan pada orang lain dan kurang bertanggung
jawab.
f. Tanda dari keresahan, seperti marah, keputusasaan dan menangis.
g. Menolak berpartisipasi dalam perawatan dirinya dan menolak usaha
rehabilitasi.
15

h. Menghindari kontak sosia.


i. Tingkah laku yang merusak, seperti : penggunaan obat-obatan dan
alkohol .
7. Rentang Respon Konsep Diri
Menurut Stuart dan Sundeen (1998 dalam Keliat, 2010) Penilaian
tentang konsep diri dapat di lihat berdasarkan rentang rentang respon konsep
diri respon adatif dan respon maladatif. Dari rentang respon adatif sampai
respon maladatif, terdapat lima rentang respons konsep diri yaitu aktualisasi
diri, konsep diri positif, harga diri rendah, kekacauan identitas, dan
depersonalisasi. Seorang ahli, Abraham Maslow mengartikan aktualisasi diri
sebagai individu yang telah mencapai seluruh kebutuhan hirarki dan
mengembangkan potensinya secara keseluruhan.

Gambar 2.1
Rentang Respon Konsep Diri

Keterangan :
1. Respon adaptif adalah respon yang dihadapi klien bila klien
menghadapi suatu masalah dapat menyelesaikannya secara baik
antara lain :
a. Aktualisasi diri Aktualisasi diri merupakan respon adaptif
yang tertinggi karena individu dapat mengekspresikan
kemampuan yang dimilikinya. Kesadaran akan diri
berdasarkan konservasi mandiri termasuk persepsi masa lalu
akan diri dan perasaannya.
16

b. Konsep diri positif Menunjukkan individu akan sukses dalam


menghadapi masalah.
2. Respon maladaptif adalah respon individu dalam menghadapi
masalah dimana individu tidak mampu memecahkan masalah
tersebut. Respon maladaptif gangguan konsep diri adalah :
a. Gangguan harga diri Transisi antara respon konsep diri
positif dan mal-adaptif.
b. Kekacauan identitas Identitas diri kacau atau tidak jelas
sehingga tidak memberikan kehidupan dalam mencapai
tujuan.
c. Depersonalisasi (tidak mengenal diri) Tidak mengenal diri
yaitu suatu perasaan tidak realistis dan merasa asing dengan
diri sendiri. Individu mengalami kesulitan membedakan diri
sendiri dari orang lain dan tubuhnya sendiri terasa tidak nyata
atau merasa asing baginya, mempunyai kepribadian yang
kurang sehat, tidak ada rasa percaya diri atau tidak dapat
membina hubungan baik dengan orang lain.
8. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Wartonah (2010) factor-faktor yang mempengaruhi konsep diri
yaitu :
a. Tingkat perkembangan dan kematangan Perkembangan seperti
dukungan mental, perlakuan, dan pertumbuhan anak akan
mempengaruhi konsep dirinya.
b. Budaya.
c. Sumber eksternal dan internal. Kekuatan dan perkembangan pada
individu sangat berpengaruh terhadap konsep diri. Pada sumber
internal, misalnya orang yang humoris koping individunya lebih
efektif. Sumber eksternal, misalnya adanya dukungan dari
masyarakat dan ekonomi yang kuat.
d. Pengalaman sukses dan gagal Ada kecenderungan bahwa riwayat
sukses akan meningkatkan konsep diri demikian pula sebaliknya.
17

