Anda di halaman 1dari 120

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Fakultas Kesehatan Masyarakat Tesis Magister

2016

Manajemen Pengelolaan Obat Di Dinas


Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2016

T. Mukhlis

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/671
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN
KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2016

TESIS

Oleh

T. MUKHLIS
137032239/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


DRUG MANAGEMENT AT THE HEALTH AGENCY OF
LHOKSEUMAWE, IN 2016

THESIS

By

T. MUKHLIS
137032239/IKM

MASTER IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM


FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN
KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2016

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes)
dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara

Oleh

T. MUKHLIS
137032239

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Telah diuji
Pada Tanggal : 18 Oktober 2016

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes


Anggota : 1. dr. Fauzi, S.K.M
2. dr. Heldy BZ, M.P.H
3. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN

MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN


KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2016

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesajarnaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 18 Oktober 2016


Penulis

T. Mukhlis
137032239/IKM

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk menjamin ketersediaan obat dengan
jenis dan jumlah yang tepat. Perumusan masalah penelitian yaitu bagaimanakah manajemen
pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui manajemen pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode wawancara mendalam. Informan pada penelitian ini adalah seluruh staf yang
terlibat pada manajemen pengelolaan obat di Dinas Kesehatan yaitu berjumlah 7 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan obat di Dinas
Kesehatan Kota Lhokseumawe belum berjalan maksimal, diantaranya sering terjadi
keterlambatan dalam laporan pemakaian obat, pencatatan dan pelaporan belum lengkap,
masih terdapat jumlah dan jenis obat yang tidak sesuai permintaan Puskesmas dan masih
terdapat obat kadaluwarsa, serta pelatihan pengelolaan obat di Puskesmas belum
dilaksanakan. Namun, perencanaan obat telah dilaksanakan oleh Tim perencanaan obat dan
pemilihan kebutuhan obat menggunakan metode konsumsi didasarkan pada obat generik
yang tercantum dalam DOEN dan Fornas.
Kesimpulan penelitian ini adalah perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe dilaksanakan oleh tim perencanaan obat. Perencanaan kebutuhan obat
telah dilaksanakan sesuai tahapan perencanaan. Sering terjadi keterlambatan laporan
LPLPO. Waktu pengadaan dan kedatangan obat belum mengikuti ketepatan waktu
yang disepakati. Pada saat penerimaan obat masih terdapat obat yang hampir
kadaluwarsa. Penyimpanan obat dilakukan di Gudang Farmasi. Pengaturan tata ruang
kurang baik, masih terdapat penumpukan obat dan terdapat obat kadaluwarsa.
Pendistribusian obat dari Dinas Kesehatan ke Puskesmas dilaksanakan dengan cara
mengambil langsung ke Gudang Farmasi. Masih terdapat jumlah dan jenis obat yang
tidak sesuai permintaan Puskesmas. Kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat
di Puskesmas belum berjalan dengan efektif dan efisien.

Kata Kunci : Perencanaan Obat, Pengadaan Obat, Penyimpanan Obat,


Pendistribusian Obat, Supervisi dan Evaluasi Pengelolaan Obat

i
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT

An effective medicinal management is needed to guarantee the availability of


medicines in correct types and total numbers. The research problem was how about
the medicinal management in the Health Agency of Lhokseumawe. The objective of
the research was to find out medicinal management in the Health Agency of
Lhokseumawe.
The research used qualitative method. The data were gathered by conducting
in-depth interviews, and there were 7 informants that consisted of the staffs in charge
of medicinal management in the Health Agency of Lhokseumawe.
The result of the research showed that the medicinal management in the Health
Agency of Lhokseumawe was not maximal due to the lateness in reporting the use of
medicines, incomplete records and reporting the kinds and imbalance between the
number of medicines and the request from Puskesmas, expired medicines, and no
training about medicinal management at Puskesmas. However, medicinal planning
had been carried out by the Medicinal Planning and Medicinal Need Selection Team
using consumption method based on generic medicines in DOEN and Fornas.
The conclusion of the research was that medicinal planning in the Health
Agency of Lhokseumawe was carried out by the Medicinal Planning Team according
to the planning stages, but lateness in LPLPO report often occurred. The
procurement and supply of medicines were not punctual, and there were still expired
medicines. The medicines were stored in the Pharmacy Storage. The layout was bad
since there was still the heap of medicines and expired medicines. The distribution of
medicines from the health Agency to Puskesmas was done by getting them directly
from the Pharmacy Storage. There was still the number of and the types of medicines
which were not in accordance with the demand of the Puskesmas. The supervision
and evaluation of medicinal management in Puskesmas did not run effectively and
efficiently.

Keywords: Medicinal Planning, Medicinal Procurement, Medicinal Storage,


Medicinal Distribution, Medicinal Supervision and Management

ii Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita kesehatan,

selawat dan salam kepada Nabi Rasullulah Muhammad SAW atas rahmat-Nya

penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul MANAJEMEN

PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN KOTA LHOKSEUMAWE

TAHUN 2016 .

Dalam penyusunan tesis ini penulis banyak mendapatkan bantuan, dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan

terimakasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan dan Ketua Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara

3. Prof. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2

Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara

4. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes, selaku ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak

membantu mengarahkan penulis untuk penyelesaian tesis ini

5. dr. Fauzi, S.K.M selaku anggota Komisi Pembimbing yang memberikan saran

perbaikan penulisan tesis ini

iii
Universitas Sumatera Utara
6. dr. Heldy BZ, M.P.H dan Dra. Jumirah, Apt, M.Kes selaku Komisi Penguji yang

memberikan kritik dan masukan penulisan tesis ini

7. Ayahanda H. T. Soekman dan Ibunda Hj. Marwati M. Nur yang senantiasa

berdoa dan memberikan dukungan baik moril dan materiil dalam menyelesaikan

pendidikan

8. Keluarga tercinta T. Aznal Zahri, T. Zainal Amri, Cut Mustika Sari, Merry, dan

Safriadi yang senantiasa berdoa dan memberikan dukungan dalam penyelesaikan

pendidikan

9. Seluruh Dosen Program Studi S2 IKM dan seluruh Staf Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu

10. Rekan-rekan mahasiswa S2 peminatan AKK angkatan 2013 dan 2014 yang

memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan ridho-Nya bagi kita dan bagi

semua pihak yang telah membantu. Akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak

kekurangan dan kelemahan dalam penulisan tesis ini, untuk itu penulis mengharapkan

kritik dan saran untuk penyempurnaannya.

Medan, 18 Oktober 2016


Penulis

T. Mukhlis
137032239/IKM

iv Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

T. Mukhlis dilahirkan di Lhoksukon pada tanggal 12 Mei 1982 dari pasangan

H. T. Soekman dan Hj. Marwati M. Nur, anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis

beragama Islam dan bertempat tinggal di JL. Medan-Banda Aceh Desa Tutong No.

14 Lhoksukon, Aceh Utara. Penulis mulai sekolah dari Tahun 1988-1989 di SD

Negeri Pangkat Lhoksukon, Tahun 1989-1991 di SD Negeri Muhammadiyah

Lhoksukon, Tahun 1991-1994 SD Negeri Bertingkat Lhoksukon, Tahun 1994-1997

di SMP Negeri 1 Lhoksukon, dan Tahun 1997-2000 di SMU Negeri 2 Modal Bangsa

Aceh Besar. Kemudian Tahun 2000-2006 Penulis melanjutkan pendidikan S1-

Kedokteran Umum di Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.

Tahun 2013 penulis mengikuti pendidikan lanjutan pada Program Studi S2

Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra

Utara (USU) dengan minat studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK).

Penulis pernah bekerja dari April-Oktober 2007 sebagai dokter PTT Puskesmas

Patek, November 2007-Maret 2008 sebagai dokter PTT Puskesmas Lhok Kruet

Kabupaten Aceh Jaya dan Maret 2008-sekarang penulis bekerja sebagai dokter

Pegawai Negeri Sipil (PNS) Puskesmas Blang Cut Pemkot Lhokseumawe.

v Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ......................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... ix

BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1


1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 8
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 9
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 11


2.1. Manajemen Pengelolaan Obat di Dinas Kesehatan ......................... 11
2.2. Tinjauan Umum tentang Obat.......................................................... 26
2.3. Dasar Kebijakan Pengelolaan Obat ................................................. 28
2.4. Indikator Pengelolaan Obat ............................................................. 32
2.5. Kerangka Pikir ................................................................................. 37

BAB 3. METODE PENELITIAN ...................................................................... 38


3.1. Jenis Penelitian ................................................................................ 38
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 38
3.3. Informan ( Sumber Informasi) ......................................................... 38
3.4. Instrumen Penelitian ........................................................................ 40
3.5. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 40
3.6. Definisi Konsep ............................................................................... 41
3.7. Metode Pengolahan Data ................................................................. 42
3.8. Metode Analisa Data........................................................................ 43

BAB 4. HASIL PENELITIAN ........................................................................... 44


4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ............................................................. 44
4.1.1.Letak dan Batas Wilayah ........................................................ 44
4.1.2.Data Demografi....................................................................... 45
4.2. Visi Misi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe ............................. 46
4.3. Derajat Kesehatan Kota Lhokseumawe ........................................... 47
4.4. SDM Kesehatan Kota Lhokseumawe .............................................. 49
4.5. Informan Penelitian .......................................................................... 51

vi
Universitas Sumatera Utara
4.6. Perencanaan Obat di Dinkes Kota Lhoksweumawe ........................ 51
4.7. Pengadaan Obat di Dinkes Kota Lhokseumawe .............................. 55
4.8. Penyimpanan Obat di Dinkes Kota Lhokseumawe ......................... 58
4.9. Pendistribusian Obat di Dinkes Kota Lhokseumawe....................... 63
4.10.Supervisi dan Evaluasi Obat .......................................................... 67

BAB 5. PEMBAHASAN ..................................................................................... 70


5.1. Perencanaan Obat di Dinkes Kota Lhokseumawe ........................... 70
5.2. Pengadaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe .............. 75
5.3. Penyimpanan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe .......... 80
5.4. Pendistribusian Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe ....... 84
5.5. Supervisi dan Evaluasi Obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhoseumawe .................................................................................... 88

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 97


6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 97
6.2. Saran ................................................................................................ 99

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 101

LAMPIRAN

vii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1 Informan dalam Penelitian ........................................................................ 39

4.1 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan..................................................... 45

4.2 Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan ............................................... 46

4.3 Informan Penelitian ................................................................................... 50

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.5. Kerangka Pikir Penelitian.......................................................................... 37

4.1 10 Penyakit Terbanyak .............................................................................. 48

4.2 Jumlah Tenaga Kesehatan Kota Lhokseumawe ........................................ 50

ix
Universitas Sumatera Utara
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kementerian

Kesehatan RI Tahun 2010 tentang materi pelatihan manajemen kefarmasian di

Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, disebutkan bahwa obat merupakan komponen

esensial dari suatu pelayanan kesehatan, selain itu karena obat sudah merupakan

kebutuhan masyarakat, maka persepsi masyarakat tentang hasil dari pelayanan

kesehatan adalah menerima obat setelah berkunjung ke sarana kesehatan, yaitu

Puskesmas, Poliklinik, Rumah Sakit, Dokter praktek swasta dan lain-lain. Oleh

karena vitalnya obat dalam pelayanan kesehatan, maka pengelolaan yang benar,

efisien dan efektif sangat diperlukan oleh petugas di Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1996, belanja obat

merupakan anggaran terbesar biaya kesehatan. Di Indonesia biaya obat berkisar 40

persen anggaran kesehatan, namun sebagian besar dari populasi mungkin tidak

memiliki akses terhadap obat esensial. Dana yang tersedia terbatas dan sering

dihabiskan untuk obat tidak efektif, tidak perlu, atau bahkan berbahaya. (Depkes RI,

2002).

Saat ini dana pemerintah untuk kesehatan telah dimasukkan ke dalam Dana

Alokasi Umum (DAU), karena itu anggaran obat untuk pelayanan kesehatan dasar di

daerah menjadi tanggung jawab pemda. Anggaran obat untuk pelayanan kesehatan

Universitas Sumatera Utara


dasar di daerah sangat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, karena

adanya perbedaan visi dan persepsi Pemda tentang kesehatan. Walaupun demikian

pemerintah pusat tetap bertanggung jawab membantu kabupaten/kota menyediakan

obat untuk keperluan bencana dan kekurangan obat. (Depkes RI, 2006).

WHO mendefinisikan obat esensial sebagai obat untuk memenuhi kebutuhan

mayoritas penduduk, karena itu harus selalu tersedia. Alasan pemilihan dan

penggunaan obat esensial adalah untuk mengarahkan ke perbaikan pasokan obat-

obatan, resep yang lebih rasional, dan biaya yang lebih rendah. Pada kenyataannya,

penggunaan yang tepat obat esensial adalah salah satu strategi yang paling efektif

yang dapat diberlakukan oleh suatu negara. (Olson, 2012).

Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan komponen terakhir dari rantai

pasokan farmasi. Pengelolaan obat di tingkat pusat langsung mempengaruhi kualitas

kesehatan. Jika obat-obatan secara konsisten tidak tersedia, pasien menderita dan

anggota staf kehilangan motivasi. Semua orang kehilangan kepercayaan dalam sistem

kesehatan, dan kehadiran pasien menurun. Pengelolaan obat konstan dapat

mempromosikan pelayanan kesehatan yang efektif, membangkitkan rasa percaya di

fasilitas kesehatan, dan memberikan kontribusi untuk kepuasan kerja dan harga diri

pekerja. (Sallet, 2012).

Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut

aspek perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, serta

penggunaan obat secara rasional. Pengelolaan obat yang efektif terletak pada

kebijakan dan kerangka hukum yang membangun dan mendukung komitmen publik

Universitas Sumatera Utara


untuk pasokan obat esensial dan dipengaruhi oleh isu-isu ekonomi. Panduan ini

memberikan konsep dan pendekatan yang dapat menghasilkan perbaikan kesehatan

terukur melalui akses yang lebih besar dan penggunaan obat rasional. (Embrey,

2012).

Tujuan pengelolaan obat adalah tersedianya obat esensial dan dapat diakses

oleh seluruh penduduk, menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat yang diproduksi

dan pemerataan distribusi, meningkatkan kehadiran obat esensial di fasilitas

kesehatan, penggunaan obat rasional oleh masyarakat. (Embrey, 2012).

Untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, penggunaan obat

esensial pada fasilitas pelayanan kesehatan harus disesuaikan dengan pedoman

pengobatan yang telah ditetapkan, hal ini sangat berkaitan dengan pengelolaan obat.

Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk menjamin ketersediaan obat dengan

jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi standar mutu sesuai dengan Peraturan

Menteri Kesehatan No. HK. 02.02/Menkes/523/2015 tentang Formularium Nasional

sebagaimana dirubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.

02.02/Menkes/137/2016.

Alasan memilih obat esensial adalah bahwa hal itu dapat menyebabkan

pasokan yang lebih baik, penggunaan lebih rasional, dan biaya yang lebih rendah.

Obat esensial dianggap memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan mayoritas

penduduk dan harus tersedia dalam bentuk sediaan yang tepat dan bermutu setiap

saat. Karena pemilihan obat memiliki dampak yang cukup besar pada kualitas

Universitas Sumatera Utara


pelayanan kesehatan dan biaya pengobatan, itu adalah salah satu cara yang paling

murah untuk dilakukan intervensi. (Olson, 2012).

Ketersediaan obat didukung oleh industri farmasi yang berjumlah sekitar 204

perusahaan dan 90% berlokasi di pulau Jawa, telah dapat memproduksi 98%

kebutuhan obat nasional, namun sebagian besar bahan baku masih di impor.

Ketergantungan terhadap impor bahan baku obat ini dapat menyebabkan tidak

stabilnya penyediaan obat nasional dan mengakibatkan fluktuasi harga obat. (Depkes

RI, 2006).

Pelayanan kefarmasian yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan

bertujuan untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, keamanan

penggunaan obat dan efisiensi biaya obat, serta meningkatkan kualitas hidup pasien

harus mengikuti praktek pelayanan kefarmasian yang sebagaimana yang dianjurkan

oleh WHO. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa praktik pelayanan

kefarmasian belum terlaksana sebagaimana mestinya dihampir semua Upaya

Kesehatan Perorangan (UKP), strata kedua (Rumah Sakit kelas C dan B non

pendidikan), strata ketiga (rumah sakit kelas B pendidikan dan kelas A) dan farmasi

komunitas (apotek). Pelayanan kefarmasian yang belum mengikuti pelayanan

kefarmasian yang baik tidak hanya disebabkan oleh sistem pengelolaan obat,

ketersediaan obat, tetapi juga karena ketersediaan, pemerataan dan profesionalisme

tenaga farmasi yang masih kurang. (Depkes RI, 2006).

Beberapa hal yang masih menjadi permasalahan dalam pengelolaan obat di

Indonesia antara lain, masih ada Pemerintah Daerah yang belum mengalokasikan

Universitas Sumatera Utara


anggaran untuk obat secara optimal karena kurangnya komitmen Pemerintah Daerah

Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mengalokasikan anggaran bagi penyediaan obat

dari APBD sehingga biaya untuk obat mengandalkan anggaran Dana Alokasi Khusus

(DAK). (Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan

keempat atas Peraturan Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan

jasa Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara e-

purchasing dengan sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara

elektronik bertujuan untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak

diskriminatif dan akuntabel.

Dengan telah terbangunnya sistem E-Catalogue Obat, maka seluruh Satuan

Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah dan Fasilitas Kesehatan Tingkat

Pertama (FKTP) atau Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) dalam

pengadaan obat baik untuk program Jaminan Kesehatan Nasional maupun program

kesehatan lainnya tidak perlu melakukan proses pelelangan, namun dapat langsung

memanfaatkan sistem E-Catalogue obat dengan prosedur E-Purchasing. Dengan

adanya perubahan sistem pengadaan obat ini, diperlukan proses adaptasi baik pada

satuan kerja sebagai pengguna, industri sebagai penyedia obat, dan distributor. Hal ini

mempengaruhi pengadaan obat di setiap jenjang dan berdampak pada ketersediaan

obat.

Siklus distribusi obat dimulai pada saat produk obat keluar dari pabrik atau

distributor, dan berakhir pada saat laporan konsumsi obat diserahkan kepada unit

Universitas Sumatera Utara


pengadaan. Distribusi obat yang efektif harus memiliki desain sistem dan manajemen

yang baik dengan cara antara lain: menjaga suplai obat tetap konstan,

mempertahankan mutu obat yang baik selama proses distribusi, meminimalkan obat

yang tidak terpakai karena rusak atau kadaluwarsa dengan perencanaan yang tepat

sesuai kebutuhan masing-masing daerah, memiliki catatan penyimpanan yang akurat,

rasionalisasi depo obat dan pemberian informasi untuk memperkirakan kebutuhan

obat. (Clark, 2012).

Setiap fasilitas kesehatan perlu menyimpan dan mengelola obatnya. Sistem

penyimpanan bertujuan untuk memastikan penyimpanan aman, penyimpanan dalam

kondisi lingkungan yang benar, pencatatan akurat, penataan yang efektif, dan

pemantauan obat yang kadaluwarsa, serta pencegahan pencurian. Penyimpanan harus

terletak di dalam gedung yang tahan cuaca kering. Obat harus diatur dan mudah

diakses, disimpan di rak-rak (sebagian besar obat di fasilitas kesehatan disimpan di

rak-rak). Ruang dan peralatan pendingin harus disediakan untuk pendingin vaksin dan

barang-barang lainnya. Suhu dan tingkat kelembaban harus dikontrol dalam batas-

batas yang tepat, dan ruang harus memiliki ventilasi yang baik. (Sallet, 2012).

