Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Ternak ruminansia adalah sebutan untuk semua ternak yang mempunyai struktur
pencernaan ganda yaitu terdiri atas rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Atau lebih
tepat dikatakan bahwa ternak ruminansia adalah ternak yang mempunyai sistim pencernaan
pakan yang khas sehingga menyebabkan ternak tersebut mampu mengkonversi pakan-pakan
berkualitas relatif rendah menjadi produk bergizi tinggi, seperti daging dan susu. Ciri khas
dari ternak ruminansia adalah adanya rumen yang merupakan ekosistem mikroba yang
berperan dalam penguraian bahan pakan dan mikroba juga berfungsi sebagai bahan protein
ternak.
Ruminansia sama halnya dengan mahluk hidup lainya yang membutuhkan nutrisi
untuk mempertahankan hidupnya. Nutrisi tersebut seperti karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, mineral, udara, dan air. Hijauan memegang peranan penting pada produksi ternak
ruminansia, karena pakan yang dikonsumsi oleh sapi, kerbau, kambing, dan domba sebagian
besar dalam bentuk hijauan, tetapi ketersediaannya baik kualitas, kuantitas, maupun
kontinyuitasnya masih sangat terbatas.
Pakan adalah makanan yang diberikan kepada hewan ternak (peliharaan). Pakan
merupakan salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan dalam beternak. Pakan
berkualitas adalah pakan yang kandungan protein, lemak, karbohidrat, mineral dan
vitaminnya seimbang sesuai kebutuhan ternak. Pakan complete feed adalah suatu teknologi
formulasi pakan yang mencampur semua bahan pakan yang terdiri dari hijauan (limbah
pertanian) dan konsentrat yang dicampur menjadi satu tanpa atau hanya dengan sedikit
tambahan rumput segar dan berimbang yang telah lengkap untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi ternak, baik untuk pertumbuhan, perawatan jaringan maupun produksi.
Pengukuran konsumsi pakan, walaupun kelihatan sangat sepele dan nampaknya
sangat sederhana, ternyata mempunyai dampak yang begitu besar terhadap penilaian kita
pada bagaimana pakan yang diberikan dapat digunakan oleh ternak atau dengan kata lain
bagaimana respons ternak terhadap makanan yang diberikan (NRC, 1984; Jarrige, 1989).
Pengukuran konsumsi yang akurat akan memberikan dasar yang kuat dalam pemberian
sejumlah pakan atau ransum untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak sesuai dengan respons
tertentu yang diharapkan. Sekali kita telah dapat memprediksi tingkat konsumsi bahan kering
seekor ternak atau sekelompok ternak ruminan, maka zat-zat makanan tertentu yang dapat

1
dikonsumsi oleh ternak tersebut akan dengan mudah ditentukan yaitu dengan mengalikan
bahan kering dengan kandungan nutrisinya. Lebih lanjut yang tidak kalah pentingnya adalah
akurasi tingkat kecernaan pakan ternyata juga sangat ditentukan oleh seberapa akurat
pengukuran tingkat konsumsinya.
Kecernaan merupakan suatu gambaran mengenai kemampuan ternak untuk
memanfaatkan pakan. Kemampuan ternak untuk mencerna suatu bahan pakan berbeda –
beda sesuai dengan status fisiologis dari ternak itu sendiri. Nilai kecernaan yang tinggi
menunjukan bahwa ternak tersebut efektif memanfaatkan bahan pakan yang diberikan ternak
ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba) merupakan ternak herbivore yang memiliki
tempat perut. Salah satu perutnya adalah rumen. Ternak Ruminansia mempunyai alat
pencernaan yang unik yaitu retikulo - rumen yang dipisahkan oleh lipatan reticulo – ruminal
sehingga isi rumen dan reticulum dapat tercampur dengan mudah. Rumen dan reticulum
merupakan alat pencernaan fermentativ yang di dalamnya terdapat mikroorganisme seperti
bakteri, prozoa, dan fungi. Di dalam rumen, zat-zat makanan akan disederhanakan melalui
fermentasi mikroba menjadi produk yang mudah dimanfaatkan induk semang.
Mikroorganisme pada rumen dapat hidup karena walaupun proses fermentasi yang terjadi
dalam rumen menghasilkan asam, epitel rumen dapat menghasilkan larutan penyangga yang
dapat mempertahankan pH rumen agar tetap normal.
Pencernaan adalah sebuah proses metabolisme di mana suatu makhluk hidup
memproses sebuah zat, dalam rangka untuk mengubah secara kimia atau mekanik sesuatu zat
menjadi nutrisi. Pencernaan terjadi pada organisme multi sel, sel, dan tingkat sub-sel,
biasanya pada hewan. Sistem pencernaan (bahasa Inggris: digestive system) adalah sistem
organ dalam hewan multisel yang menerima makanan, mencernanya menjadi energi dan
nutrien, serta mengeluarkan sisa proses tersebut melalui dubur. Sistem pencernaan antara satu
hewan dengan yang lainnya bisa sangat jauh berbeda. Kecernaan zat-zat makanan merupakan
salah satu tolok ukur dalam menentukan mutu bahan pakan ternak, disamping komposisi
kimianya. Untuk mempelajari daya cerna dan fermentasi dalam saluran pencernaan, metode
yang sangat berhasil dan telah digunakan secara luas ialah tehnik in-vitro, yaitu
menginkubasi contoh pakan atau hijauan dalam cairan rumen setelah ditambahkan larutan
penyangga (buffer) yang sesuai . Tehnik in-vitro yang paling umum digunakan adalah "bath
culture", menurut Tilley dan Terry (1963) . Hijauan/pakan dalam rumen dicerna oleh
mikroorganisme (bakteri) dan protozoa melalui proses fermentasi . Kecernaan adalah suatu
nilai yang menunjukkan persentase bahan makanan yang dapat diserap dalam saluran
pencernaan (Tatan Kostaman, 1996) .

2
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dari prakikum ini adalah
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui cara pengukuran konsumsi dan kecernaan pakan
pada ternak ruminansia.
2. Agar mahasiswa mengetahui pengaruh suplementasi dedak(konsentrat) pada ternak
sapi yang mengkonsumsi rumput raja terhadap konsumsi dan kecernaan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hijauan Makanan Ternak (HMT)


Hijauan merupakan makanan utama bagi ternak ruminansia dan berfungsi tidak hanya
sebagai pengenyang tetapi juga berfungsi sebagai sumber nutrisi, yaitu protein, energi,
vitamin dan mineral Hijauan yang bernilai gizi tinggi cukup memegang peranan penting
karena dapat menyumbangkan zat pakan yang lebih ekonomis dan berhasil guna bagi ternak
(Herlinae, 2003). Hijauan makanan ternak secara umum dapat dibagi atas 3 golongan yaitu
rumput (Gramineae), leguminosa/legum (Leguminoseae) dan golongan non rumput dan non
leguminosa (Kamal, 1998). Perbedaan jenis hijauan antara legum dan rumput secara umum
adalah pada kandungan nutrisinya yaitu pada kandungan serat kasar dan protein kasar. Perry
(1980) menyatakan bahwa perbedaan antar legum dan non legum pada kandungan protein
kasar dan serat kasar, legum juga cendrung menghasilkan lebih banyak bahan kering yang
dapat dicerna (digestible dry matter) per hektar dibanding kebanyakan rumput tropik padang
pengembalaan. Bagaimanapun juga legum lebih memerlukan tanah yang lebih subur dan
memerlukan biaya yang lebih tinggi untuk menghasilkan per unit berat bahan kering.
Komposisi kimia hijauan bervariasi dan dipengaruhi oleh jenis dan varietas tanaman,
tingkatan umur tanaman, iklim dan musim, tipe tanah serta pemupukan (input nutrient)
kapur, dan sewage sludge, sementara itu produksi hijauan makanan ternak dipengaruhi oleh
musim, penggunaan lahan dan topografi (Budiasa, 2005). Kamal (1998), menyatakan bahwa
ketersediaan jenis hijauan pakan yang ada pada lahan pertanian keberadaannya dapat dibagi
2, yaitu: (1) yang tumbuh secara alami tanpa campur tangan manusia seperti pastura alami
dan (2) yang sengaja ditanam oleh petani seperti rumput gajah, gamal, dadap, lamtoro dan
waru.
Setiana (2000) melaporkan bahwa hijauan makanan ternak merupakan bagian penting
dalam sistem produksi peternakan terutama sebagai pakan ternak ruminansia, karena lebih
dari 75% pakannya berasal dari hijauan. Keberhasilan produksi suatu peternakan sangat
tergantung kepada kualitas pakan dan jenis ternak yang dipelihara, oleh karena itu
ketersediaan hijauan pakan sepanjang masa dan memilih hijauan yang berkualitas unggul
adalah sangat penting. Keuntungan utama dari hijauan sebagai makanan ternak ruminansia
adalah suatu pakan yang mudah didapat pada berbagai keadaan, sedangkan kelemahannya
adalah tidak tersedia secara berkelanjutan terutama pada musim kemarau (Herlinae, 2003).
Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian Budiasa (2005) bahwa produksi hijauan pakan

4
ternak sebagai sumber pakan ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan
dan topografi.
2.2. Rumput Raja
Rumput Raja pertama kali dikembangkan di Afrika Selatan pada tahun 1932,
sebagai rumput hibrida hasil turunan pertama (F1) dari kawin silang antara Rumput
Gajah (Pennisetum purpureum) dengan jenis rumput asal tropik yaitu Pennisetum
thypoides (Siregar, 1988). Rumput ini dapat tumbuh di dataran rendah sampai tinggi
(50 - 1200 mdpl), menyukai tanah yang subur dan curah hujan di atas 1.000 mm
tahun-1 dengan penyebaran yang merata sepanjang tahun. Di lahan yang subur dengan
pemupukan intensif produksi rumput ini dapat mencapai 1076 ton hektar-1 tahun-1
rumput segar, dimana dengan rasio batang dan daun 48:52 (Siregar, 1988).
Rumput Raja termasuk tanaman berumur panjang, tumbuh tegak, berbentuk
rumpun, perakarannya dalam dan tingginya dapat mencapai 4 meter. Rumput ini
berbatang tebal dan keras, dan setelah tua daunnya lebar dan panjang dimana tulang
daunnya keras. Rumput Raja memiliki batang yang keras dengan daun berbulu kasar
serta memiliki bercak berwarna hijau muda.
Penanaman Rumput Raja dapat dilakukan dengan dua cara yaitu stek dan
sobekan. Menurut Siregar (1988) batang yang digunakan untuk stek sebaiknya yang
berumur cukup tua yaitu yang sudah berumur delapan bulan, panjang stek kira-kira
25-30 cm dan memiliki dua mata tunas. Bila menggunakan sobekan rumpun, maka
dipilih rumput yang muda yang tingginya 20-25 cm. Penanaman Rumput Raja dengan
menggunakan stek harus diperhatikan yaitu tunas jangan sampai terbalik. Stek dapat
langsung ditancapkan setengahnya ke dalam tanah tegak lurus atau miring dengan
jarak tanamnya 1 x 1 m, untuk penanaman dengan menggunakan sobekan rumpun,
perlu dibuat lubang sedalam 20 cm (Rukmana, 2005).
Produksi hijauan Rumput Raja dua kali lipat dari produksi Rumput Gajah yaitu
mencapai 200-250 ton rumput segar hektar-1tahun-1 (Rukmana, 2005). Rumput Raja
mempunyai produksi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Rumput Gajah yang
didukung dengan kandungan zat yang cukup baik yaitu : berat kering 22,40%; protein
kasar 13,50%; serat kasar 34,10% (Siregar, 1994). Pertumbuhan Rumput Raja (P.

5
purpureum x P. thypoides) dapat mengalahkan Rumput Gajah (BPTHMT Baturaden,
1989).
2.3. Konsentrat
Konsentrat adalah suatu bahan pakan yang dipergunakan bersama bahanpakan lain
untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan makanan dan dimaksudkan untuk
disatukan dan dicampur sebagai suplemen (pelengkap) ataupakan pelengkap (Hartadi dkk.,
1991). Konsentrat terdiri dari campuran jagung,dedak halus, bungkil kelapa dan tepung ikan.
Kualitas pakan konsentrat komersial buatan pabrik berupa pellet memiliki kandungan protein
yang tinggi (Nisma dkk., 2012).
Konsentrat merupakan pakan penguat yang terdiri dari bahan pakan yang kaya
karbohidrat dan protein seperti dedak padi, jagung kuning dan bungkil-bungkilan. Menurut
Darmono (1993) bahwa Pakan penguat atau konsentrat adalah pakan yang berasal dari biji-
bijian dan mengandung protein yang cukup tinggi dan mengandung serat kasar kurang dari
18 %. Hartadi et al. (1997) menambahkan bahwa konsentrat adalah suatu bahan pakan yang
dipergunakan bersama bahan pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan
makanan dan dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai suplemen (pelengkap) atau
makanan pelengkap. Pakan penguat atau konsentrat diberikan dengan tujuan menambah nilai
gizi pakan, menambah unsur pakan yang defisiensi dan meningkatkan konsumsi pakan
(Murtidjo, 1993).
Konsentrat sumber protein dapat diperoleh dari hasil samping penggilingan berbagai
biji-bijian, bahan pakan sumber protein hewani, dan hijauan sumber protein, sedangkan
konsentrat sumber energi dapat diperoleh dari dedak dan biji-bijian seperti jagung (Parakkasi,
1999). Bahan pakan penguat ini meliputi bahan makanan yang berasal dari biji-bijian seperti
jagung giling, menir, bulgur, dedak, bekatul, bungkil kelapa, tetes dan berbagai umbi. Fungsi
pakan penguat ini adalah meningkatkan dan memperkaya nilai gizi pada bahan pakan lain
yang nilai gizinya rendah. Sapi yang sedang tumbuh ataupun yang sedang dalam periode
penggemukan harus diberikan pakan penguat yang cukup, sedangkan sapi yang digemukkan
dengan sistem ”dry lot fattening” justru sebagian besar pakan berupa pakan berbutir atau
penguat (Darmono, 1993).
Konsentrat dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu konsentrat sumber protein dan
konsentrat sumber energi. Konsentrat dikatakan sebagai sumber energi apabila mempunyai
kandungan protein kasar kurang dari 20% dan serat kasar 18%, sedangkan konsentrat

6
dikatakan sebagai sumber protein karena mempunyai kandungan protein lebih besar dari 20%
(Tillman et al.,1991).
Konsentrat sangat dibutuhkan oleh ternak ruminansia (sapi potong), karena bahan-
bahan tersebut mudah difermentasikan sehingga konsentrat akan meningkatkan kadar
propionat yang berguna dalam pembentukan daging dan akan merangsang pertumbuhan
mikrobia rumen sehingga mempercepat kemampuan mencerna serat kasar. Penambahan
konsentrat pada ternak ruminansia memungkinkan ternak untuk mengkonsumsi pakan yang
lebih baik nutriennya dan lebih palatabel, selain itu kecenderungan mikroorganisme dalam
rumen dapat memanfaatkan pakan penguat terlebih dahulu sebagai sumber energi dan
selanjutnya dapat memanfaatkan pakan kasar yang ada. Konsentrat sangat mudah dicerna dan
berperan sebagai sumber zat pakan utama seperti karbohidrat dan protein (Tillman et al.,
1991). Kualitas konsentrat perlu diperhatikan dalam menyusun pakan sapi potong ditentukan
oleh kandungan protein dan energinya (Siregar, 1995). Selain komposisi kimia faktor penting
dalam mengevaluasi konsentrat terkandung dalam pakan sapi perah adalah palatabilitas,
kualitas produk dan biaya (Ensminger, 1983).
Pemberian pakan konsentrat biasanya diberikan sebelum pakan kasar atau hijauan.
Hal ini dimaksudkan agar mikrobia rumen telah mendapat cukup energi sehingga dapat
berkembangbiak secara optimal dan selanjutnya mikrobia tersebut diharapkan mampu
mengkonversi pakan kasar yang berupa hijauan menggunakan enzyme selulase dan kemudian
diserap oleh tubuh ternak. Pemberian hijauan dilakukan biasanya selang 2 jam setelah
pemberian konsentrat agar mikroba dalam rumen dapat berkembang biak terlebih dahulu,
sehingga dapat mencerna hijauan dengan baik. Imbangan pemberian hijauan dan konsentrat
dalam bahan kering supaya dapat dicapai koefisien cerna pakan tertinggi adalah sebesar 60 :
40 (Sutardi, 1981).
2.4. Konsumsi
Konsumsi pakan adalah selisih antara pakan pemberian dengan sisa pakan
(Purbowarietal., 2007). Konsumsi pakan adalah pengurangan jumlah pakan yang dikali %
BK pakan yang diberikan dikurangi sisa pakan yang dikali dengan % BK pakan (Wulandariet
al., 2014). Kambing dapat mengkonsumsi pakan dalam bentuk BK antara 4,86-5,58% dari
bobot badan kambing (Purbowatietal., 2007). Konsumsi pakan merupakan salah satu faktor
yang akan member dampak terhadaop produktivitas suatu ternak untuk menghasilkan suatu
produk (Mutamimah et al., 2013).
Konsumsi merupakan banyaknya pakan atau ransum yang dimakan ternak yang
didapatkan dari selisih antara jumlah pemberian pakan atau ransum pagi, siang dan sore hari

7
dengan sisa pakan atau ransum, konsumsi bahan kering (BK) dan konsumsi bahan organik
(BO) juga diperoleh dari selisih pakan yang diberikan dan sisa pakan dikalikan %BK atau
%BO pakan (Ali, 2000) dan (Mathius et al., 2002). Bahan organik berkaitan erat dengan
bahan kering. BO merupakan bagian terbesar dari bahan kering, sehingga jumlah konsumsi
bahan organik ditentukan oleh jumlah konsumsi BK pakan (Cakra et al., 2005) dalam
(Aryanto et al., 2013).
Konsumsi pakan menunjukkan nilai dari palatabilitas pakan dan kualitas pakan, serta
palatabilitas mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi, peningkatan konsumsi BK akan
diikuti oleh peningkatan nutrien dalam ransum (Yustendi et al., 2013). Konsumsi pakan
digunakan dalam memenuhi kebutuhan hidup pokok, dan meningkat sejalan dengan
perkembangan kondisi dan tingkat produksi yang dihasilkannya (Aryanto et al., 2013).
2.5. Kecernaan
Kecernaan atau daya cerna merupakan bagian dari nutrien pakan yang tidak
diekskresikan dalam feses dan yang diasumsikan sebagai bagian yang diabsorpsi oleh ternak.
Kecernaan dipengaruhi oleh jumlah serta kandungan nutrien yang dikonsumsi oleh ternak
tersebut. Besarnya kecernaan menentukan banyaknya nutrien yang dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan (Paramita et al., 2008). Kecernaan
bahan kering ransum diperoleh dari selisih antara bahan kering ransum yang dikonsumsi
dengan bahan kering feses dibagi dengan bahan kering yang dikonsumsi dikalikan dengan
100% (Rubianti et al., 2010).

8
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum Nutrisi Ruminansia ini dilaksanakan selama satu minggu yang di mulai
pada hari selasa tanggal 04 - 10 Desember 2018. Kegiatan praktikum ini di lakukan 2 kali
dalam sehari yaitu pada pagi dan sore hari yang bertempat di Laboratorium Lahan Kering
UNDANA Kupang.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang di gunakan saat praktikum :
 Alat : parang, sekop, karung, ember, sapu, kandang metabolis yang digunakan
sebagai tempat tinggal ternak, tempat pakan dan minum, timbangan pakan digunakan
untuk menimbang pakan.
 Bahan : Hijauan (Rumput Raja atau Pennisetum purpurophoides), kosentrat (dedak),
air, sapi 2 ekor dan feses
3.3. Metode
Metode yang dilakukan dalam praktikum Ransum Ruminansia yaitu menghitung
jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak setiap hari, pratikum dilakukan selama 7 hari,
melakukan pencampuran bahan pakan, kemudian memberikan pakan setiap hari 2 kali dalam
sehari (pagi dan sore hari), pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, melakukan
sanitasi kandang dengan membersihkan kandang setiap hari, pada hari kedua melakukan
penghitungan sisa pakan dengan mengumpulkan sisa pakan kemudian ditimbang yang
dilakukan setiap pagi, total koleksi feses dilakukan mulai hari ke dua sampai hari terakhir.
3.4. Prosedur Pengerjaan
1. Potong rumput kinggraas (hijauan) kurang lebih 5-10 cm sebanyak 40 Kg untuk di
berikan kepada ke dua ternak (pada pagi hari 20 Kg dan sore hari 20 Kg untuk setiap
ternak di berikan 10 Kg), Timbang kosentarat sebanyak 1 Kg (pada pagi dan sore hari
di berikan 0,5 Kg dan hanya di berikan pada salah satu ternakyaitu sapi A) .
2. Sampel pakan hijauan diambil 20 % sehari dari bobot badan yaitu pada pagi hari 10%
dan sore hari 10%.
3. Konsentrat diambil 3% dari bobot badan yaitu masing-masing pada pagi hari 0,5%
dan sore hari 0,5% hanya untuk sapi A.

9
4. Pada pagi hari ternak di beri pakan hijauan sebanyak 20 Kg hijauan (setiap ternak di
berikan 10 Kg), dan 0,5 Kg kosentart untuk ternak sapi A
5. Pada sore hari hanya di berikan hijauan sebanyak 20 Kg hijauan (setiap ternak di
berikan 10 Kg), dan 0,5 Kg kosentart untuk ternak sapi A
6. Pada ternak sapi A sebelum di berikan hijauan, ternak di berika konsentrat terlebih
dahulu.
7. Pada besok hari di timbang berat feses segar dan pengambilan sampel feses sebanyak
10% untuk dianalisis.
8. Pemberian pakan dan penimbangan serta pengambilan feses di lakukan selama 7 hari
berturut-turut

10
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Hasil pengamatan yang dilakukan saat praktikum :

Tabel 1. pakan yang di konsumsi

Berat pakan yang di berikan Berat sisa pakan Berat feses


Sapi A Sapi B Sapi A Sapi B segar
Hari (gr)
Kosentrat Hijauan Hujauan Kosentrat Hijauan Hijauan Sapi A Sapi B
(gr) (gr) (gr) (gr) (gr) (gr)
1 1000 20.000 20.000 - 400 400 7000 7200
2 1000 20.000 20.000 - 1000 700 8500 6100
3 1000 20.000 20.000 - 1400 1300 8500 6000
4 1000 20.000 20.000 - 2000 2500 5600 3200
5 1000 20.000 20.000 - 1000 3500 8000 5000
6 1000 20.000 20.000 - 1000 3500 9000 3700
7 - - - - - -
Total 6000 120.000 120.000 6800 11.900 45.600 31200
Rataan 1133,33 1983,33 7600 5200

Tabel.2 Kandungan bahan kering


No Sampel BK %
1 Rumput Raja yang belum di berikan 18
2 Konsentrat (dedak) 90
3 Sisa pakan
 Rumput raja + Dedak (Sapi A) 23
 Rumput raja (Sapi B) 22
4 Feses
 Feses Sapi A 15
 Feses Sapi B 14

11
Perhitungan BK

Bahan kering yang tersisa :

𝐵𝐾 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐴 = 𝑟𝑎𝑡𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑥 𝐵𝐾 𝑠𝑖𝑠𝑎

= 1133,33 𝑥 23 %
= 260,67𝑔𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 0,26 𝐾𝑔

𝐵𝐾 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐵 = 𝑟𝑎𝑡𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑥 𝐵𝐾 𝑠𝑖𝑠𝑎

= 1983,33 𝑥 22 %

= 436,33𝑔𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 0,43 𝐾𝑔

BK hijauan :

𝐵𝐾 ℎ𝑖𝑗𝑎𝑢𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐴 = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 ℎ𝑖𝑗𝑎𝑢𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑥 𝐵𝐾 ℎ𝑖𝑗𝑎𝑢𝑎𝑛

= 20.000 𝑥 18 %

= 3600 𝑔𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 3,6 𝐾𝑔

𝐵𝐾 ℎ𝑖𝑗𝑎𝑢𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐵 = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 ℎ𝑖𝑗𝑎𝑢𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑥 𝐵𝐾 ℎ𝑖𝑗𝑎𝑢𝑎𝑛

= 20.000 𝑥 18 %

= 3600 𝑔𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 3,6 𝐾𝑔

BK kosentrat :

𝐵𝐾 𝑘𝑜𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑡 = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑜𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑥 𝐵𝐾 𝑘𝑜𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑡

= 1.000 𝑥 90%

= 900 𝑔𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 0,9 𝐾𝑔

Produksi BK feses :

𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐵𝐾 𝑓𝑒𝑠𝑒𝑠 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐴 = 𝑟𝑎𝑡𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑓𝑒𝑠𝑒𝑠 𝑠𝑒𝑔𝑎𝑟 𝑥 𝐵𝐾 𝑓𝑒𝑠𝑒𝑠

= 7600 𝑥 15 %

= 1140 𝑔𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 1,14 𝐾𝑔

𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐵𝐾 𝑓𝑒𝑠𝑒𝑠 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐵 = 𝑟𝑎𝑡𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑓𝑒𝑠𝑒𝑠 𝑠𝑒𝑔𝑎𝑟 𝑥 𝐵𝐾 𝑓𝑒𝑠𝑒𝑠

= 5200 𝑥 14 %

= 728 𝑔𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 0,72 𝐾𝑔

12
Tabel.3 Hasil perhitungan bahan kering

Bahan kring pakan yang di Bahan kering sisa pakan Produksi bahan
berikan kering feses (gr)
Hari Sapi A Sapi B Sapi A Sapi B
Kosentrat Hijauan Hujauan Kosentrat Hijauan Hijauan Sapi A Sapi B
(gr) (gr) (gr) (gr) (gr) (gr)
1 900 3600 3600 - 92 88 1050 1008
2 900 3600 3600 - 161 154 1275 854
3 900 3600 3600 - 299 286 1275 840
4 900 3600 3600 - 575 550 840 448
5 900 3600 3600 - 805 770 1200 700
6 900 3600 3600 - 805 770 1200 518
7
Total
Rataan 456,16 436,33 1140 728

Hsil perghitungan :
Total Bahan Kering yang di Kasih
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝐾 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐴 = 𝐵𝐾 𝑘𝑜𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑡 + 𝐵𝐾 𝐻𝑖𝑗𝑎𝑢𝑎𝑛

= 900 + 3600

= 4500 gr atau 4,5 Kg

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝐾 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐵 = 𝐵𝐾 𝐻𝑖𝑗𝑎𝑢𝑎𝑛

= 3600

= 3600 gr atau 3,6 Kg

Konsumsi Bahan Kering

𝐾𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐵𝐾 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐴 = 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝐾 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑘𝑎𝑠𝑖 − 𝐵𝐾 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑖𝑠𝑎

= 4500 − 456,16

= 4043,84 gr atau 4,04 Kg

13
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐵𝐾 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐵 = 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝐾 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑘𝑎𝑠𝑖 − 𝐵𝐾 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑖𝑠𝑎

= 3600 − 436,33

= 3163,67 gr atau 3,16 Kg

Kecernaan

𝐾𝑒𝑐𝑒𝑟𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐴 = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐵𝐾 − 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐵𝐾 𝑓𝑒𝑠𝑒𝑠

= 4043,84 − 1140

= 2903,84 𝑔𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 2,90 𝐾𝑔

𝐾𝑒𝑐𝑒𝑟𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐵 = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐵𝐾 − 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐵𝐾 𝑓𝑒𝑠𝑒𝑠

= 3163,67 − 728

= 2435,67 𝑎𝑡𝑎𝑢 2,44 𝐾𝑔

Persentase Kecernaan

𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐵𝐾 − 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐵𝐾 𝑓𝑒𝑠𝑒𝑠


𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝐾𝑒𝑐𝑒𝑟𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐴 = 𝑥 100%
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐵𝐾

4043,84 − 1140
= 𝑥 100%
4043,84

2903,84
= 𝑥 100%
4043,84

= 71,81 %

𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐵𝐾 − 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐵𝐾 𝑓𝑒𝑠𝑒𝑠


𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝐾𝑒𝑐𝑒𝑟𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝐵 = 𝑥 100%
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐵𝐾

3163,67 − 728
= 𝑥 100%
3163,67

2435,67
= 𝑥 100%
3163,67

= 76,98 %

14
4.2. Pembahasan
Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa untuk setiap ternak mempunyai konsumsi
dan kecernaan yang berbeda-beda. Dimana ternak sapi A konsumsi BK sebesar 4,04 Kg,
kecernaan BK 2,90 Kg dan persentase kecernaan sebesar 71,81% sedangkan pada ternak sapi
B konsumsi BK sebesar 3,16 Kg, kecernaan BK sebesar 2,44 Kg dan persentase kecernaan
sebesar 76,98%. Dilihat perbandingan kecernaan dan presentase kecernaan antara sapi A dan
sapi B yaitu sapi B lebih tinggi persentase kecernaan di banding sapi A.
Dengan pemberian campuran pakan yang konstan tiap hari, konsumsi pakan harian
dan produksi feses yang keluar berubah-ubah. Perubahan tersebut meningkat dengan makin
rendahnya kualitas pakan yang diberikan dan dengan pemberian pakan yang berlebihan.
Percobaan tersebut sempurna bila pakan yang diberikan, sisa pakan dan sampel feses
dikeringkan.
Pada contoh diatas yaitu dengan menggunakan pakan kasar, dapat diberikan sebagai
pakan tunggal. Tetapi pakan konsentrat apabila diberikan sebagai pakan tunggal pada
ruminansia dapat menyebabkan terganggunya pencernaan. Oleh karena itu kecernaan konsentrat
ditentukan dengan jalan diberikan bersama-sama dengan pakan kasar yang telah diketahui
kecernaannya, dengan asumsi tidak ada interaksi antara unsur-unsur pokok kedua ransum
tersebut. Oleh karena itu tingkat proporsi konsentrat di dalam ransum harus tidak boleh
berlebihan (25-30% bahan kering), telah mulai mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap
kecernaan pakan kasar karena rendahnya PH retikulo-rumen
Kemudian kecernaan konsentrat ditentukan dengan memberikan bersama jerami padi
yang telah diketahui kecernaannya. Dalam beberapa keadaan tertentu mungkin sangat sulit
untuk menghitung jumlah konsumsi pakan atau feses yang keluar. Hal itu terjadi misalnya
pada ternak yang diberi makan secara kelompok. Kecernaannya masih dapat dihitung jika
pakan mengandung komponen yang tidak dapat dicerna secara sempurna

15
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Konsumsi diperoleh dari selisih pemberian dan sisa pakan. Jumlah konsumsi pakan
menentukan jumlah zat-zat makanan yang didapat untuk ternak yang selanjutnya akan
mempengaruhi tingkat produksi. Kecernaan bahan kering terhadap pakan yang dikonsumsi
sapi adalah sebesar 32,65%. Angka ini tergolong rendah atau dapat dikatakan bahwa tidak
sesuai dengan standar kecernaan bahan kering yaitu sebesar 60%..

16
DAFTAR PUSTAKA

Agroindustri dengan Suplementasi Protein Terproteksi. Fakultas Peternakan dan Pertanian


Universitas Diponegoro Semarang. Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 1, 443 –
451
Fathul, F. dan S. Wajizah. 2010. Penambahan mikromineral Mn dan Cu dalam ransum
terhadap aktivitas biofermentasi rumen domba secara in vitro. JITV. 15(1): 9-15.
Harvatine, K.J., dan Allen M.S. 2006. Effects of fatty acid supplements on feed intake, and
feeding and chewing behavior of lactating dairy cow. J Dairy Sci. (89): 1104-1112.
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak I. Fakultas Peternakan . Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Khotijah, L., Zulihar R., Setiadi M.A., Wiryawan K.G., dan Astuti D.A. 2014. Suplementasi
minyak bunga Matahari (Helianthus annuus) pada ransum pra kawin terhadap
konsumsi nutrien, penampilan, dan karakteristik estrus domba Garut. JITV. 19 (1):
9-16.
Kusumaningrum, D. A. 1998. Pengaruh Tipe Karbohidrat dan Aras Undegraded Protein
terhadap Konsumsi, Kecernaan Nutrien dan Parameter Fermentasi Rumen Pada Sapi
Peranakan Friesian Holstein. Tesis. Program Pasca sarjana Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Lukito,Y. A., R. E. Pardian dan Y. H. Fithri. 2004. Proses pembuatan minyak biji bunga
matahari menggunakan metode ekstraksi-destilasi dengan pelarut n-hexan dan
pelarut etanol. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses.
Mathius, I.W., I. B. Gaga, dan I. K. Sutama. 2002. Kebutuhan Kambing PE Jantan Muda
akan Energi dan Protein Kasar, Konsumsi, Kecernaan, Ketersediaan dan
Pemanfaatan Nutrien. JITV Vol. 7. No. 2. Th. 2002.
Devendra dan Burns. 1994. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Penerbit
Universitas Indonesia.
Paramita, W., Waluyo E.S., dan A.B. Yulianto. 2008. Konsumsi dan kecernaan bahan kering
dan bahan organik dalam haylase pakan lengkap ternak sapi Peranakan Ongole.
Media Kedokteran Hewan. 24 (1): 59-62.
Siregar, S.B. 1995. Pakan ternak ruminansia. Penebar Swadaya, Jakarta.
Surono, M. Soejonodan S. P.S. Budhi. 2003. Kecernaan bahan kering dan bahan organik in
vitro silase rumput gajah pada umur potong dan level aditif yang berbeda. JITAA.
28 (4): 204-210.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumodan S. Lebdosoekojo.
1982. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Widaningsih, E. 2012. Performa Kambing Peranakan Etawah Muda Dan Produktivitas Induk
Laktasi Dengan Sistem Pemberian Pakan Yang Berbeda Di Lahan Pasca Galian
Pasir.

17
LAMPIRAN

Konsentrat

18

Anda mungkin juga menyukai