e. Stressor Stressor dalam kehidupan, misalnya perkawinan, pekerjaan


baru, ujian dan ketakutan. Jika koping individu tidak adekuat maka
akan menimbulkan depresi, menarik diri dan kecemasan.
f. Usia, keadaan sakit dan trauma Usia tua dan keadaan sakit akan
mempengaruhi persepsi dirinya.
9. Kriteria Kepribadian Yang Sehat
Menurut Riyadi dan Purwanto (2009) Kriteria Kepribadian Yang
Sehat Bagaimana individu berhubungan dengan orang lain adalah inti
dari kepribadian. Kepribadian tidak cukup diuraikan melalui teori
perkembangan dan dinamika diri sendiri. Pengalaman individu yang
mempunyai kepribadian sehat, meliputi :
a. Gambaran diri positif dan akurat Kesadaran diri berdasarkan
observasi mandiri dan perhatian yang sesuai dengan kesehatan diri.
Termasuk persepsi saat ini dan yang lalu, akan diri sendiri dan
perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi tubuh.
b. Ideal diri realistis Mempunyai tujuan hidup yang dapat dicapai.
c. Konsep diri positif Menunjukkan individu akan sukses dalam
hidupnya atau sesuai dengan apa yang diharapkan.
d. Harga diri tinggi Individu akan memandang dirinya sebagai individu
yang berarti dan bermanfaat. Individu memandang dirinya sesuai
dengan apa yang diinginkan.
e. Kepuasan penampilan peran Individu dapat berhubungan dengan
orang lain secara intim dan mendapat kepuasan, dapat mempercayai,
terbuka pada orang lain dan membina hubungan interdependen.
f. Identitas jelas Individu merasakan keunikan dirinya yang memberi
arah kehidupan dalam mencapai tujuan .

10. Gangguan Konsep Diri


Menurut Wartonah (2010) gangguan konsep diri terdiri dari :
a. Gangguan gambaran diri adalah persepsi negatif tentang tubuh yang
diakibatkan oleh perubahan ukuran, bentuk, struktur, fungsi,
18

keterbatasan, makna dan obyek yang sering berhubungan dengan


tubuh. Perilaku yang berhubungan dengan gangguan gambaran diri,
yaitu:
1. Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah.
2. Tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau akan
terjadi.
3. Menolak penjelasan perubahan tubuh.
4. Persepsi negatif terhadap tubuh.
5. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang.
6. Mengungkapkan keputusasaan dan ketakutan.
b. Gangguan Ideal diri adalah ideal diri yang terlalu tinggi, sukar
dicapai dan tidak realistis, ideal diri yang samar dan tidak jelas dan
cenderung menuntut. Perilaku yang berhubungan dengan gangguan
ideal diri, yaitu:
1. Mengungkapkan keputusasaan akibat penyakitnya.
2. Mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
c. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan yang
negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal
mencapai keinginan atau harapan dalam kehidupan.

Menurut Keliat (2010) perilaku yang berhubungan dengan harga diri


rendah, yaitu:

1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan


pengobatan, misalnya malu dan sedih karena rambut menjadi botak
setelah mendapatkan terapi sinar kanker.
2. Merasa bersalah terhadap diri sendiri, menyalahkan, mengejek dan
mengkritik diri sendiri.
3. Merendahkan martabat, misalnya saya orang bodoh dan tidak tahu
apaapa, merasa tidak mampu serta pesimis menghadapi hidup.
4. Gangguan hubungan sosial, misalnya tidak ingin bertemu dengan orang
lain, lebih suka sendiri dan menarik diri dari realita.
19

5. Percaya diri kurang, menunda keputusan dan sukar mengambil


keputusan, misalnya tentang memilih alternatif tindakan, pesimis
menghadapi hidup.
6. Mencederai diri atau merusak diri akibat harga diri yang rendah disertai
harapan yang suram, perasaan negatif terhadap tubuh, keluhan fisik dan
penyalahgunaan zat. Gangguan harga diri yang disebut sebagai harga
diri rendah dan dapat terjadi secara: 1. Situasional, yaitu terjadi trauma
yang tiba-tiba, misalnya harus operasi, kecelakaan, dicerai suami, putus
sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu karena sesuatu terjadi
(dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba) dll.
11. Pengukuran Konsep Diri
Burns (dalam Strein, 2009) mengemukakan dua cara yang dapat dilakukan
untuk mengukur konsep diri, yaitu :
a. Melalui respon atas item-item dalam skala konsep diri spesifik yang
diberikan kepada subjek.
b. Melalui pengamatan individual atas pola perilaku yang muncul dari
subjek.
Menurut Wartonah (2010) untuk metode pelaporan yang dapat digunakan
dalam mengukur konsep diri individu di antaranya :
a. Skala Penilaian
Skala ini dapat berupa kuesioner, inventori, atau skala-skala sikap yang
diberikan kepada subjek.
b. Daftar ceklist
Metode ini mengarahkan subjek untuk memilih aitem-aitem yang sesuai
dengan kondisi subjek yang sebenarnya.
c. Teknik Sort-Q
Metode ini mengarahkan subjek untuk melakukan sortir ataupun
pengurutan terhadap kumpulan aitem-aitem yang ada dalam tes.
Sehingga didapatkan sebuah kontinum penilaian yang sesuai dengan diri
subjek.
20

d. Metode respons yang tidak terstruktur (bebas)


Metode ini meminta subjek untuk memberikan jawaban yang tidak
terstruktur (bebas). Jenis soal yang ditawarkan biasanya tertulis dalam
bentuk essay, dimana subjek disuruh untuk menuliskan kata-kata dalam
kolom yang kosong.
g. teknik-teknik proyektif
Teknik ini sering digunakan dalam mengukur konsep diri yang tidak
sadar (unconscious self-concept).
h. Wawancara
Alat ukur yang dapat digunakan dalam mengukur konsep diri ini cukup
banyak.

B. KONSEP GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)

1. Pengertian GGK
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
irreversibel (tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit), sehingga menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Muhammad, 2012).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal dalam skala kecil. Itu
merupakan proses normal bagi setiap manusia seiring bertambahnya usia.
Namun hal ini tidak menyebabkan kelainan atau menimbulkan gejala karena
masih dalam batas-batas wajar yang dapat ditolerir ginjal dan tubuh. Tetapi
karena berbagai sebab, dapat terjadi kelainan di mana penurunan fungsi ginjal
terjadi secara progresif sehingga menimbulkan berbagai keluhan dari ringan
sampai berat. Kondisi ini disebut gagal ginjal kronik (Colvy, 2010).
2. Etiologi GGK
Menurut Manjoer (2009) Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan
klinis kerusakan ginjal yang progresif dan ireversibel dari berbagai penyebab:
a. Infeksi : pielonefritis kronik.
b. Penyakit peradangan : glomerulonefritis.
21

c. Penyakit vaskular hipertensif : nefroskeloris benigna, nefrosklerosisi


maligna, stenosis arteria renalis.
d. Gangguan jaringan penyambung : lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e. Gangguan kongenital dan herediter : penyakit ginjal polikistik dan
asidosis tubulus ginjal.
f. Penyakit metabolik : diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme dan
amiloidosis.
g. Nefropati toksik : penyalahgunaan analgesik dan nefropati timbal.
h. Nefropati obstruktif : saluran kemih bagian atas (kalkuli, eoplasma,
fibrosis retroperitoneal) dan saluran kemih bagian bawah (hipertrofi
prostat, striktur uretra, anomali kongenital apada leher kandung kemih
dan uretra).
3. Tahap-Tahap Perkembangan Gagal Ginjal Kronik
Tahap-tahap perkembangan penyakit gagal ginjal kronik menurut Muhammad
(2012) yaitu:
a. Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antara 40-75%) Pada tahap ini, ada
beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, di antaranya:
1) sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi,
2) laju filtrasi glomerulus 40-50% normal,
3) BUN dan kreatinin serum masih normal, dan
4) pasien asimtomatik
Tahap ini merupakan tahap perkembangan penyakit ginjal yang paling
ringan, karena faal ginjal masih dalam kondisi baik. Oleh karena itu,
penderita juga belum merasakan gejala apapun. Bahkan, hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukan bahwa faal ginjal masih berada dalam batas
normal. Selain itu, kreatinin serum dan kadar BUN (blood urea nitrogen)
masih berada dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan
fungsi ginjal baru diketahui setelah pasien diberi beban kerja yang berat,
seperti tes pemekatan kemih dalam waktu lama atau melalui tes GFR dengan
teliti.
22

b. Indufisiensi ginjal (faal ginjal antara 20-50%)


Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, di
antaranya:

1) sekitar 75-80% nefron tidak berfungsi,


2) laju filtrasi glomerulus 20-40% normal,
3) BUN dan kreatinin serum mulai meningkat,
4) Anemia dan azotemia ringan, serta
5) nokturia dan poliuria.
Pada tahap ini, penderita masih dapat melakukan tugas-tugas seperti biasa,
walaupun daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pengobatan harus dilakukan
dengan cepat untuk mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, dan
gangguan jantung. Selain itu, penderita juga harus diberi obat untuk mencegah
gangguan faal ginjal. Apabila langkah-langkah ini dilakukan dengan cepat dan
tepat, perkembangan penyakit ginjal yang lebih berat pun dapat dicegah. Pada
stadium ini, lebih dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak. Selain itu,
kadar BUN dan kreatinin serum juga mulai meningkat melampaui batas normal.
c. Gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10%)
Beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, di antaranya:
1) laju filtrasi glomerulus 10-20% normal,
2) BUN dan kreatinin serum meningkat,
3) anemia, azotemia, dan asidosis metabolik,
4) poliuria dan nokturia, serta
5) gejala gagal ginjal.
d. End-Stage Meal Disease (ESRD)
Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, di
antaranya:
1) lebih dari 85% nefron tidak berfungsi,
2) laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal,
3) BUN dan kreatinin tinggi,
4) anemia, azotemia, dan asidosis metabolik,
23

5) berat jenis urine tetap 1,010,


6) oliguria, dan
7) gejala gagal ginjal.
Pada stadium akhir, kurang lebih 90% massa nefron telah hancur. Nilai GFR
10% di bawah batas normal dan kadar kreatinin hanya 5-10 ml/menit, bahkan
kurang dari jumlah tersebut. Selain itu, peningkatan kreatinin serum dan kadar
BUN juga meningkat secara mencolok.
Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita tidak sanggup mempertahankan
homeostatis cairan dan elektrolit didalam tubuh. Biasanya, penderita menjadi
oliguri (pengeluaran kemih kurang dari 500ml/hari karena kegagalan glomerulus).
Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita harus mendapatkan pengobatan dalam
bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa awalnya penderita
penyakit gagal ginjal tidak menunjukan gejala apapun. Kemudian, penyakit ini
berkembang secara perlahan-lahan. Kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui
dari pemeriksaan laboratorium. Pada tahap ringan dan sedang, penderita penyakit
gagal ginjal kronik masih menunjukan gejala-gejala ringan, meskipun terjadi
peningkatan urea didalam darahnya. Pada stadium ini, ginjal tidak dapat menyerap
air dari air kemih, sehingga volume air kemih bertambah. Oleh karena itu,
penderita mengalami nokturia (sering berkemih pada malam hari). Selain itu,
penderita juga mengalami tekanan darah tinggi, karena ginjal tidak mampu
membuang kelebihan garam dan air. Hal inilah yang memicu penyakit stroke atau
gagal jantung.
Lambat laun, limbah metabolik yang tertimbun didalam darah semakin
banyak. Maka, penderita menunjukan berbagai macam gejala, seperti mudah
lelah, letih, kurang siaga, kedutan otot, kelemahan otot, kram, anggota gerak
seperti tertusuk jarum, dan hilangnya rasa pada daerah-daerah tertentu. Selain itu,
nafsu makan penderita menurun, merasa mual dan muntah, terjadi peradangan
pada lapisan mulut (stomatitis), rasa tidak enak dimulut, dan penderita mengalami
penurunan berat badan dan malnutrisi. Apabila tekanan darah tinggi, penderita
24

akan kejang. Dan kelainan kimia darah menyebabkan kelainan fungsi otak
penderita (Muhammad, 2012).

4. Patofisiologi GGK
Fungsi ginjal menurun karena produk akhir metabolisme protein tertimbun
dalam darah, sehingga mengakibatkan terjadinya uremia dan mempengaruhi
seluruh sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produksi sampah maka gejala
semakin berat (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Gangguan clearance renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus yang
berfungsi. Penurunan laju filtrasi glomerulus dideteksi dengan memeriksa
clearance kreatinin urine tampung 24 jam yang menunjukan penurunan clearance
kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Retensi cairan dan natrium dapat mengakibatkan edema, CHF, dan hipertensi.
Hipotensi dapat terjadi karena aktivitas aksis renin angitensin dan kerja sama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Kehilangan garam mengakibatkan
risiko hipotensi dan hipovolemia. Muntah dan diare menyebabkan perpisahan air
dan natrium sehingga status uremik memburuk (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu mensekresi asam (H⁺) yang
berlebihan. Penurunan sekresi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu men
sekresi ammonia dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan
ekskresi fosfat dan asam organik lain terjadi (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecendurungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
pencernaan. Eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sumsum
tulang untuk menhasilkan sel darah merah, dan produksi eritropoietin menurun
sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai keletihan, angina, dan sesak
napas (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme.
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah
satunya meningkat, maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya
25

filtrasi melalui glomerulus ginjal, maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan
sebaliknya, kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum
menyebabkan sekresi parathormon, sehingga kalsium ditulang menurun,
menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang. Demikian juga
vitamin D (1, 25 dihidrokolekalsiferol) yang dibentuk di ginjal menurun seiring
perkembangan gagal ginjal (Nursalam dan Fransisca, 2008).

5. Manifestasi Klinik GGK


Menurut Muhammad (2012) manifestasi klinik gagal ginjal kronik adalah:
a. Gangguan pada system gastrointestinal.
1. Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein didalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat
metabolisme bakteri usus seperti ammonia dan metal gaunidin, serta
sembabnya mukosa .
2. Fetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah
oleh bakteri di mulut menjadi ammonia sehingga nafas berbau ammonia.
3. Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui .
b. Gangguan sistem hematologi dan kulit
1) Anemia karena kekurangan produksi eritropoetin.
2) Kulit pucat dan kekuningan akibat anemia dan penimbunan urokrom.
3) Gatal-gatal akibat toksis uremik
4) Trombositopenia (penurunan kadar trombosit dalam darah).
5) Gangguan fungsi kulit (fagositosis dan kematosis berkurang).
c. Sistem saraf dan otot
1) Restless leg syndrome
Klien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan.
2) Burning feet syndrome
Klien merasa semutan dan seperti terbakar, terutama ditelapak kaki.
3) Ensefalopati metabolik
Klien tampak lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor,
mioklonus, kejang.
26

4) Miopati
Klien tampak mengalami kelemahan dan hipotrofi otot-otot terutama otot-
otot ekstremitas proximal.
d. Sistem kardiovaskular
1) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam
2) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit
jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung
akibat penimbunan cairan
3) Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit,
dan klasifikasi metastatik
4) Edema akibat penimbunan cairan
e. Sistem endokrin
1) Gangguan seksual/libido; fertilitas dan penurunan seksual pada laki-laki
serta gangguan menstruasi pada wanita.
2) Gangguan metabolisme glukosa retensi insulin dan gangguan sekresi
insun.

6. Pemeriksaan Penunjang GGK


Menurut Manjoer (2009) untuk memperkuat diagnosis GGK diperlukan
pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium maupun radiologi.
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menetapkan adanya GGK,
menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat GGK,
menetapkan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etologi. Dalam
menentukan ada atau tidaknya gagal ginjal, tidak semua faal ginjal perlu
diuji. Untuk keperluan praktis yang paling lazim diuji adalah laju filtrasi
glomerulus. Disamping diagnosis GGK secara faal dengan tingkatanya,
dalam rangka diagnosis juga ditinjau factor penyebab (etiologi) dan faktor
pemburukanya. Kedua hal ini disamping perlu untuk kelengkapan
diagnosis, juga berguna untuk pengobatan.
b. Pemeriksaan EKG
27

Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda


perikarditis (misalnya voltase rendah), aritmia dan gangguan elektrolit
(hiperkalemia, hipokalsemia).
c. Ultrasonografi (USG)
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi sistem, pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih
serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya factor yang
reversibel seperti obstruksi oleh karena batu atau masa tumor, juga untuk
menilai apakah proses sudah lanjut (ginjal yang lisut). USG ini sering
dipakai oleh karena non-infasif, tak memerlukan persiapan apapun.
d. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal,
menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
Foto polos yang disertai tomogram memberi keterangan yang lebih baik.
e. Pielografi Intra-Vena (PIV)
Pada GGK lanjut tak bermanfaat lagi oleh karena ginjal tak dapat
memerlukan kontras dan pada GGK ringan mempunyai resiko penurunan
faal ginjal lebih berat, terutama pada usia lanjut, diabetes melitus, dan
nefropati asam urat. Saat ini sudah jarang dilakukan pada GGK. Dapat
dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk menilai
sistem pelviokalises dan ureter.
f. Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obsstruksi yang reversibel.
g. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi pericardial. Tak jarang
ditemukan juga infeksi spesifik oleh karena imunitas tubuh yang menurun.
h. Pemeriksaan Radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama falang/jari), dan kalsifikasi metastatik.
28

7. Penanganan dan Pengobatan GGK


Menurut Colvy (2010) Penanganan dan pengobatan penyakit gagal
ginjal kronik sebagai berikut :
a. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal adalah suatu metode terapi dengan cara
mencangkokkan sebuah ginjal sehat yang diperoleh dari donor. ginjal yang
dicangkokkan ini selanjutnya akan mengambil alih fungsi ginjal yang
sudah rusak. Orang yang menjadi donor harus memiliki karakteristik yang
sama dengan penderita. Kesamaan ini meliputi golongan darah termasuk
resus darahnya, orang yang baik menjadi donor biasanya adalah keluarga
dekat. Namun donor juga bisa diperoleh dari orang lain yang memiliki
karakteristik yang sama. Dalam proses pencangkokkan kadang kala kedua
ginjal lama, tetap berada pada posisinya semula, tidak dibuang kecuali jika
ginjal lama ini menimbulkan komplikasi infeksi atau tekanan darah tinggi.
Namun, transplantasi ginjal tidak dapat dilakukan untuk semua kasus
penyakit ginjal kronik. Individu dengan kondisi seperti kanker, infeksi
serius, atau penyakit kardiovaskuler (pembuluh darah jantung) tidak
dianjurkan untuk menerima transplantasi ginjal. Hal ini dikarenakan
kemungkinan terjadinya kegagalan transplantasi yang cukup tinggi.
Transplantasi ginjal dinyatakan berhasil jika ginjal dicangkokkan dapat
bekerja sebagai penyaring darah sebagaimana layaknya ginjal sehat dan
pasien tidak lagi memerlukan terapi cuci darah.
b. Dialisis (Cuci darah)
Dialisis atau dikenal dengan nama cuci darah adalah suatu metode terapi
yang bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja ginjal yaitu membuang
zat-zat sisa dan kelebihan cairan dari tubuh. Terapi ini dilakukan apabila
fungsi kerja ginjal sudah sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak
lagi mampu untuk menjaga kelangsungan hidup individu, maka perlu
dilakukan terapi. Selama ini dikenal ada 2 jenis dialisis :
1) Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)
29

Hemodialisis atau HD adalah dialisis dengan menggunakan mesin


dialiser yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Pada prose ini, darah
dipompa keluar dari tubuh, masuk kedalam mesin dialiser. Di dalam
mesin dialiser, darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses
difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan khusus untuk
dialisis), lalu setelah darah selesai dibersihkan, darah dialirkan
kembali kedalam tubuh. Proses ini dilakukan 1-3 kali seminggu di
rumah sakit dan setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam.
2) Dialisis Peritoneal (cuci darah melalui perut)
Terapi kedua adalah dialisis peritoneal untuk metode cuci darah
dengan bantuan membran peritoneum (selaput rongga perut). Jadi,
darah tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan
disaring oleh mesin dialisis.
c. Obat-obatan
1) Diuretik adalah obat yang berfungsi untuk meningkatkan pengeluaran
urin. Obat ini membantu pengeluaran kelebihan cairan dan elektrolit
dari tubuh, serta bermanfaat membantu munurunkan tekanan darah.
2) Obat antihipertensi untuk mempertahankan agar tekanan darah tetap
dalam batas normal dan dengan demikian akan memperlambat proses
kerusakan ginjal yang diakibatkan oleh tingginya tekanan darah.
3) Eritropoietin
Gagal ginjal juga menyebabkan penderita mengalami anemia. Hal ini
terjadi karena salah satu fungsi ginjal yaitu menghasilkan hormon
eritropoietin (Epo) terhambat. Hormon ini bekerja merangsang
sumsum tulang untuk memproduksi sel-sel darah merah. Kerusakan
fungsi ginjal menyebabkan produksi hormon Epo mengalami
penurunan sehingga pembentukan sel darah merah menjadi tidak
normal, kondisi ini menimbulkan anemia (kekurangan darah). Oleh
karena itu, Epo perlu digunakan untuk mengatasi anemia yang
diakibatkan oleh PGK. Epo biasanyan diberikan dengan cara injeksi 1-
2 kali seminggu.
30

4) Zat besi
Anemia juga disebabkan karena tubuh kekurangan zat besi. Pada
penderita gagal ginjal konsumsi zat besi (Ferrous Sulphate) menjadi
sangat penting. Zat besi membantu mengtasi anemia. Suplemen zat
besi biasanya diberikan dalam bentuk tablet (ditelan) atau injeksi
(disuntik).
5) Suplemen kalsium dan kalsitriol
Pada penderita gagal ginjal kronik, kadar kalsium dalam darah
menjadi rendah, sebaliknya kadar fosfat dalam darah menjadi terlalu
tinggi. Untuk mengatasi ketidakseimbangan mineral ini, diperlukan
kombinasi obat/suplemen yaitu kalsitriol (vitamin D bentuk aktif) dan
kalsium.

C. Konsep Hemodialisa

1. Definisi Hemodialisa

Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam


keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa
hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium
akhir atau end-stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka
panjang atau permanen (Suharyanto, 2009).

Hemodialisa adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan untuk


mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut
ataupun secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut
(Cahyaningsih, 2011).

Hemodialisa adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser


yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi ke
dalam tubuh pasien. Hemodialisa memerlukan akses ke sirkulasi darah
pasien, suatu mekanisme untuk membawa darah pasien ke dan dari dializen
(tempat terjadi pertukaran cairan, elektrolit, dan zat sisa tubuh), serta
dialiser (Baradero, 2009).
31

Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah


buangan. Hemodialisa digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal
ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu
singkat (Nursalam & Fransisca, 2008).

2. Indikasi Hemodialisa

Hemodialisa biasanya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun di bawah


10 mL/menit, yang biasanya sebanding dengankadar kreatinin serum 8-10
mg/dL (Suharyanto, 2009). Namun demikian, yang lebih penting dari nilai
laboratorium absolut adalah terdapatnya gejala-gejala uremia (Tisher &
Craig, 1997).

Indikasi dilakukan terapi dialisis menurut (Tisher & Craig, 1997 dalam Arif
& Kumala, 2011) yaitu :

a. Relatif : Azotemia simtomatis berupa ensefalopati, toksin yang dapat


didialisis (keracunan obat).

b. Absolut : Perikarditis uremia, Hiperkalemia berat, kelebihan cairan yang


tidak responsif dengan diuretik (edema pulmonum), dan asidosis yang
tidak dapat diatasi.

3. Prinsip Hemodialisa

Tujuan Hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik


dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto, 2009).
Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah
nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut
dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien (Arif &
Kumala, 2011).

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja Hemodialisa, yaitu: difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi (Baradero et al., 2008). Toksin dan zat limbah di dalam
darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah
32

yang memiliki konsentrasi tinggi ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang


lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting
dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan
dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah
dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih
rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan
tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis.
Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada
membran dan memfasilitasi pengeluaran air ( Suharyanto, 2009; Arif &
Kumala, 2011)

4. Komplikasi Hemodialisa

Menurut Sudoyo (2010) komplikasi yang terjadi ketika menjalani terapi


dialisis, sebagai berikut:

i. Hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan


dikeluarkan.
j. Emboli udara, merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja
terjadi jika udara memasuki sistem vaskular pasien.
k. Nyeri dada, dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
l. Pruritus, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolism meninggalkan kulit.
m. Gangguan keseimbangan dialisis, terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini
kemungkinan terjadi lebih besar jika terdapat gejala uremia yang
berat.
n. Kram otot yang nyeri, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan
cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
o. Mual dan muntah, merupakan peristiwa yang sering terjadi.

Anda mungkin juga menyukai