Dinas Kesehatan sebagai unsur Pemerintah Daerah di bidang kesehatan

diharapkan dapat memberikan yang terbaik pada masyarakat, maka Dinas Kesehatan

Kota Lhokseumawe merumuskan VISI dan MISI sebagai satu kesatuan dengan

rangkaian kebijakan yang akan dilaksanakan dari tahun ke tahun. Salah satu

kebijakan Dinas Kesehatan dalam rangka mencapai visi adalah dengan meningkatkan

dan memelihara mutu lembaga dan pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan SDM

Universitas Sumatera Utara


secara berkelanjutan, sarana dan prasarana dalam bidang medis termasuk

ketersediaan obat yang terjangkau masyarakat. Ketersediaan obat menjadi salah satu

kebijakan yang dilaksanakan untuk mendukung pelayanan kesehatan yang ada.

(Dinkes Kota Lhokseumawe, 2014).

Berdasarkan hasil wawancara awal peneliti, perencanaan kebutuhan obat di

Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilakukan oleh Kepala Seksi Bidang

Kefarmasian dengan menggunakan metode konsumsi, dilakukan secara manual dan

belum terkomputerisasi, hal ini dapat menyulitkan petugas menentukan dalam

menentukan jumlah persediaan. Puskesmas sering mengalami keterlambatan dalam

pengiriman berkas Laporan Pemakaian dan Lembar Permintan Obat (LPLPO) ke

Dinas Kesehatan.

Hasil observasi peneliti di Gudang Farmasi Dinkes Kota Lhokseumawe

menunjukkan bahwa masih terjadi penumpukan beberapa jenis obat yang sudah

cukup lama tidak didistribusikan, hal ini mencerminkan ketidaktepatan perencanaan

kebutuhan obat tidak tepat atau kurang baiknya sistem distribusi. Masih terdapat

penumpukan obat yang kadaluwarsa di Gudang Farmasi, kemungkinan dikarenakan

kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan dan dapat menimbulkan kerugian

biaya.

Menurut Cheng dan Whittemorre (2008) yang meneliti tentang manajemen

rantai pasok di rumah sakit, sistem yang masih manual menjadi salah satu penyebab

dari kelebihan pemesanan yang akhirnya menimbulkan persediaan yang berlebih.

Universitas Sumatera Utara


Pengelolaan logistik sangat ditentukan oleh kegiatan perencanaan, misalnya

dalam menentukan barang yang pengadaannya melebihi kebutuhan. Hal tersebut

dapat merusak suatu siklus manajemen logistik secara keseluruhan, sehingga

menimbulkan pemborosan dan pembengkakan dalam biaya, akhirnya obat tidak

tersalurkan sehingga bisa rusak atau kadaluwarsa meskipun baik pemeliharaannya di

gudang. (Seto, 2004).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah :

1. Bagaimanakah perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Tahun 2016?

2. Bagaimanakah pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Tahun 2016?

3. Bagaimanakah penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Tahun 2016?

4. Bagaimanakah pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Tahun 2016?

5. Bagaimanakah supervisi dan evaluasi manajemen pengelolaan obat di Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2016?

Universitas Sumatera Utara


1.3 Tujuan Penelitan

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimanakah manajemen

pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2016.

1.3.2 Tujuan Khusus

Berkaitan dengan tujuan umum diatas, maka tujuan khusus dalam penelitian

ini adalah untuk :

1. Mengetahui perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun

2016?

2. Mengetahui pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun

2016?

3. Mengetahui penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Tahun 2016?

4. Mengetahui pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Tahun 2016?

5. Mengetahui supervisi dan evaluasi manajemen pengelolaan obat di Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2016?

Universitas Sumatera Utara


1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini antara lain :

1. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan konsep manajemen

pengelolaan obat melalui proses perencanaan, pengadaan, penyimpanan,

pendistribusian dan pengawasan obat

2. Penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe dalam rangka penentuan arah kebijakan dan

perbaikan dalam hal manajemen pengelolaan obat

3. Bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan Puskesmas di

wilayah kerjanya dalam rangka menyusun perencanaan kebutuhan obat secara

efektif dan efisien

4. Bagi Peneliti diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dalam

mengaplikasi ilmu pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti pendidikan

di Universitas Sumatra Utara (USU).

Universitas Sumatera Utara


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Pengelolaan Obat di Dinas Kesehatan

Manajemen berasal dari bahasa inggris yaitu "Manage" yang berarti,

mengurus, mengelola, mengendalikan, mengusahakan, memimpin. Sedangkan

pengertian manajemen secara etimologis adalah seni melaksanakan dan mengatur.

Pengertian manajemen juga dipandang sebagai disiplin ilmu yang mengajarkan

proses mendapatkan tujuan organisasi dalam upaya bersama dengan sejumlah orang

atau sumber milik organisasi.

Menurut Gulick yang dikutip oleh Wijayanti (2008), mendefinisikan

manajemen sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan yang berusaha secara sistematis

untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja bersama-sama untuk

mencapai tujuan dan bermanfaat bagi kemanusiaan.

Menurut Terry dan Leslie (2010), menjelaskan bahwa manajemen adalah

suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu

kelompok orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud

yang nyata. Manajemen merupakan suatu proses yang khas yang terdiri atas tindakan-

tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian untuk

menentukan serta mencapai tujuan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan

sumber daya lainnya.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan definisi yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

manajemen merupakan usaha yang dilakukan secara bersama-sama untuk

menentukan dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi

perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), dan

pengawasan (controlling). (Terry dan Leslie, 2010).

Pengertian pengelolaan obat adalah bagaimana cara mengelola tahap-tahap

dari kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan saling mengisi sehingga

dapat tercapai tujuan pengelolaan obat yang efektif dan efisien agar obat yang

diperlukan oleh dokter selalu tersedia setiap saat dibutuhkan dalam jumlah cukup dan

mutu terjamin untuk mendukung pelayanan yang bermutu.

(Anief, 2007).

Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut

aspek perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, serta

penggunaan obat secara rasional. Pengelolaan obat yang efektif terletak pada

kebijakan dan kerangka hukum yang membangun dan mendukung komitmen publik

untuk pasokan obat esensial dan dipengaruhi oleh isu-isu ekonomi. Panduan ini

memberikan konsep dan pendekatan yang dapat menghasilkan perbaikan kesehatan

terukur melalui akses yang lebih besar dan penggunaan obat rasional. (Embrey,

2012).

Tujuan pengelolaan obat adalah tersedianya obat esensial dan dapat diakses

oleh seluruh penduduk, menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat yang diproduksi

Universitas Sumatera Utara


dan pemerataan distribusi, meningkatkan kehadiran obat esensial di fasilitas

kesehatan, penggunaan obat rasional oleh masyarakat. (Embrey, 2012).

Menurut Quick (1997), bahwa dalam sistem manajemen obat, masing-masing

fungsi utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi

selanjutnya. Seleksi seharusnya didasarkan pada pengalaman aktual terhadap

kebutuhan untuk melakukan pelayanan kesehatan dan obat yang digunakan,

perencanaan dan pengadaan memerlukan keputusan seleksi dan seterusnya. Siklus

manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung manajemen (management

support) yang meliputi organisasi, keuangan, atau finansial, sumber daya manusia

(SDM), dan sistim informasi manajemen (SIM). Setiap tahap siklus manajemen obat

yang baik harus didukung oleh keempat faktor tersebut sehingga pengelolaan dapat

berlangsung secara efektif dan efisien.

2.1.1 Perencanaan Obat

Perencanaan yaitu sebagai dasar pemikiran dari tujuan dan penyusunan

langkah-langkah yang akan dipakai untuk mencapai tujuan. Merencanakan berarti

mempersiapkan segala kebutuhan, memperhitungkan matang-matang apa saja yang

menjadi kendala, dan merumuskan bentuk pelaksanaan kegiatan yang bermaksud

untuk mencapai tujuan (Terry dan Leslie, 2010).

Perencanaan di bidang kesehatan pada dasarnya merupakan suatu proses

untuk merumuskan masalah kesehatan yang berkembang di masyarakat, menentukan

kebutuhan dan sumber daya yang harus disediakan, menetapkan tujuan yang paling

pokok dan menyusun langkah-langkah praktis untuk mencapai tujuan yang

Universitas Sumatera Utara


ditetapkan. Perencanaan menurut ilmu administrasi kesehatan terdapat 3 aspek pokok

yang harus diperhatikan meliputi: hasil kerja perencanaan (outcome of planning),

perangkat perencanaan (mechanic of planning), dan proses perencanaan (process of

planning).

Kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat antara lain :

a. Tahap Pemilihan Obat

Fungsi seleksi/pemilihan obat adalah untuk menentukkan apakah obat benar-

benar diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah. Untuk

mendapatkan pengadaan obat yang baik, sebaiknya diawali dengan dasar-dasar

seleksi kebutuhan obat yaitu meliputi: (Kemenkes, 2010).

1) Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan

efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan

ditimbulkan

2) Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari

duplikasi dan kesamaan jenis

3) Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang lebih

baik

4) Hindari penggunaan kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek

yang lebih baik dibanding obat tunggal

5) Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug

of choice) dari penyakit yang prevalensinya

Universitas Sumatera Utara


b. Tahap perhitungan kebutuhan obat

Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan

masing-masing jenis obat di unit pelayanan kesehatan/puskesmas selama setahun dan

sebagai pembanding bagi stok optimum. (Kemenkes, 2010).

Informasi yang didapat dari kompilasi pemakaian obat adalah:

1) Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing unit pelayanan

kesehatan/puskesmas

2) Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh

unit pelayanan kesehatan/puskesmas

3) Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat kabupaten/kota

Tahap perhitungan kebutuhan obat merupakan tantangan yang berat yang

harus dihadapi oleh tenaga farmasi yang bekerja di Unit Pengelola Obat Publik Dan

Perbekalan Kesehatan (UPOPPK) Kabupaten/Kota maupun Unit Pelayanan

Kesehatan Dasar (PKD). Masalah kekosongan obat atau kelebihan obat dapat terjadi

apabila informasi semata-mata hanya berdasarkan informasi teoritis terhadap

kebutuhan pengobatan.

Koordinasi dan proses perencanaan untuk pengadaan obat secara terpadu

serta melalui tahapan seperti diatas, diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat

jenis, tepat jumlah serta tepat waktu dan tersedia pada saat dibutuhkan.

Metode yang lazim digunakan untuk menyusun perkiraan kebutuhan obat di

tiap unit pelayanan kesehatan adalah: (Kemenkes, 2010).

Universitas Sumatera Utara


a) Metode konsumsi

Metode ini dilakukan dengan menganalisis data komsumsi obat tahun

sebelumnya. Hal yang perlu diperhatikan antara lain:

1) Pengumpulan data dan pengolahan data

2) Analisis data untuk informasi dan evaluasi

3) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat

b) Metode epidemiologi

Metode ini dilakukan dengan menganalisis kebutuhan obat berdasarkan pola

penyakit, perkiraan kunjungan dan waktu tunggu (lead time). Langkah-langkah dalam

metode ini antara lain:

1) Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani

2) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit

3) Menyediakan standar/pedoman pengobatan yang digunakan

4) Menghitung perkiraan kebutuhan obat

5) Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia

2.1.2 Pengadaan Obat

Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan proses untuk

penyediaan obat yang dibutuhkan di Unit Pelayanan Kesehatan. Pengadaan obat dan

perbekalan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi dan

Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pelaksanaan Pengadaan

Barang/Jasa Instansi Pemerintah dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara. (Kemenkes, 2010).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan

keempat atas Peraturan Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan

jasa Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara e-

purchasing dengan sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara

elektronik bertujuan untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak

diskriminatif dan akuntabel.

Pembelian obat secara elektronik (E-Purchasing) berdasarkan sistem Katalog

Elektronik (E-Catalogue) obat dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

dan Kelompok Kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) atau Pejabat Pengadaan

melalui aplikasi E-Purchasing pada website Layanan Pengadaan Secara Elektronik

(LPSE), sesuai Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah No. 14 Tahun 2015 tentang E-Purchasing. Untuk dapat menggunakan

aplikasi E-Purchasing, PPK dan Pokja ULP atau Pejabat Pengadaan harus memiliki

kode akses (user ID dan password) dengan cara melakukan pendaftaran sebagai

pengguna kepada LPSE setempat.

Tahapan yang dilakukan dalam pengadaan obat melalui E-Purchasing adalah

sebagai berikut: (Perpres, 2015).

1. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam aplikasi

E-Purchasing berdasarkan Daftar Pengadaan Obat. Paket pembelian obat

dikelompokkan berdasarkan penyedia.

Universitas Sumatera Utara


2. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan

pembelian obat kepada penyedia obat/Industri Farmasi yang termasuk dalam

kelompok paket pengadaan.

3. Penyedia obat/Industri Farmasi yang telah menerima permintaan pembelian

obat melalui E-Purchasing dari Pokja ULP/Pejabat Pengadaan memberikan

persetujuan atas permintaan pembelian obat dan menunjuk

distributor/Pedagang Besar Farmasi (PBF). Apabila menyetujui, penyedia

obat/Industri Farmasi menyampaikan permintaan pembelian kepada

distributor/PBF untuk ditindaklanjuti. Apabila menolak, penyedia

obat/Industri Farmasi harus menyampaikan alasan penolakan.

4. Persetujuan penyedia obat/Industri Farmasi kemudian diteruskan oleh Pokja

ULP/Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk ditindaklanjuti. Dalam hal

permintaan pembelian obat mengalami penolakan dari penyedia obat/Industri

Farmasi, maka ULP melakukan metode pengadaan lainnya sesuai Peraturan

Presiden No.4 Tahun 2015.

5. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual beli terhadap obat yang

telah disetujui dengan distributor/PBF yang ditunjuk oleh penyedia

obat/Industri Farmasi.

6. Distributor/PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat sesuai dengan isi

perjanjian/kontrak jual beli.

Universitas Sumatera Utara


7. PPK selanjutnya mengirim perjanjian pembelian obat serta melengkapi

riwayat pembayaran dengan cara mengunggah (upload) pada aplikasi E-

Purchasing.

8. PPK melaporkan item dan jumlah obat yang ditolak atau tidak dipenuhi oleh

penyedia obat/Industri Farmasi kepada Kepala Lembaga Kebijakan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) c.q Direktur Pengembangan

Sistem Katalog, tembusan kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan

Alat Kesehatan c.q Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan

paling lambat 5 (lima) hari kerja.

Dalam hal aplikasi E-Purchasing mengalami kendala operasional/offline

(gangguan daya listrik, gangguan jaringan, atau gangguan aplikasi), maka pembelian

dapat dilaksanakan secara manual.

2.1.3 Penyimpanan Obat

Sistem penyimpanan bertujuan untuk memastikan penyimpanan aman,

penyimpanan dalam kondisi lingkungan yang benar, pencatatan akurat, penataan yang

efektif, dan pemantauan obat yang kadaluwarsa, serta pencegahan pencurian. (Sallet,

2012).

Menurut Yogaswara (2001), bahwa penyimpanan adalah kegiatan dan usaha

untuk melakukan pengurusan, penyelenggaraan dan pengaturan barang persediaan di

dalam ruang penyimpanan.

Universitas Sumatera Utara


a. Tujuan Penyimpanan Obat

Penyimpanan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tujuan dari

penyimpanan tercapai. Menurut Warman (1997), tujuan dari penyimpanan obat antara

lain:

1) Mempertahankan mutu obat dari kerusakan akibat penyimpanan yang tidak

baik

2) Mempermudah pencarian di gudang/kamar penyimpanan

3) Mencegah kehilangan

4) Mempermudah stok opname dan pengawasan

5) Mencegah bahaya penyimpanan yang salah

b. Prosedur Penyimpanan Obat

Prosedur penyimpanan obat antara lain mencakup sarana penyimpanan,

pengaturan persediaan berdasarkan bentuk/jenis obat yang disimpan, serta sistem

penyimpanan.

c. Sarana Penyimpanan Obat

Obat harus selalu disimpan di ruang penyimpanan yang layak. Bila obat

rusak, mutu obat menurun dan memberi pengaruh buruk bagi penderita. Beberapa

ketentuan mengenai sarana penyimpanan obat antara lain :

1) Gudang/tempat penyimpanan :

a) Gudang penyimpanan terpisah dari apotek atau ruang pelayanan.

b) Gudang cukup besar untuk menyimpan semua persediaan obat dan cukup

untuk pergerakan petugas, minimal luasnya 3 m x 4 m.

Universitas Sumatera Utara


c) Pintu gudang mempunyai kunci pengaman 2 (dua) buah yang

terpisah/berbeda.

d) Struktur gudang dalam keadaan baik, tidak ada retakan, lubang atau tanda

kerusakan oleh air.

e) Atap gudang dalam keadaan baik dan tidak bocor.

f) Gudang rapi, rak dan lantai tidak berdebu dan dinding bersih.

g) Gudang bebas hama dan tidak ada tanda infestasi hama.

h) Udara bergerak bebas di gudang; kipas angin dan kawat nyamuk dalam

keadaan baik.

i) Tersedia cukup ventilasi, sirkulasi udara dan penerangan.

j) Tersedia alat pengukur dan pengatur suhu ruangan.

k) Jendela dicat putih atau mempunyai gorden serta aman dan mempunyai

teralis.

l) Terdapat rak/lemari penyimpanan.

m) Terdapat lemari pendingin untuk obat tertentu dan dalam keadaan baik.

n) Terdapat lemari khusus yang mempunyai kunci untuk penyimpanan

narkotik dan psikotropika.

o) Terdapat alat bantu lain untuk pengepakan dan perpindahan barang.

2) Dokumen pencatatan:

a) LPLPO (Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat)

b) Buku stok

c) Buku penerimaan dan pengeluaran obat

Universitas Sumatera Utara


d) Catatan obat rusak atau kadaluarsa

d. Pengaturan Persediaan

1) Obat-obatan dipisahkan dari bahan beracun.

2) Obat luar dipisahkan dari obat dalam.

3) Narkotik dan psikotropika dipisahkan dari obat-obatan lain dan disimpan di

lemari khusus yang mempunyai kunci.

4) Tablet, kapsul dan oralit disimpan dalam kemasan kedap udara dan diletakkan

di rak bagian atas.

5) Cairan, salep dan injeksi disimpan di rak bagian tengah.

6) Obat yang membutuhkan suhu dingin disimpan dalam kulkas.

7) Obat rusak atau kadaluarsa dipisahkan dari obat lain yang masih baik dan

disimpan di luar gudang.

8) Obat cairan dipisahkan dari obat padatan.

9) Barang/obat ditempatkan menurut kelompok berat dan besarnya :

10) Untuk barang yang berat ditempatkan pada tempat yang memungkinkan

pengangkatannya dilakukan dengan mudah. Antara lain :

a) Untuk barang yang besar harus ditempatkan sedemikian rupa, sehingga

apabila barang tersebut dikeluarkan tidak mengganggu barang yang lain.

b) Untuk barang yang kecil sebaiknya dimasukkan kedalam kotak yang

ukurannya agak besar dan ditempatkan sedemikian rupa, sehingga mudah

dilihat/ditemukan apabila diperlukan.

Universitas Sumatera Utara


e. Penyimpanan Khusus

1) Obat, vaksin dan serum memerlukan tempat khusus seperti lemari pendingin

khusus (cold chain) dan harus dilindungi dari kemungkinan putusnya arus

listrik.

2) Bahan kimia harusnya disimpan dalam bangunan khusus yang terpisah dari

gudang induk.

3) Peralatan besar/alat berat memerlukan tempat khusus yang cukup untuk

penyimpanan dan pemeliharaannya.

f. Sistem Penyimpanan Obat

1) Obat disusun berdasarkan abjad (alfabetis) atau Nomor.

2) Obat disusun berdasarkan frekuensi penggunaan :

a) FIFO (First In First Out), yang berarti obat yang datang lebih awal harus

dikeluarkan lebih dahulu.

b) FEFO (First Expired First Out), yang berarti obat yang lebih awal

kadaluarsa harus dikeluarkan leih dahulu.

3) Obat disusun berdasarkan volume

a) Barang yang jumlahnya banyak ditempatkan sedemikian rupa agar tidak

terpisah, sehingga mudah pengawasan dan penanganannya.

b) Barang yang jumlah sedikit harus diberi perhatian/tanda khusus agar

mudah ditemukan kembali.

