Anda di halaman 1dari 33

PANCASILA SEBAGAI ETIKA DAN PANCASILA

SEBAGAI PERKEMBANGAN ILMU

MOH. AFIF

151610613090

PANCASILA R. KI HAJAR DEWANTARA

PROGRAM STUDI D3 AKUNTANSI

FAKULTAS VOKASI

UNIVERSITAS AIRLANGGA
PANCASILA SEBAGAI ETIKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Nilai norma dan moral adalah konsep-konsep yang saling terkait. Dalam hubungannya
dengan pancasila maka ketiganya akan memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai
sistem etika.

Pancasila sebagai suatu sistem falsafat pada hakikatnya merupakan suatu sistem nilai yang
menjadi sumber dari penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan
lainnya. Disamping itu, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional,
sistematis dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat adalah suatu nilai-nilai yang
mendasar yang memberikan landasan bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan
nyata dalam masyarakat, bangsa dan Negara maka diwujudkan dalam norma-norma yang kemudian
menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi :

Norma moral : Yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik dan
buruk, sopan atau tidak sopan, susila atau tidak susila

Norma hukum : Sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat dan waktu
tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum. Dalam pengertian itulah Pancasila berkedudukan
sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu pedoman yang
langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang
merupakan sumber norma
BAB II
2.1 RUMUSAN MASALAH

1. Apakah pengertian dari etika ?


2. Apakah pengertian dari politik ?
3. Apakah maksud dari nilai, norma, moral?
4. Bagaimanakah hubungan dari nilai, norma, moral?
5. Bagaimana awal munculnya etika politik ?
6. Apakah yang dimaksud dengan etika politik ?
7. Bagaimana peran Pancasila sebagai etika politik di Indonesia ?

2.2 LANDASAN TEORI

a. Etika
Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana
dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terentu, atau bagaimana kita harus
mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral
(Suseno, 1987). Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi etika khusus
yaitu etika yang membahas prinsip dalam berbagai aspek kehidupan manusia sedangkan etika
umum yaitu mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia
(Suseno, 1987).

b. Nilai
Nilai atau “Value” termasuk kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas
dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiologi, theory of Value).
Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Nilai adalah kemampuan yang
dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda
yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. (The believed copacity of any
abject to statisfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kwalitas
yang melekat pada suatu obyek, bukan obyek itu sendiri.

c. Politik
Pengrtian ‘politik’ berasal dari kata ‘politics’. Yang memiliki makna bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tjuan-tujuan itu.
‘Pengambilan keputusan’ atau decisionmaking mengenai apakah yang menjadi tujuan
darisistem politik menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan
umum atau public policies. Yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions
dari sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu,
diperlukan suatu kekuasaan (power), kewenangan (authority). Berdasarkan pengertian-
pengertian politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok
yang berkaitan dengan negara (state). Kekuasaan (power). Pengambilan keputusan
(decisionmaking). Kebijaksanaan (policy). Pembagian (distribution). Serta alokasi
(allocation) (Budiardjo 1981. 89).

d. Etika Politik
Etika Politik merupakan Filsafat teoretis yang membahas tentang makna hakiki segala
sesuatu antara lain: manusia, alam, benda fisik, pengetahuan bahkan tentang hakikat yang
transenden. Dalam hubungan ini filsafat teoritis pada akhirnya sebagai sumber pengembangan
ha1-hal yang bersifat praksis termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Filsafat praksis
sebagai bidang kedua yang membahas dan mempertanyakan aspek praksis dalam kehidupan
manusia yaitu etika yang mempertanyakan dan membahas tanggung jawab dan kewajiban
manusia dalam hubungannya dengan sesame manusia, masyarakat, bangsa dan negara
lingkungan alam serta terhadap Tuhannya (Suseno, 1987)

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika

Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi.dua kelompok yaitu etika umum
dan etika khusus. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus menggambil sikap yang bertanggung
jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum merupakan prinsip- prinsip
yang berlaku bagi setiap tindakan manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip. Etika
khusus dibagi menjadi etika individu yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika
sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang
merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.

Menurut Bartens, sebenarnya terdapat tiga makna dari etika. Pertama, etika dipakai dalam arti
nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya (sistem nilai dalam hidup manusia perseorangan atau hidup
bermasyarakat). Kedua, etika dipakai dalam arti kumpulan asas dan nilai moral, yang dimaksud disini
adalah kode etik. Ketiga, etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang baik atau yang buruk (sama dengan
filsafat moral).

Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pada umumnya membicarakan
masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”.
Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat
yang menunjukan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika
banyak bertangkutan dengan Prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan, tingkah laku
manusia (Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam
hubungan dengan tingkah laku manusia.
Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap
apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.Etika adalah ilmu yang membahas tentang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan
bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral.

