Anda di halaman 1dari 7

INFEKSI SALURAN NAFAS BAWAH AKUT

Diposkan Oleh SEA DRAGON Pada Sabtu, 05 Maret 2011 |


21:48
Infeksi saluran nafas bawah akut adalah masalah kesehatan masyarakat yang persisten dan
menyeluruh. Infeksi saluran nafas bawah akut menimbulkan wabah di seluruh dunia yang lebih
besar daripada infeksi virus immunodefisiensi, malaria, kanker, atau serangan jantung. Di
Amerika Serikat, infeksi saluran nafas bawah akut menyebabkan lebih banyak angka kesakitan
dan kematian dibandingkan infeksi yang lain, dan ada sedikit perubahan dalam angka kematian
yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas selama lebih 5 dekade.

Hasil atau prognosis dari infeksi saluran nafas bawah akut bergantung pada virulensi organisme
dan respon inflamasi paru. Ketika sejumlah kecil mikroba virulensi rendah tersimpan atau
mengendap di paru, pertahanan efektif dapat ditingkatkan oleh sistem pertahanan imun bawaan
seperti bersihan mukosiliar, protein anti mikroba di permukaan cairan saluran nafas dan
makrofag alveolar. Sebaliknya, beberapa atau kebanyakan mikroba virulen menimbulkan respon
inflamasi. Meskipun respon ini berperan dalam membangkitkan imunitas bawaan dan
kepentingannya untuk membersihkan paru-paru dari mikroba, respon ini juga berperan langsung
terhadap cedera paru dan fungsi abnormal paru. Artikel ini membicarakan mengenai pemahaman
terbaru kami tentang respon inlamasi pada paru-paru yang terinfeksi, menekankan pada
kemajuan terbaru dan adanya celah dalam ilmu pengetahuan mengenai hal ini. Banyak informasi
beasal dari percobaan-percobaan terhadap hewan, studi terhadap manusia dan data yang berasal
dari pasien juga disertakan apabila sesuai dan cukup tersedia.

a. Inflamasi dan imunitas bawaan


Inflamasi akut menampilkan akumulasi dari netrofil dan eksudat plasma di luar pembuluh darah.
Di kapiler paru-paru yang tidak terinfeksi, isi darah ini normalnya dipisahkan dari udara di
alveolus oleh kurang dari 1µm, penghalang yang paling tipis antara darah dan lingkungan luar.
Terperangkapnya netrofil di kapiler ini sebagai hasil desakan geometri dan biofisikal, sehingga
menambah kuantitas per volume darah kira-kira 50 kali dibandingkan dengan pembuluh darah
lain, pembentukan sejumlah netrofil yang siap berespon ketika diperlukan.
Selama infeksi paru, netrofil bermigrasi keluar dari kapiler paru dan masuk ke dalam rongga
udara alveolar. Elie Metchnikoff, penemu fagositosis menganggap netrofil (atau mikrofag
sebutan olehnya) menjadi sel pertahanan yang luar biasa melawan mikroorganisme. Setelah
fagositosis, netrofil membunuh mukroba yang diingesti dengan senyawa oksigen reaktif (cth:
hipoklorit), protein anti mikroba (cth: permeabilitas bakterisid yang diinduksi oleh protein dan
laktoferin), dan enzim penghancur (cth: elastase) (gbr 1). Suatu jalur tambahan penghancuran
bakteri telah diidentifikasi –perangkap netrofil ekstraselular (NET). Netrofil extrude (NETs)
yang tersusun atas jaringan kromatin yang berisi protein anti mikroba, dan NETs ini menjerat
dan membunuh bakteri ekstraselular. Masih ditentukan apakan NETs berguna dalam mekanisme
pertahanan inang melawan mikroba yang motil di cairan yang tidak berstruktur dan bergerak
yang mengisi rongga udara paru yang terinfeksi.
Isi protein plasma pada interstisium dan rongga udara paru yang terinfeksi ditentukan oleh aksi
kombinasi aliran besar periselular dan transpor transelular oleh sel endotel dan epitel. Banyak
protein plasma termasuk antibodi alami, protein komplemen, C-reaktif protein (yang berasal dari
serum pasien dengan pneumonia), dan pentraxin 3 adalah penting sebagai pertahanan melawan
mikroba di paru-paru. Mereka melakukan fungsi opsonisasi, bakteriostatik dan mikrobisidal
selama infeksi. Defisit dalam jumlah netrofil (netropenia) dan defek pada kualitas (seperti pada
penyakit granulomatous kronik) berperan dalam menentukan pasien untuk mendapatkan infeksi
opurtunistik paru, begitu juga dengan defisiensi komplemen dan immunoglobulin. Karena
netrofil dan protein plasma memperantarai fungsi imun bawaan dan diperlukan untuk mencegah
infeksi paru, inflamasi akut biasa dianggap sebagai respon imin bawaan yang penting dalam
paru.

b. Proses terjadinya inflamasi akut pada paru yang terinfeksi


b.1. Molekul yang mendeteksi mikroba
Mikroba pasti dideteksi oleh sel inang untuk memulai proses inflamasi pada paru yang terinfeksi.
Identifikasi penyerbuan mikroba bergantung pada satu set reseptor yang bermacam-macam yang
disebut resptor-reseptor pengenal pola, yang melekat pada cairan molekular yang umumnya
terdapat pada mikroba. Penemuan kelompok baru reseptor pengenal pola, seperti reseptor yang
menyerupai jembatan, pengikat nukleotida, dan protein yang berbasis oligomerisasi dan
penarikan caspase berbasis helicase, telah melengkapi penelitian tentang biologi imunitas
bawaan. Tabel 1 mendaftar beberapa reseptor pengenal pola dengan hubungan langsung terhadap
imunitas bawaan pada paru-paru atau terhadap infeksi pernafasan.
Untuk beberapa mikroba, ada variasi molekul yang bisa mengaktifkan banyak reseptor pengenal
pola yang berbeda. Barangkali karena alasan ini defisiensi reseptor pengenal pola pada individu
menghasilkan mode fenotip yang lebih banyak selama percobaan yang menginduksi infeksi
saluran nafas bawah akut daripada defisiensi protein adapter aliran bawah dengan sinyal dari
banyak reseptor pengenal pola. Jalur sinyal intraselular dicetuskan oleh berbagai reseptor
pengenal pola yang berkumpul pada pusat sinyal, seperti faktor-faktor transkripsi pada faktor inti
ĸB (NF-ĸB) dan golongan faktor regulasi interferon. Faktor-faktor ini menggabungkan sinyal
dari berbagai stimulus (berhubungan dengan reseptor pengenal pola) dan respon-respon
pencetus. NF-ĸB memperantarai transkripsi molekul adhesi, chemokin, colony stimulating factor
dan sitokin-sitokin lain yang diperlukan untuk respon inflamasi. Pada tikus dengan perangsangan
oleh bakteri di paru, NF-ĸB rel A (juga dikenal sebagai p65) diperlukan untuk membangkitkan
produksi molekul adhesi dan chemokin dan juga untuk memulai berkumpulnya netrofil dan
pertahanan inang. Faktor regulasi interferon memperantarai ekspresi dari interferon tipe 1 dan
interferon yang dibangkitkan oleh gen antivirus. Faktor regulasi interferon 3 mempengaruhi
infeksi virus parainfluenza di paru tikus. Tapi gen dan fungsi imun yang diperlukannya atau
faktor regulasi interferon yang lain selama infeksi paru masih tidak diketahui.

b.2. Sel - sel sentinel di paru-paru


Populasi sel myeloid dengan fungsi khusus seperti sel sentinel, makrofag alveolar dan sel
dendritik, terletak dalam paru-paru. Sel-sel ini terutama dilengkapi dengan reseptor pengenal
pola, dan secara alami dikondisikan untuk melawan mikroba yang berasal dari udara luar.
Makrofag alveolar adalah sel yang mobil yang berpatroli di permukaan luminal alveoli.
Makrofag alveolar juga dikenal sebagai dust sel karena kemampuannya untuk menghilangkan
dan mencerna zat-zat inert yang terhirup. Mereka juga menghasilkan tanda peringatan ketika
paru diinfeksi, tetapi penghambatan sinyal ini hingga waktu yang tepat adalah sangat penting.
Suatu mekanisme penghambatan yang mungkin memerlukan ujung globular dari protein A dan
D surfaktan, yang mengikat reseptor makrofag alveolar dan menekan aktivitas inflamasi pada
paru-paru yang terinfeksi. Selama infeksi, ujung globular ini melekat pada zat-zat patogen, dan
adanya ujung kolagen oligomerisasi (suatu hasil pengelompokan protein surfaktan pada
permukaan zat patogen) mengaktifasi makrofag alveolar yang sebelumnya diam. Hal ini masuk
akal bahwa aktivitas inflamasi dari makrofag alveolar secara konstitutif ditekan oleh
Transforming growth factor (TGFβ) yang dihasilkan oleh integrin sel epitel. Produk mikroba
mengawali sinyal yang memperkuat supresi ini, dengan demikian mengaktivasi fungsi inflamasi
makrofag alveolar.
Sel dendritik tersebar diseluruh saluran nafas. Pada jalan nafas bagian konduksi, sel dendritik
intra epitel tersebar hingga ke cairan di lumen saluran nafas, dimana mereka memakan zat-zat
dari material yang disapu oleh transport mukosiliari dari alveolus menuju glottis. Sebagai respon
adanya mikroba di paru-paru, maka lebih banyak sel dendritik bermigrasi ke paru-paru melalui
jaringan dan juga melalui aliran kelenjar limfe. Sel dendritik adalah tipe sel yang
mempresentasikan antigen dan merupakan pusat respon imun yang didapat. Sel dendritik juga
memiliki fungsi penting dalam imunitas bawaan, reseptor pengenal pola yang mereka miliki
membuat mereka secara khusus cocok untuk mendeteksi virus dan ketika terangsang mereka
mulai menghasilkan interferon tipe 1 dengan level yang sangat tinggi. Penurunan jumlah sel
dendritik atau terputusnya sinyal dari interferon 1 menembah kemungkinan terjadinya infeksi
virus di paru.
Makrofag alveolar dan sel dendritik memiliki kemampuan yang terbatas untuk membunuh
mikroba tetapi mereka sangat penting untuk mengenali mikroba dan mengirim informasi ini ke
sel-sel lain seperti sel epitel dan limfosit. Sel-sel ini kemudian mengumpulkan efektor imunitas
bawaan yaitu netrofil.

b.3. Efektor-efektor imunitas bawaan


Rekrutmen netrofil dicetuskan oleh sel-sel paru. Cetusan molekul adhesi pada sel paru
mengakibatkan penarikan dan sinyal informasi terhadap netrofil. Chemokin dari sel-sel paru
menyebabkan kemotaksis dan mempengaruhi arah pergerakan netrofil. Colony stimulating factor
(CSF) menyebabkan produksi netrofil dan pelepasannya dari jaringan haematopoeitik.
Sawar epitel diantara isi rongga udara paru (termasuk mikroba) dan pengendapan zat-zat
menyebabkan hambatan transfer informasi terhadap rekrutmen netrofil. Pada tikus transgenik
penghambatan terhadap aktivasi NF-ĸB ditunjukkan secara eklusif dalam sel epitel paru,
Penghambatan aktivasi NF-ĸB mengurangi ekspresi sitokin dan juga chemokin netrofil. Defek
pada ekspresi gen sel epitel mengganggu proses rekrutment netrofil dan pembunuhan bakteri
dalam paru-paru.
Dengan meningkatnya pengetahuan terhadap peranan sel epitel dalam inflamasi paru, usaha-
usaha sedang dilakukan untuk menjelaskan jalur aktivasi sel epitel pada paru yang terinfeksi. Sel
epitel paru bisa diaktivasi secara langsung oleh beberapa mikroba, seperti Staph aureus,
Pseudomonas aeruginosa, tetapi mikroba lain seperti Pneumococci (Penyebab terbanyak
pneumonia komunitas), sulit atau tidak bisa dikenali oleh sel epitel. Selama pneumonia
pneumococus, sinyal alarm dibangkitkan oleh sel sentinel myeloid terutama TNF-α dan
interleukin-1 (1α dan 1β), penting untuk aktivasi epitel dan menimbulkan respon inflamasi. Blok
terhadap sinyal dari TNF-α atau interleukin 1 menghasilkan efek-efek yang ringan jika
dibandingkan dengan blok terhadap kedua jalur tersebut secara simultan, menimbulkan anggapan
bahwa sitokin-sitokin ini memiliki fungsi yang tumpang tindih selama infeksi saluran nafas akut.
Pertahanan inang yang diperantarai netrofil melawan pneumocici pada paru-paru memerlukan
sinyal-sinyal tersebut.
Sel-sel epitelial juga bisa diaktivasi oleh sitokin limfosit (gbr 2). Interleukin 17 mengaktivasi sel
epitel untuk melepaskan chemokin dan CSF dan ini penting untuk sistem pertahanan inang yang
diperantarai netrofil selama infeksi Kleibsella pneumonia. Selama infeksi tersebut, interleukin 17
diproduksi oleh sel T dan produksinya distimulasi oleh sinyal lain dari interleukin 23 makrofag.
Suatu sub populasi dari beberapa sel T natural killer di paru juga bisa membangkitkan interleuki
17 untuk merangsang sel epitel dan mendatangkan rekrutmen netrofil, dan interleukin 17 yang
dihasilkan sel-sel ini tidak bergantung pada interleukin 23. Sel T yang mensekresi interleukin 17
juga melepaskan interleukin 22, yang berfungsi seperti interleukin 17 dalam mengaktivasi sel-sel
epitel. Jika, kapan dan bagaimana interleukin 22 mempebgaruhi respon imun bawaan selama
infeksi paru adalah pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Netrofil bukanlah titik akhir dalam jalur komunikasi ini, tapi menyampaikan informasi penting
yang mengarahkan respon imun, Netrofil membangkitkan sinyal proinflamasi seperti TNF-α,
interleukin 1 dan chemokin, chemerin (yang menarik dan mengaktivasi sel dendritik) dan
perangsang limfosit β yang mengatur pemilihan, daya tahan dan pertumbuhan sel β. Netrofil
adalah sumber sel T yang mengaktivasi sitokin interleukin 12 pada paru-paru dan interleukin 12
memperkuat interferon γ untuk membantu pertahanan inang yang diperantarai netrofil selama
pneumonia. Netrofil berkemampuan melepaskan reseptor pengenal pola ekstraselular pentraxin
3, dan inang dengan pertahanan tubuh yang lemah misalnya tikus dengan defisiensi petraxin 3
bisa ditingkatkan dengan pemberian larutan pentraxin 3 atau melalui transfer netrofil dari tikus
lain tapi yang tidak mengalami defisiensi pentraxin3. Jadi respon imun bawaan yang didapat
maupun bawaan melawan mikroba pada paru diatur oleh sinyal-sinyal yang berasal dari netrofil
c. Inflamsi dan Cedera paru akut
Inflamsi berbahaya bagi imunitas bawaan dan pertahanan tubuh inang, tapi inflamasi juga bisa
mencederai paru-paru. Pengumpulan cairan plasma ekstravaskular, sebagian pada udem paru non
kardiogenik, adalah pertanda cedera paru-paru akut. Hasil produksi netrofil yang dibangkitkan
untuk membunuh mikroba seperti golongan oksigen reaktif dan protease juga membunuh sel
inang dan merusak jaringan inang. Resiko-resiko inflamasi sebenarnya telah didemontrasikan
pada model yaitu tikus transgenik dimana aktivasi NF-ĸB pada sel epitel paru cukup untuk
menyebabkan rekrutmen netrofil, edema paru, hipoksemia arterial dan kematian meskipun tidak
ada infeksi atau rangsangan eksogen apapun. Jadi, respon imun bawaan diperlukan untuk
menjaga paru dari mikroba tapi juga bisa menyebabkan cedera dan berperan pada patofisiologi
infeksi. Barangkali oleh karena hal ini, infeksi paru merupakan penyebab terbanyak dari sindrom
distres pernapasan akut.
Penghambatan sinyal inflamasi bisa bersifat melindungi selama infeksi paru. Sebagai contoh,
penghentian sinyal TNF-α dan interleukin 1 sekaligus (tapi tidak salah satunya saja) mengurangi
edema paru dan berkurangnya komplians paru yang sering ditemukan pada tikus dengan
pneumonia E. Coli. Reseptor pencetus yang terdapt pada sel Myeloid 1 (TREM-1) yang
berfungsi pada jalur umpan balik positif untuk memperkuat TNF-α, interleukin 1 dan inflamasi,
hal ini sangat berhubungan erat dengan pasien pneumonia yang pengukuran TREM-1 yang
terlarut dalam cairan lavase bronkhoalveolar telah dikemukakan sebagai tes diagnostik.
Penghambatan TREM-1 mengurangi TNF, interleukin 1 dan tampilan patofisiologi pada tikus
dengan pneumonia P.aeruginosa. Kortikosteroid bisa efektif sebagai penghambat non spesifik
inflamasi. Pada uji coba klinis, infus kortikosteroid pada pasien dengan pneumonia komuniti
berat, 23 pasien yang mendapt kortikosteroid mengalami cedera paru yang lebih sedikit dan
angka harapan hidup yang lebih tinggi daripada 23 pasien yang mendapat plasebo. Hasil dari uji
coba ini masih provokatif tapi harus dipandang dengan hati-hati hingga studi lebih lanjut
dilengkapi. Adanya celah dalam ilmu pengetahuan masih substantial. Hal ini belum pernah
terjadi pada pasien yang mana infeksi mungkin bermanfaat daripada terapi antiinflamasi. Pada
keseluruhannya, studi ini menyatakan bahwa terapi dengan bertarget inflamasi mungkin
bermanfaat dalam mengatasi infeksi paru berat tertentu dan memerlukan penelitian lebih lanjut
untuk masalah ini.
Virus influenza patogenitas tinggi sperti virus avian influenza A (H5N1) dan virus yang
menimbulkan pandemic pada 1918, menimbulkan respon inflamasi yang kuat pada manusia dan
hewan coba. Adanya kesamaan pada respon yang berlebihan menyokong ide bahwa apa yang
disebut dengan badai sitokin memperantarai patofisiologi selama infeksi ini, tapi bukti langsung
yang mendukung konsep ini masih kurang. Berkurangnya jumlah netrofil akan meningkatkan
pertumbuhan virus dan mempercepat kematian pada tikus yang terinfeksi virus influenza A
H5N1, memberi kesan bahwa sedikitnya infeksi pada percobaan ini, netrofil melakukan lebih
banyak manfaat daripada kerugian yang ditimbulkannnya. Penghentian sinyal sitokin pada tikus
dengan infeksi virus influenza A H5N1 ada sedikit atau sama sekali tidak ada efek. Anggapan
bahwa sitokin terlalu jauh diteliti adalah tidak terlalu penting terhadap patofisiologi infeksi virus
influenza A H5N1. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menerangkan apakah, dan jika begitu
mediator inflamasi mana yangmempengaruhi patofisiologi infeksi virus influenza patogenitas
tinggi dan apakah penghentian sitokin atau jalur sinyal aliran atas atau bawah dari sitokin bisa
melindungi inang dari cedera inflamasi selama infeksi seperti ini.
d. Regulasi Inflamasi akut pada paru yang terinfeksi
Tubuh memerlukan mekanisme-mekanisme untuk memelihara inflamasi akut tetap terjaga.
Belum banyak diketahui tentang mekanisme regulasi ini bila dibandingkan dengan pengetahuan
tentang mekanisme pencetusan dan penguatan inflamasi. Beberapa contoh bagaimana
mekanisme regulasi mempengaruhi hasil dari infeksi paru dibahas disini.
Strategi penghentian seperti ini adalah untuk membatasi aktifitas NF-ĸB. Protein p50 NF-ĸB
memiliki banyak fungsi seperti mengekang transkripsi gen dengan tempat perlekatan NF-ĸB di
promotornya. Selama pneumonia bakterial pada tikus, defisiensi p50 meningkatkan ekspresi
sitokin dan mencetuskan cedera paru. Jadi, p50 fungsi normalnya adlah untuk mencegah
pertambahan sitokin dan cedera inflamasi selama pneumonia.
Mekanisme lain berhubungan dengan adanya sinyal yang berasal dari reseptor pengenal pola.
Reseptor interleukin 1 yang berhubungan dengan kinase (IRAK)-molekul yang menyerupai
(IRAK-M) menghambat IRAK yang memperantarai pensinyalan dari reseptor pengenal pola dan
sitokin yang mengaktivasi NF-ĸB. Sepsis mencetuskan IRAK-M pada makrofag alveolar tikus,
dan protein ini mengurangi ekspresi sitokin dan membahayakan pertahanan paru inang. IRAK-M
mungkin berperan dalam terjadinya sepsis pada pasien oleh karena nosokomial pneumonia.
Molekul regulasi yang lain menghambat pensinyalan reseptor pengenal pola secara tidak
langsung. Sebagai contoh, karbonmonoksida yang dihasilkan oleh heme oksigenase-1
menghambat pensinyalan reseptor pengenal pola transmembran. Defisiensi heme oksigenasi-1,
meningkatkan inflamasi dan cedera yang diinduksi oleh bakteri dan virus influenza pada paru-
paru tikus. Pencegahan cedera mungkin dapat dilakukan dengan antiinflamasi dana aktivitas
perlindungan jaringan terhadap heme oksigenase-1.
Tranduser sinyal dan aktivator transkripsi 3 (STAT 3) juga memiliki efek anti inflamasi dan
perlindungan jaringan. Mutasi pada STAT 3 menyebabkan sindrom hiper Ig E yang ditandai
dengan infeksi paru yang berat dan berulang. Faktor transkripsi ini diaktivasi oleh makrofag dan
sel epitel selama inflamasi paru akut.. Makrofag STAT 3 memperantarai respon anti inflamasi
yang diinduksi oleh sitokin interleukin 10 yang menurunkan pertahanan inang tapi membatasi
cedera paru selama pneumonia. Sel epitel STAT 3 penting dalam mencegah cedera paru selama
infeksi. Sinyal-sinyal yang mengaktifkan sel epitel STAT 3 masih belum pasti, tapi tidak
mungkin melibatkan interleukin 10. Aktivasi STAT 3 pada paru selama infeksi E. Coli sebagian
bergantung pada interleukin 6, yang penting untuk mengatasi pneumonia akibat bakteri.
Prostaglandin 1 (prostasiklin) dikeluarkan selama infeksi pernafasan oleh sinsitial virus dan
mempunyai efek protektif yang mungkin diperantarai oleh efek anti inflamasi sel dendritik.
Sebagai tambahan untuk terjadinya aktivitas anti inflamasi, lipid-lipid lain seperti lipoxin,
resolvin, protektin membantu jaringan inflamasi kembali sehat. Selama dan setelah pneumonia,
perubahan arsitektur lobus paru dari konsolidasi komplit ke keadaan normal dapat dinilai.
Sayangnya, tidak banyak penelitian yang melaporkan mekanisme-mekanisme yang mendasari
proses resolusi selama infeksi paru, jadi dugaan adanya peranan lipid saat ini harus didasarkan
pada ramalan saja.
e. Respon mikroba terhadap inflamasi
Infeksi saluran nafas bawah akut bisa disebabkan oleh monomikroba atau polimikroba, dengan
virulensi yang berbeda-beda mulai dari yang komensal hingga yang patogenitas tinggi. Mikroba-
mikroba ini memiliki mekanisme untuk meniadakan efek banyak efektor dan proses pengiriman
sinyal seperti yang telah dijelaskan di atas. Subversi mikroba pada jalur individual mungkin
merupakan suatu tekanan selektif yang mengarahkan inang mamalia untuk mengalami jalur
multipel, pararel kadang-kadang terlihat berlebih-lebihan untuk imunitas bawaan denagn aktivasi
epitel. Strategi beberapa mikroba secara khusus berhubungan dengan infeksi paru dan jalur
imunitas bawaan seperti yang dijelaskan diatas adalah topik utama yang dijadikan contoh.
Meniadakan mekanisme efektor imunitas bawaan jelas menguntungkan bagi mikroba meskipun
NETs telah ditemukan baru-baru ini, tindakan balasan dari mikroba telah diketahui. Sebagai
contoh, NETs yang dilepaskan oleh netrofil gagal menangkap dan membunuh pneumococci.
Suatu DNase pneumococcal membelah NETs dan bakteria bebas. Selama infeksi DNase ini
adalh suatu faktor virulensi yang memberikan suatu keuntungan kompetitif bagi bakteri untuk
melawan bakteri golongan mutasi DNase di paru-paru tikus yang menghasilkan peningkatan
mortalitas akibat pneumonia pada tikus tersebut. Mencegah inang dalam mendeteksi patogen
adalah strategi lain yang sering digunakan oleh mikroba. Sebagai contoh asam retinoat (gen I
yang dapat diinduksi oleh pola intraselular) reseptor pengenalan untuk RNA virus dilekati oleh
protein virus influenza yang mencegah pensinyalan aliran bawah, aktifasi faktor regulasi
interferon dan ekspresi dari interferon tipe 1. Penghapusan protein ini melemahkan infeksi viru
influenza menambah jumlah interferon tipe 1 di paru-paru dan mengurangi mortalitas. Banyak
pathogen menghentikan jalur pensinyalan proinflamasi dan memperkuat jalur pensinyalan anti
inflamasi.
Patogen paru tidak hanya mengganggu dalam pensinyalan sistem imun inang, mereka juga
mendengar percakapan imun dan menggunakan informasi ini untuk membimbing mereka dalam
memberi respon yang sesuai. Sebagai contoh P.aeruginosa memiliki reseptor yang dapat
mengenali interferon γ, dan apabila ada interferon γ reseptor ini akan mencetuskan ekpresi gen
yang menyebabkan pembentukan biofilm. Biofilm tersebut memungkinkan bakteri lebih kebal
terhadap imunitas bawaan dan antibiotik, kemungkinan ini adalah respon adaptif selama infeksi.
Sebagai tambahan P.aeruginosa dan bakteri ayng lain berespon terhadap TNF-α dan sitokin yang
lain dengan meningkatkan laju pertmbuhan. Pada tikus yang netropenia, kemampuam TNF-α
untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri memperburuk infeksi paru. Jadi, patogen mengetahui
pensinyalan imun bawaan dan berespon dengan jalan mengalahkan pertahanan inang dan
memfasilitasi infeksi.
f. Variasi genetik dalam jalur inflamasi
Mekanisme untuk membangkitkan dan mengatur inflamasi akut telah dijelaskan di atas, untuk
menentukan hasil dari percobaan infeksi paru yang diinduksi pada hewan coba. Adanya
kekurangan dan polimorfisme pada gen manusia sebagai faktor-faktor yang terlibat dalam
mekanisme ini telah dihubungkan dengan infeksi paru dan segala akibatnya seperti infeksi yang
invasif dan menyeluruh atau cedera paru akut. Meskipun ada pembatasan pada asosiasi genotip-
fenotip menjamin perimbangan ini. Data-data tersebut mengindikasikan bahwa pengetahuan
tentang imunitas bawaan dan infeksi paru yang didapat dari percobaan terhadap hewan bias
diaplikasikan pada manusia. Variasi genetik pada mediator-mediator imunitas bawaan
mempengaruhi hasil keluaran dari paparan saluran nafas bawah manusia terhadap mikroba.
Alasan lain mengapa studi mengenai genotip dan fenotip manusia penting adalah bahwa hal-hal
tersebut terjadi di alam daripada di lingkungan laboratorium. Infeksi melibatkan persimpangan
antara inang dan mikroba dalam komplek dan ekosistem dinamik yang tidak sesuai dengan
penelitian di laboratorium.Sebagai contoh, pasien dengan defisiensi IRAK-4 (dengan sinyal
berasal dari banyak reseptor pengenal pola) dapat lebih rentan terhadap mikroba spektrum
sempit, meliputi rentang umur yang sempit, dan dengan variasi populasi yang lebih banyak
daripada percobaan invitro dengan sel manusia atau percobaan invivo dengan sel ikus. Pasien
dengan immunodefisiensi cenderung dating dengan suatu grup infeksi (Cth: Pasien dengan
penyakit granulomatous kronik khususnya rentan terhadap 5 mikroba. Variasi genom dan
lingkungan menghasilkan rentang kerentanan diantara pasien dengan immunodefisiensi yang
sama. Di masa depan analisis poligenik mungkin bisa menunjukkan polimorfisme kombinasi
pada gen yang multipel mempengaruhi infeksi paru secara lebih dramatis daripada variasi
monogenic, karena jalur pararel adalah umum pada imunitas bawaan. Suatu tema yang mendesak
bahwa kerentanan genetik terhadap infeksi adalah lebih sering dari yang dikira sekarang.
Kerentanan tersebu mungkin saja poligenik dengan penetrasi inkomplit terbatas pada fenotip
klinis yang dijelaskan secara singkat.

g. Kesimpulan
Respon imun bawaan terhadap mikroba di pari menentukan hasil keluaran dari infeksi, adanya
respon yang kurang bisa menyebabkan infeksi yang mengancam nyawa, tapi respon yang
berlebihan bisa mengarah pada cedera inflamasi yang juga mengamcam nyawa. Penelitian lebih
lanjut akan menolong mengidentifikasi populasi-populasi yang kemungkinan besar mendapatkan
infeksi paru berat dan akan memandu dalam pengembangan intervensi terapetik dan propilaksis.

Anda mungkin juga menyukai