Universitas Sumatera Utara


2.1.4 Pendistribusian Obat

Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan

pengiriman obat, terjamin keabsahan, tepat jenis dan jumlah secara merata dan teratur

untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan. Distribusi obat dilakukan

agar persediaan jenis dan jumlah yang cukup sekaligus menghindari kekosongan dan

menumpuknya persediaan serta mempertahankan tingkat persediaan obat. (Clark,

2012).

Distribusi obat bertujuan untuk:

1. Terlaksananya pengiriman obat secara merata dan teratur sehingga dapat

diperoleh pada saat dibutuhkan.

2. Terjaminnya mutu obat dan perbekalan kesehatan pada saat pendistribusian

3. Terjaminnya kecukupan dan terpeliharanya penggunaan obat di unit

pelayanan kesehatan.

4. Terlaksananya pemerataan kecukupan obat sesuai kebutuhan pelayanan dan

program kesehatan

Kegiatan distribusi obat di Kabupaten/ Kota terdiri dari :

1. Kegiatan distribusi rutin yang mencakup distribusi untuk kebutuhan

pelayanan umum di unit pelayanan kesehatan

2. Kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat untuk :

a. Program kesehatan

b. Kejadian Luar Biasa (KLB)

c. Bencana (alam dan sosial)

Universitas Sumatera Utara


2.1.5 Supervisi dan Evaluasi Obat

Supervisi berasal dari kata super (lebih tinggi) dan vision (melihat) sehingga

secara umum dapat diartikan sebagai mengawasi dari atas atau oleh atasan. Supervisi

dalam pengertian manajemen memiliki pengertian yang lebih luas, karena istilah yang

digunakan adalah mengawasi dan bukan melihat, ini bukan dilakukan secara

kebetulan. Mengawasi dalam arti bahasa Indonesia adalah mengamati dan menjaga

jadi bukan hanya mengamati saja, akan tetapi memiliki pengertian menjaga.

Pengawasan yaitu untuk mengawasi apakah gerakan dari organisasi ini sudah

sesuai dengan rencana atau belum. Serta mengawasi penggunaan sumber daya dalam

organisasi agar bisa terpakai secara efektif dan efisien tanpa ada yang melenceng dari

rencana. (Terry dan Leslie, 2010).

Supervisi yang dilakukan oleh petugas Instalasi Farmasi Kesehatan (IFK)

adalah proses pengamatan secara terencana dari unit yang lebih tinggi (Instalasi

Farmasi Propinsi/Kabupaten/Kota) terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh

petugas pada unit yang lebih rendah (Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT lainnya).

Pengamatan diarahkan untuk menjaga agar pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan

sesuai dengan pedoman yang disepakati bersama. (Kemenkes, 2010).

Pelaksanaan Supervisi dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Menemui kepala/pejabat institusi yang dituju untuk menyampaikan tujuan

supervisi.

2. Mengumpulkan data dan informasi dengan cara :

a. mempelajari data yang tersedia

Universitas Sumatera Utara


b. wawancara dan diskusi dengan pihak yang disupervisi.

c. pengamatan langsung.

3. Membahas dan menganalisis hasil temuan :

a. Pencocokkan berbagai data, fakta dan informasi yang diperoleh.

b. Menilai tingkat keberhasilan pelaksanaan tugas.

c. Menemukan berbagai macam masalah dan faktor penyebabnya.

d. Membuat kesimpulan sementara hasil supervisi.

4. Mengadakan tindakan intervensi tertentu apabila ditemukan masalah yang

perlu segera ditanggulangi.

5. Melaporkan kepada pimpinan institusi yang didatangi tentang :

a. tingkat pencapaian hasil kerja unit yang disupervisi

b. masalah dan hambatan yang ditemukan.

c. penyebab timbulnya masalah.

d. tindakan intervensi yang telah dilakukan.

e. rencana pokok tidak lanjut yang diperlukan.

2.2 Tinjauan Umum tentang Obat

Menurut Kebijakan Obat Nasional tahun 2006 obat adalah sediaan atau

paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau

menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,

pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi.

Dengan demikian obat mencakup produk biologi tidak termasuk mencakup obat.

Universitas Sumatera Utara


Upaya pengobatan merupakan segala bentuk kegiatan pelayanan pengobatan

yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan untuk menghilangkan penyakit dan

gejalanya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan cara yang khusus untuk

keperluan tersebut. (Anief, 2007).

Menurut Anief (2007) obat dibedakan atas 7 golongan yaitu:

a. Obat tradisional yaitu obat yang berasal dari bahan-bahan tumbuh-tumbuhan,

mineral dan sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang

usaha pengobatannya berdasarkan pengalaman.

b. Obat jadi yaitu obat dalam kemasan murni atau campuran dalam bentuk

serbuk, cairan, salep, tablet, pil, supositoria atau bentuk lain yang mempunyai

nama teknis sesuai dengan FI (Farmakope Indonesia) atau buku lain.

c. Obat paten yaitu obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si

pembuat atau yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik

yang memproduksinya.

d. Obat baru yaitu obat yang terdiri dari zat yang berkhasiat maupun tidak

berkhasiat misalnya lapisan, pengisi, pelarut serta pembantu atau komponen

lain yang belum dikenal khasiat dan keamanannya.

e. Obat esensial yaitu obat yang paling dibutuhkan untuk pelaksanaan pelayanan

kesehatan bagi masyarakat yang meliputi diagnosa, profilaksis terapi dan

rehabilitasi.

f. Obat generik berlogo yaitu obat yang tercantum dalam DOEN (Daftar Obat

Esensial Nasional) dan mutunya terjamin karena di produksi sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara


persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan diuji ulang oleh

Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan.

g. Obat wajib apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter

oleh apoteker di apotek.

Menurut Kristin (2002), obat esensial adalah obat yang paling dibutuhkan

untuk pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi sebagian populasi yang harus tersedia

setiap saat dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau serta memiliki

kemanfaatan yang tinggi baik untuk keperluan diagnostik, profilaksis terapetik dan

rehabilitasi.

Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/Menkes/523/2015 tentang

Formularium Nasional sebagaimana dirubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan

No.HK.02.02/Menkes/137/2016, untuk meningkatkan penggunaan obat yang

rasional, penggunaan obat esensial pada fasilitas pelayanan kesehatan harus

disesuaikan dengan pedoman pengobatan yang telah ditetapkan, hal ini sangat

berkaitan dengan pengelolaan obat. Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk

menjamin ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi

standar mutu.

2.3 Dasar Kebijakan Pengelolaan Obat

Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/Menkes/523/2015 tentang

Formularium Nasional sebagaimana dirubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan

No.HK.02.02/Menkes/137/2016, untuk meningkatkan penggunaan obat yang

Universitas Sumatera Utara


rasional, penggunaan obat esensial pada fasilitas pelayanan kesehatan harus

disesuaikan dengan pedoman pengobatan yang telah ditetapkan, hal ini sangat

berkaitan dengan pengelolaan obat. Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk

menjamin ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi

standar mutu.

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan

keempat atas Peraturan Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan

jasa Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara e-

purchasing dengan sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara

elektronik bertujuan untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak

diskriminatif dan akuntabel.

Pengelolaan obat terdiri atas (Depkes, 2002):

1. Pengelola Obat di Dinas Kesehatan

Organisasi Pengelola Obat di Provinsi/Kabupaten/Kota disebut dengan Unit

Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan (UPOPPK) di Provinsi/

Kabupaten/Kota. Salah satu tujuan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan

adalah agar dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan

berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat yang berobat ke Unit

Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas).

Agar tujuan tersebut dapat terlaksana dengan baik, Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota sebagai pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di daerah

memiliki tugas dan peran antara lain :

Universitas Sumatera Utara


1) Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun oleh

tim perencanaan obat terpadu berdasarkan system“bottom up”

2) Perhitungan rencana kebutuhan obat untuk satu tahun anggaran disusun

dengan menggunakan pola konsumsi dan atau epidemiologi

3) Mengkoordinasikan perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana,

agar jenis dan jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan

tidak tumpang tindih

4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan rencana kebutuhan

obat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lainnya

5) Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan

Kesehatan untuk Puskesmas

6) Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat

Publik dan Perbekalan Kesehatan ke Puskesmas

7) Melaksanakan Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada Pemerintah

Kabupaten/Kota

8) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap pendistribusian

obat kepada unit pelayanan kesehatan dasar

9) Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap penanganan obat dan

perbekalan kesehatan yang rusak dan kadaluwarsa

10) Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap jaminan mutu obat

yang ada di UPOPPK dan UPK.

Universitas Sumatera Utara


2. Pengelola Obat di Puskesmas

Pengelolaan obat dalam manajemen persedian obat di Puskesmas adalah

Kepala Puskesmas, Petugas Gudang Obat dan Petugas Obat di sub unit pelayanan

adalah: (Kemenkes, 2010).

1) Kepala Puskesmas

Kepala Puskesmas bertanggungjawab atas pelaksanaan pengelolaan obat dan

pencatatan pelaporan, mengajukan obat untuk pengadaan persediaan kepada Kepala

Dinas/Kepala GFK, menyampaikan laporan bulanan pemakaian obat, melaporkan

semua obat yang hilang, rusak maupun kadaluarsa kepada Kepala Dinas

Kesehatan/Kepala GFK.

2) Petugas Gudang Obat

Petugas gudang obat bertanggungjawab dalam menerima obat dari GFK,

menyimpan dan mengatur ruang gudang obat serta mengendalikan persediaan obat,

mendistribusikan obat untuk unit pelayanan obat, mengawasi mutu obat, melakukan

pencatatan dan pelaporan. Petugas gudang obat membantu Kepala Puskesmas dalam

hal menjaga keamanan obat, penyusunan persediaan, distribusi dan pengawasan

persediaan obat.

3) Petugas Obat di Sub Unit Pelayanan

Petugas obat pada sub unit pelayan bertanggungjawab dalam menerima,

menyimpan dan memelihara obat dari gudang obat Puskesmas, menerima resep

dokter, meracik/menyiapkan obat, mengemas obat, menyerahkan obat dan

Universitas Sumatera Utara


memberikan informasi penggunaan obat, membuat catatan dan laporan pemakaian

obat untuk petugas gudang obat serta mengamati mutu obat secara umum.

2.4 Indikator Pengelolaan Obat

Indikator adalah alat ukur untuk dapat membandingkan kinerja yang

sesungguhnya. Indikator digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh tujuan

atau sasaran telah berhasil dicapai. Penggunaan lain dari indikator adalah untuk

penetapan prioritas, pengambilan tindakan dan untuk pengujian strategi dari sasaran

yang ditetapkan. Indikator pengelolaan obat di kabupaten kota adalah: (Kemenkes,

2010).

1. Alokasi dana pengadaan obat

Penyediaan dana yang memadai dari pemerintah sangat menentukan

ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial oleh masyarakat. Ketersediaan dana

pengadaan obat yang sesuai dengan kebutuhan obat untuk populasi merupakan

prasyarat terlaksananya penggunaan obat yang rasional yang pada gilirannya akan

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dengan indikator ini akan dapat dilihat

komitmen Kabupaten/Kota dalam penyediaan dana pengadaan obat sesuai kebutuhan

Kabupaten/Kota.

2. Persentase alokasi dana pengadaan obat

Dana pengadaan obat adalah besarnya dana pengadaan obat yang

disediakan/dialokasikan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk mendukung

Universitas Sumatera Utara


program kesehatan di daerah Kabupaten/Kota dibandingkan dengan jumlah alokasi

dana untuk bidang kesehatan.

3. Biaya obat perpenduduk

Biaya obat perpenduduk adalah besarnya dana yang tersedia untuk masing-

masing penduduk dan besaran dana yang tersedia untuk masing-masing penduduk.

Ketersediaan dana pengadaan obat yang sesuai kebutuhan populasi bervariasi untuk

masing-masing Kabupaten/Kota untuk itu perlu diketahui besarnya dana yang

disediakan oleh Kabupaten/Kota apakah telah memasukkan parameter jumlah

penduduk dalam pengalokasian dananya. Pada tahun 2009 WHO telah menetapkan

alokasi dana obat sektor publik secara nasional adalah US $ 3 perkapita.

4. Ketersediaan obat sesuai kebutuhan

Ketersediaan obat sesuai kebutuhan adalah jumlah obat yang mampu

disediakan pemerintah dibandingkan dengan jumlah obat yang dibutuhkan rakyat

dalam pelayanan kesehatan dasar yang diselenggarakan pemerintah.

5. Pengadaan obat esensial

Pengadaan obat esensial adalah nilai obat esensial yang diadakan di

kabupaten/kota yang disimpan di instalasi farmasi kabupaten/kota dibandingkan

dengan nilai total yang tersedia di instalasi farmasi kabupaten/kota.

6. Pengadaan obat generik

Pengadaan obat generik adalah nilai obat generik yang diadakan di

kabupaten/kota yang disimpan di instalasi farmasi kabupaten/kota dibandingkan

dengan nilai total yang tersedia di instalasi farmasi kabupaten/kota.

Universitas Sumatera Utara


7. Biaya obat per kunjungan resep

Ketersediaan dana obat yang sesuai dengan jumlah kunjungan resep yang ada

di Kabupaten/Kota bervariasi untuk masing-masing Kabupaten/Kota.Untuk itu perlu

diketahui besaran dana yang disediakan olehKabupaten/Kota apakah telah

memasukkan parameter jumlah kunjungan resep dalam pengalokasian dananya.

8. Kesesuaian item obat yang tersedia dengan DOEN tahun 2013

Penetapan obat yang masuk dalam DOEN telah mempertimbangkan faktor

drug of choice, analisis biaya-manfaat dan didukung dengan data ilmiah.Untuk

pelayanan kesehatan dasar maka jenis obat yang disediakan berdasarkan DOEN yang

terbaru agar tercapai prinsip efektivitas dan efisiensi.

9. Kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit

Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kotaharus

sesuai dengan kebutuhan populasi berarti harus sesuai dengan pola penyakit yang ada

di Kabupaten/Kota. Kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit adalah

kesesuaian jenis obat yang tersedia di instalasi farmasi dengan pola penyakit yang ada

di Kabupaten/Kota adalah jumlah jenis obat yang tersedia dibag idengan jumlah jenis

obat untuk semua kasus penyakit di Kabupaten/Kota.

10. Tingkat ketersediaan obat

Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota harus

sesuai dengan kebutuhan populasi berarti jumlah (kuantum) obat yang tersedia di

gudang minimal harus sama dengan stok selama waktu tunggu kedatangan obat.

Universitas Sumatera Utara


11. Ketepatan perencanaan

Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota harus

sesuai dengan kebutuhan populasi berarti harus sesuai dalam jumlah dan jenis obat

untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota.

12. Persentase dan nilai obat rusak atau kadaluarsa

Terjadinya obat rusak atau kadaluarsa mencerminkan ketidaktepatan

perencanaan, dan/atau kurang baiknya sistem distribusi, dan/atau kurangnya

pengamatan mutu dalam penyimpanan obat dan/atau perubahan pola penyakit.

13. Ketepatan distribusi obat

Kesesuaian waktu antara distribusi dan penggunaan obat di unit pelayanan

sangat penting artinya bagi terlaksananya pelayanan kesehatan yang bermutu.

Ketepatan distribusi obat adalah penyimpangan jumlah unit pelayanan kesehatan

yang harus dilayani (sesuai rencana distribusi) dengan kenyataan yang terjadi serta

selisih waktu antara jadwal pendistribusian obat dengan kenyataan.

14. Persentase penyimpangan jumlah obat yang didistribusikan

Obat yang didistribusikan adalah sebesar stok optimum dikurangi dengan sisa

stok di unit pelayanan kesehatan. Sedang stok optimum sendiri merupakan stok kerja

selama periode distribusi ditambah stok pengaman.

15. Rata-rata waktu kekosongan obat

Persentase rata-rata waktu kekosongan obat dari obat indikator

menggambarkan kapasitas sistem pengadaan dan distribusi dalam menjamin

Universitas Sumatera Utara


kesinambungan suplai obat. Waktu kekosongan obat adalah jumlah hari obat kosong

dalam waktu satu tahun.

16. Ketepatan waktu LPLPO

LPLPO yang merupakan sumber data pengelolaan obat sangat penting artinya

sebagai bahan informasi pengambilan kebijakan pengelolaan obat. Salah satu syarat

data yang baik adalah tepat waktu Ketepatan waktu pengiriman LPLPO adalah

jumlah LPLPO yang diterima secara tepat waktu dibandingkan dengan jumlah

seluruh LPLPO yang seharusnya diterima setiap bulan.

17. Kesesuaian ketersediaan obat program dengan kebutuhan

Obat yang disediakan untuk keperluan program biasanya diadakan oleh pusat

dengan tidak memperhitungkan jumlah kebutuhan yang ada didaerah. Sehingga

seringkali jumlahnya tidak sesuai dan menyebabkan terjadi penumpukan yang akan

menyebabkan obat menjadi rusak atau kadaluarsa. Kesesuaian ketersediaan obat

program dengan jumlah kebutuhan adalah kesesuaian jumlah obat program yang

tersedia di instalasi Farmasi dengan kebutuhan untuk sejumlah pasien yang

memerlukan obat programtersebut.

18. Kesesuaian permintaan obat

Sebagian kebutuhan obat-obatan di tingkat kabupaten/kota dapat dipenuhi

oleh obat dari berbagai sumber. Ada kalanya permintaan dari kabupaten/kota tidak

sesuai dengan obat yang tersedia.Kesesuaian Pemenuhan Obat adalah perbandingan

antara jumlahpermintaan yang diajukan oleh kabupaten/kota dengan jumlah yang

dapat dipenuhi oleh obat dari berbagai sumber.

Universitas Sumatera Utara


2.5 Kerangka Pikir

Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut
ini :
Perencanaan
a. Tahap Pemilihan Obat
b. Tahap Kompilasi Pemakaian Obat
c. Perhitungan Kebutuhan Obat
d. Proyeksi Kebutuhan Obat

Pengadaan
a. Pemilihan Metode Pengadaan Obat
b. Penentuan Waktu Pengadaan dan
Kedatangan Obat
Supervisi dan Evaluasi

c. Penerimaan dan Pemeriksaan Obat

Penyimpanan
a. Pengaturan Tata Ruang
b. Penyusunan Stok Obat
c. Pencatatan dan Pelaporan Stok Obat
d. Pengamanan Mutu Obat

Pendistribusian
a. Mekanisme Pendistribusian Obat
b. Unit-unit Pendistribusian Obat
c. Pengamanan Mutu Obat

Gambar 2.1 Manajemen Pengelolaan Obat

Universitas Sumatera Utara


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan masalah

dilakukan dengan analisis deskriptif yaitu mendapatkan informasi secara mendalam

mengenai Manajemen Pengelolaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Tahun 2016. Menurut Bungin (2010), penelitian kualitatif adalah penelitian yang

memandang bahwa makna adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman

seseorang dalam kehidupan sosialnya bersama orang lain. Makna bukan sesuatu yang

lahir di luar pengalaman objek penelitian atau peneliti, akan tetapi menjadi bagian

terbesar dari kehidupan penelitian ataupun objek penelitian.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dengan

alasan lokasi ini masih memiliki permasalahan dalam manajemen pengelolaan obat.

Objek penelitiannya meliputi Dinas Kesehatan, Gudang Farmasi dan Puskesmas.

Waktu penelitian direncanakan akan dilakukan pada bulan April-Juni 2016.

Kegiatan dimulai dari survey awal, penelusuran bahan, pengambilan data hingga

penyajian hasil penelitian.

Universitas Sumatera Utara


3.3 Informan Penelitian

Informan adalah orang yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang

situasi dan kondisi mengenai fokus penelitian. Informan penelitian terbagi atas:

a. Informan kunci (key informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki

informasi pokok yang diperlukan. Adapun informan kunci pada penelitian ini

adalah: Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, Kepala Bidang

Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, Kepala Seksi

Bidang Kefarmasian Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, Kepala Gudang

farmasi dan dan Kepala Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe.

b. Informan utama yaitu mereka yang terlibat langsung dalam penggunaan obat.

Adapun informan utama dalam penelitian ini adalah Kepala Puskesmas dan

Staf Bagian Kefarmasian Puskesmas.

Adapun informan dalam penelitian ini antara lain:

Tabel 3.1 Informan dalam Penelitian

No. Sumber Informan Informasi yang ingin


Instansi diperoleh
1 Dinas - Kepala Dinas Kesehatan - Kebijakan Manajemen
Kesehatan Kota Lhokseumawe Pengelolaan Obat
- Kepala Bidang Pelayanan - Pelayanan kesehatan
Kesehatan Dinas yang memanfaatkan obat
Kesehatan Kota
Lhokseumawe
- Kepala Seksi Kefarmasian - Proses manajemen
Dinas Kesehatan Kota pengelolaan obat
Lhokseumawe

Universitas Sumatera Utara


Tabel 3.1 (Lanjutan)

2 Puskesmas - Kepala Puskesmas dan - Prosedur pemanfaatan


Staf Bagian Kefarmasian obat di tingkat
Puskesmas Banda Sakti Puskesmas
- Kepala Puskesmas dan - Prosedur pemanfaatan
Staf Bagian Kefarmasian obat di tingkat
Puskesmas Blang Cut Puskesmas

3.4 Instrumen Penelitian

Jenis penelitian kualitatif dengan instrumen utama adalah peneliti sendiri

dengan menggunakan alat bantu : panduan wawancara, tape recorder, perekam

gambar dan buku catatan.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah :

a. Metode Pengumpulan Data Primer yaitu:

1) Wawancara mendalam yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan

dengan tanya-jawab secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait secara

mendalam tentang pengetahuan manajemen pengelolaan obat.

2) Observasi yaitu metode pengumpulan data dengan melakukan pengamatan

langsung terhadap sejumlah acuan yang berkenaan dengan topik di lokasi

penelitian, dimana data yang diambil adalah laporan pemakaian dan

penggunaan obat bulanan selama setahun.

Universitas Sumatera Utara


b. Metode pengumpulan data sekunder yaitu :

1) Dokumentasi yaitu metode pengumpulan data dengan menggunakan catatan-

catatan atau dokumen yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain

yang relevan dengan obyek penelitian.

2) Studi literatur yaitu metode pengumpulan data dengan menggunakan berbagai

literatur seperti buku, majalah, jurnal dan laporan penelitian lainnya.

3.6 Definisi Konsep

1) Manajemen pengelolaan obat adalah serangkaian kegiatan dalam rangka

memenuhi kebutuhan obat yang terdiri atas perencanaan, pengadaan,

penyimpanan, pendistribusian dan pengawasan obat.

2) Perencanaan obat adalah serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam

menentukan jenis dan jumlah obat yang dibutuhkan pelayanan kesehatan pada

kurun waktu tertetu.

3) Pengadaan obat adalah serangkaian kegiatan untuk menyediakan jenis dan

jumlah obat yang dibutuhkan pelayanan kesehatan.

4) Penyimpanan obat adalah serangkaian proses yang dilakukan untuk

menempatkan obat secara benar dan memudahkan proses pengambilan

pelayanan kesehatan.

5) Pendistribusian adalah serangkaian kegiatan untuk menyalurkan obat dari

gudang farmasi ke Puskesmas ataupun dari Puskesmas ke unit-unit pelayanan

kesehatan.

Universitas Sumatera Utara


6) Pengawasan obat adalah proses pemantauan pelaksanaan obat di lapangan,

dalam rangka memastikan realisasi sesuai dengan rencana yang sudah dibuat.

7) Sarana/Prasarana adalah alat yang digunakan petugas dalam mendukung

manajemen obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.

8) Sumber daya manusia adalah kemampuan tenaga kesehatan dalam manajemen

obat di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.

9) Sumber daya keuangan adalah potensi uang yang dimiliki oleh Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe dalam mendukung proses manajemen obat di

Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

3.7 Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul dari hasil wawancara mendalam selanjutnya dibuat

dalam bentuk transkrip, kemudian disederhanakan dalam bentuk matriks. Matriks ini

kemudian dicari kata kuncinya. Uji keabsahan dilakukan dengan teknik triangulasi

data (Bungin, 2010).

Proses triangulasi yaitu dengan melakukan crosscheck. Crosscheck yang

dilakukan terdiri dari crosscheck data, observasi dan telaah dokumen. Kemudian

dilakukan triangulasi sumber yaitu crosscheck dengan informan lain dengan

melibatkan teman sejawat yang tidak ikut dalam penelitian ini untuk menelaah

validitas data. Proses triangulasi dilakukan secara terus-menerus sepanjang proses

mengumpulkan data dan analisis data, sampai suatu saat peneliti yakin bahwa sudah

Universitas Sumatera Utara


tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dan tidak ada lagi yang perlu dikonfirmasi kepada

informan.

3.8 Metode Analisa Data

Pengolahan data yang diperoleh adalah dengan menggunakan analisis isi

(Content Analysis) dari hasil wawancara mendalam yang kemudian disajikan dalam

bentuk narasi. Hasil catatan wawancara lapangan akan disempurnakan penulisannya

serta dilengkapi dengan mengkroscek hasil rekaman agar catatan menjadi lengkap.

Hal ini dilakukan untuk menjaga keakuratan dan kelengkapan informasi.

Setelah itu dalam memudahkan analisis, akan dibuat matriks berdasarkan

masing-masing hasil wawancara. Dengan menggunakan teknik analisis isi,

berpedoman terhadap transkrip dan matriks dibuat laporan hasil penelitian. Matriks

sangat membantu dalam menetapkan kategori jawaban informan.

Adapun proses teknik analisis data, yaitu: proses analisis data dimulai dengan

menelaah seluruh data yang tersedia dari hasil wawancara, catatan lapangan dan

dokumen. Setelah itu, mereduksi data dengan cara membuat rangkuman, memilih hal-

hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, untuk pencarian tema dan

pola data (inti dan proses pernyataan-pernyataan informan).

Kemudian, interpretasi data hasil reduksi. Setelah data direduksi, maka

langkah berikutnya adalah interpretasi data dengan menyajikan data dalam bentuk

teks yang bersifat naratif. Dan terakhir adalah penarikan kesimpulan.

Universitas Sumatera Utara


BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Letak dan Batas Wilayah

Kota Lhokseumawe terletak pada garis 960 20’-970 21’ Bujur Timur dan 040

54’-050 18’ Lintang Utara dengan luas wilayah 181.06 Km2. Secara geografis Kota

Lhokseumawe berbatasan dengan wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat malaka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta Makmur (Aceh Utara)

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Syamtalira Bayu (Aceh Utara)

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Dewantara (Aceh Utara).

Kota Lhokseumawe terdiri dari 68 (enam puluh delapan) desa dan 4 (empat)

Kecamatan antara lain : Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, Kecamatan

Muara Satu dan Kecamatan Blang Mangat.

Penggunaan lahan terbesar di Kota Lhokseumawe adalah untuk pemukiman

seluas 10.877 ha atau sekitar 60% dari luas yang ada. Kebutuhan lahan yang

meNo.njol adalah untuk usaha kebun campuran 4.590 ha atau sekitar 25,35%, di

samping untuk kebutuhan persawahan seluas 3.747 ha atau sekitar 21%. Untuk

kebutuhan perkebunan rakyat telah dimanfaatkan seluas 749 ha atau sekitar 4% dan

untuk lain–lainnya. Kegiatan ekonomi yang berlangsung di kota ini adalah industri

Universitas Sumatera Utara


dan perdagangan, dimana perdagangan merupakan sektor yang utama, terutama pada

transaksi jual beli kebutuhan sehari-hari.

4.1.2 Data Demografi

a. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk.

Jumlah penduduk Kota Lhokseumawe tahun 2015 sebesar 181.976 jiwa.

Jumlah penduduk laki-laki 90.691 dan perempuan 91.285 dengan sex ratio 99,35

(BPS Lhokseumawe, 2015). Sementara jumlah penduduk setiap kecamatan dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk menurut Kecamatan


Kota Lhokseumawe Tahun 2015

Kecamatan Jumlah penduduk

Banda Sakti 80.769

Muara Dua 48.699

Muara Satu 34.229

Blang Mangat 23.758

Total 181.976

Sumber : BPS Kota Lhoksuemawe, 2015

b. Kepadatan dan Penyebaran Penduduk

Kepadatan penduduk tahun 2015 di Kota Lhokseumawe adalah 1.005/Km2.

Bila kepadatan penduduk dilihat untuk setiap kecamatan Banda Sakti merupakan

kecamatan dengan tingkat tertinggi kepadatan tertinggi yaitu 6.963 per/Km2,

sedangkan yang paling jarang yaitu kecamatan Blang Mangat dengan tingkat

Universitas Sumatera Utara


kepadatan penduduk 411 per/Km2. Kepadatan penduduk Kota Lhokseumawe menurut

Kecamatan tahun 2015 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.2. Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan


Kota Lhokseumawe Tahun 2015

Kepadatan Penduduk/Km2
Kecamatan
2014 2015

Banda Sakti 6880 6963

Muara Dua 626 818

Muara Satu 484 596

Blang Mangat 374 411

Sumber : BPS Kota Lhokseumawe, 2015

Kepadatan penduduk dipengaruhi oleh besarnya wilayah pada masing-masing

kecamatan, kepadatan penduduk merupakan indikator dalam melihat beberapa

kondisi kesehatan sekarang dan yang akan muncul terutama kondisi kesehatan

lingkungan yang berkaitan dengan ketersediaan air, sisten pembuangan air limbah

dan sampah keluarga.

4.2 Visi dan Misi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Visi Dinas Kesehatan Kota Lhoksuemawe tahun 2012-2017 adalah

Menjadikan Masyarakat Kota Lhokseumawe Sehat Secara Mandiri dan Islami.

Sedangkan Misi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe yaitu :

Universitas Sumatera Utara


1) Memberikan Prioritas pada Program Kesehatan Keluarga

2) Memandirikan Masyarakat untuk Hidup Sehat

3) Meningkatkan Profesionalisme Sumber Daya Manusia Kesehatan

4) Meningkatkan Prasarana dan Sarana Kesehatan

5) Menjaga Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan

Dalam pembangunan kesehatan pemerintah Kota Lhokseumawe menyediakan

pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau dan berkualitas. Dengan demikian perlu

disediakan tenaga kesehatan yang berkualitas, sarana fisik dan peralatan kesehatan,

obat-obatan dan kebutuhan lainnya untuk mendukung kegiatan promosi kesehatan

yang berpihak kepada masyarakat.

4.3 Derajat Kesehatan Kota Lhokseumawe

a. Mortalitas

Kejadian kematian suatu kelompok populasi mencerminkan kondisi kesehatan

masyarakat. Keberhasilan pelayanan kesehatan dan berbagai program pembangunan

kesehatan lainnya juga dapat diukur melalui tingkat kematian yang ada.

Infant Mortality Rate (IMR) atau Angka Kematian Bayi dan Mother Mortality

Rate (MMR) atau Angka Kematian Ibu merupakan salah satu indikator yang paling

sensitif untuk menentukan derajat kesehatan. IMR Kota Lhokseumawe sebesar

46/3.888 x 1000, sementara IMR nasional sebesar 35/1.000 lahir hidup. MMR Kota

Lhokseumawe sebesar 4/3.888 x 100.000 kelahiran hidup.

Universitas Sumatera Utara


b. Umur Harapan Hidup (UHH)

Rata-rata umur harapan hidup Kota Lhokseumawe adalah 70 (tujuh puluh)

tahun. Upaya untuk meningkatkan UHH menjadi 70 tahun merupakan hal penting

yang perlu dicermati melalui upaya-upaya peningkatan program yang berdampak

pada tingkat kesejahteraan masyarakat seperti penurunan resiko kesakitan pada

keluarga rentan, trend penyakit degeneratif dan tidak menular serta peningkatan

kesehatan kelompok usia lanjut yang hidup produktif dan mandiri.

c. 10 (sepuluh) Penyakit Terbanyak di Puskesmas Kota Lhokseumawe

Berdasarkan rekapitulasi laporan SP2TP Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

pada tahun 2015 dapat diketahui daftar 10 (sepuluh) penyakit yang sering ditangani di

Puskesmas Kota Lhokseumawe.

Series1; Batuk
& Pilek; 57.733

Series1; Series1;
Series1; ISPA; Series1;
Peny.jarPeny.lambung;
otot;
20.530 Hipertensi;Series1;
18.125 16.699
14.465 Diabetes
Melitus;Series1;
9.814 Alergi;
Series1; Diare;
Series1; Infeksi
6.341 6.011 Series1; Tukak
Kulit; 3.157 2.630
lambung;

Grafik 4.1. 10 (sepuluh) Penyakit Terbanyak di Puskesmas


Kota Lhokseumawe Tahun 2015
Sumber : S2TP Dinkes Lhokseumawe, 2015

Dari data tersebut di atas diketahui bahwa penyakit batuk dan pilek

merupakan penyakit umum yang diderita oleh masyarakat yang tersebar di

Universitas Sumatera Utara


Puskesmas Kota Lhokseumawe. Sementara infeksi kulit dan tukak lambung

merupakan penyakit yang sedikit jumlahnya.

4.4 Sumber Daya Kesehatan Kota Lhokseumawe

a. Puskesmas

Sarana kesehatan meliputi Puskesmas, Rumah Sakit, sarana Upaya Kesehatan

Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sarana produksi dan distribusi farmasi dan alat

kesehatan dan institusi pendidikan tenaga kesehatan. Tahun 2014 Puskesmas yang

ada di Kota Lhokseumawe berjumlah 6 unit dengan pembagian rawat inap 1 unit dan

puskesmas No.n rawat inap 5 unit.

b. Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan merupakan bagian terpenting didalam peningkatan

pelayanan kesehatan di Kota Lhokseumawe. Kualitas menjadi faktor utama yang

harus terus mendapatkan perhatian oleh pemerintah daerah dan pusat. Peningkatan

harus menjadi prioritas utama mengingat tenaga kesehatan saat ini belum sepenuhnya

berpendidikan D-III maupun S-1, sedangkan yang berpendidikan SPK/sederajat

minim terhadap pelatihan teknis.

Universitas Sumatera Utara


Series1; Tenaga
Farmasi; 21
Series1; Tenaga
Gizi; 16
Series1;
Kesehatan
Lingkungan;
Series1; 8
Perawat Gigi; 8
Series1; Bidan;
235
Series1;
Perawat; 179
Series1; Dokter
Gigi; 9
Series1; Dokter
Umum; 17

Grafik 4.2. Jumlah Tenaga Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2015


Sumber : Bidang Sarprakes Dinkes Kota Lhokseumawe 2015

Dari tersebut di atas dapat diketahui bahwa jenis ketenagaan kesehatan di kota

Lhokseumawe masih belum memenuhi standar tenaga kesehatan berdasarkan

undang-undang No.36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan disebutkan bahwa

tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga akan

terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi

pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi.

Universitas Sumatera Utara


4.5 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini dapat diketahui pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3. Informan Penelitian


No. Nama JK Umur Jabatan
1 dr. Said Alam Zufikar L 42 Kadinkes Kota Lhokseumawe
2 dr. Lasmita NH P 51 Kabid Pelayanan Kesehatan
3 Eva Susanti, Apt P 32 Ka. Seksi Kefarmasian dan
Ka. Gudang Farmasi
4 Nanda S, SKM, MSM L 45 Ka. Puskesmas Banda Sakti
5 Zuheri, S.Kep, M.Kes P 40 Ka. Puskesmas Blang Cut
6 Nurhayati, AMF P 32 Pengelola Obat PKM Banda Sakti
7 Yusmalinda, AMF P 30 Pengelola Obat PKM Blang Cut
Sumber : Data terolah 2016

4.6 Perencanaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Berikut adalah hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe dan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dalam proses perencanaan

obat pada Dinas Kesehatan Lhokseumawe :

“Waalaikumsalam.. Syukur Alhamdulilah kita bisa bertemu


kembali pak Mukhlis dalam rangka wawancara perencanaan
obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe. Seperti kita ketahui
bahwa perencanaan obat ditingkat Kabupaten tetap mengacu
pada peraturan menteri kesehatan dan peraturan terkait lainnya
termasuk peraturan pak Walikota. Dalam hal perencanaan obat
ini, kita mengawalinya dengan membentuk tim perencana obat
yang ditetapkan melalui keputusan Walikota. Nah..susunan tim
tersebut terdiri dari dokter puskesmas, kepala puskesmas, kasie
farmasi, kabid yankes dan kadinkes. Masing-masing mempunyai
peran dan tanggungjawab yang berbeda. Dalam setahun minimal
satu kali diadakan pertemuan, biasanya awal tahun..
Kemudian dalam hal perencanaan obat, Dinas kesehatan selalu
berpatokan dari laporan pemakaian dan sisa obat dari
Puskesmas termasuk sisa persediaan atau buffer stok yang masih

Universitas Sumatera Utara


ada di Gudang farmasi. Untuk itu saya selalu menginstruksikan
kepada kepala puskesmas agar aktif memberikan laporan
pemakaian obat dan hal-hal apa saja masalah yang dihadapi.
Namun...masih ada juga puskesmas yang terlambat mengirimkan
laporannya... ”(Kadinkes).

Berikut ini hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan

Kota Lhokseumawe seputar perencanaan obat dapat diketahui sebagai berikut :

“Waalaikumsalam.. Baik pak..pertama kami jelaskan bahwa


perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe ini
memang merupakan kewenangan kami sebagai pelaksana
pengadaan obat, namun dalam proses perencanaannya kami
melibatkan semua pihak terutama dokter dan kepala puskesmas.
Setiap awal tahun diadakan pertemuan membahas perencanaan
obat.. Tahap awal perencanaan obat di mulai dari pemilihan obat
dimana setiap obat yang diusulkan dari puskesmas harus benar-
benar sesuai pola penyakit dan jumlah penduduk setempat, dan
harus berdasarkan DOEN dan Fornas, walaupun masih ada
beberapa jenis yang tidak ada pada daftar DOEN.. Selanjutnya
tahap kompilasi dimana kami melihat rata-rata pemakaian obat
di puskesmas dalam setahun, tahap berikutnya yaitu kami
menghitung berapa obat yang harus disediakan, biasanya kami
menggunakan pola konsumsi. Selama ini kami telah berupaya
menjalankan tahapan perencanaan obat dengan sebaik-baiknya
dikarenakan ketersediaan obat di puskesmas menjadi prioritas
dinkes untuk menjawab keluhan masyarakat selama ini.. namun
tidak semua berjalan dengan baik, salah satu faktor penyebabnya
Puskesmas belum melaksanakan perencanaan yang baik,
ketepatan dan kebenaran data LPLPO Puskesmas belum
menunjukan kebutuhan optimum, selain itu tanggungjawab
kepala puskesmas yang cukup banyak seringkali menyebabkan
perencanaan obat di Puskesmas terbengkalai..”(Kabid Yankes).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala

Gudang terkait dengan perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Universitas Sumatera Utara


dapat diketahui dari rangkuman wawancara berikut :

“Wa’alaikumsalam..terkait dengan perencanaan obat di Dinas


Kesehatan kota Lhokseumawe, menurut kami pelaksanaannya
masih belum maksimal. Salah satu penyebabnya yaitu kurangnya
koordinasi antara tim perencana obat yang telah dibentuk. Rapat
perencanaan obat paling Cuma sekali di awal tahun saja. Saya
sebagai kasie kefarmasian hanya melakukan kompilasi data
pemakaian obat dari semua Puskesmas berdasarkan LPLPO..
kemudian menyiapkan daftar harga berbagai jenis obat,
menyiapkan daftar obat yang akan diterima pada tahun berjalan,
daftar sisa obat dari puskesmas. pokoknya tugas saya banyak pak..
Nah, selanjutnya kami serahkan kepada kabid pelayanan kesehatan
sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan obat..”(Kasie
Kefarmasian dan Ka. Gudang).

Berikut ini hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti terkait

perencanaan obat di Puskesmas :

“Waalaikumsalam.. Baik pak, jadi tentang perencanaan obat pak,


kami sampaikan bahwa untuk perencanaan obat di puskesmas
kami harus menunggu surat keputusan Walikota tentang
pembentukan tim perencanaan obat karena itu sebagai dasar
kami merencanakan obat. Di Puskesmas kami menggunakan
LPLPO yang setiap bulan kami kirim laporan ke Dinkes.. Obat
yang sudah kami pakai dan laporan obat yang masih tersisa.
Semua data pemakaian obat ini berasal dari semua unit
pelayanan, termasuk Pustu, Polindes. Walaupun masih sering
terlambat data laporan tersebut. Ada masalah sedikit pak,
kadang-kadang obat yang kami rencanakan tidak semua bisa
diakomodir oleh Dinkes, jumlah yang dikirim juga tidak sesuai
dengan permintaan, sehingga masih terjadi kekosongan obat
untuk jenis-jenis tertentu. Misalkan saja bulan ini, kami
kekurangan stok PCT Tablet.. Belum lagi obat yang dikirim masa
kadaluarsa yang sudah dekat, ada yang 1 bulan, 3 bulan, hal ini
menjadi permasalahan perencanaan obat untuk Puskesmas
kami..”(Kapus Banda Sakti).

Universitas Sumatera Utara


Berikut ini hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Blang Cut terkait

perencanaan obat di Puskesmas :

“Walaikumsalam pak.. Dalam hal merencanakan obat pak kami


percayakan kepada pengelola obat bekerjasama dengan dokter.
Kami hanya menerima laporan saja setelah direkap oleh petugas
obat kami. Maaf ya pak, tanggungjawab kami ini cukup banyak
jadi untuk obat kami sudah berikan kepercayaan kepada staf yang
lain”(Kapus Blang Cut).

Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat dianalisis perencanaan obat

di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe sebagai berikut:

4.6.1 Tahap Pemilihan atau Seleksi Kebutuhan Obat

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa perencanaan

obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe diawali dengan pembentukan Tim

Perencanaan Obat. Kemudian dilakukan proses perencanaan pemilihan dan

kebutuhan obat dengan mempertimbangkan pola penyakit dan pola konsumsi obat

periode sebelumnya. Proses seleksi juga mengacu pada Daftar Obat Esensial

Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional (Fornas), walaupun masih ada

beberapa jenis obat yang dipilih tidak berdasarkan DOEN dan Fornas.

4.6.2 Tahap Kompilasi Obat

Proses perencanaan kebutuhan Obat per tahun dilakukan secara berjenjang.

Puskesmas menyediakan data pemakaian Obat setiap bulan dengan menggunakan

Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Selanjutnya Instalasi

Farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe melakukan kompilasi pemakaian obat

Universitas Sumatera Utara


dengan cara menjumlahkan pemakaian setiap jenis obat dari masing-masing

Puskesmas.

4.6.3 Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa perhitungan

kebutuhan obat menggunakan metode konsumsi dengan cara analisis data,

perhitungan perkiraan kebutuhan obat dan disesuaikan dengan anggaran yang

tersedia.

4.7 Pengadaan Obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Untuk mengetahui proses pengadaan obat pada Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe maka dapat diketahui dari rangkuman wawancara berikut ini :

“Untuk pengadaan obat pada Dinas Kesehatan Kota


Lhokseumawe berdasarkan pada peraturan Menteri Kesehatan
No..63 tahun 2014 tentang pengadaan obat berdasarkan katalog
elektronik. Nah..dalam pelaksanaannya saya sudah mengnunjuk
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan sebagai Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) untuk menetapkan daftar pengadaan obat
sesuai kebutuhan dan ketersediaan anggaran. Selanjutnya
diusulkan kepada ULP pada sekretariat Walikota Lhokseumawe
untuk diadakan Pengadaan dengan metode e-
purchasing”(Kadinkes).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan

terkait dengan Pengadaan obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe sebagai

berikut :

“Kami sebagai PPK tentunya mempunyai tanggungjawab dalam


pengadaan obat. Kami selalu berupaya untuk meminimalisir
setiap kesalahan yang berpotensi merugikan keuangan negara.

Universitas Sumatera Utara


Selain itu kami juga harus memastikan ketersediaan obat di
Puskesmas. Tahap pengadaan yang kami lakukan pertama adalah
memilih metode pengadaan apakah melalui e-purchasing atau
secara manual (offline). Apabila ULP sudah menyetujui maka
kami membuat perjanjian kontrak dengan pihak rekanan. Dalam
perjanjian kontrak tersebut disebutkan waktu kedatangan obat
yang harus dituruti oleh pihak rekanan. Dinas Kesehatan
Lhokseumawe ini kita merencanakan kedatangan obat sekitar
bulan sebelas atau sebelum akhir tahun. Ya..kita juga mengalami
hambatan biasanya pihak rekanan kurang tepat waktu untuk
mengirimkan obat kepada kita. Hal terakhir yang dilakukan
dalam pengadaan obat ini adalah pemeriksaan obat yang sudah
diterima. Jadi sebelum saya menandatangani berita acara
penerimaan maka tim pemeriksa melakukan tugasnya untuk
memeriksa setiap item obat yang sudah diterima..”(Kabid
Yankes).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala

Gudang seputar pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe sebagai

berikut :

“Waalaikumsalam..tentang pengadaan obat kami memiliki


kewenangan sebatas penerimaan dan pemeriksaan obat. Jadi
setiap obat yang sudah sampai di Dinas Kesehatan kami
langsung memeriksanya terlebih dahulu. Hanya saja pak jujur
kami katakan bahwa seluruh item obat yang kami terima itu tidak
mungkin kami hitung satu persatu pada waktu itu, jumlahnya
banyak, tenaga pemeriksan juga sangat terbatas pak. Dan kami
tidak mempunyai alat untuk mempercepat penghitungan obat itu
pak. Jadi kemungkinan juga ada obat yang tidak sesuai dengan
permintaan, belum lagi obat yang kami terima banyak yang
hampir kadaluarsa..”(Kasie Kefarmasian dan Ka. Gudang).

Universitas Sumatera Utara


4.7.1 Pemilihan Pengadaan Obat

Pemilihan pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

dilaksanakan berdasarkan Peraturan Presiden No.4 Tahun 2015 tentang pengadaan

barang dan jasa Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian

secara e-purchasing dengan sistem e-catalgue.

4.7.2 Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat

Waktu pengadaan dan kedatangan obat di Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe dilakukan berdasarkan pada isi perjanjian kontrak antara

Distributor/PBF dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Dari hasil observasi

yang dilakukan diketahui bahwa waktu pengadaan dan kedatangan obat di Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe masih belum mengikuti ketepatan waktu seperti yang

disepakati pada isi perjanjian kontrak.

4.7.3 Penerimaan dan Pemeriksaan Obat

Pemeriksaaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilakukan pada

saat kedatangan obat di Gudang Farmasi, sementara pemeriksaan obat di Puskesmas

dilakukan pada saat penerimaan obat dari gudang farmasi kepada petugas obat

puskesmas.

Dari rangkuman wawancara tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe tidak berjalan sesuai dengan

ketentuan.

Universitas Sumatera Utara


4.8 Penyimpanan Obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dapat diketahui

dari rangkuman wawancara sebagai berikut :

“Logistik obat dan bahan habis pakai di Dinas Kesehatan Kota


Lhokseumawe disimpan di Gudang farmasi sehingga itu sudah
menjadi kewenangan Kepala gudang farmasi. Kalau saya sendiri
tidak begitu memantau situasi digudang farmasi. Hanya bila ada
masalah saya panggil kepala gudangnya untuk memberi petunjuk
memecahkan masalah. Sejauh ini kami melihat belum ada hal-hal
yang menghambat penyimpanan obat..”(Kadinkes).

Demikian halnya hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan

Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe terkait penyimpanan obat sebagai

berikut :

“Pertama-tama kami jelaskan terlebih dahulu bahwa ukuran


gudang penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe ini seluas ± 10x15 atau sekitar 150 m2, hal ini
belum memadai untuk menampung semua obat dinkes. Gudang
Farmasi terdiri dari beberapa buah rak/lemari, lemari pendingin,
lemari khusus untuk obat narkotika, ac, dan kipas angin, serta
pompa air. Sementara untuk metode penyusunan obatnya
menerapkan prinsip FIFO dan FEFO. Karena keterbatasan
ruangan prinsip ini belum berjalan dengan baik, obat rusak atau
kadaluarsa sudah dipisahkan dengan obat yang masih bagus.
Sedangkan untuk pencatatan kartu stok obat jujur saja ya, ini
belum dijalankan dengan baik. Kami juga tidak mau
menyalahkan staf gudang karena jumlah SDM terbatas. Demikian
juga laporan penyimpanan obat belum berjalan sesuai dengan
waktu yang ditentukan. Nah..untuk pengamanan mutu obat
tentunya harus diperiksa satu persatu, jadi hal itu belum
dilakukan untuk semua jenis obat. Biasanya laporan kerusakan
obat kami terima dari Puskesmas bilamana obat yang diterima
sudah rusak atau kadaluarsa..”(Kabid Yankes).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala

Gudang terkait penyimpanan obat di gudang farmasi sebagai berikut :

“Kegiatan penyimpanan obat dilaksanakan setelah obat diterima


lengkap oleh Dinas Kesehatan yang dibuktikan dengan berita
acara penerimaan obat. Jadi pak..obat yang kami simpan itu
sudah melalui tahap pemeriksaan, apabila belum lengkap maka
kami tidak menyimpannya namun kami kembalikan kepada
distributornya. Nah, terkait dengan keadaan penyimpanan kita
memang masih belum memadai. Luas gudang ini belum cukup
untuk menyimpan obat-obatan dan bahan habis pakai. Sehingga
kami letakkan di lantai dan kami tumpuk, dan sebagain kami
tempatkan dibagian kantor administrasi gudang. Hal yang paling
mengganggu ini pak saat listrik padam, nah itukan bisa
mempengaruhi suhu dalam gudang penyimpanan dan bisa
menyebabkan kerusakan obat. Sementara untuk kartu stok obat
yah, bapak bisa lihat sendiri masih banyak yang kosong, ini
disebabkan keterbatasan SDM pak. Untuk prinsip penyimpanan
kami rotasi dengan sistem FIFO dan FEFO, untuk bentuk sediaan
kami susun berdasarkan alfabeti, tetapi tidak semua jenis obat
kami terapkan, hanya obat tertentu saja pak. Obat yang rusak
dan kadaluarsa sudah kami pisah pak, jumlahnya banyak, ada
yang udah dari tahun lalu belum dilakukan penghapusan barang.
Barang yang baru datang juga banyak yang hampir kadaluarsa
pak, butuh dana untuk kirim balik. emang agak susah dengan
rekanan sekarang pak, belum lagi pihak Puskesmas tidak mau
terima kalau obat yang hampir kadaluarsa. Untuk pengamanan
mutu obat tidak dilakukan secara khusus, tetapi kami lihat
rusak/expired ketika ingin menyerahkan ke Puskesmas. ”(Kasie
Kefarmasian dan Ka. Gudang).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti terkait

penyimpanan obat di Puskesmas sebagai berikut :

“Sesuai dengan pertanyaan bapak tentang penyimpanan obat di


Puskesmas maka kami mencoba menjawabnya. Di puskesmas kita

Universitas Sumatera Utara


ini sudah ada gudang penyimpanan obat. Namun luasnya kurang
memadai sehingga seringkali obat yang tidak bisa muat dalam
gudang kami simpan diruangan lain. Saya sudah instruksikan
pengelola obat agar obat-obat yang diterima dari gudang farmasi
agar disimpan dengan baik sesuai prinsip FIFO dan FEFO.
Hanya saja kadangkala instruksi saya ini tidak dijalankan. Kalau
pencatatan stok obat, bapak bisa lihat sendiri di gudang kalau
kartu stok obat yang jarang diisi. Inilah salah satu kelemahan
kita pak..”(Kapus Banda Sakti).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Pengelola Obat Puskesmas Banda Sakti

terkait penyimpanan obat di puskesmas sebagai berikut :

“Waalaikumsalam pak, Sebagai pengelola obat di Puskesmas


Banda Sakti maka kami mempunyai tanggungjawab untuk
menyimpan obat dengan baik. Obat yang kami terima dari dinkes
kami periksa semuanya satu persatu, tapi tidak langsung hari
terima barang, kalau ada yang kurang atau kadaluarsa saya
cuma lapor kapus, selebihnya urusan kapus. Untuk prinsip
penyimpanan kami rotasi dengan sistem FIFO dan FEFO, untuk
bentuk sediaan kami susun berdasarkan alfabeti, tetapi tidak
semua jenis obat kami terapkan, hanya obat yang sering kami
pakai pak. Untuk jenis vaksin kami simpan di kulkas di ruang
KIA, Obat yang kadaluarsa juga sudah kami pisah, menunggu
waktu yang tepat untuk dikembalikan ke dinkes. Untuk pencatatan
dan pelaporan stok obat belum semuanya terisi pak, karena
keterbatasan SDM pak, soalnya saya terlibat juga di apotik untuk
membantu pelayanan farmasi..”(Pengelola obat PKM Banda
Sakti).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Blang Cut tentang

penyimpanan obat di Puskesmas dapat diketahui sebagai berikut :

“Tentang penyimpanan obat di Puskesmas Blang Cut ini kami


sudah jalankan pak, karena kami menganggap hal ini sangat
penting dan merupakan tanggungjawab kami untuk

Universitas Sumatera Utara


melaksanakannya. Namun pak kalau ditanya bagaimana
hasilnya, terus terang itu belum maksimal. Contohnya gudang
penyimpanan obat di puskesmas belum layak. Selain ukurannya
kecil fasilitas atau alat penyimpanannya terbatas. Hal yang
paling bermasalah itu pak..di puskesmas kita ini sering padam
lampu PLN sehingga penyimpanan obat menjadi terganggu.
Untuk kartu stok saya pikir kita sama-sama tahu pak bahwa itu
sulit untuk dilakukan setiap hari..karena obat yang sudah dipakai
diapotik biasanya tidak dilaporkan kepada pengelola obat pada
hari itu juga. Soal keamanan obat itu juga masih belum maksimal
pak. Untuk obat yang kadaluarsa sudah saya suruh pisah pak,
saya juga bilang ke orang dinkes agar barang yang hampir
kadaluarsa jangan lagi dikasi kami. Fasilitas pendukungnya
masih terbatas terutama SDM kita di Puskesmas yang terbatas
juga pak.”(Kapus Blang Cut).

Hasil wawancara dengan Pengelola Obat Puskesmas Blang Cut terkait dengan

penyimpanan obat di Puskesmas dapat diketahui sebagai berikut :

“Waalaikumsalam pak, untuk penyimpanan obat di puskesmas ini


sudah disediakan satu gudang yang khusus untuk menyimpan
obat. Penyimpanan obat disusun dirak dan sebagian dilantai
karena raknya kurang. Tidak semua obat kami susun dirak,
karena hanya obat-obat yang sering dibutuhkan saja yang kami
susun. Pengaturan dengan cara FIFO dan FEFO, sediaan kami
susun alfabetis supaya mudah ngambil, obat sirup, salep juga
dipisah, kami atur sesuai ukuran tempat. Sementara untuk obat-
obat yang rusak atau kadaluarsa sudah kami pisah. Untuk
pencatatan kartu stok masih belum lengkap pak, saya akui itu
butuh perhatian khusus..”(Pengelola obat PKM Blang Cut).

4.8.1 Pengaturan Tata Ruang

Dari hasil wawancara dengan informan dapat dijelaskan bahwa tata ruang

penyimpanan obat di gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe masih

Universitas Sumatera Utara


disimpan dalam satu ruangan dan tidak ada sekat-sekat (gabungan), sementara sistem

arah arus gudang obat mengikuti arus lurus. Untuk rak penyimpanan obat

menggunakan bahan dari kayu dan sebagian besi, namun tidak semua obat dapat

diletakkan diatas rak karena keterbatasan jumlah raknya. Penyimpanan obat-obatan

golongan khusus seperti vaksin dan golongan narkotika disimpan dilemari khusus.

Hal lain yang belum dilengkapi pada gudang penyimpanan obat di Dinas Kesehatan

Kota Lhokseumawe dan Puskesmas adalah tabung pemadaman kebakaran.

4.8.2 Penyusunan Stok Obat

Berdasarkan keterangan informan tentang penyusunan obat di gudang obat

Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dijelaskan bahwa prinsip penyusunan obat

yang digunakan selama ini adalah menggunakan prinsip FIFO dan FEFO, bentuk

sediaan di susun berdasarkan alfabetis, tetapi tidak terapkan untuk semua jenis obat-

obatan. Obat yang rusak dan kadaluarsa sudah di pisah. Sementara dari hasil

observasi yang dilakukan secara langsung diketahui bahwa tidak semua obat di

gudang penyimpanan obat mengikuti penyusunan dengan prinsip FIFO dan FEFO.

Masih terdapat obat-obatan yang belum disusun dengan baik dan teratur sehingga

menyebabkan penumpukan obat di satu tempat.

4.8.3 Pencatatan dan Pelaporan Stok Obat

Pencatatan dan pelaporan stok obat di gudang farmasi dan puskesmas Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe telah dilaksanakan. Namun tidak semua jenis obat

dicatat dalam kartu stok obat. Hal ini disebabkan karena petugas farmasi Dinas

Kesehatan dan Puskesmas belum membuatnya. Berdasarkan observasi yang

Universitas Sumatera Utara


dilakukan digudang farmasi diketahui bahwa pencatatan dan pelaporan pada kartu

stok obat belum terisi secara rutin, masih terdapat kartu stok yang tidak diisi

sehingga kondisi obat di gudang farmasi dan gudang puskesmas tidak dapat

diketahui dengan jelas.

4.8.4 Pengamanan Mutu Obat

Pengamanan mutu obat di gudang farmasi dan gudang penyimpanan obat di

Puskesmas Kota Lhokseumawe diketahui bahwa obat-obat di gudang farmasi dan

gudang penyimpanan obat di puskesmas dilakukan apabila terdapat jenis obat yang

sudah rusak.

Dari hasil wawancara dengan informan di atas maka dapat disimpulkan

bahwa manajemen pengelolaan obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan

Puskesmas masih belum mengikuti ketentuan dan tahapan-tahapan terutama dalam

hal penyimpanan obat yang baik.

4.9 Pendistribusian Obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Untuk mengetahui pendistribusian obat pada Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe dapat diketahui dari hasil wawancara sebagai berikut:

“Kegiatan pendistribusian obat merupakan tanggungjawab


kepala gudang farmasi bekerjasama dengan kepala puskesmas.
Untuk jadwal pendistribusian obat terbagi 2 yaitu distribusi rutin
dan distribusi khusus. Sebelum didistribusikan pihak puskesmas
terlebih dahulu mengusulkan obat-obat yang mereka butuhkan
melalui bidang pelayanan, seterusnya dievaluasi dan dibuat surat
permohonan persetujuan oleh kadinkes. Nah..setelah saya setujui
maka obat sudah bisa didistribusikan. Untuk teknis

Universitas Sumatera Utara


pendistirbusiannya saya kira bidang yankes dan gudang farmasi
yang menjelaskannya”(Kadinkes).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan

terkait dengan pendistribusian obat sebagai berikut :

“Pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe


dilakukan dengan beberapa tahap. Yang pertama adalah kami
melihat setiap perencanaan obat yang telah disusun dalam satu
tahun, seterusnya kami mengevaluasi laporan pemakaian dan
lembar permintaan obat (LPLPO) dari puskesmas..apakah itu
perbulan triwulan atau persemester. Nah..dari sana kami bisa
merencanakan obat-obat yang akan didistribusikan ke
Puskesmas. Jadi belum tentu permintaan puskesmas itu kami
penuhi semua karena kami selalu memperhatikan sisa stok obat
puskesmas sebelumnya”(Kabid Yankes).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala

Gudang Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe terkait pendistribusian obat di

Puskesmas sebagai berikut :

“Untuk kegiatan pendistribusian obat dilaksanakan sesuai


kebutuhan puskesmas. Untuk mendistribusikan obat terlebih
dahulu harus mendapat persetujuan bapak kepala Dinas
kesehatan, selanjutnya kami menghubungi puskesmas untuk
datang kegudang farmasi mengambil obat yang sudah disetujui
oleh pak kadis. Jadi, untuk distribusi obat pihak puskesmas yang
mengambil ke gudang. Sebelumnya saya tugaskan staf untuk
menyiapkan obat-obat yang akan diambil oleh puskesmas”(Kasie
Kefarmasian dan Ka. Gudang).

Adapun tanggapan Kepala Puskesmas Banda Sakti tentang pendistribusian

obat sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


“Jadi masalah pendistribusian obat ini pak..kami dari puskesmas
selalu mempedomani petunjuk dari Dinas Kesehatan. Namun
untuk pendistribusian obat ini pihak gudang farmasi tidak
langsung mengantarkan obat ke puskesmas walaupun sebenarnya
itu adalah tugas mereka pak. Untuk itu kami diminta untuk
mengambil atau menjemput obat ke gudang farmasi setiap 3
bulan sekali menggunakan mobil ambulans yang ada di
puskesmas. Saya menugaskan pengelola obat untuk menjemput
obat sesuai dengan permintaan”(Kapus Banda Sakti).

Sementara tanggapan Kepala Puskesmas Blang Cut terkait pendistribusian

obat sebagai berikut :

“Secara rutin kami mengirimkan laporan pemakaian dan lembar


permintaan obat ke Dinkes. Dalam hal permintaan obat kami
sesuaikan dengan keadaan obat yang cepat habis digunakan di
puskesmas, pustu, poskesdes. Setelah semua direkap maka
selanjutnya kami mengirimkan permintaan obat ke Dinkes.
Nah..kami menunggu hasil persetujuan dari Dinkes beberapa
hari baru bisa menjemput obat digudang farmasi. Saya tugaskan
pengelola obat bersama supir ambulans untuk mengambil obat
sesuai dengan permintaan obat yang telah disetujui Dinkes.
Apabila obat sudah sampai di puskesmas maka kami
memberitahu penanggungjawab unit pelayanan dipuskesmas,
pustu, poskesdes untuk mengajukan permintaan obat agar dapat
didistribusikan segera”(Kapus Blang Cut).

Tanggapan Pengelola Obat Puskesmas Banda Sakti tentang pendistribusian

obat sebagai berikut :

“Untuk pendistribusian obat dari gudang farmasi, biasanya kami


yang menjemput bersama dengan supir ambulans. Kami
diberikan surat tugas oleh kepala puskesmas. Sebelum obat kami
terima kami cek satu persatu kemudian setelah dicek kami
langsung angkat obat tersebut kedalam mobil ambulans. Hanya
saja pak kami tidak membuka lagi kardus obatnya pada saat

Universitas Sumatera Utara


mengecek karena membutuhkan waktu yang lama dan tenaga
yang cukup. Jadi kami menganggap apa yang tertulis dikemasan
obat itu sudah cukup untuk dicatat dalam berita penerimaan obat.
Kalau pendistribusian ke unit pelayanan di puskesmas, pustu,
poskesdes tidak ada kendalanya pak”(Pengelola obat PKM
Banda Sakti).

Hasil wawancara dengan Pengelola Obat Puskesmas Blang Cut tentang

pendistribusian obat sebagai berikut :

“Tentang pendistrubusian obat dari gudang farmasi selama ini


belum ada hambatan. Karena kami yang langsung menjemputnya
di gudang farmasi. Tapi kalau masalah apakah obat yang kami
terima sudah sesuai dengan permintaan..nah itu kami tidak bisa
menjaminnya pak. Karena hampir setiap obat yang kami usulkan
ke Dinkes berbeda dengan yang kami terima. Memang sih pak
kami diberikan penjelasan bahwa obat yang kami minta itu
jumlah stoknya tinggal sedikit digudang farmasi bahkan kosong.
Nah..untuk pendistribusian ke pustu, poskesdes dan bidan desa
biasanya kami beritahukan kepada mereka agar menjemput ke
puskesmas setelah mendapat persetujuan dari pak
kapus”(Pengelola obat PKM Blang Cut).

Berdasarkan rangkuman wawancara tersebut di atas maka diketahui bahwa

manajemen pendistribusian obat dari gudang farmasi ke Puskesmas Kota

Lhokseumawe belum berjalan dengan baik. Obat yang didistribusikan masih belum

sesuai permintaan Puskesmas.

4.9.1 Mekanisme Pendistribusian Obat

Berdasarkan informasi dari para informan diketahui bahwa kegiatan

pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilaksanakan setelah

Universitas Sumatera Utara


Kepala Dinas Kesehatan memberikan persetujuan pendistribusian sesuai dengan

rencana kebutuhan obat di Puskesmas.

4.9.2 Unit-unit Pendistribusian Obat

Obat-obat di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe di

distribusikan ke masing-masing puskesmas selanjutnya puskesmas melakukan

pendistribusian ke pustu, polindes dan poskesdes termasuk kepada bidan desa.

4.10 Supervisi dan Evaluasi Manajemen Obat di Dinas Kesehatan Kota


Lhokseumawe

Berikut hasil wawancara dengan beberapa informan terkait dengan

pelaksanaan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Puskesmas sebagai berikut :

“Untuk pelaksanaan supervisi pengelolaan obat di Puskesmas


dilakukan sesuai dengan jadwal yang sudah direncanakan dalam
APBD. Dalam hal supervisi pengelolaan obat di puskesmas
dikoordinir oleh bidang pelayanan kesehatan. Hasil dari
supervisi akan dievaluasi di Dinas Kesehatan bersama dengan
beberapa kepala bidang terkait. Untuk tahapan pelaksanaan
supervisi dan evaluasi pengelolaan obat dapat dijelaskan oleh
bidang pelayanan kesehatan.”(Kadinkes).

Tahapan pelaksanaan supervisi dan evaluasi obat di Puskesmas dapat

diketahui dari penjelasan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan sebagai berikut :

“Tahapan supervisi pengelolaan obat puskesmas yang kami


lakukan adalah pertama kami menyiapkan instrumen supervisi
seperti form indikator, LPLPO dsb. Kemudian kami
merencanakan jadwal untuk turun ke Puskesmas. Pelaksana
supervisi ini semua dari bidang yankes. Di puskesmas kami
melakukan wawancara dengan kapus dan petugas pengelola obat
kemudian memantau gudang penyimpanan obat. Hasil dari

Universitas Sumatera Utara


supervisi, kami catat dalam formulir laporan yang telah kami
siapkan. Selanjutnya kami serahkan kepada pak kadis. Sementara
untuk evaluasi pengelolaan obat biasanya tidak langsung keluar
hasilnya. Dibutuhkan waktu untuk penilaian”(Kabid Yankes).

Untuk proses pelaksanaan supervisi dan evaluasi di Puskesmas Banda Sakti

dapat diketahui dari hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas sebagai berikut :

“Baik pak..kami jelaskan bahwa pelaksanaan supervisi dan


evaluasi pengelolaan obat dari Dinkes Kota Lhokseumawe masih
jarang dilakukan. Dalam setahun paling banyak 2 kali mereka ke
Puskesmas itupun hanya sebentar saja. Biasanya mereka datang
menemui saya di ruangan dan memanggil pengelola obat untuk
diwawancarai sebentar. Tidak lama mereka supervisi pak,
sebenarnya masih banyak kekurangan kami dalam hal
pengelolaan obat ini. Kami bersedia untuk dievaluasi namun
hasil evaluasinyapun tidak disampaikan kepada kami”(Kapus
Banda Sakti).

Demikian halnya dengan tanggapan Kepala Puskesmas Blang Cut terkait

dengan kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Puskesmas Blang

Cutsebagai berikut :

“Terkait dengan kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan


obat dari Dinkes, boleh kami katakan masih belum maksimal
pak..supervisi seharusnya dapat memberikan masukan bagi kami
bagaimana mengelola obat dengan baik. Demikian halnya
dengan hasil evaluasi pengelolaan obat dari Dinkes, dimana
sampai saat ini kami belum memperoleh hasilnya. Nah..untuk
mendampingi tim supervisi dari Dinkes saya menugaskan
pengelola obat kami untuk mendampingi karena dia yang lebih
tahu tentang pengelolaan obat ini pak”(Kapus Blang Cut).

Universitas Sumatera Utara


4.10.1 Supervisi dan Evaluasi

Supervisi dan evaluasi obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

dikoordinir oleh Bidang Pelayanan Kesehatan. Sasaran supervisi dan evaluasi adalah

sarana infrastruktur, sistem pengelolaan dan sumber daya manusia. Supervisi

dilakukan berdasarkan sumber anggaran yang tersedia dan disesuaikan dengan

kebutuhan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dapat diambil kesimpulan

pelaksanaan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat oleh Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe belum berjalan efektif dan efisien terutama hasil dan tujuan

pelaksanaan kegiatannya masih belum maksimal.

Universitas Sumatera Utara


BAB 5

PEMBAHASAN

5.1 Perencanaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi obat dan perbekalan

kesehatan untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan

kebutuhan obat di Puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat untuk Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota setiap periode dilaksanakan oleh Tim Perencana Obat dan

Perbekalan Kesehatan Kabupaten/Kota. Dalam proses perencanaan kebutuhan obat

per tahun, Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian obat dengan

mengunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).

Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang akan melakukan kompilasi dan

analisa terhadap kebutuhan obat Puskesmas di wilayah kerjanya.

Perencanaan merupakan salah satu fungsi yang sangat penting dalam

manajemen, karena dengan adanya perencanaan akan menentukan fungsi

manajemen lainnya terutama pengambilan keputusan. Fungsi perencanaan

merupakan landasan dasar dari fungsi menajemen secara keseluruhan. Tanpa adanya

perencanaan, pelaksanaan kegiatan tidak akan berjalan dengan baik. Dengan

demikian perencanaan merupakan suatu pedoman atau tuntunan terhadap proses

kegiatan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

Berdasarkan hasil wawancara terkait perencanaan obat dengan informan

dapat diketahui bahwa tahapan perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota

Universitas Sumatera Utara


Lhokseumawe diawali dengan pembentukan Tim Perencanaan Obat yang terdiri dari

pihak Dinas Kesehatan dan Puskesmas. Tim yang sudah dibentuk akan diusulkan

kepada Walikota Lhokseumawe untuk ditetapkan melalui Surat Keputusan Walikota

tentang Tim Perencana Obat Kota Lhokseumawe. Perencanaan kebutuhan obat

dilaksanakan oleh tim perencanaan obat, yang diketuai oleh Kepala Bidang

Pelayanan Kesehatan dan dibantu oleh Kepala Seksi Kefarmasian.

Dari hasil wawancara dengan Kepala Bidang Yankes diketahui bahwa proses

perencanaan obat di Dinas Kesehatan dilaksanakan menggunakan metode konsumsi

berdasarkan pada obat generik yang tercantum dalam Daftar Obat Esensial Nasional

(DOEN) dan Formularariun Nasional (Fornas). Perencanaan kebutuhan obat telah

dilaksanakan sesuai dengan tahapan perencanaan antara lain tahap pemilihan obat,

tahap kompilasi dan tahap penghitungan obat. Namun tidak semua berjalan dengan

baik, diantaranya sering terjadi keterlambatan dalam laporan data pemakaian obat

(LPLPO).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala

Gudang menjelaskan bahwa tugas dari tim perencanaan obat Kota Lhokseumawe

kurang maksimal, diantaranya pertemuan hanya satu kali setahun, kurangnya

koordinasi tim perencanaan obat dan tidak pernah melakukan pelatihan terhadap

petugas pengelolaan obat puskesmas.

Dari hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti menjelaskan

bahwa tidak semua jenis obat yang sudah direncanakan dapat diakomodir nantinya

oleh Dinas Kesehatan dan jumlahnya tidak sesuai permintaan. Sedangkan penjelasan

Universitas Sumatera Utara


dari Kepala Puskesmas Blang Cut menyatakan bahwa tugas-tugas perencanaan obat

dipercayakan kepada petugas pengelolaan obat karena alasan tugas Kepala

Puskesmas cukup banyak.

Konsep yang diperoleh dari hasil wawancara terkait tentang perencanaan

kebutuhan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe adalah pembentukan tim

perencanaan obat. Pemilihan kebutuhan obat menggunakan metode konsumsi

berdasarkan pada obat generik yang tercantum dalam DOEN dan Fornas. Proses

perencanaan kebutuhan obat publik diawali dari data yang disampaikan Puskesmas

(LPLPO) ke Dinas Kesehatan, kemudian dikompilasi menjadi rencana kebutuhan

obat, selanjutnya melakukan perhitungan kebutuhan obat dan disesuaikan dengan

anggaran yang tersedia.

Dari uraian pernyataan informan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

manajemen perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe telah

dilaksanakan oleh tim perencanaan obat, namun belum berjalan dengan baik.

Pertemuan/Rapat kerja penyusunan kebutuhan obat hanya satu kali setahun,

kurangnya koordinasi tim perencanaan obat dan tidak pernah melakukan pelatihan

terhadap petugas pengelolaan obat puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat telah

dilaksanakan sesuai dengan tahapan perencanaan, namun tidak semua berjalan

dengan baik, diantaranya sering terjadi keterlambatan dalam laporan data pemakaian

obat (LPLPO), tidak semua jenis obat dapat diakomodir oleh Dinas Kesehatan dan

jumlahnya tidak sesuai permintaan. Adapun tujuan perencanaan obat adalah 1).

Mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang

Universitas Sumatera Utara


sesuai dengan kebutuhan; 2). Meningkatkan efisiensi penggunaan obat; 3).

Meningkatkan penggunaan obat secara rasional (Kemenkes, 2010).

Berdasarkan Hasil penelitian Triana (2013) tentang evaluasi perencanaan obat

pelayanan kesehatan dasar di Gudang Farmasi Kabupaten Gunung Mas Provinsi

Kalimantan Tengah menyimpulkan bahwa kepatuhan pada pedoman perencanaan

obat masih rendah, dibuktikan ada beberapa langkah-langkah perencanaan yang tidak

dilakukan oleh petugas, hal ini disebabkan karena kurang pemahaman terhadap

langkah-langkah perencanaan, tidak adanya SOP, beban kerja berlebihan serta

kurangnya supervisi secara berkala dari atasan terhadap pelaksanaan perencanaan

obat yang dilakukan.

Menurut Hasibuan (2007), perencanaan adalah pekerjaan mental untuk

memilih sasaran, kebijakan, prosedur dan program yang diperlukan untuk mencapai

apa yang diinginkan pada masa yang akan datang. Sedangkan rencana adalah

sejumlah keputusan mengenai keinginan dan berisi pedoman pelaksanaan untuk

mencapai tujuan yang diinginkan itu. Jadi setiap rencana mengandung unsur tujuan

yang hendak dicapai.

Suatu perencanaan yang baik adalah yang mempunyai kriteria antara lain

sebagai berikut :

a. Perencanaan harus mempunyai tujuan yang jelas.

b. Perencanaan harus mengandung uraian yang lengkap tentang segala aktifitas

yang akan dilaksanakan, yang dibedakan pula atas aktivitas pokok serta

aktifitas tambahan.

Universitas Sumatera Utara


c. Perencanaan harus dapat menguraikan pula jangka waktu pelaksanaan setiap

aktifitas ataupun keseluruhan aktifitas yang akan dilaksanakan. Suatu rencana

yang baik, hendaknya berorientasi pada masa depan bukan sebaliknya.

d. Perencanaan harus dapat menguraikan macam organisasi yang dipandang

tepat untuk melaksanakan aktvitas-aktivitas yang telah disusun. Dalam

organisasi tersebut harus dijelaskan pula pembagian tugas masing-masing

bagian atau individu.

e. Perencanaan harus memiliki unsur fleksibilitas artinya sesuai dengan situasi

dan kondisi yang dihadapi, sedemikian rupa sehingga pemanfaatan sumber

dan tata cara dapat diatur dengan baik dalam rangka mencapai tujuan yang

telah ditetapkan.

f. Perencanaan harus mencantumkan dengan jelas standar yang dipakai untuk

mengukur keberhasilan atau kegagalan yang akan terjadi. Jadi suatu rencana

dapat menguraikan pula mekanisme kontrol yang akan dipergunakan.

g. Perencanaan harus dilaksanakan terus-menerus, artinya hasil yang diperoleh

dari perencanaan yang sedang dilakukan, dapat dipakai sebagai pedoman

untuk perencanaan selanjutnya.

Sumber penyediaan obat di Puskemas berasal dari Dinas Kesehatan. Obat

yang diperkenankan untuk disediakan di Puskesmas adalah obat esensial yang jenis

dan itemnya telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dengan merujuk pada Daftar

Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formulararium Nasional (Fornas). Selain itu,

sesuai dengan kesepakatan global maupun Keputusan Menteri Ke sehatan No. 85

Universitas Sumatera Utara


tahun 1989 tentang k ewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan obat

Generik di Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah dan Permenkes RI No. HK.

02.02/MENKES/068/I/2010 tentang kewajban menggunakan obat Generik di

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, maka hanya obat generik saja yang

diperkenankan tersedia di Puskesmas.

5.2 Pengadaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Pengadaan adalah proses untuk mendapatkan pasokan barang di bawah

kontrak atau pembelian langsung untuk memenuhi kebutuhan bisnis. Pengadaan

dapat mempengaruhi keseluruhan proses arus barang karena merupakan bagian

penting dalam proses tersebut, karena itu pengadaan harus dianggap sebagai fungsi

yang strategis dalam manajemen logistik, dimana dalam pelaksanaan pengadaan ini

harus tersedia dalam jumlah obat yang cukup, pada waktu yang tepat dan harus

diganti dengan cara berkesinambungan dan teratur.

Pengadaan obat di Dinas Kesehatan dilakukan untuk memperoleh jenis dan

jumlah obat dengan mutu yang tinggi, menjamin tersedianya obat dengan cepat

dan tepat waktu. Oleh karena itu, pengadaan obat harus memperhatikan dan

mempertimbangkan bahwa obat yang diadakan sesuai dengan jenis dan jumlah obat

yang telah direncanakan.

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dijelaskan

bahwa kedudukan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dalam kegiatan

pengadaan adalah sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan pihak

Universitas Sumatera Utara


rekanan. Proses pengadaan obat diawali dengan perencanaan obat yang telah

dibuat oleh tim perencana obat. Setelah melalui beberapa seleksi dan evaluasi

melalui katalaog elektronik obat, maka PPK membuat daftar obat yang

dibutuhkan, dan selanjutnya disampaikan kepada pokja Unit Layanan Pengadaan

(ULP) untuk segera membuat paket pembelian obat dalam aplikasi e-purchasing

berdasarkan daftar pengadaan obat.

Berdasarkan keterangan yang di dapat dari Kepala Seksi Kefarmasian

Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dijelaskan bahwa setelah proses pengadaan

selanjutnya adalah proses penerimaan obat di Gudang Farmasi Dinas kesehatan

Kota Lhokseumawe yang melibatkan tim pemeriksa barang. Namun pada

kenyataannya tidak semua obat yang diterima dilakukan pemeriksaan pada waktu

penerimaan barang disebabkan jumlah barang yang banyak dan beban kerja

petugas yang tinggi. Informan menjelaskan salah satu penyebabnya adalah

kurangnya jumlah SDM yang melakukan pemeriksaan obat dan alat-alat

pendukung yang dibutuhkan dalam pemeriksaan belum tersedia sehingga

membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memeriksa obat satu persatu.

Dari rangkuman wawancara dengan informan di atas maka dapat

simpulkan bahwa pelaksanaan pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe berdasarkan katalog elektronik (e-catalogue). Namun masih

terdapat jenis obat yang tidak dapat dipenuhi oleh rekanan dengan alasan bahwa

jenis obat tersebut habis stok sehingga kebutuhan obat di Puskesmas tidak dapat

dipenuhi. Pada tahap pemeriksaan juga terdapat masalah seperti tidak

Universitas Sumatera Utara


dilakukannya pemeriksaan terhadap semua jenis obat yang diterima pada waktu

penerimaan barang. Hal ini dapat menimbulkan masalah seperti jenis obat yang

dibutuhkan tidak sesuai dengan jenis obat yang dipesan.

Berdasarkan hasil penelitian Apriyanti, dkk (2011) tentang evaluasi

pengadaan dan ketersediaan obat di RSUD Hadji Boejasin Pelaihari menyatakan

bahwa ketersediaan obat di RSUD H.Boejasin masih belum baik yang

ditunjukkan dari tingkat ketersediaan obat yang belum memenuhi kebutuhan obat

pada unit-unit pelayanan sehingga berdampak pada pelayanan kesehatan kepada

masyarakat yang berkunjung ke Rumah Sakit.

Obat merupakan pendukung utama untuk hampir semua program kesehatan di

unit pelayanan kesehatan. Untuk itu, ketersediaan dana pengadaan obat harus

proporsional dengan anggaran kesehatan secara keseluruhan.

Biaya yang diserap untuk penggunaan obat merupakan komponen terbesar

dari pengeluaran rumah sakit. Dibanyak Negara berkembang belanja obat di rumah

dapat menyerap sekitar 30-40% dari biaya kesehatan keseluruhan. Belanja perbekalan

farmasi yang demikian besar tentunya harus dikelola dengan efektif dan efisien, hal

ini perlu dilakukan mengingat dana kebutuhan obat di fasilitas kesehatan tidak selalu

sesuai dengan kebutuhan.

Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah

direncanakan dan disetujui, melalui :

1. Pembelian

2. Produksi atau pembuatan sediaan farmasi

Universitas Sumatera Utara


3. Sumbangan/drooping atau hibah

Pembelian dengan penawaran yang kompetitif (tender) merupakan suatu

metode penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga,

apabila ada dua atau lebih pemasok, pejabat pengadaan harus mendasarkan pada

kriteria berikut : mutu produk, reputasi produsen, harga, berbagai syarat, ketepatan

waktu pengiriman, mutu pelayanan pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang

barang yang dikembalikan, dan pengemasan.

Mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga yang layak, dengan mutu yang

baik, pengiriman barang terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar, dan tidak

memerlukan tenaga serta waktu berlebihan.

1. Pembelian

Pembelian adalah rangkaian proses pengadaan unutuk mendapatkan

perbekalan farmasi. Hal ini sesuai dengan peraturan Presiden RI No. 94 tahun 2007

tentang pengendalian dan pengawasan atas pengadaan dan penyaluran bahan obat,

obat spesifik dan alat kesehatan yang berfungsi sebagai obat dan peraturan Presiden

No.4 tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden No. 54 tahun

2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.

Ada 4 metode pada proses pembelian :

a. Tender terbuka, berlaku untuk semua rekanan yang terdaftar, dan sesuai

dengan kriteria yang telah ditentukan.

b. Tender terbatas, sering disebutkan lelang tertutup. Hanya dilakukan pada

rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan memiliki riwayat yang baik.

Universitas Sumatera Utara


c. Pembelian dengan tawar-menawar, dilakukan bila item tidak penting, tidak

banyak, dan biasanya dilakukan pendekatan langsung untuk item tertentu

d. Pembelian langsung, pembeli jumlah kecil, perlu segera tersedia. Harga

tertentu, relative agak lebih mahal.

2. Produksi

Produksi perbekalan farmasi di fasilitas kesehatan merupakan kegiatan

membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau non-

steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat.

Kriteria perbekalan farmasi yang di produksi :

a. Sediaan farmasi dengan formula khusus

b. Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standar dengan harga lebih murah

c. Sediaan farmasi yang memerlukan pengemasan kembali

d. Sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran

e. Sedian farmasi untuk penelitian

f. Sediaan nutrisi parenteral

g. Rekonstusi sediaan perbekalan farmasi sitostasika

h. Sediaan farmasi yang harus selalu di buat baru

Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe harus cermat dan teliti dalam upaya

menyusun perencanaan kebutuhan obat publik agar Dana Alokasi Umum (DAU)

yang disediakan oleh pemerintah dapat mencukupi penyediaan obat di Puskesmas

yang ada di wilayahnya.

Universitas Sumatera Utara


5.3 Penyimpanan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang

diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan

mutunya tetap terjamin. Penyimpanan bertujuan agar obat yang tersedia di Unit

pelayanan kesehatan terjamin mutu dan keamanannya. Penyimpanan obat juga

merupakan faktor yang penting dalam pengelolahan obat di Puskesmas karena

dengan penyimpanan yang baik dan benar akan dengan mudah dalam pengambilan

obat dan lebih efektif.

Penyimpanan obat di Dinas Kesehatan menggunakan prinsip FIFO (First In

First Out) yaitu obat yang datang lebih awal harus dikeluarkan lebih dahulu. FEFO

(First Expired First Out), yang berarti obat yang lebih awal kadaluarsa harus

dikeluarkan leih dahulu. Obat sediaan disusun berdasarkan abjad (alfabetis) atau

nomor. Obat rusak atau kadaluarsa dipisahkan dari obat lain yang masih baik dan

disimpan di luar gudang.

Dari hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Kota

Lhokseumawe diketahui bahwa obat-obat yang sudah diterima dan diperiksa akan

disimpan didalam gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe. Luas

gudang penyimpanan obat adalah 150 m2. Menurut Kepala Bidang Pelayanan

Kesehatan bahwa luas gudang penyimpanan di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

belum cukup untuk menyimpan obat dengan baik.

Menurut keterangan dari Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala Gudang

Farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, bahwa tata susunan penyimpanan obat

Universitas Sumatera Utara


di Dinas Kesehatan belum seluruhnya mengikuti prinsip FIFO dan FEFO. Masih ada

obat-obatan yang diletakkan dilantai dan tidak beraturan termasuk golongan obat

keras yang masih tercampur dengan jenis obat lainnya. Demikian halnya dengan

pencatatan obat yang kurang aktif dicatatkan didalam kartu stok obat. Menurut

informan hal ini disebabkan karena fasilitas penyimpanan digudang obat masih

terbatas. Penyabab lainnya yaitu keterbatasan jumlah tenaga untuk melakukan

penyimpanan, pemeriksaan dan pencatatan obat dengan baik.

Sementara tanggapan dari Kepala Puskesmas Banda Sakti dan Kepala

Puskesmas Blang Cut yang menyatakan bahwa gudang penyimpanan obat di

Puskesmas masih kurang memadai. Masih ada obat yang diterima namun disimpan di

luar gudang penyimpanan atau ruangan lain. Hal ini disebabkan karena ruang

penyimpanan tidak cukup untuk menyimpan obat yang diterima. Hasil observasi yang

dilakukan diketahui bahwa fasilitas penyimpanan obat di Puskesmas Banda Sakit dan

Blang Cut sangat terbatas seperti rak penyimpanan obat biasa dan rak penyimpanan

obat keras yang masih belum tersedia. Hambatan lain adalah masalah penerangan,

dimana ventilasi diruang penyimpanan obat di Puskesmas sangat terbatas. Untuk

penerangan diruang penyimpanan masih mengandalkan lampu PLN, namun

dikeluhkan juga bahwa PLN di Puskesmas sering padam sehingga peenyimpanan

obat tergangga. Dari hasil pengamatan langsung diketahui juga bahwa kartu stok obat

di gudang penyimpanan belum lengkap dan bahkan masih ada kartu stok yang belum

dicatat.

Universitas Sumatera Utara


Keterangan dari Petugas Pengelola Obat Puskesmas Banda Sakti dan Blang

Cut bahwa proses penyimpanan obat di gudang penyimpanan obat di Puskesmas

dilakukan tanpa mengikuti tata aturan penyimpanan yang benar. Seperti masih ada

obat yang diletakkan di lantai karena rak penyimpanan tidak cukup. Demikian juga

dengan pencatatan kartu stok obat yang tidak rutin dilakukan.

Dari informasi penelitian yang diperoleh tersebut maka dapat disimpulkan

bahwa pelaksanaan manajemen penyimpanan obat di Gudang Farmasi Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe dan gudang penyimpanan obat di Puskesmas Banda

Sakti dan Blang Cut masih belum memenuhi prosedur penerimaan, pemeriksaan dan

penyimpanan obat yang baik. Hal ini dapat menimbulkan masalah yang berdampak

kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan di Puskesmas.

Sementara hasi penelitian Sheina, dkk (2010) tentang penyimpanan obat di

gudang instalasi farmasi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I menyimpulkan

bahwa faktor sistem penyimpanan obat di Gudang Instalasi Farmasi RS. PKU

Muhammadiyah Yogyakarta Unit I tidak sesuai dengan standar yaitu penggolongan

obat tidak berdasarkan kelas terapi/khasiat obat. Hal tersebut dikarenakan tidak

semua petugas gudang memiliki latar belakang pendidikan kefarmasian.

Kegiatan penyimpanan memegang peranan penting dalam pengelolaan obat

publik. Kegiatan ini dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh sarana

penyimpanan yang memadai. Sarana yang tidak memadai menyebabkan penataan

obat dalam penyimpanan tidak teratur dan tidak mematuhi kaidah penyimpanan obat,

sehingga dapat menyebabkan obat rusak atau expired dalam penyimpan.

Universitas Sumatera Utara


Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara

menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari

pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan penyimpanan

obat-obatan adalah 1). Memelihara mutu obat; 2). Menghindari penggunaan yang

tidak bertanggungjawab; 3). Menjaga kelangsungan persediaan; 4). Memudahkan

pencarian dan pengawasan. Sementara kegiatan penyimpanan obat meliputi 1).

Pengaturan tata ruang; b). Penyusunan stok obat; c). Pencatatan stok obat; d).

Pengamatan mutu obat.

Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian

dan pengawasan obat-obatan, maka diperlukan pengaturan tata ruang gudang dengan

baik. Penyusunan dilakukan dengan sistem First Expired First Out (FEFO) untuk

masing-masing obat, artinya obat yang lebih awal kadaluwarsa harus dikeluarkan

lebih dahulu dari obat yang kadaluwarsa kemudian, dan First In First Out

(FIFO) untuk masing-masing obat, artinya obat yang datang pertama kali harus

dikeluarkan lebih dahulu dari obat yang datang kemudian. Hal ini sangat penting

karena obat yang sudah terlalu lama biasanya kekuatannya atau potensinya

berkurang. Beberapa obat seperti antibiotik mempunyai batas waktu pemakaian

artinya batas waktu dimana obat mulai berkurang efektivitasnya. (Kemenkes, 2010).

Setiap pengelola obat, perlu melakukan pengamatan mutu obat secara berkala,

setiap bulan. Hal ini penting untuk diketahui terutama penggunaan antibiotik yang

sudah kadaluwarsa karena dapat menimbulkan resistensi mikroba. Resistensi mikroba

berdampak terhadap mahalnya biaya pengobatan. Selama penyimpanan beberapa

Universitas Sumatera Utara


obat dapat terurai menjadi substansi-substansi yang toksik. Sebagai contoh

Tetrasiklin dari serbuk warna kuning dapat berubah menjadi warna coklat yang toksik

(Kemenkes, 2010).

5.4 Pendistribusian Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Pendistribusian obat mencakup kegiatan pengeluaran dan pengiriman obat-

obatan yang bermutu, terjamin keabsahannya serta tepat jenis dan jumlah dari gudang

obat secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan

kesehatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, diperoleh kesimpulan

bahwa obat yang berada di puskesmas nantinya akan didistribusikan ke Pustu,

Poskesdes dan Polindes. Penyaluran obat juga dilakukan di bagian sub-sub

puskesmas seperti, (UGD), ruang rawat inap, ruang poli umum dan poli gigi.

(Kemenkes, 2010)

Cara distribusi obat yang baik adalah cara distribusi/penyaluran obat dan/atau

bahan obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran

sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya. Prinsip-prinsip Cara distriubsi obat

yang baik berlaku untuk aspek pengadaan, penyimpanan, penyaluran termasuk

pengembalian obat dan/atau bahan obat dalam rantai distribusi.

Dari hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

dijelaskan bahwa proses pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

dilakukan berdasarkan rencana kebutuhan obat dalam satu tahun dengan

mempertimbangkan jumlah sisa obat yang belum terpakai dan jumlah obat yang telah

Universitas Sumatera Utara


terpakai. Pendistribusian obat akan dilakukan apabila usulan obat yang dibutuhkan

telah disetujui oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.

Dalam hal persetujuan obat dimaksud, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan

memberikan penjelasan bahwa obat yang di distribusikan ke Puskesmas adalah obat

yang diusulkan dan disampaikan langsung oleh Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe berdasarkan perencanaan obat di Puskesmas sebelumnya.

Kemudian Bidang Pelayanan Kesehatan akan melakukan pengkajian data

LPLPO. Hasil dari pengkajian LPLPO Puskesmas tersebut akan dievaluasi kembali

untuk menentukan jumlah dan jenis obat yang akan di distribusikan ke Puskesmas.

Setiap jenis obat yang di evaluasi terlebih dahulu mempertimbangkan sisa pemakaian

obat yang masih ada di Puskesmas.

Sementara hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti dan

Kepala Puskesmas Blang Cut menyatakan bahwa pendistribusian obat ke Puskesmas

tidak diantar langsung oleh Gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe,

melainkan pihak Puskesmas yang datang langsung menjemput obat yang telah

disetujui oleh Kepala Dinas Kesehatan. Penjemputan obat dilakukan oleh Petugas

Pengelola obat Puskesmas bersama dengan supir ambulans dalam kurun waktu tiga

bulan sekali (triwulan).

Obat yang sudah diterima akan dilakukan pemeriksaan ulang guna

memastikan obat yang diterima apakah sudah sesuai atau tidak dengan yang disetujui.

Namun tidak semua jenis obat diperiksa karena biasanya obat-obat yang

didistribusikan sudah siap di bungkus dengan kertas kardus atau bahan pembungkus

Universitas Sumatera Utara


lainnya. Kemudian apabila obat sudah sampai di Puskesmas maka seluruh pustu,

poskesdes dan polindes akan diberitahu agar mengambil kebutuhan obatnya di

Puskesmas.

Dari pembahasan pendistribusian obat di atas maka dapat disimpukan bahwa

manajemen pendistibusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe telah

berjalan dengan baik. Walaupun secara prosedur seharusnya kegiatan pendistribusian

obat ke Puskesmas dilakukan oleh Gudang Farmasi Dinas Kesehatan, namun pada

kenyataannya pihak Puskesmas yang menjemput obat di Gudang farmasi. Masalah

lain adalah pemeriksaan obat tidak dilakukan secara teliti pada saat obat diserah

terimakan kepada petugas pengolala obat puskesmas. Hal ini berpotensi akan

menimbulkan masalah seperti jumlah obat yang tidak sesuai, fisik obat yang rusak

dan kadarluasa.

Distribusi/penyaluran adalah kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat

secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub-sub unit pelayanan

kesehatan antara lain 1).Sub unit pelayanan kesehatan di lingkungan Puskesmas; 2).

Puskesmas Pembantu; 3). Puskesmas Keliling; 4). Posyandu; 5). Polindes. Prioritas

pendistribusian obat Puskesmas menekankan kepada obat-obat yang esensial atau

yang sering digunakan oleh Pustu, poskesdes, dan Bides maupun ke pasien

Puskesmas itu sendiri. Untuk obat-obat narkotika atau semacamnya, puskesmas

masih belum memberikan kewenangan Pustu, Poskesdes, dan Polindes untuk

menyimpan karena untuk menghindari penyalahgunaan.

Universitas Sumatera Utara


Tujuan distribusi obat antara lain 1). Terlaksananya distribusi obat publik dan

perbekkes secara merata dan teratur sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan;

2). Terjaminnya ketersediaan obat publik dan perbekkes di unit pelayanan kesehatan.

Kegiatan distribusi obat publik dan perbekkes terdiri dari 1). Kegiatan distribusi rutin

yang mencakup distribusi untuk kebutuhan pelayanan umum di unit pelayanan

kesehatan; 2). Kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat publik dan

perbekkes diluar jadwal distribusi rutin.

Dalam menentukan jumlah obat perlu dipertimbangkan pemakaian rata-rata

setiap jenis obat, sisa stok obat, pola penyakit, jumlah kunjungan di masing-masing

sub unit pelayanan kesehatan dengan menghitung stok optimum setiap jenis obat.

Memeriksa mutu dan kadaluarsa obat-obat dan alat bantu kesehatan yang didistribusi

ke sub-unit pelayanan kesehatan perlu di cek mutu dan kadaluarsanya.

Tata cara pendistribusian obat antara lain:

a. Unit pengelola obat tingkat Kabupaten/Kota melaksanakan distribusi obat ke

puskesmas dan rumah sakit yang ada di wilayah kerjanya sesuai dengan

kebutuhan masing-masing unit pelayanan kesehatan.

b. Obat-obatan yang akan dikirim ke Puskesmas harus disertai dokumen

penyerahan dan pengiriman obat.

c. Sebelum dilakukan pengepakan atas obat-obat yang akan dikirim, maka perlu

dilakukan pemeriksaan terhadap: 1. Jenis dan jumlah obat; 2. Kualitas/kondisi

obat; 3. Isi kemasan; 4. Kelengkapan dan kebenaran dokumen

Universitas Sumatera Utara


d. Puskesmas induk mendistribusikan kebutuhan obat untuk Puskesmas

pembantu, Puskesmas keliling dan unit-unit pelayanan kesehatan harus dicatat

dalam kartu stok obat.

5.5 Supervisi dan Evaluasi Manajemen Obat di Dinas Kesehatan Kota


Lhokseumawe
Supervisi berasal dari kata super (lebih tinggi) dan vision (melihat)

sehingga secara umum dapat diartikan sebagai mengawasi dari atas atau oleh

atasan. Supervisi dalam pengertian manajemen memiliki pengertian yang lebih

luas, karena istilah yang digunakan adalah mengawasi dan bukan melihat, ini bukan

dilakukan secara kebetulan. Mengawasi dalam arti bahasa Indonesia adalah

mengamati dan menjaga jadi bukan hanya mengamati saja, akan tetapi memiliki

pengertian menjaga.

Supervisi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan adalah proses pengamatan

secara terencana dari unit yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan pengelolaan obat

oleh petugas pada unit yang lebih rendah (Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT

lainnya). Pengamatan diarahkan untuk menjaga agar pekerjaan atau kegiatan

yang dilakukan sesuai dengan pedoman yang disepakati bersama.

Supervisi ditujukan untuk menjaga agar pekerjaan pengelolaan obat yang

dilakukan sesuai dengan pedoman yang berlaku. Evaluasi dilakukan dengan

membandingkan suatu kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang diamati.

Hasil evaluasi dari hasil supervisi dapat langsung dibahas dengan yang

bersangkutan sehingga yang bersangkutan dapat mengetahui kondisinya. Dapatkan

Universitas Sumatera Utara


kesepakatan dan kemudian coba dibahas langkah-langkah apa yang akan dapat

dipergunakan untuk membantu yang bersangkutan untuk mencapai hasil yang

diinginkan.

Dari hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

dijelaskan bahwa pelaksanaan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat dilakukan

berdasarkan APBD yang sedang berjalan. Karena untuk melakukan kegiatan

supervisi dan evaluasi dibutuhkan dana terutama untuk biaya perjalanan dinas

pegawai. Kegiatan supervisi dan evaluasi obat di Puskesmas dikoordinir oleh Kepala

Bidang Pelayanan Kesehatan.

Berdasarkan penjelasan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan tentang tahapan

kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat yaitu diawali dengan tahapan

perencanaan jadwal supervisi, berikut tahap persiapan formulir indikator dan LPLPO

serta data-data lain yang menyangkut dengan pengelolaan obat. Personil pelaksana

kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat berasal dari Bidang Pelayanan

Kesehatan. Hasil kegiatan supervisi akan dijadikan sebagai bahan laporan evaluasi

kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.

Sementara dari hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti dan

Kepala Puskesmas Blang Cut menjelaskan bahwa kegiatan Supervisi dan eveluasi

yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe masih belum maksimal.

Tim supervisi biasanya datang ke puskesmas hanya melakukan wawancara dengan

petugas pengelola obat dan Kepala Puskesmas yang dilakukan diruangan Kepala

Puskesmas. Sementara untuk pemantauan langsung ke ruang penyimpanan obat

Universitas Sumatera Utara


termasuk apotik Puskesmas sangat jarang dilakukan. Waktu yang dibutuhkan untuk

supervisi tidak terlalu lama, sehingga petugas pengelola obat tidak mempunyai

kesempatan untuk bertanya tentang manajemen pengelolaan obat di Puskesmas.

Sedangkan hasil tindak lanjut evaluasi kegiatan supervisi pengelolaan obat di

Puskesmas sangat jarang diterima oleh Puskesmas.

Dari hasil analisis wawancara tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa

kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe belum berjalan efektif. Koordinasi antara lintas program masih kurang

terjalin dengan baik, demikian halnya juga dengan pembinaan pengelolaan obat

ditingkat Puskesmas tidak dilakukan akibatnya kualitas pelayanan obat di Puskesmas

semakin rendah.

Adapun kegiatan supervisi meliputi :

a. Proses penyusunan rencana

b. Persiapan pelaksanaan (tenaga, dana, waktu, check list)

c. Pelaksanaan (kunjungan, diskusi, umpan balik, penyelesaian)

d. Pemanfaatan hasil supervisi (kompilasi hasil, analisa, rekomendasi tindak

lanjut)

Tujuan supervisi adalah untuk meningkatkan produktivitas para

petugas pengelola obat agar mutu pelayanan obat dapat ditingkatkan secara optimum.

Sementara langkah-langkah supervsi adalah sebagai berikut :

1) Persiapan Supervisi

a. Menyiapkan instrumen supervisi yang terdiri dari :

Universitas Sumatera Utara


• Formulir monitoring indikator

• LPLPO

• Formulir lain yang diperlukan termasuk check list kinerja petugas

seperti formulir bimtek

b. Mengumpulkan data dan informasi antara lain :

• Laporan rutin dan laporan khusus yang tersedia

• Hasil supervisi pada periode sebelumnya

• Dokumen lain yang terkait dengan rencana supervisi

c. Menganalisa data dan informasi yang telah dikumpulkan

• Memperkirakan masalah yang sedang terjadi

• Memperkirakan faktor penyebab timbulnya permasalahan

• Mempersiapkan berbagai alternatif pemecahan masalah

d. Menentukan tujuan dan sasaran utama supervisi, seperti :

• Memantau tingkat keberhasilan pengelolaan obat

• Menemukan permasalahan yang timbul

• Mencari faktor penyebab timbulnya masalah

• Menilai hasil pelaksanaan kerja

• Membina dan melatih para pelaksana.

• Mengumpulkan masukan untuk penyempurnaan kebijaksanaan dan

program

Universitas Sumatera Utara


e. Pelaksanaan Supervisi

• Menemui kepala/pejabat institusi yang dituju untuk

menyampaikan tujuan supervisi. Mengumpulkan data dan informasi

dengan cara :

• Mempelajari data yang tersedia.

• Wawancara dan diskusi dengan pihak yang disupervisi.

• Pengamatan langsung.

f. Membahas dan menganalisa hasil temuan dengan cara :

g. Pencocokkan berbagai data, fakta dan informasi yang diperoleh

h. Menilai tingkat keber hasilan pelaksanaan tugas

i. Menemukan berbagai macam masalah dan faktor penyebabnya

j. Membuat kesimpulan sem entara hasil supervisi

k. Mengadakan tindakan intervensi tertentu apabila ditemukan masalah yang

perlu segera ditanggulangi

l. Melaporkan kepada pimpinan institusi yang didatangi tentang :

• Tingkat pencapaian hasil kerja unit yang disupervisi

• Masalah dan hambatan yang ditemukan

• Penyebab timbulnya masalah

• Tindakan intervensi yang telah dilakukan

• Rencana pokok tidak lanjut yang diperlukan

Universitas Sumatera Utara


2) Tidak Lanjut Hasil Supervisi

a. Menyusun laporan resmi hasil supervisi yang mencakup :

• Hasil temuan selama supervisi

• Tindakan intervensi yang dilakukan

• Rencana tindak lanjut yang disarankan

• Catatan khusus yang bersifat rahasia

b. Menyampaikan laporan supervisi kepada :

• Atasan yang memberikan tugas supervisi

• Pihak lain yang terkait dengan hasil temuan supervisi

• Pihak yang disupervisi (sesuai kebutuhan)

Evaluasi adalah serangkaian prosedur untuk menilai suatu program dan

memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan, kegiatan, hasil dan

dampak serta biayanya. Fokus utama dari evaluasi adalah mencapai perkiraan yang

sistematis dari dampak program. Tujuan evaluasi antara lain :

a. Menetapkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam program yang sedang

berjalan dan mencari solusinya.

b. Memprediksi kegunaan dari pengembangan program dan memperbaikinya.

c. Mengukur kegunaan program-program yang inovatif.

d. Meningkatkan efektifitas program, manajemen dan administrasi.

e. Mengetahui kesesuaian antara sasaran yang diinginkan dengan hasil yang

dicapai.

Universitas Sumatera Utara


Ada empat jenis evaluasi yang dibedakan atas interaksi dinamis diantara

lingkungan program dan waktu evaluasi yaitu :

a. Evaluasi formatif yang dilakukan selama berlangsungnya kegiatan

program. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat dimensi kegiatan program

yang melengkapi informasi untuk perbaikan program.

b. Evaluasi sumatif yang dilakukan pada akhir program. Evaluasi ini perlu

untuk menetapkan ikhtisar program, termasuk informasi outcome,

keberhasilan dan kegagalan program.

c. Evaluasi penelitian adalah suatu proses penelitian kegiatan yang sebenarnya

dari suatu program, agar diketemukan hal-hal yang tidak tampak dalam

pelaksanaan program.

d. Evaluasi presumtif yang didasarkan pada tendensi yang menganggap bahwa

jika kegiatan tertentu dilakukan oleh orang tertentu yang diputuskan dengan

pertimbangan yang tepat, dan jika bertambahnya anggaran sesuai dengan

perkiraan, maka program dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.

Analisa dan evaluasi terhadap hasil-hasil monitoring ini perlu dilakukan untuk

memastikan bahwa mutu hasil kerja dari petugas mencapai apa yang

diinginkan. Analisa dilakukan dengan membandingkan antara:

• Rencana dengan realisasi

• Proses kerja dengan sistem prosedur yang berlaku

• Sasaran kerja dengan ketentuan dan prosedur

Universitas Sumatera Utara


• Biaya yang dipergunakan dengan anggaran yang tersedia

Evaluasi dilakukan dengan membandingkan suatu kondisi yang diharapkan

dengan kondisi yang diamati. Hasil evaluasi dari hasil supervisi dapat langsung

dibahas dengan yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan dapat mengetahui

kondisinya. Dapatkan kesepakatan dan kemudian coba dibahas langkah-langkah apa

yang akan dapat dipergunakan untuk membantu yang bersangkutan untuk mencapai

hasil yang diinginkan.

Proses evaluasi dapat dilihat sebagai 5 (lima) langkah model umpan balik,

yang masing-masing langkah adalah :

a. Penetapan apa yang harus diukur. Manajemen puncak menetapkan proses

pelaksanaan dan hasil mana yang akan dipantau dan dievaluasi. Proses dan

hasil pelaksanaan harus dapat diukur dalam kaitannya dengan tujuan.

b. Pembuatan standar kinerja. Standar digunakan untuk mengukur kinerja

merupakan suatu rincian dan tujuan yang strategis. Standar harus dapat

mengukur apa yang mencerminkan hasil kinerja yang telah dilaksanakan.

c. Pengukuran kinerja yang aktual yaitu dibuat pada waktu yang tepat.

d. Bandingkan kinerja yang aktual dengan standar. Jika hasil kinerja yang

aktual berada di dalam kisaran toleransi maka pengukuran dihentikan.

e. Melakukan tindakan korektif. Jika hasil kinerja aktual berada di luar

kisaran toleransi, harus dilakukan koreksi untuk deviasi yang terjadi.

Evaluasi bermanfaat untuk :

Universitas Sumatera Utara


a. Menetapkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam program yang sedang

berjalan

b. Meramalkan kegunaan dari pengembangan usaha-usaha dan memperbaikinya

c. Mengukur kegunaan program-program yang inovatif

d. Meningkatkan efektifitas program, manajemen dan administrasi

e. Kesesuaian tuntutan tanggung jawab

Universitas Sumatera Utara


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut :

1. Perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilaksanakan oleh tim

perencanaan obat yang dibentuk melalui Surat Keputusan Walikota

Lhokseumawe. Tim perencanaan obat belum berjalan dengan efektif dan efisien.

Pertemuan/Rapat kerja penyusunan kebutuhan obat hanya satu kali setahun,

kurangnya koordinasi tim perencanaan obat dan tidak pernah dilakukan pelatihan

terhadap petugas pengelolaan obat puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat telah

dilaksanakan sesuai dengan tahapan perencanaan antara lain tahap pemilihan

obat, tahap kompilasi dan tahap penghitungan obat. Namun tidak semua berjalan

dengan baik, diantaranya sering terjadi keterlambatan dalam laporan data

pemakaian obat (LPLPO), tidak semua jenis obat dapat diakomodir oleh Dinas

Kesehatan dan jumlahnya tidak sesuai permintaan Puskesmas.

2. Pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe berdasarkan Peraturan

Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden

No. 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa Pemerintah, namun dalam

pelaksanaannya menghadapi beberapa masalah seperti masih terdapat jenis

obat yang tidak dapat dipenuhi oleh rekanan disebabkan jenis obat tersebut

Universitas Sumatera Utara


tidak ada stok atau barang habis. Waktu pengadaan dan kedatangan obat kadang-

kadang masih belum mengikuti ketepatan waktu yang disepakati pada isi

perjanjian kontrak. Penerimaan dan pemeriksaan obat dilakukan pada saat

kedatangan obat di Gudang Farmasi, sementara pemeriksaan obat di Puskesmas

dilakukan pada saat penerimaan obat dari gudang farmasi kepada petugas obat

puskesmas. Pada saat penerimaan masih terdapat obat yang hampir kadaluwarsa.

3. Penyimpanan obat dilakukan di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe. Pengaturan tata ruang masih kurang baik dan masih terjadi

penumpukan obat. Masih terdapat obat kadaluwarsa dan beberapa jenis obat yang

tidak pernah digunakan. Penyusunan stok obat belum seluruhnya menerapkan

prinsip FIFO dan FEFO. Pencatatan dan pelaporan belum lengkap sehingga tidak

dapat digunakan untuk pemantauan persediaan obat. Pengamanan mutu obat

belum dilaksanakan dengan baik.

4. Pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe belum berjalan

dengan baik. Masih terdapat jumlah dan jenis obat yang tidak sesuai permintaan

Puskesmas. Pendistribusian obat-obatan dari Dinkes ke Puskesmas dilaksanakan

dengan cara mengambil langsung ke Gudang Farmasi, setelah itu Puskesmas

menyalurkan ke Pustu, Polindes, dan bidan desa.

5. Kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Puskesmas belum berjalan

dengan efektif dan efisien. Pembinaan dan Pelatihan pengelolaan obat di

Puskesmas belum dilaksanakan akibatnya pengelolaan obat di Puskesmas belum

berjalan dengan baik.

Universitas Sumatera Utara


6.2 Saran

Dari kesimpulan penelitian di atas maka saran dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Diharapkan kepada tim perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi, serta kerjasama tim

dalam melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai perencana kebutuhan obat.

Diharapkan kepada pihak Puskesmas dapat menyampaikan LPLPO sesuai jadwal

yang telah ditetapkan.

2. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe memilih Pedagang Besar

Farmasi (PBF) yang memiliki reputasi baik dalam pengadaan obat. Mampu

menjamin kesinambungan ketersediaan obat sesuai dengan masa kontrak. Dalam

hal obat tidak tersedia dalam e-kataloge, dapat melakukan pemesanan obat secara

langsung sesuai pedoman peraturan dan ketantuan yang berlaku. Diharapkan

Dinkes dapat membuat surat pernyataan PBF agar bersedia menyediakan obat

yang bermutu baik dan memiliki batas kadaluwarsa yang masih lama, minimal 24

bulan.

3. Untuk menghindari penumpukan obat-obatan diharapkan kepada Kepala Gudang

Farmasi Kota Lhokseumawe untuk menyesuaikan waktu kedatangan obat dengan

jadwal pendistribusian obat. Diharapkan Kepala Seksi Kefarmasian dapat

melakukan pencatatan secara rutin dari hari ke hari dan setiap terjadi mutasi obat

langsung dicatat didalam kartu stok, serta pengamatan mutu obat dilakukan secara

Universitas Sumatera Utara


rutin, apabila ada obat yang rusak atau kadaluwarsa harus dilakukan pemisahan

obat-obatan.

4. Meningkatkan hubungan kerjasama antara Gudang Farmasi Kota Lhokseumawe

dengan Puskesmas di wilayah kerjanya, agar pendistribusian obat dapat berjalan

dengan baik. Frekuensi pengiriman obat-obatan ke Puskesmas dapat dilayani

setiap tiga atau enam bulan disesuaikan dengan persediaan di Gudang Farmasi.

Diharapkan obat-obatan yang dikirim ke Puskesmas sesuai dengan data LPLPO.

5. Diharapkan kepada tim supervisi dan evaluasi pengelolaan obat untuk proaktif

melakukan kegiatan di Puskesmas dan melakukan pembinaan dan pengawasan

secara rutin. Diharapkan kepada tim supervisi dan evaluasi dalam melaksanakan

supervisi menggunakan indikator pengelolaan obat agar dapat diketahui tingkat

kinerja pengelolaan obat di Puskesmas. Diharapkan kepada tim supervisi dan

evaluasi melaporkan hasil supervisi terhadap masalah dan hambatan yang

ditemukan.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., (2007). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Cetakan Kelima.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Apriyanti, Gandjar, Satibi. 2011. Evaluasi Pengadaan dan Ketersediaan Obat di


RSUD Hadji Boejasin Pelaihari Tahun 2006-2008, Tesis. Universitas
Gadjah Mada, Jogjakarta.

Bungin, B., 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi. Ekonomi, Kebijakan Publik,


Dan Ilmu Sosial Lainnya, Edisi pertama, Cetakan ke-2, Jakarta: Kencana.

Cheng and Whittemore. 2008. An Engineering Approach to Improving Hospital


Supply Chains. USA.

Clark, M., 2012. Management Sciences for Health. MDS-3: Managing Access to
Medicines and Health Technologies, Arlington, VA: Management Science for
Health Drug Supply, Kumarian Press.

Depkes RI. 2002. Pedoman Supervisi dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan. 2nd ed. Ditjen Yanfar dan Alkes. Direktorat Bina Obat dan
Perbekalan Kesehatan. Jakarta.

_________. 2002. Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan ini
disusun untuk memberikan kejelasan bagi pengelolaan obat dan perbekalan
kesehatan di Propinsi/Kabupaten/Kota. Direktorat Bina Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2002. Jakarta.

_________. 2006. Kepmenkes No. 189/Menkes/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat


Nasional. Jakarta.

Dinkes Kota Lhokseumawe. 2014. Profil Kesehatan Tahun 2014. Lhokseumawe.

Embrey, M., 2012. Management Sciences for Health. MDS-3: Managing Access to
Medicines and Health Technologies, Arlington, VA: Management Science for
Health Drug Supply, Kumarian Press.

Hasibuan, SP., 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi 2. Bumi Aksara.
Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


Kemenkes RI. 2008. Kepmenkes No. 1121/Menkes/SK/XII/2008 tentang Pedoman
Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk Pelayanan
Kesehatan Dasar. Jakarta.

___________. 2010. Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Instalasi Farmasi


Kabupaten Kota. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010. Jakarta.

___________. 2010. Permenkes RI No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang


Kewajban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pemerintah. Jakarta.

___________. 2013. Kepmenkes RI No. 312/MENKES/SK/IX/2013 tentang Daftar


Obat Esensial Nasional. Jakarta.

___________. 2016. Permenkes HK. 02.02/Menkes/137/2016 Perubahan Atas


Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/Menkes/523/2015 tentang
Formularium Nasional. Jakarta.

Kristin. 2002. Dasar-dasar Perencanaan Kebutuhan Obat. (Makalah Seminar).


Agustus 2002. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran
UGM. Yagyakarta.

Olsen, C., 2012. Management Sciences for Health. MDS-3: Managing Access to
Medicines and Health Technologies, Arlington, VA: Management Science for
Health Drug Supply, Kumarian Press.

LKPP. 2015. Perka LKPP No. 14 Tahun 2015 tentang E-Purchasing. Jakarta.

Perpres RI. 2015. No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jakarta.

Quick, DJ., 1997. Managing Drug Supply. 2nd ed. Management Sciences for Health.
Kumarian Press. USA.

Sallet, JP., 2012. Management Sciences for Health. MDS-3: Managing Access to
Medicines and Health Technologies, Arlington, VA: Management Science for
Health Drug Supply, Kumarian Press.

Seto. 2004. Manajemen Farmasi. Airlangga University Press: Surabaya.

Universitas Sumatera Utara


Sheina, Umam, Solikhah. 2010. Penyimpanan Obat Di Gudang Instalasi Farmasi RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I, Tesis. Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta.

Terry and Leslie. 2010. (Penerjemah G.A. Ticoalu). Dasar-Dasar Manajemen.


Jakarta: Bumi Aksara.

Triana, M., 2013. Evaluasi Perencanaan Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) di
Gudang Farmasi Kabupaten Gunung Mas Tahun 2012, Tesis. Universitas
Diponegoro, Semarang.

UU RI. 2014. No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Jakarta.

Warman, J., 1997. Manajemen Pergudangan. Jakarta : LPPM.

Wijayanti, A., 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Pelaporan


Keuangan pada Perusahaan Go Publik di BEJ Tahun 2004-2005, Skripsi
Universitas Gajah Mada : Yogyakarta.

Yogaswara. 2001. Tinjauan Pelaksanaan Penyimpanan dan Distribusi Obat di Sub


Unit Gudang Farmasi Rumah Sakit Haji Jakarta. Depok: FKM UI.

Universitas Sumatera Utara


PANDUAN WAWANCARA

MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN


KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2016

Nama :
Usia :
Pendidikan :
Jabatan :
Tanggung Jawab :
Lama Kerja :

PERTANYAAN

A. Perencanaan
1. Bagaimanakah Tahap Pemilihan atau Seleksi Kebutuhan Obat?
2. Bagaimanakah Tahap Kompilasi Pemakaian Obat?
3. Bagaimanakah Perhitungan Kebutuhan Obat?
4. Bagaimanakah Proyeksi Kebutuhan Obat?

B. Pengadaan
1. Bagaimanakah Cara Pemilihan Metode Pengadaan Obat?
2. Bagaimanakah Penentuan Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat?
3. Bagaimanakah Cara Penerimaan dan Pemeriksaan Obat?

C. Penyimpanan
1. Bagaimanakah Pengaturan Tata Ruang?
2. Bagaimanakah Penyusunan Stok Obat?
3. Bagaimanakah Pencatatan dan Pelaporan Stok Obat?
4. Bagaimanakah Pengamanan Mutu Obat?

D. Pendistribusian
1. Bagaimanakah Mekanisme Pendistribusian Obat?
2. Kemanakah Unit-unit Pendistribusian Obat?

E. Supervisi dan Evaluasi

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai