Anda di halaman 1dari 34

TUGAS INDIVIDU

RISET KEPERAWATAN
GAMBARAN PERILAKU PENCEGAHAN HIV DAN AIDS PADA LELAKI SUKA
LELAKI (LSL) DI KECAMATAN PONTIANAK BARAT

DOSEN PEMBIMBING : Ns. ARINA NURFIANTI, M.Kep.

EZY ALKENDHY
I1031141012

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang sel darah
putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia.
Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum tentu
membutuhkan pengobatan. Meskipun demikian, orang tersebut dapat menularkan virusnya
kepada orang lain bila melakukan hubungan seks berisiko dan berbagi penggunaan alat
suntik dengan orang lain.Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS adalah
sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena kekebalan tubuh yang menurun yang
disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka
orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada
kulit, paru, saluran penernaan, otak dan kanker (KPAD Kab. Jember, 2015).
Pravelensi HIV/AIDS di seluruh dunia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan
Unite Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) Global Statistics tahun 2015, bahwa
pravelensi HIV/AIDS di dunia mencapai 36,9 juta penderita, penderita terbanyak berada di
wilayah Afrika sebanyak 24,7 juta penderita. Sedangkan di Asia tercatat 4,8 juta penderita
HIV/AIDS. Asia diperkirakan memiliki laju infeksi HIV tertinggi di dunia, ketiga negara
yang memiliki laju infeksi tertinggi di dunia adalah China, India dan Indonesia. Indonesia
saat ini termasuk salah satu negara yang dikenal sebagai negara dengan concencentrated level
epidemic, artinya pravelensi HIV/AIDS diindonesia sudah cukup tinggi pada tempat-tempat
dan kelompok sub populasi tertinggi.
Di tingkat global, sejauh ini tidak ada data resmi tentang jumlah LSL di dunia.
Namun diperkirakan rata-rata 1-3% dari populasi dewasa usia 15-59 tahun mempraktekkan
hubungan seks sesama lelaki. Di tingkat regional, prevalensi HIV pada LSL juga beragam.
Di Afrika, kisarannya antara 15-42%. Di Amerika Serikat prevalensi HIV di antara LSL pada
2008 mencapai 19%. Di Asia, tingkat prevalensi HIV diantara laki-laki yang berhubungan
seks dengan laki-laki telah mencapai 18% (UNAIDS, 2010 dalam Kana, Nayoan, & Limbu ,
2016).

Menurut data Kemenkes RI tahun 2016 , sejak tahun 2005 sampai September 2015,
terdapat kasus HIV sebanyak 184.929 yang didapat dari laporan layanan konseling dan tes
HIV. Sampai dengan tahun 2005 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak 5.234
meningkat menjadi 6.081 kasus pada tahun 2015. Jumlah kumulatif AIDS diindonesia dari
tahun 1987 sampai dengan Desember 2015 sebanyak 77.112 orang. Jumlah AIDS terbanyak
dilaporkan dari Jawa Timur (13.623), Papua (13.328), DKI Jakarta (8.093), Bali (5.921),
Jawa Tengah (5.042), Jawa Barat (4.870), Sumatera Utara (3.761), Kalimantan Barat (2.457),
Sulawesi Selatan (2.239), dan NTT (1.927).
Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional tahun 2010, di Indonesia
diestimasikan terdapat 766.390 LSL. Cakupan upaya pencegahan pada populasi ini
dilaporkan masih rendah, yaitu sekitar 10%. Prevalensi HIV pada LSL dari waktu ke waktu
terus meningkat. Menurut laporan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2009
dan 2013 menunjukkan ada peningkatan prevalensi HIV pada populasi kunci. Peningkatan
mengkhawatirkan terutama pada kalangan LSL yaitu dengan prevalensi sebesar 7% pada
2009 menjadi 12,8% pada 2013 (Kana, Nayoan, & Limbu ,2016).
Data yang sama menunjukkan adanya peningkatan prevalensi HIV pada LSL yang
signifikan. Pada STBP 2007 dan 2011, prevalensi HIV pada LSL naik dari 5,3%
menjadi12%, dan STBP 2009 dan 2013 naik dari 7% menjadi 12,8%. Hasil STBP 2013
menunjukkan prevalensi HIV tertinggi pada LSL ditemukan di lokasi survei Kota Tangerang,
Kota Yogyakarta, dan Kota Makassar antara 19%-20%. Prevalensi gonore juga
mengalamipeningkatan di 3 kabupaten/kota tersebut dari 17% menjadi 21% dan klamidia
meningkat dari 17% menjadi 23%. Keadaan ini sangat mungkin berhubungan dengan masih
rendahnya konsistensi penggunaan kondom saat hubungan seks anal terakhir seperti
ditunjukkan di Kota Surabaya yaitu dari 75,9% pada STBP 2011 menjadi 53% pada
SSH/SCP 2013 (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional,2015).
Jumlah kasus baru HIV diindonesia pada tahun 2016 mencapai 41.250 kasus dengan
jumlah kasus dikalimantan barat mencapai 525 kasus, hal ini menyebabkan kalimantan barat
menduduki posisi ke 15 dari 34 provinsi dengan jumlah klien positiv HIV terbanyak, jumlah
kasus baru AIDS diindonesia terdapat 7.491 kasus, di kalimantan barat sendiri terdapat 110
kasus baru aids. kasus kumulatif AIDS tahun 2016 diindonesia mencapai 86.780 kasus, kasus
kumulatif AIDS di kalbar sebanyak 2.567 kasus (Kementrian Kesehatan RI, 2016).
Hal ini membuktikan bahwa indonesia merupakan salah satu negara yang
mengalami peningkatan epidemi HIV/AIDS paling pesat di dunia dan kalimantan barat
merupakan salah satu provinsi dengan ODHA terbanyak di Indonesia. Faktor risiko
penularan HIV/AIDS tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (46,2
%) penggunaan jarum suntik tidak steril pada Penasun (3,4 %), dan LSL (Lelaki sesama
Lelaki) (24,4%), Kasus ODHA terbanyak adalah pada laki-laki (54%) hampir 2 kali lipat
dibandingkan pada kelompok perempuan (29%) (DepKes RI, 2014).
Berdasarkan data profil kesehatan provinsi kalimantan barat tahun 2015, jumlah
penduduk di Kalimantan barat mencapai 4.789.547 jiwa. Terdapat 531 kasus HIV (364 kasus
pada laki-laki, 167 kasus pada perempuan) dan 99 kasus AIDS serta kematian karena AIDS
30 jiwa. Berdasarkan data yang di ambil dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan barat
tahun 1994 sampai dengan 2015, jumlah penderita positiv HIV dan AIDS terbanyak di
kalimantan barat terdapat di kota pontianak dengan jumlah penderita positiv HIV 2.576 jiwa
dan AIDS 1,363 jiwa (Dinas Kesehatan Kal-bar,2015).
Pada awal epidemi HIV/AIDS diketahui, penyakit ini lebih banyak diidentifikasi
pada laki-laki homoseksual dan aktivitas seksual laki-laki homoseksual dituding sebagai
penyebab timbulnya HIV/AIDS. Homoseksual / Gay adalah pria yang mencintai pria baik
secara fisik, seksual, emosional, atau pun secara spiritual. Mereka juga rata-rata agak
memedulikan penampilan, dan sangat memperhatikan apa-apa saja yang terjadi pada
pasangannya (Ilham, 2012 dalam Rakhmahappin dan Prabowo, 2014). Homoseksual sangat
rentan terhadap perilaku yang menyimpang dan menimbulkan berbagai penyakit PMS, satu
diantaranya HIV/AIDS. Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau
suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan
tujuan baik disadari maupun tidak. Pada kaum homoseksual sering melakuakn hubungan
seksual dengan cara oral sek dan anal sek sehingga lebih rentan terkena penyakit PMS, satu
diantaranya HIV/AIDS (Ilham, 2012 dalam Rakhmahappin dan Prabowo, 2014). Untuk
mengurangi HIV/AIDS perlunya perilaku pencegahan secara primer dengan prinsip ABC,
yakni Abstinance (tidak melakukan hubungan seksual), Be faithful (setia kepada
pasangan), dan Condom (pergunakan kondom jika terpaksa melakukan hubungan
dengan pasangan) (Nursalam, 2011).
Perilaku pencegahan HIV dan AIDS sangat tergantung dengan tingkat
pengetahuannya. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perilaku yang didasari
oleh pengetahuan . Pendidikan memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas
manusia, dengan pendidikan manusia akan memperoleh pengetahuan dan informasi. Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin berkualitas hidupnya (Efendi dan
Makhfudli, 2009). Data mengenai kelompok laki-laki dengan orientasi homoseksual yang
lebih berisiko terhadap penularan HIV/AIDS,sehingga perlu dilakuakn perilaku pencegahan
HIV dan AIDS pada lelaki suka lelaki (LSL), khusus untuk wilayah Kecamatan Pontianak
Barat. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis lebih lanjut tentang
gambaran perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada lelaki suka lelaki (LSL) di Kecamatan
Pontianak Barat’’.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Bagaimana gambaran perilaku pencegahan hiv dan aids pada lelaki suka lelaki (LSL) di
Kecamatan Pontianak Barat ?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada lelaki suka
lelaki (LSL) di Kecamatan Pontianak Barat
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi perilaku HIV dan AIDS pada lelaki suka lelaki (LSL) di
Kecamatan Pontianak Barat
1.3.2.2 Mengidentifikasi pencegahan HIV dan AIDS pada lelaki suka lelaki (LSL) di
Kecamatan Pontianak Barat
1.3.2.3 Mengetahui gambaran perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada lelaki suka
lelaki (LSL) di Kecamatan Pontianak Barat

1.4 MANFAAT
1.4.1 Bagi peneliti
1) Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan penulisan dalam penelitian ilmiah di
bidang kesehatan.
2) Meningkatkan kemampuan komunikasi dalam melakukan perilaku pencegahan
penyakit dan promosi kesehatan di masyarakat
1.4.2 Bagi institusi kesehatan
Memberikan tambahan data untuk bahan kepustakaan dan sebagai acuan dalam
melakukan penelitian lebih lanjut yang berikatan dengan perilaku pencegahan pada
HIV/AIDS.
1.4.3 Bagi Dinas kesehatan
1) Memberikan gambaran tingkat pengetahuan mengenai perilaku pencegahan terhadap
HIV/AIDS di Pontianak sehingga dapat menjadi bahan evaluasi bersama.
2) Memberikan gambaran bagaimana perilaku homoseksual dapat mempengaruhi
tingkat kesehatan.
1.4.4 Bagi masyarakat
1) Memberikan informasi mengenai perilaku pencegahan HIV/AIDS
2) Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya perilaku pencegahan terhadap
HIV/AIDS

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang sel darah
putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia.
Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum tentu
membutuhkan pengobatan (KPAD Kab. Jember, 2015).
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala-gejala
penyakit yang didapat karena imunitas atas kekebalan turun temurun. Akibatnya,
timbullah berbagai penyakit, dan penyakit-penyakit inilah yang menyebabkan
kematian penderitanya (Irianto, 2014). Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
adalah suatu penyakityang disebabkan oleh retrovirus Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan ditandai oleh suatu kondisi imunosupresi yang memicu infeksi oportunistik,
neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologis (Kummar,Abbas dan Ester, 2015).
2.1.2 Etiologi
Walaupun sudah jelas dikatakan bahwa HIV sebagai penyebab AIDS, tetapi
asal-usul virus ini masih belum diketahui secara pasti. Mula-mula dinamakan LAV
(Lymhadenopathy Associated Virus). Virus ini ditemukan oleh ilmuwan Institute
Pasteur Paris, Dr. L. Montagnier pada tahun 1983, dari seorang penderita dengan
gejala “lymhadenopathy syndrome”. Pada tahun 1984, Dr. R. Gallo dari National
Institute of Health, USA, menemukan virus lain yang disebut HTLV-III (Human
Immunodeficiency Virus) sesuai dengan pertemuan “International Comrhitte on
Taxonomy of Viruses” tahun 1962 (Irianto, 2014).
HIV mempunyai tendensi spesifik, yaitu menyerang dan merusak sel limfosit T
(sel T4 penolong) yang mempunyai peranan penting dalam sistem kekebalan
seluler tubuh. HIV dapat pula ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel
gila jaringan otak. Virus ini dapat berkembang di dalam sel sel limfosit T dan
seperti pengidap HIV selalu dianggap “infectious” yang dapat aktif kembali dan
dapat ditularkan selam hidup pengidap HIV (Irianto, 2014).

2.1.3 Faktor Resiko


Menurut Desmawati (2013), faktor-faktor risiko terjadinya HIV/AIDS yaitu:
a) Hubungan Seksual
HIV dapat menular melalui hubungan seksual yang tidak aman. Penularan ini
terjadi melalui sperma dan cairan vagina. Risiko penulara dapat dikurangi dengan
menggunakan kondom. Meskipun kedua pelaku seks sudah positif HIV, mereka harus
tetap memaki kondom. Jika tidak, ada kemungkinan terjadinya infeksi ulang dengan
tipe HIV yang berbeda serta infeksi penyakit menular lainnya (Desmawati, 2013).
Meski risiko penularan terbesar ada pada ODHA yang melakukan seksual dengan
pasangan yang berbeda-beda, akan tetapi ada pula risiko penularan pada suami/istri
yang setia. Hasil penelitian United Nation Population Fund, State of Word Population
pada tahun 2005 menunjukkan 80% wanita didunia yang terinfeksi HIV tertular dari
suami atau pasangan tetapnya (Desmawati, 2013).
b) Transfusi Darah
Kemungkinan penularan melalui darah dan produk darah yang tercemar virus
HIV sangatlah besar, yaitu lebih dari 90%. Oleh karena itu, untuk menjaga agar darah
bebas dari HIV dan virus lainnya, calon pendonor darah dan darah yang tersedia
harus diperiksa terlebih dahulu (Desmawati, 2013).
c) Berbagi Jarum Suntik atau Infus yang Tercemar
Pemakaian ulang atau berbagi jarum dan infuse sangat berisiko menularkan HIV.
Risiko penularan ini dapat dikurangi dengan menggunakan jarum atau infus baru
atau sekali pakai. Selain itu, penularan juga dapat dicegah dengan menstrerilkan
jarum atau infus sebelum digunakan (Desmawati, 2013).
d) Penularan dari Ibu ke Bayu
Virus HIV dapat menular bayi dari seorang ibu yang mengidap HIV saat
kehamilan, persalinan, dan ketika menyusui. Secara umum, risiko penularan dari ibu
ke bayi pada masa kehamilan dan persalinan adalah sebesar 15-30%. Semakin besar
jumlah virus HIV pada tubuh ibu hamil. Semakin besar pula kemungkinan penularan
ke anak yang sedang dikandung. Walaupun begitu, tidak berarti semua bayi yang lahir
dari ibu yang positif HIV telah terinfeksi HIV. Status HIV bayi bisa terlihat saat ia
berusia 15 bulan (Desmawati, 2013).
2.1.4 Manifestasi
Menurut Nursalam (2011), Gejala klinis pada stadium AIDS dibagi 2 antara lain:
gejala utama dan gejaya mayor:
Gejala mayor
a. Demam berkepanjangan lebih dari tiga bulan.
b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus.
c. Penurunan berat badan lebih dari 10% dala tiga bulan.
d. TBC.
Gejala minor:
a. Batuk kronis selama lebih dari satu bulan.
b. Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur Candida Albicans.
c. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh.
d. Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh
(Nursalam, 2011).
Pada orang dewasa, tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak spesifik
dan menyerupai infeksi virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit tenggorokan, mialgia
(nyeri otot), demam dan berkeringat. Penderita akan mengalami beberapa gejala, tetapi
tidak mengalami keseluruhan gejala. Oleh sebab itu harus ditegakkan dengan
pemeriksaan laboratorium (Nursalam, 2007 dalam Nandasari dan Hendrati, 2015). Gejala
klinis pada orang dengan infeksi HIV: Masa inkubasi 6 bulan-5 tahun, window period
selama 6-8 minggu, saat tubuh sudah menerima HIV namun belum terdeteksi oleh
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis yang tidak jelas seperti: Diare kronis, kandidiasis
mulut yang luas, Pneumocystis carinii, Pneumonia interstsiasis, dan Ensefalopati kronik
(Widoyono, 2008 dalam Nandasari dan Hendrati, 2015).
2.1.5 Fase-fase HIV/AIDS
Menurut Nursalam (2011), fase-fase HIV/AIDS terbagi menjadi 4 fase, yaitu
a. Stadium pertama : HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan
serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi
positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibody
terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window period
antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang data berlangsung sampai enam
bulan (Nursalam, 2011).
b. Stadium kedua : Asimptomatik (tanpa gejala)
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi
tubuh tidak menunjukkan gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rerata selama
5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat
menularkan HIV keada orang lain (Nursalam, 2011).
c. Stadium ketiga
Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (Persistent
Generalized Lymphadenopathy), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan
berlangsung lebih dari satu bulan (Nursalam, 2011).
d. Stadium keempat : AIDS
Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain penyakit
konstitusional, penyakit syaraf, dan penyakit infeksi sekunder (Nursalam, 2011).
2.1.6 Cara Penularan HIV/AIDS
Menurut Nursalam (2011), cara penularan HIV / AIDS adalah
a. Hubungan Seksual
Hubungan seksual baik secara vaginal, oral, maupun anal dengan seorang
pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 80- 90% dari
total kasus sedunia. Penularan mudah terjadi apabila terdapat lesi penyakit
kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genetalis, sifilis,
gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Risiko pada seks anal lebih
besar dibandingkan seks vagina, dan risiko lebih besar pada reseptif daripada
insertif . Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina dan
darah dapat mengenai selaput lender vagina, penis, dubur atau mulut sehingga
HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah pasangan
seksual (Nursalam, 2011).
b. Kontak Langsung dengan Darah, Produk Darah atau Jarum Suntik
Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Transfusi darah atau produk darah yang
tercemar mempunyai risiko sampai > 90%, ditemukan 3-5% total kasus sedunia
(Nursalam, 2011).
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan
oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi
menularkan HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai IDU secara
bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas
pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV. Pemakaian
jarum suntik tidak steril atau pemakaian bersama jarum suntik dan spuitnya
pada pecandu narkotik berisiko 0,5-1%, ditemukan 5-10% total kasus sedunia.
Penularan melalui kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan
mempunyai risiko 0,5%, dan mencakup < 0,1% total kasus sedunia
(Mansjoer,Triyanti,Savitri,Wardhani dan Setiowulan,2010 ).
c. Air Susu Ibu (ASI)
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi
adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada
gejala AIDS, kemungkinan bayi akan terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%,
sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai
50%. Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah
atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses melahirkan maka
semakin besar risiko penularan. Oleh karena itu, lama proses persalinan bisa
dipersingkat dengan operasi section caesaria. Transmisi lain terjadi selama
periode post partum melalui ASI. Risiko bayi tertular melalui ASI dari ibu
yang positif sekitar 10% (Nursalam, 2011).
d. Pemakaian Alat Kesehatan yang Tidak Steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain
yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, dan
langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan
HIV (Nursalam, 2011).

e. Alat-alat Untuk Menoreh Kulit


Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang,
membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab
alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan dulu (Nursalam, 2011).
2.1.7 Patofisiologi
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper yang
mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama yang terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi imunologik. Menurun
atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel
yang berperan membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4.
Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan
melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut
merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA
(Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan
mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan
berlangsung seumur hidup(Nursalam, 2011).
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang
diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada kesempatan untuk
berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun akan merusak limfosit T4
sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi
adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan
gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa
“window period”. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala
klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Pada sebagian penderita
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada
sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2
tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor) (Nursalam, 2011).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan
menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik (Nursalam, 2011).
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada penderita HIV menurut Nursalam (2011) antara lain:
a. Tes Antibodi HIV
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA. Tes ELISA
sangat sensitif untuk mengidentifikasi antibodi HIV, namun tidak selalu spesifik
karena penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang
bisa menyebabkan false positif, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi virus,
atau keganasan hematologi, dan kehamilan. Tes ELISA tidak menegakkan daignosis
penyakit AIDS tetapi lebih menunjukkan bahwa seseorang pernah terkena atau
terinfeksi oleh virus HIV. Orang yang darahnya mengandung antibodi untuk HIV
disebut sebagai orang yang seropositif.
b. Western Blot (WB)
Western Blot adalah tes lainnya yang dapat mengenali antibodi HIV dan
digunakan untuk memastikan seropositivitas seperti yang teridentifikasi lewat
prosedur ELISA. Western Blot Merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang
digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada
rantai positif yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan bila hampir atau
semua rantai protein ditemukan berarti western Blot positif. Tes Western Blot mungkin
juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu,
tes harus diulangi lagi setelah 2 minggu dengan sampel yang sama. Jika tes western
blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes western blot harus diulangi lagi setelah 6
bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien tetap dianggap HIV negatif.
c. PCR ( Polymerase Chain Reaction)
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi
HIV. Tes ini sering digunakan bila tes yang lain tidak jelas. Keuntungan tes ini adalah
hasilnya bisa didapat hanya dalam beberapa menit.
d. VCT
Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli
(disebut konselor / pembimbing) kepada individu yang mengalami sesuatu masalah
(disebut konseli) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi pelanggan.
Konseling merupakan dialog yang terjaga kerahasiaan antara konselor dan
pelanggan.
HIV adalah virus yang menyeran dan merusak system kekebalan tubuh kita
sehingga kita tidak bias bertahan terhadap penyakit-penyakit yang menyerang
tubuh kita. HIV merupakan suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS.
Pra adalah sebelum dan post adalah setelah, status adalah keadaan (orang, badan, dsb)
dalam hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya.
Confidentiality atau kerahasiaan adalah pencegahan bagi mereka yang tidak
berkepen-tingan dapat mencapai informasi, berhubungan dengan data yang diberikan
kepihak lain untuk keperluan tertentu dan hanya diperbolehkan untuk keperluan
tertentu tersebut.
e. Viral Load
Tes ini dilakukan untuk mengukur jumlah HIV dalam darah (kopi/ml). terdapat
dua jenis tes viral load: polymerase chain reaction (PCR) atau bramched DNA (b-
DNA). Dari rangkaian hasil tes anda dapat mengetahui jenis tes yang diperlukan.
Tujuan dari tes ini adalah untuk mencapai atau sedekat mungkin mencapai tingkat
tidak terdeteksi. Untuk tes PCR, angka yang dianggap tidak terdeteksi adalah kurang
dari 50 kopi HIV dalam darah, dan untuk tes b-DNA, angka ini adalah kurang dari
400 kopi HIV dalam darah (Desmawati, 2013).
f. Pemeriksaan Laboratorium
Begitu pasien di diagnosis HIV, maka tingkat kerusakan kekebalan tubuh yang
dialami perlu ditentukan. Limfosit CD4 (sel T-helper) merupakan salah satu cara
untuk mengetahui kuantitas fungsi imunologi pasien. CD4 juga berguna untuk
menenntukan stadium klinis HIV. Tetapi bila pemeriksaan CD4 tidak tersedia, total
hitung limfosit bisa sangat berguna. WHO mengembangkan kriteria stadium klinis
berdasarkan total limfosit.
Pasien yang mengalami HIV hampir seluruhnya mengalami gangguan
hematologi. Neutropenia (penurunan sel darah putih) bisa disebabkan karena virus itu
sendiri atau obat-obatan yang digunakan pada pasien HIV. Bila ditemukan anemia,
biasanya anemia normositik dan normokromik. Pasien juga mengalami limfopenik
(ditandai dengan penurunan jumlah sel darah putih dalam sirkulasi).
g. Tes TLC
Jumlah normal sel CD4 pada orang sehat berkisar antara 500-1.000, setelah
terinfeksi HIV, jumlah ini biasanya menurun terus menerus. Jadi, jumlah sel ini
mencerminkan kesehtan sistem kekebalan tubuh seseorang. Semakin rendah jumlah
CD4 seseorang, berarti semakin rusak sistem kekebalan tubuhnya. Jika jumlah CD4
kurang dari 200, ini menunjukkan sistem kekebalan tubuh sudah cukup rusak
sehingga infeksi opurtunistik dapat menyerang tubuh. Seperti jumlah CD4, semakin
rusak sistem kekebalan tubuh, semakin rendahnya jumlah TLC nya. Pada orang sehat,
TLC normal adalah sekitar 2000. Jumlah TLC 1000-1250 serupa dengan jumlah
sekitar 200 sel CD4. Penderita HIV positif dianjurkan untuk memeriksakan jumalh
CD4 atau TLC setiap enam bulan sekali (Desmawati, 2013).
h. Rapid Test
Rapid test adalah tes yang digunakan untuk mengetahui secara cepat ada atau
tidaknya HIV di dalam tubuh kurang lebih dalam waktu 20 menit dan digunakan
sebagai tes skrining. Rapid test membutuhkan sampel darah atau cairan mulut untuk
mendeteksi adanya antibodi dan HIV. Tes ini dapat memberikan hasil yang salah jika
immunoassay berada dalam window period (waktu setelah exposure tetapi sebelum
tes menemukan antibodi). Tes immunoassays yang memberikan hasil positif akan
menjalani follow up test (Suseno, Azali, Putra, dan Meinapun, 2015).
i. Follow Up Test
Follow up test adalah serangkaian tes yang digunakan untuk memperkuat
sekaligus membuktikan kebenaran dari hasil rapid test. Tes ini meliputi sebuah tes
diferensiasi antibodi yang membedakan HIV-1 dengan HIV-2, tes asam nukleat HIV-1
yang mengidentifikasi virus secara langsung, atau Western Blot yang bisa juga
digantikan dengan tes immunofluoresence assay yang mendeteksi antibodi. Tingkat
akurasi rapid test ini sangat tinggi dan hampir tidak ada kesalahan. Follow up test
dimaksudkan untuk memperkuat hasil rapid test, sehingga minim adanya kekeliruan
diagnosa. Biasanya kesalahan ditemukan jika tes dilakukan selama window period
(Suseno, Azali, Putra, dan Meinapun, 2015).
j. RNA Test
RNA test akan mendeteksi virus secara langsung (kebalikan dari antibodi terhadap
HIV) dan hal ini yang menguntungkan karena dapat mendeteksi HIV dalam waktu 10
hari setelah infeksi segera setelah muncul dalam aliran darah, sebelum pembentukan
antibodi. Biasanya tes ini jarang digunakan karena membutuhkan lebih banyak biaya
dibandingkan tes lainnya (Suseno, Azali, Putra, dan Meinapun, 2015).
2.1.9 Penatalaksanaan Umum
2.1.9.1 Medikamentosa
Peningkatan survival pada pasien dengan manifestasi klinis dapat dicapai
dengan diagnosis dini, pemberian zidovudin, pengobatan komplikasi, serta
penggunaan antibiotik sebagai profilaksis secara luas, khususnya untuk pneumonia
karena Pneumoni carinii (Irianto, 2014).
2.1.9.2 Infeksi Dini
CDC menyarankan pemberian antiretroviral pada keadaan asimptomatik bila
CD4 < 300/mm3, dan CD4 <500/mm3 pada keadaan simptomatik (Irianto, 2014).
2.1.9.3 Profilaksis
Indikasi pemberian profilaksis untuk Pneumocystis Carinii Pneumoniae (PCP)
yaitu bila CD4 < 200/mm3, terdapat kandidiosis oral yang berlangsung lebih dari 2
minggu, atau pernah mengalami infeksi PCP di masa lalu (Irianto, 2014).
2.1.9.4 Stadium Lanjut
Pada stadium ini banyak yang dapat terjadi, umumnya infeksi oportunistik
yang mengancam jiwa. Oleh karena itu diperlukan penanganan multidisipliner. Obat
yang dapat diberikan adalah ZDV dengan dosis awal 1.000mg/hari dengan 4-5 kali
pemberian dengan berat badan 70 kg (Irianto, 2014).
2.1.9.5 Fase Terminal
Pada fase terminal yaitu penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan
hanya simptomatik dengan tujuan pasien merasa enak, bebas dari rasa mual dan
sesak, mengatasi infeksi yang ada, dan dapat mengurangi rasa cemas (Irianto,
2014).
2.1.9.6 Nonmedikamentosa
Upaya pencegahan HIV/AIDS yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pendidikan kepada kelompok berisiko tinggi.
2. Anjuran bagi yang telah terinfeksi HIV untuk tidak menyumbangkan darah,
organ atau cairan semen, dan mengubah kebiasaan seksualnya guna mencegah
penularannya.
3. Skrinning darah donor terhadap adanya antibody HIV (Irianto, 2014).
Menurut Desmawati (2013), terdapat 2 penatalaksaan untuk HIV /AIDS yaitu
a) Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Tujuan utama dari penatalaksanaan pasien AIDS yang sakit kritis adalah
menghilangkan, mengendalikan, atau pemulihan infeksi oprtunistik, infeks
nosokomial, atau sepsis. Penatalaksanaan infeksi-infeksi opurtunistik diarahkan pada
dukungan terhadap sistem-sistem yang terlibat. Digunakan agen-agen farmakologi
spesifik untuk mengidentifikasi oraganism juga agen-agen eksperimental atau
organism yang tidak umum. Pada lingkungan perawatan kritis, prosedur-prosedur
isolasi tambahan seperti tindak kewaspadaan neutropenik mungkin diperlukan untuk
mencegah tenaga perawatan kesehatan dari penularan organism lingkungan yang
umum kepada pasien dengan AIDS. Infeksi stafilokokus adalah perhatian utama pada
lingkungan perawatan kritis. Pasien-pasien dengan AIDS yang terinfeksi oleh bakteri
ini akan mengalami septic, yang ditandai oleh demam, hipotensi, dan takikardi.
Tindakan-tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi
bakteri dan komplikasi-komplikasi yang mengakibatkan sepsis harus dipertahankan
bagi pasien di lingkungan perawatan kritis (Desmawati, 2013).
b) Antiretroviral (ARV)
ARV bisa diberikan pada pasien untuk menghentikan aktivitas-aktivitas virus,
memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi opurtunistik,
memperbaiki kualitas hidup, dan menurunkan kecacatan. ARV tidak menyembuhkan
pasie HIV, namun bisa memperbaiki hidup dan memperpanjang usia harapan hidup
penderita HIV-AIDS (Desmawati, 2013).
2.2 Perilaku Pencegahan
2.2.1 Pengertian Perilaku
Perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh manusia,
makhluk hidup atau organisme lain baik yang dapat diamati secara langsung maupun
yang diamati oleh pihak luar. Menurut Skinner (1938) perilaku merupakan respon atau
reaksi seseorang terhadap stimulusatau rangsangan dari luar. Skinner membedakan
respon menjadi dua yaitu:
a) Respondent respon, yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsanganrangsangan atau
stimulus tertentu. Respon dalam hal ini mencakup perilaku emosional, misalnya
mendengar berita musibah akan menjadi menangis atau sedih. Operan Respon, yaitu
respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau rangsangan
tertentu (Notoatmodjo, 2010).
b) Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah semua aktifitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat
diamati dan yang tidak dapat diamati yang berhubungandengan pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan. Perilaku kesehatan ini dibagi menjadi dua garis besar yaitu:
1) Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat (healthy behavior)
Perilaku orang sehat adalah mencakup perilaku-perilaku baik overt dan
menghindari penyakit dan penyebab penyakit atau masalah kesehatan berupa
perilaku preventif dan perilaku dalam usaha meningkatkan status kesehatan yaitu
berupa perilaku promotif misalnya: memakai kondom setiap melakukan hubungan
seksual, tidak merokok, cuci tangan sebelum makan, olah raga secara teratur dan
lain sebagainya.
2) Perilaku orang sakit atau yang terkena masalah kesehatan
Perilaku orang sakit atau terkena masalah kesehatan adalah perilaku dalam
usaha untuk mencari dan menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan ini di sebut
dengan perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). Sebagai contoh
yaitu tindakan yang akan diambil oleh seorang ibu jika anaknya sedang
mengalami sakit sehingga ibu tersebut akan membawa anaknya tersebut untuk
berobat ke tempat pelayanan kesehatan (Notoatmodjo,2010).

2.2.2 Bentuk perilaku


Perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Perilaku Tertutup (Covert behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat
diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam
bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang
bersangkutan.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan,
atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar”observable behavior”. Contoh:
seorang ibu hamil memeriksakan kehamilannya ke puskesmas atau bidan praktik
(Notoatmodjo, 2005).
2.2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pencegahan Penularan
HIV/AIDS
Menurut Lawrene Green (1980) dalam Notoatmodjo (2005), perilaku ditentukan 3
faktor yaitu:
a. Faktor Predisposisi (Predipossing Factors)
Faktor yang dapat mempermudah atau memprodisposisi terjadinya perilaku pada diri
seseorang atau masyarakat adalah pengetahuan dan sikap seseorang atau masyarakat
tersebut terhadap apa yang akan dilakukan.
b. Faktor Pemungkin (Enabling Factors)
Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas, sarana, dan
prasarana yang mendukung atau memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau
masyarakat.
c. Faktor Penguat (Reinforcing Factors)
Tokoh masyarakat merupakan faktor penguat bagi terjadinya perilaku seseorang atau
masyarakat peraturan Undang-Undang, Surat Keputusan dari para pejabat pemerintah
daerah atau pusat juga termasuk faktor penguat perilaku.
Menurut Faulina dan Prabamukti (2012), upaya pencegahan terhadap penularan
HIV/AIDS pada LSL adalah dengan menggunakan kondom. Sedangkan faktor
penyebab lainnya adalah pengetahuan tentang HIV/AIDS dan pengetahuan tentang
pentingnya kondom pada waria yang relatif masih rendah sehingga mempengaruhi
terhadap persepsi mereka tentang kerentanan, kegawatan, manfaat serta hambatan
dalam bertindak.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan
HIV/AIDS pada homoseksual :
1. Penggunaan kondom.
2. Pengetahuan tentang pentingnya penggunaan kondom pada LSL masih relatif
rendah.
3. Pengetahuan tentang HIV/AIDS masih rendah.
4. Paparan informasi tentang perilaku seks pada homoseksual yang berkaitan
dengan penularan HIV/AIDS masih rendah (Faulina, 2012).
2.2.4 Perilaku Pencegahan Penularan HIV/AIDS pada Homoseksual
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan
yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik
disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling
berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks
sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang
menerapkan perilaku tertentu. Karena itu Amat penting untuk dapat menelaah
alasan dibalik perilaku individu, sebelum mampu mengubah perilaku tersebut
(Machfoedz, 2005). Pencegahan penularan HIV dilakukan secara primer yang
mencakup mengubah perilaku seksual dengan prinsip ABC, yakni Abstinance (tidak
melakukan hubungan seksual), Be faithful (setia kepada pasangan), dan Condom
(pergunakan kondom jika terpaksa melakukan hubungan dengan pasangan).
Penggunaan kondom, penggunaan pelican, praktik VCT juga dilakukan untuk perilaku
pencegahan. Kemudian disarankan untuk tidak menggunakan narkoba, terutama
narkoba suntikan dengan pemakaian jarum yang bergantian, serta pemakaian alat
menoreh kulit dan benda tajam secara bergantian dengan orang lain (misalnya
tindik, tato, silet cukur dan lain-lain). Petugas kesehatan perlu menerapkan
kewaspadaan universal dan menggunakan darah serta produk yang bekas dari HIV
untuk pasien. (Nursalam, 2011).

Menurut Kemenkes RI, (2016) prinsip pencegahan HIV/AIDS nonmedis adalah


sebagai berikut:
1. A = Abstaint, artinya Puasa, jangan melakukan hubungan seksual, merupakan
metode paling aman untuk mencegah penularan HIV melalui hibungan seksual
2. B = Be Faithful, artinya tidak berganti ganti pasangan atau setia pada pasangan,
melakukan hubunganseksual hanya dengan pasangan yang sah
3. C = User Condom, artinya pergunakan kondom saat melakukan hubungan seksual
bila beresiko menularkan/tertular penyakit.
4. D = Don’t use Drugs, artinya hindari penyalahgunaan narkoba.
5. E =Education, artinya Edukasi, sebarkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS
dalam setiap kesempatan.
2.3 Homoseksual (Gay)
2.3.1 Definisi
Homoseksual adalah ketertarikan seksual terhadap jenis kelamin yang sama
(Feldmen,1999 dalam Rakhmahappin dan Prabowo, 2014). Homoseksualitas bukan
hanya kontak seksual antara seseorang dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama
tetapi juga menyangkut individu yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional,
dan sosial terhadap seseorang dengan jenis kelamin yang sama (Kendall & Hammer,
1998, dalam Rakhmahappin dan Prabowo, 2014). Homoseksualitas juga dapat
didefinisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan pada ketertarikan dari
jenis kelamin yang sama (Oetomo, dalam Rakhmahappin dan Prabowo, 2014). Sehingga
dapat dikatakan bahwa seorang homoseksual adalah orang memiliki orientasi seksual
kepada orang lain dari jenis kelamin yang sama (Rakhmahappin dan Prabowo, 2014).
Homoseksual sendiri terdiri dari dua golongan, yaitu lesbian dan gay. Gay adalah pria
yang mencintai pria baik secara fisik, seksual, emosional, atau pun secara spiritual.
Mereka juga rata-rata agak memedulikan penampilan, dan sangat memperhatikan apa-apa
saja yang terjadi pada pasangannya (Ilham, 2012 dalam Rakhmahappin dan Prabowo,
2014). Gay seringkali digunakan untuk menyebut pria yang memiliki kecenderungan
mencintai sesame jenis. Definisi gay yakni lelaki yang mempunya orientasi seksual
terhadap sesame lelaki (Rakhmahappin dan Prabowo, 2014).

2.3.2 Penyebab
Penyebab homoseksual ada beberapa hal. Beberapa pendekatan biologi menyatakan
bahwa faktor genetik atau hormon mempengaruhi perkembangan homoseksualitas.
Psikoanalis lain menyatakan bahwa kondisi atau pengaruh ibu yang dominan dan terlalu
melindungi sedangkan ayah cenderung pasif. Penyebab lain dari homoseksualitas
seseorang yaitu karena faktor belajar. Orientasi seksual seseorang dipelajari sebagai
akibat adanya reward dan punishment yang diterima (Rakhmahappin dan Prabowo,
2014).
Menurut Kelly (2001) dan Kalat (2007), terdapat 3 faktor kemungkinan penyebab
seseorang menjadi gay. Hal ini sedikit banyaknya mempengaruhi seorang gay untuk
melakukan kekerasan seksual kepada pasangan gaynya, yaitu :
a. Perspektif biologis atau fisiologis, homoseksual disebabkan oleh tiga hal yang
berpengaruh yaitu gen, hormon, dan kromosom atau adanya ketidakseimbangan
jumlah hormon pada diri seseorang sejak lahir. Dijelaskan oleh beberapa penelitian
para ahli, tentang pengukuran hormon menunjukkan bahwa ada predisposisi genetis
yang tersembunyi dan adanya pengaruh dari situasi hormonal selama masa
perkembangan mental, faktor lingkungan (keluarga dan sosiokultural) mempunyai
peran yang sangat besardalam menentukan homoseksual seseorang. Banyak para ahli
menyatakan bahwa homoseksual telah lahir karena beberapa jenis kekurangan
keseimbangan dari hormon-hormon yang berhubungan dengan seks.
Menurut mereka testosterone merupakan suatu faktor yang bersifat menentukan
bagi perkembangan dari semua karakteristik seks yang sekunder dari manusia, seperti
perubahan suara, dan sebagainya. Sedangkan estrogen merupakan faktor yang penting
bagi perempuan dalam pembentukan fisik seorang perempuan. Laki-laki yang
menjadi gay karena faktor biologis biasanya tidak akan bisa kembali menjadi laki-laki
dalam arti sebenarnya, akan tetapi frekuensinya dapat menjadi berkurang. Berbagai
penemuan dan penelitian yang dilakukan oleh para ahli ini membuktikan adanya
kenyataan bahwa faktor biologis memiliki pengaruh terhadap perkembangan seorang
homoseks.
b. Perspektif lingkungan (Perspektif sosiokultural), situasi lingkungan merupakan salah
satu perangkat pendorong tindakan homoseksual. Tindakan ini tampak pada orang-
orang yang telah terisolasi dengan rekan sejenis dalam waktu yang lama dan ikatan
ruang yang ketat seperti penjara dan pesantren. Identifikasi homoseksual, orientasi
seksual secara positivistik menurut Kinsey diantaranya: 0 : heteroseksual eksklusif, 1:
heteroseksual lebih menonjol (predominan), homoseksualnya cuma kadang-kadang, 2
: heteroseksual predominan, homsoseksual lebih dari kadangkadang, 3 : heteroseksual
dan homoseksual seimbang, 4 : homoseksual predominan, heteroseksual lebih dari
kadangkadang, 5 : homoseksual predominan, heteroseksual cuma kadang-kadang, 6 :
homoseksual eksklusif.
c. Penyebab seseorang menjadi homoseksual, juga banyak dilihat dari perspektif
psikologi. Sudut pandang dari dimensi psikologis menekankan pada masa awal
perkembangan seksual sebagai faktor yang patut dipertimbangkan dalam melacak
penyebab homoseksual. Menurut psikoanalisa Freud, homoseksual bermula dari
pekembangan psikoseksual anak pada masa kecil. Pengalaman hubungan orang tua
dan anak pada masa kanak-kanak sangat berpengaruh terhadap kecenderungan
homoseksual. Perspektif lain adalah teori perilaku atau psikoseksual yang
menekankan bahwa homoseksual secara mendasar merupakan fenomena proses
belajar. Penyebab seseorang menjadi homoseksual dapat berasal dari adanya
penghargaan atau hukuman atas perilaku seksual yang dialami sejak awal
perkembangan atau cenderung ke arah gangguan perkembangan psikoseksual pada
masa anak-anak.Misalnya bila seseorang mendapatkan pengalaman heteroseksual
yang kurang menyenangkan dan justru mendapatkan kenikmatan dengan penglaman
homoseksual maka secara bertahap orientasi seksualnya akan ke arah sesama jenis.
2.3.3 Ciri-ciri Gay
Menurut Oetomo (2006), ciri-ciri gay adalah
a. Sebagian besar para gay secara phisik merupakan sosok-sosok pria dengan
ketampanan diatas rata-rata pria pada umumnya, bahkan tampilan cenderung macho
dan gagah.
b. Sebagian besar gay menandai dirinya dengan tindik pada bagian kuping “biasanya”
yang sebelah kanan, namun sebagian lagi bahkan ada yang menindik kedua bagian
kupingnya, oleh karena itu baiknya bagi pria yang berminat untuk melakukan tindik
sebaiknya dipertimbangkan kembali agar jangan sampai salah memberikan simbol.
c. Sebagian dari mereka cenderung menyukai memakai perhiasan seperti kalung
(biasanya kalung emas baik kuning maupun emas putih) layaknya seorang lelaki
metrosexual.
d. Sebagian besar gay, secara sifat adalah jenis lelaki yang sopan santun, terkesan
sangat rapi namun tetap menampilkan kesan feminisme dalam gerak-geriknya, tapi
sebagian lagi sangat tidak kentara ketika berinteraksi.
e. Sebagian besar gay, termasuk jenis pria-pria yang sensitif dan dalam kehidupan
sehari-hari cukup supel dalam pergaulan, namun mereka sangat perfeksionis dalam
bidangnya.
f. Sebagian besar pria gay biasanya berkarier dibidang seperti artis, penyanyi, desainer,
penata rambut bahkan para model, namun secara garis besarnya mereka pada
umumnya bergiat dibidang yang membutuhkan detil dengan perasaan dengan tingkat
perfeksionisme yang tinggi.
2.3.4 Jenis-Jenis Homoseksual atau Gay
Jenis Homoseksual menurut Coleman (2008) menggolongkan homoseksualitas ke
dalam beberapa jenis yakni :
a. Homoseksual tulen yaitu gambaran streotiptik popular tentang laki -laki yang
keperempuan-perempuanan atau sebaliknya perempuan yang kelelaki-lakian.
b. Homoseksual malu-malu yaitu kaum lelaki yang suka mendatangi kamar mandi yang
tidak mampu dan tidak berani menjalin hubungan antarpersonal.
c. Homoseksual tersembunyi yaitu kelompok ini biasanya berasal dari kelas menengah
dan memiliki status sosial yang mereka rasa perlu dengan menyembunyikan
homoseksualitas mereka.
d. Homoseksual situasional yaitu kelompok yang dapat mendorong
orangmempraktikkan homoseksualitasnya tanpa disertai komitmen yang mendalam.
e. Biseksual yaitu orang yang mempraktikkan baik homoseksualitas maupun
heteroseksualitas sekaligus.
f. Homoseksual mapan yaitu kaum homoseksual yang menerima homoseksualitas
mereka, memenuhi aneka peran kemasyarakatan secara bertanggung jawab dan
mengikatkan diri dengan komunitas homoseksual setempat.
2.4 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-
konsep yang diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan
(Notoatmojo, 2005). Berdasarkan kerangka teori maka berikut ini adalah kerangka
yang akan digunakan dalam penelitian ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

- Penggunaan kondom
- Penggunaan pelicin
Perilaku pencegahan
- Praktik VCT
penularan HIV/AIDS

Variabel Perancu

Status HIV
Paparan
\\\\ informasi

Gambar 2.1 Kerangka konsep gambaran perilaku pencegahan HIV dan AIDS

2.5 Hipotesis Peneltian


Hipotesis adalah jawaban sementara dari hasil suatu penelitian. Jadi hipotesis
dalam suatu penelitian merupakan jawaban sementara, patokan duga, atau dalil
sementara dari suatu penelitian dan harus dibuktikan kebenarannya sebagai titik tolak
atau arah dari pelaksanaan penelitian (Notoatmodjo, 2010).
2.5.1 Hipotesis Mayor
Hipotesis Mayor adalah hipotesis yang menjadi sumber dari hipotesis- hipotesis
yang lain (Notoatmodjo, 2010).
Ada hubungan gambaran perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada lelaki suka lelaki
(LSL) di Kecamatan Pontianak Barat
2.5.2 Hipotesis Minor
Hipotesis Minor adalah hipotesis yang dijabarkan dari hipotesis mayor (Soekidjo
Notoatmodjo, 2005). Yang menjadi hipotesis minor dalam penelitian ini adalah:
- Ada hubungan antara penggunaan kondom terhadap perilaku pencegahan di
Kecamatan Pontianak Barat
- Ada hubungan antara penggunaan pelicin terhadap perilaku pencegahan di
Kecamatan Pontianak Barat
- Ada hubungan anatar VCT terhadap perilaku pencegahan di Kecamatan Pontianak
Barat

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif deskriptif dengan melakukan wawancara
mendalam (in-deoth interview). Studi kualitatif dapat didefinisikan sebagai metode penelitian
yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah, dimana peneliti sebagai
instrument kunci (Sugiyono,2013). Sedangkan metode deskriptif dimaksudkan untuk melihat
fenomena yang terjadi didalam suatu populasi tertentu (Notoadmojo,2010).
Pendekatan pada penelitian ini adalah pendekatan fenomenalogi. Fenomena merupakan
pendekatan filosofis untuk mempelajari fenomena dan pengalaman manusia, dengan tujuan
untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman yang dialami manusia dalam kehidupannya.
(Saryono,2011). Tujuan pendekatan fenomena ini dugunakan untuk menganalisis gambaran
perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada lelaki suka lelaki (LSL) di Kecamatan Pontianak
Barat.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pontianak Barat
3.2.2 Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2017.

3.3 Populasi dan Subyek Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi taget dalam penelitian ini adalah LSL di Kecamatan Pontianak Barat . Populasi
terjangkau pada penelitian ini adalah LSL yang terdata di Dinas Kesehatan Kota
Pontianak.
3.3.2 Sampel
Subyek pada penelitian ini adalah yang terdapat LSL di Kecamatan Pontianak Barat
dengan memperhatiakn kriteria inklusif dan eksklusif.

3.4 Kriteria Sampel


3.4.1 Kriteria inklusif
1. LSL yang terdata di Dinas Kesehatan Kota Pontianak
2. Bisa berbicara dan mendengar
3. Usia 30 – 55 tahun
4. LSL yang bersedia mengikuti wawancara
3.4.2 Kriteria eksklusif
1. LSL yang tidak bersedia pada saat penelitian berlangsung
2. LSL yang tidak hadir pada saat pengambilan data

2.5 Besar sampel


Menurut S. Nasution dalam menjelaskan bahwa sampel (responden) dianggap telah telah
memadai apabila telah mencapai taraf “redundancy” (datanya telah jenuh), ini artinya bahwa
dengan penambahan responden selanjutnya tidak lagi diperoleh tambahan referensi baru yang
bearti. Dalam pengumpulan data , besarnya partisipan pada penelitian kualitatif adalah 5-8
orang partisipan (Sugiyono,2011). Pada penelitian ini pengambilan sampel dengan melihat
apakah data sudah tersaturasi, apabila sampel kurang dari 8 sudah mencapai titik saturasi
(kejenuhan) maka peneliti akan menghentikan pencarian sampel.

2.6 Instrumen
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data.
Instrumen penelitian ini dapat berupa lembar observasi dan formulir yang berkaitan dengan
pencatatan data (Notoatmodjo,2012). Instrumen dalam penelitian ini yaitu lembar wawancara
selama penelitian (Potter & Perry, 2006).
2.6.1 Alat dan bahan pemeriksaan tekanan darah
a) Lembar wawancara
b) Alat rekaman
c) Pulpen

2.6.2 Prosedur melakukan wawancara


a) Mendatangi responden.
b) Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dari penelitian yang akan
dilakukan kepada responden.
c) Peneliti meminta ketersediannya untuk menjadi responden dalam penelitian ini.
d) Jika bersedia, responden akan diminta untuk menandatangani lembar informed consent.
e) Peneliti menyiapkan alat.
f) Menjaga privasi responden.
g) Menyiapkan alat rekaman.
h) Peneliti melakukan wawancara.
i) Mencatat hasil yang di dapat.
j) Memberikan ucapan terima kasih ke responden.
Daftar Pustaka

Arfanda,F dan Sakaria.(2015). Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Waria. Jurnal Sosial Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin Vol. 1 No. 1. Diakses pada tanggal 10 November 2017 pada
http://unhas.ac.id/fisip/wp-content/uploads/2015/12/Jurnal-KRITIS-Vol.-1-No.-1-Juli-
2015.pdf
Coleman, S. J.( 2008). Dasar-Dasar Teori Sosial. Nusa Media: Bandung.
Depkes RI. (2014). Infodatin AIDS. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI di akses tanggal 12
November 2017 pada www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin /Infodatin
%20AIDS.pdf
Dinas Kesehatan Kal-bar. (2015). Profil Kesehatan Provinsi Kal-Bar. Pontianak : Kalimantan
Barat Diakses tanggal 12 november 2017 pada http://www.depkes.go.id/resources
/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2015/20_Kalbar_2015.pdf
Faulina, R, dan Prababukti,N P.(2012). Perilaku Seks Waria di Kota Tarakan Provinsi Kalimantan
Timur, Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume II, No. 1. Diakses pada tanggal 10
November 2017 pada https://media.neliti.com/.../150143-ID-perilaku-seks-waria-di-kota-
tarakan-prov.pdf
Irianto, K. (2014). Seksologi Kesehatan.Bandung : Alfabeta.
Kalat, J.W. (2007). Biological Psychology (9th ed.) Canada: Thomson Wadsworth.
Kana, I. M., Nayoan, C. R., & Limbu, R. (2016). Gambaran Perilaku Pencegahan HIV dan AIDS
pada Lelaki Suka Lelaki (LSL) Di Kota Kupang Tahun 2014. Unnes Journal of Public
Health, 5(3), 252-262. Diakses pada tanggal 10 November 2017 pada
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph/article/download/10995/8834
Kelly, G. (2001). Sexuality Today. New York : The McGraw Hill.
Kemenkes RI. (2016). Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Diakses tanggal 18 November 2017
dalam http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/4__Pedoman_Fasyankes_Primer_ok.pdf
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Profil Kesehatan Indonesia . Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI. Diakses pada tanggal 1 November 2017 di dalam
http://www.depkes.go.id/resources/download/ pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-
kesehatan-indonesia-2014.pdf.
Koeswinarno. (2010). Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta : LKIS.
Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Jember. (2015). Mengenal & Menanggulangi HIV &
AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba. Jember: Komisi Penanggulangan AIDS
Kabupaten Jember. Diakses pada tanggal 10 November 2017 di dalam
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/IKESMA/article/download/4822/3554/
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. (2015). Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
Penanggulangan HIV dan AIDS Di Indonesia. Jakarta : Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional. Diakses pada tanggal 10 November 2017 di dalam
http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/SRAN_2015_2019_FINAL.pdf
Kummar, V., Abbas, AK., Aster JC .2015.Robbins and Cotran : Pathologic Basic of Desease
Ninth edition. Philidelphia : Saunders Elsevier.
Machfoedz, I. (2005). Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan dan Kebidanan.
Fitramaya : Yogyakarta.
Mansjoer,A., Triyanti,K.,Savitri,K.,Wardhani,W I dan Setiowulan,W. ( 2010 ). Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi 4. Jakarta : Medica Aesculpalus.
Nadia, Z., (2005). Waria Laknat atau Kodrat. Yogyakarta : Pustaka Marwa.
Nandasari, F dan Lucia Y H. (2015). Identifi cation of Sexsual Behavior and HIV Insidence on
Public Transportation Driver in Sidoarjo. Jurnal Berkala Epidemiologi. Surabaya :
Universitas Airkangga. Jurnal Berkala Epidemiologi Vol. 3, No. 1 377–386. Diakses pada
tanggal 10 November 2017 di dalam https://media.neliti.com/media/publications/94653-
ID-none.pdf
Notoatmodjo S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo,S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nursalam, K. N. D .(2011). Asuhan Keperawatan Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba
Medika.
Oetomo,D. (2006). Gay di Masyrakat. Surabaya: Gaya Nusantara
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2006). Buku Ajar Fundamental : Konsep, Proses, dan Praktik.
Jakarta : EGC.
Rakhmahappin,Y., dan Prabowo,A. ( 2014). Kecemasan Sosial Kaum Homoseksual Gay dan
Lesbian. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan Vol. 02, No.02. Di akses pada tanggal 14
November 2017 pada ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/download/1997/2099
Saryono. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan. Purwokerto : UPT . Percetakan dan
Penerbitan UNSOED.
Sugiono, D.(2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
UNAIDS. (2015). Epidemiology Global Statistics Fact Sheet HIV/AIDS 2015. Diakses tanggal
1 November 2017 dalam http://www.unaids.org/en/resources/documents/2015/
20150714_factsheet.
Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN

Assalamualaikum Wr.Wb dan salam sejahtera. Saya Ezy Alkendhy mahasiswa Program
Studi Pendidikan Ners Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak. Pada saat ini
saya sedang melakukan penelitian tentang “Gambaran perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada
lelaki suka lelaki (LSL) di Kecamatan Pontianak Barat”. Penelitian ini dilakukan untuk
menyusun skripsi dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku
pencegahan HIV dan AIDS pada lelaki suka lelaki (LSL) di Kecamatan Pontianak Barat yang
akan digunakan untuk kepentingan ilmiah yang dapat bermanfaat bagi masyarakat,
Maka dari itu saya mengharapkan keikutsertaan dan kerjasama dari Bapak/Ibu untuk menjadi
responden dalam penelitian ini. Identitas Bapak/Ibu akan dirahasiakan oleh saya. Tidak ada
jawaban benar atau salah dari apa yang Bapak/Ibu sampaikan, dan hasil dan informasi yang
Bapak/Ibu berikan akan digunakan untuk kepentingan penelitian.
Partisipasi Bapak/Ibu dalam keikutsertaan dalam penelitian ini bersifat bebas dan tanpa
adanya paksaan. Dengan ini saya mengucapkan terimakasih atas kesediaan Bapak/Ibu/Sdr/I
untuk menjadi responsen dalam penelitian ini.

Pontianak, November 2017


Peneliti

Ezy Alkendhy
I1031141012

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN


(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama :
Umur :
No.Telp :
Alamat :

Setelah membaca dan mendapatkan penjelasan sepenuhnya tentang topik tentang;


Judul : Gambaran perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada lelaki suka lelaki (LSL) di
Kota Pontianak tahun 2017

Peneliti : Ezy Alkendhy (Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura Pontianak)

Dengan ini menyatakan bahwa saya bersedia untuk menjadi responden penelitian dengan
sukarela dan tanpa adanya paksaan.

Pontianak, November 2017


Responden

(……………………….)
Lampiran 3
Lembar Wawancara

Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Alamat :
Pekerjaan :

No Pertanyaan Jawaban
1. Apakah anda mengetahui penyakit HIV/AIDS ?
2. Apakah anda mengetahui penyebab dari HIV/AIDS ?
3. Apakah anda sering melakukan homoseksual ?
4. Apa yang anda rasakan ketika melakukan homoseksual ?
5. Bagaimana cara anda melakukan homoseksual ?
6. Apakah anda menggunakan kondom saat melakukan
hubungan seks dengan sesama jenis ?
7. Apakah anda menolak berhubungan seks jika pelanggan
kamu tidak memakai kondom ?
8. Apakah anda menggunakan pelicin ketika oral dan anal
seks ?
9. Apakah anda mengetahui dampak terhadap perilaku yang
anda lakukan ?
10. Apakah anda mengerti tindakan pencegahan terhadap
HIV/AIDS ?

Anda mungkin juga menyukai