Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/42320123

Rencana Pemanfaatan Lahan Tidur Berdasarkan Pendekatan Ekosistem

Article · January 2002


Source: OAI

CITATION READS

1 1,139

1 author:

Rahmawaty Rahmawaty
University of Sumatera Utara
21 PUBLICATIONS   26 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Rahmawaty Rahmawaty on 09 November 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


RENCANA PEMANFAATAN LAHAN TIDUR BERDASARKAN
PENDEKATAN EKOSISTEM

RAHMAWATY, S. Hut., MSi.


Fakultas Pertanian
Program Ilmu Kehutanan
Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam mencukupi pangan penduduk, tantangan yang dihadapi pada masa


yang akan datang tidak hanya terbatas pada upaya peningkatan produksi tetapi juga
harus mempertimbangkan keberlanjutan yang berkaitan dengan kelestarian
lingkungan.
Disamping itu upaya pemanfaatan lahan dalam rangka pembangunan
pertanian khususnya pertanian tanaman pangan dan pemenuhan akan protein
hewani tidak saja menggunakan lahan subur ataupun yang mempunyai irigasi tetapi
juga telah diarahkan kepada pemanfaatan lahan marginal.
Pengelolaan tanah yang meliputi kegiatan penyusunan rencana penggunaan
tanah, konservasi tanah dan pemupukan dimulai di lapangan dengan pembukaan
hutan, semak ataupun padang alang-alang atau rumput-rumput lainnya
(Arsyad,1989). Tindakan tersebut berlangsung selama tanah masih digunakan
untuk pertanian. Ketidakmegertian akan pentingnya masalah erosi, pelapukan dan
pencucian hara mineral yang intensif dibawah iklim tropika basah telah
menyebabkan meluasnya tanah-tanah yang rusak, miskin dan tidak subur di daerah
tropika.
Penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah diperlukan untuk mengembalikan
fungsi tanah-tanah yang rusak dan menjaga tanah-tanah yang rusak dan tanah yang
baru dibuka agar tercapai produksi setinggi-tingginya secara lestari (Hardjowigeno,
1995). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang terdapat pada pasal 7 UU RI no.12
Tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman bahwa pengelolaan lahan wajib
mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup
dan pencemaran lingkungan berdasarkan azas manfaat, lestari dan berkelanjutan.
Namun demikian pada akhirnya, keberlanjutan lingkungan merujuk pada
kemampuan man usia untuk memelihara lingkungan tersebut agar lestari dalam
kehidupannya sehari-hari (Ekins, 1994).

B. Tujuan

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana seharusnya


memanfaatkan lahan tidur berdasarkan pendekatan ekosistem.

2002 digitized by USU digital library 1


II. PENGERTIAN LAHAN TIDUR

Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi


pertanian adalah terjadinya konversi lahan subur yang cenderung semakin cepat.
Sebagai contoh, lahan sawah yang beralih penggunaannya untuk keperluan non
pertanian seperti industri, pemukiman, jalan dan lainlain diperkirakan 30.000 Ha
setiap tahun (Adjid, 1994). Padahal wilayah lahan subur tersebut pada umumnya
telah tersedia infrastruktur yang memadai sehingga sabgat mempengaruhi produksi
pertanian.
Di beberapa lokasi telah terjadi konversi lahan, dan pemanfaatan lahan di
lokasi lainnya ternyata masih belum optimal. Data statistik menunjukkan bahwa
hingga tahun 1991 masih terdapat 0,7 juta Ha lahan sawah dan 7,8 juta Ha lahan
kering yang belum diusahakan secara optimal dan terlantar (Adjid, 1994).
Bersamaan dengan itu pada lahan yang telah dimanfaatkan ternyata intensitas
pertanamannya masih relatif rendah yaitu di sawah 130% dan di lahan kering 52%.
Lahan-lahan yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian produktif
dapat dikategorikan sebagai lahan tidur (Karama dan Abdurrahman, 1994). Sebagai
contoh, lahan-lahan yang pernah dibuka untuk pertanian atau diambil kayunya untuk
keperluan industri lalu tidak digunakan lagi atau terlantar. Kondisi lahan tersebut
umumnya terbuka atau telah ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan yang tidak produktif
seperti alang-alang, semak belukar dan lain-lain.

