Anda di halaman 1dari 7

NUAN SYAFRINA

REFLEKSI KASUS 1713020031


STASE RADIOLOGI
RSUD SALATIGA

1. Rangkuman Kasus
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia,
Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau
Dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah
achalasia berarti “gagal untuk mengendur” dan merujuk pada
ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara
esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan
makanan lewat kedalam lambung 5
Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun,
hingga sekarang, insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun
terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian
penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan. Umur rata-rata pada
pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun6
Bila ditinjau dari etiologinya, akalasia dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Akalasia Primer, Penyebab tidak diketahui, diduga disebabkan oleh virus
neurotropik yang berakibat lesi pada nucleus dorsalis vagus pada batang
otak dan ganglia misentrikus pada esophagus.
2. Akalasia sekunder. Disebabkan oleh infeksi (penyakit Chagas), tumor
intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti
pseudokista pancreas, dapat pula disebabkan oleh obat antikolinergik atau
paska vagotomi.9
Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang
ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang
ditemukan adalah
1. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia
dapat terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan
emosi. Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat.
Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.
2. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering
regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga
dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru.
3. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium
permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah
epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris.
4. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi
makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di
daerah substernal.
5. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada
substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan.
6.
Pada anak yang paling sering adalah muntah persisten.1

2. Perasaan Terhadap Pengalaman

penyebab akalasia disebabkan karena adanya kelainan persarafan

parasimpatis berupa hilangnya sel ganglion di dalam plexus Auerbach, yang

disebut juga pleksus mienterikus, yang diduga terjadi akibat proses autoimun

atau infeksi kronis. Seseorang yang mengalami achalasia esophagus dapat

terjadi beberapa gangguan diantaranya kesulitan untuk menelan yang akan

berakibat pada proses pemenuhan nutrisinya. Selain itu dapat juga terjadi rasa

penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan pasien

mengeluhkan rasa penuh di bagian dada dan tidak bisa terdorong masuk ke

perut hal ini tentunya sangat mengganggu fungsi hidupnya karena pasien tidak

bisa menjalani aktifitas sehari-hari dengan baik. 3


3. Evaluasi

Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik


esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan
memberi diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan
operasi esofagokardiotomi (operasi Heller).2

1. Medikamentosa Oral
Preparat oral yang digunakan diharapkan dapat merelaksasikan
sfingter esophagus bawah, obat tersebut antara lain nitrat (isosorbid
dinitrat) dan calcium channel blocker (nifedipin dan veramil).

2. Dilatasi/ Peregangan Singter Esofagus Bawah


Dilakukan dilatasi sfingter esophagus bawah dengan alat yang
dinamakan dilatasi pneumatik.

3. Esofagomiotomi
Merupakan suatu tindakan bedah, dianjurkan bila terdapat :
a. Beberapa kali (> 2 kali) tidak berhasil dilakuakan dilatasi penumatik
b. Adanya ruptur esophagus akibat dilatasi
c. Kesukaran menempatkan dilator penumatik karen dilatasi sangat hebat
d. Tidak dapat menyingkirkan kemungkinan tumor esophagus
Akalasia pada anak berumur kurang dari 12 tahun

4. Injeksi Toksin Botulinum


Menyuntikan toksin botulinum yang lemah ke sfingter esophagus
bawah dengan menggunakan endoskopi.2
4. Analisis
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan yang berarti.
Dengan anamnesis sebetulnya sudah dapat diduga adanya akalasia,
walaupun demikian tetap harus dipikirkan diagnosis banding penyakit
keganasan, stenosis, atau benda asing esofagus.7
Pada esofagografi terdapat penyempitan daerah batas
esofagogaster dan dilatasi bagian proksimalnya. Jika proses akalasia
sudah lama, bentuk esofagus berubah menjadi berkelok dan akhirnya
berbentuk huruf S. Dengan pemeriksaan esofagoskopi dapat disingkirkan
kelainan penyempitan karena striktur atau keganasan. Pada akalasia,
terdapat gangguan kontraksi dinding esofagus sehingga pengukuran
tekanan di dalam lumen esofagus dengan manometri sangat menentukan
diagnosis. Tekanan di dalam sfingter esofagogaster meninggi dan tekanan
di dalam lumen esofagus lebih tinggi daripada tekanan di dalam
lambung.11
Pada akalasia akan tampak kontras mengisi esophagus yang
melebar mulai dari proksimal sampai distal di mana terjadi penyempitan
pada daerah esophagogastric junction yang menetap pada perubahan
posisi. Kontras masih dapat melewati daerah penyempitan ke dalam
gaster. Esofagus berdilatasi dan material kontras masuk ke dalam
lambung secara perlahan-lahan bagian distal menyempit
dengan gambaran paruh burung (bird’s beak)
Tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esophagus dengan
gambaran peristaltic yang abnormal atau hilang dengan gambaran
penyempitan di bagian distal menyerupai ekor tikus (rat tail
appearance).4
5. Kesimpulan
1. Akalasia adalah gangguan motilitas berupa hilangnya peristaltik
esofagus dan gagalnya sfingter esofagokardia berelaksasi sehingga
makanan tertahan di esofagus.
2. Menurut penelitian penyebab akalasia disebabkan karena adanya
kelainan persarafan parasimpatis berupa hilangnya sel ganglion di
dalam plexus Auerbach, yang disebut juga pleksus mienterikus, yang
diduga terjadi akibat proses autoimun atau infeksi kronis.
3. Patogenesis dari akalasia diduga terjadi degenerasi neurogenik, yang
mana idiopatik atau karena infeksi. Degenerasi ini mengakibatkan
hipertensi dari LES (lower esophageal sphincter), sebuah kegagalan
sfingter untuk merelaksasikan penelanan, peningkatan dari tekanan
esofagus intraluminal, dilatasi esofagus, dan kehilangan berikutnya
dari peristalsis yang progresif pada corpus esofagus.
4. Dilatasi esofagus mengakibatkan kombinasi dari sfingter yang tidak
berelaksasi, yang mana menyebabkan perubahan anatomis yang
terlihat pada studi radiografis, seperti sebagai sebuah esofagus yang
terdilatasi dengan bentukan lonjong/lancip, penyempitan seperti
“bird’s beak” pada akhir distal.
5. Trias klasik dari gejala-gejala akalasia terdiri atas disfagia, regurgitasi,
dan penurunan berat badan.
6. Manometri merupakan uji baku emas (gold standard) untuk diagnosis
akalasia dan akan membantu mengeliminasi gangguan motilitas
esofagus yang potensial lainnya.
7. Tujuan utama penatalaksanaan akalasia adalah menurunkan tahanan
sfingter esofagus bagian bawah, sehingga bolus makanan dapat turun
ke dalam lambung karena gravitasi. Penurunan tahanan sfingter dapat
dicapai dengan dilatasi balon dan bedah esofagotomi.
6. Daftar Pustaka

1. Halpert, Robert. Gastrointestinal Imaging. Third Edition.Philadelpia: Mosby


Elsevier. 2005. Hal. 20-1

2. Ismail, Ali. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid ll. Edisi Ketiga. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Hal. 320-2

3. Moore KL, Agur AMR. Essential clinical anatomy, 3rd ed. Ontario:
Lippincott Williams & Wilkins. 2007.

4. Rasad, Syahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 406

5. Ritcher, I.E. 1999. Achalasia. In: Castell, D. O, Ritcher, I.E. The Esophagus,
4th edition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. Pg. 6-221

6. Siegel, G. Leighton. 1998. Penyakit Jalan Napas Bagian Bawah, Esofagus dan
Mediastinum Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adams, G. L., Boies,
Lawrence R., Higler, P. A. BOIES Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta.
EGC. Hal. 4-462

7. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku ajar


ilmu bedah Sjamsuhidajat – De Jong, Ed 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2007.

8. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu


kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hal. 290

9. Sutton, David. Textbook of Radiology and Imaging. Seventh Edition. Volume


I. London: Churchill Livingstone. 2003. Hal. 552-3

10. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston textbook of
surgery: the biological basis of modern surgical practice 19th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2012

11. U.Finley R. 2002. Achalasia: Thoracoscopic and Laparoscopic Myotomi. In:


Pearson F.G. MD, Cooper J.D. MD, et all. Esophageal Surgery, 2nd edition.
Churchill Livingstone. New York. Pg. 76-569

Anda mungkin juga menyukai