Anda di halaman 1dari 10

FILSAFAT ILMU DAN PEMIKIRAN AKUNTANSI

DISUSUN OLEH :

YUN ERMALA DEWI


A062181030

PASCASARJANA PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
Pengertian
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Intuisi bersifat personal dan tidak dapat diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak dapat diandalkan. Secara harfiah intuisi
dapat diartikan perasaan batin atau getaran jiwa yang dapat merasakan sesuatu, yang
selanjutnya menimbulkan pengaruh ke dalam sikap, ucapan dan perbuatan. Intuisi yang
tertinggi dapat mengambil bentuk wahyu sebagaimana dialami para Nabi. Sedangkan yang
lainnya dapat mengambil bentuk inspirasi (ilham), lintasan pikiran (flashes). Menurut Jujun
S. Suriasimantri (2005:53), intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui
proses penalaran tertentu. Dari riwayat hidup dan matinya Sokrates, pengetahuan intuitif
disebutnya sebagai “theoria” di mana cara untuk sampai pada pengetahuan itu adalah refleksi
terhadap diri sendiri (Huijbers, 1982).
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Bahwa intuisi yang dialami oleh
seseorang bersifat khas, sulit atau tak bisa dijelaskan, dan tak bisa dipelajari atau ditiru oleh
orang lain. Bahkan seseorang yang pernah memperoleh intuisi sulit atau bahkan tidak bisa
mengulang pengalaman serupa.
Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya
dalam menentukan kebenaran (Bakker dan Zubair, 1990). Kebenaran yang diperoleh dengan
pendekatan intuitif disebut sebagai kebenaran intuitif. Kebenaran intuitif sulit untuk
dipertanggung jawabkan, sehingga ada-ada pihak-pihak yang meragukan kebenaran macam
ini. Pengalaman intuitif sering hanya dianggap sebagai sebuah halusinasi atau bahkan sebuah
ilusi belaka. Meskipun validitas intuitisi diragukan banyak pihak, ada sementara ahli yang
menaruh perhatian pada kemampuan manusia yang satu ini. Bagi Abraham Maslow, intuisi
merupakan pengalaman puncak (peak experience), sedangkan bagi Nietzsche, intuisi
merupakan inteligensi yang paling tinggi (Sumantri, 2005:53).

Batasan dalam Pendekatan Intuitif


Pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang bersifat particular. Jika kita
berusaha menilai sebuah lukisan misalnya, dengan pengetahuan intuitif kita akan menilainya
dengan berusaha memahami dengan baik lukisan tersebut sebagaimana adanya. (Sutrisno,
2005). Kebenaran intuitif sulit dikembangkan karena validitasnya yang sangat pribadi,
memiliki watak yang tidak komunikatif, khusus untuk diri sendiri, subjektif, tidak
terlukiskan, sehingga sulit untuk mengetahui apakah seseorang memilikinya atau tidak.
Kebenaran tersebut tidak akan dapat diuji dengan observasi, perhitungan atau eksperimen
karena kebenaran intuitif tidak berhipotesis (Kneller, 1971). Karena pengetahuan intuitif itu
bersifat aktif maka bisa kita pahami sebagai suatu bentuk ekspresi. Dengan kata lain, intuisi
adalah ekspresi sejauh ekspresi tersebut bersifat menggubah berbagai kesan yang kita terima,
melalui potensi imajinasi aktif (fantasia) ke dalam wujud berbagai kesatuan imaji maupun
keberadaan keseluruhan secara esensial yang bersifat individual (Supangkat, 2006).
Pengetahuan intuitif bersifat langsung (intuisionisme), sebab tidak dikomunikasikan melalui
media simbol dan lebih subyektif dibanding pengetahuan rasionalis dan empiris yang lebih
obyektif (Russell, 2010). Menurut Bakker dan Zubair (1990), pengetahuan intuitif bisa
dimanifestasikan menjadi empat fungsi, yaitu :
a. Kemampuan fantasi bebas
Merupakan kegiatan mental untuk menciptakan gambaran-gambaran tanpa adanya
objek real yang sesuai dengannya.
b. Kemampuan imajinasi estetis
Unsur-unsur yang terbentuk oleh permainan fantasi yang disengaja membentuk
kombinasi yang harmonis, dan mengungkap situasi batin penciptanya dalam bentuk
baru, dan mampu menggerakkan pengalaman yang sama pada orang lain.
c. Kemampuan fantasi dalam fungsi praktis
Fungsi ini dapat menjelaskan dan menyempurnakan penalaran.
d. Kemampuan imajinasi dalam penemuan ilmiah
Imajinasi ikut membentuk bangunan intelektual ilmu pengetahuan dan filsafat.

Contoh Pendekatan Intuitif


Adapun contoh pendekatan intuitif yaitu:
1. Kebenaran yang timbul dalam karya seni seperti karya penulis besar Homer,
Shakespeare, Proust, yang berbicara kepada kita tentang kebenaran hati nurani
manusia merupakan hasil kerja intuisi (Kneller, 1971).
2. Tulisan-tulisan mistik, autobiografi dan karya essay merupakan refleksi dari
pengetahuan intuitif (Kneller, 1971).
3. Seseorang dapat membayangkan diri dalam bermacam-macam peranan dan situasi;
kemudian situasi tersebut dapat tiba-tiba berubah menjadi sebaliknya atau menjadi
lain sekali.
4. Kita dapat menangis, terharu bila mendengar lagu atau musik yang dimainkan; cerita,
novel, puisi, dapat menggetarkan hati pembacanya.
5. Seorang dosen bisa menemukan ilustrasi bahan kuliah dengan mengimajinasikan
contoh-contoh dan perbandingan-perbandingan.
6. Kisah Archimedes saat berteriak “Eureka!!”, waktu dia menemukan jawaban atas
pertanyaan, bagaimana ia harus mengukur ukuran benda tanpa bentuk pasti, seperti
tubuh manusia. Itu terjadi justru saat ia berendam di bak mandi dan melihat air
melimpah ke luar bak mandi setara dengan ukuran tubuhnya.
7. Dalam menemukan teorinya tentang hubungan bumi dan matahari Galileo Galilei
justru berlaku dengan tidak sistematis.

Hakikat dan Sumber Pengetahuan


Pengetahuan intuitif pada hakikatnya merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat
pengalaman langsung seseorang dan menghadirkan pengalaman serta pengetahuan yang
lengkap bagi orang tersebut. Pengetahuan jenis ini bersifat subyektif, sebab hanya dialami
oleh orang tersebut (Russell, 2010).
Pengetahuan intuitif bersumber pada naluri/hati seseorang (Kartanegara, 2005).
Orang timur lebih menyukai intuisi daripada akal budi karena pusat kepribadian seseorang
bukanlah inteleknya tetapi pada hatinya yang mempersatukan akal budi dan intuisi,
intelegensi dan perasaan (Watloly, 2001). Pengetahuan yang bersumber dari intuisi
merupakan pengalaman batin yang bersifat langsung. Artinya, tanpa melalui sentuhan indera
maupun olahan akal pikiran. Ketika dengan serta-merta seseorang memutuskan untuk
berbuat atau tidak berbuat dengan tanpa alasan yang jelas, maka ia berada di dalam
pengetahuan yang intuitif. Dengan demikian, pengetahuan intuitif ini kebenarannya tidak
dapat diuji baik menurut ukuran pengalaman indriawi maupun akal pikiran. Karena itu tidak
bisa berlaku umum, hanya berlaku secara personal belaka (Suhartono, 2008). Pengetahuan
intuitif muncul secara tiba-tiba dalam kesadaran manusia melalui proses yang tidak disadari
oleh manusia itu sendiri. Pengetahuan ini muncul sebagai hasil penghayatan, ekspresi dan
individualitas seseorang, sehingga validitas pengetahuan ini sangat bersifat pribadi.
Pengetahuan intuitif disusun dan diterima dengan kekuatan visi imaginatif dalam
pengalaman pribadi seseorang (Kneller, 1971).
Menurut Coplestone (1953), Pengetahuan intuitif disebabkan oleh pengertian
langsung terhadap kehadiran benda-benda. Pengetahuan intuitif tidak dapat tercipta begitu
saja secara natural kecuali adanya objek yang dapat diteliti, tetapi pengetahuan ini dapat juga
terjadi secara supernatural dikarenakan oleh kuasa Tuhan semata (cognitio intuitiva).

Intuisi dan Urgensinya dalam Memperoleh Pengetahuan


Ibn Sina menyebut intuisi dengan al-ḥads\ al-qudsī (intuisi suci). Berbeda dengan
pengetahuan rasional, pengenalan intuitif disebut juga ḥuḍūrī, karena objek penelitiannya
hadir dalam jiwa penelitinya, sehingga ia menjadi satu dan identik dengannya. Di sinilah
hubungan antara subjek dan objek terjembatani sehingga tidak menimbulkam jurang atau
jarak antara subjek dan objek. Karena kesatuan yang tercapai dalam modus pengetahuan
intuitif antar subjek (al-'alim) dan objek (al-ma'lum), seseorang akan mengetahui secara
langsung dan akrab dengan objek yang sedang ditelitinya tanpa melalui konsep-konsep atau
representasi apapun.
Dalam kitabnya Nihāyah al-Ḥikmah dan Bidāyah al-Ḥikmah, Thabathabai banyak
menjelaskan berbagai persoalan metafisik dan mengeksplorasi metode intuitif dalam
memperoleh pengetahuan. Pembahasan-pembahasan yang dimaksud mencakup: ilmu ḥuḍūrī,
ilmu badīhī, teori kesatuan subjek dan objek pengetahuan, eksistensi mental, emanasi, alam
mis\āl, pengetahuan Tuhan. Berkaitan dengan intuisi, yang lebih mendasar dan fundamental
dalam meraih hakikat pengetahuan adalah pensucian jiwa dan tazkiyah hati, dan bukan
dengan analisa pikiran dan demonstrasi rasional. Para urafa dan sufi beranggapan bahwa
segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyāhadah, dan mukasyafah lebih
sesuai dengan kebenaran daripada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi
rasional dan akal. Mereka menyatakan bahwa indera-indera manusia dan fakultas akalnya
hanya menyentuh wilayah lahiriah alam dan manifestasi-manifestasi-Nya, namun manusia
dapat berhubungan secara langsung (directly) dan intuitif dengan hakikat tunggal alam (baca:
Sang Pencipta) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat
berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan
ketergantungan-ketergantungan lahiriah. Pengetahuan seperti ini tidak dapat disamakan
dengan pengetahuan ḥuṣūlī yang bersumber dari suatu konsepsi-konsepsi rasional, melainkan
suatu pengetahuan syuhūdī, intuisi, immediate (langsung), kehadiran, dan ḥuḍūrī. Dengan
demikian, intuisi bisa melengkapi pengetahuan rasional dan inderawi sebagai suatu kesatuan
sumber ilmu yang dimiliki manusia, dan memberi banyak tambahan informasi yang lebih
akrab dan partikular tentang sebuah objek dengan cara yang berbeda dengan yang ditempuh
oleh akal maupun indera.
Terkait dengan pemilahan ilmu yang diperoleh melalui indera atau akal (bahs\i) dan
melalui intuisi (\\z\auqī), Suhrawardi menyebut tiga macam kemampuan manusia, pertama,
ada yang seperti para sufi yakni memiliki pengalaman z\auqī yang sangat dalam, tetapi tidak
mampu mengungkapkannya dalam bahasa filosofis yang diskursif. Kedua, kalangan filosof
yang mempunyai kemampuan mengekspresikan pikiran-pikiran mereka secara filosofis-
diskursif, tetapi tidak memiliki pengalaman mistik yang mendalam. Ketiga, para muta'allih,
yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam seperti para sufi, tetapi juga punya
kemampuan bahasa filosofis yang diskursif seperti yang dimiliki para filosof. Kelompok
yang ketiga inilah yang dinilai Suhrawardi sebagai kelompok tertinggi diantara para pencari
kebenaran.

Intuisi dalam pemikiran barat


Aliran rasionalisme mengatakan bahwa realitas harus dijelaskan berdasarkan
kategori-kategori akal. Aristoteles menemukan alat ukur ini dengan memberikan nama
Organon . Derngan alat ukur ini mampu dijelaskan segala sesuatu yang ada . Namun Organon
hanya bersifat sebagai pengajaran atau penjelasan yang bersifat deskriptif saja. Aristoteles
tidak mampu bertindak untuk melakukan sesuatu.
Sebagai jawaban atas kelemahan Organon, Francis Bacon (1561-1626) menemukan
alat ukur lain,yaitu Novum Organum. Menurutnya, kebenaran sesuatu itu tidak boleh hanya
dijelaskan saja tetapi harus dilakukan atau dieksperimentasikan. Di dalamnya harus ada
proses. Dengan ditemukannya alat ukur ini, peradaban manusia berkembang luar biasa.
Manusia mencapai hasil diluar batas kemampuan akal. Sesuatu yang semula tidak
dipikirkan,menjadi mampu dibuktikan. Eksperimentasi serta metode ilmiah mendominasi
peradaban manusia. Pemikiran Francis Bacon ini telah membawa kemajuan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Meskipun efeknya luar biasa, penemuan bacon juga menemukan batasnya, yaitu
ketika berhubungan dengan nilai-nilai, kematian,kenyataan yang paradox ,Tuhan, serta
kenyataan yang tidak bisa dieksperimentasikan atau dibawa ke laboratorium. Sebagai
jawaban atas kekurangan Bacon, maka ditemukanlah alat ukur baru yang disebut dengan
Tertium Organum oleh P.D.Quspensky (1878-1947), yaitu kebenaran yang bersifat intuitif
yang merangkum keduanya, bahwa kenyataan itu harus rasional tetapi juga harus
dieksperimentasikan ,yang didalamnya akan terjadi proses,perkembangan atau evolusi
kesadaran menuju kenyataan yang tinggi.
Henri Bergson (1859-1941), seorang filusuf Perancis, mengatakan bahwa intelek dan
intuisi adalah dua jenis pengetahuan yang berbeda. Prinsip sains dimasukkan dalam kategori
intelek dan prinsip-prinsip metafisika merupakan intuisi. Sains dan filsafat dapat disatukan
dan akan menghasilkan pengetahuan yang intelektual dan intuitif. Pengetahuan semacam ini
dapat menyatukan dua realitas yang berbeda.
Bergson mengatakan bahwa intuisi itu jangan disamakan dengan perasaan dan emosi
secara harfiah. Intuisi harus dilihat sebagai sesuatu yang bergantung pada kemampuan
khusus yang didapatkan dari ilmu non alam. Intuisi itu sepertinya suatu tindakan atau rentetan
dari tindakan-tindakan yang berasal dari pengalaman. Intuisi itu hanya bisa didapatkan
dengan melepaskan diri dengan kesadaran spontan. Satu hal yang dicapai intuisi dan disebut
sebagai objeknya adalah kepribadian diri manusia. Bergson mengatakan bahwa kenyataan
absolute itu yang dikuak oleh intuisi metafisis adalah waktu yang tidak pernah habis.
Manusia dapat menemukan kepribadiannya dengan berjalannya waktu, dan proses untuk
sampai pada perubahan sepertinya sulit untuk berhenti. Dengan intuisi manusia akan
mendapatkan bentuk pengetahuan yang menyatakan realitas itu kontinu dan tak dapat
terbagi. Realitas akan selalu berubah karena dalam hidup manusia akan selalu ada kebebasan
akan kreativitas.
Dalam sejarah filsafat barat, sekurang-kurangnya terdapat empat kecenderungan
besar dalam menyikapi proses ilmiah. Keempat aliran itu adalah rasionalisme, empirisme,
kritisisme, dan intuisionisme. Kemunculan aliran rasionalisme biasanya dikaitkan dengan
filosof abad 17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Lebniz,
walaupun sebenarnya akar dari pemikiran ini dapat dilacak sampai filsafat Yunani. Paham
ini berpendapat bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber pada akal budi manusia.
Descartes mengatakan bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan yang dinamakan
subtansi yang sudah tertanam. Lebih lanjut Descartes menyebut tiga hal yang disebut sebagai
ide bawaan: pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Menurut aliran ini sumber ilmu
adalah akal melalui deduksi ketat seraya mengabaikan pengalaman. Hal ini menurut mereka
karena ilmu adalah sesuatu yang sudah built in dalam jiwa manusia dan tugas kita
adalah mencapainya melalui deduksi, karenanya ilmu yang dihasilkan oleh Aliran ini
biasanya dianggap bersifat universal.
Aliran kedua adalah empirisme yang menekankan pentingnya pengalaman sebagai
sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori ole France Bacom, sekalipun dalam
pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan empirik dapat dilacak pula
dalam filsafat Yunani. Puncak aliran ini terdapat pada pemikiran David Hume dalam
karyanya A Treatise of Human Nature mengupas persoalan-persoalan erpistemologis
penting. Berbanding terbalik dengan rasionalisme. Seperti yang dijelaskan oleh Hume,
mengatakan bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian
diistilahkan dengan persepsi. Kemudian persepsi dibagi menjadi dua macam,yaitu kesan-
kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Yang pertama adalah yang masuk melalui akal budi
secara langsung,sifatnya kuat dan hidup. Yang berikutnya adalah persepsi yang berisi
gambaran kabur tentang kesan-kesan. Derevasi ilmiah yang diakui oleh aliran ini adalah
induksi terhadap fakta-fakta empiris
Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk menyintesiskan dua
kutup ekstrim sebelumnya, rasionalisme dan empirisme. Tokoh utama aliran ini adalah
Imanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengahiri perdebatan
yang terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili
Leibniz dan Wolf, dan empirisme Inggris. Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja
dalam pemikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari
akal. Berbeda dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek
penelitian, Kant mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang
berfikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada pada penyelidikan rasio
manusia dan batas-batasnya.
Aliran keempat yaitu intuisionisme. Aliran ini dimulai oleh Henri Bergson. Jika aliran
ketiga aliran sebelumnya menekankan pentingnya akal dalam mencapai pengetahuan, aliran
ini justru mementingkan intuisi. Penekanan terhadap intuisi ini tidak berarti bahwa mereka
menafikan sama sekali peran akal dan indera. Mazhab ini menyatakan bahwa mereka
pengetahuan yang diperoleh melalui penghayatan langsung lebih superior dan sempurna.
Secara epistemologis, pengetahuan melalui intuisi ini diperoleh melalui perasaan langsung
mengenai hakekat sebuah objek, bukan aspek lahiriah dari objek itu. Bergson membagi
pengetahuan menjadi dua macam; pengetahuan mengenai (knowledge about) dan
pengetahuan tentang (knowledge of ). Yang pertama bersifat diskursif-simbolis, sementara
yang kedua bersifat langsung
DAFTAR PUSTAKA

Bakker, A. dan A. C. Zubair. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Sleman: Penerbit


Kanisius.

Coplestone, F. 1953. A History of Philospophy: Late Medieval and Renaissance


Philosophy. Vol 3. New York: Continuum

Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta. Penerbit
Kanisisus.

Irawan, Bambang. 2014. Intuisi sebagai Sumber Pengetahuan: Tinjauan terhadap Filosofis
Islam. Teologia, Vol. 25 No. 1

Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Integrasi Ilmu : Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung:


Penerbit Arasy PT Mizan Pustaka.

Kneller, G. F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education. New York : John Wiley
Sons Inc

Russell, B. 2010. The Problems of Philosophy. Los Angeles: Indo-European Publishing

Supangkat, Jim dan Zaelani, Rizki A., 2006, Ikatan Silang Budaya, Art Fabrics

Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsaat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar
Harapan.

Sutrisno, Mudji, dkk. 2005. Teks-Teks Kunci Estetika : Filsafat Seni. Yogyakarta: Galang
Press.

Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan : Mempertimbangkan Epistemologi


secara Kultural. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai