Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Telinga mempunyai reseptor khusus untuk mengenali getaran bunyi dan untuk
keseimbangan. Ada tiga bagian utama dari telinga manusia, yaitu bagian telinga luar,
telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi menangkap getaran bunyi, dan
telinga tengah meneruskan getaran dari telinga luar ke telinga dalam. Reseptor yang ada
pada telinga dalam akan menerima rarigsang bunyi dan mengirimkannya berupa impuls
ke otak untuk diolah. Telinga mempunyai reseptor khusus untuk mengenali getaran bunyi
dan untuk keseimbangan. Ada tiga bagian utama dari telinga manusia, yaitu bagian
telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi menangkap getaran
bunyi, dan telinga tengah meneruskan getaran dari telinga luar ke telinga dalam. Reseptor
yang ada pada telinga dalam akan menerima rarigsang bunyi dan mengirimkannya berupa
impuls ke otak untuk diolah.
Trauma telinga adalah kompleks, sebagai agen berbahaya yang berbeda dapat
mempengaruhi berbagai bagian telinga. Para agen penyebab trauma telinga termasuk
faktor mekanik dan termal, cedera kimia, dan perubahan tekanan. Tergantung pada jenis
trauma, baik eksternal, tengah, dan / atau telinga bagian dalam bisa terluka.
Hidung berdarah (Kedokteran: epistaksis atau Inggris: epistaxis) atau mimisan
adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung. Sering
ditemukan sehari-hari, hampir sebagian besar dapat berhenti sendiri. Harus diingat
epitaksis bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari suatu kelainan.
Ada dua tipe pendarahan pada hidung:
1. Tipe anterior (bagian depan). Merupakan tipe yang biasa terjadi.
2. Tipe posterior (bagian belakang).
3. Dalam kasus tertentu, darah dapat berasal dari sinus dan mata. Selain itu
pendarahan yang terjadi dapat masuk ke saluran pencernaan dan dapat
mengakibatkan muntah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian trauma telinga, hidung, tenggorokan
2. Etiologi trauma telinga, hidung, tenggorokan
3. Patofisiologi trauma telinga, hidung, tenggorokan
4. Klasifikasi trauma telinga, hidung, tenggorokan
5. Manifestasi klinis trauma telinga, hidung, tenggorokan
6. Komplikasi trauma telinga, hidung, tenggorokan
7. Pemeriksaan penunjang trauma telinga, hidung, tenggorokan
8. Penatalaksanaan trauma telinga, hidung, tenggorokan
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian trauma telinga, hidung, tenggorokan
2. Untuk mengetahui etiologi trauma telinga, hidung, tenggorokan
3. Untuk mengetahui patofisiologi trauma telinga, hidung, tenggorokan
4. Untuk mengetahui klasifikasi trauma telinga, hidung, tenggorokan
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis trauma telinga, hidung, tenggorokan
6. Untuk mengetahui komplikasi trauma telinga, hidung, tenggorokan
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang trauma telinga, hidung, tenggorokan
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan trauma telinga, hidung, tenggorokan

BAB II

PEMBAHASAN
A. DEFINISI
1. TRAUMA TELINGA
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks
(pendengaran dan keseimbangan). Indera pendengaran berperan penting pada
partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk
perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi
dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.
Trauma telinga adalah kompleks, sebagai agen berbahaya yang berbeda dapat
mempengaruhi berbagai bagian telinga. Para agen penyebab trauma telinga termasuk
faktor mekanik dan termal, cedera kimia, dan perubahan tekanan. Tergantung pada
jenis trauma, baik eksternal, tengah, dan / atau telinga bagian dalam bisa terluka.
Trauma telinga adalah trauma yang dapat terjadi berbagai cidera traumatika yang
nyeri pada aurikula, meatus akustikus eksterna dan membran timpani. (Cody, Kern,
Pearson. 1991: 104)
Trauma telinga tengah adalah perforasi membran timpani yang dapat disebabkan
oleh perubahan tekanan mendadak-barotrauma, trauma ledakan-atau karena benda
asing dalam liang telinga (aplikator berujung kapas, ujung pena, klip kertas, dll).
(Adams. 1997: 95)
Trauma telinga adalah tuli yang disertai gambaran atoskopik yang dapat
disebabkan oleh berbagai jenis trauma, meliputi kompresi udara mendadak, udara di
meatus akustikus eksternus, masuknya benda asing ke dalam telinga mserta trauma
kapitis yang menyebabkan fraktura os temporale. (Cody, Kern, Pearson. 1991: 90)
Trauma pada sistem pendengaran adalah trauma pada daun telinga yang dapat
terjadi pada waktu bertinju atau akibat kecelakaan. (Harold. 1992)

2. TRAUMA HIDUNG
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smelzter, 2002).
Fraktur merupakan gangguan sistem muskuluskeletal, dimana terjadi
pemisahan atau patahnya tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
(Doenges E Marilyn, 2000).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang,fraktur patologis terjadi
tanpa trauma pada tulang yang lemah karena dimineralisasi yang berlebihan ( Linda
Juall C, 2002 ).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar.
Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana
potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999).
Fraktur hidung adalah terhalangnya jalan pernafasan dan deformitas pada tulang,
jenis dan kerusakan yang timbul tergantung kekuatan arah mekanismenya
(Robinstein,2000).
Jadi, kesimpulan fraktur adalah suatu cedera yang mengenai tulang yang
disebabkan oleh trauma benda keras, seperti kecelakaan dan pemukulan.
3. TRAUMA LARING (TENGGOROKAN)
Laring memiliki tiga fungsi penting yakni sebagai proteksi jalan nafas, pengaturan
pernafasan dan menghasilkan suara. Kerusakan pada laring akibat trauma dapat
sangat parah. Trauma laring ini sangat jarang ditemukan, hanya ditemukan pada
sebagian kecil dari keseluruhan kejadian trauma. Trauma laring adalah termasuk
trauma yang jarang, diperkirakan kurang dari 1% total kunjungan ke Unit Gawat
Darurat (UGD) dengan kasus trauma. Hal ini menguntungkan, sebab trauma laring
dapat mengakibatkan masalah obstruksi jalan nafas yang serius dan dapat merusak
produksi suara bila tidak didiagnosis dengan benar secepatnya. Pokok utama yang
harus diperhatikan dalam trauma laring akut adalah melindungi jalan nafas. Fungsi
vokal, selain merupakan prioritas kedua karena harus mendahulukan keselamatan,
biasanya ditentukan oleh efektifitas dari penanganan awal. Penting sekali bagi
seorang otolaringologis untuk dapat mengenali dan mendiagnosis serta mengetahui
penanganan yang tepat bagi jenis trauma yang jarang, tetapi cukup serius ini.1,2
Trauma laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka sayat,
luka tusuk, dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat
menghancurkan struktur laring juga menyebabkan cidera pada jaringan lunak seperti
otot, saraf, pembuluh darah, dan struktur lainnya. Hal ini sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher membentur
dashboard dalam kecelakaan waktu mobil berhenti tiba-tiba, tertendang, atau terpukul
waktu olahraga beladiri, dicekik, atau usaha bunuh diri dengan menggantung diri.1,2
Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah
kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan menyembuhkan.
Seperti kita ketahui, dalam penanganan trauma dikenal primary survey yang cepat
dilanjutkan resusitasi kemudian secondary survey dan akhirnya terapi definitif.
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan
resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada primary survey dikenal sistem
ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure/Environmental
control) yang disusun berdasarkan urutan prioritas penanganan. Jadi prioritas utama
penanganan adalah menjamin jalan nafas terjaga adekuat, oleh karena itu trauma jalan
nafas adalah keadaan yang memerlukan penanganan yang cepat dan efektif untuk
menghindari akibat yang tidak diinginkan.1,3
B. ETIOLOGI
1. TRAUMA TELINGA
Menurut Soepardi (2000: 30), penyebab utama dari trauma telinga antara lain:
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Perkelahian
c. Kecelakaan dalam bidang olahraga
d. Luka tembak
e. Kebiasaan mengorek kuping
f. Menurut Cody, Kern, Pearson (1991: 90),
g. Kompresi mendadak udara di liang telinga.
h. Adanya benda-benda asing (misal: kapas lidi atau ranting-ranting pohon).
i. Trauma kapatis yang menyebabkan fraktur os temporale.
j. Menurut Adams (1997: 84, 95, 131), penyebabnya antara lain:
k. Kebiasaan mengorek kuping dengan jari atau suatu alat seperti jepit rambut/klip
kertas.
l. Perubahan tekanan mendadak-barotrauma, trauma ledakan- atau karena benda
asing dalam liang telinga (aplikator berujung kapas, ujung pena, klip kertas, dll).
m. Terpapar bising/suara industri yang berintensitas tinggi dan lamanya paparan.
2. TRAUMA HIDUNG
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit di atasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang
kuat.
b. Fraktur Patologik
1) Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan
berikut :
a) Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif.
 Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan
sakit nyeri.
 Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya
disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan
kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara Spontan
Disesbabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio
dan orang yang bertugas dikemiliteran.
3. TRAUMA TENGGOROKAN
Penyebab trauma laring adalah tentament suicide pada pasien dengan gangguan
kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Trauma laring juga dapat diakibatkan
oleh intubasi karena trauma langsung saat pemasangan atau pun karena balon yang
menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat
intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan cuff
volume besar bertekanan rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada
kira-kira setengah dari pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi.1,2
Cidera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan pada
kelompok usia anak-anak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam
menggunakan benda-benda berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila
didapatkan pada usia dewasa, biasanya ditemukan pada kasus-kasus percobaan bunuh
diri dengan menelan larutan alkali ataupun hidrokarbon.1,2
C. PATOFISIOLOGI
1. TRAUMA TELINGA
Tuli yang disertai gambaran otoskopik dapat disebabkan oleh berbagai jenis
trauma, meliputi kompresi mendadak udara di meatus akustikus eksternus, masuknya
benda asing ke dalam telinga serta trauma kapitis yang menyebabkan fraktura os
temporale. Penyebab yang pertama, kompresi mendadak udara di liang telinga. Suatu
kejadian yang tampaknya ringan, seperti tamparan pada telinga mungkin cukup
menyebabkan ruptura membran timpani. Pasien akan mengalami nyeri telinga yang
hebat dan terdapat perdarahan yang bervariasi pada tepi perforasi. Dapat timbul tuli
konduktif dengan derajat yang tergantung atas ukuran dan lokasi perforasi
Penyebab yang kedua yaitu masuknya benda-benda asing, seperti kapas lidai atau
ranting-ranting pohon, bila masuk ke dalam meatus akustikus eksternus dapat
menimbulkan cidera yang terasa nyeri, bervariasi dari laserasi kulit liang telinga
sampai destruksi total teinga dalam. Pada trauma hebat, dapat terjadi perforasi
membran timpani disertai perdarahan dan disrupsi tulang-tulang pendengaran, serta
pasien akan mengalami episode vertigo hebat berlarut-larut disertai gejala
penyertanya, yang menunjukkan terkenanya telinga dalam. Trauma yang kurang berat
yang menyebabkan tuli konduktif berupa perforasi membran timpani dengan atau
tanpa dislokasi tulang-tulang pendengaran. (Cody, Kern, Pearson, 1991: 90)
2. TRAUMA HIDUNG
Gangguan traumatik os dan kartilago nasal dapat menyebabkan deformitas
eksternal dan obstruksi jalan napas yang bermakna. Jenis dan beratnya fraktur nasal
tergantung pada kekuatan, arah, dan mekanisme cedera. Sebuah benda kecil dengan
kecepatan tinggi dapat memberikan kerusakan yang sama dengan benda yang lebih
besar pada kecepatan yang lebih rendah. Trauma nasal bagian lateral yang paling
umum dan dapat mengakibatkan fraktur salah satu atau kedua os nasal.
Hal ini sering disertai dengan dislokasi septum nasal di luar krista maxillaris
Dislokasi septal dapat mengakibatkan dorsum nasi berbentuk S, asimetri apex, dan
obstruksi jalan napas. Trauma frontal secara langsung pada hidung sering
menyebabkan depresi dan pelebaran dorsum nasi dengan obstruksi nasal yang terkait.
Cedera yang lebih parah dapat mengakibatkan kominusi pecah menjadi kecil-kecil
seluruh piramida nasal. Jika cedera ini tidak didiagnosis dan diperbaiki dengan tepat,
pasien akan memiliki hasil kosmetik dan fungsional yang jelek.
Diagnosis fraktur nasal yang akurat tergantung pada riwayat dan pemeriksaan
fisik yang menyeluruh. Riwayat yang lengkap meliputi penilaian terhadap kekuatan,
arah, dan mekanisme cedera munculnya epistaksis atau rhinorea cairan
serebrospinalis, riwayat fraktur atau operasi nasal sebelumnya, dan obstruksi nasal
atau deformitas nasal eksterna setelah cedera. Pemeriksaan fisik yang paling akurat
jika dilakukan sebelum timbulnya edema pasca trauma. Pemeriksaan ini memerlukan
pencahayaan yang cukup lampu kepala atau otoskop, instrumentasi spekulum hidung,
dan suction sebaiknya tipe Frasier. Inspeksi pada bagian dalam hidung sangat
penting. (Rubinstein Brian, 2011)

3. TRAUMA TENGGOROKAN
Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak,
trauma inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Insiden trauma laring akibat
trauma tumpul semakin menurun karena perkembangan yang maju pada sistem
pengaman kendaraan (automobile safety). Sementara itu angka kejahatan/kekerasan
semakin meningkat sehingga persentase kejadian trauma tajam/tembus semakin
meningkat. Pada trauma tumpul dan tembak kerusakan jaringan yang terjadi lebih
berat dibanding trauma tajam.1,2,3
Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi atau trauma
tajam terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya, yaitu sebagai
berikut:
a. Zona I adalah daerah dari kartilago krikoid sampai klavikula. Zona ini berisi
trakea dan esofagus bagian inferior, pembuluh darah trunkus brakiosefalika, arteri
subklavia, arteri karotis komunis, trunkus tiroservikal dan vena-venanya, duktus
torasikus, kelenjar tiroid dan medula spinalis.

b. Zona II adalah daerah dari kartilago krikoid sampai angulus mandibula. Zona ini
berisi arteri karotis komunis, arteri karotis eksterna dan interna, vena jugularis
interna, laring, hipofaring, nervus X, XI, XII, dan medula spinalis.
c. Zona III adalah daerah dari angulus mandibula sampai basis kranii yang berisi
arteri karotis, arteri vertebralis, vena jugularis interna, faring, nervus kranialis dan
medula spinalis.1,3

Mekanisme dari cidera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya. Pada
setiap cidera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan pada
tulang, secara khusus, dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid.2

D. KLASIFIKASI
1. TRAUMA TELINGA
Menurut Soepardi (2000: 30-31) dan Harold (1992):
a. Trauma Daun Telinga (liang telinga luar)
Trauma daun telinga mungkin dapat terjadi pada waktu bertinju atau akibat suatu
kecelakaan, akibatnya timbul hematom di bawah kulit. Apabila hal ini terjadi,
maka diperlukan beberapa kali aspirasi untuk mencegah terjadinya deformitas
pada daun telinga (couliflower ear).
Sebagai akibat timbulnya proses organisasi bekuan darah di bawah kulit.
Yang sering ditemui adalah edem laserasi, hilangnya sebagian atau seluruh daun
telinga dan perdarahan. Pada pemeriksaan ditemukan rasa sakit, edema yang
hebat pada liang telinga sering menyebabkan gangguan pendengaran, laserasi,
luka robek dan hematom. Hematom terbentuk di antara perikondrium dan
kondrium.
b. Trauma Os Temporal
Pada beberapa jenis trauma dapat menyebabkan depresi mendadak pada fungsi
vestibular, dengan akibat terjadi episode vertigo hebat yang berlarut-larut. Suatu
kecelakaan selama tindakan untuk memperbaiki tuli konduktif atau untuk
menghilangkan penyakit ini di celah telinga tengah dapat menyebabkan kerusakan
telinga dalam. Pada trauma tulang temporal terdapat hematom, laserasi atau luka
tembak. Pada permukaan radiologi terlihat garis fraktur. Garis fraktur dapat
longitudinal, transversal atau campuran. Fraktur longitudinal ditemukan pada 8 %
kasus akan merusak struktur telinga tengah sehingga terjadi tuli konduktif akibat
dislokasi tulang-tulang pendengaran. Terjadi perdarahan pada meatus akustikus
eksternus. Bila terdapat cairan serebrospinal merupakan tanda adanya fraktur basil
krani, pada kasus ini jarang terjadi kontusio telinga dalam.
Fraktur transversal ditemukan pada 20 % kasus, mengenai os petrosum, telinga
dalam sehingga terjadi sensory-neural hearing loss, vertigo dan ditemukan timpanum.
2. TRAUMA HIDUNG
a. Fraktur hidung sederhana
Jika fraktur dari tulang hidung, dapat dilakukan perbaikan dari fraktur tersebut
dengan anastesi local.
b. Fraktur Tulang Hidung Terbuka
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung
dan disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung.
c. Fraktur Tulang Nasoetmoid
Fraktur ini merupakan fraktur hebat pada tulang hidung, prosesus frontal pars
maksila dan prosesus nasal pars frontal. Fraktur tulang nasoetmoid dapat
menyebabkan komplikasi
3. TRAUMA LARING
a. Trauma inhalasi
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan
cenderung menciderai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran nafas
bawah. Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut
yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena.1,2
b. trauma tumpul
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering
disebabkan oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau
trauma benturan pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laring yang
kemudian membentur kemudi, handle bars atau dashboard. Trauma tumpul lebih
sering disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit
di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan dari kendaraan dan terhimpit di
antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.1,2
Hantaman langsung paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan
laring, sedangkan trauma fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan
robekan trakea atau laring. Kerusakan trakea akibat trauma benturan terjadi
karena trakea tertekan di antara manubrium dan kolumna vertebralis. Trauma
tumpul pada dada dapat menyebabkan robekan vertikal pada trakea pars
membranosa atau bronkus, biasanya 2,5 cm dari karina.2,3
Penyebab lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi.
Pada trauma akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan
mengakibatkan tekanan intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan
robekan pada bagian membran trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter
transversal yang bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat robekan
diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang
mendadak.1,2,3
c. trauma tajam
Trauma laring sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang
paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai
adalah belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka
kejadian trauma tajam semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih
banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk.1,3
Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran
nafas, trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat
luka tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran
nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis.
Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan
oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.1,3
E. MANIFESTASI KLINIS
1. TRAUMA TELINGA
Menurut Soepardi (2000: 30), manifestasi klinik trauma telinga antara lain:
a. Edema
b. Laserasi
c. Luka robek
d. Hilangnya sebagian/seluruh daun telinga
e. Perdarahan
f. Hematom
g. Nyeri kepala
h. Nyeri tekan pada kulit kepala
i. Fraktur tulang temporal
Menurut Adams (1997: 95), manifestasi klinik trauma telinga antara lain:
 Nyeri
 Sekret berdarah dari telinga
 Gangguan pendengaran
 Gangguan kesadaran
 Hematoma subdural/epidural/kontusi
2. TRAUMA HIDUNG
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstermitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergeraksecara tidak alamiah bukannya tetap rigid seperti normalnya, pergeseran
fragmen pada fraktur menyebabkan deformitas, ekstermitas yang bisa diketahui
dengan membandingkan dengan ekstermitas yang normal. Ekstermitas tak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melekatnya otot
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksiotot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Saat ekstermitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
traumadan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera ( Smelzter, 2002)
3. TRAUMA LARING

F. KOMPLIKASI
1. TRAUMA TELINGA
a. Tuli Konduktif
Terjadi karena adanya perforasi membran timpani dengan atau tanpa dislokasi
tulang-tulang pendengaran
b. Paralisis Wajah Unilateral
Terjadi karena trauma yang mengenai nervus fasialis di sepanjang perjalanannya
melalui os temporale sehingga dapat menyebabkan paralisis wajah unilateral.
c. Vertigo Hebat
Disebabkan oleh berbagai jenis trauma yang dapat menyebabkan depresi
mendadak pada fungsi vestibular, sehingga terjadilah vertigo yang mendadak,
hebat dan berlarut-larut.
d. Kehilangan Kesadaran
Terjadi karena kehilangan fungsi vestibular unilateral mendadak dan biasanya
cideranya cukup hebat sehingga pasien akan mengalami periode kehilangan
kesadaran.
e. Nistagmus
Nistagmus merupakan sesuatu yang khas bagi kehilangan fungsi vestibular
unilateral mendadak.(Cody, Kern, Pearson. 1991: 23)
2. TRAUMA HIDUNG
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa
jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan
sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika
tidak ditangani segera.komplikasi lainnya adalah infeksi, tromboemboli yang dapat
menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera dan koagulopati
intravaskuler diseminata (KID).
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat pendarahan (baik kehilangan dara
eksterna maupun tak kelihatan ) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis,dan vertebra karena tulang
merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapaler terjadi kehilangan darah dalam
jumlah yang besar sebagai akibat trauma,khususnya pada fraktur femur pelvis.
Penanganan meliputi mempertahankan volume darah,mengurangi nyeri yang
diderita pasien, memasang pembebatan yang memadai, dan melindungi pasien dari
cedera lebih lanjut.
Komplikasi dari fraktur nasal termasuk deformitas secara kosmetik dan obstruksi
saluran napas. Selain itu ada beberapa komplikasi yang lain antara lain hematoma
(membutuhkan drainase untuk menghindari nekrosis septum dan superinfeksi
septum), epistaksis yang tidak berhenti/ bleeding, obstruksi saluran nafas, kontraktur
jaringan parut, deformitas nasal/deviasi, saddling, Kebocoran cairan serebrospinal,
komplikasi orbital.
3. TRAUMA LARING
Komplikasi yang dapat terjadi pada luka terbuka adalah aspirasi darah, paralisis pita
suara, dan stenosis laring
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. TRAUMA TELINGA
a. Pemeriksaan dengan Otoskopik
1) Mekanisme :
2) Bersihkan serumen
3) Lihat kanalis dan membran timpani
Interpretasi :
a) Warna kemerahan, bau busuk dan bengkak menandakan adanya infeksi
b) Warna kebiruan dan kerucut menandakan adanya tumpukan darah
dibelakang gendang.
c) Kemungkinan gendang mengalami robekan.
b. Pemeriksaan Ketajaman
Test penyaringan sederhana:
1) Lepaskan semua alat bantu dengar
2) Uji satu telinga secara bergiliran dengan cara tutup salah satu telinga
3) Berdirilah dengan jarak 30 cm
4) Tarik nafas dan bisikan angka secara acak (tutup mulut)
5) Untuk nada frekuensi tinggi: lakukan dgn suara jam
6) Uji Ketajaman Dengan Garpu Tala
7) Uji weber:
8) Menguji hantaran tulang (tuli konduksi)
9) Pegang tangkai garpu tala, pukulkan pada telapak tangan
10) Letakan tangkai garpu tala pada puncak kepala pasien.
11) Tanyakan pada pasien, letak suara dan sisi yang paling keras.
2. TRAUMA HIDUNG
a. Pemeriksaan Rongent : Menentukan luas atau lokasi minimal 2 kali proyeksi,
anterior, posterior lateral.

b. CT Scan tulang, fomogram MRI : Untuk melihat dengan jelas daerah yang
mengalami kerusakan.

c. Arteriogram (bila terjadi kerusakan vasculer)

3. TRAUMA LARING
Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis pada trauma leher
yang mencurigakan adanya kerusakan jalan nafas terutama pada trauma tumpul
ataupun yang sudah terpasang endotrakeal tube (ETT). Pada foto dapat terlihat
adanya bayangan udara terperangkap di prevertebra dan leher bagian dalam atau
peninggian/elevasi tulang hyoid pada kasus separasi krikotrakea.1,3
Bronkoskopi merupakan alat diagnostik pilihan karena dapat menentukan letak
luka, luas luka, dan juga sekaligus sebagai penuntun untuk pemasangan ETT guna
menjamin jalan nafas. Esofagoskopi disarankan terutama pada trauma tembus.
Tindakan panendoscopy dan arteriografi disarankan dilakukan pada trauma tembus
leher dengan kondisi pasien yang stabil. Tindakan tersebut di atas selain efektif juga
sensitifitasnya tinggi untuk menghindari eksplorasi yang berlebihan.1,2,3
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan esofagus dengan kontras,
computed tomography (CT) dan MRI dapat dilakukan sesuai indikasi. CT scan telah
berperan banyak dalam penanganan trauma laring saat ini dan mampu menurunkan
angka eksplorasi bedah karena mampu mendeteksi lebih rinci dan non invasif. CT
diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan trauma laring hanya dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik seperti pada pasien yang hanya menunjukkan satu gejala/tanda. CT
mampu mendeteksi fraktur tiroid dengan midline displaced yang minimal namun
berpengaruh dalam pembentukan fonasi. Hal ini sangat menguntungkan pasien karena
jika tidak terdeteksi akan menyebabkan gangguan fonasi jangka panjang. CT kurang
berguna pada kasus dengan indikasi pembedahan seperti pada kartilago yang
terekspose atau displaced fracture dengan laserasi mukosa diatasnya.1,2
H. PENATALAKSANAAN
1. TRAUMA TELINGA
a. Pasien diistirahatkan duduk atau berbaring
b. Atasi keadaan kritis ( tranfusi, oksigen, dan sebagainya )
c. Bersihkan luka dari kotoran dan dilakukan debridement,lalu hentikan perdarahan
d. Pasang tampon steril yang dibasahi antiseptik atau salep antibiotik.
e. Periksa tanda-tanda vital
f. Pemeriksaan otoskopi secara steril dan dengan penerangan yang baik, bila
mungkin dengan bantuan mikroskop bedah atau loup untuk mengetahui lokasi
lesi.
g. Pemeriksaan radiology bila ada tanda fraktur tulang temporal. Bila mungkin
langsung dengan pemeriksaan CT scan.
4. TRAUMA LARING
Kewaspadaan terhadap trauma laring pada trauma leher oleh tenaga medis atau
paramedis harus dipertajam agar tidak ada kasus yang terlewatkan. Bila ada trauma
laring, luka atau jejas pada leher harus diperiksa dan diobservasi dengan seksama.
Pada prinsipnya, penatalaksanaan trauma harus sistematis dimulai dari penilaian dan
pengamanan jalan nafas agar tetap adekuat.1,2

Anda mungkin juga menyukai