III. TIPE EKOSISTEM

Suatu sistem produksi pertanian yang dirancang dan dikelola sebagai suatu
ekosistem, sejauh mungkin berusaha untuk menghindari hilangnya energi dan bahan
mentah dan cenderung untuk menyelesaikan siklus-siklusnya mengingat dua tjuan
utama yaitu menjamin dikembalikannya residuresidu untuk dipakai lagi dalam sistem
produksi dan memperbaiki produktivitas (Bergeret, 1987).
Di lain pihak menurut Jansen (1987) dua konsep yang sangat berbeda terlibat
dalam stabilitas yang sering diwarnai ekosistem tropis, yaitu:
a. Disebabkan oleh kekurangan yang nyata pada variasi cuaca tiap tahun dan
sedikit variasi dalam iklim dari tahun ke tahun
b. Sistem biologis yang kompleks dari dataran rendah tropis sangat mudah
terganggu dan sulit disusun kembali dengan tanaman tepi jalan, hutan-hutan
dan hewan.
c. Tanah di daratan rendah tropis sering merupakan tempat penyimpanan hara
dengan kapasitas sangat rendah.
Di Indonesia, tanah-tanah yang termasuk subur sebagian besar sudah
diusahkan penduduk. Walaupun tidak tertutup kemungkinan adanya usaha
intensifikasi misalnya dengan cara pemupukan, pemeliharaan tanah dan tanaman
yang sebaik-baiknya. Tanah-tanah yang belum diusahakan umumnya tinggal tanah
kurang baik yang disebut tanah marginal (Hardjowigeno, 1995). Walaupun demikian
tanah-tanah ini merupakan sasaran untuk melakukan usaha perluasan areal
pertanian (ekstensifikasi) di masa yang akan datang.
Secara garis besar tanah-tanah untuk perluasan areal ini dapat dibedakan
menjadi dua golongan, yaitu:
a. tanah-tanah lahan kering yang pada umumnya terdiri atas tanah Ultisol
(Podzolik Merah Kuning) dan mungkin pula Oksikol

2002 digitized by USU digital library 2


b.tanah-tanah daerah rawa yang pada umumnya terdiri atas tanah Histosol
(tanah gambut, tanah organik) dan tanah sulfat masam (Hardjowigeno,
1995).
Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Jumberi dan Noor (1995) bahwa Podzolik
Merah Kuning adalah jenis tanah yang mendominasi lahan kering di Indonesia.
Sebagai contoh di Kalimantan, luas lahan kering dengan jenis tanah Podzolik Merah
Kuning diperkirakan sekitar 20,7 juta ha (60%), yang umumnya tersebar pada
daerah beriklim basah (Partohardjono et al, 1994). Sedangkan secara keseluruhan
luasnya diperkirakan mencapai 34,6 juta ha yang sebagian besar terdapat di
Sumatera, Kalimatan, Sulawesi dan Irian Jaya.
Lahan dengan tanah Podzolik Merah Kuning terdapat pada daerah berklim
basah maupun kering, dengan curah hujan 2.500 mm per tahun memberikan
gambaran bahwa lahan tersebut terdapat pada daerah beriklim basa karena rata-
rata curah hujan perbulan lebih dari 200 mm dengan bulan kering sekitar 2 – 3
bulan. Di lain pihak topografi lahan bergelombang adalah lahan dengan kecuraman
lereng 8 – 15 % (Arsyad, 1989). Dengan demikian tipe ekosistem yang
dikemukakan dalam makalah ini adalah lahan kering Podzolik Merah Kuning beriklim
basah dengan kecuraman lereng berkisar 8 – 15 %.

