Anda di halaman 1dari 39

PRESENTASI KASUS

ACHALASIA ESOFAGUS

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Radiologi RSUD Kota Salatiga

Disusun Oleh :

Nuan Syafrina
1713020031

Pembimbing: dr. Ninik Haryanti, Sp. Rad

RSUD KOTA SALATIGA


KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU RADIOLOGI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul

ACHALASIA ESOFAGUS

Disusun Oleh :
Nuan Syafrina
1713020031

Telah dipresentasikan
Hari/tanggal: 14 November 2018

Disahkan oleh:
Dokter pembimbing,

dr. Ninik Haryanti, Sp. Rad

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
Umur : 34 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Status pernikahan : Menikah
Alamat : Boyolali
Tanggal Masuk : 4 November 2018 pukul 10:10 WIB

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
sulit untuk menelan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Lokasi
Di bagian leher
b. Onset
Pasien merasakan keluhan sulit menelan kurang lebih sudah 1 tahun
c. Kualitas
Rasa sulit menelan dirasakan seperti mengganjal di gaian leher sampi ke
bawah leher
d. Kuantitas
Rasa mengganjal yang dirasakan pasien berangsur-angsur menghilang
tetapi membutuhkan waktu yang lama hingga 1 hari saat di masukan
makanan, dengan Numeric Rating Pain Scale : 3-4
e. Faktor yang memperberat
Keluhan bertambah berat saat pasien menelan makanan atau minuman

3
f. Faktor yang memperingan
Keluhan terasa mereda saat pasien sedang istirahat dan saat tidak di
masukan makanan dan minuman
g. Keluhan lain
Pasien mengeluhkan rasa mual, namun tidak sampai muntah, demam (-),
BAB dalam batas normal,BAK dalam batas normal. Saat menelan
makanan atau minuman terkadang ada rasa makanan yang di telan seperti
naik ke atas dan tidak tertelan
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga tidak ada yang menderita keluhan yang sama ataupun kelainan
kongenital yang lain
5. Riwayat Personal Sosial
Bekerja sebagai PNS dengan aktifitas sehari-hari yang tidak terlalu berat

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum:
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS : E 4 – V5 –M 6
Kesan Gizi : Normal
Keadaan lain : Pucat (-), sianosis (-), sesak (-)

2. Pengukuran Tanda vital :


Tekanan Darah : 120/80
Nadi : 80 x/menit, regular
Suhu : 36°C
Respirasi : 22x/menit
SPO2 : 99%

3. Kulit:
Warna : Sawo matang

4
Sianosis : Tidak ada
Hemangiom : Tidak ada
Turgor : Cepat kembali
Kelembaban : Cukup
Pucat : Tidak ada

4. Kepala:
Bentuk : Mesosefali, deformitas (-)

5. Rambut:
Warna : Hitam
Tebal/tipis : Tebal
Distribusi : Merata
Alopesia : Tidak ada, tidak mudah dicabut

6. Mata:
Palpebra : edema (-), tidak cekung
Alis dan bulu mata : Tidak mudah dicabut
Konjungtiva : Tidak anemis
Sklera : Tidak ikterik
Produksi air mata : Cukup

7. Pupil :
Diameter : 3 mm / 3mm
Simetris : Isokor
Reflek cahaya : +/+
Kornea : Jernih

8. Telinga:
Bentuk : Simetris
Sekret : Tidak ada
Serumen : Minimal

5
Nyeri : Tidak ada

9. Hidung:
Bentuk : Simetris
Pernafasan Cuping Hidung : -
Epistaksis : Tidak ada
Sekret : Tidak ada

10. Mulut:
Bentuk : Simetris
Bibir : Mukosa bibir basah, warna merah muda
Gusi : Tidak mudah berdarah
Gigi : Tidak tumbuh

11. Lidah:
Bentuk : simetris
Pucat/tidak : Tidak pucat
Tremor/tidak : Tidak tremor
Kotor/tidak : Tidak kotor
Warna : Merah muda

12. Leher :
a) Vena Jugularis :
Pulsasi : Tidak terlihat
Tekanan : Tidak meningkat
b) Pembesaran kelenjar leher : Tidak ada
c) Kaku kuduk : Tidak ada
d) Massa : Tidak ada

13. Toraks :
Dinding dada/paru :
Inspeksi :

6
Bentuk : Simetris
Retraksi : ( –) Lokasi : ( –)
Dispnea : ( –)
Pernafasan : Thorakal
Palpasi :
Fremitus vokal : Simetris
Perkusi : Sonor kanan-kiri
Auskultasi:
Suara Napas Dasar: vesikuler
Suara Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-), stridor (-)
Jantung :
Inspeksi :
Iktus : Tidak terlihat
Palpasi :
Apeks : Tidak teraba, Lokasi : –
Thrill : Tidak ada

Perkusi :
Batas kanan : ICS II-IV
Batas kiri : ICS II- V
Batas atas : ICS II
Auskultasi :
Frekuensi : 90 x/menit, Irama : Reguler
Suara Dasar : S1 dan S2 Tunggal
Bising : Tidak ada, Derajat : ( –)
Lokasi : ( –)

14. Abdomen :
Inspeksi :
Bentuk : supel
Palpasi :
Hati : Tidak teraba

7
Ginjal : Tidak teraba
Massa : Tidak ada
Perkusi :
Timpani/pekak : Timpani
Asites : –
Auskultasi :
Bising Usus (+) Normal
Lain-lain : –

15. Ekstremitas :
a. Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-/-) dan tidak ada parese,
capillary refill time< 2 detik
b. Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-/-) dan tidak ada parese,
capillary refill time< 2 detik

16. Kelenjar getah bening :


Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar

8
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Tanggal 04-11-2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi
Lekosit 4,73 4.5-11 Ribu/ul
Eritrosit 4,51 4.50-6.5 Juta/ul
Hemoglobin 11,5 13-18 g/dl
Hematokrit 37,3 40-54 Vol%
Trombosit 281 150-450 Ribu/ul
MCV 82,8 (L) 85-100 Fl
MCH 25,5 (L) 28-31 Pg
MCHC 30,8 30-35 g/dl
Golongan darah O
Hitung Jenis
Eosinofil% 6,2 (H) 1-6 %
Basofil% 0,6 0.0-1.0 %
Limfosit% 37,3 20-45 %
Monosit% 3,8 2-8 %
Neutrofil% 52,4 40-75 %
Kimia
Glukosa Darah 71 <140 Mg/dl
Sewaktu
Ureum 31 10-50 Mg/dl
Kreatinin 1,2 1.0-1.3 Mg/dl
SGOT 22 <37 U/L
SGPT 14 <42 U/L
Imuno/Serologi
HBs Ag (rapid) Negatif Negatif

9
Gambar 1. Plain foto

10
Gambar 2. Esofagografi

11
Hasil :
1. Plain foto :
Airway di tengah, tak tampak opasitas pada region colli dan torax
atas , sistema tulang yang tervisualisasi intak
♦Esofagograf :
Pasien di minumkan kontras barium sebanyak 2 sendok makan,
dilakukan exspose AP view. Pasien kembali diminumkan 2 sendok makan
larutan barium dan diexpose RAO view, diulangi 2 kali. Selanjutnya diambil
foto AP tampak melebar esophagus inferior sampai dengan gaster.
Tampak kontras mengisi esophagus pars cervical, upper toracal ,mid
dan lower thoracal. Passase kontras lancer. Posisi esophagus baik, tak
tampak filling defect maupun additional defect, caliber lumen tampak
melebar lk 4,5cm s/d 5,4cm sangat jelas pada mid thoracal dan lower
thoracal, kemudian menyempit drastis pada lower esophagus membentuk
gambaran mouse tail appearance
2. Kesan :
Dilatasi esophagus dengan mouse tail appereance sesuai
gambaran achalasia

12
13
Gambar 3 : Esofagogastroduodenoskopi

14
BAB II
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Akalasia adalah suatu keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya
peristaltik korpus esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus bagian bawah
yang hipertonik sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna
sewaktu menelan makanan. Secara histopatologis kelainan ini ditandai oleh
degenerasi ganglia pleksus mesentrikus. Akibat keadaaan ini akan terjadi statis
makanan dan selanjutnya akan timbul pelebaran esofagus.2

Akalasia esofagus, dikenal juga dengan nama Simple ectasia,


Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau
Dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah
achalasia berarti “gagal untuk mengendur” dan merujuk pada ketidakmampuan
dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan
lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung.
Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan
dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita
akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air
atau minuman guna menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa
rasa penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi.6

Achalasia dideskripsikan pertama kali pada tahun 1672 oleh Sir Thomas
Willis. Pada tahun 1881, von Mikulicz mendeskripsikan penyakit ini sebagai
suatu kardiospasme, di mana gejalanya lebih disebabkan oleh suatu gangguan
fungsional daripada suatu gangguan mekanik. Pada tahun 1929, Hurt dan Rake
menyatakan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh kegagalan spinchter
esofagus bawah untuk berelaksasi. Mereka lalu menyebutnya sebagai
“achalasia”, sebuah kata dari bahasa Yunani yang berarti gagal untuk
berelaksasi.9

15
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia,


Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau
Dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah
achalasia berarti “gagal untuk mengendur” dan merujuk pada ketidakmampuan
dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan
lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung.5

B. EPIDEMOLOGI
Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun,
hingga sekarang, insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun terakhir
yaitu sekitar 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian penyakit
ini sama antara laki-laki dengan perempuan. Menurut penelitian, distribusi umur
pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade ke-9,
tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan
pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun.5

16
C. ANATOMI
Esofagus merupakan tabung muskular, kurang lebih 25 cm panjangnya
dengan rata-rata diameter 2 cm, yang memanjang dari faring sampai lambung.
Esofagus:
1. Mengikuti kecembungan dari kolumna vertebra sebagaimana esofagus turun
melalui leher dan mediastinum.
2. Melewati hiatus esofagus eliptikal dalam otot krus kanan diafragma, hanya
ke sebelah kiri dari bidang median pada tingkat vertebra thorakalis T10.
3. Terminasi pada esophagogastric junction, dimana benda-benda yang
tercerna memasuki orificium kardia dari lambung terletak pada sebelah kiri
dari garis tengah pada tingkaty kartilago kosta kiri yang ke-7 dan vertebra
thorakalis T11; esofagus adalah retroperitoneal selama gambaran
abdominalnya yang pendek.
4. Esofagus sirkular dan lapisan longitudinal ekterna otot. Pada superior ke-3,
lapisan eksternal terdiri atas otot striata volunter, inferior ke-3 tersusun atas
otot halus, dan sepertiga tengah terbentuk dari kedua tipe otot.3

Esophagogastric junction ditandai secara internal oleh peralihan tiba-tiba dari


esofagus ke mukosa gaster, yang disebut sebagai Z-line secara klinis. Superior
terhadap hubungan ini, otot diafragma yang membentuk hiatus esofagus berfungsi
sebagai sphincter esofagus inferior fisiologis yang berkontraksi dan berelaksasi.

17
Studi radiologis menunjukkan bahwa makanan atau cairan mungkin dihentikan
disini pada saat tertentu dan bahwa mekanisme sphincter secara normal efisien
dalam mencegah refluks dari isi gaster ke dalam esofagus.3

Bagian abdomen dari esofagus memiliki:

1. Suplai arteri dari arteri gastrica sinistra, cabang dari trunkus celiaca, dan arteri
frenikus inferior sinistra.
2. Drainase vena secara primer pada sistem vena portal melalui vena gastrica
sinistra, sementra bagian thoracic proximal dari esofagus mendrainase
utamanya kepada sistem vena sistemik melalui vena esofagus yang melewati
vena azygos. Meskipun demikian, vena dari dua bagian esofagus berhubungan
dan memberikan sebuah anastomosis sistemik portal yang penting secara
klinis.
3. Drainase limfatik ke dalam nodul limfatikus gastrica sinistra, yang mana
berbalik mendrainase utamanya ke nodus limfatikus celiacus.
Inervasi dari trunkus vagal (menjadi anterior dan nervus gastricus
posterior), trunkus simpatikus thoracica via nervus splanchnicus mayor
(abdominopelvis), dan plexus periarterial disekitar arteri gastrica sinistra dan arteri
frenikus inferior sinistra.3

D. ETIOLOGI

Bila ditinjau dari etiologinya, akalasia dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:


1. Akalasia Primer, Penyebab tidak diketahui, diduga disebabkan oleh virus
neurotropik yang berakibat lesi pada nucleus dorsalis vagus pada batang
otak dan ganglia misentrikus pada esophagus.
2. Akalasia sekunder. Disebabkan oleh infeksi (penyakit Chagas), tumor
intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti
pseudokista pancreas, dapat pula disebabkan oleh obat antikolinergik atau
paska vagotomi.9

18
E. PATOFISIOLOGI
1. Neuropatologi
Beberapa macam kelainan patologi dari akalasia telah banyak
dikemukakan. Beberapa dari perubahan ini mungkin primer (misal:
hilangnya sel-sel ganglion dan inflamasi mienterikus), dimana yang lainnya
(misal : perubahan degeneratif dari n. vagus dan nukleus motoris dorsalis
dari n. vagus, ataupun kelaianan otot dan mukosa) biasanya merupakan
penyebab sekunder dari stasis dan obstruksi esofagus yang lama.
2. Kelainan pada Innervasi Ekstrinsik
Saraf eferen dari n. vagus, dengan badan-badan selnya di nukleus
motoris dorsalis, menstimulasi relaksasi dari LES dan gerakan peristaltik
yang merupakan respon dari proses menelan. Dengan mikroskop cahaya,
serabut saraf vagus terlihat normal pada pasien akalasia. Namun demikian,
dengan menggunakan mikroskop elektron ditemukan adanya degenerasi
Wallerian dari n. vagus dengan disintegrasi dari perubahan aksoplasma pada
sel-sel Schwann dan degenarasi dari sehlbung myeh’n, yang merupakan
perubahan-perubahan yang serupa dengan percobaan transeksi saraf.
3. Kelainan pada Innervasi Intrinsik
Neuron nitrergik pada pleksus mienterikus menstimulasi inhibisi
disepanjang badan esofagus dan LES yang timbul pada proses menelan.
Inhibisi ini penting untuk menghasilkan peningkatah kontraksi yang stabil
sepanjang esofagus, dimana menghasilkan gerakan peristaltik dan relaksasi
dari LES. Pada akalasia, sistem saraf inhibitor intrinsik dari esofagus
menjadi rusak yang disertai inflamasi dan hilangnya sel-sel ganglion di
sepanjang pleksus mienterikus Auerbach.
4. Kelainan Otot Polos Esofagus
Pada muskularis propria, khususnya pada otot polos sirkuler biasanya
menebal pada pasien akalasia. Goldblum mengemukakan secara mendetail
beberapa kelainan otot pada pasien akalasia setelah proses esofagektomi.
Hipertrofi otot muncul pada semua kasus, dan 79% dari specimen
memberikan bukti adanya degenerasi otot yang biasanya melibatkan fibrosis
tapi tennasuk juga nekrosis likuefaktif, perubahan vakuolar, dan kalsifikasi

19
distrofik. Disebutkan juga bahwa perubahan degeneratif disebabkan oleh
otot yang memperbesar suplai darahnya oleh karena obstruksi yang lama dan
dilatasi esofagus. Kemungkinan lain menyebutkan bahwa hipertrofi otot
merupakan reaksi dari hilangnya persarafan.
5. Kelainan pada Mukosa Esofagus
Kelainan mukosa, di perkirakan akibat sekunder dari statis luminal
kronik yang telah digambarkan pada akalasia. Pada semua kasus, mukosa
skuamosa dari penderita akalasia menandakan hiperplasia dengan
papillamatosis dan hiperplasia sel basal. Rangkaian p53 pada mukosa
skuamosa dan sel CD3+ selalu melebihi sel CD20+, situasi ini signifikan
dengan inflamasi kronik, yang kemungkinan berhubungan dengan tingginya
resiko karsinoma sel skuamosa pada pasien akalasia.
6. Kelainan Otot Skelet
Fungsi otot skelet pada proksimal esofagus dan spingter esofagus
atas terganggu pada pasien akalasia. Meskipun peristaltik pada otot skelet
normal tetapi amplitude kontraksi peristaltik mengecil. Massey dkk. juga
melaporkan bahwa refleks sendawa juga terganggu. Ini menyebabkan
esofagus berdilatasi secara masif dan obstruksi jalan napas akut.
7. Kelainan Neurofisiologik
Pada esofagus yang sehat, neuron kolinergik eksftatori melepaskan
asetilkolin menyebabkan kontraksi otot dan meningkatkan tonus LES,
dimana inhibisi neuron NO/VIP memediasi inhibisi sehingga mengbambat
respon menelan sepanjang esofagus, yang menghasilkan gerakan peristaltik
dan relaksasi LES. Kunci kelainan dari akalasia adalah kerusakan dari
neuron inhibitor postganglionik dari otot sikuler LES.2

Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke


gaster melalui suatu proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus
makanan dengan ukuran dan konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari
tiga fase yaitu :8

1. Fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak pada
dorsum lidah menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding
posterior faring terangkat.

20
2. Fase pharingeal, terjadi refleks menelan (involuntary), faring dan laring
bergerak ke atas oleh karena kontraksi m. Stilofaringeus, m. Salfingofaring,
m. Thyroid dan m. Palatofaring, aditus laring tertutup oleh epiglotis dan
sfingter laring.
3. Fase oesophageal, fase menelan (involuntary) perpindahan bolus makanan

ke distal oleh karena relaksasi m. Krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus

bawah terbuka dan tertutup kembali saat makanan sudah lewat

F. GAMBARAN KLINIS 4
Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang
ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang
ditemukan adalah
1. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat
terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi.
Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan
lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.
2. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering
regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat
menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru.
3. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium permulaan.
Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan
rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris.
4. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi
makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di
daerah substernal.
5. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal
dan akibat komplikasi dari retensi makanan.
6. Pada anak yang paling sering adalah muntah persisten.

21
G. DIAGNOSIS
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan yang berarti. Dengan
anamnesis sebetulnya sudah dapat diduga adanya akalasia, walaupun demikian
tetap harus dipikirkan diagnosis banding penyakit keganasan, stenosis, atau
benda asing esofagus.7

Pada esofagografi terdapat penyempitan daerah batas esofagogaster dan


dilatasi bagian proksimalnya. Jika proses akalasia sudah lama, bentuk esofagus
berubah menjadi berkelok dan akhirnya berbentuk huruf S. Dengan pemeriksaan
esofagoskopi dapat disingkirkan kelainan penyempitan karena striktur atau
keganasan. Pada akalasia, terdapat gangguan kontraksi dinding esofagus
sehingga pengukuran tekanan di dalam lumen esofagus dengan manometri
sangat menentukan diagnosis. Tekanan di dalam sfingter esofagogaster
meninggi dan tekanan di dalam lumen esofagus lebih tinggi daripada tekanan di
dalam lambung.7

Diagnosis dari achalasia biasanya dibuat dari esofagogram dan studi


motilitas. Penemuan tersebut dapat beraneka ragam, tergantung pada sifat alami
yang berkelanjutan dari penyakit. Esofagogram akan menunjukkan esofagus
yang berdilatasi dengan penyempitan distal yang disebut sebagai gambaran
“paruh burung klasik” (classic bird’s beak) dari esofagus yang terisi barium.10

Pemeriksaan esofagografi menggunakan kontras pada kurang lebih 90%


pasien yang dicurigai menderita akalasia menunjukkan adanya pelebaran
esofagus dan bentuk klasik gambaran paruh burung. Tetapi pada pasien yang
menjalani pemeriksaan ini, hanya 50-58% pasien menunjukkan adanya
gambaran radiologis yang mendukung diagnosis akalasia, sementara sisanya
perlu menjalani pemeriksaan manometri untuk menegakkan diagnosis. Jadi,
esofagografi dengan kontras kurang sensitif sebagai pemeriksaan penunjang
tunggal untuk kasus akalasia Spasme sfingter dan pengosongan yang tertunda
melalui LES, sebaik dilatasi dari corpus esofagus diobservasi. Kurangnya
gelombang peristaltik pada corpus dan kegagalan relaksasi dari LES harus
diperhatikan. Kurangnya gelembung udara lambung merupakan penemuan yang
umum bagian yang tegak lurus dari esofagogram dan merupakan hasil dari LES

22
yang erat yang tidak mengijinkan udara untuk melewati dengan mudah ke dalam
lambung. Pada tahap yang lebih lanjut dari penyakit, dilatasi esofagus yang
masif, kelokan, dan esofagus sigmoidal (megaesophagus) terlihat. 2

Gambar : Penelanan Barium yang Menunjukkan Gambaran Khusus (Bird’s Beak)


pada Akalasia Esofagus

Foto Roentgen dada memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah


dalam menegakkan diagnosis akalasia, sehingga perlu dilakukan konfirmasi tes
radiografik lainnya seperti fluoroskopi kontras barium, endoskopi, dan
manometri. Beberapa penyakit dapat memberikan gambaran menyerupai
akalasia pada foto Roentgen dada maupun barium kontras, seperti
adenokarsinoma, keganasan esofagus, keganasan lambung, keganasan paru non-
sel kecil, skleroderma, amiloidosis, penyakit kolagen vaskular, dan limfoma.7

Endoskopi konvensional, manometri, dan foto kontras esofagus dapat


membedakan akalasia dari pseudoakalasia. Penggunaan ultrasonografi memiliki

23
kehandalan yang baik, yakni sekitar 82-100% dalam membedakan antara
akalasia murni dan psudoakalasia.7

Manometri merupakan uji baku emas (gold standard) untuk diagnosis


dan akan membantu mengeliminasi gangguan motilitas esofagus yang potensial
lainnya. Dalam akalasia tipikal, penelusuran manometri menunjukkan lima
penemuan klasik, dua kelainan dari LES, dan tiga dari corpus esofagus. LES
akan menjadi hipertensif, dengan tekanan yang biasanya lebih tinggi dari 35
mmHg tetapi, lebih penting lagi, akan gagal untuk relaksasi dengan deglutisi
(menelan). Corpus esofagus akan memiliki tekanan diatas dasar (penekanan
pada esofagus) dari evakuasi undara yang tidak sempurna, simultaneous
mirrored contraction dengan tidak ada bukti dari peristalsis yang progresif, dan
bentuk gelombang beramplitudo rendah mengindikasikan kurangnya tonus otot.
Lima penemuan ini memberikan diagnosis akalasia. Endoskopi dilakukan untuk
mengevaluasi mukosa sebagai bukti dari esofagus atau kanker. Jika tidak
endoskopi akan berkontribusi kecil pada diagnosis akalasia. 10

24
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. FOTO POLOS THORAX
Pemeriksaan foto polos thorax tidak diindikasikan untuk tujuan evaluasi.
Pada pemeriksaan foto polos pada thorax didapatkan dilatasi esofagus di
belakang jantung, gelembung udara di esofagus dapat terlihat kecil atau tidak
ada.

2. ESOFAGOGRAFI

A. Gambaran normal esofagus dalam pemeriksaan barium swallow

25
Esofagografi adalah pemeriksaan esofagus dengan menggunakan
kontras. Pemeriksaan esofagografi ini dilakukan sebelum endoskopi untuk
identifikasi terlebih dahulu, dimana disfagia pada keganasan akan mudah
terjadi perforasi karena alat endoskopi. Sebelum dilakukan tindakan, pasien
dipuasakan terlebih dahulu selama 4 – 6 jam sebelumnya, untuk pasien
dengan kecurigaan akalasia maka dilakukan puasa 5 hari sebelum tindakan,
pasien hanya diberi makanan cair. Pada akalasia akan tampak kontras
mengisi esophagus yang melebar mulai dari proksimal sampai distal di
mana terjadi penyempitan pada daerah esophagogastric junction yang
menetap pada perubahan posisi. Kontras masih dapat melewati daerah
penyempitan ke dalam gaster. Esofagus berdilatasi dan material kontras
masuk ke dalam lambung secara perlahan-lahan bagian distal menyempit
dengan gambaran paruh burung (bird’s beak)
Tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esophagus dengan
gambaran peristaltic yang abnormal atau hilang dengan gambaran
penyempitan di bagian distal menyerupai ekor tikus (rat tail appearance).4

Gambaran akalasia pada esofagografi “bird’s beak” appearance Dilatasi


esofagus dan peerlahan-lahan bagian distal menyempit dengan gambaran paruh
burung

26
Barium swallow memperlihatkan rat-tail appearance
dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran
peristaltic yang abnormal atau hilang dengan gambaran penyempitan di bagian
distal menyerupai ekor tikus.8

3. MANOMETRI ESOFAGUS

Manometrik esofagus adalah pemeriksaan yang terbaik (gold standar)


untuk mendiagnosis achalasia esofagus. Guna pemeriksaan manometrik
adalah untuk menilai fungsi motorik esofagus dengan melakukan
pemeriksaan tekanan di dalam lumen dan spinchter esofagus. Pemeriksaan ini
untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara kuantitatif maupun kualitatif.
Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan

27
manometri melalui mulut atau hidung. Hal-hal yang dapat ditunjukkan pada
pemeriksaan manometrik esofagus, antara lain:

a. Relaksasi spingter esofagus bawah yang tidak sempurna

b. Tidak ada peristaltik yang ditandai dengan tidak adanya kontraksi


esofagus secara simultan sebagai reaksi dari proses menelan.

c. Tanda klasik achalasia esofagus yang dapat terlihat adalah tekanan yang
tinggi pada spinchter esofagus bawah (tekanan spinchter esofagus bawah
saat istirahat lebih besar dari 45 mmHg), dan tekanan esofagus bagian
proksimal dan media saat istirahat (relaksasi) melebihi tekanan di
lambung saat istirahat (relaksasi)

Teknik pemeriksaan manometri esofagus

28
Gambaran manometri esofagus pada pasien dengan akalasia esofagus

Gambaran hasil pemeriksaan manometri esofagus

29
4. ENDOSKOPI (ESOFAGOSKOPI)

Endoskopi tidak sensitif dalam menentukan kelainan motilitas utama


esofagus. Pada pasien dengan penyakit lanjut, kerongkongan menjadi lemah,
melebar, dan berbelit-belit, yang dapat dilihat pada endoskopi.
Pada pasien dengan akalasia, perubahan mukosa karena iritasi kronis dan
stagnasi makanan termasuk eritema, mukosa gembur, ulserasi, dan infeksi
candida. LES ditutup rapat dan tidak terbuka dengan insuflasi udara, namun
endoskopi dapat masuk ke perut dengan tekanan mekanik lembut. Sebaliknya,
perasaan resistensi atau kekakuan di persimpangan gastroesophageal
menunjukkan diagnosis lain (misalnya, keganasan, striktur). Jika resistensi
dirasakan atau perubahan mukosa perlu diperhatikant, dan harus dilakukan
biopsi.
Pemeriksaan endoskopi direkomendasikan pada penderita achalasia
esofagus, untuk menyingkirkan kausa malignansi pada esophagogastric
junction. Pada aalasia esofagus primer, pemeriksa melihat esofagus yang
berdilatasi dan mengandung sisa-sisa makanan dan spingter esofagus tidak
membuka secara spontan. Jika akalasia esofagus disebabkan oleh neoplasma
atau striktur fibrosis esofagus, spinchter esofagus biasanya dapat dibuka dengan
sedikit memberikan tekanan pada saat melakukan tindakan endoskopi.

30
Pada pemeriksaan ini, pasien dipersiapkan puasa selama 4-5 jam
sebelum tindakan. Dan pada akalasia dilakukan 5 hari sebelum pemeriksaan,
pasien hanya diberi makanan cair.1

Gambaran esofagus normal pada pemeriksaan endoskopi

Perbandingan achalasia esofagus jika dilihat secara:

A. Anatomis, B. Endoskopi, C. Esofagografi

31
5. CT SCAN
Computed tomography (CT) scanning dengan peningkatan kontras
oral dapat menunjukkan kelainan esofagus struktural yang terkait dengan
akalasia, terutama dilatasi, yang terlihat pada stadium lanjut.
Temuan CT tidak spesifik dan sensitif pada tahap awal dari akalasia.
Temuan CT harus selalu dikonfirmasi melalui studi barium swallow dengan
fluoroscopi, endoskopi pencernaan bagian atas, dan manometri
kerongkongan.

Primer achalasia pada CT. Scan tidak menunjukkan bukti massa jaringan
lunak di persimpangan gastroesophageal. (Catatan barium di fundus
lambung.)

Pasien telah lama achalasia primer.4

32
Primer achalasia pada CT. Melebar esofagus (panah) tanpa
penebalan dinding esofagus atau adenopati mediastinum.

I. PENATALAKSANAAN

Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus
tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet
tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller).2

1. Medikamentosa Oral
Preparat oral yang digunakan diharapkan dapat merelaksasikan
sfingter esophagus bawah, obat tersebut antara lain nitrat (isosorbid dinitrat)
dan calcium channel blocker (nifedipin dan veramil).

2. Dilatasi/ Peregangan Singter Esofagus Bawah


Dilakukan dilatasi sfingter esophagus bawah dengan alat yang
dinamakan dilatasi pneumatik.

33
3. Esofagomiotomi
Merupakan suatu tindakan bedah, dianjurkan bila terdapat :
a. Beberapa kali (> 2 kali) tidak berhasil dilakuakan dilatasi penumatik
b. Adanya ruptur esophagus akibat dilatasi
c. Kesukaran menempatkan dilator penumatik karen dilatasi sangat hebat
d. Tidak dapat menyingkirkan kemungkinan tumor esophagus
Akalasia pada anak berumur kurang dari 12 tahun

4. Injeksi Toksin Botulinum


Menyuntikan toksin botulinum yang lemah ke sfingter esophagus
bawah dengan menggunakan endoskopi.2

J. PROGNOSIS
Prognosis Achalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak
sedikitnya gangguan motilitas, semakin singkat durasi penyakitnya dan semakin
sedikit gangguan motilitasnya maka prognosis untuk kembali ke ukuran
esofagus yang normal setelah pembedahan (Heller) memberikan hasil yang
sangat baik. Pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam
menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien dan seharusnya lebih baik
dilakukan daripada pneumatic dilatation apabila ada ahli bedah yang tersedia.
Obat-obatan dan toksin botulinum sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang
tidak dapat menjalani pneumatic dilatation dan laparascopic Heller myotomy
(Lansia). Follow-up secara periodik dengan menggunakan esofagoskopi
diperlukan untuk melihat perkembangan tejadinya kanker esophagus.11

34
BAB III
PEMBAHASAN

Achalasia esophagus adalah ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter

(cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan

membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Kegagalan relaksasi batas

esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal

esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong

atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan

proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan umumnya terjadi

regurgitasi. Dari hasil anamnesis pasien mngeluhkan rasa mengganjal di bagian

lehernya saat menelan makanan atau minuman. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan

kelainan yang berarti. Dengan anamnesis sebetulnya sudah dapat diduga adanya

akalasia

Distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran rata-

rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun, Akalasia biasanya mulai pada

dewasa muda walaupun ada juga yang ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia

lanjut., pasien Tn.R berusia 34 tahun Gambaran klinis dari Achalasia esophagus adalah,

Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat terjadi

secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat

berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari

pada makanan padat.pasien mengeluhkan mendadak merasa kesulitan saat menelan

makanan dan minuman saat di telan seperti naik lagi dan muntah tanpa rasa mual. Rasa

terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium permulaan. Pada stadium

35
lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat

menyerupai serangan angina pectoris, pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman dan rasa

panas pada daerah sekitar leher dan dada, Penurunan berat badan terjadi karena

penderita berusaha mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan

perasaan nyeri di daerah substernal, pasien mengeluhkan berat badanya makin menurun

karena kesulitan untuk makan dan memperoleh nutrisi secara oral. Gejala lain yang

biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari

retensi makanan pasien mengeluhkan rasa penuh di bagian dada dan tidak bisa

terdorong masuk ke perut .

Pemeriksaan foto polos thorax tidak diindikasikan untuk tujuan evaluasi.Pada

pemeriksaan foto polos pada thorax didapatkan dilatasi esofagus di belakang jantung,

gelembung udara di esofagus dapat terlihat kecil atau tidak ada.. dari hasil pemeriksaan

foto thorax Tn.R di temukan dilatasi esophagus yang berada di belakang jantung namun

tidak terdapat gelembung udara.

Pada akalasia akan tampak kontras mengisi esophagus yang melebar mulai dari

proksimal sampai distal di mana terjadi penyempitan pada daerah esophagogastric

junction yang menetap pada perubahan posisi. Kontras masih dapat melewati daerah

penyempitan ke dalam gaster. Esofagus berdilatasi dan material kontras masuk ke

dalam lambung secara perlahan-lahan bagian distal menyempit dengan gambaran paruh

burung (bird’s beak). Tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esophagus dengan

gambaran peristaltic yang abnormal atau hilang dengan gambaran penyempitan di

bagian distal menyerupai ekor tikus (rat tail appearance. dilatasi pada daerah dua

pertiga distal esofagus dengan gambaran peristaltic yang abnormal atau hilang dengan

gambaran penyempitan di bagian distal menyerupai ekor tikus. Hal tersebut sesuai

36
dengan hasil esofagograf pasien yaitu Tampak kontras mengisi esophagus pars

cervical, upper toracal ,mid dan lower thoracal. Passase kontras lancer. Posisi esophagus

baik, tak tampak filling defect maupun additional defect, caliber lumen tampak melebar

lk 4,5cm s/d 5,4cm sangat jelas pada mid thoracal dan lower thoracal, kemudian

menyempit drastis pada lower esophagus membentuk gambaran mouse tail appearance

sesuai dengan gambaran achalasia

Pada pasien dengan akalasia, perubahan mukosa karena iritasi kronis dan

stagnasi makanan termasuk eritema, mukosa gembur, ulserasi, dan infeksi candida.

Pemeriksaan endoskopi direkomendasikan pada penderita achalasia esofagus, untuk

menyingkirkan kausa malignansi pada esophagogastric junction. Pada aalasia esofagus

primer, pemeriksa melihat esofagus yang berdilatasi dan mengandung sisa-sisa

makanan dan spingter esofagus tidak membuka secara spontan. Jika akalasia esofagus

disebabkan oleh neoplasma atau striktur fibrosis esofagus, spinchter esofagus biasanya

dapat dibuka dengan sedikit memberikan tekanan pada saat melakukan tindakan

endoskopi hal tersebut sesuai dengan hasil esofagografi yaitu sepertiga atas tengah dan

bawah mukosa tidak bisa dievaluasi sempurna, sebagian lumen tertutup makanan.

Esophagus sepertiga bawah lumen melebar, sirkuler LES tidak dapat di nilai Gaster,

fundus, corpus dan antrum mukosa hiperemis inflamasi mucosa daerah corpus banyak

terdapat erosi dan sisa darah Pylorus hiperemeis dan inflac Duodenum , bulbus dan part

II mucosa utuh dalam batas normal. Dari teori dan dan hasil klinis yang di dapatkan dari

pasien sesuai dengan teori

37
BAB IV
KESIMPULAN

1. Akalasia adalah gangguan motilitas berupa hilangnya peristaltik esofagus dan


gagalnya sfingter esofagokardia berelaksasi sehingga makanan tertahan di esofagus.
2. Menurut penelitian penyebab akalasia disebabkan karena adanya kelainan
persarafan parasimpatis berupa hilangnya sel ganglion di dalam plexus Auerbach,
yang disebut juga pleksus mienterikus, yang diduga terjadi akibat proses autoimun
atau infeksi kronis.
3. Patogenesis dari akalasia diduga terjadi degenerasi neurogenik, yang mana idiopatik
atau karena infeksi. Degenerasi ini mengakibatkan hipertensi dari LES (lower
esophageal sphincter), sebuah kegagalan sfingter untuk merelaksasikan penelanan,
peningkatan dari tekanan esofagus intraluminal, dilatasi esofagus, dan kehilangan
berikutnya dari peristalsis yang progresif pada corpus esofagus.
4. Dilatasi esofagus mengakibatkan kombinasi dari sfingter yang tidak berelaksasi,
yang mana menyebabkan perubahan anatomis yang terlihat pada studi radiografis,
seperti sebagai sebuah esofagus yang terdilatasi dengan bentukan lonjong/lancip,
penyempitan seperti “bird’s beak” pada akhir distal.
5. Trias klasik dari gejala-gejala akalasia terdiri atas disfagia, regurgitasi, dan
penurunan berat badan.
6. Manometri merupakan uji baku emas (gold standard) untuk diagnosis akalasia dan
akan membantu mengeliminasi gangguan motilitas esofagus yang potensial lainnya.
7. Tujuan utama penatalaksanaan akalasia adalah menurunkan tahanan sfingter
esofagus bagian bawah, sehingga bolus makanan dapat turun ke dalam lambung
karena gravitasi. Penurunan tahanan sfingter dapat dicapai dengan dilatasi balon dan
bedah esofagotomi.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Halpert, Robert. Gastrointestinal Imaging. Third Edition.Philadelpia: Mosby


Elsevier. 2005. Hal. 20-1

2. Ismail, Ali. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid ll. Edisi Ketiga. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Hal. 320-2

3. Moore KL, Agur AMR. Essential clinical anatomy, 3rd ed. Ontario: Lippincott
Williams & Wilkins. 2007.

4. Rasad, Syahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Jakarta. Hal. 406

5. Ritcher, I.E. 1999. Achalasia. In: Castell, D. O, Ritcher, I.E. The Esophagus,
4th edition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. Pg. 6-221

6. Siegel, G. Leighton. 1998. Penyakit Jalan Napas Bagian Bawah, Esofagus dan
Mediastinum Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adams, G. L., Boies,
Lawrence R., Higler, P. A. BOIES Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta.
EGC. Hal. 4-462

7. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku ajar


ilmu bedah Sjamsuhidajat – De Jong, Ed 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2007.

8. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hal. 290

9. Sutton, David. Textbook of Radiology and Imaging. Seventh Edition. Volume


I. London: Churchill Livingstone. 2003. Hal. 552-3

10. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston textbook of
surgery: the biological basis of modern surgical practice 19th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2012

11. U.Finley R. 2002. Achalasia: Thoracoscopic and Laparoscopic Myotomi. In:


Pearson F.G. MD, Cooper J.D. MD, et all. Esophageal Surgery, 2nd edition.
Churchill Livingstone. New York. Pg. 76-569

39

Anda mungkin juga menyukai