Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Standar pelayanan kebidanan dapat pula digunakan untuk menentukan
kompetensi yang diperlukan bidan dalalm menjalani praktek sehari-hari. Standar
ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai pelayanan, menyusun
rencana pelatihan dan pengembangan kurikulum pendidikan. Selain itu, standar
pelayanan dapat membantu dalam penentuan kebutuhan operasional untuk
penerapannya,misalnya kebutuhan akan pengorganisasian, mekanisme, peralatan
dan obat yang diperlukan. Ketika audit terhadap pelaksana kebidanan dilakukan,
maka berbagai kekurangan yang berkaitan dengan hal-hal tersebut akan
ditemukan sehingga perbaikannya dapat dilakukan secara lebih spesifik. Salah
satu indikator keberhasilan pelayanan kesehatan perorangan di puskesmas adalah
kepuasan pasien.
Peningkatan kinerja pelayanan kesehatan telah menjadi tema utama di seluruh
dunia. Organisasi pelayanan kesehatan dan kelompok professional kesehatan
sebagai pemberi pelayanan harus menampilkan akontabilitas sosial mereka dalam
memberikan pelayanan yang mutakhir berdasarkan standar professional. Sebagai
konsekuensinya peningkatan kinerja memerlukan persyaratan yang diterapkan
dalam melaksanakan pekerjaan berdasarkan standar.
Dalam pelayanan kebidanan, standar sangat membantu bidan untuk mencapai
asuhan yang berkualitas, sehingga bidan harus berpikir realistis tentang
pentingnya evaluasi sistematis terhadap semua aspek asuhan yang berkualitas
tinggi. Namun keberhasilan dalam mengimplementasikan standar sangat
tergantung pada individu bidan itu sendiri, usaha bersama dari semua staf dalam
suatu organisasi, disamping partisipasi dari seluruh anggota profesi. Untuk dapat
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu banyak upaya yang dapat
dilaksanakan. Upaya tersebut jika dilaksanakan secara terarah dan terencana
,dalam ilmu administrasi kesehatan dikenal dengan nama program menjaga mutu
pelayanan kesehatan (Quality Assurance Program ).
Program menjaga mutu tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan standar,
karena kegiatan pokok program tersebut adalah menetapkan masalah, menetapkan
penyebab masalah, menetapkan cara penyelesaian masalah, menilai hasil dan

1
saran perbaikan yang harus selalu mengacu kepada standar yang telah ditetapkan
sebelumnya sebagai alat menuju terjaminnya mutu.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana SOP penanganan kegawatan dan eklampsi?
2. Bagaimana SOP penanganan kegawatdaruratan pada partus lama?
3. Bagaimana SOP persalinan vacum ekstrator?
4. Bagaimana SOP penanganan retensio plasenta?
5. Bagaimana SOP penanganan perdarahan postpartum primer?
6. Bagaimana SOP penanganan perdarahan postpartum sekunder?
7. Bagaimana SOP penanganan sepsis puerperalis?
8. Bagaimana SOP penanganan asfiksia neonatus?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui SOP penanganan kegawatan dan eklampsi
2. Untuk mengetahui SOP penanganan kegawatdaruratan pada partus lama
3. Untuk mengetahui SOP persalinan vacum ekstrator
4. Untuk mengetahui SOP penanganan retensio plasenta
5. Untuk mengetahui SOP penanganan perdarahan postpartum primer
6. Untuk mengetahui SOP penanganan perdarahan postpartum sekunder
7. Untuk mengetahui SOP penanganan sepsis puerperalis
8. Untuk mengetahui SOP penanganan asfiksia neonatus

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SOP penanganan kegawatan dan Eklampsi


1. Definisi Eklampsia
Eklampsia adalah kejang pada wanita hamil, dalam persalinan, atau masa
nifas yang disertai gejala-gejala preeklamsia (hipertensi, edema dan atau
proteinuri). Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeclampsia,
yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Eklampsia dapat timbul
pada antepartum, intrapartum dan postpartum. Eklampsia postpartum
umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan.
2. Diagnosis banding
Kejang pada eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang akibat
penyakit lain. Oleh karena itu, diagnosis banding eklampsia menjadi sangat
penting, misalnya hipertensi, perdarahan otak, lesi otak, kelainan metabolik,
meningitis.
Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik.Kemudian disusul kontraksi
otot-otot tubuh yang menegang, sehingga seluruh tubuh manjadi kaku.Semua
otottubuh pada saat ini dalam keadaan kontraksi tonik.Keadaan ini berlangsung
15 – 30 detik.
Kejang tonik ini segera disusul kejang klonik.Kejang klonik dimulai dengan
terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup kembali dengan kuat disertai
pula dengan terbuka dan tertutupnya kelopak mata.Kemudian disusul dengan
kontraksi intermiten pada otot-otot muka dan otot-otot seluruh tubuh.Begitu
kuat kontraksi otot-otot tubuh ini sehingga seringkali penderita terlempar dari
tempat tidur.Seringkali lidah tergigit akibat kontraksi otot rahang yang terbuka
dan tertutup dengan kuat.Dari mulut keluar liur berbusa yang kadang-kadang
disertai bercak-bercak darah.Wajah tampak membengkak karena kongesti dan
pada konjungtiva mata dijumpai bintik-bintik perdarahan.
Lama kejang klonik ini kurang lebih 1 menit, kemudian berangsur-angsur
kontraksi melemah dan akhirnya berhenti serta penderita jatuh ke dalam koma.
Pada waktu timbul kejang, tekanan darah dengan cepat meningkat.Demikian
juga suhu badan meningkat, yang mungkin oleh karena gangguan
serebral.Penderita mengalami inkontinensia disertai dengan oliguria atau anuria
dan kadang-kadang terjadi aspirasi bahan muntah.

3
Koma yang terjadi setelah kejang, berlangsung sangat bervariasi dan bila
tidak segera diberi obat-obat antikejang, frekuensi pernapasan meningkat,
dapat mencapai 50 kali per menit akibat terjadinya hiperkardia, atau hipoksia.
Pada beberapa kasus bahkan dapat menimbulkan sianosis. Penderita yang sadar
kembali dari koma, umumnya mengalami disorientasi dan sedikit gelisah.
Untuk menilai derajat hilangnya kesadaran, dapat dipakai beberapa cara.
3. Perawatan Eklampsia
Perawatan dasar eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilisasi
fungsi vital, yang harus selalu diingat Airway, Breathing, Circulation (ABC),
mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia
mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang, mengendalikan tekanan
darah, khususnya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu
yang tepat dan dengan cara yang tepat.
4. Pengobatan
a. Obat antikejang
Obat antikejang yang menjadi pilihan pertama ialah magnesium sulfat.
Bila dengan jenis obat ini kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai obat
jenis lain, misalnya thiopental. Diazepam dapat dipakai sebagai alternative
pilihan, namun mengingat dosis yang diperlukan sangat tinggi, pemberian
diazepam hanya dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman.
Pemberian diuretikum hendaknya selalu disertai dengan memonitor plasma
elektrolit. Obat kardiotonika ataupun obat-obat anti hipertensi hendaknya
selalu disiapkan dan diberikan benar-benar atas indikasi.
b. Magnesium sulfat (MgSO4)
Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama seperti pemberian
magnesium sulfat pada preeclampsia berat. Pengobatan suportif terutama
ditujukan untuk gangguan fungsi organ-organ penting, misalnya tindakan-
tindakan untuk memperbaiki asidosis, mempertahankan ventilasi paru-paru,
mengatur tekanan darah, mencegah dekompensasi kordis.
Pada penderita yang mengalami kejang dan koma, nursing care sangat
penting, misalnya meliputi cara-cara perawatan penderita dalam suatu
kamar isolasi, mencegah aspirasi, mengatur infuse penderita, dan
monitoring produksi urin.

4
c. Perawatan pada waktu kejang
Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan pertama pertolongan ini
ialah mencegah penderita mengalami trauma akibat kejang-kejang tersebut.
Dirawat di kamar isolasi cukup terang, tidak di kamar gelap, agar bila terjadi
sianosis segera dapat diketahui. Penderita dibaringkan ditempat tidur yang
lebar, dengan rail tempat tidur harus dipasang dan dikunci dengan
kuat.Selanjutnya dimasukkan sudap lidah ke dalam mulut penderita dan
jangan mencoba melepas sudap lidah yang sedang tergigit karena dapat
mematahkan gigi. Kepala direndahkan dan daerah orofaring diisap.
Hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas penderita yang kejang tidak
terlalu kuat menghentak-hentak benda keras di sekitarnya. Fiksasi badan
pada tempat tidur harus cukup kendor, guna menghindari faktur.Bila
penderita selesai kejang-kejang, segera beri oksigen.
d. Perawatan koma
Perlu diingatkan bahwa penderita koma tidak dapat bereaksi atau
mempertahankan diri terhadap suhu yang ekstrem, posisi tubuh yang
menimbulkan nyeri dan aspirasi, karena hilangnya reflex muntah. Bahaya
terbesar yang mengancam penderita koma, ialah terbuntunya jalan napas
atas. Setiap penderita eklampsia yang jatuh dalam koma harus dianggap
bahwa jalan napas atas terbuntu, kecuali dibuktikan lain.
Oleh karena itu, tindakan pertama-tama pada penderita yang jatuh koma
(tidak sadar), ialah menjaga dan mengusahakan agar jalan napas atas tetap
terbuka. Untuk menghindari terbuntunya jalan napas atas oleh pangkal lidah
dan epiglottis dilakukan tindakan sebagai berikut. Cara yang sederhana dan
cukup efektif dalam menjaga terbukanya jalan napas atas, ialah dengan
maneuver head-tilt-neck lift, yaitu kepala direndahkan dan dagu ditarik ke
atas, atau jaw-tbrust, yaitu mandibuka kiri kanan diekstensikan ke atas
sambil mengangkat kepala ke belakang.Tindakan ini kemudian dapat
dilanjutkan dengan pemasangan oropharyngeal airway.
Hal penting kedua yang perlu diperhatikan ialah bahwa penderita koma
akan kehilangan reflex muntah sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi
bahan lambung sangat besar. Lambung ibu hamis harus selalu dianggap
sebagai lambung penuh.Oleh karena itu, semua benda yang ada dalam
rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa lendir maupun sisa makanan,
harus segera diisap secara intermiten.Penderita ditidurkan dalam posisi

5
stabil untuk drainase lendir. Monitoring kesadaran dan dalamnya koma
memakai Glasgow Coma Scale.
e. Perawatan edema paru
Bila terjadi edema paru sebaiknya penderita dirawat di ICU karena
membutuhkan perawatan animasi dengan respiratori.
5. Jadwal pemberian Magneium sulfat untuk Preeklampsi Berat dan
Eklampsi
a. Infuse intravena kontinu
1) Berikan dosis awal megnisium sulfat sebesar 4 hingga 6g yang
diencerkan dalam 100 ml cairan IV dan diberikan selam 15 menit hingga
20 menit
2) Mulai infus rumatan 2g/jam dalam 100 ml cairan IV beberapa ahli
menganjurkan dosis 1g/jam
3) Pantau toksisitas magnesium
a) Periksa refleks tendo dalam secara berkala
b) Beberapa ahli mengukur kadar megnesium serum pada jam ke 4
hingga 6 dan menyesuaikan kencepatan infus untuk mempertahankan
kadar magnesium antara 4 dan 7 meq/L (4,8-8,4mg/dL)
c) Ukur kadar magnesium serum jika kadar kreatinin serum ≥1,0 mg/dL
4) Pemberian magnesium sulfat dihentikan 24 jam pascapelahiran.
b. Injeksi intramuskular intermiten
a. Berikan 4g magnesium sulfat (MgSO4, 7H2O, USP) sebagia larutan 20%
secara intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1g/menit
b. Lanjutkan segera dengan 10g larutan magnesium 50% separuhnya
disuntikan profunds di kuadran kanan luar kedua bokong menggunakan
jarum ukuran 20 sepanjang 3 inci. ( penambahan 1,0 mL lidokain 2%
meminimalkan nyeri). Jika kejang menetap setiap 15 menit berikan
kembali magnesium sulfat dalam larutan 20% dengan dosis hingga 2g
dan kecepatan melebihi 1g/menit. Jika perempuan tersebut bertubuh
besar dapa diberikan dosis hingga 4g secara berlahan.
c. Setelah itu tiap 4 jam berikan 5g larutan megnesium sulfat 50% yang
disuntikan profunda di kuadran kanan luar bokong kanan dan kiri secara
bergantian tetapi dilakukan setelah memastikan
1) Refleks patella positif
2) Respirasi tidak tertekan

6
3) Keluaran urine dalam 4 jam terakhir melebihi 100ml
d. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam pascapelahiran.
6. Pengobatan Obstetrik
Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan eklampsia harus
diakhiri, tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Persalinan
diakhiri bila sudah mencapai stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan
metabolisme ibu. Pada perawatan pascapersalinan, bila persalinan terjadi
pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya.

7
PENATALAKSANAAN
EKLAMPSI
IVA DIV KEBIDANAN
POLTEKES KEMENKES
GORONTALO

SOP

Pengertian (definisi) Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita


preeklampsia, yang disertai dengan kejang menyeluruh
dan koma.
Tujuan Tujuan Umum : melakukan penilaian klasik ,
klasifikasi dan penatalaksanaan serta mencegah
komplikasi.
Tujuan Khusus :
a. Mencegah tanda dan gejala hipertensi karena
kehamilan dan menentukan diagnosis yang paling
mungkin dalam hubungan dengan hipertensi yang
dipicu karena kehamilan.
b. Melakukan penatalaksanaan
preeklamsia/eklamsia dan hipertemsi kronik pada
ibu hamil.
Melakukan pemberian obat anti kejang (Magnesium
sulfat dan Diazepam) serta obat antihipertensi
penatalaksanaan preeklamsi berat eklamsi.
Pemeriksaan Fisik 1. Kesadaran somnolen sampai koma
2. Tanda vital TD: >140/90 mmHg
3. Proteinuria minimal 1+
4. Penurunan kesadaran tanpa disertai kejang
Penatalaksanaan Pengobtan medisinal
1. Cuci tangan menggunakan sabun, air mengalir
dan keringkan
2. Infus cairan RL
3. Beritahu bahwa ibu akan merasakan panas saat
magnesium sulfat diberikan

8
4. Pemberian obat : MgSO4
Cara pemberian MgSo4 sama dengan preeklamsi
berat. Bila timbul kejang-kejang ulangan maka
dapat diberikan 2g MgSO4 40 % IV selama 20
menit, sekurang-kurangnya 20 menit setelah
pemberian terakhir. Dosis tambahan 2g hanya
diberikan sekali saja. Bila setelah di beri dosis
tambahan masih tetap kejang maka diberikan
amobarbital 3-5 mh/kg/bb/iv pelan-pelan.
Pemberian dosis rumatan Magnesium Sulfat
1. Berikan 6g MgSO4 40% (15 ml larutan
MgSO4 40%) dan larutkan dalam 500 ml
larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat
2. Berikan secara IV dengan kecepatan 28
tetes/menit selama 6 jam, dan diulang hingga
24 jam setelah persalinan atau kejang berakhir
(bila eklamsia)
Perawatan pasien dengan serangan kejang.
a) Dirawat dikamar isolasi yang cukup terang.
b) Masukan sudip lidah kedalam mulut pasien.
c) Kepala direndahkan: daerah orofaring dihisap.
Fiksasi badan pada tempat tidur yang cukup
longgar guna mencegah fraktur.
Pemantauan
1. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam (TD,
Nadi, Pernapasan, Refleks patella, dan jumlah
urin)
2. Bila frekuensi pernapasan <16 x/menit, dan
tidak didapatkan refleks tendon patella, dan
terdapat oliguria (produksi urin < 0,5
ml/kgBB/jam), segera hentikan pemberian
MgSO4
3. Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas
1 g IV (10 ml larutan 10%) bolus dalam 10
menit

9
4. Selama ibu dengan preeklamsia dan eklamsia
di rujuk, pantau dan nilai adanya perburukan
preeklamsia.
5. Apabila terjadi eklamsia, lakukan penilaian
awal dan tatalaksana kegawatdaruratan.
Berikan kembali MgSO4 2g IV perlahan (15-
20 menit).
6. Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan masih
terdapat kejang, dapat dipertimbangkan
pemberian diazepam 10 mg IV selam 2 menit.
7. Bereskan alat setelah tindakan, bila digunakan
alat suntik sekali pakai buang dalam tempat
sampah yang tahan tusukan
8. Cuci tangan menggunakan sabun dan air
mengalir, keringkan dengan handuk kering
atau pengering udara.
Referensi : Cunningham Gary, 2014. Obstetri Williams Obstetrics.
Jakarta : EGC
Prawirohardjo Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan.
Jakarta : KDT

10
B. SOP penanganan kegawatdaruratan pada partus lama
1. Definisi Partus Lama
Persalinan lama disebut juga “distosia” di definisikan sebagai persalinan
yang abnormal/sulit.
2. Etiologi
Kelainan his terutama pada primigravida, khususnya primigravida tua. Pada
multipara lebih banyak ditemukan kelainan yang bersifat inersia uteri. Faktor
herediter mungkin memehang peranan dalam kelainan his. Sampai seberapa
jauh faktor emosi (ketakutan dan lain-lain) mempengaruhi kelainan his,
khususnya inersia uteri, ialah apabila bagian bawah janin atau pada disproporsi
sefalopelvik. Peregangan rahim yang berlebihan pada kehamilan ganda
ataupun hidramnion juga dapat merupakan penyebab inersia uteri yang murni,
akhirnya gangguan dalam pembentukan uterus pada masa embrional, misalnya
uteus bikornis uniklois, dapat pula mengakibatkan kelainan his. Akan tetapi
pada bagian besar kasus kurang lebih separuhnya, penyebab inersia uteri tidak
diketahui.
3. Dampak persalinan lama pada Ibu
a. Infeksi intrapartum
b. Ruptura Uteri
c. Cincin retraksi patologis
d. Pembentukan fistula
e. Cedera otot-otot dasar panggul
4. Efek pada janin
Partus lama itu sendiri dapat merugikan, apabila panggul sempit dan juga
terjadi ketuban pecah lama serta infeksi intrauterus risiko janin dan ibu akan
muncul, infeksi intrapartum bukan saja merupakan penylit yang serius pada
ibu, tetapi juga merupakan penyebab penting kematian janin dan neonates. Hal
ini disebabkan bakteri di dalam cairan amnion menembus selaput amnion dan
menginvasi desidua serta pembuluh korion, sehingga terjadi bakterimia pada
ibu dan janin.pneumonia janin akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi
adalah konsekuensi serius lainya.
a. Kaput suksedaneum
b. Molase kepala janin

11
5. Penanganan
Dalam menghadapi persalinan lama oleh sebab apapun keadaan ibu yang
bersangkutan harus diawasi dengan seksama. Tekanan darah diukur tiap empat
jam, bahkan pemeriksaan ini perlu dilakukan lebih sering apabila ada gejala
preeklamsia. Denyut jantung janin di cata setiap setengah jam dalam kala I dan
lebih sering dalam kala II.
Kemungkinan dehidrasi dan asidosis harus mendapat perhatian
sepenuhnya.karena ada persalinan lam selalu ada kemungkinan untuk
melakukan tindakan pembedahan dengan narcosis, hendaknya iu jangan diberi
makan biasa melainkan dalam bentuk cairan. Sbaiknya diberikan infuse larutan
glukosa 5% dan larutan NaCl isotonic secara intravena berganti-ganti untuk
mengurangi rasa nyeri dapat diberikan petidin 50 mg yang dapat diulangi pada
permulaan kala I dapat diberikan 10 mg morfin. Pemeriksaan dalam perlu
dilakukan, tetapi harus selalu disadari bahwa setiap pemeriksaan dalam
mengandung bahaya infeksi. Apabila persalinan berlangsung 24 jam tanpa
kemajuan yang berarti, perlu diadakan penilaian yang seksama tentang
keadaan.
Selain penilaian keadaan umur perlu ditetapkan apakah persalnan benar-
benar sudah mulai atau masih dalam tingkat fase labour, apakah ada inersia
uteri atau incoordinate uterine action dan apakah tidak ada disproporsi
sefalopelvik biarpun ringan. Apabila serviks sudah terbuka untuk sedikit-
sedikitnya 3 cm, dapat diambil kesimpulan bahwa persalinan sudah mulai.
Apabila ketuban sudah pecah, maka keputusan untuk menyelesaikan
persalinan tidak boleh ditunda terlalu lama berhubungan dengang bahaya
infeksi. Sebaiknya dalam 24 jam setelah ketuban pecah sudah dapat diambil
keputusan apakah perlu dilakukan seksio sesaria dalam waktu singkat atau
penilaian dapa dibiarkan berlangsung terus.
a. Inersia uteri
Setelah diagnosis inersia uteri ditetapkan harus diperiksa keadaan
serviks, presentasi serta posisi janin, turuna kepala janin dalam pangul, dan
keadaan panggul.kemudian harus disusun rencana menghadapi persalnan
yang lamban ini. Apabila ada disproporsio sefalopelvik yang berarti,
sebaiknya diambil keputusan untuk melakukan seksioa sesarea.
Apabila tidak ada disproporsi atau ada disproporsi ringan dapat diambil
sikap lain. Keadaan umum penderita sementara itu diperbaiki dan kandung

12
kemis serta rectum dikosonkan. Apabila kepala ata bokong janin sudah
masuk kedalam panggul, penderita disuruh berjalan-jalan.tindakan
sederhana kadang-kadang menyebabkan his menjadi kuat dan selanjutnya
persalinan berjalan lancar
b. His terlalu kuat
Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan karena
biasanya bayi sudah lahir tanpa ada seorang yang menolong. Kalau seorang
ibu pernah mengalami partus presipitatus, kemungkinan kejadian ini akan
berulang pada persalinan berikutnya, oleh karena itu sebaiknya ibu tersebut
dirawat sebelum persalinan, sehingga pengawasan dapat dilakukan dengan
baik.
c. Incoordinate uterine action
Kelainan ini hanya dapat diobati secara simptomatis karena belum ada
obat yang dapat memperbaiki koordinasi fungsional antara bagian-bagian
uterus.usaha yang dapat dilakukan ialah mengurangi tonus otot dan
mengurangi ketakutan penderita. Hal ini dapat dilakukakn ialah mengurangi
tonus otot dan mengurangi ketakutan penderita, hal ini dapat dilakukan
dengan pemberian analgetika, seperti morfin dan petidin. Akan tetapi
persalinan tidak boleh berlangsung beralut-larut apalagi kalau ketuban sudah
pecah.Dalam hal ini pembukaan belum lengkap, perlu dipertimbangkan
seksio sesarea.
Lingkaran konstriksi dalam kala I biasanya tidak diketahui, kecuali kalau
lingkaran ini terdapat dibawah kepala janin sehingga dapat diraba melalui
kanalis servikalis. Jika diagnosis lingkaran konstriksi dalam kala I dapat
dibuat, persalinan harus diselesaikan dengan seksio sesarea.

13
PERSALINAN LAMA

IVA DIV KEBIDANAN


POLTEKES KEMENKES
GORONTALO

SOP

Pengertian (definisi) Persalinan lama adalah persalinan yang berlangsung


lebih dari 18-24 jam sejak
Tujuan Agar petugas medis dan paramedis dapat memahami
dan memberikan penanganan yang tepat pada pasien
Alat dan Bahan Alat :
1. Spignomanometer (tensimeter)
2. Stetoskop
3. Handscoen
4. Leanex
Bahan :
1. RM pasien
2. Pulpen
Prosedur 1. Petugas melakukan anamnesis pada pasien,
menanyakan keluhan utama pasien. Biasanya pasien
dalam kondisi fase persalinan Kala 1 atau Kala 2
dengan status: Kelainan Pembukaan Serviks atau
Partus Macet atau Partus macet
Faktor Risiko: (“Po, Pa, Pa” atau gabungan 3 P )
a. Power : His tidak adekuat (his dengan frekuensi
< 3x/10 menit dan durasi setiap kontraksinya <
40 detik).
b. Passenger : malpresentasi, malposisi, janin besar.
c. Passage : panggul sempit, kelainan serviks atau
vagina, tumor jalan lahir.
d. Gabungan dari faktor-faktor di atas.
5. Petugas mencuci tangan terlebih dahulu sebelum
melakukan pemeriksaan.
6. Petugas melakukan pemeriksaan tanda vital pasien

14
meliputi tekanan darah, nadi, suhu dan frekuensi
pernapasan.
7. Petugas melakukan pemeriksaan fisik pada pasien
Pada ibu:
a. Gelisah
b. Letih
c. Suhu badan meningkat
d. Berkeringat
e. Nadi cepat
f. Pernafasan cepat
g. Meteorismus
h. Bandle ring, edema vulva, oedema serviks,
cairan ketuban berbau terdapat mekoneum
Pada janin:
a. Denyut jantung janin cepat, hebat, tidak teratur,
bahkan negative
b. Air ketuban terdapat mekoneum kental kehijau-
hijauan, cairan berbau
c. Caput succedenium yang besar
d. Moulage kepala yang hebat
e. Kematian janin dalam kandungan
f. Kematian janin intrapartal
Kelainan Pembukaan Serviks
a. Persalinan Lama
Nulipara:
a) Kemajuan pembukaan (dilatasi) serviks
pada fase aktif < 1,2 cm/jam
b) Kemajuan turunnya bagian terendah < 1
cm/jam
c) Kemajuan pembukaan (dilatasi) serviks
pada fase aktif < 1,5 cm/jam)
d) Kemajuan turunnya bagian terendah <2
cm/jam
b. Persalinan Macet
1) Nulipara :

15
a) Fase deselerasi memanjang ( > 3 jam )
b) Tidak ada pembukaan (dilatasi) > 2 jam
c) Tidak ada penurunan bagian terendah > 1
jam
d) Kegagalan penurunan bagian terendah
(Tidak ada penurunan pada fase deselerasi
atau kala 2)
2) Multipara:
a) Fase deselerasi memanjang > 1 jam
b) Tidak ada pembukaan (dilatasi) > 2 jam
c) Tidak ada penurunan bagian terendah > 1
jam
d) Kegagalan penurunan bagian terendah
(Tidak ada penurunan pada fase deselerasi
atau kala 2)
8. Petugas melakukan cuci tangan setelah
pemeriksaan.
9. Petugas melakukan pemeriksaan penunjang berupa
partograf, pemeriksaan darah dan urin lengkap.
10. Petugas menegakkan diagnosis berdasarkan
hasil pemeriksaan.
11. Petugas melakukan tatalaksana sebagai berikut
:
Motivasi pasien dalam proses persalinan dan
informasikan rencana persalinan sesuai dengan
perkembangan pasien. Penanganan partus lama
menurut Saifudin AB (2007) :
a. False labor (Persalinan palsu/belum inpartu)
Bila his belum teratur dan porsio masih tertutup,
pasien boleh pulang. Periksa adanya infeksi
saluran kencing, KPD dan bila didapatkan
adanya infeksi, obati secara adekuat. Bila tidak,
pasien boleh rawat jalan.Prolonged laten phase
(fase laten yang memanjang)
b. Diagnosis fase laten memanjang dibuat secara

16
retrospektif. Bila his berhenti disebut persalinan
palsu atau belum inpartu. Bila kontraksi makin
teratur dan pembukaan bertambah sampai 3 cm,
disebut fase laten. Apabila ibu berada dalam fase
laten lebih dari 8 jam dan tidak ada kemajuan,
rujuk pasien dan lakukan penatalaksanaan awal
sebagai berikut:
1) Bila didapat perubahan dalam penipisan dan
pembukaan serviks, lakukan drip oksitosin
dengan 5 unit dalam 500 cc dekstrose (atau
NaCl) mulai dengan 8 tetes permenit, setiap
30 menit ditambah 4 tetes sampai his adekuat
(maksimal 40 tetes/menit) atau berikan
preparat prostaglandin, lakukan penilaian
ulang setiap 4 jam.
2) Bila tidak ada perubahan dalam penapisan
dan pembukaan serviks serta tidak didapat
tanda gawat janin, kaji ulang diagnosisnya
kemungkinan ibu belum dalam keadaan
inpartu.
3) Bila didapatkan tanda adanya amniositis,
berikan induksi dengan oksitosin 5 unit dan
500 cc dekstrose (atau NaCl) mulai dengan 8
tetes permenit, setiap 15menit ditambah 4
tetes sampai adekuat (maksimal 40
tetes/menit) atau berikan preparat
prostaglandin, serta obati infeksi dengan
ampicillin 2 gr IV sebagai dosis awal dan 1 gr
IV setiap 6 jam, serta gentamicin 2x80 mg. c.
Prolonged active phase (fase aktif
memanjang)
Bila tidak didapatkan tanda adanya CPD atau
adanya obstruksi:
1) Berikan penanganan umum yang
kemungkinan akan memperbaiki kontraksi

17
dan mempercepat kemajuan persalinan.
2) Bila ketuban intak, pecahkan ketuban. Bila
kecepatan pembukaan serviks pada waktu fase
aktif kurang dari 1 cm/jam, lakukan penilaian
kontraksi uterusnya.
c. Kontraksi uterus adekuat
Bila kontraksi uterus adekuat (3 dalam 10 menit
dan lamanya lebih dari 40 detik), pertimbangan
adanya kemungkinan CPD, obstruksi, malposisi,
atau malpresentasi
d. Chefalo Pelvic Disporpotion (CPD)
CPD terjadi karena bayi terlalu besar atau pelvis
kecil. Bila dalam persalinan terjadi CPD akan
didapatkan persalinan macet. Cara penilaian
pelvis yang baik adalah dengan melakukan
partus percobaan (trial of labor). Kegunaan
pelvimetri klinis terbatas
1) Bila diagnosis CPD ditegakkan, rujuk pasien
untuk Secsio Cesaria (SC)
2) Bila bayi mati, lakukan kraniotomi atau
embriotomi (bila tidak mungkin dilakukan
SC)
e. Obstruksi (partus macet)
Bila ditemukan tanda-tanda obstruksi:
1) Bila bayi masih hidup, rujuk untuk SC
2) Bila bayi mati, lahirkan dengan kraniotom
i/embriotomi
f. Malposisi/malpresentasi
1) Lakukan evaluasi cepat kondisi ibu
2) Lakukan evaluasi kondisi janin DJJ, bila
ketuban pecah lihat warna ketuban.
Bila didapatkan mekoneum, awasi ketat atau
intervensi.
Tidak ada cairan ketuban saat ketuban pecah
menandakan adanya pengurangan jumlah air

18
ketubah yang ada hubungannya dengan gawat
janin
3) Pemberian bantuan secara umum pada ibu
inpartu akan memperbaiki kontraksi atau
kemajuan persalinan.
4) Lakukan penilaian kemajuan persalinan
memakai partograf. h. Kontraksi uterus tidak
adekuat (inersia uteri)
Bila kontraksi uterus tidak adekuat dan
disporporsi atau obstruksi bisa disingkirkan,
penyebab paling banyak partus lama adalah
kontraksi yang tidak adekuat.
Kala 2 memanjang (prolonged explosive phase)
Upaya mengejan ibu menambah risiko pada
bayi karena mengurangi jumlah oksigen ke plasenta,
maka dari itu sebaiknya dianjurkan mengedan secara
spontan, mengedan dan menahan napas yang terlalu
lama tidak dianjurkan. Perhatikan DJJ bradikardi
yang lama mungkin terjadi akibat lilitan tali pusat.
Dalam hal ini, lakukan ekstraksi vakum/forceps bila
syarat memenuhi.
Bila malpresentasi dan tanda obstruksi bisa
disingkirkan, berikan oksitosin drip. Bila pemberian
oksitosis drip tidak ada kemajuan dalam 1 jam,
lahirkan dengan bantuan ekstraksi vakum/forcep bila
persyaratan terpenuhi atau rujuk pasien untuk SC.
12. Petugas menulis hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, diagnosa dan terapi ke dalam rekam medik.
13. Petugas menandatangani rekam medis.
Petugas menulis hasil diagnosa pada buku
register.

Referensi : Prawirohardjo Sarwono.2010.Ilmu Kebidanan .


Jakarta: KDT Dulton,Lauren . 2011 . Rujukan Cepat
Kebidanan . Jakarta : EGC

19
C. SOP persalinan vakum ekstrator
1. Definisi
Ekstraksi vakum adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
dengan ekstraksi tenaga negatife(vakum) pada kepalanya. Alat ini dinamakan
ekstraktor vakum atau ventouse.
2. Bentuk dan bagian-bagian ekstraktor vakum
a. Mangkuk (cup)
Bagian yang dipakai untuk membuat kaput suksadaneum
artifisialis.Dengan mangkuk inilah kepla diekstraksi. Diameter mangkuk :
3,4,5,6 cm. pada dinding belakang mangkuk terdapat tonjolan, untuk tanda
letak dominator.
b. Botol
Tempat membuat tenaga negative (vakum). Pada tutup botol terdapat
manometer, saluran menuju ke mangkuk yang dilengkapi dengan pentil.
c. Karet penghubung
d. Rantai penghubung antara mangkuk dengan pemegang
e. Pemegang (extraction handle)
f. Pompa penghisap (vacuum pump)
3. Indikasi
a. Ibu
Untuk memperpendek kala II, misalnya :
1) Penyakit jantung kompensata
2) Penyakit paru-paru fibrotic
b. Janin
Gawat janin
4. Kontraindikasi
a. Ibu
1) Ruptura uteri membakat
2) Pada penyakit-penyakit dimana ibu secara mutlak tidak boleh mengejan
misalnya payah jantung, preeclampsia berat.
b. Janin
1) Letak muka
2) After coming head
3) Janin preterm

20
5. Syarat
a. Syarat-syarat ekstraksi vacuum sama dengan ekstraksi cunam,hanya disini
syarat lebih luas, yaitu :
1) Pembukaan lebih dari 7cm (hanya pada multigravida)
2) Penurunan kepala janin boleh pada hodge II
b. Harus ada kontraksi Rahim da nada tenaga mengejan.
6. Komplikasi Ekstraksi Vakum
a. IBU
1) Perdarahan
2) Trauma jalan lahir
3) Infeksi
b. Janin
1) Ekskoriasi kulit kepala
2) Sefalhematoma
3) Subgaleal hematoma. Hematoma ini cepat diresorbsi tubuh janin. Bagi
janin yang mempunyai fungsi hepar belum matur dapat menimbulkan
icterus neonatorum yang agak berat.
4) Nekrosis kulit kepala (scapnecrosis), yang dapat menimbulkan alopesia.
7. Standar Operasional Prosedur Ekstraksi Vakum
a. Ibu tidur dalam posisi litotomi.
b. Pada dasarnya tidak diperlukan narkosi umum. Bila pada waktu
pemasangan mangkuk, ibu mengeluh nyeri dapat diberi anesthesia infiltrasi
atau pudendal nerve block. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, boleh
diberi anesthesia inhalasi, namun hanya terbatas pada waktu memasang
mangkuk saja.
c. Setelah semua bagian-bagian ekstraktor vakum terpasang, maka dipilih
mangkuk yang sesuai dengan pembukaan serviks. Pada pembukaan serviks
lengkap biasanya dipakai mangkuk nomor 5. Mangkuk dimasukan kedalam
vagina dengan posisi miring dan dipasangb pada bagian terendah
kepala,menjauhi ubun-ubun besar. Tonjolan pada mangkuk, diletakkan
sesuai dengan letak denominator.
d. Dilakukan penghisapan dengan pompa penghisap dengan tenaga -0,2 kg/cm
dengan interval 2 menit. Tenaga vakum yang diperlukan ialah: -0,7 sampai -
0,8 kg/cm. Ini membutuhkan waktu kurang lebih 6-8 menit. Dengan adanya

21
tenaga negatif ini, maka pada mangkuk akan terbentuk kaput suksedaneum
artifisialis (chignon)
e. Sebelum mulai melakukan traksi, dilakukan periksa dalam ulang apakah ada
bagian-bagian jalan lahir yang ikut terjepit.
f. Bersamaan dengan timbulnya His, ibu disuruh mengejan dan mangkuk
ditarik searah dengan sumbu panggul. Pada waktu melakukan tarikan ini
harus ada koordinasi yang baik antara tangan kiri dan tangan kanan
penolong.
g. Ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri menahan mangkuk, sedang dengan
tangan kanan melakukan tarikan dengan memegang pada pemegang.
Maksud tangan kiri menahan mangkuk ialah agar mangkuk selalu dalam
porsi yang benar dan bila sewaktu-waktu mangkuk lepas, maka mangkuk
tidak akan meloncat kearah muka penolong.
h. Traksi dilakukan terus selama ada his dan harus mengikuti putaran paksi
dalam,sampai akhirnya suboksiput berada dibawah simfisis. Bila his
berhenti, maka traksi juga dihentikan.berarti traksi dikerjakan secara
intermittent, bersama-sama dengan his.
i. Kepala janin dilahirkan dengan menarik mangkuk kea rah atas, sehingga
kepala janin melakukan gerakkan defleksi dengan suboksiput sebagai
hipomokhlion dan berturut-turut lahir bagian-bagian kepala sebagaimana
lazimnya. Pada waktu kepala melakukan gerakan defleksi ini, maka tangan
kiri penolong segera menahan perineum. Setelah kepala lahir, pentil dibuka,
udara masuk kedalam botol, tekanan negative menjadi hilang dan mangkuk
dilepas.
j. Bila diperlukan episiotomy, maka dilakukan sebelum pemasangan mangkuk
atau pada waktu kepala membuka vulva.

22
EKSTRAKSI VAKUM

IV A DIV KEBIDANAN

POLTEKKES KEMENKES
GORONTALO

SOP

Pengertian Ekstraksi vakum adalah suatu persalinan buatan dimana janin


dilahirkan dengan ekstraksi tenaga aktif (vakum) pada
kepalanya. Alat ini dinamakan ekstraktor vakum atau ventouse.

Tujuan Agar bidan mengenali kapan diperlukan ekstraksi vakum ,


melakukan secara benar dalam memberikan pertolongan
persalinan dengan memastikan keamanannya bagi ibu dan
janinnya.
Indikasi 1. Ibu
a. Untuk memperpendek kala II, misalnya : penyakit jantung
kompensanta,penyakit paru-paru fibrotic.
b. Waktu : kala II yang memanjang
2. Janin
a. Gawat janin (masih kontroversi)

Kontra Indikasi 1.Ibu


a. Rupture uteri membakat
b. Pada penyakit penyakit dimana ibu secara mutlak tidak
boleh mengejan misalnya payah jantung, pre eclampsia
berat.
2. Janin
a. Letak muka
b. After coming head
c. Janin preterm

Syarat Khusus
1. Pembukaan lebih dari 7cm (hanya pada multi gravida)
2. Penurunan kepala janin boleh pada hodge II
3. Harus ada kontraksi rahim dan ada tenaga mengejan.

Prosedurpenangana 1. Ibu tidur dalam posisi litotomi.


n 2. Pada dasarnya tidak diperlukan narkosi umum. Bila pada

23
waktu pemasangan mangkuk, ibu mengeluh nyeri dapat
diberi anesthesia infiltrasi atau pudendal nerve block.
Apabila dengan cara ini tidak berhasil, boleh diberi
anesthesia inhalasi, namun hanya terbatas pada waktu
memasang mangkuk saja

3. Setelah semua bagian-bagian ekstraktor vakum terpasang,


maka dipilih mangkuk yang sesuai dengan pembukaan
serviks. Pada pembukaan serviks lengkap biasanya dipaka I
mangkuk nomor 5.Mangkuk dimasukan kedalam vagina
dengan posisi miring dan dipasang pada bagian terendah
kepala,menjauhi ubun-ubun besar.Tonjolan pada mangkuk,
diletakkan sesuai dengan letak denominator.
4. Dilakukan penghisapan dengan pompa penghisap dengan
tenaga -0,2 kg/cm dengan interval 2 menit. Tenaga vakum
yang diperlukan ialah : -0,7 sampai -0,8 kg/cm. Ini
membutuhkan waktu kurang lebih 6-8 menit. Dengan dan
tenaga negatif ini, maka pada mangkukakan terbentuk kaput
suksedaneum artifisialis (chignon)
5. Sebelum mulai melakukan traksi, dilakukan periksa dalam
ulang apakah ada bagian-bagian jalan lahir yang ikut
terjepit.
6. Bersamaan dengan timbulnya His, ibu disuruh mengejan
dan mangkuk ditarik searah dengan sumbu panggul. Pada
waktu melakukan tarikan ini harus ada koordinasi yang baik
antara tangan kiri dan tangan kanan penolong.
7. Ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri menahan mangkuk,
sedang dengan tangan kanan melakukan tarikan dengan
memegang pada pemegang. Maksud tangan kiri menahan
mangkuk ialah agar mangkuk selalu dalam porsi yang benar
dan bila sewaktu-waktu mangkuk lepas, maka mangkuk
tidak akan meloncat kearah muka penolong.
8. Traksi dilakukan terus selama ada his dan harus mengikuti
putaran paksi dalam, sampai akhirnya sub oksiput berada
dibawah simfisis. Bila his berhenti, maka traksi juga

24
dihentikan. Berarti traksi dikerjakan secara intermittent,
bersama-sama dengan his.
9. Kepala janin dilahirkan dengan menarik mangkuk ke arah
atas, sehingga kepala janin melakukan gerakkan defleksi
dengan suboksiput sebagai hipomokhlion dan berturut-turut
lahir bagian-bagian kepala sebagaimana lazimnya. Pada
waktu kepala melakukan gerakan defleksi ini, maka tangan
kiri penolong segera menahan perineum. Setelah
kepalalahir, pentildibuka, udara masuk kedalambotol,
tekanan negative menjadi hilang dan mangkuk dilepas.
10. Bila diperlukan episiotomy, maka dilakukan sebelum
pemasangan mangkuk atau pada waktu kepala membuka
vulva.
Referensi Wiknjosastro Hanifa.dkk.2000.Ilmu Bedah Kebidanan.
Jakarta:Yayasan Bina Pustaka

25
D. SOP penanganan retensio plasenta
1. Definisi Retensio Plasenta
Retensio plasenta dikatakan jika plasenta belum lahir ½ jam sesudah anak
lahir. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta tidak lahir spontan
dan tidak yakin apakah plasenta lengkap.
2. Penyebab retensio plasenta
a. Fungsional
1) His kurang kuat (penyebab terpenting)
2) Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba),
bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis), dan ukuran nya
(plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukaar lepas karena penyebab
di atas disebut plasenta adhesive.
b. Patologi anatomi
1) Plasenta akreta, menembus lebih dalam ke miomerium tetapi belum
menembuh serosa.
2) Plasenta inkreta, vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus
desidua sampai ke miometrium.
3) Plasenta perkreta, menembus sampai serosa atau peritoneum dinding
rahim.
3. Faktor yang mempengaruhi
a. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomaly dari uterus atau serviks,
kelemahan yang tidak efektifnya kontraksi uterus, kontraksi yang tetanik
dari uterus, serta pembentukan constriction ring.
b. Kelainan dari plasenta dan sifat perlekatan plasenta pada uterus.
c. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum tterjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan
kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak tepat waktu
dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta, serta
pemberian anestesi terutama yang melemahkaan kontraksi uterus.
4. Terapi
Jika plasenta dalam ½ jam setelah anak lahir belum memperlihatkan gejala-
gejala perlepasan, dilakukan pelepasan plasenta manual. Telah dijelaskan
bahwa jika ada perdarahan banyak, mungkin plasenta dilepaskan secara manual
lebih dulu. Akan tetapi, dalam hal ini atas indikasi perdarahan, bukan atas
indikasi retensio plasenta. Teknik pelepasan plasenta secara manual adalah

26
vulva didesinfeksi begitu pula tangan dan lengan bawah di penolong. Setelah
tangan memakai sarung tangan, labia dibeberkan dan tangan kanan masuk
secara obstetric kedalam vagina. Tangan luar menahan fundus ueri. Tangan
dalam sekarang menyusuri tali pusat, yang sedapat dapatnya di regangkan oleh
asisten. Setelah tangan dalam sampai keplasenta, tangan pergi ke pinggir
plasenta dan sedapat-dapatnya mencari pinggir yang sudah terlepas. Kemudian
dengan sisi tangan sebelah kelingking, plasenta dilepaskan antara bagian
plasenta yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar
dinding rahim. Setelah plasenta terlepas seluruhnya, plasenta dipegang dan
dengan perlahan-lahan ditarik ke luar.
5. Penanganan
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
a. Resusitasi (pemberian oksigen 100%). Pemasangan IV-line dengan kateter
yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida
isotonic atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan).
Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah
apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
b. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 UI dalam 500 ml larutan Ringer laktat
atau NaCl 0,9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
c. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan
dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
d. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi
manual plasenta adalah perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih
400 cc, retensio plasenta stelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan
buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan
dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
e. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat
dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta.
Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase.
Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding
rahim relative tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
f. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
g. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan
infeksi sekunder.

27
PENANGANAN RETENSIO
PLASENTA
IVA D-IV KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES
GORONTALO

SOP

Definisi Retensio plasenta adalah keadaan di mana plasenta belum lahir


dalam 30 menit setelah bayi lahir. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan adanya plasenta tidak lahir spontan dan tidak yakin
apakah plasenta lengkap.

Tujuan Agar bidan mampu mengenali retensio plasenta dan memberikan


pertolongan pertama dan mencegah terjadinya perdarahan
postpartum

Prosedur Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:


penanganan h. Resusitasi (pemberian oksigen 100%). Pemasangan IV-line
dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian
cairan kristaloid (sodium klorida isotonic atau larutan ringer
laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor
jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfuse
darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil
pemeriksaan darah.
i. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 UI dalam 500 ml larutan
Ringer laktat atau NaCl 0,9% (normal saline) sampai uterus
berkontraksi.
j. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika
berhasil lanjutkan dengan drips oksitosin untuk
mempertahankan uterus.
k. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual
plasenta. Indikasi manual plasenta adalah perdarahan pada
kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta
stelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang

28
sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan
dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
l. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan,
jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus
dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran
sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus
dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding
rahim relative tipis dibandingkan dengan kuretase pada
abortus.
m. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta,
dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui
suntikan atau per oral.
n. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan
untuk pencegahan infeksi sekunder.

Referensi Sastrawinata sulaiman. 2005. Obstetri patologi. Jakarta : EGC


Siwi Elisabeth. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal
dan Neonatal. Yogyakarta : Pustakabarupress

29
E. SOP penanganan perdarahan postpartum primer
1. Definisi perdarahan postpartum primer
Yang dimaksud dengan perdarahan postpartum primer ialah perdarahan
yang berjumlah lebih dari 500 ml dan terjadi dalam batas waktu 24 jam
pertama setelah anak lahir.
2. Etiologi
Sering kali faktor etiologi diserupakan dengan faktor predisposisi.
Sebenarnya bila dikaji dari sudut mekanisme perdarahan, maka perdarahan
pada sesuatu tempat ditubuh baru terjadi jika keutuhan pembuluh darah
terganggu/terluka dan mekanisme pembekuan tidak mampu membendungnya.
Bertitik tolak dari keterangan ini, maka yang menjadi etiologi perdarahan
setlah anak lahir adalah perlukaan pada salah satu tempat di jalan lahir bagian
lembut dan penyakit yang menghalangi mekanisme pembekuan.
3. Tanda-tanda klinik
Hipotensi dan takikardia serta oliguria yang menyertai perdarahan setelah
anak lahir pertanda telah terjadi hipovolemia berat dan penderita sudah berada
dalam syok. Akan tetapi keadaan normotensif dan nadi yang normal tidak
dalam keadaan syok. Perkiraan jumlah darah dengan cara melihat darah yang
keluar, walaupun ditampung ke dalam nier bekken, pun tidak menyatakan
kebenaran, karena pada keadaan yang demikian kehilangan darah yang
sesungguhnya dari sirkulaasi dengan pengukuran yang tepat bisa jadi
berjumlah telah dua kali lipat dari yang disaksikan secara visual.
4. Penanganan
a. Upaya pencegahan
Oleh karena tidak adda kepastian apakah akan terjadi perdarahan atau
tidak, setelah anak lahir, maka terhadap semua parturien yang berisiko
tinggi yaitu mereka yang mempenyuai faktor-faktor predisposisi ditemouh
kebijaksanaan yang bermotto bersiap-siap menanggulangi semua yang
mungkin terjadi sambil berharap agar semua yang buruk tidak akan datang.
Dengan demikian sejak dalam perawatan prenatal sudah mulai diidentifikasi
dan di tanggulangi semua pasie risiko tinggi akan perdarahan.
b. Penanggulangan keadaan umum
Dalam menghadapi kasus perdarahan berlaku kebijaksanaan. Hati-hati
kepada perdarahan yang kelihatanya tiap kali darah mengalir jumlahnya
tidak banyak tetapi terjadi berulang. Setelah beberapa waktu kemudian,

30
katakanlah setengah sampai satu jam kemudian, secara kumulatif telah
banyak darah yang hilang. Perdarahan yang belum mencapai lebih dari pada
30% jumlah darah tubuh, belum ada tanda-tanda penurunan tensi dan
percepatan nadi yang mengkhawatirkan. Jika perdarahan berlangsung terus,
mislnya karena kewaspadaan terhadap situasi yang demikian berkurang, dan
pengawasaan hanya terpaku kepada pengukuran tensi dan nadi yang
kelihatanya telah menunjukan keadaan presyok dan baru ketika itu segala
sesuatu mulai dipersiapkan untuk pemberian infus dan tranfusi.Maka
tindakan tersebut dinilah telah terlambat.
c. Penanganan khusus
1) Plasenta terlepas sebagian
Perdarahan bisa terjadi pada bagian dinding dalam rahim yang
sebagaian plasentanya telah lepas, oleh karena ittu segera upayakan
melahirkan plasentanya setelah keadaaan umum ditanggulangi.
Urutannya tindakan yang dilakukan adalah massase, tindakan brandt
andrewa, tindakan crede, mengeluarkan plasenta dengan tangan , dan
histerektomi atau ligasi arteria hipogstrika. Tindakan yang terakhir ini
dikerjakan jika ternyata plasenta tidak dikeluarkan dengan cara manual
misalnyya karena plasenta perkreta atau inkreta.
a) Massase
b) Tindakan brandt-andrews
c) Tindakan crede
d) Pengeluaran plasenta dengan tangan
e) Histerektomi dan ligasi arteria hipogastrika
2) Atonia uteri
Penangan atonia uteri dalam kala IV adalah pertama dilakukan
massase rahim, mula-mula secara perlahan-lahan dan merata, apabila
belum ada kontrasi, teruskan massase dengan cepat dan meliputi seluruh
korpus. Berikutnya (langkah kedua), tanpa menunggu selesai massase,
segera berikan infuse larutan garam fisiologis atau larutan ringer laktat
yang berisi 20 unit oksitosin per 1000 ml larutan dengan kecepatan tinggi
yaitu 10 ml permenit. Jangan berikan suntikan oksitosin secara bolus
karena dapat menyebabkan hipotensi yang berat. (langkah ketiga),
apabila perdarahan belam dapat dikendalikan, segera lakukan eksplorasi
kavum uteri dengan tangan yang bersarung steril untuk mengeluarkan

31
semua bekuan darah yang ada di dalamnya, atau sisa ketuban atau
jaringan plasenta dan pecahan desidua. Setelah itu segera lakukan
tindakan kompresi bimanual. (langkah keempat) bila perdarahan tidak
segera berhenti. Caranya ialah dengan memasukan satu tangan yang
digenggam seperti tinju kedalam vagina dan meletakkan tinju tersebut
pada forniks anterior untuk menekan korpus dari depan sementara jari-
jari tangan luar melalui dinding perut ibu melakukan tekanan pada bagian
belakang korpus kea rah yang berlawanan dengan tekanan yang
dilakukan tangan yang didalam.
3) Koagulopati konsumtif
Perdarahan setelah kelahiran anak dan plasenta bisa juga disebabkan
oleh gangguan mekanisme pembekuan darah yang terjadi umumnya
sebagai akibat dari pembekuan darah intravaskuler merata, atau oleh
karena kelainan bawaan (herideter) pada mekanisme pemebekuan.
Berikan transfuse darah segar yang banyak dan jika perlu lakukan
histerektomi.
4) Inversion uteri
Atasi syok dan lakukan reposisi di bawaan anestesi serta antibiotika.
Reposisi dapat diakukan dengan cara manual atau operasi. Operasi
reposisi dikerjakan secara transvaginal atau transabdominal dengan
metode operasi yang berbeda-beda.

32
PENANGANAN PERDARAHAN POST
PARTUM PRIMER
IVA D-IV KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES
GORONTALO

SOP
Perdarahan post partum primer adalah perdarahan yang
Pengertian
terjadidalam 24 jampertama setelah bayi lahir.
Menghentikan pendarahan post partum tanpa ada
Tujuan
komplikasi
Referensi Wiknjosastro hanifa gulardi,dkk. 2014. Buku Panduan
Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta : PT Bina Pustaka
Prosedur / Langkah- 1. Nilai sirkulasi, jalan napas, dan pernafasan pasien
langkah 2. Bila menemukan tanda-tanda syok, lakukan
penatalaksanaan syok
3. Berikan oksigen
4. Pasang infus intravena dengan kanul ukuran besar
(16 atau 18) dan mulai pemberian cairan
kristaloid (NaCl 0,9% atau RL) sesuai dengan
kondisi ibu. Pada saat memasang infus, lakukan
pengambilan darah untuk pemeriksaan
laboratorium.
5. Lakukan pengawasan tekanan darah, nadi, dan
pernafasan ibu.
6. Periksaan kondisi abdomen : kontraksi uterus,
nyeri tekan, parut luka, dan tinggi fundus uteri
7. Periksa jalan lahir dan area perineum untuk
melihat perdarahan dan laserasi (jika ada, missal :
robekan serviks atau robekan vagina)
8. Periksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban.
9. Pasang folley kateter untuk memantau volume
urine dibandingkan dengan jumlah cairan yang

33
masuk.
10. Siapkan transfuse darah jika kadar HB <8 g/dl
atau secara klinis ditemukan keadaan anemia brat.
11. Tentukan penyebab perdarahannya dan lakukan
tatalaksana spesifikasi sesuai penyebab.

Unit yang terkait PONED

34
F. SOP penanganan perdarahan postpartum sekunder
1. Definisi
Perdarahan post partum sekunder adalah perdarahan yang berjumlah
melebihi lokhia dan yang terjadi sesudah 24 jam pertama kelahiran sampai
berakhirnya masa nifas.
Perdarahan postrpartum sekunder tidak mengancam jiwa seperti pada
perdarahan postpartum primer karena biasanya jumlah perdarahannya tidak
banyak. Namun demikian perdarhan yang demikian akan menyebabkan anemia
dan mengundang infeksi dalam nifas atau sesudahnya.
2. Epidemiologi
Insiden perdarahan ini jauh lebih kurang daripada insiden perdarahan post
partum primer. Setiap rumah sakit pernah merawat pasien demikian dengan
insiden yang berada dari setengah sampai satu setengah persen.
3. Etiologi
Biasanya disebabkan ada bagian dari plasenta dan atau selaput ketuban atau
belkuan darah yang telah terorganisir yang tertahan dalam rahim.Robekan yang
belum sembuh benar diikuti oleh sengama yang dilakukan terlalu dini (koitus
pertama di anjurkan tidak dilakukan sebelum masa nifas berakhir) dan
melarutnya kembali thrombus yang menutup luka ditempat plasenta melekat
atau sembarang perlakuan jalan lahir dapat juga menyebabkan perdarahan
bebrapa waktu setelah partus. Demikian juga pada sub involusi uteri, terutama
bila sama-sama dengan adanya infeksi. Infeksi lebih sering terjadi bila terdapat
sisa plasenta atau selaput ketuban karena jaringan yang nekrotik darah beku
merupakan sumber bahan makanan yang baik bagi bakteri.Walaupun jarang,
mioma submukosun, karsinoma serviks dan kariokarsinoma bisa
mendatangkan perdarahan post partum sekunder.Amat jarang di sebabkan oleh
gangguan sistem pembekuan darah seperti leukimia, purpura dan kerapuhan
pembuluh darah.Penghentian pemakaian estrogen yang biasa dipergunakan
untuk menekan laktasi dapat juga menyebabkan perdarahan (withdrawl
bleeding).
4. Patologi
Uterus yang tidak dapat berkontraksi dan mengalami retraksi yang
sempurna pada akhirnya menyebabkan trombus yang telah menetupi
perlukaan, lepas dan mencair kembali setelah beberapa waktu demikian,
terutama bila bekuan darah yang yterbentuk itu besar dan telah mengalami

35
pengerasan oleh terbentuknya serabut fibrosa.Semua itu membentuk benda
asing, dimana pada akhirnya uterus terangsang, sehingga berkontraksi untuk
mengeluarkan benda asing tersebut dan dengan demikian mulai terjadi
perdarahan. Demikian pula bila ada lesi lain atau trauma yang mengganggu
proses penyembuhan pada perlukaan.
5. Klasifikasi
Terdapat 2 kategori perdarahan post partum sekunder yaitu yang berkaitan
dengan partu dan yang tidak berkaitan dengan partus, misalnya oleh lesi lain
seperti karsinoma serviks, polip, mioma submukosa, dan sebagainya.
6. Tanda-tanda klinis
Perdarahan umumnya terjadai dalam minggu ke 2 atau ke 3 masa
nifas.Biasanya tidak banyak, kadang-kadang lebih banyak dari darah haid
berwarna merah tua serta berbau kalau sudah ada infeksi. Melalui jalan lahir
kadang-kadang keluar bekuan darah atau jaringan sisa plasenta atau selaput
ketuban yang nekrotik. Sering disertai subinvolusi uteri dan kenaikan suhu
badan. Pada periksa dalam uterus masih lebih besar dari pada sepatutnya dan
teraba kadang-kadang nyeri kalau sudah ada infeksi.
7. Diagnosis banding
Harus dibedakan apakah darah itu berasal dari lesi yang terpisah artinya
bukan karena atau akibat persalinan, misalnya perdarahan dari mioma
submukosa atau karsinoma serviks uteri, polip, dan sebagainya.
8. Diagnosis
Biasanya tidak sulit jika dilakukan pemeriksaan spekulum dan periksa
dalam, disertai adanya keterangan tentang baru selesai melahirkan.
9. Penanganan
Penanganan bergantung kepada penyebabnya. Pada umumnya terdapat
subinvolusio uteri yang disebabkan oleh penahanan jaringan di dalam rahim.
Dalam hal yang demikian, terutama jia ada tanda infeksi, berikan uteronika
sperti ergometrin dan antibiotika, sampai tanda-tanda infeksi hilang dan uterus
sudah mengeras. Setelah itu lakukan evakuasi digital atau dengan ovum
forceps dan jika perlu lakukan kerokan untuk membersihkan rongga rahim.
Setelah itu teruskan dengan pemberian egometrin da antibiotika.Biasanya
seleruh pengobatan memakan waktu 3 sampai 5 hari, kecuali jika ada infeksi
berat atau sepsis yang harus ditanggulangi khusus. Transfurtasi darah diberikan
jika ternyata ada anemia terutama jika kadar hemoglobin 8 gram/100 ml atau

36
kurang. Terhadap penyebab yang lain, penangananya disesuaikan dengan
masing-masing sebab.
10. Komplikasi
Anemia dan infeksi nifas adalah dua komplikasi yang paling sering jika
tidak mendapat penanganan yang memadai, infeksi bisa meningkat menjadi
sepsis. Pada keadaan yang demikian jika sepsis sampai mengancam jiwa, perlu
dilakukan histerektomi.

37
PENANGANAN PERDARAHAN POST
PARTUM SEKUNDER
IVA D-IV KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES
GORONTALO

SOP
Perdarahan post partum sekunder adalah perdarahan yang berjumlah
melebihi lokhia dan yang terjadi sesudah 24 jam pertama kelahiran
Pengertian sampai berakhirnya masa nifas. Perdarahan postrpartum sekunder
tidak mengancam jiwa seperti pada perdarahan postpartum primer
karena biasanya jumlah perdarahannya tidak banyak
Sebagai dasar atau acuan untuk mencari penyebab perdarahan yang
Tujuan terjadi serta menstabilkan kondisi ibu agar morbiditas dan mortalitas
ibu dapat diturunkan.
Referensi Wiknjosastro hanifa gulardi,dkk.2014.Buku Panduan Praktis
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.jakarta:pt bina pustaka
sarwono prawiroharjo
Prosedur / Penanganan bergantung kepada penyebabnya. Pada umumnya
Langkah- terdapat subinvolusio uteri yang disebabkan oleh penahanan jaringan
langkah di dalam rahim. Dalam hal yang demikian, terutama jia ada tanda
infeksi, berikan uteronika sperti ergometrin dan antibiotika, sampai
tanda-tanda infeksi hilang dan uterus sudah mengeras. Setelah itu
lakukan evakuasi digital atau dengan ovum forceps dan jika perlu
lakukan kerokan untuk membersihkan rongga rahim. Setelah itu
teruskan dengan pemberian egometrin da antibiotika. Biasanya
seleruh pengobatan memakan waktu 3 sampai 5 hari, kecuali jika ada
infeksi berat atau sepsis yang harus ditanggulangi khusus.
Transfurtasi darah diberikan jika ternyata ada anemia terutama jika
kadar hemoglobin 8 gram/100 ml atau kurang. Terhadap penyebab
yang lain, penangananya disesuaikan dengan masing-masing sebab.

Unit yang
PONED
terkait

38
G. SOP penanganan sepsis puerperalis
1. Definisi sepsis puerperalis
Sepsis puerperalis adalah infeksi pada traktus genetalia yang dapat terjadi
setiap saat antara rupture membrane atau persalinan dan 42 hari setelah
persalinan atau abortus.
2. Tanda dan gejala
a. Demam
b. Nyeri pelvic
c. Nyeri tekan di uterus
d. Lochia berbau menyengat (busuk)
e. Keterlambatan dalam penurunan ukuran uterus
3. Penyebab
Beberapa bakteri yang paling umum adalah
a. Streptokokus
b. Stafilokokus
c. Escherichia coli (E.Coli)
d. Clostridium tetani
e. Clostridium welchii
f. Chlamidia dan gonokokus ( bakteri penyebab penyakit menular seksual)
Infeksi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gabungan antara
beberapa macam bakteri.Bakteri tersebut bisa endogen atau eksogen.
a. Bakteri endogen
Bakteri ini secara normal hidup di vagina dan rectum tanpa menimbulkan
bahaya (misalnya, beberapa jenis streptokokus dan stafilokokus, E.Coli,
clostridium welchii).
Bahkan jika teknik steril sudah digunakan untuk persalinan, infeksi
masih dapat terjadi akibat bakteri endogen.
Bakteri endogen juga dapat membahayakan dan menyebabkan infeksi jika :
1) Bakteri ini masuk ke dalam uterus melalui jari pemeriksa atau melalui
instrument pemeriksaan pelvic
2) Bakteri terdapat dalam jaringan yang memar, robek/laserasi, atau
jaringan yang mati (misalnya, setelah persalinan traumatic atau setelah
persalinan macet)
3) Bakteri masuk sampai ke dalam uterus jika terjadi pecah ketuban yang
lama

39
b. Bakteri eksogen
Bakteri ini masuk ke dalam vagina dari luar (streptokokus, clostridium
tetani). Bakteri eksogen dapat masuk ked ala vagina :
1) Melalui tangan yang tidak bersih dan instrument yang tidak steril
2) Melalui substansi/benda asing yang masuk ke dalam vagina (misalnya,
jamu, minyak, kain)
3) Melalui aktivitas seksual
4. Penanganan
Sebagaimana pada kasus infeksi lainnya, prinsip penatalakasanaan adalah
drainase dan pemberian antibiotika yang adekuat. Pada sebagian besar kasus
biasanya dilakukan pelepasan benang jahitan episiotomy dan luka yang
terinfeksi dibuka. Bila permukaan episiotomy sudah bebas dari infeksi,
ditandai dengan timbulnya jaringan granulasi yang berwarna merah muda,
dapat dilakukan penjahitan perineum secara sekunder.
Adanya antibiotik yang baik sekarang ini, mengubah prognosis infeksi
puerperalis dan pengobatan infeksi puerperalis, dengan obat-obat tersebut
merupakan tindakan yang utama.
Disamping pemberian antibiotik dalam pengobatan infeksi puerperalis,
masih diperlukan beberapa tindakan khusus untuk mempercepat penyembuhan
infeksi tersebut, antara lain :
a. Luka perineum, vulva, vagina : jika terjadi infeksi dari luka luar, biasanya
jahitan diangkat supaya ada drainage getah-getah luka. Juga diberi kompres
pada luka.
b. Endometritis : pasien sedapatnya diisolasi, tetapi bayi boleh terus menyusu
pada ibunya. Untuk kelancaran pengaliran lochia, pasien boleh diletakkan
dalam letak fowler dan diberi juga uterotonik. Pasien harus minum banyak.
c. Tromboflebitis pelvika : tujuan terapi pada tromboflrbitis ialah mencegah
emboli paru dan mengurangi akibat-akibat tromboflebitis (edema kaki yang
lama dan perasaan nyeri di tungkai).
d. Peritonitis : antibiotika diberikan dengan dosis yang tinggi untuk
menghilangkan gembung perut diberi “Abbot Miller tube”. Cairan diberi per
infuse bila perlu debrikan transfusi darah dan O2. Pasien biasanya diberi
sedative untuk menghilangkan rasa nyeri.
e. Parametritis : pasien diberi antibiotic dan jika ada fluktuasi perlu dilakukan
insisi. Tempat insisi ialah di atas lipat paha.

40
5. Faktor risiko pada sepsis puerperalis
Ada beberapa ibu yang lebih mudah terkena sepsis puerperalis, misalnya ibu
yang mengalami anemia atau kekurangan gizi atau ibu yang mengalami
persalinan lama. Ibu di masa postpartum (masa nifas) memang rentan terhadap
infeksi karena adanya factor-faktor berikut:
a. Sisi perlekatan plasenta merupakan tempat yang besar, hangat, gelap, dan
basah. Ini memungkinkan bakteri untuk tumbuh dengan sangat cepat.
Tempat seperti ini merupakan suatu media yang ideal untuk pembiakan
bakteri. Di laboratorium, kondisi-kondisi yang hangat, gelap, dan basah
sengaja dibuat untuk membantu bakteri tumbuh dan berbiak.
b. Sisi plasenta memili persediaan ddarah yang kaya, dengan pembuluh-
pembuluh darah besar yang langsung menuju sirkulasi vena utama. Hal ini
memungkinkan bakteri disisi plasenta untuk bergerak dengan sangat cepat
kedalam aliran darah. Ini disebut septikemia. Septicemia dapat
menyebabkan kematian dengan sangat cepat.
c. Sisi plasenta tidak jauh dari bagian luar tubuh ibu. Hanya panjang vagiana
(9-10 cm) yang memisahkan jalan masuk ke uterus dari lingkungan luar. Ini
berarti bahwa bakteri yang biasanya hidup di rectum dapat dengan mudah
pindah ke dalam vagina dan kemudian menuju uterus. Disini bakteri
menjadi berbahaya atau “patogenik” karena menyebabkan infeksi pada sisi
plasenta.
d. Selama pelahiran, area serviks ibu, vagina, atau area perineumnya mungkin
robek atau diepisotomi. Area jaringan yang terluka ini rentan terhadap
infeksi, terutama jika teknik steril pada pelahiran tidak digunakan. Infeksi
biasanya terlokalisasi, tetapi pada kasus-kasus berat infeksi ini dapat
menyebar ke jaringan di bawahnya.

41
SEPSIS PUERPERALIS

IVA DIV KEBIDANAN


POLTEKES KEMENKES
GORONTALO

SOP

Pengertian (definisi) Infeksi nifas adalah keadaan yang mencakup semua


peradangan alat-alat genitalia dalam masa nifas.
Tujuan Mengenai tanda-tanda sepsis puerperalis dan
mengambil tindakan yang tepat.
Prosedur 1. Prinsip-prinsip pengelolaan sepsis nifas adalah:
kecepatan, keterampilan dan prioritas.Penekanan
terletak pada pentingnya bekerja dengan cepat dan
menurut. Prioritas dalam mengelola sepsis nifas
adalah:
a. Menilai kondisi pasien
b. Memulihkan pasien
c. Mengisolasi sesegera mungkin pasien yang
diduga infeksi
d. Mengambil spesimen untuk menyelidiki
organisme kausatif dan mengkonfirmasikan
diagnosis
e. Memulai terapi antibiotik yang sesuai prioritas,
ini berarti harus dilakukan pertama atau sebelum
hal lainnya.
2. Manajemen Umum Sepsis Puerperalis
a. Mengisolasi pasien yang diduga terkena sepsis
puerpuralis dalam pemberian pelayanan
kebidanan. Tujuannya adalah untuk mencegah
penyebaran infeksi pada pasien lain dan bayinya.
b. Pemberian antibiotik
Kombinasi antibiotik diberikan sampai pasien bebas
demam selama 48 jam, dan kombinasi antibiotik
berikut ini dapat diberikan :

42
1) Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam, dan
2) Gentamisin 5 mg / kg berat badan IV setiap
24 jam, dan
3) Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam.
4) Jika demam masih ada 72 jam setelah
pemberian antibiotik di atas, dokter akan
mengevaluasi dan rujukan ke fasilitas
kesehatan tingkat yang lebih tinggi mungkin
diperlukan. Antibiotik oral tidak diperlukan
jika telah diberikan antibiotik IV.Jika ada
kemungkinan pasien terkena tetanus dan ada
ketidakpastian tentang sejarah vaksinasi
dirinya, perlu diberikan tetanus toksoid.
c. Memberikan banyak cairan
Tujuannya adalah untuk memperbaiki atau
mencegah dehidrasi, membantu menurunkan
demam dan mengobati shock. Pada kasus yang
parah, maka perlu diberikan cairan infus. Jika
pasien sadar bisa diberikan cairan oral.
d. Mengesampingkan fragmen plasenta yang
tertahan
Fragmen plasenta yang tersisa dapat menjadi
penyebab sepsis nifas. Pada rahim, jika terdapat
lokhia berlebihan,berbau busuk dan mengandung
gumpalan darah, eksplorasi rahim untuk
mengeluarkan gumpalan dan potongan besar
jaringan plasenta akan diperlukan. Tang Ovum
dapat digunakan, jika diperlukan.
e. Keterampilan dalam perawatan kebidanan
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
kenyamanan pasien dan untuk membantu
penyembuhannya. Berikut aspek perawatan yang
penting:
 Istirahat
 Standar kebersihan yang tinggi, terutama

43
perawatan perineum dan vulva
 Antipiretik dan / atau spon hangat mungkin
diperlukan jika demam sangat tinggi
 Monitor tanda-tanda vital, lokhia, kontraksi
rahim, involusi, urin output, dan mengukur
asupan dan keluaran
 Membuat catatan akurat
 Mencegah penyebaran infeksi dan infeksi
silang.
Referensi : Sulaiman, Sastrawinata, 2008.Ilmu Kesehatan
Reproduksi Obstetri Patologi.Jakarta:EGC

44
H. SOP penanganan asfiksia neonatus
1. Definisi
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir (Sarwono, 2007). Asfiksia
neonatorium adalah keadaan bayi yang tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkat
CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Manuaba,
1998).
2. Etiologi
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) :
a. Gangguan sirkulasi menuju janin, menyebabkan adanya gangguan aliran
pada tali pusat seperti : lilitan tali pusat, simpul tali pusat, tekanan pada tali
pusat, ketuban telah pecah, kehamilan lewat waktu, pengaruh obat, karena
narkoba saat persalinan.
b. Faktor ibu misalnya gancgguanc HIS, tetania uteri, hipertoni, turunya
tekanan darah dapat berdanpak : perdarahan pada plasenta previa dan
solusio plasenta, vaso kontraksi arterial, hipertensi dalam hamil dan gestosis
preeklamsi-eklamsia, gangguan pertukaran nutrisi/O2, solusio plasenta.
3. Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari
anoksia/hipoksia janin.diagnosis anoksia/hipoksia janin dapat dibuat dalam
persalinan dengan ditemukanya tanda-tanda gawat janin. tiga hal yang perlu
mendapat perhatian yaitu :
1) Denyut jantung janin : frekuensi normal ialah antara 120 dan 160 denyut
permenit. Apabila frekuensi denyut turun sampai dibawah 100 permenit di
luar his dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
2) Mekonium dalam air ketuban: adanya mekonium pada presentasi kepala
mungkin menunjukan gangguan oksigenasi dan gawat janin, karena terjadi
rangsang nervus X, sehingga peristaltik usus meningkat dan sfingter ani
terbuka. Adanya menonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan
dengan mudah.
3) Pemeriksaan PH darah janin, adanya asidosis mnyebabkan turunya PH. Apa
bila PH itu turun sampai dibawah &, 2 hal itu dianggap sebagai tanda
bahaya

45
4. Penatalaksanaan
a. Tindakan Umum
Bersihkan jalan nafas : kepala bayi diletakan lebih rendah agar lendir
mudah mengalir, bila perlu digunakan laringoskop untuk membantu
pengisapan lendir dari saluran nafas yang lebih dalam.
b. Tindakan khusus/ asuhan yang diberikan oleh bidan
Pada khasus asfiksia berat : berikan O2 dengan tekan positif dan
intermiten melalui pipa endotrakeal. Dapat dilakukan dengan tiupan udara
yang telah diperkaya dengan O2. Tekanan O2 yang diberikan tidak 30 cm H
20. Bila pernafsan spontan tidak timbul lakukan massage jantung dengan
ibu jari yang menekan pertengahan sternum 80-100x/menit.
Asfiksia sedang ringan : pasang relkiek pernafasan (hisap lendir,
rangsang nyeri) selama 30-60 detik. Bila gagal lakukan pernafasan kodok
(frog breathing) 1-2 1menit melalui kateter dalam hidung. Buka tutup mulut
dan hidung serta gerakan dagu keatas bawah secara teratur 20x/menit.
c. Langkah-langkah dasar resusitasi pada bayi baru lahir.
1) Menjaga suhu badan. Bayi diletakan di atas radiant warmer dan secepat
mungkin di keringkan. Lepaskan dengan cepat kaain yang basah dan
bungkus bayi dengan selimut yang hangat untuk mengurangi kehilangan
panas atau dengan cara meletakan bayi yang kering dikulit ibu agar
menggunakan suhu panas dari ibu.
2) Membebaskan jalan napas. Posisi bayi lahir adalah terlentang atau miring
pada satu sisi dan kepala bayi pada posisi netral. Kemudian lendir
bersihkan dengan mengusap mulut dan hidung dengn menggunakab kasa
atau kain. Bila lendir banyak, kepala bayi dimiringkan ke samping dan
lendir di isap dari jalan nafas.
3) Memberi rangsangan taktil. Apa bila terjadi pernafasan spontan, lakukan
pengusapan unggung jika rangsangan pada telapak kaki tidak dapat
menimbulkan pernafasan spontan.
4) Memberikan oksigen. Oksigen 100% diberikan pada keadaan sionosis,
bradikardia, atau tanda distres pernafasan yang lain pada bayi yang
bernafas selama satbilisasi.
5) Memberikan ventilasi. Indikasi pemberian ventilasi tekanan postif
anatara lain apnea atau gasping, denyut jantung <100 denyutpermenit.

46
Pemberian ventilasi berkisar 40-60 kali pernafasan permenit (30 kali
pernafasan bila disertai dengan pemijatan dada).
6) Melakukan pemijatan dada. Pemijatan dada 1/3 bawah sternum. Teknik
yang digunakan adalah dengan
a) Dua ibu jari pada sternum saling bertumpu dan berdampingan
bergantung apada besar bayi dan jari melingkar dada dan menahan
punggung.
b) Dua jari diletakan di sternum pada sudut kanan dada dan tangan yang
lain menahan punggung.
7) Medikasi. Obat-obatan yang diberikan ketika resusitasi bayi baru lahir
adalah :
a) Epinefrin. Dosis yang direkomendasikan 0,1-0,3 ml/kg berat badan
dalam larutan 1:10.000(0,01-0,03 mg/kg berat badan ) melalui IV atau
endotrakeal diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
b) Bikarbonat. Dosis yang digunakan 1-2 mg/kg berat badan (0,5 mg ml
larutan) diberikan secara IV lambat minimal lebih dari 2 menit bila
ventilasi perfusi baik.
d. Langkah-langkah resusitasi pada asfiksia neonatorium
1) Lakukan penilaian : apakah BBl bernafas atau menangis? apakah cairan
ketuban berwarna hijau.
2) Jika bayi tidak bernafas atau mengalami kesulitan bernafas, maka
lakukan langkah awal : cegah kehilangan panas dengan melakukan pada
tempat yang kering dan hangat, mengatur posisi bayi, bersihkan jalan
nafas dengan menghisap mulut dan hidung, mengeringkan sambil
melakukan rangsangan taktil, lakukan penilaian.
3) Juka bayi bernafas dengan baik, maka lakukan asuhan normal bayi baru
lahir, keringkan dan hangatkan, kontak kulit ibu ke kulit bayi, berikan
inisiasi menyusui dini.
4) Jika bayi tidak bernafas normal atau megap-megap, maka lakukan
resusitasi dengan ventilasi positif memakai balon sungkup. Jelaskan
keadaan bayi dan tindakan, pasang sungkup menutupi hidung dan mulut
bayi, lakukan pengujian ventilasi 2x, bila dada tidak mengembang,
periksa/lihat kepala dan sungkup, apakah da lender dalam mulut bayi,
kemudian lakukan ventilasi 40x dalam 60 detik sambil mamantau
gerakan naik turun dinding dada, dilanjutkan dengan penilaian

47
pernafasan dalam 10 detik, denyut jantung dalam 10 detik dan warna
kulit bila tidak terjadi pernafasan spontan setelah 2-3 menit, rujuk,
teruskan ventilasi selama menuju fasilitas rujukan, dan lakukan penilaian
sampai pernafasan spontan.
5) Jika bayi bernafas dengan baik nafas normal, 30-60 kali permenit tidak
ada cekungan dada, maka lakukan asuhan normal bayi baru lahir.
Keringkan dan hangatkan, kontak kulit ibu ke kulit bayi, lakukan inisiasi
menyusu dini.
6) Jika bayi tidak bernafas setelah 20 menit : hentikan resusitasi, beri
dukungan pada ibu dan keluarga.
5. Pemeriksaan diagnostik
Untuk menentukan diagnosis bayi yang mengalami asfiksia anatara lain :
pemeriksaan darah kadar As, laktat kadar bilirubin, kadar PaO2, PH :
pemeriksaan fungsi paru, pemeriksaan fungsi kardiovaskuler, gambaran
patologi.

48
SOP ASFIKSIA
PADA BAYI BARULAHIR
IVA D-IV KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES GORONTALO

SOP
1. Pengertian Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat
segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir (Sarwono,
2007). Asfiksia neonatorium adalah keadaan bayi yang tidak dapat
segera bernafas secara spontan dan teratur, sehingga dapat
menurunkan O2 dan makin meningkat CO2 yang menimbulkan
akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 1998).

2. Tujuan Sebagai acuan petugas dalam mencegah komplikasi dan kematian


bayi baru lahir karena gagal nafas

3. Referensi Yulianti Lia, dkk. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita.
Jakarta : Trans Info Medika

4. Prosedur 1. Alat
a. Radiant warmer/dengan pemancar panas (lampu)
b. Meja datar
c. Kain bayi
d. Bantalan bahu
e. Balon dan Sungkup resusitasi
f. Oksigen
g. Pipa oksigen
h. Stetoskop
i. Laringoskop dgn baterai cadangan
j. Laringoskop dengan daun lurus
k. Pipa ET
l. Stilet
m. Pipa penghisap
2. Bahan
a. Plester dan gunting
b. Tempat sampah infeksiosus
c. Larutan klorin

49
5. Langkah - 3. Tindakan Umum
langkah Bersihkan jalan nafas : kepala bayi diletakan lebih rendah
agar lendir mudah mengalir, bila perlu digunakan laringoskop
untuk membantu pengisapan lendir dari saluran nafas yang
lebih dalam.
4. Tindakan khusus/ asuhan yang diberikan oleh bidan
Pada khasus asfiksia berat : berikan O2 dengan tekan
positif dan intermiten melalui pipa endotrakeal. Dapat
dilakukan dengan tiupan udara yang telah diperkaya dengan
O2. Tekanan O2 yang diberikan tidak 30 cm H20. Bila
pernafsan spontan tidak timbul lakukan massage jantung
dengan ibu jari yang menekan pertengahan sternum 80-
100x/menit. Asfiksia sedang ringan : pasang relkiek
pernafasan (hisap lendir, rangsang nyeri) selama 30-60 detik.
Bila gagal lakukan pernafasan kodok (frog breathing) 1-2
menit melalui kateter dalam hidung. Buka tutup mulut dan
hidung serta gerakan dagu keatas bawah secara teratur
20x/menit.
5. Langkah-langkah resusitsi pada asfeksia neonatorium
a. Lakukan penilaian : apakah BBL bernafas atau menangis?
apakah cairan ketuban berwarna hijau.
b. Jika bayi tidak bernafas atau mengalami kesulitan bernafas,
maka lakukan langkah awal : cegah kehilangan panas
dengan melakukan pada tempat yang kering dan hangat,
mengatur posisi bayi, bersihkan jalan nafas dengan
menghisap mulut dan hidung, mengeringkan sambil
melakukan rangsangan takti, lakukan penilaian.
c. Juka bayi bernafas dengan baik, maka lakukan asuhan
normal bayi baru lahir, keringkan dan hangatkan, kontak
kulit ibu ke kulit bayi, berikan inisiasi menyusui dini.
d. Jika bayi tidak bernafas normal atau megap-megap, maka
lakukan resusitasi dengan ventilasi positif memakai balon
sungkup. Jelaskan keadaan bayi dan tindakan, pasang
sungkup menutupi hidung dan mulut bayi, lakukan
pengujian ventilasi 2x, bila dada tidak mengembang,

50
periksa/lihat kepala dan sungkup, apakah ada lender dalam
mulut bayi, kemudian lakukan ventilasi 40x dalam 60 detik
sambil mamantau gerakan naik turun dinding dada,
dilanjutkan dengan penilaian pernafasan dalam 10 detik,
denyut jantung dalam 10 detik dan warna kulit bila tidak
terjadi pernafasan spontan setelah 2-3 menit, rujuk,
teruskan ventilasi selama menuju fasilitas rujukan, dan
lakukan penilaian sampai pernafasan spontan.
e. Jika bayi bernafas dengn baik nafas normal, 30-60 kali
permenit tidak ada cekungan dada, maka lakukan asuhan
normal bayi baru lahir. Keringkan dan hangatkan, kontak
kulit ibu ke kulit bayi, lakukan inisiasi menyusu dini.
f. Jika bayi tidak bernafas setelah 20 menit : hentikan
resusitasi, beri dukungan pada ibu dan keluarga.
KAPAN HARUS MERUJUK:
1. Rujukan paling ideal adalah rujukan antepartum untuk ibu
resiko tinggi/komplikasi
2. Bila puskesmas tidak mempunyai fasilitas lengkap dan
kemampuan melakukan pemasangan ET dan pemberian obat-
obatan serta bayi tidak memberikan respon terhadap tindakan
resusitasi, maka segera lakukan rujukan
3. Bila oleh karena satu dan lain hal bayi tidak dapat dirujuk,
maka dilakukan tindakan paling optimal di Puskesmas dan
berikan dukunga emosional kepada ibu dan keluarga.
4. Bila sampai dengan 10 menit, bayi tidak dapat dirujuk,
jelaskan kepada orang tua tentang prognosis bayi yang kurang
baik dan pertimbangkan manfaat rujukan untuk bayi, apakah
bayi dapat memperoleh perbaikan keadaan jika dirujuk atau
justru dapat memperparah keadaan bayi.
KAPAN MENGHENTIKAN RESUSITASI:
Resusitasi dinilai tidak berhasil jika:
Bayi tidak bernafas spontan dan tidak terdengar denyut jantung
setelah dilakukan resusitasi secara efektif selama 10 menit.

6. Unit Terkait Semua Unit Terkait

51
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Standar asuhan kebidanan adalah acuan dalam proses pengambilan keputusan
dan tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai kewenangan dan ruang lingkup
prakteknya berdasarkan ilmu dan kiat kebidanan. Mulai dari pengkajian,
perumusan diagnosa, atau masalah kebidanan, perencanaan, implementasi,
evaluasi dan pencatatan asuhan kebidanan atau dokumentasi.
Pengetahuan menyeluruh dan penerapan tentang Standar Asuhan kebidanan
sangat penting jika bidan menilai status kesehatan ibu dan bayi secara akurat
untuk memastikan bahwa pemantauan sesuai dengan standar yang diharapkan dan
mengurangi masalah kerusakan lingkungan hidup manusia di bumi telah diketahui
secara umum dan dapat memberikan dampak kerugian bagi kesehatan ibu dan
bayi sehingga dapat mengakibatkan kematian.
B. Saran
Dengan adanya standar praktik kebidanan diharapkan seorang bidan dalam
melakukan pelayanan harus sesuai standar praktik peraturan perundang-undangan
yang telah ditetapkan agar memberikan pelayanan yang berkualitas sera
mengurangi AKI (angka kematian ibu) dan AKB (angka kematian bayi).

52

Anda mungkin juga menyukai