Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas karunia

dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Relevansi

Pancasila dalam Kaitannya dengan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang

Baik”.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perundang-

undangan. Dalam makalah ini mengulas tentang kedudukan Pancasila sebagai sumber dari

segala sumber hukum serta hubungannya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik dengan merujuk pada pasal 5 dan pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang

telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. Kami juga berharap semoga makalah ini

dapat bermanfaat bagi pembaca. Bagaikan kata pepatah tiada gading yang tak retak, kami

menyadari bahwa makalah ini mempunyai kekurangan dan kelamahan, baik dalam hal

substansi maupun penulisannya. Untuk itu, perkenankanlah kami memohon koreksi, kritikan,

dan saran yang membangun untuk penyempurnaannya.


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan sebutan sebagai negara hukum,

Indonesia memiliki aturan-aturan hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan.

Bentuk peraturan perundang-undangan ini berfungsi untuk mengatur masyarakat ke arah

yang lebih baik lagi. Dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan, tentunya

membutuhkan suatu konsep dalam rencana untuk membentuk suatu peraturan perundang-

undangan yang baik. Peraturan perundang-undangan yang baik yaitu suatu peraturan

perundang-undangan yang memiliki dasar atau landasan yang disebut dengan grundnorm.

Bagi bangsa Indonesia, grundnorm merupakan landasan bagi pembentukan peraturan

perundang-undangan. Grundnorm merupakan fondasi bagi terbentuknya hukum yang

memiliki keadilan. Pancasila merupakan grundnorm bagi bangsa Indonesia. Pancasila

menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, jika pembentukan

peraturan perundang-undangan sesuai dengan Pancasila maka peraturan perundang-undangan

tersebut dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan yang baik.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kaitan antara Pancasila dengan pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik sesuai Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?

1.3. Tujuan

1. Mengetahui dan memahami dengan baik bagaimana kaitan Pancasila dengan

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pancasila Sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum

Ketentuan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Negara Kesatuan

Republik Indonesia telah tertulis secara jelas dalam ketentuan pasal 2 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Tata Urutan Peraturan Perundang – Undangan yang berbunyi

“Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.”

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia memiliki makna
bahwa posisi Pancasila diletakkan pada posisi tertinggi dalam tata hukum di Indonesia.
Pancasila dalam hal ini menjadikan pedoman dan arah bagi setiap bangsa Indonesia dalam
menyusun dan memperbaiki kondisi hukum di Indonesia, melalui proses legislasi atau
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pancasila dalam kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum sering
disebut sebagai dasar filsafat atau ideologi Negara. Dalam konteks ini, Pancasila merupakan
suatu dasar nilai serta norma tertinggi (grundnorm) untuk mengatur pemerintahan Negara.
Pancasila merupakan suatu dasar dan acuan dalam rangka realisasi penyelengaraan Negara.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum juga mengandung arti semua
sumber hukum atau peraturan-peraturan di Indonesia, baik dimulai dari UUD NRI 1945, Tap
MPR, Undang- Undang, Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang), PP
(Peraturan Pemerintah), Keppres (Keputusan Presiden), dan seluruh peraturan pelaksanaan
yang lainnya, harus berpijak pada Pancasila sebagai landasan hukumnya. Dengan demikian,
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, dengan kata lain maka
segala peraturan perundang-undangan, baik berupa peraturan perundang – undangan dan
peraturan kebijakan (Policy Rules) mesti sesuai dengan Pancasila sebagai guideline atau
petunjuk untuk menunjukkan keabsahan peraturan Perundang-Undangan maupun Peraturan
Kebijakan yang levelnya lebih rendah.
Sumber hukum pada hakikatnya adalah tempat kita dapat menemukan dan menggali
hukumnya. Sumber hukum menurut Zevenbergen dapat dibagi menjadi sumber hukum
materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil merupakan tempat dari mana
materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu
pembentukan hukum misalnya: hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial
ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), perkembangan internasional, keadaan
geografis. Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan
memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan
peraturan itu formal berlaku.
Apabila dikaitkan dengan dua jenis sumber hukum di atas, maka Pancasila termasuk
sumber hukum yang bersifat materiil sedangkan yang bersifat formil seperti peraturan
perundang-undangan, perjanjian antarnegara, yurisprudensi dan kebiasaan. Pancasila sebagai
sumber hukum materiil ditentukan oleh muatan atau bobot materi yang terkandung dalam
Pancasila. Setidaknya terdapat tiga kualitas materi Pancasila yaitu: pertama, muatan Pancasila
merupakan muatan filosofis bangsa Indonesia. Kedua, muatan Pancasila sebagai identitas
hukum nasional. Ketiga, Pancasila tidak menentukan perintah, larangan dan sanksi melainkan
hanya menentukan asas-asas fundamental bagi pembentukan hukum. Ketiga kualitas materi
inilah yang menentukan Pancasila sebagai sumber hukum materiil sebagaimana telah
dijelaskan di atas.
Adanya sumber hukum sebagai tempat untuk menggali dan menemukan hukum dalam
suatu masyarakat dan negara, mengakibatkan hukum memiliki tatanan tersendiri. Terkait hal
ini, khasanah hukum di era modern maupun kontemporer sangat dipengaruhi oleh teori
hukum Hans Kelsen mengenai grundnorm (norma dasar) dan stufenbautheorie (tata urutan
norma). Menurut Kelsen, norma yang validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang
lebih tinggi disebut sebagai norma dasar. Semua norma yang validitasnya dapat ditelusuri ke
satu norma dasar yang sama membentuk suatu sistem norma, atau sebuah tatanan norma.
Norma dasar yang menjadi sumber utama ini merupakan pengikat diantara semua norma
yang berbeda-beda yang membentuk suatu tatanan norma. Bahwa suatu norma termasuk ke
dalam sistem suatu norma, ke dalam tatanan normatif tertentu, dapat diuji hanya dengan
mengonfirmasikan bahwa norma tersebut memperoleh validitasnya dari norma dasar yang
membentuk tatanan norma tersebut.
Apabila mencermati maksud norma dasar menurut Kelsen dan atau norma
fundamental negara menurut Nawiasky maka Pancasila merupakan norma dasar yang
menginduki segala macam norma dalam tatanan norma di Indonesia. Untuk memperjelas
kedudukan norma dasar dalam tatanan hukum suatu negara, Kelsen juga menjelaskan pola
hubungan antarnorma melalui teorinya stufenbau atau hirarkis norma. Kelsen menjelaskan
hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan dengan norma yang
lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi” yang
merupakan kiasan keruangan. Norma yang menentukan norma lain adalah norma yang lebih
tinggi, sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih
Bedasarkan gagasan Kelsen dan Nawiasky di atas tentang stufenbautheory atau teori
tata urutan norma, dapat dipahami bahwa norma dasar atau norma fundamental negara berada
pada puncak piramida. Oleh karena itu, Pancasila sebagai norma dasar berada pada puncak
piramida norma. Dengan demikian, Pancasila kemudian menjadi sumber tertib hukum atau
yang lebih dikenal sebagai sumber dari segala sumber hukum. Hal demikian, telah
dikukuhkan oleh memorandum DPR-GR yang kemudian diberi landasan yuridis melalui
Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 jo Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 jo Ketetapan
MPR No. IX/MPR/1978.15 Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
TAP MPR No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber
Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik
Indonesia. TAP MPR-RI No.V/MPR/1973 Tentang Peninjauan Produk-Produk Yang Berupa
Ketetapan-Ketetapan MPR-RI. TAP MPR No. IX/MPR/1978 Tentang Perlunya
Penyempurnaan Yang Termaktub Dalam Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia No: V/MPR/1973.
Pancasila Sebagai Sumber Segala Sumber Hukum dalam Sistem Hukum Nasional
Pancasila As The Source of All Sources of Law in The National Legal System fungsi
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum mangandung arti bahwa
Pancasila berkedudukan sebagai:
1) Ideologi hukum Indonesia,
2) Kumpulan nilai-nilai yang harus berada di belakang keseluruhan hukum
Indonesia,
3) Asas-asas yang harus diikuti sebagai petunjuk dalam mengadakan pilihan
hukum di Indonesia,
4) Sebagai suatu pernyataan dari nilai kejiwaan dan keinginan bangsa Indonesia,
juga dalam hukumnya.

Sumber:Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan), Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2007, h. 46

Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945, Jakarta: Aksara baru, 1979, h.49
2.2. Hubungan Pancasila dengan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

Baik

Konsep pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia harus benar-benar

sesuai dengan norma dasar serta asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan akan membentuk

hukum yang sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia itu sendiri dengan mengedepankan

konsep yang baik dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baik, yang

mampu mengatur, menjaga dan melindungi seluruh masyarakat, bangsa, dan negara

Di Indonesia, pembentukan peraturan perundang-undangan dilandasi oleh asas-asas

pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 dan

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan yang berbunyi:

Pasal 5:

“Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas

pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Asas-asas yang dimaksudkan dalam Pasal 5 diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal

5 sebagai berikut:
a. Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-

undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis

peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk

peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan

tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat

yang tidak berwenang.

c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan

materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya.

d. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-

undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut

di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan perundang-

undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam

mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

f. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus

memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika

dan pilihan kata atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah

dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.

g. Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-

undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat

transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai


kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan.

Pasal 6:

(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:

a. Pengayoman;

b. Kemanusiaan;

c. Kebangsaan;

d. Kekeluargaan;

e. Kenusantaraan;

f. Bhinneka Tunggal Ika;

g. Keadilan;

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan

tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-

undangan yang bersangkutan.

Apa yang dimaksudkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan Peraturan

Perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 6 sebagai berikut:

Penjelasan Pasal 6 ayat (1):

a. Asas pengayoman adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus

berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman

masyarakat.
b. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan harus mencerminkan perlindungan dan pengayoman hak-hak asasi manusia

serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara

proporsional.

c. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan

harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic

(kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuaan Republik Indonesia.

d. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap

pengambilan keputusan.

e. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan

materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan

bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

f. Asas Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-

undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan,

kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah

sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

g. Asas Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan

harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa

kecuali.

h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa materi

muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat

membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan,

gender, atau status sosial.


i. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui

jaminan adanya kepastian hukum.

j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa materi muatan

setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian

dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan

bangsa dan negara.

Pasal 6 ayat (2):

Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan” antara lain:

a. Dalam hukum pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan,

asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

b. Dalam hukum perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas

kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai