Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam satu dekade terakhir ini kita sering mendengar kasus-kasus yang

terjadi pasca bencana alam, kekerasan baik berupa kekerasan rumah tangga maupun

bentuk kekerasan lainnya-serta berbagai bentuk peristiwa traumatik lainnya. Pelbagai

kondisi ini merupakan suatu stresor psikososial yang berdampak terhadap kehidupan

individu serta dapat menjadi presipitasi terjadinya gangguan stress pasca trauma. 1

Setelah suatu peristiwa traumatik, seseorang dapat merasakan sesuatu yang

mengganggu kehidupannya, dapat juga diikuti stres, ketakutan, dan kemarahan.

Mereka juga sering mendapati bahwa mereka sulit untuk tidak memikirkan apa yang

telah terjadi. Merasakan reaksi stres adalah hal yang sering terjadi pada kebanyakan

orang dan tidak ada hubungannya dengan kelemahan pribadinya. Banyak orang juga

akan menunjukkan kewaspadaan yang berlebihan. Yang paling sering, jika gejala

ikutannya muncul, akan menurun seiring berjalannya waktu .2 Individu yang

mengalami gangguan stress pasca trauma seringkali menunjukan hendaya terutama

terhadap fungsi kehidupan sehari-hari. Produktitas mereka mengalami penurunan

yang akhirnya menjurus pada penurunan kualitas hidup.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)/ gangguan stress pasca trauma

merupakan gangguan yang bersifat kompleks karena gejala-gejala yang nampak

menunjukkan kemiripan dengan gejala depresi, kecemasan dan gejala gangguan

psikologis lain, namun tidak semua gangguan psikologis yang sama tersebut termasuk

dalam kriteria PTSD, sehingga untuk memahami kompleksitas gejala PTSD maka

perlu untuk mengidentifikasi perbedaan antara stres, traumatik stres, PTS dan PTSD.
Selye mengatakan bahwa stres merupakan perubahan pola somatik sebagai

respon dalam menghadapi beban lingkungan. Rothschild mengatakan bahwa bentuk

yang paling ekstrem dari stres merupakan akibat dari kejadian traumatik, yang

disebut traumatic stress. Stres pasca trauma atau Post Traumatic Stress (PTS)

merupakan stres yang berlangsung mengikuti kejadian traumatis. Bila PTS

terakumulasi sampai menghasilkan kumpulan gejala (simptom) seperti yang

tercantum dalam DSM IV, maka disebut sebgai PTSD. Pengalaman traumatis tidak

selalu berlanjut dalam bentuk PTSD. Foa dan Rothbaum menyatakan bahwa bagi

sebagian orang, trauma akan dapat teratasi dengan berjalannya waktu, namun

sebagian yang lain tidak.3


2.2 Epidemiologi
Pada tahun 1980 American Psychiatric Association mulai memperkenalkan

gangguan jiwa yang disebut sebagai gangguan stress pasca trauma.Penelitian yang

dilakukan di Amerika Serikat menunjukan bahwa prevalensi sepanjang waktu untuk

2
kasus ini (life time prevalence) berkisar antara 2,5-8,3% dengan usia awitan rata-rata

23 tahun.1 Statistik pada anak-anak dan remaja menunjukkan bahwa hampir 40%

muncul paling tidak satu peristiwa traumatik, yang berkembang menjadi PTSD pada

hampir 15% anak perempuan dan 6% pada anak laki-laki. Hampir 100% dari anak-

anak yang menyaksikan orangtuanya dibunuh atau mengalami kekerasan seksual atau

kekerasan rumah tangga mengarah untuk berkembang menjadi PTSD, dan lebih dari

sepertiga anak muda yang terpapar pada kekerasan akan mengalami gangguan ini.3,4

2.3 Etiologi
Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami ganggguan

stress pasca trauma adalah1 :


a. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang

bersangkutan maupun keluarganya.


b. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
c. Kecenderungan untuk menjadi khawatir
d. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial
e. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya

problem berupa kesulitan untuk menyesuaikan diri


f. Adanya kebutuhan emosional yang terus menerus dan tidak terpenuhi secara

bermakna.
g. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan luar biasa sebelumnya baik

tunggal maupun ganda dan dirassakan secara bubjektif oleh individu yang

bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yag menimbulkan

penderitaan bagi dirinya.

Berdasarkan DSM IV , terdapat beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin

akan meningkatkan angka kejadian stress pasca trauma, yaitu 1 :

3
a. Kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan perampokan).
b. Penculikan.
c. Penyanderaan.
d. Serangan militer.
e. Penyiksaan.
f. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politk atau tahanan perang
g. Bencana alam baik yang alamiah atau yang dibuat oleh manusia.
h. Kecelakaan mobil yang berat.
i. Didiagnosis mengalami penykit berat yng mengancam kehidupan

 Stresor
Menurut definisinya, stressor adalah faktor penyebab utama dalam

perkembangan gangguan stres pasca traumatik. Tetapi tidak setiap orang mengalami

gangguan stres pasca traumatik setelah suatu peristiwa traumatik; walaupun stressor

diperlukan, stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Klinisi harus

mempertimbangkan juga factor biologis individual yang telah ada sebelumnya, faktor

psikososial sebelumnya, dan peristiwa yang terjadi setelah trauma.5 Penelitian terakhir

pada gangguan stres pasca trauma telah sangat menekankan pada respons subjektif

seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stresor itu sendiri. Walaupun gejala

gangguan stres pasca traumatik pernah dianggap secara langsung sebanding dengan

beratnya stressor, penelitian empiris telah membuktikan sebliknya. Sebagai

akibatnya, consensus yang tumbuh adalah bahwa gangguan memiliki pengaruh pada

arti subjektif stresor bagi pasien.5


Bahkan jika dihadapkan dengan trauma yang berat, sebagian besar orang tidak

mengalami gejala gangguan stres pascatraumatik. Demikian juga peristiwa yang

tampaknya biasa atau kurang berbahaya bagi kebanyakan orang mungkin

menyebabkan gangguan stress pasca traumatik pada beberapa orang karena arti

4
subjektif dari peristiwa tersebut. Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat

bertahan hidup dari trauma psikis yang parah telah menemukan aleksitimia, yaitu

ketidak mampuan untuk mengidentifikasi atau mengungkapkan keadaan perasaan

sebagai ciri yang umum. Jika trauma psikis terjadi pada anak-anak, biasanya

dihasilkan perhentian perkembangan emosional. Jika trauma terjadi pada masa

dewasa, regresi emosional seringkali terjadi. Orang yang selamat dari trauma

biasanya tidak dapat menggunakan keadaan emosional internal sebagai tanda dan

mungkin mengalami gejala psikosomatik. Mereka juga tidak mampu menenangkan

dirinya jika dalam stres.5


 Faktor Psikodinamika
Model kognitif dari gangguan stres pascatrauma menyatakan bahwa orang yang

terkena adalah tidak mampu untuk memproses atau merasionalisasikan trauma yang

mencetuskan gangguan. Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak

mengalami stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial

mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode

mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-ganti.5 Model perilaku dari

gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan memiliki dua fase

dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dibiasakan) adalah

dipasangkan, malalui pembiasaan klasik, dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat

fisik atau mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien

mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun

stimulus yang tidak dibiasakan.5

5
Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah

mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan.

Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan mekanisme

pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali

dan dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga

mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan

pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan

persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stress adalah bahwa otak

mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma

dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti.5

 Faktor Biologis
Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan, pembangkitan, dan

sensitisasi yang dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin, dopamin,

opiate-endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus-hipofisis-

adrenal. Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa system

noradrenergik dan opiate endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal,

adalah hiperaktif pada sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stress

pascatraumatik.5

Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan responsivitas

sistem saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peniggian kecepatan denyut

jantung dan pembacaan tekanan darah, dan arsitektur tidur yang abnormal. Beberapa

6
peneliti telah menyatakan adanya kemiripan antara gangguan stress pascatraumatik

dan dua gangguan psikiatrik lain, gangguan depresif berat dan gangguan panik.5

2.4 Tanda dan Gejala

Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu PTSD,

yaitu:

1. Gejala re-experience misalnya ingatan mengenai masalah, kilas balik yang

biasanya disebabkan oleh hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa

traumatik, mimpi buruk yang sering muncul mengenai trauma atau peristiwa

yang berhubungan dengan trauma.

2. Gejala avoidance yaitu menghindari tempat-tempat yang, orang-orang, dan

pengalaman yang mengingatkan penderita pada trauma, kehilangan

ketertarikan pada aktivitas yang disukai, memiliki masalah dengan mengingat

peristiwa yang berbahaya.

3. Gejala hyperaurosal, termasuk masalah tidur, masalah dalam konsentrasi,

iritabilitas, kemarahan,sulit mengingat sesuatu, peningkatan tendensi, reaksi

untuk terjaga dan hypervigilance terhadap ancaman.

Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 gejala hyperaurosal

harus ada selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oelh distress yang

7
signifikan atau kekurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu PTSD. PTSD

menjadi kronik jika terjadi lebih dari 3 bulan.6

2.5 Diagnosis
DSM IV menyebutkan bahwa respon individual terhadap peristiwa traumatis

harus berupa ketakutan yang kuat, ketidakberdayaan (pada anakanak respon harus

termasuk tingkah laku tidak terkendali dan gelisah). Karakteristik gejala-gejala

setelah individu dihadapkan pada trauma yang ekstrem antara lain meliputi perasaan

seolah-olah mengalami kembali kejadian tersebut secara terus menerus. Individu

berusaha untuk menghindari stimulus yang berhubungan dengan trauma dan

kemampuan untuk melakukan respon emosional secara positif menjadi tumpul namun

di sisi lain individu akan mudah terprovokasi oleh hal-hal yang mengingatkannya

pada trauma yang dialaminya.3


Diagnosis PTSD dapat ditegakkan bila symptom simptom muncul lebih dari satu

bulan dan menyebabkan distress klinis yang signifikan atau menganggu kehidupan

sosial, pekerjaan atau aspek penting lainnya. Penempatan diagnostik PTSD dalam

kategori gangguan kecemasan dalam DSM IV menunjukkan bahwa kecemasan

merupakan reaksi yang dominan terhadap trauma. Gejala PTSD menunjukkan gejala

yang sama (overlap) dengan gejala kecemasan, misalnya gejala sangat peka (hyper

vigilance), gangguan tidur, mudah marah, gangguan konsentrasi. Gejala-gejala

tersebut biasa ditemukan baik pada penderita PTSD maupun gangguan kecemasan

umum (Generalized Anxiety Disorder), namun tidak semua gejala psikopatologi

8
tersebut dapat diatributkan pada PTSD, apabila gejala tersebut telah dialami oleh

individu sebelum terjadi peristiwa traumatis berat.3


Penegakan diagnosis untuk kasus PTSD hendaknya dilakukan secara hatihati

karena dalam DSM IV disebutkan ada beberapa gejala gangguan psikologis yang

memiliki karakteristik yang serupa dengan gejala PTSD, misalnya : gangguan stres

akut dibedakan dari PTSD karena pola gejala nya terjadi dalam kurun waktu 4

minggu setelah terjadinya kejadian traumatis. Apabila gejala tersebut masih terus

berlangsung setelah 4 minggu maka diagnosisnya berubah menjadi PTSD. Gejala

pikiran yang mengganggu yang terus berulang, yang serupa dengan gangguan pada

obsesi kompulsi, tetapi pada obsesi-kompulsi gangguan tersebut tidak memiliki dasar

realitas yang kuat dan tidak dipicu oleh kejadian traumatis yang ekstrem.3
Flashback yang terjadi pada PTSD juga perlu dibedakan dengan halusinasi dan

ilusi atau gangguan persepsi lain yang terjadi pad penderita schizophrenia, gangguan

psikotik lain, gangguan mood dengan gejala psikotik, delirium, dan psikotik akibat

gangguan kesehatan secara umum. PTSD seperti yang termuat dalam DSM IV,

memiliki gejala yang kompleks, sehingga memerlukan pengukuran yang

komprehensif untuk menegakkan diagnosisnya. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan

dalam DSM IV, maka diagnosis PTSD dapat ditegakkan apabila memenuhi syarat :

(1) Terpenuhi 2 gejala dari kelompok gejala A; (2) adanya 1 gejala diantara 5 gejala

yang termasuk dalam kelompok Gejala B, (3) adanya 3 gejala dari 7 gejala yang

termasuk dalam kelompok gejala C, (4) terpenuhinya 2 gejala dari 5 gejala yang

termasuk kelompok gejala D, serta (5) terpenuhi 1 gejala dari kelompok gejala.

9
Berikut adalah kriteria diagnostic untuk Gangguan Stres Pascatraumatik menurut

DSM-IV 1:

A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari

berikut ini terdapat:

1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau

kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang

sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri

sendiri atau orang lain.

2) Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya, atau horror.

Catatan: pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang kacau

atau teragitasi.

B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih)

cara berikut:

1) Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian,

termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi. Catatan: pada anaka kecil, dapat

menunjukkan permainan berulang dengan tema atau aspek trauma.

2) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anak-

anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.

10
3) Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali

(termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi, dan

episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat

terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali

yang spesifik dengan trauma.

4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internak atau

eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang

menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan

kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti

yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:

1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang

berhubungan dengan trauma.

2) Usaha untuk menghndari aktivitas, tempat, atau orang yang menyadarkan

rekoleksi dengan trauma.

3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.

4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.

5) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.

11
6) Rentang afek yang terbatas (misalnya, tidak mampu untuk memiliki perasaan

cinta)

7) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap

memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal)

D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum

trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:

1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.

2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan.

3) Sulit berkonsentrasi.

4) Kewaspadaan berlebihan.

5) Respon kejut yang berlebihan.

E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria A, B, C, dan D) adalah lebih dari satu

bulan.

F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau

gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.5

Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatraumatik menurut

PPDGJ III (F 43.1) adalah sebagai berikut:

12
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu

6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara

beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).

Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu

mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja

manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan

lainnya.

2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau

mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali

(flashbacks).

3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya

dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

4. Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa,

misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam

kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah

mengalami katastrofa).7

13
2.6 Diagnosis banding

Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik

adalah kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selam trauma.

Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala

adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan berhubungan zat

lainnya. Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan

gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai efek

zat menghilang.5

Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari

gangguan mental lain dengan mewancarai pasien tentang peristiwa traumatik

sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini. Gangguan kepribadian ambang,

gangguan disosiatif, gangguna buatan, dan berpura-pura juga harus dipertimbangkan.

Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dengan gangguan stress

pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan

saling berhubungan sebab akibat. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak

memilikiderajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperaurosal) otonomik,

atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik.

Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stress pascatraumatik dalam

berita popular, klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan

buatan dan berpura-pura.5

14
2.7 Tatalaksana

PTSD adalah gangguan yang kronik. Bantu penderita untuk menghadapi

pengalaman, memori dan situasi yang diasosiasikan dengan peristiwa traumatic.

Rujukan ke ahli yang berpengalaman mengatasi GSPT sering diperlukan. Medikasi: –

SSRI, di mulai dengan dosis rendah dan naikkan perlahan( Sertralin 25 mg atau

fluoxetin 10 mg per hari dan dinaikkan), dapat berguna untuk mengatasi kilas balik,

ketakutan, pikiran yang intrusif, anxietas umum, penumpulan emosi, iritabilitas, dan

kesulitan konsentrasi – Obat-obat lain sesuai dengan gejala penyerta yang

mengganggu.

Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD,

tatalaksana gangguan stress pascatraumatik sebaiknya mempertimbangkan beberapa

aspek di bawah ini:

1. Gangguan stress pascatraumatik merupakan suatu gangguan yang kronik dan

berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius

lainnya.

2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI

merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.

3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.

15
4. Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan pendekatan

psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6

bulan.8

2.8 Prognosis

Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang

singkat (kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya

gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya.5 Pada umumnya, orang

yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa

traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia paruh baya. Kemungkinan, anak-

anak belum memiliki mekanisme mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat

trauma.

Demikian juga dengan orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang

dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih

kaku dan kurang mampu melakukan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek

trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan

kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor

tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan,

dan durasi gangguan stres pascatraumatik. Pada umumnya, pasien yang memiliki

jaringan dukungan sosial yang baik, kemungkinan tidak menderita gangguan atau

tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parahnya.5

16
BAB III

KESIMPULAN

Setelah suatu peristiwa traumatik, seseorang dapat merasakan sesuatu yang

mengganggu kehidupannya, dapat juga diikuti stres, ketakutan, dan kemarahan.

Mereka juga sering mendapati bahwa mereka sulit untuk tidak memikirkan apa yang

telah terjadi. DSM IV menyebutkan bahwa respon individual terhadap peristiwa

traumatis harus berupa ketakutan yang kuat, ketidakberdayaan (pada anakanak respon

harus termasuk tingkah laku tidak terkendali dan gelisah). Diagnosis PTSD dapat

ditegakkan bila symptom simptom muncul lebih dari satu bulan dan menyebabkan

distress klinis yang signifikan atau menganggu kehidupan sosial, pekerjaan atau

aspek penting lainnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiguna T. Gangguan stress pasca trauma. Dalam: Elvira DS, Hadisukanto G,

editors. Buku ajar psikiatri. Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2017.

2. American academy of family physicians, 2002. Post-traumatic stress disorder.

American academy of family physicians. Available from:

http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/mentalhealth/anxiety/624.

printview.html

3. Solicha M. Asesment post traumatic stress disorder (PTSD) pada perempuan

korban perkosaan (acquaintance rape). Humanitas 2013;10(1): Hal 87-102.

4. Edwards RD, 2010. Post traumatic stress disorder (PTSD). Medicine Net.

Availablefrom: http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?

articlekey=12578&pf=3&page=1\

5. Kaplan, Sadock, Grebb. Sinopsis psikiatri. Jilid ke 2. Jakarta: Binapura Angkasa,

2010.

6. Mental Health America, 2007. Post-traumatic Stress Disorder. Mental Health

America.Availablefrom: http://mentalhealthamerica.net/index.cfm?

objectid=C7DF91D3-1372-4D20-C8E6CFE1B56A38AB

7. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta:

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, 2003.

8. Utama, Hendra. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2010.


18
19

Anda mungkin juga menyukai