Anda di halaman 1dari 47

REFERAT

TANAMAN HERBAL ANTI OBESITAS

Pembimbing :
dr. Danang Ardianto

Disusun Oleh :
Aprila Citra Dara (1713020043)

KEPANITERAAN HERBAL
RUMAH RISET JAMU HORTUS MEDICUS
PERIODE 10 DESEMBER 2018 – 04 JANUARI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul:


“Tanaman Herbal Anti Obesitas”

Yang disusun oleh:


Aprila Citra Dara 1713020043

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:


dr. Danang Ardianto

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan Herbal
Periode 10 Desember 2018 – 04 Januari 2019

Tawangmangu, 03 Januari 2019

Pembimbing

dr. Danang Ardianto

2
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya yang begitu
besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul
“Tanaman Herbal Anti Obesitas” pada kepaniteraan bidang herbal di Rumah Riset
Jamu Hortus Medicus, Tawangmangu.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini,
terutama kepada dr. Danang Ardianto selaku pembimbing yang telah memberikan
waktu dan bimbingannya sehingga referat ini dapat terselesaikan.
Penulis berharap laporan kasus ujian ini dapat menambah pengetahuan dan
memahami lebih lanjut mengenai “Tanaman Herbal Anti Obesitas” serta salah
satunya untuk memenuhi tugas yang diberikan pada kepaniteraan bidang herbal di
Rumah Riset Jamu Hortus Medicus, Tawangmangu.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan makalah ini sangat penulis harapkan.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi berbagai pihak.

Tawangmangu, 03 Januari 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN
A. Hiperkolesterolemia
1. Definisi..................................................................................................2
2. Epidemiologi.........................................................................................2
3. Etiologi dan Faktor Resiko....................................................................3
4. Klasifikasi..............................................................................................3
5. Patofisiologi..........................................................................................4
6. Manifestasi Klinis.................................................................................5
7. Kriteria Diagnosis.................................................................................6
8. Penatalaksanaan....................................................................................7
9. Komplikasi..........................................................................................10
10. Prognosis.............................................................................................11
B. Tanaman Anti Hiperkolesterolemia
1. Jati Belanda.........................................................................................11
2. Daun Jati Cina.....................................................................................20
3. Daun Teh.............................................................................................22
4. Tempuyung..........................................................................................24
5. Temulawak..........................................................................................25
6. Kunyit..................................................................................................30
7. Meniran...............................................................................................31
BAB III KESIMPULAN…………………………………………………….….. 34
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………...…35

4
BAB I
PENDAHULUAN

Hiperkolesterolemia merupakan gangguan metabolisme kolesterol yang


disebabkan oleh kadar kolesterol dalam darah melebihi batas normal (Mayasari
dan Rahayuni, 2014). Ketidaknormalan metabolisme kolesterol tersebut ditandai
salah satunya dengan peningkatan kolesterol low density lipoprotein atau LDL
(Orviyanti, 2012).
Bahaya kadar kolesterol berlebih dalam darah salah satunya menyebabkan
terjadinya perlemakan hati (Fatmawati dkk., 2012). Perlemakan Hati adalah
spektrum dari penyakit, yakni perlemakan hati non-alkoholik atau perlemakan hati
alkoholik (Debes, 2015). Identifikasi perlemakan hati dibuktikan dengan imaging
atau dengan melihat histologi hati (Hubscer, 2006). Pada gambaran histopatologi
akan terlihat adanya reaksi inflamasi dan akumulasi lemak (Debes, 2015).
Sebanyak 80% orang dengan obesitas memiliki tingkat lipid tinggi yang
memicu onset perlemakan hati (Musial et al., 2013). Pada penderita
hiperkolesterolemia ditemukan 86% mengalami perlemakan hati, 74% mengalami
fibrosis, dan 24% mengalami steatohepatitis (Fatmawati, 2012). Selain itu
hiperkolesterolemia menyebabkan berbagai penyakit, seperti jantung koroner,
stroke, diabetes dan impotensi (Jayanti dan Debin, 2011). Terjadinya berbagai
penyakit akibat hiperkolesterolemia maka diperlukan cara untuk menurunkan
kadar kolesterol (Jayanti dan Debin, 2011).
Kondisi hiperkolesterolemia dapat dikontrol dengan diet, olahraga, dan
obat penurun kadar lipid darah (Sibernagl, 2012). Obat penurun kadar lipid darah
antara lain golongan asam fibrat, resin, penghambat HMG CoA reduktase, dan
asam nikotinat (Dalimartha, 2009). Namun pengobatan hiperkolesterolemia
dengan obat sintetis kimia dalam jangka panjang menimbulkan efek negatif
seperti nyeri sendi dan kerusakan hati, untuk itu digunakan alternatif pengobatan
melalui pemberian terapi herbal (Becker, 2008). Terdapat berbagai tanaman herbal
yang dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hiperkolesterolemia
1. Definisi
Hiperkolesterolemia adalah suatu kondisi dimana meningkatnya
konsentrasi kolesterol dalam darah yang melebihi nilai normal (Guyton &
Hall, 2008). Kolesterol telah terbukti mengganggu dan mengubah struktur
pembuluh darah yang mengakibatkan gangguan fungsi endotel yang
menyebabkan lesi, plak, oklusi, dan emboli. Selain itu juga kolesterol
diduga bertanggung jawab atas peningkatan stress oksidatif (Stapleton et
al., 2010).
Kolesterol yang berada dalam zat makanan yang kita makan akan
dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah yang berakibat
hiperkolesterolemia (Soeharto, 2004). Salah satu penyakit tersering yang
disebabkan oleh meningkatnya kadar kolesterol dalam darah adalah
aterosklerosis (Guyton & Hall, 2008).

2. Epidemiologi
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Ellya dkk., (2001) dengan
metode penelitian cross sectional diketahui bahwa lansia yang menderita
hiperkolesterolemia di perkotaan daerah lembang, bandung prevalensinya
26,7%. Penelitian monitoring and determinants of kardiovascular disease
(MONICA) di jakarta 1988 didapatkan hasil prevalensi yang menderita
hiperkolesterolemia 13,4% dan 11,4% terjadi pada pria (Anwar., 2004).
Penelitian MONICA III 2000 proporsi yang menderita hiperkolesterolemia
didominasi oleh perempuan 60,3% dibandin dengan laki-laki 39,7%
dengan rata-rata kadar kolesterol total 209,96 dan 45,47 mg/dl
(supari.,2007). Penelitian Latif dan Yusuf 2013 dalam studi dengan metode
cross sectional yang dilakukan pada maret 2001-juni 2001 di Malaysia
pada 8159 penduduk didapat hasil bahwa 62,3% dari jumlah penduduk

6
tersebut mengalami hiperkolesterolemia dan kondisi ini berisiko terjadinya
penyakit kardiovascular.

3. Etiologi dan Faktor Resiko


Kadar lipoprotein, terutama LDL meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Pada keadaan normal pria memiliki kadar LDL yang
lebih tinggi, tetapi setelah menopause kadarnya pada wanita lebih banyak.
Faktor lain yang menyebabkan tingginya kadar lemak tertentu (VLDL dan
LDL) adalah: Riwayat keluarga dengan hiperlipidemia, Obesitas, Diet
kaya lemak, Kurang melakukan olah raga, Penyalahgunaan alkohol,
Merokok sigaret, Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik,
Hipotiroidisme, Sirosis (Angulo, 2012).

4. Klasifikasi
Hiperkolesterolemia ada dua, antara lain adalah (Guyton dan Hall,
2015):
1. Hiperkolesterolemia Primer
Hiperkolesterolemia primer adalah suatu penyakit herediter
yang menyebabkan seseorang mewarisi kelainan gen pembentuk
reseptor lipoprotein berdensitas rendah pada permukaan membran sel
tubuh. Bila reseptor ini tidak ada, hati tidak dapat mengabsorpsi
lipoprotein berdensitas sedang atau lipoprotein berdensitas rendah.
Tanpa adanya absorpsi tersebut, mesin kolesterol di sel hati menjadi
tidak terkontrol dan terus membentuk kolesterol baru. Hati tidak lagi
memberi respons terhadap inhibisi umpan balik dari jumlah kolesterol
plasma yang terlalu besar. Akibatnya, jumlah lipoprotein berdensitas
sangat rendah yang dilepaskan oleh hati ke dalam plasma menjadi
sangat meningkat. Pasien dengan hiperkolesterolemia familial yang
parah memiliki konsentrasi kolesterol darah sebesar 600 sampai 1000
mg/dl, yaitu empat sampai enam kali nilai normal. Banyak pasien
seperti ini yang meninggal sebelum usia 20, karena infark miokardium
atau gejala sisa penyumbatan aterosklerosis di seluruh pembuluh

7
darah tubuh. (Guyton dan Hall, 2015)
2. Hiperkolesterolemia Sekunder
Hiperkolesterolemia sekunder diakibatkan oleh adanya
gangguan sistemik. (Price dan Wilson, 2006).

5. Patofisiologi
Lipid dalam plasma terdiri dari kolesterol, trigliserida, fosfolipid,
dan asam lemak bebas. Normalnya lemak ditranspor dalam darah
berikatan dengan lipid yang berbentuk globuler. Ikatan protein dan lipid
tersebut menghasilkan 4 kelas utama lipoprotein : kilomikron, VLDL,
LDL, dan HDL. Peningkatan lipid dalam darah akan mempengaruhi
kolesterol, trigliserida dan keduanya (hiperkolesterolemia,
hipertrigliseridemia atau kombinasinya yaitu hiperlipidemia).
Hiperlipoproteinemia biasanya juga terganggu (Dowman, 2010).
Pasien dengan hiperkolesterolemia (> 200 – 220 mg/dl serum)
merupakan gangguan yang bersifat familial, berhubungan dengan
kelebihan berat badan dan diet. Makanan berlemak meningkatkan sintesis
kolesterol di hepar yang menyebabkan penurunan densitas reseptor LDL di
serum (> 135 mg/dl). Ikatan LDL mudah melepaskan lemak dan kemudian
membentuk plak pada dinding pembuluh darah yang selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya arterosklerosis dan penyakit jantung koroner
(Dowman, 2010).
Jalur transport lipid dan tempat kerja obat
1. Jalur eksogen
Trigliserida dan kolesterol dari usus akan dibentuk menjadi
kiomikron yang kemudian akan diangkut ke saluran limfe dan masuk ke
duktus torasikus. Di dalam jaringan lemak, trigliserida dari kilomikron
akan mengalami hidrolisis oleh lipoprotein lipase yang terdapat pada
permukaan endotel sehingga akan membentuk asam lemak dan kilomikron
remnan (kilomikron yang kehilangan trigliseridanya tetapi masih memiliki
ester kolesterol). Kemudian asam lemak masuk ke dalam endotel ke dalam

8
jaringan lemak dan sel otot yang selanjutnya akan diubah kembali menjadi
trigliserida atau dioksidasi untuk menghasilkan energi (Dowman, 2010).
Kilomikron remnan akan dibersihkan oleh hepar dengan
mekanisme endositosis dan lisosom sehingga terbentuk kolesterol bebas
yang berfungsi sintesis membran plasma, mielin dan steroid. Kolesterol
dalam hepar akan membentuk kolesterol ester atau diekskresikan dalam
empedu atau diubah menjadi lipoprotein endogen yang masuk ke dalam
plasma. Jika tubuh kekurangan kolesterol, HMG-CoA reduktase akan aktif
dan terjadi sintesis kolesterol dari asetat (Dowman, 2010).
2. Jalur endogen
Trigliserida dan kolesterol dari hepar diangkut dengan bentuk
VLDL ke jaringan kemudian mengalami hidrolisis sehingga terbentuk
lipoprotein yang lebih kecil IDL dan LDL. LDL merupakan lipoprotein
dengan kadar kolesterol terbanyak (60-70%). Peningkatan katabolisme
LDL di plasma dan hepar yang akan meningkatkan kadar kolesterol
plasma. Peningkatan kadar kolesterol tersebut akan membentuk foam cell
di dalam makrofag yang berperan pada arterosklerosis prematur
(Dowman, 2010).

6. Manifestasi klinis
Sebagian besar hiperkolesterolmia tidak menimbulkan gejala.
Tetapi kadar kolesterol yang tinggi menyebabkan aliran darah menjadi
kental sehingga oksigen menjadi kurang, sehingga gejala yang timbul
adalah gejala kurang oksigen seperti sakit kepala, pegal-pegal. Karena itu
screening awal melalui pemeriksaan laboratorium secara rutin lebih baik
untuk dilakukan. Untuk tingkat lanjut, hiperkolesterolemia bisa
menimbulkan gejala penumpukan lemak pada tendon dan kulit
(xanthoma), pembesaran hati dan limpa, sakit pada perut akibat
pankreatitis jika trigliserida tertumpuk pada pankreas (umumnya saat
level trigliserida di atas 800 mg/dL) terutama setelah makan, sakit pada
dada karena suplai darah tidak mencukupi untuk manifest, kekurangan
pasokan darah ke kaki mungkin berupa nyeri betis ketika berjalan, dan

9
mungkin serangan jantung akibat penumpukan kolesterol pada dinding
pembuluh darah yang mengalirkan darah untuk jantung (Bhatnagar,
2008).
Gejala-gejala pada setiap tipe hiperkolesterolemia pun berbeda.
Untuk tipe hiperkolesterolemia poligenik biasanya tidak disertai dengan
xantoma. Sedangkan pada tipe hiperkolesterolemia familial (genetik)
biasanya disertai dengan xantoma terutama pada tendon Achilles bagian
paling bawah kaki. Selain itu juga ditemukan kadar kolesterol total
penderita mencapai 600 sampai 1000 mg/dL atau 4 sampai 6 kali dari
orang normal. Kolesterol deposit juga bisa terjadi pada kelopak mata
penderita yang disebut xanthelasmas, arcus senilis (perubahan warna
putih atau abu-abu pada kornea perifer. Banyak pasien penyakit ini yang
meninggal sebelum berumur 20 tahun akibat infark miokard (Bhatnagar,
2008).

7. Kriteria diagnosis
Anamnesa meliputi karakteristik umum, kebiasaan diet, perilaku
aktifitas fisik, merokok, peminum alcohol dan riwayat penyakit
sebelumnya serta riwayat sakit pada keluarga. Pemeriksaan fisik yang
akan dilakukan adalah antropometri, frekuensi denyut nadi, tekanan
darah, auskultasi irama jantung, serta EKG. Pemeriksaan laboratorium
darah yaitu kadar kolesterol total, kolesterol LDL, Trigliserida dan
kolesterol HDL dalam plasma (Bhatnagar, 2008).
Tabel 1. Klasifikasi kadar lipid plasma (mg/dl)
Kolesterol total
< 200 Yang diinginkan
200-239 Batas tinggi
≥ 240 Tinggi
LDL
< 100 Optimal
100 – 129 Mendekati optimal
130 – 159 Batas tinggi
160 – 189 Tinggi
≥ 190 Sangat tinggi
HDL

10
< 40 Rendah
≥ 60 Tinggi
Trigliserida
< 150 Normal
150 – 199 Batas tinggi
200-499 Tinggi
≥500 Sangat tinggi

8. Penatalaksanaan
Menurut National Choleteroslemia Education Programme Adult
Therapy Programme (NCEP ATP III) sasaran LDL disesuaikan dengan
faktor risiko yang dimiliki seseorang yaitu (Bhatnagar, 2008):
1. Risiko tinggi
a. Riwayat penyakit jantung koroner (PJK)
b. Risiko yang disamakan dengan PJK
• Diabetes Melitus, stroke, penyakit obstruksi arteri tepi, aneurisma
aorta abdominalis
• Faktor risiko multiple (> 2 faktor risiko dan mempunyai faktor
risiko PJK dalam waktu 10 tahun menurun skor Framingham)
2. Risiko Multipel
≥ 2 faktor risiko dengan risiko PJK dalam kurun waktu 10
tahun < 20% (skor Framingham).
3. Risiko rendah (0;1 faktor risiko)
Dengan risiko PJK dalam kurun 10 tahun < 10 %.

Tabel 2. Tiga kelompok risiko untuk menentukan sasaran kolesterol LDL


Kelompok risiko Sasaran kolesterol LDL (mg/dL)
Risiko tinggi < 100
Faktor risiko multiple (≥ 2 faktor risiko) < 130
Risiko rendah (0-1 faktor risiko) < 160
Non-farmakologi

11
Terapi Nutrisi Medis
Diet tinggi lemak merupakan salah satu penyebab
hiperkolesterolemia. Makan makanan yang banyak mengandung trans fat
dan saturated fat seperti margarine/mentega, es krim, minyak kelapa dan
lemak hewan dapat meningkatkan kadar LDL dan menurunkan koleterol
HDL. Maka harus dikurangi sebanyak 7% perhari. Saturated fat dapat
digantikan dengan unsaturated fat yang relatif kurang meningkatkan
kadar LDL. Unsaturated dibagi dua antara lain Multi Unsaturated Fatty
Acid (MUFA) contohnya minyak zaitun, alpokat dan Poli Unsaturated
Fatty Acid (PUFA) contoh ikan. Dengan perubahan pola makan, mampu
menurunkan kadar kolesterol dalam darah sebesar 10-15% . Makan ikan
yang banyak mengandung omega 3 dapat menurunkan kadar LDL.
Begitu juga dengan mengkonsumsi protein kedelai. Diet tinggi serat yang
larut dalam air seperti oat dan buah/sayuran 20-30 gram sehari dapat
menurunkan 5-15% kadar kolesterol total dan LDL (Bhatnagar, 2008).
Tabel 3. Komposisi makanan untuk hiperkolesterolemia menurut Perkeni
2004
Makanan Asupan yang dianjurkan
Total lemak 20-25% dari kalori total
Lemak jenuh < 7 % dari kalori total
Lemak PUFA Sampai 10% dari kalori total
Lemak MUFA Sampai 10 % dari kalori tota
Karbohidrat 60% dari kalori total (terutama karbohidrat
kompleks)
Serat 30 gr perhari
Protein Sekitar 15% dari kalori total
Kolesterol < 200 mg/hari
Untuk di Rumah Sakit Dr.Soetomo menggunakan Diet B
(Tjokroprawiro) dengan komposisi karbohidrat 68%, lemak: kolesterol <
300 mg/hari, lemak jenuh dan trans 5%, PUFA 5%, MUFA 10%, protein
12%, serat 25-35 gr perhari (Bhatnagar, 2008).
Aktivitas Fisik
Olahraga yang dilakukan secara teratur dapat menurunkan berat
badan. Olahraga disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan penderita.
Penurunan 10 % berat badan berarti menurunkan 30% lingkar perut yang

12
mana terdapat lemak sentral di sana. AHA merekomendasikan olahraga
selama 30 menit dengan aktivitas sedang 3-4 kali dalam seminggu
(Bhatnagar, 2008).
Menghindari Rokok
Merokok berhubungan dengan proses metabolis yang berefek
pada lipoprotein termasuk didalamnya meningkatkan asam lemak bebas,
glukosa dan VLDL serta menurunkan HDL. Berhenti merokok
berhubungan dengan peningkatan rata-rata HDL 6-8 mg/dl (Bhatnagar,
2008).
Hipertensi
Kriteria hipertensi berdasarkan JNC-VII, yaitu TD sistolik ≥ 140
mmHg dan TD diastolik ≥ 90mmHg (As). Cara menangani hipertensi
dengan perubahan pola hidup, meningkatkan aktivitas fisik, diet rendah
garam, kurangi alcohol dan tingkatkan diet sayuran dan buah serta rendah
lemak. Juga minum obat antihipertensi seperti ACE Inhibitor dan thiazide
(Bhatnagar, 2008).
Farmakologi
Berikut ini obat-obatan yang mampu menurunkan kadar
kolesterol darah, terdapat beberapa golongan obat, antara lain statin,
resin, niasin, ezetimibe dan asam lemak omega-3 (Bhatnagar, 2008).

Tabel 4. Obat-obatan hipolipidemik


Obat Kolesterol LDL Koleterol HDL Trigliserida
Statin
20-55% 5-15% 10-20%
Resin
15-30% 3-5% -/
Fibrat
10-15% 10-20% 35-50%
niasin
10-25% 10-35% 25-50%
Ezetimibe
15-25% 3-5% 5-10%
Asam lemak
5-10% 1-3% 20-30%
Omega-3

13
Tabel 5. Efek Obat hipolipidemik terhadap kadar lipid serum
Dislipidemia Obat pilihan
hiperkolesterolemia Statin/resin/kombinasi
Dislipidemia campuran Statin/resin/kombinasi
Hipertrigliseridemia fibrat
Isolated low HDL fibrat

9. Komplikasi
Hiperkolesterolemia yang tidak mendapatkan penanganan yang
tepat dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis, yaitu menumpuknya
kolesterol di dinding pembuluh darah. Penumpukan tersebut akan
menyumbat aliran darah dan memicu komplikasi, seperti (Stapleton et
al., 2010):
a. Penyakit jantung koroner
Sumbatan pada pembuluh darah yang menyuplai darah ke
jantung akan menimbulkan gejala penyakit jantung koroner,
misalnya nyeri dada (angina).
b. Stroke
Stroke terjadi bila aliran darah ke bagian otak penderita
tersumbat oleh gumpalan darah.
c. Serangan jantung
Bila tumpukan kolesterol (plak) pada pembuluh darah
pecah, bekuan darah dapat terbentuk di lokasi plak. Bekuan darah
ini akan menyumbat aliran darah ke jantung, dan memicu serangan
jantung.

10. Prognosis
Keberhasilan pengobatan hiperkolesterol tergantung dari
bagaimana penderita mengikuti rekomendasi dari dokter. Mengubah
gaya hidup ke arah lebih sehat perlu motivasi dan disiplin yang tinggi
(Stapleton et al., 2010).
Kondisi hiperkolesterol bawaan jenis tertentu meningkatkan
resiko serangan jantung usia muda dan banyak yang resisten dengan
pengobatan, hal ini membuat diet modifikasi dan olah raga sangat

14
penting untuk diterapkan secara berkesinambungan (Stapleton et al.,
2010).

B. Tanaman Anti Kolesterolemia


1. Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)
Tanaman jati belanda berasal dari benua Amerika yang beriklim
tropis. Tanaman ini juga tersebar luas di wilayah tropis lainnya seperti
Pulau Jawa dan Madura. Di Pulau Jawa, tanaman ini biasa disebut
dengan jati londo atau jatos landi. (Dewi et al., 2000).

Gambar 1. Tanaman Jati Belanda (Dewi et al., 2000).


Tanaman jati belanda mengandung senyawa aktif seperti
flavanoid (Feltrin et al., 2012). Shekhawat & Vijayvergia (2010)
menyebutkan dalam studinya bahwa zat-zat yang terkandung dalam jati
belanda antara lain protein, lipid, karbohidrat, fenol, dan glukosa.
Penelitian pendahuluan terhadap komposisi daun jati belanda
menunjukkan adanya senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan.
Miradiono (2002) menyebutkan bahwa serbuk daun jati belanda
mengandung flavonoid, fenol hidrokuinon, dan senyawa flavonoid lain
seperti kalkon, auron, dan flavonol. Penelitian Andriani (2005)
menyatakan bahwa dalam daun jati belanda mengandung senyawa tanin.
Rachmadani (2001) melaporkan bahwa pada daun jati belanda terdapat
tanin, steroid dan triterpenoid. Penelitian Katno et al. (2008)
menyebutkan bahwa kadar tanin pada daun jati belanda dengan bobot
bahan simplisia 10 gram menghasilkan kadar tanin sebesar 0,6 gram
dengan waktu pengeringan 8 jam. Lama waktu pengeringan simplisia

15
daun jati belanda mempengaruhi kadar tanin yang terkandung di
dalamnya. Jastrezebski et al. (2007) menyebutkan terkait hasil studinya
bahwa tanaman jati memiliki kandungan polifenol dan flavanoid sebagai
komponen bioaktif dan antioksidan.
Hasil penelitian secara in vivo menyatakan bahwa daun jati
belanda mampu menghambat peningkatan kadar lipid peroksida pada
darah kelinci yang diberi pakan kolesterol (Tombilangi, 2004). Sukandar
et al. (2009) menyebutkan bahwa konsentrasi 50mg/200bb ekstrak air
daun jati belanda mampu menurunkan kadar kolesterol total dan LDL
secara signifikan. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan
bahwa ekstrak air dari daun jati belanda terbukti memiliki potensi
sebagai antioksidan. Adanya potensi atau khasiat sebagai antioksidan
didasarkan pada keberadaan senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai
antioksidan alami yang terdapat pada daun jati belanda antara lain
flavanoid, saponin, fenolik, steroid, triterpenoid, dan tanin.
Penelitian secara in vivo dan in vitro oleh Magos et al. (2008)
menyebutkan bahwa ekstrak aseton pada daun jati belanda mengandung
Procyanidin Fraction (PCF) yang memiliki aktivitas antihipertensi.
Magos et al. (2008) juga menyebutkan bahwa kulit daun jati belanda
memiliki aktivitas antihipertensi karena senyawa yang terkandung seperti
tanin mempunyai efek meningkatkan produksi nitric oxide (NO). NO
adalah vasodilator endogenous yang mempunyai kemampuan anti
hipertensi. Ramakrishna et al. (2014) menyebutkan bahwa kandungan
flavonoid daun jati belanda dapat menghambat proliferasi sel. Sementara
Berenguer et al. (2007) menyebutkan bahwa tanaman jati belanda dapat
dijadikan sebagai antioksidan, antimikroba serta antihipertensi.
Nakaguchi et al. (2001) menyebutkan bahwa ekstrak daun jati belanda
dapat dijadikan sebagai promoter pada pertumbuhan rambut.
Senyawa Aktif Jati Belanda
a. Tanin
Tanin merupakan senyawa yang memiliki sejumlah gugus
hidroksi fenolik yang banyak dijumpai pada tumbuhan, terutama pada

16
bagian daun, buah dan batang. Tanin merupakan salah satu jenis senyawa
golongan polifenol. Tanin dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis.
Maka dari itu semua penelitian tentang berbagai jenis senyawa tanin
mulai dilirik peneliti (Sulistiono, 2007).
Tanin merupakan himpunan polihidroksi fenol yang dapat
dibedakan dari fenol-fenol lain karena kemampuannya untuk
mengendapkan protein. Tanin mempunyai aktivitas antioksidan dan
menghambat pertumbuhan tumor. Tumbuhan yang banyak mengandung
tanin diantaranya adalah teh, jambu biji dan belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi L). Tanin pada saat ini sudah banyak diisolasi dari tanaman dan
dapat dijumpai di pasaran berupa bubuk atau serbuk putih kekuningan,
amorf, beraroma khas.
Tanin merupakan salah satu tipe dari senyawa metabolit sekunder
yang mempunyai karakteristik (1) senyawa oligomer dengan satuan
struktur yang bermacam- macam dengan gugus fenol bebas, (2) berat
molekul antara 100 sampai 20.000, (3) larut dalam air, dan (4) mampu
berikatan dengan protein membentuk kompleks tanin-protein (Giner,
2001).
Senyawa tanin dalam bidang pengobatan digunakan untuk
mengobati diare, hemostatik (menghentikan pendarahan), dan wasir.
Senyawa tanin dibagi menjadi dua yaitu tanin yang terhidrolisis dan tanin
yang terkondensasi. Tanin terkondensasi secara biosintesis yang
terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang
membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi.
Proantosianidin merupakan nama lain dari tanin terkondensasi karena
jika direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon penghubung
satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin (Harborne,
1987).
Senyawa tannin merupakan zat aktif dari jati belanda yang
bersifat polar (Katno et al., 2008). Suatu molekul bersifat polar apabila
tersusun atas atom-atom yang berbeda. Kepolaran suatu molekul
ditentukan oleh harga momen dipolnya (μ). Suatu molekul bersifat polar

17
bila μ > 0 dan nonpolar bila μ = 0 (Effendy, 2006). Struktur senyawa
tanin tersusun atas atom-atom yang berbeda dan tanin memiliki gugus
hidroksi lebih dari satu dan memiliki momen dipol tidak sama dengan nol
(μ ≠ 0) yang menyebabkan tanin bersifat polar, sehingga harus dilarutkan
dengan pelarut yang bersifat polar. Penelitian Ummah (2010)
menunjukkan bahwa dengan pelarut campuran aseton dan air didapatkan
kadar tanin lebih banyak yaitu 10.92 %.
Tanin merupakan senyawa polifenol. Pada senyawa polifenol,
aktivitas antioksidan berkaitan erat dengan struktur rantai samping dan
juga substitusi pada cincin aromatiknya. Kemampuannya untuk bereaksi
dengan radikal bebas DPPH dapat mempengaruhi urutan kekuatan
antioksidannya. Aktivitas peredaman radikal bebas senyawa polifenol
diyakini dipengaruhi oleh jumlah dan posisi hidrogen fenolik dalam
molekulnya. Dengan demikian aktivitas antioksidan yang lebih tinggi
akan dihasilkan pada senyawa fenolik yang mempunyai jumlah gugus
hidroksil yang lebih banyak pada inti flavonoidnya (Es-Safi et al. 2007).
Senyawa fenolik ini mempunyai kemampuan untuk menyumbangkan
hidrogen, maka aktivitas antioksidan senyawa fenolik dapat dihasilkan
pada reaksi netralisasi radikal bebas yang mengawali proses oksidasi atau
pada penghentian reaksi radikal berantai yang terjadi (Es-Safi et al.
2007).
Hagerman et.al (1998) menyebutkan bahwa senyawa tanin
memiliki potensi sebagai antioksidan biologis. Potensial redoks dari
senyawa tanin memiliki kesamaan dengan struktur senyawa fenolik pada
umumnya dalam hal mekanisme terhadap penangkal radikal bebas.
Hagerman et.al (1998) juga menyebutkan bahwa tanin memiliki peranan
yang unik sebagai antioksidan. Sebagai contoh tanin sebagai cadangan
antioksidan dan dengan demikian secara tidak langsung meningkatkan
tingkat antioksidan di jaringan lain seta juga dapat melindungi protein,
karbohidrat, dan lipid dalam saluran pencernaan dari kerusakan oksidatif
selama proses pencernaan.
b. Flavonoid

18
Flavonoid merupakan salah satu jenis komponen yang terkandung
dalam tanaman, dan dapat ditemukan pada semua tanaman vaskuler.
Flavonoid adalah komponen yang mempunyai berat molekul rendah, dan
pada dasarnya merupakan phenylbenzopyrones (phenylchromones)
dengan berbagai variasi pada struktur dasarnya, yaitu tiga cincin utama
yang saling melekat. Struktur dasar ini terdiri dari dua cincin benzene (A
dan B) yang dihubungkan melalui cincin heterosiklik piran atau piron
(dengan ikatan ganda) yang disebut cincin “C” dan struktur dasar
flavonoid adalah rangkaian cincin karbon C6C3C6 (Rahmad, 2009).
Senyawa-senyawa flavonoida adalah senyawa-senyawa polifenol
yang mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzene yang
dihubungkan menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom
karbon. Senyawa- senyawa flavonoida adalah senyawa 1,3 diaril
propana, senyawa isoflavonoida adalah 1,1 diaril propana. Istilah
flavonoida deiberikan pada suatu golongan besar senyawa yang berasal
dari kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon; suatu
jembatan oksigen terdapat diantara cincin A dalam kedudukan orto, dan
atom karbon benzil yang terletak disebelah cincin B. Senyawa
heterosiklik ini, pada tingkat oksidasi yang berbeda terdapat dalam
kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah bentuk yang mempunyai cincin C
dengan tingkat oksidasi paling rendah dan dianggap sebagai struktur
induk dalam nomenklatur kelompok senyawa-senyawa ini (Hutauruk,
2010). Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai
antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Senyawa-senyawa
ini dapat ditemukan pada batang, daun, bunga dan buah (Agestiawaji &
Sugrani, 2009).
Sifat antioksidan dari flavonoid berasal dari kemampuan untuk
mentransfer sebuah elektron ke senyawa radikal bebas dan juga
membentuk kompleks dengan logam. Kedua mekanisme itu membuat
flavonoid memiliki beberapa efek, diantaranya menghambat peroksidasi
lipid, menekan kerusakan jaringan oleh radikal bebas dan menghambat
aktivitas beberapa enzim (Shahidi et al., 1997).

19
Flavonoid yang terdapat pada tumbuh tumbuhan bila dikonsumsi
secara rutin dapat melindungi tubuh dari penyakit kardiovaskuler dan
beberapa penyakit kronis lain (Knekt et al., 2002). Ternyata Flavonoid
mampu memperbaiki fungsi endotel pembuluh darah (Engler et al.,
2004), dapat mengurangi kepekaan LDL terhadap pengaruh radikal bebas
(Ling et al., 2001) dan dapat bersifat hipolipidemik, antiinflamasi serta
sebagai antioksidan yang baik (Davalos, 2006)
c. Saponin
Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun
glikosida steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat
seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya
membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah. Pola glikosida
saponin kadang-kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan
gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat
(Harborne, 1987).
Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa
sapogenin. Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi, keberadan
saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal
dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin
merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan
bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di
antaranya digunakan sebagai racun ikan (Gunawan & Mulyani, 2004).
Senyawa saponin dapat pula diidentifikasi dari warna yang
dihasilkannya dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Warna biru-hijau
menunjukkan saponin steroida, dan warna merah, merah muda, atau ungu
menunjukkan saponin triterpenoida (Farnsworth, 1966).
Saponin memiliki berat molekul tinggi, dan berdasarkan struktur
aglikonnya, saponin dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe
steroid dan tipe triterpenoid. Kedua senyawa ini memiliki hubungan
glikosidik pada atom C-3 dan memiliki asal usul biogenetika yang sama
lewat asam mevalonat dan satuan- satuan isoprenoid (Gunawan &
Mulyani, 2004).

20
Saponin terdiri dari sapogenin yaitu bagian yang bebas dari
glikosida yang disebut aglikon. Senyawa ini mempunyai efek antioksidan
dengan membentuk hidroperoksida sebagai antioksidan sekunder
sehingga menghambat pembentukan lipid peroksida (Sudirman, 2011).
d. Alkaloid
Alkaloid merupakan kelompok terbesar dari metabolit sekunder
yang memiliki atom nitrogen. Sebagian besar atom nitrogen merupakan
bagian dari cincin heterosiklik. Alkaloid pada umumnya bersifat basa.
Sebagian besar alkaloid mempunyai aktivitas biologis tertentu. Beberapa
alkaloid dilaporkan memiliki sifat beracun, tetapi ada pula yang sangat
berguna dalam pengobatan (Lenny, 2006).
Sebagian besar senyawa alkaloid bersumber pada tumbuh-
tumbuhan. Namun demikian alkaloid juga dapat ditemui pada bakteri,
artopoda, amfibi, burung dan mamalia. Alkaloid dapat ditemui pada
berbagai bagian tanaman seperti akar, batang, daun, dan biji. Alkaloid
pada tanaman berfungsi sebagai: racun yang dapat melindunginya dari
serangga dan herbivora, faktor pengatur pertumbuhan, dan senyawa
simpanan yang mampu menyuplai nitrogen dan unsur- unsur lain yang
diperlukan tanaman (Wink, 2008).
Senyawa alkaloid, terutama indol, memiliki kemampuan untuk
menghentikan reaksi rantai radikal bebas secara efisien. Senyawa radikal
turunan dari senyawa amina ini memiliki tahap terminasi yang sangat
lama.
e. Steroid dan Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal
dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari
hidrokarbon C-30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini tidak berwarna,
berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi dan bersifat optis aktif (Harborne,
1987). Golongan senyawa triterpenoid yang mengandung inti
siklopentana perhidrofenantren yaitu dari tiga cincin sikloheksana dan
sebuah cincin siklopentana disebut senyawa steroid. Dahulu sering
digunakan sebagai hormon kelamin, asam empedu, dan lain-lain. Tahun-

21
tahun terakhir ini makin banyak senyawa steroid yang ditemukan dalam
jaringan tumbuhan. Tiga senyawa yang biasa disebut fitosterol terdapat
pada hampir setiap tumbuhan tinggi yaitu: sitosterol, stigmasterol, dan
kampesterol (Harborne, 1987).
Pada uji aktivitas antioksidan senyawa steroid dan terpenoid
menggunakan uji DPPH, Peredaman radikal bebas terjadi ketika elektron
tak berpasangan menjadi berpasangan dengan adanya sebuah donor
hidrogen, sehingga membentuk DPPH yang lebih stabil. DPPH yang
merupakan suatu molekul radikal bebas dengan warna ungu dapat
berubah menjadi senyawa yang stabil dengan warna kuning oleh reaksi
dengan antioksidan, dimana antioksidan memberikan satu elektronnya
pada DPPH sehingga terjadi peredaman pada radikal bebas DPPH
(Yuhernita & Juniarti, 2011).

Mekanisme Ekstrak Daun Jati Belanda terhadap Kadar Kolesterol


LDL dan HDL
Mekanisme penurunan kadar kolesterol LDL oleh ekstrak daun
jati belanda diperankan oleh senyawa steroid (Then et al., 2009). Selain
itu komponen utama pada ekstrak daun jati belanda menekan kadar
kolesterol LDL plasma melalui mekanisme peningkatan aktivitas reseptor
LDL.
Kandungan senyawa aktif pada ekstrak jati belanda seperti
flavonoid, steroid saponin serta tanin merupakan senyawa yang berperan
dalam menurunkan kadar kolesterol LDL. Fitosterol memiliki
mekanisme dalam menurunkan kadar kolesterol LDL, yaitu sebagai ligan
untuk LXR – RXR nuclear reseptor (Brousseau, 2003). Ikatan
heterodimer LXR – RXR mengatur beberapa gen yang terlibat dalam
sintesis, penyerapan, ekskresi untuk homeostasis kolesterol dan
metabolisme lipoprotein. Salah satunya peningkatan ekspresi gen ATP-
Binding Cassette Transporter A1 (ABC A1), transporter yang membawa
kolesterol dari sel enterosit, hepatosit dan makrofag. Ikatan heterodimer
LXR – RXR juga meningkatkan ekspresi gen transporter ABC-G5 dan

22
G8 yang membawa kolesterol dari hepatosit ke kantong empedu
(Brousseau, 2003). ATP-Binding Cassette Transporter A1 (ABCA 1)
akan berinteraksi dengan Apo-1 lalu tersekresi dalam plasma dengan
bentuk lipid poor Apo A1 yang mengambil kolesterol berlebih dari sel
dan membentuk pre-β-HDL (nascent). Kolesterol bebas dari HDL
diesterifikasi enzim Lechitin Cholesterol Acyl Transferase (LCAT) untuk
merubah pre-β-HDL (nascent) menjadi α-HDL. LCAT adalah enzim
yang bertugas mengikat lipoprotein atau lemak bebas dalam plasma dan
disekresi oleh hati (Brousseau, 2003).
Senyawa fitosterol dan tanin dalam daun jati belanda juga akan
menghambat ikatan sterol regulatory element binding protein (SREBP)
dengan sterol regulatpry element (SRE), protein yang berperan dalam
transkripsi gen reseptor LDL.
Hambatan ini mengakibatkan penurunan aktivitas enzim 3-
hydroxy-3- methylglutaryl CoA reduktase (HMG-CoA reduktase)
sehingga sintesis kolesterol dalam sel berkurang. Kadar kolesterol
intraseluler yang rendah mengakibatkan penurunan pembentukan
kilomikron (Mayes, 2000). Remnant kilomikron yang mencapai ke hati
akan menurun. Kondisi ini akan merangsang sintesis reseptor LDL.
Selain itu sekresi VLDL oleh sel-sel hati akan menurun sehingga
menyebabkan konversi VLDL ke LDL berkurang. Hal ini berdampak
pada penurunan kadar LDL dalam tubuh. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Venugopal et al. (2002) bahwa secara in vitro flavanoid juga bekerja
sebagai inhibitor enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl CoA reduktase
(HMG-CoA reduktase) sehingga sintesis kolesterol menurun.
Selain itu saponin memiliki mekanisme dalam menurunkan kadar
LDL dalam tubuh. Senyawa saponin memiliki afinitas yang tinggi untuk
berikatan dan membentuk misel campuran makanan (DMM) daripada
kolesterol. Akibatnya, komponen ini menggantikan kolesterol dari DMM,
tanpa mempengaruhi konsentrasi garam empedu yang dimasukkan di
DMM. kolesterol akan mengendap menjadi bentuk dalam agregat besar
yang tidak bisa diserap oleh di dinding usus (Vinarova et al., 2015).

23
Senyawa aktif jati belanda pada penelitian ini memungkinkan efek
terhadap penurunan kadar kolesterol LDL plasma dan peningkatan kadar
kolesterol HDL plasma.

2. Daun Jati Cina (Senna alexandrina Mill.)


Tanaman Jati Cina termasuk tanaman semak yang tumbuh di alam
tropis maupun nontropis yang tumbuh liar dengan ketinggian pohon
mencapai 2-3 meter. Tanaman ini tumbuh seperti pohon semak pada
umumnya. Setiap tanaman jati cina terdapat 4-5 tangkai daun. Daun
bagian atas berwarna hijau keabu-abuan, sedangkan daun bagian bawah
berwarna hijau kekuningan. Tanaman Jati Cina ini termasuk kedalam
golongan tanaman berbunga dengan bunganya berwarna kuning terang.
Bunga tanaman jati cina berbentuk kumpulan, berbeda dengan daunnya
yang sendiri-sendiri (Brigitte et al., 2006).

Gambar 2. Daun Jati Cina


Tanaman Jati Cina ini termasuk golongan tanaman berbunga,
maka pola berkembang biaknya dengan biji. Setiap satu tangkai
(kumpulan) bunga memiliki kurang lebih 4 kumpulan benangsari, namun
jumlah tersebut masih tergolong sangat sedikit. Biasanya dalam satu
tangkai (kumpulan) bunga ada 10 kumpulan benangsari. Benangsari yang
terdapat dalam bungai akan menyerbuki biji jati cina dengan metode
penyerbukannya dibantu dengan angin, saat terjadi pembuahan jati cina,
biji jati cina yang sudah masak akan sendirinya akan pecah dan jatuh
terbawa angin, bila jatuhnya di lahan yang bagus, bisa dipastikan
pertumbuhan bibit baru untuk tanaman jati cina (Brigitte et al., 2006).

24
Kandungan pada daun jati cina adalah 3 % Glikosida dianthron
(sennoside A, B, C, D, E, F, G). Sejumlah kecil antrakinon termasuk
aloe-emodin dan rhein 8-glukosida ; 10 % mucilago ; tannin, flavonoid,
naftalen (Brigitte et al., 2006).
Efek kandungan glikosida antrakinon terutama senosid A dan B.
Penguraian glikosida antrakuinon dalam saluran pencernaan dapat terjadi
dalam 2 cara (Brigitte et al., 2006):
1. Glikosida tidak diserap dalam usus bagian atas tetapi diurai oleh
mikroflora dalam usus besar menjadi aglikon aktif, secara principal
rhein anthron yang menimbulkan efek laksatif pada usus besar .
2. Adanya empedu dan gula, aglikon bebas dapat diserap masuk ke
dalam aliran darah dan dikeluarkan kemudian ke dalam usus besar.
Hasil akhirnya Auerbach plexus menghasilkan peningkatan kontraksi
otot usus. Selain itu kandungan mucilage mengurangio penyerapan
cairan yang menyebabkan peningkatan kerja laksatif.
Waktu aksi daun jati cina berkisar antara 8-10 jam, sehingga
sebaiknya diminum pada waktu malam. Senosida dapat menghilangkan
keluhan konstipasi pasien (irritable bowel syndrome). Pada dosis terapi
tidak ditemukan adanya gangguan kebiasaan waktu defekasi; dapat
melunakkan tinja dan meningkatkan kecepatan transit makanan dalam
kolon melalui peningkatan gerakan peristaltik. Senosida sedikit diserap
pada bagian atas saluran gastrointestinal (Brigitte et al., 2006).
Daun jati cina digunakan sebagai penurun berat badan,
mengurangi kolesterol, mengecilkan perut, memberikan bantuan saat
buang air besar bagi mereka yang menderita hemoroid atau fisura anus.
Jati cina juga dapat berperan sebagai starter metabolisme, sehingga
membantu proses sekresi (Brigitte et al., 2006).

3. Daun Teh (Camillia sinensis L.)


Tanaman teh (Camellia sinensis) adalah salah satu tanaman perdu
yang berdaun hijau (evergreen shrub) yang dapat tumbuh dengan tinggi 6
- 9 m. Di perkebunan-perkebunan, tanaman teh dipertahankan dengan

25
ketinggian hingga 1 m dengan pemangkasan secara berkala. Hal ini
dilakukan untuk memudahkan pemetikan daun agar diperoleh tunas-tunas
daun teh yang cukup banyak. Pada umumnya tanaman teh tumbuh di
daerah yang beriklim tropis dengan ketinggian antara 200 s/d 2 000 m
dpl dengan suhu cuaca antara 14°C - 25°C (Ghani, 2002).
Varietas tanaman teh yang banyak dikenal ialah varietas Assamica
yang berasal dari Assam dan varietas Sinensis yang berasal dari Cina.
Yang membedakan kedua varietas ini adalah varietas assamica daunnya
agak besar dengan ujung runcing, sedangkan varietas sinensis daunnya
lebih kecil dan ujungnya tumpul.
Pada umumnya, tanaman teh berakar dangkal, sangat peka
terhadap keadaan fisik tanah sehingga cukup sulit untuk menembus
lapisan tanah. Pertumbuhan akar ke arah lateral dan penyebarannya
dibatasi oleh perdu yang ada di dekatnya. Perakaran utama berkembang
pada lapisan tanah atas sedalam 0-25 cm, dimana tempat utama
berakumulasinya unsur-unsur hara.
Batang tanaman teh berdiri tegak, berkayu, bercabang-cabang,
ujung ranting dan daun muda berbulu halus. Daun teh merupakan daun
tunggal yang bertangkai pendek dan letaknya berseling. Tiap helaian
daun kaku seperti kulit tipis, bentuknya elips memanjang, ujung, dan
pangkal runcing. Bentuk tepi daun teh bergerigi halus, pertulangan
menyirip dengan panjang daun 6-18 cm dan lebar adalah 2-6 cm. Bunga
teh terletak di ketiak daun, tunggal atau beberapa bunga bergabung
menjadi satu. Perkembangan bunga mengikuti fase pertumbuhan daun.
Bunga teh termasuk kedalam bunga sempurna dengan garis tengah 3-4
cm. Warna bunga putih cerah dengan kepala sari berwarna kuning dan
baunya harum (Setyamidjaja, 2000)
Tanaman teh dapat tumbuh optimal pada daerah yang mempunyai
curah hujan cukup tinggi yaitu 2 000 mm – 2 500 mm dan merata
sepanjang tahun, suhu cukup sejuk berkisar antara 13°C - 25°C dengan
kelembapan relatif tidak kurang dari 70%. Tanah yang sesuai untuk
tanaman teh adalah tanah yang mempunyai kedalaman efektif dan

26
berstruktur remah lebih dari 40 cm. Jenis tanah yang termasuk dalam
kategori tersebut adalah andosol. Jenis tanah andosol terbentuk dan
berkembang di daerah pegunungan. Selain jenis tanah andosol, yang
sangat sesuai untuk perrtanaman teh adalah jenis tanah latosol
(Setyamidjaja, 2000)

Gambar 3. Daun Teh


Komposisi aktif utama yang terkandung dalam daun teh adalah
kafein, tannin, tehophylline, tehobromine, lemak, saponin, minyak
esensial, katekin, karotin, vitamin C, A, B1, B2, B12, dan P, fluorite, zat
besi, magnesium dan kalsium, strontium (Ghani, 2002). Kandungan
katekin pada daun teh dapat menurunkan kadar kolesterol total dan LDL
dalam darah (B2P2TOOT, 2017).

4. Tempuyung (Sonchus arvensis L.)


Tempuyung (Sonchus arvensis L.) masuk ke dalam famili
Asteraceae. Nama lain untuk tumbuhan ini, di Jawa disebut dengan ga-
ling; Sunda: rayana, jombang, jombang lalakina, lempung, lampenas;
Jawa Tengah: tempuyung; China: Niu she tou; Perancis : laiton des
champs; Inggris: sow thistle. Tempuyung tumbuh di tempat terbuka yang
terkena sinar matahari atau sedikit terlindung seperti tebing-tebing, tepi
saluran air atau tanah terlantar, kadang ditanam sebagai tanaman obat.
Tanaman yang berasal dari Eurasia ini ditemukan pada daerah yang
banyak turun hujan pada ketinggian 50-1650 m dpl. Tempuyung
merupakan tanaman terna tahunan, tegak, akar tunggang yang kuat.
Batang berongga dan berusuk. Daun tunggal, bagian bawah tumbuh

27
berkumpul pada pangkat roset akar. Helai daun berbentuk lanset atau
lonjong, ujung runcing, pangkal bentuk jantung, tepi berbagi menyirip
tidak teratur, panjang 6 - 48 cm, lebar 3 - 12 cm, warnanya hijau muda.
Daun yang keluar dari tangkai bunga bentuknya lebih kecil dengan
pangkal memeluk batang, letak berjauhan, berseling. Perbungaan
berbentuk bonggol yang tergabung dalam malai, bertangkai, mahkota
bentuk jarum, warnanya kuning cerah, lama kelamaan menjadi merah
kecokelatan. Buah kotak, berusuk lima, bentuknya memanjang sekitar 4
mm, pipih, berambut, cokelat kekuningan. Ada keaneka-ragaman
tumbuhan ini. Yang berdaun kecil disebut lempung, dan yang berdaun
besar dengan tinggi mencapai 2 meter disebut rayana. Batang muda dan
daun walaupun rasanya pahit bisa dimakan sebagai lalap. Perbanyakan
dengan biji (Manganti, 2011).

Gambar 4. Tempuyung
Menurut Manganti (2011), secara kimia tanaman tempuyung
mengandung alfa-laktuserol, beta-laktoserol, manitol, inositol, silika,
kalium, flavonoid dan taraksa-sterol. Sedangkan kandungan utama
daunnya adalah ion-ion mineral (silika, kalium, magnesium, dan netrium)
dan senyawa organik (flavonoid, kumarin, taraksasterol, inositol, dan
asam fenolat) sementara kandungan utama akarnya adalah senyawa
flavonoid (apigenin 7-0 glukosida).

5. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)

28
Temulawak merupakan tanaman khas Indonesia yang memiliki
potensi luar biasa, karena termasuk salah satu jenis temu-temuan yang
paling banyak digunakan orang sebagai tanaman obat-obatan, bahkan
konon tanaman ini memiliki kegunaaan setara dengan ginseng Korea.
Tidak heran, banyak orang menganggap temulawak sebagai ginsengnya
Indonesia (Kartasapoetra, 2006).
Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang
teduh dan terlindung dari sinar matahari. Di habitat alaminya, rumpun
tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu dan jati.
Meskipun demikian, temulawak juga dapat tumbuh di tempat yang terik,
seperti di tanah tegalan. Tanaman ini memiliki daya adaptasi yang tinggi
terhadap berbagai cuaca di daerah beriklim tropis. Suhu udara yang baik
untuk budidaya tanaman ini antara 19-30 oC (Efi Afifah dan Tim
Lentera, 2005).
Temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun.
Tanaman ini berbatang semu dan habitusnya dapat mencapai ketinggian
2-2,5 meter. Tiap rumpun tanaman terdiri atas beberapa tanaman
(anakan), dan tiap tanaman memiliki 2-9 helai daun.
Daun tanaman temulawak bentuknya panjang dan agak lebar.
Lamina daun dan seluruh ibu tulang daun bergaris hitam. Panjang daun
sekitar 50-55 cm, lebarnya kurang lebih 18 cm, dan tiap helai daun
melekat pada tangkai daun yang posisinya saling menutupi secara teratur.
Daun berbentuk lanset memanjang berwana hijau tua dengan garis-garis
coklat.
Bunga tanaman temulawak dapat berbunga terus-menerus
sepanjang tahun secara bergantian yang keluar dari rimpangnya atau dari
samping batang semunya setelah tanaman cukup dewasa. Warna bunga
umumnya kuning dengan kelopak bunga kuning tua, serta pangkal
bunganya berwarna ungu. Panjang tangkai bunga kurang lebih 3 cm dan
rangkaian bunga mencapai 1,5 cm. Dalam satu ketiak terdapat 3-4 bunga.
Rimpang induk temulawak bentuknya bulat seperti telur, dan
berukuran besar, sedangkan rimpang cabang terdapat pada bagian

29
samping yang bentuknya memanjang. Tiap tanaman memiliki rimpang
cabang antara 3-4 buah. Warna rimpang cabang umumnya lebih muda
dari pada rimpang induk. Warna kulit rimpang sewaktu masih muda
maupun tua adalah kuning atau coklat kemerahan. Rimpang terbentuk
dalam tanah pada kedalaman kurang lebih 16 cm. Tiap rumpun tanaman
temulawak umumnya memiliki enam buah rimpang tua dan lima buah
rimpang muda.
Sistem perakaran tanaman temulawak termasuk akar serabut.
Akar- akarnya melekat dan keluar dari rimpang induk. Panjang akar
sekitar 25 cm dan letaknya tidak beraturan (Rahmat, 1995).
Akar atau rimpang merupakan bagian yang terpenting dari
tanaman temulawak, karena akar tinggalnya merupakan bagian
terpenting untuk bahan obat-obatan. Pada bagian ini tumbuh tunas-tunas
baru yang kelak akan menjadi tanaman. Rimpang temulawak termasuk
yang paling besar diantara semua rimpang marga curcuma (Ahmad Said,
2006).

Gambar 5. Temulawak
Kandungan kimia rimpang temulawak dapat dibedakan atas
beberapa komponen, yaitu:
1. Pati
Fraksi pati merupakan kandungan terbesar dalam temulawak,
jumlahnya bervariasi antara 48-54% tergantung dari ketinggian tempat

30
tumbuh. Makin tinggi tempat tumbuh maka kadar patinya semakin
rendah dan kadar minyaknya semakin tinggi. Pati temulawak
mengandung zat gizi antara lain karbohidrat, protein dan lemak serta
serat kasar mineral seperti kalium (K), natrium (Na), magnesium
(Mg), zat besi (Fe), mangan (Mn) dan kadmium (Cd).
Pati berbentuk serbuk, warna putih kekuningan karena
mengandung spora kurkuminoid, mempunyai bentuk bulat telur
sampai lonjong dengan salah satu ujungnya persegi, ukuran antara 33-
100 μm dengan ukuran rerata 60 μm, letak hilus tidak sentral, terdapat
lamela yang tidak konsentris. Bentuk pati temulawak ini demikian
khasnya, sehingga digunakan sebagai salah satu unsur pengenal untuk
identifikasi simplisia rimpang temulawak.
Pati rimpang temulawak dapat dikembangkan sebagai sumber
karbohidrat, yang digunakan untuk bahan makanan atau campuran
bahan makanan.
2. Kurkuminoid
Kurkuminoid rimpang temulawak adalah suatu zat yang terdiri
dari campuran komponen senyawa yang bernama kurkumin,
demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin.
Kurkuminoid mempunyai warna kuning atau kuning jingga,
berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit, larut dalam aseton,
alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida. Kurkuminoid tidak
larut dalam air dan dietileter, mempunyai aroma khas dan tidak
bersifat toksik. Kandungan kurkuminoid dalam temulawak sebesar 1-
2%.
Kurkuminoid berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan
rasa nyeri sendi, meningkatkan sekresi empedu, menurunkan kadar
kolesterol dan trigliserida darah, antibakteri, mencegah terjadinya
perlemakan dalam sel-sel hati dan sebagai antioksidan penangkal
senyawa-senyawa radikal bebas yang berbahaya.
3. Minyak Atsiri

31
Minyak atsiri berupa cairan berwarna kuning atau kuning
jingga, berbau aromatik tajam. Komposisinya tergantung pada umur
rimpang, tempat tumbuh, teknik isolasi, teknik analisis dan perbedaan
klon varietas. Kandungan minyak atsiri pada rimpang temulawak
sebesar 3-12%. Minyak atsiri temulawak mengandung phelandren,
kamfer, borneol, xanthorrizol, turmerol dan sineal. Minyak atsiri
temulawak terdiri atas 32 komponen yang secara umum bersifat
meningkatkan produksi getah empedu dan mampu menekan
pembengkakan jaringan.
Khasiat temulawak terutama disebabkan oleh dua kelompok
kandungan kimia utamanya, yaitu senyawa berwarna kuning golongan
kurkuminoid dan minyak atsiri. Paduan antara kurkuminoid dan
minyak atsiri mempunyai kemampuan mempercepat regenerasi sel-sel
hati yang mengalami kerusakan akibat pengaruh racun kimia. Pada
saat ini sejalan dengan perkembangan ilmu kimia, orang dengan
mudah memisahkan kurkuminoid dan minyak atsiri, dan kemudian
mencampurkannya kembali (rekombinasi) dengan perbandingan yang
sesuai dengan dosis yang dikehendaki dibuat sediaan bentuk kapsul
atau kaplet yang praktis penggunaannya.
Memperhatikan potensi khasiat yang terkandung di dalamnya,
temulawak banyak dikembangkan dan diproduksi baik oleh industri
jamu maupun pabrik farmasi untuk meningkatkan kesehatan,
pencegahan serta pengobatan penyakit. Untuk meningkatkan
kesehatan, misalnya temulawak dapat dipakai sebagai tonikum dan
penambah nafsu makan. Untuk pencegahan serta pengobatan
penyakit, rekombinasi kurkuminoid dan minyak atsiri baik untuk
penyakit hati, sebagai minuman kesehatan temulawak (komponen-
komponen kimianya), dapat dicampur dengan madu, hingga diperoleh
minuman madu temulawak yang menyehatkan, kemudian
dikembangkan menjadi fitofarmaka (Ahmad Said, 2006).
Temulawak memiliki beberapa efek farmakologi, antara lain
hepatoprotektor (mencegah penyakit hati), menurunkan kadar

32
kolesterol, anti inflamasi (anti radang), laksatif (pencahar), diuretik
(peluruh kencing), dan menghilangkan nyeri sendi (B. Mahendra,
2005). Manfaat lainnya yaitu meningkatkan nafsu makan,
melancarkan ASI, dan membersihkan darah (Rahmat, 2004).
Selain dimanfaatkan sebagai jamu dan obat, temulawak juga
dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dengan mengambil patinya,
kemudian diolah menjadi bubur makanan untuk bayi dan orang-orang
yang mengalami gangguan pencernaan (Sastrapradja S, 1981). Di sisi
lain, temulawak juga mengandung senyawa beracun yang dapat
mengusir nyamuk, karena tumbuhan tersebut menghasilkan minyak
atsiri yang mengandung linalool dan geraniol yaitu golongan fenol
yang mempunyai daya repellan nyamuk Aedes aegypti (Ningsih,
2008).
Temulawak juga terbukti dapat menurunkan kadar SGPT dan
SGOT, mengurangi kejadian fibrosis hati sehingga mencegah
berlanjutnya ke sirosis hati. Pada penderita hepatitis akut, temulawak
juga dapat meningkatkan nafsu makan, mengurangi perut kembung,
menghilangkan demam dan pegal linu (Setiawan Dalimartha, 2005).

6. Kunyit (Curcuma domestica Val.)


Tanaman kunyit berupa herba yang tingginya dapat mencapai 1
meter. Tanaman ini tidak mempunyai bulu, tetapi mempunyai warna
hijau. Bunganya pucat dan pada pangkalnya berwarna kuning. Daun
pelindungnya berwarna putih, sedangkan daging rimpangnya berwarna
kuning tua. Banyak tumbuh di kebun ataupun di hutan jati, termasuk
suku Zingiberaceae (Tampubolon, 1995).
Kunyit tumbuh dan ditanam di Asia selatan, Cina selatan, Taiwan,
Indonesia, dan Filipina. Tumbuh dengan baik di tanah yang baik tata
pengairannya, curah hujan yang cukup banyak 2.000 mm sampai 4.000
mm tiap tahun dan di tempat yang sedikit kenaungan, tetapi untuk
menghasilkan rimpang yang baik dan besar menghendaki tempat yang

33
terbuka. Tanah yang ringan seperti tanah yang lempung berpasir, baik
untuk pertumbuhan rimpang.

Gambar 6. Kunyit
Tanaman kunyit dapat dipanen pada umur 8 – 12 bulan setelah
tanam. Hasil penelitian di Balittro membuktikan bahwa pada saat panen
yang paling tepat untuk mendapatkan kuantitas dan kualitas hasil
rimpang yang tinggi adalah pada kisaran umur 7 – 9 bulan setelah tanam.
Ciri-ciri umum tanaman kunyit yang sudah saatnya dipanen adalah
menguningnya daun, daun-daun berguguran, diikuti menguningnya
batang seolah-olah tanaman akan mati (Rukmana, 1994).
Rimpang kunyit mengandung zat warna curcuminoid suatu
senyawa diarylheptanoide 3–4 % terdiri dari curcumin, dihydrocurcumin
desmethoxycurcumin, dan bidesmethoxy-curcumin. Minyak atsiri 2 – 5 %
terdiri dari seskuiterpen dan turunan phenylpropane yang meliputi
turmeron, ar- turmeron, á- dan â-turmeron, curlon, curcumol, atlanton,
turmerol, â-bisabolen, â-sesquiterphellandren, zingiberen, ar-curcumene,
humulen. Selain itu rimpang kunyit juga mengandung arabinosa,
fruktosa, glukosa, pati, tanin, dan damar, serta mineral, yaitu Mg, Mn, Fe,
Cu, Ca, Na, K, Pb, Za, Co, Al, dan Bi (Sudarsono, 1996).
Minyak atsiri dari rimpang kunyit berkhasiat untuk mencegah
keluarnya asam lambung yang berlebihan dan mengurangi peristaltik

34
usus yang terlalu kuat (Tampubolon, 1981). Rimpang kunyit juga
berkhasiat untuk mengobati sakit perut, diare, asma, sakit kepala, sakit
keputihan, haid tidak lancar, dan sebagai ekspektoran (Duke, 2008).

7. Meniran (Phillanthus niruri L.)


Meniran merupakan tumbuhan terna semusim, tegak, tinggi
hingga 1 m. Batang bulat, liat, masif, tidak berbulu, licin, hijau
keunguan, diameter ±3 mm, sering sangat bercabang dengan tangkai dan
cabang-cabang hijau keunguan. Daun majemuk berseling, warna hijau,
anak daun 15-24 helai, bular telur, tepi rata, pangkal membulat, ujung
tumpul, di bawah ibu tulang daun sering terdapat butiran kecil- kecil,
menggantung. Bunga tunggal. Daun kelopak berbentuk bintang, mahkota
putih kecil. Buah kotak, bulat, hijau keunguan. Biji kecil, keras, bentuk
ginjal, coklat tua (Sudarsono dkk., 1996).

Gambar 7. Meniran
Nama lain dari Phyllanthus niruri Linn. adalah Phyllanthus
amarus Linn., P. urinaria Linn., P. alantus B.L., P. kartonensis Horn., P.
echmanthus Wall., P. lepidocarpus Siet, et, Zuc., P. leptocarpus Weigh,
(Dalimarta, 2000).
Meniran mengandung golongan senyawa kimia golongan
flavonoid, antara lain quercetin, quercetrin, isoquercetrin, astragalin,
rutin kaemperol-4’- rhamnopyranoside, eriodictyol-7-

35
rhamnopyranoside, fisetin-4’-O-glicoside, 5,6,7,4’- tetrahydroxy-8-(3-
methylbut-2-enyl)-flavonone-5-O-runoside (nirurin). Pada akarnya
terdapat 3,5,7-trihydroxyflavonl-4”-O- -L-(-) rhamnopyranoside; suatu
senyawa glikosida flavonoid dengan kaemperol sebagai aglikon dan
rhamnosa sebagai bagian glikon. Ikatan glikosida terdapat pada posisi 4
sebagai gliksida flavonoid terdapat pula 5,3’,4;-rihydroxyflavononone-7-
O- -L-(-), suatu flavonone (eriodictyol); L(-)-rhamnose sebagai bagian
gikon. Disamping itu terdapat senyawa lignan, norsecurinine, securinine,
allosecurinine, dan senyawa alkaloid (entnorsecurinine). Ignan;
nirphyllin (3,3’ ,5,9,9’ -pentamethoxy-4-hydroxy,4’ ,5-
methylendioxylignan, phyllnirurin (3,4-methylendioxy-5’ -methoxy-9-
hidroxy-4’ -7- epoxy-8,3’ -neolignan), isolintetrain, hypophyllanthin
(tidak pahit). Nirtetralin, niranthin, phyllanthin (pahit), hinikinin,
ligtetralin, phyllanthostatin A, dan alkaloid dari trans-phytol (Sudarsono
dkk., 1996).
Herba dan akar digunakan untuk penyakit radang, infeksi saluran
kencing, serta untuk merangsang keluarnya air seni (diureticum), untuk
penyebuhan diare, busung air, infeksi saluran pencernaan, dan penyakit
yang disebabkan karena gangguan fungsi hati. Buahnya berasa pahit
digunakan untuk luka dan scabies. Akar segar digunakan untuk
pengobatan penyakit kuning. Dapat digunakan untuk penambah nafsu
makan dan obat anti demam (Sudarsono dkk., 1996).
Meniran banyak disalahgunakan sebagai obat penggugur
kandungan, dan pada pemakaian berlebih dari Phyllanthi Herba dapat
menyebabkan impoten. Flavonoid yang terkandung dalam meniran
memberikan efek menghambat kerja enzim xanthin oksidase sehingga
dapat dimanfaatkan dalam pengobatan mengurangi kelebihan asam urat
dan batu ginjal.

36
37
BAB III
KESIMPULAN

Hiperkolesterolemia adalah suatu kondisi dimana meningkatnya


konsentrasi kolesterol dalam darah yang melebihi nilai normal (Guyton & Hall,
2008). Hiperkolesterolemia berhubungan erat dengan kadar kolesterol LDL di
dalam darah. Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai
peningkatan kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida di atas nilai normal serta
penurunan kolesterol HDL.
Hiperkolesterolemia terjadi akibat adanya akumulasi kolesterol dan lipid
pada dinding pembuluh darah. Terdapat 2 macam hiperkolesterol yaitu
hiperkolesterolemia primer dan hiperkolesterolemia sekunder.
Sebagian besar hiperkolesterolmia tidak menimbulkan gejala. Tetapi kadar
kolesterol yang tinggi menyebabkan aliran darah menjadi kental sehingga oksigen
menjadi berkurang, sehingga gejala yang timbul adalah gejala kekurangan oksigen
seperti sakit kepala, pegal-pegal.
Terdapat berbagai tanaman herbal yang dapat membantu menurunkan
kadar kolesterol dalam darah, antara lain daun jati belanda, daun jati cina, daun
teh, tempuyung, kunyit, temulawak dan meniran.
DAFTAR PUSTAKA

Agestiawaji R & Sugrani. 2009. Flavonoid (Quercetin). (Makalah Kimia


Organik). Makasar: Program S2 Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin.

Ahmad Said. (2006). Khasiat dan Manfaat Temulawak. Jakarta: Sinar Wadja
Lestari.

Andriani Y. 2005. Pengaruh ekstrak daun jati belanda (Guazuma uilmifolia


Lamk.) terhadap bobot badan kelinci yang diberi pakan berlemak. Jurnal
Gradien 1 (2):74-76.

Angulo P. 2012. “Non-Alcoholic Fatty Liver Disease”. The new England Journal
of Medicine. Vol.346.pp.1221-31.

Anwar, TB. 2004. Penyakit Jantung Koroner Dan Hipertensi. Ahli Penyakit
Jantung Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Digitized by
USU digital library.

B. Mahendra. (2005). 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar Swadaya

B2P2TOOT (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional). 2017. Jamu Saintifik Suatu Lompatan Ilmiah
Pengembangan Jamu. Solo: B2P2TOOT.

Becker, D.J., R.Y. Gordon, P.B. Morris, J. Yorko, Y.J. Gordon, M. Li and N. Iqbal.
2008. Simvastatin Vs Therapeutic Lifestyle Changes And Supplements:
Fatty Liver Disease. Vol. 13. Pp.71-83.

Berenguer B, C Trabadela, SF Sanchaz, A Quilez, P Mino, R De la Puerta & MJ


Martin. 2007. The Aerial Parts of Guazuma ulmifolia Lam. Protect
Against NSAID-Induced Gastric Lesions. Journal of Ethnopharmacology
114 (2):153-160.

Bhatnagar, D., Soran, H., Durrington. 2008. Hypercholesterolaemia and its


management. BMJ ;337:993.

Brigitte Marazzi, Peter K. Endress, Luciano Paganucci de Queiroz, and Elena


Conti. 2006. "Phylogenetic relationships within Senna (Leguminosae,
Cassiinae) based on three chloroplast DNA regions: patterns in the
evolution of floral symmetry and extrafloral nectaries". American
Journal of Botany. 93 (2): 288–303.

Brousseau ME. 2003. ATP-binding cassette transporter A1, fatty acids, and
cholesterol absorption. Current Opinion in Lipidology (14) : 35-40.

Dalimartha, S. 2009. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid VI. Pustaka Bunda.
Jakarta, 163-64.

Davalos A, CF Hernando, F Cerrato, JM Botas, DG Coronado, CG Cordoves &


MA Lasuncion. 2006. Red Grape Juice Polyphenols Alter Cholesterol
Homeostasis and Increase LDL-Receptor Activity in Human Cells in
Vitro. J Nutr 136 (4): 1766-1773.

Debes, Mohammed S. 2015. Non Alcoholic Fatty Liver Overview. Journal of


Liver. Vol.4.issue 2. pp. 1-7.

Dewi YK, Widiastuti, Djumidi & Sujipto. 2000. Ragam Penggunaan Jati Belanda
(Guazuma ulmifolia) dalam Jamu Berbungkus ysang Beredar di Pasaran.
Warta Tumbuhan Obat Indonesia 6: 9-11.

Dowman JK, Tomlinson JW. Newsom PM. 2010. Pathogenesis Of Non-Alcoholic.


Duke, 2008, Phytochemical and Ethnobotanical Databases http://www.ars-
grin.gov/cgi-bin/duke/farmacy2.plhttp://www.ars-grin.gov/cgi-
bin/duke/farmacy2.pl, diakses pada 31 Oktober 2018.

Effendy. 2006. Teori VSEPR Kepolaran dan Gaya Antarmolekul. Malang:


Bayumedia Publising.

Efi Afifah dan Tim Lentera. (2005). Khasiat dan Manfaat Temulawak: Rimpang
Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Ellya, R., Sijani, P., Edhiwan, P. 2001. Dislipidemia Pada Kelompok Usia Lanjut
Di Lembang Bandung. JKM. Vol. 1, No. 1, 2001, 39–53.

Engler MB, MM Engler, CY Chen, MJ Malloy, A Browne, EY Chiu, HK Kwak, P


Milbury, SM Paul, J Blumberg, MM Snyder. 2004. Flavonoid-Rich Dark
Chocolate Improves Endothelial Function and Increases Plasma
Epicatechin Concentrations in Healthy Adults. Journal of The American
College of Nutrition 23 (3): 197-204.

Enriquez. 2008. Hypotensive and vasorelaxant effects of the procyanidin fraction


from Guazuma ulmifolia bark in normotensive and hypertensive rats.
Journal of Ethnopharmacology 117(1): 58-68.

Es-Safi NE, S Ghidouche, & PH Ducrot. 2007. Flavonoid: Hemisynthesis,


Reactivity, Characterization and Free Radical Scavenging Activity.
Molecules 12: 2228-2258.

Farnsworth NR. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants. Journal


of Pharmaceutical Sciences 55 : 225-236.
Fatmawati NK, Ali M, Widjajanto E. 2012. Efek Proteksi Kombinasi Minyak
Wijen (Sesame Oil) dengan α-Tocopherol terhadap Steatosis melalui
Penghambatan Stres Oksidatif pada Tikus Hiperkolesterolemia.
Feltrin AC, AA Boligon, V Janovik & ML Athayde. 2012. Antioxidant potential,
total phenolics and flavonoid cantents from the stem bark of (Giazuma
ulmifolia Lam.) Asian. J Biol Sci 5(3): 268-272.

Ghani, M. A. 2002. Buku Pintar Mandor Dasar-dasar Budidaya Teh. Penebar


Swadaya. Jakarta. Hal 134.

Giner C & A Cannas. 2001. Tannis: Chemical Structural The Structur of


Hydrolysable Tannins. on line at http://www. Ansci-cornel. Edu. Cornert
University.

Granner DK, Mayes PA. and Rodwell VW, eds. Harpes Biochemistry. Mc Graw-
Hill : p. 285-97.

Gunawan D & S Mulyani. 2004. Obat hayati golongan minyak atsiri. Dalam: Ilmu
obat alam (farmakognosi). Cetakan I. Jakarta: Penebar Swadaya. h.119-
120.

Guyton A. C, & Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed12. Bab 68

Guyton, A.C., Hall, J.E. 2015. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. hlm
891-892.

Hagerman AE, KM Riedl, G Alexander, KN Sovik, NT Richrad, PW Hartzfeld &


TL Riechel. 1998. High Moleculer Weight Polyphenolics (Tannins) as
Biological Antioxidants. Journal Agriculture Food Chem.46 (5): 1887-
1892.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumnbuhan. Bandung: ITB.
Hubscer, 2006. “Histological assessment of non-alcoholic fatty liver disease”.
Journal compilation.Vol.49.pp.450-65.

Hutauruk JE. 2010. Isolasi Senyawa Flavonoida Dari Kulit Buah Tanaman
Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth.). (Skripsi). Sumatera: FMIPA
Universitas Sumatera Utara.

Jayanti, Debin P. 2011. Dalam Skripsi : Pengaruh Perbedaan Lama Pemberian


Diet Kolesterol Terhadap Perlemakan Hati (fatty liver) pada tikus putih
(rattus norvegicus). Randomized Primary Prevention Trial. Vol.7, pp 758-
64.

Kartasapoetra. (2006). Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. Jakarta: Rineka Cipta

Katno AP, Kusumadewi & Sutjipto. 2008. Pengaruh Waktu Pengeringan Terhadap
Kadar Tanin Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.). The Journal
of Indonesian Medicinal Plant 1(1): 38-46.

Katrich & S Gorinstein. 2007. Biochemical characteristics of the herb mixture


prolipid as a plant food supplement and medicinal remedy. Plant Foods
for Human Nutrition 64 (4):145-150.

Knekt P, J Kumpulainen, R Jarvinen, H Rissanen,M Heliovaara, A Reunanen, T


Hakulinen & A Aromaa. 2002. Flavonoid intake and risk of chronic
diseases. Am J Clin Nutr 76(53): 560-568.

Lenny S. 2006. Senyawa Flavanoida, Fenilpropanida dan Alkaloida. Karya


Ilmiah: Departemen Kimia Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.

Ling WH, QX Cheng, J Ma & T Wang. 2001. Red and Black Rice Decrease
Athrosclerotic Plaque Formation and Increase Antioxidant status in
rabbits. J Nutr 131:1421-1426
Manganti, Irena. 2011. 40 Resep Ampuh Tanaman Obat untuk Menurunkan
Kolesterol dan Mengobati Asam Urat. Yogyakarta: Pinang Merah
Publisher.

Mayasari DR & Rahayuni A. 2014. Pengaruh Pemberian Serbuk Biji Labu


Kuning (Cucurbita Moschata) Terhadap Penurunan Kolesterol Ldl Pada
Tikus Wistar Hiperkolesterolemia, Journal of Nutrition College, Vol. 3
No. 4, Halaman 432-39.

Mayes. 2000. Cholesterol synthesis, transport and excretion. In Murry RK,

Miradiono A. 2002. Efektifitas pengekstrak flavonoid dari daun jati belanda


(Guazuma ulmifolia Lamk.). (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Musial DC, Becker TCA, Isolani AP, Bracht L dan Biazon ACB. 2013.
Hypercholesterolemia And Hepatic Steatosis In Mice Fed On Low-Cost
High- Fat Diet, Vol.35, pp.23-27

Nakaguchi O, H Okamoto, Y Matsuyama, T Hashigaki, T Sakano, Katsata &


Masanori. 2001. Hair-growing agent composition/novel use of plant
extract as hair growth promoter. Japan: Kokai Tokkyo Koho.

Ningsih. (2008). Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Temulawak Terhadap Jumlah


Nyamuk Aedes aegepty yang Hinggap Pada Tangan Manusia (Skripsi).
Surakarta: FKIP UMS.

Orviyanti G. 2012. Perbedaan Pengaruh Yoghurt Susu, Jus Kacang Merah Dan
Yoghurt Kacang Merah Terhadap Kadar Kolesterol Ldl Dan Kolesterol
Hdl Serum Pada Tikus Dislipidemia,Phd thesis, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.

Rachmadani. 2001. Ekstrak air daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)
berpotensi menurunkan kadar lipid darah tikus putih strain wistar.
(Skripsi). Bogor: Jurusan Kimia Fmipa Institut Pertanian Bogor.

Rahmat H. 2009. Identifikasi Senyawa Flavonoid Pada Sayuran Indigenous Jawa


Barat. (Skripsi). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor

Rahmat Rukmana. (1995). Temulawak, Tanaman Rempah dan Obat. Yogyakarta:


Kanisius

Ramakrishna UV, SN Sinha, N Kumari & V Bhatnagar. 2014. A Review on


Pharmacognistic, Phytochemical, Chemical Profile and Apoptosis
Induction in Yeast Cells Of Guazuma ulmifolia. An International Journal
of Advances in Pharmaceutical Sciences 5 (3):2130-2141.

Rukmana, R., 1994, Kunyit, 13, 17-18, 25-27, Kanisius, Yogyakarta.

Sastrapradja S. (1981). Tanaman Pekarangan. Jakarta: Balai Pustaka

Setiawan Dalimartha. (2005). Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Hepatitis.


Jakarta: Penebar Swadaya.

Setyamidjaja, D. 2000. Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen Tanaman Teh.


Kanisius. Yogyakarta. Hal 154.

Shahidi F, C Kadaswarmi, E Middleton, V Shukla. 1997. Natural Antioxidants:


Chemistry, Health Effects, and Applications. Illionis : AOCS Press
Shekhawat N & R Vijayvergia. 2010. Comparative study of primary metabolites
in different plant parts of Clitoria ternatea (L.), Guazuma ulmifolia
(Lam.) & Madhuca indica (Gmel). Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research 2 (2): 168-171.

Silbernagl S & Lang F. 2013. Gangguan Metabolisme Lipoprotein, In Teks dan


Atlas Berwarna Patofisiologi, 14th edn, Jakarta, pp.246-49.

Soeharto, Iman. 2004. Penyakit jantung koroner & serangan jantung. Jakarta.
Gramedia pustaka utama. hlm 63-81.

Stapleton, P.A., Goodwill, A.G., James, M.E., Brock, R.W., Frisbee, J. 2010.
Hypercholesterolemia and microvascular dysfunction: interventional
strategies. Journal of Inflammation. 7:54

Sudarsono, Agus P, Didik G, dkk. 1996. Tumbuhan Obat. Yogyakarta : UGM.

Sudirman S. 2011. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Kangkung Air


(Ipomoea aquatic Forsk.). (Skripsi). IPB. Bogor.

Sukandar EY, Elfahmi & Nurdewi. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Daun
Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) terhadap Kadar Lipid Darah
pada Tikus Jantan. JKM. 8 (2): 102-112.

Sulistiono. 2007. Tannin. Mataram: Universitas Mataram

Tampubolon, T., 1981, Tumbuhan Obat, 27-28, Bhatara Karya Aksara, Jakarta.

Then AH, S Bardosono & IP Harahap. The effect of indigestible dextrin and
phytosterol on serum LDL-cholesterol level on hypercholesterolemic
subjects. Med J Indones 18(2): 114-119.
Tombilangi AK. 2004. Khasiat ekstrak daun jati belanda (Guazuma uilmifolia
Lamk.) terhadap kadar lipid peroksida darah kelinci yang hyperlipidemia.
(Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Ummah MK. 2010. Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin
pada Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) (Kajian Variasi
Pelarut). (Skripsi). Malang: Universitas Islam Negeri Mualana Malik
Ibrahim Malang.

Venugopal SK, S Devaraj , I Yuhanna, P Shaul , I Jialal. 2002. Demonstration that


Creactive protein decreases eNOS expression and bioactivity in human
aortic endothelial cells. J Circulation 106 (12): 1439-1441.

Wink M. 2008. Ecological Roles of Alkaloids. Wiley: Jerman

Yuhernita & Juniarti. 2011. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder Dari Ekstrak
Metanol Daun Surian Yang Berpotensi Sebagai Antioksidan. Makara
Sains. 15(1) : 48-52.

Yusuf, F., Sirajuddin, S., Najamuddin, U. 2013. Analisis Kadar Asam Lemak
Jenuh Dalam Gorengan Dan Minyak Bekas Hasil Penggorengan
Makanan Jajanan Di Lingkungan Workshop Universitas Hasanuddin.
Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Makassar

Anda mungkin juga menyukai