IV. PENDEKATAN EKOSISTEM

Komunitas dan lingkungan yang tidak hidup, berfungsi bersama sebagai


sistem ekologi disebut ekosistem. Ekologi didefinisikan sebagai pengkajian
hubungan organisme-organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap
lingkungannya dan upaya mutakhir untuk mendefinisikan ekologi sebagai pengkajian
struktur dan fungsi alam, dimana telah dipahami bahwa manusia merupakan bagian
dari alam (Samingan, 1996).
Konsep ekosistem merupakan konsep yang luas, fungsi utamanya di dalam
pemikiran atau pandangan ekologi merupakan penekanan hubungan wajib,
ketergantungan dan hubungan sebab musabab, yaitu perangkaian
komponenkomponen untuk membentuk satuan-satuan fungsional. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa dari segi fungsional, ekosistem dapat dengan baik dianalisis
menurut segi berikut: 1. sirkuit-sirkuit energi, 2. rantai makanan, 3. polapola
keanekaragaman dalam waktu dan ruang, 4. daur-daur makanan (biogeokimia), 5.
perkembangan dan evolusi, 6. pengendalian (cybernetics) (Samingan, 1996).
Dengan dasar konsep ekosistem, maka setiap bidang lahan harus digunakan
sesuai dengan karakter ekosistemnya agar tidak terjadi kerusakan akibat kesalahan
pengelolaan. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan
produktivitasnya hingga mencapai optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut, kelas
kemampuan lahan harus digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
perencanaan pembangunan pertanian secara makro.
Selanjutnya, dalam pemilihan komoditas dan teknologi usahatani pada lahan
tertentu, kelas kesesuaian lahan harus dipertimbangkan. Penentuan kelas
kesesuaian lahan harus sudah didukung oleh data iklim, terutama untuk keperluan
perencanaan yang bersifat mikro. Data distribusi curah hujan, misalnya perlu
diketahui untuk merencanakan waktu dan pola tanam; data jumlah dan intensitas
hujan diperlukan untuk memilih teknologi konservasi.
Disamping itu, secara lebih jelas dinyatakan bahwa pendekatan sistem ekologis
minimal mengandung empat point penting, yaitu: 1. tata iar tidak terganggu, 2.
tanaman tumbuh dengan baik, 3. lingkungan lestari, 4. berguna bagi masyarakat.
Sedangkan dalam menentukan jenis tanaman dan tata tanam perlu dipertimbangkan

2002 digitized by USU digital library 3


hal-hal seperti: 1. besarnya nilai evapotranspirasi jika dibandingkan dengan curah
hujan, 2. stem flow, yaitu memperhatikan aliran air dari daun ke batang lalu ke
tanah yang nantinya berhubungan dengan bahaya erosi, 3. allelopati dan allelokimia
diperhatikan dalam hubungannya dengan jarak tanam, 4. mempertimbangkan
tanaman penyelenggara ecologycal niche,5. mendukung keadaan sosial dan budaya
masyarakat setempat, 6. tata tanam campuran yang dapat menghindarkan hama
dan penyakit, 7. tanaman yang bernilai ekonomi.
Sumberdaya manusia merupakan faktor dominan dalam pembangunan
menggunakan pendekatan ekosistem. Dalam penggunaan dan pengelolaan
sumberdaya secara bijaksana dalam rangka mengupayakan pembangunan yang
berkesinambungan. Untuk itu tingkat pengetahuan dan kesadaran mengenai
pentingnya kualitas lingkungan hidup merupakan hal penting disamping kepadatan
penduduk dan kebudayaan masyarakat.
Dengan demikian pemanfaatan lahan tidur seperti lahan kering Podsolik Merah
Kuning beriklim basah dengan topografi bergelombang memerlukan pendekatan
ekosistem yaitu adanya interaksi antara beberapa komoditas sehingga keadaan
lingkungan tetap baik. Sebagai contoh, laju erosi dapat dikendalikan,
mempertahankan kesuburan lahan dan optimasi pemanfaatan lahan melalui
penerapan suatu tata tanam tertentu.

V. KENDALA PENGEMBANGAN

Kendala pengembangan lahan Podzolik Merah Kuning beriklim basah dengan


topograsi bergelombang cukup kompleks. Kesalahan dalam pengelolaan merupakan
penyebab degradasi lahan yang mendasar. Di daerah tropika basah yang
topografinya bervariasi dari datar, bergelombang hingga bergunung, erosi tanah
merupakan salah satu penyebab degradasi lahan yang dominan disamping penyebab
lain seperti pencucian hara dan akumulasi unsur-unsur beracun.
Lahan kering Podzolik Merah Kuning beriklim basah didominasi oleh tanah
masam PMK dengan bahan induk yang miskin unsur hara (Partohardjono et al,
1994). Oleh karena itu lahan ini tergolong lahan marginal yang tingkat
produktivitasnya rendah. Kesuburan tanah ini secara alamiah sangat tergantung
pada lapisan atas yang kaya bahan organik tetapi bersifat labil. Kalau lahan ini
diolah untuk budidaya, kandungan bahan organik yang memadai, produktivitas lahan
cepat pula menurun dan akhirnya menjadi lahan kritis.
Tanaman yang dibudidayakan pada lahan kering PMK yang krits tidak mampu
berproduksi secar optimal jika dikelola secara konvensional (Hakim et al, 1997).
Sedangkan pembuatan teras dan galengan memerlukan biaya yang tinggi dan petani
tidak memiliki cukup biaya untuk itu.
Sifat kimia dan fisika tanah PMK yang jelek merupakan kendala misalnya
tanah yang bereaksi masam sampai sangat masam. Kandungan dan kejenuhan
aluminiumnya tinggi yang dapat meracuni tanaman dan daya fiksasi yang tinggi
terhadap Phospor. Kandungan bahan organik, KTK dan kejenuhan basahnya
umumnya rendah. Mineral liat umumnya didominasi oleh kaolinit yang tidak banyak
memberikan sumbangan terhadap kesuburan tanah serta sebagian besar tanah ini
mempunyai kapasitas memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi (Arief dan
Irman, 1997). Dampak langsung dari wilayah yang mengalami erosi adalah
terjadinya suatu areal yang secara bertahap menjadi tandus dengan konsekuensi
penduduk yang tinggal disekitarnya akan menjadi miskin (Pandang dan Subandi,
1997).

2002 digitized by USU digital library 4


VI. PROSPEK PENGEMBANGAN

Dari segi luas, lahan kering PMK di Indonesia mencapai 47,6 juta ha, namun
demikian berdasarkan kemiringan lerengnya lahan yang potensial untuk produksi
pertanian adalah kurang dari 15% atau bergelombang.
Berbagai cara untuk menangani lahan kritis seperti lahan kering PMK adalah
melalui program reboisasi dan penghijauan. Tanaman pagar berfungsi sebagai
penahan erosi dan penghasil bahan organik yang dapat meningkatkan produktivitas
lahan (IPB, 1987 dalam Hakim et al, 1997).
Usaha terpadu tanaman-ternak yang tersiri dari tanaman pangan, ternak dan
karet dapat meningkatkan pendapatan petani (Anwarhan dan Supriadi, 1997).
Masalah kemasaman tanah dapat diperbaiki terlebih dahulu misalnya menggunakan
kapur atau bahan organik sebelum dilakukan pemupukan (Arief dan Irman, 1997).
Sedangkan untuk mengurangi erosi, menyuburkan tanah, sumber pakan ternak
diperlukan penerapan sistem usaha tani konservasi seperti pertanaman lorong
dengan menggunakan tanaman pepohonan sebagai tanaman pagar hidup (Basri,
1997) dan pengurangan masukan sarana produksi dan tata tanam yang tepat
(Noorginayuwati et al, 1997).
Tanaman penutup tanah dapat pula ditanam khusus untuk melindungi tanah
dari ancaman kerusakan oleh erosi dan atau untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik
tanah (Arsyad, 1989). Disamping itu, pergiliran tanaman dapat dilakukan dengan
cara penanaman berbagai tanaman secara bergilir dalam urutan waktu tertentu pada
sebidang tanah. Akhirnya pertanian-hutan (agroforestry dapat pula dijadikan
alternatif pemanfaatan lahan kering PMK beriklim basah dengan topografi
bergelombang.

VII. RENCANA PEMANFAATAN

Rencana pemanfaatan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah beberapa


alternatif pola pemanfaatan yang menurut beberapa ahli dapat diterapkan
berdasarkan pendekatan ekosistem pada lahan kering PMK beriklim basah dengan
topografi bergelombang. Beberapa alternatif tersebut dikemukakan sebagai berikut:

1. Usaha tani tanaman-ternak


Usaha tani tanaman-ternak ini dimaksudkan untuk menanam tanaman
pangan, karet dan ternak. Tanaman pangan yang diusahakan adalah jagung
varietas unggul (Arjuna), kedelei (Wilis) dan ubi kayu (Adira), sedangkan padi gogo
yang diusahakan adalah varietas lokal (Sirendah Bulat) karena varietas ini toleran
terhadap penyakit. Teknologi yang menyangkut keberhasilan pangan seperti prinsip
Pengendalian Hama Terpadu (Integrated Pest Management) dan Pengendalian Gulma
Terpadu (Integrated Weed Management), penggunaan sabir bergerigi, pemakaian
tresher dan lain-lain tetap diupayakan (Anwarham dan Supriadi, 1997). Ternak yang
diusahakan berupa ayam dan kambing yang dikandangkan dan mereka didorong
untuk menanam tanaman pakan ternak berkualitas tinggi. Beberapa tanaman pakan
ternak yang dianjurkan adalah rumput gajah, lamtoro, setaria, Flemingia dan
Glyricidia dapat difungsikan sebagai tanaman lorong di teras-teras untuk mengurangi
erosi dan menambah bahan organik dan mineral tanah. Usahatani tanaman ternak
seperti ini misalnya telah diterapkan dan dikembangkan di Batumarta (Sumatera
Selatan), Tulang Bawang Tengah (Lampung) dan Air Manganyau (Bengkulu).

2002 digitized by USU digital library 5


2. Rotasi Tanaman dalam Budidaya Lorong
Rotasi tanaman dalam budidaya lorong yang dimaksudkan dalam hal ini
adalah upaya pemanfaatan lahan dengan tanaman tahunan dan tanaman semusim
(Hakim et al, 1997). Meskipun berdasarkan kaedah konservasi, tanaman semusim
tidak dianjurkan, tetapi dapat dilakukan jika bersamaan dengan menanan tanaman
tahunan penahan erosi. Cara ini pernah dilakukan di lahan kritis di Sumatera Barat
(Desa Belimbing), yaitu dengan penerapan rotasi jagung-kedelei atau jagung-jagung
dalam budidaya lorong dan mempunyai pengaruh terhadap kesuburan tanah.
Sebagai tanaman pagar, rumput raja (king grass) lebih baik daripada tanaman
pupuk hijau karena lebih mampu menekan laju erosi. Sebelum ditanami rumput
raja, tanah terlebih dahulu dikapur 2 t CaCO3/ha yang diaduk rata dengan tanah.
Rumput taja ditanam pada garis kontur dengan jarak 1 m. Dengan cara ini akan
terbentuk lorong-lorong dengan lebar 4-6 m. Namun demikian cara ini harus pula
dibarengi dengan pengusahaan tanaman tahunan yang berwawasan konservasi.

3. Usahatani Campuran
Usahatani campuran dalam hal ini adalah sistem pertanaman yang mencakup
tanaman pangan, tanaman tahunan, tanaman penahan erosi, dan tanaman pakan
ternak, sedangkan serasering dibuat untuk membantu mengurangi bahaya erosi dan
memperbaiki tata air (Samingan, 1998). Tanaman tahunan yang ditanam berupa
durian dengan jarak tanam 10 x 10 m. Untuk meningkatkan penggunaan cahaya
matahari dapat pula ditanam sirsak, manggis atau srikaya, sedangkan jika ditanam
pisang atau pepaya jangan terlalu dekat karena sifat allelopatinya.
Di bawah tanaman tahunan ini dapat ditanam kacang panjang atau tanaman
kacang-kacangan lainnya. Kemudian untuk menyediakan pakan bagi burung, pada
bagian pinggir dapat ditanam pohon salam, sedangkan pada pinggir teras dapat
ditanam tanaman kelapa yang dapat menghasilkan secara ekonomi. Pada pinggiran
teras dapat juga ditanam tanaman penutup tanah untuk mengurangi laju erosi atau
dapat juga ditanam talas. Tanaman sengon misalnya harus dihindari karena secara
terus-menerus dapat menurunkan pH tanah sehingga meningkatkan kadar
aluminium dalam tanah yang dapat meracuni tanaman. Pemupukan Posphor yang
diperlukan pada lahan PMK dapat dilakukan dengan jalan menggunakan kompos
yang dapat meningkatkan mikroorganisme dalam tanah dan hal ini akan
meningkatkan ketersediaan N meningkatkan P dalam bentuk tersedia bagi tanaman.
Tanaman tahunan lainnya dapat ditanam misalnya nangka, cempedak sehingga
dapat menambah pendapatan. Tanaman bambu dapat pula jika akan ditanam
dengan tanaman semusim perlu memperhatikan pangkas atau disadap maka jangan
lupa harus melakukan pemupukan. Pada bagian lain yang curam dapat ditanam
pohon jengkol yang sifatnya toleran terhadap miskin unsur hara.

VIII. KESIMPULAN

Lahan tidur yang berupa lahan kering Podzolik Merah Kuning beriklim basah
dengan topografi bergelombang dapat dimanfaatkan secara maksimal melalui
pendekatan ekosistem, baik melalui pola usaha tanaman ternak, rotasi tanaman
dalam budidaya lorong ataupun usahatani campuran antara tanaman tahunan dan
tanaman pangan berwawasan konservasi, ekonomi dan tanpa merusak lingkungan.

2002 digitized by USU digital library 6


DAFTAR PUSTAKA

Adjid, D.A. 1994. Kebijaksanaan Swasembada dan Ketahanan Pangan. Prosiding


Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan.
Balitbang Deptan. Hal. 50-64.

Anwarhan, H., dan H. Supriadi. 1997. Pengembangan Teknologi Sistem Usahatani


Tanaman-Ternak di Lahan Kering. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman
Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan. Balitbangtan Deptan. Hal. 1633-
1645.

Arief, A. Dan Irman. 1997. Ameliorasi Lahan Kering Masam untuk Tanaman
Pangan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang
Tanaman Pangan. Balitbangtan Deptan. Hal. 1665-1675.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Cetakan I. Bogor. 290
hal.

Basri, I.H. 1997. Budidaya Lorong di Lahan Kering Masam. Prosiding Simposium
Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan. Balitbangtan. Deptan. Hal.
1687-1697.

Bergeret, A. 1987. Sistem Produksi menurut Pendekatan Ekologis dalam


Ekofarming Bertani Selaras Alam. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal 44-
48.

Ekins, P. 1994. The Environmental Sustainability of Economics Processes; A


Framework for Analysis; in Toward Sustainable Development: Concept,
Methods and Policy, Island Press. Washington D.C. pp. 25-26.

Hakim, N., G. Ismail., Mardinus dan H. Muchtar. 1997. Perbaikan Lahan Kritis
dengan Rotasi Tanaman dalam Budidaya Lorong. Prosiding Simposium
Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan. Deptan. Hal. 1656-1664.

Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. 233


hal.

Jansen, D.H. 1987. Ekosistem Pertanian Tropis, dalam Ekofarming Bertani Selaras
Alam. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal. 1-28.

Jumberi, A. Dan A. Noor. 1995. Penggunaan Bahan Amelioran pada Tanaman


Pangan di Lahan Kering Beriklim Basah, Prosiding Simposium Penelitian
Tanaman Pangan III Buku I. Puslitbangtan. Deptan. Hal. 755-765.

Karama, A.S. dan A. Abdurrahman, 1994. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya


Lahan Berwawasan Lingkungan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman
Pangan III Buku I. Puslitbangtan. Deptan. Hal. 98-112.

2002 digitized by USU digital library 7


Noorginayuwati., A. Jumberi dan Nurtirtayani, 1997. Perbaikan Sistem Usaha Tani di
Lahan Kering Beriklim Basah di Kalimantan Selatan. Prosiding Simposium
Panelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan. Deptan. Hal. 1698-1706.

Pandang, M.S.,dan Subandi. 1997. Sistem Usahatani Konservasi Menunjang


Pendapatan Petani Lahan Kering. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman
Pangan III Buku 6. Puslitbangtan. Deptan. Hal. 1676-1686.

Partohardjono, S., I.G. Ismail., Subandi., M.O. Adnyana dan D.A. Darmawan.
1994. Peranan Sistem Usahatani Terpadu dalam Upaya Pengentasan
Kemiskinan di Berbagai Agroekosistem. Prosiding Simposium Panelitian
Tanaman Pangan III. Puslitbangtan Deptan. Hal 143-182.

Samingan, T. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gajah Mada University


Press. Yogyakarta. 697 hal.

Samingan, T. 1998. Bahan Kuliah Mata Ajaran Ekologi Umum. Program Studi Ilmu
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Pascasarjana IPB.
Bogor.

2002 digitized by USU digital library 8

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai