Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

(UTS)

Dosen Pembimbing
Sister Sianturi, M.Si.
Putu Rika Veryanti, M.Farm-Klin.Apt.
Ainun Wulandari, M.Sc., Apt.

Disusun oleh:
Monaliza Stefiani 16334004

KELAS K

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
Jakarta
2018
DAFTAR ISI

Table of Contents
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... 2
PENGENALAN KARAKTERISTIK DAN PENANGANAN HEWAN ............................................ 3
BAB III ....................................................................................................................................... 12
METODE PERCOBAAN........................................................................................................... 12
3.1 Alat dan Bahan...................................................................................................................... 12
BAB IV ....................................................................................................................................... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................................. 16
EKSPERIMEN DASAR ..................................................................................................................... 29
(PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP OBAT SEDATIF & HIPNOTIK) ..................... 29
BAB III ....................................................................................................................................... 34
METODE PERCOBAAN........................................................................................................... 34
BAB IV ....................................................................................................................................... 37
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 37
EKSPERIMEN DASAR ..................................................................................................................... 42
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEK FARMAKOLOGI ..................................................... 42
(VARIASI BIOLOGIS) ...................................................................................................................... 42
BAB III ....................................................................................................................................... 52
METODE PERCOBAAN........................................................................................................... 52
BAB IV ....................................................................................................................................... 54
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 54
EKSPERIMEN DASAR ..................................................................................................................... 58
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEK FARMAKOLOGI ..................................................... 58
(VARIASI KELAMIN) ...................................................................................................................... 58
BAB III ....................................................................................................................................... 61
METODE PERCOBAAN........................................................................................................... 61
BAB IV ....................................................................................................................................... 63
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 63

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa karena dengan rahmat-
Nya saya dapat menyelesaikan laporan pratikum farmakologi yang telah ditugaskan,
Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan ini untuk memenuhi nilai praktikum yang
diberikan oleh dosen pengajar sekaligus menjadi pembelajaran bagi saya.

Kami berharap laporan praktikum ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun semua
yang membacanya , semoga makalah sederhana ini dapat dipahami siapapun yang
membacanya. Saya menyadari bahawa dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kelemahan baik dalam penyajian materi ataupun tata bahasa yang
digunakan karena kami masih dalam tahap pembelajaran. Saran dan kritik saya harapkan
untuk dapat lebih menyempurnakan tugas laporan kami di kemudian hari.

Jakarta, Agustus 2018

Penyusun

2
PERTEMUAN MINGGU PERTAMA

21 JULI 2018

PENGENALAN KARAKTERISTIK DAN PENANGANAN HEWAN

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keandalan pengamatan manusia terhadap suatu subyek dalam suatu pengamatan sangat
terbatas. Oleh karena itu diperlukannya suatu alat atau obyek tertentu untuk dapat
membantunya dan yang dapat pula dipergunakan sebagai subyek dalam penelitian, di
antaranya adalah dengan mempergunakan hewan-hewan percobaan.
Penggunaan hewan percobaan terus berkembang hingga kini. Kegunaan hewan
percobaan tersebut antara lain sebagai pengganti dari subyek yang diinginkan, sebagai
model, di samping itu di bidang farmasi juga digunakan sebagai alat untuk mengukur
besaran kualitas dan kuantitas suatu obat sebelum diberikan kepada manusia.
Tidak semua hewan coba dapat digunakan dalam suatu penelitian, harus dipilih mana
yang sesuai dan dapat memberikan gambaran tujuan yang akan dicapai. Hewan sebagai
model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara
lain persyaratan genetis/keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, di
samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi
biologis yang mirip kejadiannya pada manusia. Oleh karena itu, kita dapat dan lebih mudah
menggunakan hewan coba sebagai hewan percobaan.

1.2. Maksud Dan Tujuan Percobaan


1.2.1. Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara-cara perlakuan pada hewan coba.
1.2.2 Tujuan Percobaan
a. Dapat menjelaskan kembali karakteristik hewan-hewan yang lazim dipergunakan
dalam percobaan.
b. Dapat memperlakukan dan menangani hewan percobaan, seperti mencit, tikus,
kelinci, dan marmot, untuk percobaan farmakologi dengan baik.
c. Dapat mengetahui cara-cara penanganan dan perlakuan terhadap hewan coba
mencit

4
1.3 Prinsip Percobaan
Penanganan hewan coba mencit (Mus musculus) dengan memegang ekor mencit
dengan jari, sedangkan tangan kanan memegang bagian leher mencit selanjutnya diberi
perlakuan pada hewan coba (Mus musculus).

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar

Hewan mencit atau Mus musculus adalah tikus rumah biasa termasuk ke dalam ordo
rodentia dan family Muridae. Mencit dewasa biasa memiliki berat antara 25-40 gram dan
mempunyai berbagai macam warna. Mayoritas mencit laboratorium adalah strain albino
yang mempunyai warna bulu putih dan mata merah muda (Hrapkiewicz et al, 1998). Mencit
merupakan hewan yang tidak mempunyai kelenjar keringat, jantung terdiri dari empat ruang
dengan dinding atrium yang tipis dan dinding ventrikel yang lebih tebal. Percobaan dalam
menangani hewan yang akan diuji cenderung memiliki karakteristik yang berbeda, seperti
mencit lebih penakut dan fotofobik, cenderung sembunyi dan berkumpul dengan sesama,
mudah di tangani, lebih aktif pada malam hari (nocturnal), aktivitas terganggu dengan
adanya manusia, suhu normal 37,40 C, laju respirasi 163/ menit sedangkan pada hewan tikus
sangat cerdas, mudah ditangani, tidak bersifat fotofobik, lebih resisten terhadap infeksi,
kecenderungan berkumpul dengan sesama sangat kurang, jika makanan kurang atau
diperlakukan secara kasar akan menjadi liar dan galak, suhu normal 37,50 C, laju respirasi
210/ menit pada mencit dan tikus persamaannya gigi seri pada keduanya sering digunakan
untuk mengerat / menggigit benda-benda yang keras. Dengan mengetahui sifat-sifat
karakteristik hewan yang akan diuji diharapkan lebih menyesuaikan dan tidak diperlakukan
tidak wajar. Di dalam suatu dosis yang dipakai untuk penggunaan suatu obat harus sesuai
dengan data mengenai penggunaan dosis secara kuantitatif, dikarenakan bila obat itu
diaplikasikan kepada manusia dilakukan perbandingan luas permukaan tubuh.
Rute pemberian obat, dapat diberikan secara peroral, subkutan, intramuscular, intravena,
dan intraperitonial. Rute peroral dapat diberikan dengan mencampurkan obat bersama
makanan, bisa pula dengan jarum khusus ukuran 20 dan panjang kira-kira 5 cm untuk
memasukkan senyawa langsung ke dalam lambung melalui esophagus, jarum ini ujungnya
bulat dan berlubang ke samping. Rute subkutan paling mudah dilakukan pada mencit. Obat
obat dapat diberikan kepada mencit dengan jarum yang panjangnya 0,5-1,0 cm dan ukuran
22-24 ( 22-24 gauge ). Obat bisa disuntikkan di bawah kulit di daerah punggung atau di
daerah perut. Kekurangan dari rute ini adalah obat harus dapat larut dalam cairan hingga
dapat disuntikkan. Rute pemberian obat secara intramuscular lebih sulit karena otot mencit
sangat kecil, obat bisa disuntikkan ke otot paha bagian belakang dengan jarum panjang 0,5-

6
1,0 cm dan ukuran 24 gauge, suntikkan tidak boleh terlalu dalam agar tidak terkena
pembuluh darah. Rute pemberian obat secara intravena haruslah dalam keadaan mencit tidak
dapat bergerak ini dapat dilakukan dengan mencit dimasukkan ke dalam tabung plastic
cukup besar agar mencit tidak dapat berputar ke belakang dan supaya ekornya keluar dari
tabung, jarum yang digunakan berukuran 28 gauge dengan panjang 0,5 cm dan suntikkan
pada vena lateralis ekor, cara ini tidak dapat dilakukan karena ada kulit mencit yang
berpigmen jadi venanya kecil dan sukar dilihat walaupun mencit berwarna putih. Cara
intraperitonial hampir sama dengan cara IM, suntikkan dilakukan di daerah abdomen
diantara cartilage xiphoidea dan symphysis pubis ( “Mangkoewidjojo, 1998” ).

2.2 Karakteristik Hewan Percobaan


Setiap masing-masing hewan percobaan mempunyai karakteristik masing-masing,
diantaranya pada :
A. Mencit
Mencit (Mus musculus) adalah hewan coba yang mudah ditangani, bersifat
penakut fotofobia, cenderung berkumpul sesamanya, serta lebih aktif dimalam
hari dari pada siang hari. Aktivitas mencit dapat terganggu denga keadaan
manusia. Suhu tubuh normal nya 37,4oC dan laju respirasi normal 163
kali/menit.
B. Tikus
Tikus tidak begitu bersifat fotofobia dibandingkan dengan mencit dan
kecenderungan untuk berkumpul sesama sangat kurang, tikus merupakan hewan
yang cerdas, mudah ditangani dan relatif resisten terhadap infeksi. Aktivitasnya
tidak begitu terganggu denga adanya manusia disekitarnya. Suhu tubuh normal
37,5 – 38,0o C dan laju respirasi normal 210 kali/menit .
C. Kelinci
Kelinci jarang bersuara, hanya alam keadaan nyeri luar biasa akan bersuara dan
pada umumnya cenderung berontak apabila merasa keamanannya terganggu
suhu rectal kelinci seat antara 38,5-40 OC. Laju respirasi kelinci dewasa normal
adalah 38-65 kali/menit.

7
2.3 Perhitungan Doss Obat Pada Hewan
Untuk dapat memperoleh efek farmaklologis yang sama dari suatu obat pada setiap
spesies hewan percobaan, diperlukan data mengenai aplikasi dosis secara kuntitatif.
Perhitungan konversi tersebut akan lebih diperlukan bila obat akan dipakai oleh manusia
dan pendekatan terbaik adalah dengan menggunakan perbandingan luas permukaan.
Beberapa spesies hewan percobaan yang sering digunakan, dipolakan perbandingan
terhadap luas permukaan tubuh manusia.
Tabel 1.1 Konversi dosis berdasarkan perbandingan luas pemukaan tubuh hewan coba
Hewan Mencit Tikus Marmut Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
Percobaan 20 g 200 g 400 g 1,5 kg 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg
Mencit 1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
20 g
Tikus 0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0
200 g
Marmut 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
400 g
Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2
1,5 kg
Kucing 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,2
2 kg
Kera 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
4 kg
Anjing 0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
12 kg
Manusia 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
70 kg

2.4. Perhitungan Volume Obat Pada Hewan Coba

Volume cairan yang diberikan pada hean percobaan harus diperhatikan tidak
melebihi jumlah tertentu. Senyawa yang tidak larut dibuat dalam bentuk suspensi dalam
gom dan diberka dalam rute oral

Untuk menghitung volume oba pada hewan coba, harus diketahui :

8
1. Perhitungan dosis obat yang akan diberikan
2. Jenis sediaan obat yang tersedia di laboratorium
3. Ukuran jarum suntuk yang tersedia di laboratorium

Tabel 1.2 Volume maksimum larutan/padatan yang dapat diberikan pada hewan
Volume maksimum (ml) sesuai jalur pemberian
Hewan
IV IM IP SC PO
Mencit 20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0
Tikus (100 g) 1,0 0,1 2-5,0 0,5-5,0 5,0
Hamster (50 g) - 0,1 1-2,0 2,5 2,5
Marmut (250 g) - 0,25 2-5,0 5,0 10,0
Merpati (300 g) 2,0 0,5 2,0 2,0 10,0
Kelinci (2,5 kg) 5-10,0 0,5 10-20,0 5-10,0 20,0
Kucing (3 kg) 5-10,0 1,0 10-20,0 5-10,0 50,0
Anjing (5 kg) 10-20,0 5,0 20-50,0 10,0 100,0
(Harmita,2008: 67)

Tabel 1.3. Data anastesi umum pada hewan percobaan.


Hewan Anastetik Kepekatan Dosis Rute
percobaan larutan pemberian
dan pelarut
Eter kloralose uretan 2% dalam 300 mg/kg Inhalasi
NaCl 1-1,25 g/kg i.p
fisiologis i.p
Mencit 10-25%
Dan tikus dalam NaCl
Nembutal 65 mg/ml 40-60 mg/kg i.p
(kerja singkat)
80-100 mg/kg
(kerja lama)
Pentobarbital 4,5-6% 45-60 mg/kg i.p

9
dalam NaCl 35 mg/kg i.v
fisiologis
Na heksobarbital 7,5% dalam 75 mg/kg i.p
NaCl 47 mg/kg i.v
fisiologis
4,7% dalam
NaCl
Eter 1% dalam 100 mg/kg Inhalasi
(kloralose+nembutal) NaCl i.v
fisiologi
65 mg/ml
Uretan 10% dalam 19 g/kg i.p/i.v
Kelinci NaCl
fisiologis
Pentobarbital 5% dalam 22 mg/kg i.v
NaCl (kerja lama)
fisiologis 11 mg/kg
(kerja singkat)
Pentotal 5% dalam 10-20 mg/kg i.v
air suling (menurut
jangka waktu
kerja)
Morfin 5% dalam 100 mg/kg s.c
air suling
Eter Inhalasi
Kloroform Inhalasi
Uretan 10% dalam 19 g/kg i.p
Marmut NaCl
fisiologis
hangat
Kloralose 2% dalam 150 mg/kg i.p
Pentobarbital NaCl 28 mg/kg
Nembutal fisiologis

10
Seperti pada
tikus
(Harmita,2008: 67)

11
BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


A. Alat
 Alat yang digunakan adalah kanula,spoit dan rang besi.
B. Bahan
 Bahan yang digunakan adalah aquadest
C. Hewan coba
 Hewan coba yang digunakan adalah mencit (Mus musculus)
3.2 Prosedur Kerja
3.2.1 Cara memegang Hewan Percobaan sehingga Siap untuk Diberi Sediaan Uji
a. Mencit
Ujung ekor mencit diangkat dengan tangan kanan, letakkan pada suatu
tempat yang permukaannya tidak licin (misal rem kawat pada penutup
kandang), sehingga bila ditarik mencit akan mencengkeram lalu kulit pada
tengkuk mencit dijepit dengan telunjuk dan ibu jari tangan kiri sedangkan
ekornya tetap di pegang dengan tangan kanan kemudian tubuh mencit
dibalikkan sehingga permukaan perut menghadap kita dan ekor di jepitkan di
antara jari manis dan kelingking tangan kiri.
b. Tikus
Tikus diperlakukan sama seperti mencit dengan cara di atas, tetapi bagian
pangkal ekor yang di pegang dan pada tengkuk tikus yang di pegang.
Cara memegang tikus : Bagian ekor belakang tikus di angkat kemudian
diletakkan di atas permukaan kasar lalu bagian belakang kepala di pegang
dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri kemudian di selipkan ke depan dan
kaki kanan dijepit di antara kedua jari tersebut.
c. Kelinci
Kelinci diperlakukan dengan halus tetapi sigap karena kadang-kadang
memberontak. Menangkap kelinci dengan telinga diangkat kemudian kulit
leher di pegang dengan tangan kiri lalu pantatnya diangkat dengan tangan
kanan dan di didekapkan ke dekat tubuh.

3.3 Cara Memberikan Obat Pada Hewan Percobaan

12
a. Mencit
Oral :
Cairan obat diberikan dengan menggunakan sonde oral, sonde oral
ditempelkan pada langit-langit mulut atas mencit kemudian masukkan perlahan-
lahan sampai ke esophagus dan cairan obat dimasukkan.
Subkutan :
Kulit di daerah tengkuk di angkat dan di bagian bawah kulit dimasukkan obat
dengan menggunakan alat suntik 1 ml.
Intra vena :
Mencit dimasukkan ke dalam kandang restriksi mencit dengan bagian ekor
menjulur keluar. Bagian ekor dicelupkan ke dalam air hangat agar pembuluh vena
ekor mengalami dilatasi lalu pemberian obat ke dalam pembuluh vena menjadi
mudah. Pemberian obat dilakukan dengan jarum suntik no.24.
Intramuskular :
Obat disuntikkan pada paha posterior dengan jarum suntik no.24.
Intra peritoneal :
Mencit dipegang dengan cara seperti pada 1.4.1, pada penyuntikkan posisi
kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum disuntikkan dengan sudut sekitar 100
dari abdomen pada daerah yang sedikit menepi dari garis tengah, agar jarum
suntik tidak terkena kandung kemih dan tidak terlalu tinggi supaya tidak terkena
penyuntikkan pada hati.
b. Tikus
Pemberian secara oral, intra muscular dan intra peritoneal dilakukan dengan
cara sama pada mencit. Secara sub kutan dilakukan penyuntikkan di bawah kulit
tengkuk atau kulit abdomen dan pemberian secara intra vena dilakukan pada vena
penis ketimbang vena ekor.
c. Kelinci
Oral : Jarang dilakukan pemberian obat secara oral pada kelinci, tetapi dilakukan
dengan cara alat penahan rahang dan pipa lambung.
Subkutan :
Dilakukan dengan penyuntikkan pada sisi sebelah pinggang atau tengkuk
dengan kulit pada tengkuk diangkat lalu ditusukkan jarum no.15 dengan arah
anterior. Penyuntikkan dilakukan pada vena marginalis di daerah dekat ujung

13
telinga sebelum disuntik ujung telinga dibasahi dahulu dengan alcohol atau air
hangat. Pada kelinci gelap di cukur dahulu bulunya sebelum disuntik.
Intra muscular :
Pemberian intra muscular dilakukan pada otot kaki belakang.
Intraperitonial :
Posisi kelinci diatur sehingga letak kepala lebih rendah daripada perut.
Penyuntikkan di lakukan pada garis tengah di muka kandung kencing.
3.4 Cara Mengorbankan Hewan Percobaan
Dilakukan untuk keperluan pengamatan. Dilakukan jika proses percobaan
telah selesai dan hewan tidak digunakan untuk tahap percobaan selanjutnya.
Berdasar pada pertimbangan ekonomis. Pemeliharaan hewan harus disertai tujuan
jelas agar tidak menghamburkan biaya dan tempat. Hewan biasanya langsung
dikorbankan dengan prinsip mematikan dalam waktu sesingkat mungkin dan rasa
sakit seminimal mungkin. Mengorbankan hewan percobaan dilakukan dengan
cara kimia atau cara fisika.
a. Mencit
Cara kimia dengan menggunakan eter atau pentobarbital natrium pada dosis
mematikan.
Cara fisik dilakukan dengan dislokasi leher.
Proses dislokasi dilakukan dengan cara sbb :
Ekor mencit di pegang kemudian ditempatkan pada permukaan yang bisa
dijangkau (ram kawat penutup kandang) dengan begitu mencit akan meregangkan
badannya kemudian pada tengkuk ditempatkan suatu penahan misalnya, pensil
atau batang logam yang dipegang dengan tangan kiri kemudian bagian ekor
ditarik keras dengan tangan kanan sehingga lehernya akan terdislokasi dan mencit
akan terbunuh.
b. Tikus
Cara kimia dengan menggunakan eter atau pentobarbital natrium pada dosis
mematikan.
Cara fisik dilakukan dengan dislokasi leher.
Tikus diletakkan di atas kain, kemudian badan tikus dibungkus dan kedua kaki
depannya ikut terbungkus dengan kain kemudian dipukul bagian belakang telinga
dengan tongkat atau tikus dipegang dengan perut menghadap ke atas kemudian
bagian belakang kepala dipukul keras pada permukaan yang keras pada meja atau
14
ekor tikus dipegang lalu diayunkan sampai tengkuknya terkena permukaan benda
keras seperti bagian pinggir meja.
c. Kelinci
Cara kimia dengan menggunakan eter atau pentobarbital natrium pada dosis
mematikan secara intra vena.
Cara fisik dilakukan dengan proses sbb :
Kaki belakang kelinci dipegang dengan tangan kiri sehingga badan dan kepala
tergantung ke bawah menghadap ke kiri kemudian sisi telapak tangan kanan
dipukulkan keras pada tengkuk kelinci dengan tongkat.

15
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah di bidang kedokteran atau


biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan
keselamatan manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki,yang dihasilkan oleh
Sidang Kesehatan Dunia ke-16 di Helsinki, Finlandia, pada tahun 1964.
Deklarasi tersebut merupakan rekomendasi kepada penelitian kedokteran, yaitu
tentang segi etik penelitian yang melibatkan manusia sebagai obyek penelitian. Disebutkan,
perlunya dilakukan percobaan pada hewan sebelum percobaan di bidang biomedis maupun
riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia.
Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis/ keturunan dan lingkungan yang
memadai dalam pengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh,
serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia.
(Sulaksono, M.E., 1987)
Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor
keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik
hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu :
1. Hewan liar.
2. Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.
3. Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan
sistim barrier (tertutup).
4. Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara
dengan sistem isolator. Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut
di atas disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yang akan dilakukan.
Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempurna pula hasil percobaan
yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan terhadap
hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan
percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman. (Sulaksonono,
M.E., 1987)

16
Jenis-jenis Hewan percobaan:
No Jenis hewan percobaan Spesies
1. Mencit (Laboratory mince) Mus musculus
2. Tikus (Laboratory Rat) Rattus norvegicus
3. Golden (Syrian) Haruster Mescoricetus auratus
4. Chinese Haruster Cricetulus griseus
5. Marmut Cavia porcellus (Cavia cobaya)
6. Kelinci Oryctolagus cuniculus
7. Mongolian gerbil Meriones unguiculatus
8. Forret Mustela putorius furo
9. Tikus kapas (cotton rat) Sigmodon hispidus
10. Anjing Canis familiaris
11. Kucing Fells catus
12. Kera ekor panjang (Cynomolgus) Macaca fascicularis (Macaca irus)
13. Barak Macaca nemestrina
14. Lutung/monyet daun Presbytis ctistata
15. Kera rhesus Macaca mulata
16. Chimpanzee Pan troglodytes
17. Kera Sulawesi Macaca nigra
18. Babi Sus scrofa domestica
19. Ayam Gallus domesticus
20. Burung dara Columba livia domestica
21. Katak Rana sp.
22. Salamander Hynobius sp.
23. Lain-lain

Tabel 1. Jenis-Jenis Hewan Percobaan


(Sulaksonono, M.E., 1987)
Pada percobaan kali ini praktikan menggunakan hewan percobaan mencit, tikus,
kelinci, dan marmot. Tetapi yang benar-benar dilakukan untuk percobaan adalah mencit
saja. Hewan-hewan tersebut dapat digunakan sebagai hewan percobaan untuk praktikum
farmakologi ini karena struktur dan sistem organ yang ada di dalam tubuhnya hampir mirip

17
dengan struktur organ yang ada di dalam tubuh manusia. Sehingga hewan-hewan tersebut
biasa digunakan untuk uji praklinis sebelum nantinya akan dilakukan uji klinis yang
dilakukan langsung terhadap manusia.
Sebelum melakukan percobaan, terlebih dahulu praktikan harus mengetahui volume
pemberian obat pada hewan percobaan. Volume cairan yang diberikan pada setiap jenis
hewan percobaan tidak boleh melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan. Karena kalau
melebihi batas maksimal kemungkinan hewan percobaan akan mengalami efek
farmakologis yang dapat membahayakannya. Berikut adalah daftar volume maksimal
pemberian obat.
Jenis hewan dan Cara pemberian dan volume maksimum dalam mililiter
BB i.v i.m i.p s.c p.o
Mencit (20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0
Tikus (100 g) 1,0 0,1 2,0-5,0 2,0-5,0 5,0
Hamster (50 g) - 0,1 1,0-5,0 2,5 2,5
Marmut (250 g) - 0,25 2,0-5,0 5,0 10,0
Merpati (300 g) 2,0 0,5 2,0 2,0 10,0
Kelinci (2,5 kg) 5,0-10,0 0,5 10,0-20,0 5,0-10,0 20,0
Kucing (3 kg) 5,0-10,0 1,0 10,0-20,0 5,0-10,0 50,0
Anjing (5 kg) 10,0-20,0 5,0 20,0-50,00 10,0 100,0

Tabel 2. Volume Maksimal Cairan yang Boleh Diberikan pada Hewan


Percobaan
Keterangan : didistribusikan kedaerah yang lebih luas
BB = bobot badan
i.v = Intra Vena
i.m = Intra Muscular
i.p = Intra Peritoneal
s.c = Sub Kutan
p.o = Per Oral
Untuk bahan senyawa aktif yang tidak larut air dapat diberikan dalam bentuk suspensi
menggunakan gom sebagai suspensi dan dapat diberikan secara oral atau intraperitoneal.

18
Untuk memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu obat pada spesies hewan
percobaan, diperlukan data penggunaan dosis dengan menggunakan perbandingan luas
permukaan tubuh setiap spesies.
Perbandingan Luas Permukaan Tubuh Hewan Percobaan
(Untuk Konversi Dosis)
Hewan Mencit Tikus Marmut Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
dan BB 20 g 200 g 400 g 1,5 kg 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg
rata-rata
Mencit 1,0 7,0 12,29 27,8 28,7 64,1 124,2 387,9
20 g
Mencit 0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 60,5
20 g
Marmut 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
400 g
Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 1,06 2,4 4,5 14,2
1,5 kg
Kucing 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
2 kg
Kera 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
4 kg
Anjing 0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
12 kg
Manusia 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,76 0,16 0,32 1,0
70 kg

Tabel 3. Perbandingan Luas Permukaan Tubuh Hewan Percobaan


(Untuk Konversi Dosis)
(Anonim, 2010)
Cara mempergunakan tabel :
Bila diinginkan dosis absolute pada manusia dengan BB 70 kg dari data dosis pada
anjing 10 mg/kg (untuk anjing dengan bobot 12 kg), maka lebih dahulu dihitung dosis
absolute pada anjing, yaitu (10 × 12) mg = 120 mg.

19
Dengan mengambil factor konversi 3,1 dari table diperoleh dosis untuk manusia = (120 ×
3,1) mg = 372 mg.
Dengan demikian dapat diramalkan efek farmakologis suatu obat yang timbul pada
manusia dengan dosis 382 mg / 70 kg BB adalah sama dengan yang timbul pada anjing
dengan dosis 120 mg/ 12 kg BB, dari obat yang sama.
Pada hewan percobaan ini ada faktor-faktor yang dapat memperngaruhi hasil
percobaan, yaitu faktor internal dan eksternal.
1. Faktor internal
Faktor internal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara lain adalah
variasi biologik (usia, jenis kelamin), ras dan sifat genetik, status kesehatan dan
nutrisi, bobot tubuh, dan luas permukaan.
Usia dan jenis kelamin berpengaruh pada hasil percobaan karena pada usia
yang tepat pada fase hidup hewan tersebut, efek farmakologi yang dihasilkan akan
lebih baik. Beda hasilnya jika usia hewan tersebut masih bayi. Jenis kelamin juga
berpengaruh di lihat dari literature bobot badan hewan akan berbeda. Hal ini
berpengaruh pada dosis yang akan di gunakan pada hewan percobaan tersebut.
Begitu juga dengan ras dan sifat genetik, berpengaruh karena jika
menggunakan hewan percobaan dengan ras dan sifat genetik yang berbeda-beda,
maka hasil percobaannya juga akan berbeda. Hal ini karena gen pada setiap
individu berbeda. Dengan gen yang berbeda-beda dan karakteristik yang berbeda
pula, maka masing-masing memiliki perbedaan dalam perilaku, kemampuan
imunologis, infeksi penyakit, kemampuan dalam memberikan reaksi terhadap obat,
kemampuan reproduksi dan lain sebagainya.
Status kesehatan dan nutrisi berpengaruh terhadap hasil percobaan karena efek
yang dihasilkan dalam dosis akan cepat diserap oleh tubuh dan berlangsung cepat
efek yang di hasilkan.
Selain itu, bobot tubuh dan luas permukaan tubuh juga berpengaruh dalam
hasil percobaan. Bobot dan luas permukaan tubuh hewan yang besar akan lebih
membutuhkan lebih banyak dosis dibandingkan dengan yang memiliki bobot dan
luas permukaan tubuh yang kecil untuk mendapatkan data kuantitatif yang akurat
pada efek farmakologis yang terjadi.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara lain adalah
pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana asing atau baru,
20
pengalaman hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruangan tempat hidup seperti
suhu, kelembaban udara, ventilasi, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan),
suplai oksigen, pemeliharaan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau
organ untuk percobaan.
Meningkatnya kejadian penyakit infeksi pada hewan percobaan, disebabkan
karena kondisi lingkungan yang jelek di mana hewan itu tinggal. Maka dengan
meningkatnya kejadian penyakit infeksi dan disertai dengan keadaan nutrisi yang
jelek pula, akan berakibat resistensi tubuh menurun, sehingga akan berpengaruh
terhadap hasil suatu percobaan.
Jadi, untuk menghasilkan hasil percobaan yang baik, faktor eksternal tersebut
harus disesuaikan dengan karakteristik hewan percobaan agar hewan tersebut tidak
stres. Karena kalau hewan tersebut stres akan menghambat percobaan.

Gambar 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi pada Hewan Percobaan


(Sulaksonono, M.E., 1992)
Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara keseluruhan, cara
memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara
memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan
ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya.
21
Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa
sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau
pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya. (Sulaksono,
M.E., 1992)
a. Mencit
Mencit adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan di dalam
laboratorium farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah
ditangani dan bersifat penakut, fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan
bersembunyi. Aktivitasnya di malam hari lebih aktif. Kehadiran manusia akan
mengurangi aktivitasnya
Mencit dapat dipegang dengan memegang ujung ekornya dengan tangan
kanan, Biarkan menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang).
Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuknya
seerat / setegang mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari
kelingking dan jari manis tangan kiri. Dengan demikian, mencit telah terpegang
oleh tangan kiri dan siap untuk diberi perlakuan.
Jika cara penanganan mencit tidak sesuai, biasanya mencit akan buang air
besar atau buang air kecil. Hal ini terjadi karena mencit merasa stres dan ketakutan.
Selain itu, juga merupakan pertahanan diri untuk melindungi dirinya dengan
mengeluarkan fesesnya. Begitu juga apabila hewan-hewan lain seperti tikus,
kelinci, dan marmut akan melakukan hal yang sama jika mereka merasa terancam.
b. Tikus
Tikus berukuran lebih besar daripada mencit dan lebih cerdas. Umumnya tikus
putih ini tenang dan demikian mudah digarap. Tidak begitu bersifat fotofobik dan
tidak begitu cenderung berkumpul sesamanya seperti mencit. Aktivitasnya tidak
begitu terganggu oleh kehadiran manusia di sekitarnya. Bila diperlakukan kasar
atau mengalami defisiensi makanan, tikus akan menjadi galak dan sering dapat
menyerang si pemegang.
Seperti halnya pada mencit, tikus dapat ditangani dengan memegang ekornya
dengan menarik ekornya bagian pangkal, biarkan kaki tikus mencengkeram alas
yang kasar (kawat kandang), kemudian secara hati–hati luncurkan tangan kiri dari
belakang ke arah kepalanya seperti pada mencit tetapi dengan kelima jari, kulit
tengkuk dicengkeram. Cara lain yaitu selipkan ibu jari dan telunjuk menjepit kaki
kanan depan tikus sedangkan kaki kiri depan tikus di antara jari tengah dan jari
22
manis. Dengan demikian tikus akan terpegang dengan kepalanya di antara jari
telunjuk dan jari tengah. Pemegangan tikus ini dilakukan dengan tangan kiri
sehingga tangan kanan kita dapat melakukan perlakuan.
c. Kelinci
Kelinci jarang sekali bersuara kecuali bila dalam keadaan nyeri yang luar
biasa. Kelinci cenderung berontak bila merasa terganggu. Kelinci hendaklah
diperlakukan dengan halus namun sigap karena ia cenderung berontak. Hewan ini
dapat ditangkap dengan memegang kulit pada tengkuknya dengan tangan kiri
kemudian pantatnya diangkat dengan tangan kanan dan didekapkan ke badan.
Untuk perlakuan tertentu dapat digunakan kotak / kandang individual kelinci
yang dapat menjaga kelinci agar tak dapat banyak bergerak (restriction box).

Cara Pemberian Obat pada kelinci


a. Mencit
 Oral
Pemberian secara oral pada mencit dilakukan dengan alat suntik yang
dilengkapi jarum oral atau sonde oral (berujung tumpul). Hal ini untuk
meminimalisir terjadinya luka atau cedera ketika hewan uji akan diberikan
sedian uji. Sonde oral ini dimasukkan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan
diluncurkan melalui langit-langit ke arah belakang sampai esophagus kemudian
masuk ke dalam lambung. Perlu diperhatikan bahwa cara peluncuran/pemasukan
sonde yang mulus disertai pengeluaran cairan sediaannya yang mudah adalah
cara pemberian yang benar. Sebaiknya sebelum memasukan sonde oral, posisi
kepala mencit adalah menengadah dan mulutnya terbuka sedikit, sehingga sonde
oral akan masuk secara lurus ke dalam tubuh mencit. Cara pemberian yang
keliru, masuk ke dalam saluran pernafasan atau paru-paru dapat menyebabkan
gangguan pernafasan dan kematian.
Praktikan dapat mengetahui pemberian obat secara oral ini berhasil atau
tidak. Hal ini dapat dilihat dari cairan yang dimasukan tersebut. Bila dari hidung
hewan uji keluar cairan seperti yang kita berikan menunjukkan adanya
kesalahan dalam proses pemberian. Sedangkan bila berhasil, maka tidak akan
terjadi apa-apa.

23
Gambar 2. Cara Memberikan Obat Secara Oral
(Agiel, 2010)
 Subkutan
Injeksi subkutan (SC) atau pemberian obat melalui bawah kulit, hanya boleh
digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Penyuntikkan
dilakukan di bawah kulit pada daerah kulit tengkuk dicubit di antara jempol dan
telunjuk. Bersihkan area kulit yang mau disuntik dengan alkohol 70 %.
Masukkan jarum suntik secara paralel dari arah depan menembus kulit.
Diusahakan dilakukan dengan cepat untuk menghindari pendarahan yang terjadi
karena pergerakan kepala dari mencit. Pemberian obat ini berhasil jika jarum
suntik telah melewati kulit dan pada saat alat suntik ditekan, cairan yang berada
di dalamnya dengan cepat masuk ke daerah bawah kulit.

Gambar 3. Cara Memberikan Obat Secara Subkutan


(Agiel, 2010)
 Intravena
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor. Hewan dimasukkan ke dalam
kandang individual yang sempit dengan ekor dapat menjulang ke luar. Untuk
memudahkan penyuntikan, dapat dilakukan dengan pemanasan di bawah lampu
atau dengan air hangat untuk dilatasi vena.

24
Pada saat melakukan injeksi, di dalam alat suntik tidak boleh ada udara. Karena
jika di dalamnya ada udara, pada saat dimasukan ke dalam vena ekor, vena akan
rusak dan tidak stabil serta ekor akan menggelembung. Untuk
menanggulanginya keluarkan jarum dan masukkan kembali itu sedikit di atas
awal injeksi. Jika pemberian obat secara intravena berhasil dengan posisi yang
benar, maka akan terlihat pada vena jarum warnanya menjadi pucat.

Gambar 4. Cara Memberikan Obat Secara Intravena


(Agiel, 2010)
 Intramuskular
Penyuntikan dilakukan ke dalam otot pada daerah otot paha.

Gambar 5. Cara Memberikan Obat Secara Intramuskular


(Agiel, 2010)
 Intraperitonial
Mencit dipegang pada kulit punggungnya sehingga kulit abdomennya tegang,
kemudian jarum disuntikkkan dengan membentuk sudut 10° dengan abdomen
pada bagian tepi abdomen dan tidak terlalu ke arah kepala untuk menghindari
terkenanya kandung kemih dan hati. (Sukati, 2010)

25
Gambar 6. Cara Memberikan Obat Secara Intraperitoneal
(Agiel, 2010)

b. Tikus
Cara-cara pemberian oral, intraperitoneal, subkutan, intramuskular, dan
intravena dapat dilakukan seperti pada mencit. Penyuntikan subkutan dapat
dilakukan pula pada daerah kulit abdomen. Tetapi penyuntikan secara intravena
lebih mudah dilakukan pada vena penis tikus jantan dengan bantuan pembiusan
hewan percobaan. Karena vena penis tikus lebih terlihat dibandingkan dengan vena
ekor tikus.
c. Kelinci
 Oral
Pemberian obat dengan cara oral pada kelinci jarang dilakukan. Tetapi bila
dilakukan biasanya menggunakan alat penahan rahang dan pipa lambung.
 Subkutan
Cara pemberian ini dilakukan di bawah kulit di daerah tengkuk atau daerah
sisi pinggang. Cara pemberian dilakukan dengan mengangkat kulit dan
kemudian jarum ditusukkan ke bawah kulit.
 Intravena
Dilakukan pada vena marginalis telinga dan penyuntikan dilakukan pada
daerah dekat ujung telinga. Untuk memperluas vena (mendilatasi vena), telinga
diulas terlebih dahulu dengan air hangat atau alkohol. Pencukuran bulu bila
perlu dapat dilakukan terutama pada hewan yang bulunya berwarna.
 Intramuskular :Dilakukan pada otot kaki belakang.
 Intraperitoneal
Kelinci dipegang menggantung pada kaki belakangnya sehingga perut maju
ke depan. Penyuntikan dapat dilakukan pada daerah garis tengah di muka
kandung kemih. (Sukati, 2010)

26
BAB V
PENUTUP

Dari percobaan praktikum ini dapat diambil kesimpulan, diantaranya :


1. Cara handling tikus dan mencit
Mula-mula hewan coba Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan
kaki depan terpaut pada kawat kasa kandang. Kulit kepala dipegang sejajar dengan
telinga hewan coba dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri. Ekor
dijepit dari pada jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan
sempurna. Hewan coba siap untuk diberikan perlakuan.
2. Pemberian obat pada hewan coba mencit dan tikus dilakukan dengan cara per oral,
intra peritonial, intra vena, subkutan, dan intra muscular.
3. Pemberian perlakuan pada hewan coba mencit dan tikus dilakukan mula-mula
dengan cara handling yang benar kemudian diberikan perlakuan sesuai prosedur
yang ditentukan.

27
DAFTAR PUSTAKA

Malole, M.M.B, Pramono. 1989. Penggunaan Hewan – Hewan Percobaan Laboratorium. Bogor :
IPB. DitJen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi.

Nazir M. 1988. Metode Penelitian Edisi ke-3. Jakarta : Ghalia Indonesia.


Sulistia G.G. 2017. Farmakologi dan Terapi edisi 6. Departemen Farmakologi dan terapi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

28
PERTEMUAN MINGGU KEDUA

29 JULI 2018

EKSPERIMEN DASAR

(PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP OBAT SEDATIF & HIPNOTIK)

29
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mencit merupakan hewan yang sudah tidak asing lagi bagi manusia. Tetapi sebagian
besar manusia bahkan dikalangan mahasiswa pun tidak menegetahui bagaimana cara
memperlakukan mencit dengan benar. Oleh karena itu dilakukanlah suatu percobaan, yang
dimana percobaan ini mengenai “bagaimana pemberian obat pada hewan” dalam hal ini
hewan uji yang digunakan adalah mencit. Karena mencit merupakan tikus rumah yang
mudah ditangani dan memiliki sifat penakut atau fotofobik, sedangkan tikus tidak bersifat
fotofobik, lebih resisten terhadap infeksi, dan jika merasa tidak aman akan menjadi liar dan
galak, kemudian tikus jika menggigit sangat dalam dan gigitannya sulit dilepaskan.

Dalam memilih hewan uji, sebelumnya kita harus mengetahui bagaimana cara
memperlakukan mencit dengan benar, harus mengetahui sifat-sifat hewan yang akan
diujikan, serta bagaimana cara memberikan obat kepada hewan tersebut. Pada praktikum
kali ini, hewan yang akan dijadikan percobaan adalah mencit (Mus musculus), kita akan
mempraktikkan bagaimana cara pemberian obat yang benar pada mencit dengan beberapa
cara. Oleh karena itu, kita melakuakn percobaan ini agar kita dapat mengetahui bagaimana
cara pemberian obat pada hewan uji dengan benar.

1.2 Tujuan Praktikum


Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa dapat :
1. Melakukan cara pemberian obat melalui rute pemberian pada mencit
2. Mengamati pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul
3. Mengetahui respon sedasi pada mencit
4. Memahami awal mula kerja dan durasi efek sedasi

30
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar

Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu faktnr yang
mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia
yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah
suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di
lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat
mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute
pemberian obat (Katzug, B.G, 1989).
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta
kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam
rute
g. Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat
yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek
terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik.
Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah,
sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief,
1990).
Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal
b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan
c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.
Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:
a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga
b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru

31
c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran
kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan atau larut
dalam cairan badan
Rute penggunaan obat dapat dengan cara:
a. Melalui rute oral
b. Melalui rute parenteral
c. Melalui rute inhalasi
d. Melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya
e. Melalui rute kulit (Anief, 1990).
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur)
dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan, dan
intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara
parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan intraseberal, tidak
melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian
menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung
dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam
menentukan aktifitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses
penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan (
Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang
kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model atau
sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu, antara lain
persyaratan genetis / keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya,
disamping factor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi
biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).
Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui.
Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan
ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan
dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan
(ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya)
dan juga bagi orang yang memegangnya (Katzug, B.G, 1989).
Righting efek adalah refleks mencit yng apabila tubuhnya dibalik dan berada pada
posisi terlentang, makan akan kembali tertelengkup.

32
Onset kerja adalah mula kerja obat (diamati waktu antara pemberian obat sampai
hilangnya righting refleks hingga tidur)
Durasi kerja adalah lama kerja obat (diamati waktu antara hilangnya refleks hingga
tidur, sampai kembalinya efek tersebut)

33
BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


 Alat yang digunakan :
Spuit 1 ml
Jarum sonde oral
Bejana pngamatan
Timbangan hewan
Stopwatch
Kandang restriksi
Koran
Sarung tangan
Masker muka
Kapas
Spidol
beackerglass
 Bahan yang digunakan :
a. Diazepam 5mg/ 70 kgBB manusia
 Hewan percobaan
a. Mencit putih jantan 5 ekor (20-30 g)

3.2. Prosedur Kerja

a. Pemberian secara oral


1. Ambil tikus jantan putih
2. Siapkan Sonde
3. Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum sonde yang telah dipasang pada
alat suntik berisi Phenobarbital, diselipkan dekat langit – langit tikus dan
diluncurkan masuk ke esofagus. Larutan diberikan dengan menekan spuit
pendorong sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum oral tidak
melukai esofagus.
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

34
b. Pemberian secara intra peritoneal
1. Ambil tikus putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian sehingga posisi abdomen
lebih tinggi dari kepala, larutan oral obat disuntikkan pada bagian perut
sebalah kanan bawah tepat dibawah jantung diatas rongga hati.
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

c. Pemberian secara intramuscular


1. Ambil tikus putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Suntikkan pada bagian paha tikus
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

d. Pemberian secara subkutan


1. Ambil tikus putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Lalu suntikkan dilakukan dibawah kulit tengkuk
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya
e. Pemberian secara intravena
1. Ambil tikus putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Tikus dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya
keluar sebelum disuntikkan. Sebaiknya pembuluh balik vena pada ekor
didilatasi dengan penghangatan atau pengolesan memakai pelarut organik
seperti alkohol. Penyuntikkan dimulai dari bagian distal ekor.
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya
3.3. Perhitungan Dosis

Dengan obat diazepam yang mengandung 5mg/1ml (sudah diencerkan 20x nya)

Dikonversi terlebih dahulu dosis nya berdasarkan perbandingan luas permukaan tubuh
hewan coba

35
Konversi = Mencit ke Manusia 0,0026

Jadi, konversi = 0,0026 x 5 mg = 0,013 mg

1. Mencit I
Dengan BB 35 gram dan disuntikan secara Intra Muscular

Jadi ,013 mg = x 20 = 0,091ml

2. Mencit II
Dengan BB 31 gram dan disuntikan secara Sub Cutan
Jadi ,013 mg = x 20 = 0,0806 ml

3. Mencit III
Dengan BB 25 gram dan disuntikan secara Sub Cutan secara IP

Jadi ,013 mg = x 20 = 0,065 ml

4. Mencit IV
Dengan BB 37 gram dan disuntikan secara IV

Jadi ,013 mg = x 20 = 0,0962 ml

5. Mencit V
Dengan BB 28 gram dan disuntikan secara Per Oral
Jadi ,013 mg = x 20 = 0,0728 ml

36
BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan

Hewan percobaan : mencit putih jantan

Obat : Diazepam 50mg/ 70kgBB manusia

Hewan Cara Pemberian Dosis

Mencit ke-1 IM 0,091 ml


Mencit ke-2 SC 0,080 ml
Mencit ke-3 IP 0,065 ml
Mencit ke-4 IV 0,0962 ml
Mencit ke-5 PO 0,0728 ml

Pengamatan (menit) Onset


Kerja Duras
Hewa Nama Rut Waktu Waktu
Waktu Obat i
n Obat e Hilang Kembali
pemberia (menit Kerja
Righting Righting
n )
Refleks Refleks
Diazepa
m 50mg/
Mencit 70kgBB PO 14.38 15.2O 16.2O 42 60

manusia

Diazepa
m 50mg/
Mencit 70kgBB SC 14.43 15.33 16.2O 50 70

manusia

37
Diazepa
m 50mg/
Mencit 70kgBB IV 15.01 15.31 16.02 20 31

manusia

Diazepa
m 50mg/
Mencit 70kgBB IP 14.43 15.17 16.2O 34 63

manusia

Diazepa
m 50mg/
Mencit 70kgBB IM 14,43 15.16 16.2O 35 62

manusia

4.2 Pembahasan

Praktikum kali ini mempalajari tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap
absorpsi obat dalam tubuh (dalam hal ini pada tubuh hewan uji). Mencit dipilih sebagai
hewan uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat
cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan.
Diazepam termasuk kedalam obat benzodiazepine yang mempengaruhi sistem otam
dan memberikan efek penenang serta bekerja pada sistem GABA. Dengan adanya interaksi
benzodiazepin afinitas GABA terhadap reseptornya meningkat dan kerja GABA pun
meningkat. Pada obat diazepam obat akan mulai bekerja dimana mencit mulai kehilanagan
righting efek dan refleks balik badan .
Dari data yang didapatkan tentang perbandingan rute pemberian obat terhadap
efektifitasnya, menunjukkan bahwa rute pemberian melalui intravena adalah yang paling
cepat, yaitu didapatkan hasil rata-rata membutuhkan waktu 20 – 31 menit. Karena dengan
cara intravena obat dapat langsung berada pada perdaran darah tanpa perlu mengalami
proses bseorbsi . Sedangkan onset yang paling lama tercapai adalah melalui subcutan yang
didapatkan hasil sekitar 35 – 57 menit. Bila diurutkan berdasrkan onset dan durasi paling
cepat sampai lambat dimulai dari Intravena – Intaperitoneal – Peroral – Intramuscular –
Subcutan . tetapi secara literatur rute yang paling cepat hingga lama dapat diurutkan dari
38
Intravena – Intraperitoneal – IntraMuskular – Subcutan – Peroral. Tetapi pada pengujian ini
tidak sesuai dengan literatur, kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yang
mempengaruhi terhadap proses pemberian obat diantaranya : bentuk sediaan, sifat fisika
kimia obat, maupun faktor bilogis. Adapun faktor-faktor lain sehingga tidak sesuai dengan
literatur, diantaranya :
1. Pengmbilan obat dengan spuit volumenya kujrang tepat, sehingga dosis obat
yang diambil tidak sesuai dengan yang dibutuhkan
2. Pada saat pemberian subcutan obat tidak masuk semua
3. Pemberian secara kasar dapat membuat mencit pun stres

39
BAB V
PENUTUP

Dari percobaan praktikum ini dapat diambil kesimpulan, diantaranya :


1. Rute pemberian obat pada mencit ada 5 yaitu Intravena, intraperitoneal,
intramuscular, sub cutan, maupun Peroral
2. Pada percobaan ini dikeahui bahwa pemberian secara intrvena menghasilkan efek
yang paling cepat dengan yang lainnya karena obat tidak perlu mengalami absrobsi
dan masuk langsunng kedalam pembuluh darah.
3. Masing-masing pemberian obat memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing
seperti penggunaaan secara oral dapat digunakan dimana saja dan oleh siapa saja
tanpa menggunakan tenanga ahli, sedangkan iv dan im memberiakan efek yang cepat
namun harus dengan tenaga ahli.

40
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh., 1990, Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan, Gadjah Mada University Press, D.I
Yogayakarta.
Ansel, Howard.C., 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas Indonesia Press, Jakarta
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit Falkultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Joenoes, Z. N., 2002, Ars Prescribendi, Jilid 3, Airlangga University Press, Surabaya.
Katzung, Bertram G., Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta.

41
PERTEMUAN MINGGU KEDUA

29 JULI 2018

EKSPERIMEN DASAR

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEK FARMAKOLOGI

(VARIASI BIOLOGIS)

42
BAB I
PENDAHAULUAN

1.1 Latar Belakang


Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan
oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan
metabolisme dapat menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan
metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan
kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat,
dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan
menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak
efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain
faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin,
perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim metabolisme dan faktor-
faktor lain.

1.2 Tujuan Percobaan


Untuk mengetahui pengaruh variasi biologi terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan dengan rute pemberian intraperitoneal

1.3 Prinsip Percobaan

Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada
tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi biologi yang mempengaruhi respons
tubuh terhadap obat.

43
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat sebagai berikut :

1. Faktor Genetik atau Keturunan

Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang


terjadi dalam kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan
ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat. Contoh :
Metabolisme isoniazid, suatu bentuk antituberkulosis, terutama melalui n-asetilasi.
Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid menunjukkan bahwa ada perbedaan
kemampuan asetilasi dari individu-individu. Orang Jepang dan Eskimo merupakan
asetilator cepat, sedang orang Eropa Timur dan Mesir adalah asetilator lambat.
Waktu paruh isoniazid pada asetilator cepat bervariasi antara 45-80 menit, dan pada
asetilator lambat antara 140-200 menit. Reaksi asetilasi melibatkan perpindahan
gugus asetil dan dikatalisis oleh enzim N-asetil transferase. Asetilator cepat
mempunyai enzim N-asetil transferase yang jauh lebih besar dibanding asetilator
lambat. Aktifitas antituberkulosis isoniazid sangat tergantung pada kecepatan
asetilasinya. Pada asetilator cepat, isoniazid cepat diekskresikan dalam bentuk
asetilisoniazid yang tidak aktif, sehingga obat mempunyai masa kerja pendek dan
memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar. Pada asetilator lambat,
kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki lebih besar, misalnya
neuritis perifer. Hidralazin, Prokainamid dan Dapson juga menunjukkan asetilasi
yang berbeda secara genetik. Factor genetik juga berpengaruh ternadap kecepatan
oksidasi dari fenitoin, fenilbutazon, dan nortriptilin.

2. Perbedaan Spesies dan Galur

Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan
galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang perbedaan yang
cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies
dan galur terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe reaksi

44
metabolik atau pebedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan
kuantitatif.

Contoh : Fenilasetat, pada manusia terkonjugasi dengan glisin dan glutamine,


sedang pada kelinci dan tikus terkonjugasi pada glisin saja. Asam benzoate, pada
bebek diekskresikan sebagai asam orniturat, sedangkan pada anjing diekskresikan
sebagai asam hipurat. Amfetamin, pada manusia, kelinci dan marmot mengalami
deaminasi oksidatif, sedangkan pada tikus mengalami hidroksilasi aromatik. Fenol,
pada kucing terkonjugasi dengan sulfat, sedangkan pada babi terkonjugasi dengan
asam glukuronat, karena kucing mengandung lebih sedikit enzim glukuronil
transferase. Fenitoin, pada manusia mengalami oksidasi aromatik menghasilkan S(-)-
orto-hidroksifenitoin.

3. Perbedaan Jenis Kelamin

Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin


terhadap kecepatan metabolisme obat. Banyak obat dimetabolisis dengan kecepatan
yang sama baik pada tikus betina maupun tikus jantan. Tikus betina dewasa ternyata
memetabolisis beberapa obat dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding tikus
jantan. Contoh : N-demetilasi aminopirin, oksidasi heksobarbital, dan glukuronidasi
O-aminofenol. Hal ini menunjukkan bahwa selain perbedaan jenis kelamin,
metabolisme juga tergantung pada macam substrat.

Studi efek hormon androgen, seperti testosteron, pada sistem mikrosom hati
menunjukkan bahwa rangsangan enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata
berhubungan dengan aktivitas anabolik dan tidak berhubungan dengan efek
androgenik. Pada manusia baru sedikit yang diketehui tentang adanya pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap proses metabolisme obat.

Contoh : nikotin dan asetosal dimetabolisis secara berbeda pada pria dan wanita.

4. Perbedaan Umur

Bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati
yang diperlukan untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga peka
terhadap obat. Contoh pengaruh umur terhadap metabolisme obat : Heksobarbital,
bila diberikan pada tikus yang baru lahir dengan dosis 10 mg/kg berat badan,

45
menyebabkan tikus tertidur selama 6 jam, sedang pada pemberian dengan dosis yang
sama pada tikus dewasa hanya menyebabkan tertidur kurang dari lima menit.
Tolbutamid, pada bayi yang baru lahir mempunyai waktu paruh enam jam, sedang
pada orang dewasa delapan jam. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk
metabolisme oksidatif masih rendah. Kloramfenikol, pemberian pada bayi yang baru
lahir dapat menimbulkan sindrom bayi kelabu. Hal ini disebabkan bayi mengandung
enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga kemampuan
memetabolisis kloramfenikol rendah, akibatnya terjadi penumpukan obat pada
jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Bayi yang baru lahir
mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relative sedikit.
Pemberian turunan salisilat, kloramfenikol, dan klorpromazin dapat menimbulkan
neonatal hyperbilirubinemia (kern ichterus). Hal ini disebabkan terjadi kompetisi
pada proses konjugasi antara bilirubin, suatu senyawa endogen hasil pemecahan
hemoglobin dengan obat-obat di atas, sehingga bilirubin yang tak termetabolisis
terkumpul pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan.

5. Penghambatan enzim Metabolisme

Kadang-kadang, pemberian terlebih dahulu atau secara bersam-sama suatu


senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan
intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga
meningkatkan efek samping dan toksisitas.

Contoh : Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida,dan fenilbutazon, dapat


menghambat enzim-enzim yang memetabolisis tolbutamid dan klorpropamid,
sehingga menyebabkan kenaikan respon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol, dan
isonizid, dapat menghambat enzim metabolisme dari fenitoin, sulfonamida,
sikloserin, dan para-amino salisilat, sehingga kadar obat dalam serum darah
meningkat dan meningkat pula toksisitasnya. Fenilbutazon, secara stereoselektif
dapat menghambat metabolisme (S)-warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas
antikoagulannya (hipoprotrombonemi). Bila luka, terjadi perdarahan yang hebat.

6. Induksi enzim metabolism

Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu


senyawa obat dapat meningkatkan aktivitas atau jumlah enzim metabolisme dan

46
bukan karena perubahan permeabilitas mikrosom atau oleh adanya reaksi
penghambatan. Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau
prases induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar
obat bebas dalam plasma, sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa
kerjanya menjadi lebih singkat. Contoh : Fenobarbital, dapat menginduksi enzim
mikrosom sehingga meningkatkan metabolisme warfarin dan menurunkan efek
antikoagulannya. Oleh karena itu, penderita yang diobati dengan warfarin dan
akan diberi fenobarbital, maka dosis warfarin harus disesuaikan (diperbesar).
Rokok mengandung polisiklik aromatik hidrokarbon, seperti benzo(a)piren, yang
dapat menginduksi enzim mikrosom, yaitu sitokrom P-450, sehingga
meningkatkan oksidasi dari beberapa obat seperti teofilin, fenasetin, pentazosin,
dan profoksifen. Contoh : waktu paruh teofilin pada perokok = 4,1 jam, sedang
pada orang yang tidak merokok = 7,2 jam. Fenobarbital, dapat meningkatkan
metabolisme griseofulvin, kumarin, fenitoin, hidrokortison, testosteron, bilirubin,
asetaminofen, dan obat kontrasepsi oral. Fenitoin, dapat meningkatkan kecepatan
metabolisme kortisol, nortriptilin, dan obat kontrasepsi oral. Fenilbutazon, dapat
meningkatkan metabolisme aminopirin dan kortisol. Induksi enzim juga
mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan metabolisme
dan pembentukan metabolit reaktif. Contoh induksi enzim sitokrom P-450 oleh
fenobarbital akan meningkatkan oksidasi asetaminofen, sehingga pembentukan
metabolit reaktif imidokuinon meningkat dan efek hepatotoksisitasnya menjadi
lebih besar.

7. Faktor Lain-Lain

Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet


makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon,
kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan,
dan keadaan patologis hati, misal kanker hati. (Siswandono, 1995)

 Variasi dalam Kemampuan Merespons Obat

Individu-individu mungkin sangat berbeda dalam kemampuan mereka


merespons suatu obat. Sesungguhnya, respons seorang individu mungkin bebeda
untuk suatu obat. Sesungguhnya, respon seorang individu mungkin bebeda untuk
suatu obat yang sama diberikan pada saat yang berbeda selama masa pengobatan.
47
Kadang-kadang, individu menunjukkan respons obat yang tidak umum atau
respons idiosinkratik obat, suatu hal yang jarang tampak dari sebagian besar
pasien. Respon-respon idiosinkratik biasanya disebabkan oleh perbedaan genetik
dalam metabolisme obat atau oleh mekanisme imunologik, termasuk reaksi-
reaksi alergik.

Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih
penting secara klinik: seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau
hiperaktif terhadap suatu obat dalam hal intensitas efek dari dosis obat yang
diberikan akan menurun atau meningkat bila dibandingkan dengan efek yang
tampak pada mayoritas individu-individu. Kemampuan merespons biasanya
menurun sebagai akibat dari pemberian obat yang terus menerus, sehingga
menmbulkan suatu keadaan toleran yang relative pada efek-efek obat.

Ada empat mekanisme umum yang mungkin menyokong terjadinya


perbedaan terhadap kemampuan merespons obat diantara pasien-pasien atau
dalam ondividu seorang pasien pada waktu yang berbeda.

a. Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor

Dengan mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor-reseptor


yang relevan, perbedaan-perbedaan farmakokinetika yang demikian
kemungkinan mengubah respons klinik. Perbedaan-perbedaan tertentu dapat
diprediksi berdasrkan umur, berat badan, jenis kelamin, keadaan penyakit,
fungsi hati dan ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk
mencari perbedaan-perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan
komplemen tersendiri yang fungsional dari enzim yang memetabolisme obat.

b. Variasi dalam Konsentrasi suatu Ligan Reseptor Endogen

Mekanisme ini sangat menyokong variabilitas terhadap respons-


respons terhadap antagonis-antagonis farmakologik.

c. Perubahan dalam Jumlah Atau Fungsi Reseptor-Reseptor

Kajian-kajian eksperimental telah mendokumentasikan perubahan-perubahan


dalam kemampuan memberi respons obat yang disebabkan oleh peningkatan
atau penurunan jumlah situs reseptor atau oleh perubahan-perubahan efisiensi
48
mekanisme hubungan reseptor-reseptor dengan efektor distal. Dalam
beberapa hal, perubahan jumlah reseptor disebabkan oleh hormon-hormon
lain.
Suatu antagonis mungkin meningkatkan jumlah reseptor-reseptor di dalam
suatu sel atau jaringan yang kritis dengan mencegah down regulation yang
disebabkan oleh agonis endogen. Ketika antagonis tersebut ditarik, jumlah
reseptor yang meningkat dapat menimbulkan respon yang berlebih-lebihan
pada konsentrasi-konsentrasi agonis yang fisiologis. Dalam situasi ini jumlah
reseptor yang diturunkan oleh drug-induced down regulation, adalah terlalu
rendah bagi agonis endogen untuk menimbulkan stimulasi efek.

d. Perubahan-Perubahan dalam Komponen-Komponen Respons Distal dari


Reseptor
Meskipun suatu obat memulai kerjanya dengan terikat pada reseptor-
reseptor, respon yang tampak pada seorang pasien bergantung pada integritas
fungsional proses-proses biokimia di dalam sel yang merespons dan
meregulasi secara fisiologis dengan berinteraksi dengan sistem-sistem organ.
(Bertram G. Katzung,2001)

Faktor-faktor lain

 Interaksi obat

Perubahan respons penderita akibat interaksi obat.

 Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.
Berdasarkan mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi
farmakokinetik dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik
biasanya terjadi karena obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat
merupakan self inducer), misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi
farmakodinamik atau toleransi selular terjadi karena proses adaptasi sel atau
reseptor terhadap obat yang terus menerus berada di lingkungannya. Dalam
hal ini jumlah obat yang mencapai reseptor tidak berkurang tetapi karena
sensitivitas reseptornya berkurang maka responsnya berkurang. Toleransi ini

49
dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat, benzodiazepin, amfetamin dan nitrat
organik.

Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini


terjadi pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung
(misalnya efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.

 Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama
(bioinekivalensi) yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang
berbeda (inekivalensi terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang
sempit, dan obat untuk penyakit yang berbahaya (life-saving drugs),
perbedaan bioavalabilitas antara 10-20% sudah cukup untuk menimbulkan
inekivalensi terapi. Contoh obat yang seringkali menimbulkan masalah
dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin, fenitoin, dikumarol, tolbutamid,
eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.

 Pengaruh lingkungan

Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons penderita


terhadap obat antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan
sosial budaya (makanan, pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik
yang terdapat dalam asap rokok meninduksi sintesis enzim metabolisme
obat-obat tertentu (misalnya teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi
obat-obat tersebut dan dengan demikian mengurangi respons penderita.(
Tanu, 2007;hal 828-829 )

 Plasebo
Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu
sebuah pengobatan tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan
efek yang diinginkan (gambaran gejala suatu penyakit) atau efek yang tidak
diinginkan yang mencerminkan perubahan pada situasi psikologis pasien.
Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien
apakah itu terkait atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu
tentang diagnosis dan tentang nilai terapi yang ditentukan. Dalam
penyembuhan seorang dokter yang merawat haruslah seorang yang ramah,

50
kompeten, dapat dan dipercaya sehingga pasien merasa nyaman dan lebih
semangat sehingga mengoptimalkan proses penyembuhan.

Kondisi fisik menentukan disposisi fisik dan demikian sebaliknya. Kondisi


genting seperti pejuang perang yang terluka, terlupa pada luka-luka mereka
ketika berlangsungnya pertempuran, hanya untuk penglaman sakit parah
pada keselamatan di rumah sakit, atau pasien dengan borok, yang disebabkan
oleh tekanan emosi (stress) (Hinz Lullmann, 2000).

51
BAB III

METODE PERCOBAAN

3.2 Alat dan Bahan


 Alat yang digunakan :
Spuit 1 ml
Jarum sonde oral
Bejana pngamatan
Timbangan hewan
Stopwatch
Kandang restriksi
Koran
Sarung tangan
Masker muka
Kapas
Spidol
beackerglass
 Bahan yang digunakan :
b. Diazepam 5mg/ 70 kgBB manusia
 Hewan percobaan
b. Mencit putih betina 2, jantan 2 ekor (20-30 g)
3.3 Prosedur Kerja
1) Siapkan mencit betina dan jantan masing-masing 2, amati kelakuan
normal masing-masing mencit selama 10 menit
2) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat
3) Suntikan secara IP dengan larutan dazepam 5mg/70kg BB dan catat
waktu pemberiannya
4) Tempatkan mencit kedalam bejana untuk pengamatan
5) Amati selama 45 menit
6) Catat dan tabelkan masing-masing kelompok. Bandingkan hasilnya

3.4 Perhitungan Dosis

Dengan obat diazepam yang mengandung 5mg/1ml (sudah diencerkan 20x nya)

52
Dikonversi terlebih dahulu dosis nya berdasarkan perbandingan luas permukaan tubuh
hewan coba

Konversi = Mencit ke Manusia 0,0026

Jadi, konversi = 0,0026 x 5 mg = 0,013 mg

1. Mencit VI (BETINA)
Dengan BB 29 gram dan disuntikan secara Intraperitoneal
Jadi ,013 mg = x 20 = 0,0754 ml

2. Mencit VII (BETINA)


Dengan BB 36 gram dan disuntikan secara Intraperitoneal
Jadi ,013 mg = x 20 = 0,0936 ml

3. Mencit VIII (JANTAN)


Dengan BB 32 gram dan disuntikan secara Intraperitoneal
Jadi ,013 mg = x 20 = 0,0832 ml

4. Mencit IX (JANTAN)
Dengan BB 31 gram dan disuntikan secara Intraperitoneal
Jadi ,013 mg = x 20 = 0,0806 ml

53
BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan

Hewan coba : Mencit betina dan jantan masing-masing 2 ekor


Obat yang digunakan : Diazepam 5mg/70kgBB manusia secara IP

Tabel Pengamatan

Pengamatan (Waktu/menit)
Onset Durasi
Hilang Kembali
Hewan Obat Rute Pemberian Kerja Kerja
Righting Righting
obat Obat Obat
Refleks Reflex
Diazepam
Mencit 5mg/70kg BB IP 15.11 15.3O 16.2O 20 49
Jantan manusia
Diazepam
Mencit 5mg/70kg BB IP 15.1 15.29 16.2O 19 51
Jantan manusia

Diazepam
Mencit 5mg/70kg BB IP 15.15 15.23 16,20 8 57
Betina manusia
Diazepam
Mencit 5mg/70kg BB IP 15.16 15.3 16.2 14 35
Betina manusia

4.2 Pembahasan

Pada percobaan variasi biologi, dilakukan menggunakan empat mencit(2 jantan dan
2 betina putih). Obat yang digunakan adalah Diazepam dengan dosis 5mg/70kgBB manusia
melalui Interperitonial. Diazepam termasuk kedalam obat benzodiazepine yang
mempengaruhi sistem otam dan memberikan efek penenang serta bekerja pada sistem
GABA. Dengan adanya interaksi benzodiazepin afinitas GABA terhadap reseptornya
54
meningkat dan kerja GABA pun meningkat. Pada obat diazepam obat akan mulai bekerja
dimana mencit mulai kehilanagan righting efek dan refleks balik badan .
Berdasarkan hasil percobaan, terdapat perbedaan efek farmakologi pada beberapa
tikus yang diberikan obat dengan dosis yang sama. Pada mencit yang diberikan diazepam
melalui rute inteperitonial memberikan efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian
diazepam melalui intramuscular.

Didapat pebedaan efek obat dala aktu onset kerja maupun durasi kerja terhadap
masig-masing mencit. Pada data yang didapat mencit dengan jenis kelamin jantan didapati
onset durasi yang hampir sama yaitu 20 menit dan 19 menit . sedangkan pada kelamin
betina didapat selisih onset dan durasi yang berbeda yaitu 8 menit dan 14 menit

Variasi biologi menyatakan perbedaan besarnya respon diantara individu berbeda


dalam suatu populasi yang diberi obat dengan dosis sama. Efek obat pada individu yang
berlainan tidak pernah sama, demikian juga efek obat yang diberikan pada individu yang
sama pada waktu yang berlainan. Variasi biologi juga menunjukan bahwa untuk
mendapatkan suatu intensitas efek yang sama pada individu-individu yang berlainan ,
diperlukan dosis obat yang berbeda-beda.

Variasi biologi akan memberikan efek farmakologi yang berbeda kepada dua atau
lebih individu berbeda dengan usia , jenis kelamin , dan bobot badan yang sama akan
berbeda dari satu individu dengan individu lainnya. Hal ini karena setiap individu memiliki
karakteristik yang berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan ini pula yang menyebabkan
perbedaan pada respon terhadap suatu obat dengan dosis tertentu. Perbedaan tersebut
disebabkan karena metabolisme obat, jumlah reseptor obat yang ada pada tubuh pengguna,
jumlah enzim yang dimiliki pengguna ,keadaan emosi , dan perbedaan jenis makanan yang
dikonsumsi serta banyak hal lainnya berbeda pada setiap individu

55
BAB V

PENUTUP

Dari percobaan ini dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat perbedaan efek farmakologi yang dipengaruhi oleh variasi biologi


terhadap dosis obat dengan rute pemberian obat yang diberikan kepada
beberapa tikus.
2. Besarnya respon obat terhadap beberapa tikus berbeda-beda, faktor yang
mempengaruhinya adalah : usia, jenis kelamin, bobot badan, metabolisme
tubuh, serta makanan yang di berikan
3. Adapun keismpulan yang dapat ditarik kemungkinan di akibatkan karena faktor
lainnya, baik dari mencit ataupun praktikannya

56
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK-UI. (2007). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi
5.Gaya Baru; Jakarta, Hal 886, 894-895

Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman 120-122

Hitner, H., and Nagle, B. (1999). ”Basic Pharmacology”. Fourth Edition. Mc Graw Hill ;
USA. Pages 231 – 232.

Katzung, B.G. (2002). “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Edisi VIII. Penerbit Buku Salemba
Medika ; Jakarta. Halaman 44-46.

57
PERTEMUAN MINGGU KEDUA

29 JULI 2018

EKSPERIMEN DASAR

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEK FARMAKOLOGI

(VARIASI KELAMIN)

58
BAB I
PENDAHAULUAN

1.3 Latar Belakang


Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan
oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan
metabolisme dapat menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan
metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan
kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat,
dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan
menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak
efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain
faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin,
perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim metabolisme dan faktor-
faktor lain.

1.4 Tujuan Percobaan


Untuk mengetahui pengaruh variasi kelamin terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan dengan rute pemberian intraperitoneal

1.3 Prinsip Percobaan

Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada
tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi kelamin yang mempengaruhi respons
tubuh terhadap obat.

59
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat

a. CARA PEMBERIAN OBAT KEPADA PENDERITA

Oral : dimakan /diminum

Parenteral : subkutan, intramuskular, intravena, intra peritoneal, dsb

Rektal, Vaginal, Uretral

Lokal, Topikal, Transdermal

Lain-lain : sublingual, intrabukal, dsb

b. FAKTOR / KARAKTERISTIK PENDERITA

Umur : neonatus, bayi, anak, dewasa, geriatric

Berat badan

Jenis kelamin (untuk obat gol. Hormon)

Ras : slow & fast acetylator

Toleransi

Obesitas

Sensitivitas

Keadaan pato-fisiologi : gangguan hati, ginjal, kelainan sal. Pencernaan

Kehamilan

Laktasi

Circadian rhythm

60
BAB III

METODE PERCOBAAN

3.5 Alat dan Bahan


 Alat yang digunakan :
Spuit 1 ml
Jarum sonde oral
Bejana pngamatan
Timbangan hewan
Stopwatch
Kandang restriksi
Koran
Sarung tangan
Masker muka
Kapas
Spidol
beackerglass
 Bahan yang digunakan :
c. Diazepam 5mg/ 70 kgBB manusia
 Hewan percobaan
c. Mencit putih betina 2, jantan 2 ekor (20-30 g)
3.6 Prosedur Kerja
7) Siapkan mencit betina dan jantan masing-masing 2, amati kelakuan
normal masing-masing mencit selama 10 menit
8) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat
9) Suntikan secara IP dengan larutan dazepam 5mg/70kg BB dan catat
waktu pemberiannya
10) Tempatkan mencit kedalam bejana untuk pengamatan
11) Amati selama 45 menit
12) Catat dan tabelkan masing-masing kelompok. Bandingkan hasilnya

3.7 Perhitungan Dosis

61
Dengan obat diazepam yang mengandung 5mg/1ml (sudah diencerkan 20x nya)
Dikonversi terlebih dahulu dosis nya berdasarkan perbandingan luas permukaan
tubuh hewan coba
Konversi = Mencit ke Manusia 0,0026
Jadi, konversi = 0,0026 x 5 mg = 0,013 mg

5. Mencit VI (BETINA)
Dengan BB 29 gram dan disuntikan secara Intraperitoneal
Jadi ,013 mg = x 20 = 0,0754 ml

6. Mencit VII (BETINA)


Dengan BB 36 gram dan disuntikan secara Intraperitoneal
Jadi ,013 mg = x 20 = 0,0936 ml

7. Mencit VIII (JANTAN)


Dengan BB 32 gram dan disuntikan secara Intraperitoneal
Jadi ,013 mg = x 20 = 0,0832 ml

8. Mencit IX (JANTAN)
Dengan BB 31 gram dan disuntikan secara Intraperitoneal
Jadi ,013 mg = x 20 = 0,0806 ml

62
BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan

Hewan coba : Mencit betina dan jantan masing-masing 2 ekor


Obat yang digunakan : Diazepam 5mg/70kgBB manusia secara IP

Tabel Pengamatan

Pengamatan (Waktu/menit)
Onset Durasi
Hilang Kembali
Hewan Obat Rute Pemberian Kerja Kerja
Righting Righting
obat Obat Obat
Refleks Reflex
Diazepam
Mencit 5mg/70kg BB IP 15.11 15.3O 16.2O 20 49
Jantan manusia
Diazepam
Mencit 5mg/70kg BB IP 15.1 15.29 16.2O 19 51
Jantan manusia

Diazepam
Mencit 5mg/70kg BB IP 15.15 15.23 16,20 8 57
Betina manusia
Diazepam
Mencit 5mg/70kg BB IP 15.16 15.3 16.2 14 35
Betina manusia

4.2 Pembahasan

Pada percobaan variasi biologi, dilakukan menggunakan empat mencit(2 jantan dan 2
betina putih). Obat yang digunakan adalah Diazepam dengan dosis 5mg/70kgBB manusia
melalui Interperitonial. Diazepam termasuk kedalam obat benzodiazepine yang
mempengaruhi sistem otam dan memberikan efek penenang serta bekerja pada sistem
GABA. Dengan adanya interaksi benzodiazepin afinitas GABA terhadap reseptornya
63
meningkat dan kerja GABA pun meningkat. Pada obat diazepam obat akan mulai bekerja
dimana mencit mulai kehilanagan righting efek dan refleks balik badan .
Berdasarkan hasil percobaan, terdapat perbedaan efek farmakologi pada beberapa tikus
yang diberikan obat dengan dosis yang sama. Pada mencit yang diberikan diazepam melalui
rute inteperitonial memberikan efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian diazepam
melalui intramuscular.

Berdasarkan variasi jenis kelamin, dari hasil percobaan diperoleh bahwa mencit betina
mengalami efek obat lebih awal dibandingkan jantan yaitu betina pada menit ke 8 dan jantan
pada menit ke 20. Menurut teori, pada wanita cenderung memiliki persentase dari lemak
tubuh yang lebih tinggi dan memiliki persentase cairan tubuh yang lebih rendah dari pada
pria pada berat badan yang sama. Konsekuensinya, wanita cenderung merasakan efek obat
yang lebih hebat dibandingkan pria karena obat akan terlarut dalam jumlah volume cairan
tubuh yang relatif lebih kecil. Wanita juga memiliki kandungan lemak yang lebih banyak
daripada pria. Obat – obat yang larut dalam lemak akan secara lebih luas terdistribusi dan
dapat menghasilkan durasi kerja yang lebih lama. Konsep yang sama ini juga dapat
diaplikasikan pada perbedaan komposisi lemak tubuh antara anggota yang memiliki jenis
kelamin yang sama. (Henry H. and Barbara N., 1999)

64
BAB V

PENUTUP

Dari percobaan ini dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Mencit dengan berat badan lebih besar mengalami efek kerja obat lebih cepat
dibanding mencit dengan berat badan lebih kecil.
2. Mencit dengan kondisi dipuasakan mengalami efek kerja obat lebih cepat daripada
mencit yang tidak dipuasakan.
3. Mencit dengan jenis kelamin betina mengalami efek kerja obat lebih cepat
dibanding mencit dengan jenis kelamin betina.

65
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK-UI. (2007). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi
5.Gaya Baru; Jakarta, Hal 886, 894-895

Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman 120-122

Hitner, H., and Nagle, B. (1999). ”Basic Pharmacology”. Fourth Edition. Mc Graw Hill ;
USA. Pages 231 – 232.

Katzung, B.G. (2002). “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Edisi VIII. Penerbit Buku Salemba
Medika ; Jakarta. Halaman 44-46.

66

Anda mungkin juga menyukai