Sebelum membahas pengertian etika politik terlebih dulu harus dipahami arti konsepkonsep
dasar yang erat kaitannya seperti etika, moral, norma dan nilai sebagai berikut:

1. Etika

Secara etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti watak,
adat ataupun kesusilaan. Jadi etika pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu kesediaan
jiwa seseorang untuk senantiasa patuh kepada seperangkat aturan-aturan kesusilaan (Syafiie,
1993). Dalam konteks filsafat, etika membahas tentang tingkah laku manusia dipandang dari
segi baik dan buruk. Etika lebih banyak bersangkut BAB IV Pancasila Sebagai Etika Politik |
38 dengan prinsip-prinsip dasar pembanaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia
(Kattsoff, 1986).

Selanjutnya etika dapat dibagi atas etika umum dan etika khusus. Etika umum
mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Sedangkan etika
khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan
manusia. Etika khusus terbagi menjadi etika individual, yaitu membahas kewajiban manusia
terhadap di diri sendiri dan etika sosial membahasi kewaiban manusia terhadap manusia lain
dalam hidup bermasyarakat (Suseno, 1987). Pada dasarnya etika membicarakan hal-hal yang
berkaitan dengan nilai-nilai seperti nilai baik dan buruk, nilai susila atau tidak susila, nilai
kesopanan, kerendahan hati dan sebagainya.

1.1 Sumber kebaikan dan keburukan

Sumber kebaikan dan keburukan → kemauan bebas untuk memilih Teori kemauan bebas,
yaitu: determinisme dan indeterminisme

- Determinisme: “Manusia sejak semula sudah ditetapkan/direncanakan”

• Determinisme materialistis : “Manusia serba materi → Hukum alam” - Darwinisme


→ Manusia hasil perkembangan alamiah. “Strunggle for life, survival of the fittest” =
perjuangan hidup, siapa yang kuat dialah yang hidup terus menerus - La Mettic (Mesin),
fourbach (atheisme)

• Determinisme – Religius “Kekuasaan Tuhan menjadi prinsip penetapan tingkah laku


manusia”
- Indeterminisme

 Manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat dan memilih


 tanpa kemauan bebas manusia tidak mungkin mengetahui moral yang baik

1.2 Kriteria tentang baik dan buruk

- Hedonisme → kenikmatan

- Utilisme → kemanfaatan

- Vitalisme → kekuatan hidup/kekuasan. Persaingan adalah dinamika – hidup

- Sosialisme → pandangan masyarakat

- Religiusme → sesuai dengan kehendak Tuhan

- Homarisme → kodrat manusia (human-nature)

Religiusme → Islam memiliki 5 kategori Baik :

Baik sekali = wajib; Baik = sunnat, Netral = mubah; buruk = makruh, buruk sekali = haram

Humanisme → tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan derajat manusia, tidak
mengurangi/menentang kemanusiaan

- Kebaikan berdasarkan kodratnya → kebaikan kodrati

- Kebaikan yang mengatasi kodrat → kebaikan adi kodrati/kebaikan wahyu Tuhan

- Akal budi → penerang baik buruknya tindakan

- Hati nurani → indeks (petunjuk), indeks (hakim, index (penghukum)

1.3 Pendekatan Etika

Normatif Etik → melalui penelaahan dan penyaringan ukuran-ukuran normatif seseorang


berperilaku sesuai dengan norma yang telah disepakati baik lisan maupun tulisan

Deskriptif Etik → sadar akan kebaikan etika tapi tidak merasa perlu mentaatinya secara
keseluruhan
Practical Etik → sadar memperlakukan etika sesuai status dan kemampuannya

1.4 Norma Dasar Etika (metaethics)

→ Norma ke-Tuhanan (Hablum Minallah) “Manusia berperilaku etika → melaksanakan


perintah/menjauhi larangan Tuhan”

→ Norma kemanusiaan (Hablum Minannas) “Perilaku Etika → berakibat baik pada


kehidupan bersama”

1.5 Prinsip-Prinsip Etika


The Great Ideas : A syntopicon of Great Books of western World • 120 macam “ide agung”
→ enam landasan prinsipil etika :
- Prinsip keindahan (beauty)
- Prinsip persamaan (Equality)
- Prinsip Kebaikan (Good)
- Prinsip Keadilan (justice)
- Prinsip Kebebasan (library)
- Prinsip kebenaran (truth)

PRINSIP KEINDAHAN
 Hidup ini indah/ bahagia
 Penampilan yang serasi dan indah, penataan ruangan kantor

PRINSIP PERSAMAAN

 Hakekat kemanusiaan → persamaan / kesederajatan


 Menghilangkan perilaku diskriminatif
 Perlakuan pemerintah terhadap daerah/ warga negara harus sama → tinggi rendahnya
urgensi/prioritas

PRINSIP KEBAIKAN

 Kebaikan: sifat/karakterisasi dari sesuatu yang menimbulkan pujian → Good (baik)


 Good → persetujuan, pujian, keunggulan atau ketepatan
 Kebaikan ilmu pengetahuan → objektivitas. Kemanfaatan dan rasionalitas.
 Kebaikan tatanan sosial → sadar hukum, saling hormat

PRINSIP KEADILAN

 Romawi Kuno (justice) → “Justice est contants et perpetua voluntas jus suum curque
tribuendi”
 Keadilan → kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang
apa yang semestinya
PRINSIP KEBEBASAN

 Kebebasan → keleluasaan untuk bertindak /tidak bertindak berdasarkan pilihan yang


tersedia
 Kebebasan :
- Kemampuan menentukan diri sendiri
- Kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan
- Syarat-syarat yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan pilihanpilihannya
beserta konsekuensinya
- Kebebasan tidak ada tanpa tanggung jawab. Tak ada tanggung jawab tanpa
kebebasan

PRINSIP KEBENARAN
- Teori-teori kebenaran
- Kebenaran dalam pemikiran (truth in the mid)
- Kebenaran dalam kenyataan (truth in the reality)

2. Moral
Moral merupakan patokan-patokan, kumpulan peraturan lisan maupun tertulis tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar mnejadi manusia yang lebih baik. Moral
dengan etika hubungannya sangat erat, sebab etika suatu pemikiran kritis dan mendasar
tetang ajaran-ajaran dan pandangan moral dan etika merupakan ilmu pengetahuan yang
membahas prinsip-prinsip moralitas (Devos, 1987). Etika merupakan tingkah laku yang
bersifat umum universal berwujud teori dan bermuara ke moral, sedangkan moral bersifat
tindakan lokal, berwujud praktek dan berupa hasil buah dari etika. Dalam etika seseorang
dapat memahami dan mengerti bahwa mengapa dan atas dasar apa manusia harus hidup
menurut norma-norma tertentu, inilah kelebihan etika dibandingkan dengan moral.
Kekurangan etika adalah tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan seseorang, sebab wewenang ini ada pada ajaran moral.

3. Norma
Norma adalah aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat warga masyarakat
atau kelompok tertentu dan menjadi panduan, tatanan, padanan dan pengendali sikap dan
tingkah laku manusia. Agar manusia mempunyai harga, mengandung integritas dan martabat
pribadi manusia. Sedangkan derajat kepribadian sangat ditentukan oleh moralitas yang
dimilikinya, maka makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang tercermin dari
sikap dan tingkah lakunya. Oleh karena itu, norma sebagai penuntun, panduan atau
pengendali sikap dan tingkah laku manusia.

4. Nilai
Nilai pada hakikatnya suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, namun
bukan objek itu sendiri. Nilai merupakan kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, yang kemudian nilai dijadikan landasan, alasan dan motivasi dalam
bersikap dan berperilaku baik disadari maupuin tidak disadari. Nilai merupakan harga untuk
manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran, kemanusiaan (Kamus Bahasa
Indonesia, 2000).
Nilai akan lebih bermanfaat dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka harus
lebih di kongkritkan lagi secara objektif, sehingga memudahkannya dalam menjabarkannya
dalam tingkah laku, misalnya kepatuhan dalam norma hukum, norma agama, norma adat
istiadat dll.

B. Pengertian Politik

Pengertian politik berasal dari kosa kata “politics” yang memiliki makna bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik atau “negara” yang menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan
tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Untuk pelaksanaan tujuan-tujuan
itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public policies, yang menyangkut
pengaturan dan pembagian atau distributions dari sumber-sumber yang ada. Untuk melakukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suartu kekuasaan (power), dan kewenangan (authority) yang
akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul
dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu
pemaksaan. Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan
belaka (statement of intents) yang tidak akan pernah terwujud. Secara operasional bidang politik
menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power),
pengambilan keputusan (decisionsmaking), kebijaksanaan (policy), pembagian (distributions) serta
alokasi (allocation).

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan
tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok
termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa
masyarakat, bangsa, maupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.
Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter. Dalam hubungan dengan
etika politik pengertian politik harus dipahami dalam pengertian yang luas yaitu menyangkut seluruh
unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.

C. Awal Munculnya Etika Politik

Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur politik tradisional
berangsur-angsur mulai rapuh sampai ambruk. Dengan runtuhnya tatanan masyarakat Athena, muncul
berbagai macam pertanyaan tentang masyarakat dan negara, seperti bagaimana seharusnya masyarakat
harus di tata dan siapa yang harus menata, apa tujuan negara dan beragam pertanyaan lainnya. Dua ribu
tahun kemudian, kurang lebih lima ratus tahun yang lalu, etika politik bertambah momentumnya.
Legitimasi kekuasaan raja dalam tatanan hierarkis kosmos tidak lagi di terima begitu saja. Legitimasi
tatanan hukum, negara dan hak raja untuk memerintah masyarakat dipertanyakan. Situasi seperti ini
tampak jelas pada zaman industrialisasi yang memicu kebangkitan filsafat politik. Klaim-klaim legitimasi
kekuasaan yang saling bertentangan menuntut refleksi filosofis atas prinsip dasar kehidupan politik. Etika
politik lebih berperan pada tuntutan agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggung-
jawabkan pada prinsip moral dasar. Klaim-klaim legitimasi dari segala macam kekuatan, baik bersifat
kekuasaan langsung atau tersembunyi di belakang pembenaran normatif harus merasionalisasikan
dengan kebenaran umum. Filsafat politik mendorong afirmativitas yang tidak dipertanyakan dalam
permukaan saja, tetapi memaksa tuntutan ideologis untuk membuktikan diri filsafat, dengan demikian
menjadi reflektif dan terbuka terhadap kritik, atau memang ditelanjangi sebagai layar asap ideologis bagi
kepentingan tertentu.
Al-Ghazali merupakan seorang penulis dan filsuf muslim abad pertengahan yang memiliki corak
pemikiran dan pemahaman yang sinergis dan relevan dengan hal tersebut. Pemikiran al-Ghazali tentang
etika kuasa (politik) seperti dalam teorinya bagaimana cara menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang
mempertimbangkan moralitas untuk kemaslahatan bersama dengan pemimpin yang mempunyai
integritas tinggi ditopang dengan kekuatan moral yang memenuhi beberapa kriteria yang al-Ghazali
idealkan. Masih dimungkinkan sebagai referensi dalam menata sebuah negara pada masa sekarang dari
beberapa teori tentang filsafat politik khususnya dalam tradisi filsafat Islam.

Konsepsi etika politik al-Ghazali adalah suatu teori sistem pemerintahan yang berisikan
masyarakat dan aparatur negara yang mempunyai moral yang baik dengan ditopang oleh agama sebagai
dasar negara. Seorang pemimpin yang ideal menurut al-Ghazali adalah seorang yang mengerti tentang
budi luhur atau moral agama dan kebijaksanaan yang harus diterapkan dalam menjalankan sistem
pemerintahan.

D. Etika Politik

Pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika, yakni
manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa pengertian “moral” senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek
etika. Dapat disimpulkan bahwa dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara. Dasar
ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia
sebagai makhluk beradab dan berbudaya.

Etika politik merupakan sebuah cabang dalam ilmu etika yang membahas hakikat manusia
sebagai makhluk yang berpolitik dan dasar-dasar norma yang dipakai dalam kegiatan politik. Etika
politik sangat penting karena mempertanyakan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan
mempertanyakan atas dasar apa sebuah norma digunakan untuk mengontrol perilaku politik. Etika politik
menelusuri batas-batas ilmu politik, kajian ideologi, asas-asas dalam ilmu hukum, peraturan-peraturan
ketatanegaraan dan kondisi psikologis manusia sampai ke titik terdalam dari manusia melalui
pengamatan terhadap perilaku, sikap, keputusan, aksi, dan kebijakan politik.

Etika politik tidak menerima begitu saja sebuah norma yang melegitimasi kebijakan-kebijakan
yang melanggar konsep nilai intersubjektif (dan sekaligus nilai objektif juga) hasil kesepakatan awal.
Jadi, tugas utama etika politik sebagai metode kritis adalah memeriksa legitimasi ideologi yang dipakai
oleh kekuasaan dalam menjalankan wewenangnya. Namun demikian, bukan berarti bahwa etika politik
hanya dapat digunakan sebagai alat kritik. Etika politik harus pula dikritisi. Oleh karena itu, etika politik
harus terbuka terhadap kritik dan ilmu-ilmu terapan .

Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk
mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan
emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan argumentative. Etika politik tidak
langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah
ideologis dapat dijalankan secara objektif.

Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai
lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat yang
efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Pokok
permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan. Sehingga penguasa memiliki kekuasaan dan
masyarakat berhak untuk menuntut pertanggung jawaban. Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan
kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap
tindakan Negara baik legislatif maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral.
Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh
masyarakat.

Peran Pancasila sebagai Sumber Etika Politik di Indonesia

Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan satu kesatuan nilai yang tidak
dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing sila-silanya. Karena jika dilihat satu persatu dari masing-
masing sila itu dapat saja ditemukan dalam kehidupan berbangsa yang lainnya. Namun, makna Pancasila
terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tak bias ditukar-balikan letak
dan susunannya. Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan,
melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi
kekuasaan, hukum, serta kebijakan dalam penyelenggaraan negara. Untuk memahami dan mendalami
nilai nilai Pancasila dalam etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima sila Pancasila.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila pertama merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Berdasarkan sila pertama Negara Indonesia bukanlah negara teokrasi yang mendasarkan kekuasaan
negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi
religius melainkan berdasarkan legitimasi hukum dan demokrasi. Walaupun Negara Indonesia tidak
mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan
nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara. Oleh karena itu
asas sila pertama lebih berkaitan dengan legitimasi moral.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila kedua juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara. Bangsa Indonesia
sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu, dengan
suatu cita-cita serta prinsip hidup demi kesejahteraan bersama. Manusia merupakan dasar kehidupan dan
penyelenggaran negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan
negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, maka
hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia. Selain itu asas
kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam penyelenggaraan negara.

3. Persatuan Indonesia

Persatuan berati utuh dan tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya
bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Sila ketiga ini mencakup
persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Indonesia sebagai negara
plural yang memiliki beraneka ragam corak tidak terbantahkan lagi merupakan negara yang rawan
konflik. Oleh karenanya diperlukan semangat persatuan sehingga tidak muncul jurang pemisah antara
satu golongan dengan golongan yang lain. Dibutuhkan sikap saling menghargai dan menjunjung
semangat persatuan demi keuthan negara dan kebaikan besama. Oleh karena itu sila ketiga ini juga
berkaitan dengan legitimasi moral.
4. Kerakyatanyang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan

Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan
senantiasa untuk rakyat. Oleh karena itu rakyat merupakan asal muasal kekuasaan negara. Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan harus
dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis,
hal-hal yang menyangkut kekuasaan legislatif, eksekutif serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan,
pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan kata lain harus
memiliki “legitimasi demokratis”.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip “legalitas”.
Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial)
merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Dalam penyelenggaraan negara, segala kebijakan,
kekuasaan, kewenangan serta pembagian senatiasa harus berdasarkan hukum yang berlaku. Pelanggaran
atas prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam
kehidupan negara.

Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan sesuai
dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas. Yang mana dalam berpolitik harus bertumpu pada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Etika politik Pancasila dapat
digunakan sebagai alat untuk menelaah perilaku politik Negara, terutama sebagai metode kritis untuk
memutuskan benar atau slaah sebuah kebijakan dan tindakan pemerintah dengan cara menelaah
kesesuaian dan tindakan pemerintah itu dengan makna sila-sila Pancasila.

Etika politik harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkrit dalam
pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, para pelaksana dan
penegak hukum harus menyadari bahwa legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus
berdasarkan pada legitimasi moral. Nilai-nilai Pancasila mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang
berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering
terjadi dewasa ini. Seperti tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan,
terorisme, dan penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit politik yang menjadi
momok masyarakat.

Dalam penerapan etika politik Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai beberapa kendala-
kendala, yaitu :

1. Etika politik terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang mengkritik sebuah ideologi,
ia pasti akan mencari kelemahan-kelemahan dan kekurangannya, baik secara konseptual maupun
praksis. Hingga muncul sebuah keyakinan bahwa etika politik menjadi satu-satunya cara yang
efektif dan efisien dalam mengkritik ideologi, sehingga etika politik menjadi sebuah ideologi
tersendiri.
2. Pancasila merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih lengkap disbanding etika politik Pancasila,
sehingga kritik apa pun yang ditujukan kepada Pancasila oleh etika politik Pancasila tidak mungkin
berangkat dari Pancasila sendiri karena kritik itu tidak akan membuahkan apa-apa.
Pancasila sebagai Sistem Etika Dalam PILKADA sampai PEMILU

Pancasila adalah sebagai dasar negara Indonesia, memegang peranan penting dalam
setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila banyak memegang peranan yang
sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia, salah satunya adalah “Pancasila sebagai
suatu sistem etika”. Di dunia internasional bangsa Indonesia terkenal sebagai salah satu
negara yang memiliki etika yang baik, rakyatnya yang ramah tamah, sopan santun yang
dijunjung tinggi dan banyak lagi, dan pancasila memegang peranan besar dalam membentuk
pola pikir bangsa ini sehingga bangsa ini dapat dihargai sebagai salah satu bangsa yang
beradab didunia.Kecenderungan menganggap hal yang tak penting akan kehadiran pancasila
diharapkan dapat ditinggalkan. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab.
Pembentukan etika bukanlah hal yang mudah, karena berasal dari tingkah laku dan hati
nurani.

Pancasila sebagai etika, dapat kita ketahui bahwa dalam pembahasan Bab 3 ini
tentang pancasila sebagai etika. Etika merupakan kelompok filsafat praktis (filsafat yang
membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada ) dan dibagi mejadi
kelompok. Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika juga ilmu yang membahas tentang bagaimana dan
mengapa kita harus belajar tentang etika dan mengikuti ajaran moral. Etika pun dibagi
menjadi 2 kelompok etika umum dan khusus. Etika khusus ini terbagi dua yaitu terdari etika
individual dan etika social. Etika politik adalah cabang bagian dari etika social dengan
demikian membahas kewajiban dan norma-norma dalam kehidupan politik, yaitu bagaimana
seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan ( yang menganut system politik tertentu)
berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain. Dalam
melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan memahami norma-
norma dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi.Dan pancasila memegang peranan
dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Disetiap saat dan dimana saja
kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum di sila
ke dua “ kemanusian yang adil dan beadab” tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran
pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil besar, Setiap sila pada dasarnya
merupakan azas dan fungsi sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu
kesatuan.
Maka bisa dikatakan bahwa fungsi pancasila sebagai etika itu sangatlah penting agar
masyarakat harus bisa memilih dan menentukan calon yang akan menjabat dan menjadi
pimpinan mayarakat dalam demokrasi liberal memberikan hak kepada rakyat untuk secara
langsung memilih pejabat dan pemimpin tinggi (nasional, provinsi, kabupaten/kota) untuk
mewujudkan harapan rakyat … ! dengan biaya tinggi serta adanya konflik horizontal.
Sesungguhnya, dalam era reformasi yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM,
ternyata ekonomi rakyat makin terancam oleh kekuasaan neoimperialisme melalui ekonomi
liberal. Analisis ini dapat dihayati melalui bagaimana politik pendidikan nasional (konsep :
RUU BHP sebagai kelanjutan PP No. 61 / 1999) yang membuat rakyat miskin makin tidak
mampu menjangkau.Bidang sosial ekonomi, silahkan dicermati dan dihayati Perpres No. 76
dan 77 tahun 2007 tentang PMDN dan PMA yang tertutup dan terbuka, yang mengancam
hak-hak sosial ekonomi bangsa !

Dalam pelaksanaan pilkada sebagai prakteknya demokrasi liberal, juga menghasilkan


otoda dalam budaya politik federalisme, dilaksanakan: dengan biaya amat mahal + social cost
juga mahal, dilengkapi dengan konflik horisontal sampai anarchisme. Pilkada dengan praktek
demokrasi liberal, menghasilkan budaya demokrasi semu (demokrasi palsu). Bagaimana
tidak semu ; bila peserta pilkada 3 – 5 paket calon; terpilih dengan jumlah suara sekitar 40%,
35%, 25%. Biasanya, yang terbanyak 40% ini dianggap terpilih sebagai mayoritas. Padahal
norma mayoritas di dunia umumnya dengan jumlah 51% ! Apa model demokrasi-semu
(=demokrasi palsu) ini yang akan dikembangkan reformasi Indonesia? atas nama demokrasi
langsung dan HAM. Bandingkan dengan demokrasi Pancasila dalam UUD Proklamasi 45
Pasal 1, 2 dan 37. Pasal 95 (1), (2), yang menetapkan : calon terpilih bila memperoleh suara
lebih dari 25 % dari jumlah suara sah. Dalam halnya PEMILU tahun 2009 banyak partai-
partai yang belum memakai etika politik. Bukan hanya para partai saja, melainkan
masyarakat yang memilih pun terkadang tidak memilih untuk memikirkan bangsanya
melainkan hanya berfikir untuk kepentingan sendiri (independent). Dan pada PEMILU tahun
ini banyak yang melanggar etika politik yang telah diterapkan oleh KPU.
APLIKASI NILAI, NORMA, DAN MORAL DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Dalam kehidupan kita akan selalu berhadapan dengan istilah nilai dan norma dan juga
moral dalam kehidupan sehari-hari. Dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan nilai
social merupakan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik
dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menanggap menolong
memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Dan dapat juga dicontohkan, seorang
kepala keluarga yang belum mampu memberi nafkah kepada keluarganya akan merasa
sebagai kepala keluarga yang tidak bertanggung jawab. Demikian pula, guu yang melihat
siswanya gagal dalam ujian akan merasa gagal dalam mendidik anak tersebut. Bagi manusia,
nilai berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam segala tingkah laku dan
perbuatannya. Nilai mencerminkan kualitas pilihan tindakan dan pandangan hidup seseorang
dalam masyarakat. Itu adalah yang dimaksud dan juga contoh dari nilai. Dapat di jelaskan
juga bahwa yang dimaksud norma social adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok
masyarakat tertentu. Norma sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut
perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan
norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak
sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar
hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang
diharapkan. Tingakat norma dasar didalam masyarakat dibedakan menjadi 4 yaitu:

1. Cara
Contoh: cara makan yang wajar dan baik apabila tidak mengeluarkan suara seperti
hewan
2. Kebiasaan
Contoh: Memberi hadiah kepada orang-orang yang berprestasi dalam suatu
kegiatan atau kedudukan, memakai baju yang bagus pada waktu pesta.
3. Tata kelakuan
Contoh: Melarang pembunuhan, pemerkosaan, atau menikahi saudara kandung.
4. Adat istiadat,
Misalnya orang yang melanggar hukum adat akan dibuang dan diasingkan ke
daerah lain.,upacara adat (misalnya di Bali) Norma hukum (laws) - Tidak
melanggar rambu lalu lintas walaupun tidak ada polentas - Menghormati
pengadilan dan peradilan di Indonesia
Norma kesusilaan
Contoh :
orang yang berhubungan intim di tempat umum akan di cap tidak susila,
melecehkan wanita ataupun laki-laki didepan orang.
Norma kesopanan
Contoh :
- memberikan tempat duduk di bis umum pada lansia dan wanita hamil.
-Tidak meludah di sembarang tempat, memberi atau menerima sesuatu dengan
tangan kanan, kencing di sembarang tempat Dan ada beberapa norma yang lain
yang belum di sebutkan dalam hal ini. Setelah masuk pada nilai dan norma. Dalam
aplikasi yang terakhir akan membahas tentang moral.
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang
lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral
disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia
lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara
ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral
manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai
nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut
pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia
harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-
absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh.
Contoh moral adalah : Tidak terdapat adanya pemaksaan suatu agama tertentu kepada
orang lain, dengan demikian masyarakat dan bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai nilai
HAM. Dapat dicontoh dalam hal nya pendidikan. Seorang siswa yang ingin bersekolah tapi
dengan tidak dana maka ia tak dapat sekolah sampai cita-citanya tidak terwujud.
Contohnya moral dalam halnya kehidupan sehari kalau kita menemukan tas yang
berisikan dokumen penting dan juga sejumlah uang yang tersapat dalam tas tersebut.
Seandainya kita memiliki moral yang baik maka kita akan memberikan tas itu pada
kepemiliknya kalau tidak pada yang berwajib.
Etika Kehidupan Berbangsa (Tap MPR No 01/MPR/2001)

1 Tanda-tanda mundurnya pelaksanaan etika berbangsa


- Konflik sosial berkepanjangan
- Berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam kehidupan social
- Melemahnya kejujuran dan sikap amanah
- Pengabaian ketentuan hukum dan peraturan
2 Faktor-faktor penyebab mundurnya pelaksanaan etika
Faktor internal :
 Lemahnya penghayatan dan pengamalan agama
 Sentralisasi di masa lalu
 Tidak berkembangnya pemahaman/penghargaan kebinekaan
 Ketidakadilan ekonomi
 Keteladanan tokoh/pemimpin yang kurang
 Penegakan hukum yang tidak optimal
 Keterbatasan budaya lokal merespon pengaruh dari luar
 Meningkatnya prostitusi, media pornografi, perjudian dan narkoba

Faktor Eksternal :

 Pengaruh globalisasi
 Intervensi kekuatan global dalam panutan kebijakan nasional

3 Pokok-Pokok Etika Berbangsa

- Etika sosial budaya

- Etika politik pemerintahan

- Etika ekonomi dan bisnis

- Etika penegakan hukum

- Etika keilmuan

- Etika lingkungan
4 Good Governance Sebagai Etika Pemerintahan

- Partisipasi

- Aturan Hukum (rule of law)

- Transparansi - Daya tanggap (responsiveness)

- Berorientasi konsensus (Consensus Orientation)

- Berkeadilan (Equity)

- Akuntabilitas (Accountability)

- Bervisi strategis (Strategic vision)

- Efektifitas dan efisiensi

- Saling keterkaitan (interrelated)

5 Strategi/pendekatan peningkatan etika

- Pendekatan larangan (Don’t Approach)

- Pendekatan Untung-rugi (Cost – Benefit Approach)

- Pendekatan sistem (System Approach)

- Pendekatan kerjakan (Do Approach)

Pemberdayaan Etika Pancasila dalam Konteks Kehidupan Akademik

Pancasila sebagai dasar etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan


bernegara diberdayakan melalui kebebasan akademik untuk mendasari suatu sikap mental
atau attitude. Kebebasan akademik adalah hak dan tanggung jawab seseorang akademisi. Hak
dan tanggung jawab itu terkait pada susila akademik, yaitu;

1. Curiosity, dalam arti terus menerus mempunyai keinginan untuk mengetahui hal-hal baru
dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tidak mengenal titik henti, yang berpengaruhi
dengan sendirinya terhadap perkembangan etika;
2. Wawasan, luas dan mendalam, dalam arti bahwa nilai-nilai etika sebagai norma dasar bagi
kehidupan suatu bangsa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak terlepas dari
unsur-unsur budaya yang hidup dan berkembang dengan ciri-ciri khas yang membedakan
bangsa itu dari bangsa lain;

3. Terbuka, dalam arti luas bahwa kebenaran ilmiah adalah sesuatu yang tentatif, bahwa
kebenaran ilmiah bukanlah sesuatu yang hanya sekali ditentukan dan bukan sesuatu yang
hanya sekali ditentukan dan bukan sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat, yang
implikasinya ialah bahwa pemahaman suatu norma etika bukan hanya tekstual, melainkan
juga kontekstual untuk diberi makna baru sesuai dengan kondisi aktual yang berkembang
dalam masyarakat;

4. Open mindedness, dalam arti rela dan rendah hati (modest) bersedia menerima kritik dari
pihak lain terhadap pendirian atau sikap intelektualnya;

5. Jujur, dalam arti menyebutkan setiap sumber atau informasi yang diperoleh dari pihak lain
dalam mendukung sikap atau pendapatnya; serta

6. Independen, dalam arti beranggungjawab atas sikap dan pendapatnya, bebas dari tekanan
atau “kehendak yang dipesankan” oleh siapa pun dan dari mana pun.

Pancasila sebagai core philosophy bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, an


bernegara, juga meliputi etika yang sarat dengan nilai-nilai filsafati; jika memahami Pancasila
tidak dilandasi dengan pemahaman segi-segi filsafatnya, maka yang ditangkap hanyalah segi-
segi filsafatnya, maka yang ditangkap hanyalah segi-segi fenomenalnya saja, tanpa
menyentuh inti hakikinya.
BAB IV

KESIMPULAN

Pendukung dari Pancasila sebagai sistem etika adalah Pancasila memegang peranan
dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Di setiap saat dan dimana saja
kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum di sila
ke dua pada Pancasila, yaitu “Kemanusian yang adil dan beradab” sehingga tidak dapat
dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil
besar. Dengan menjiwai butir-butir Pancasila masyarakat dapat bersikap sesuai etika baik
yang berlaku dalam masyarakat, bangsa dan negara. Pancasila adalah dasar Negara yang menjadi
tolok ukur pemikiran bangsaIndonesia yang mengandung nilai-nilai yang universal dan terkristalilasi
dalam sila-silanya. yang dikembangkan dan berkembang dalam diri pribadi manusia sesuaidengan
kodratnya, sebagai makhluk pribadi dan sosial. Didalam tubuh pancasilatelah terukir berbagai aspek
pemikiran bangsa yang mengandung asas moralitas, politik, sosial, agama, kemusyawaratan, persatuan
dan kesatuan.Seluruh aspek tersebut senafas, sejiwa, merupakan suatu totalitas saling hidup menjiwai,
diliputi dan dijiwai satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Iqbal, M.M, 2002, Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, penerbit PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

H. Acmat (2007). Pendidikan Kewarganegaraan. Jogyakarta: Paradigma.

Kaelan, 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma

Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: paradigma

Kaelan dan Ahmad Zubaidi. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma

Suseno Von Magnis, 1978, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. PT.
Gramedia, Jakarta.
PANCASILA SEBAGAI PERKEMBANGAN ILMU

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Sejak 18 Agustus 1945, secara epistomologis, Pancasila dikaji oleh para ahli dan juga
diuji oleh berbagai peristiwa-peristiwa yang mencoba merongrong kemerdekaan dan
keutuhan Republik Indonesia. Secara empiris dan kenegaraan, Pancasila telah menunjukkan
ketangguhannya hingga pada saat ini. Pengujian secara kognitif telah dilakukan oleh para ahli
dengan berbagai pendekatan. Notonegoro dengan analisis teori causal, Driarkara dengan
pendekatan antroplogi metafisik, Eka Darmaputra dengan etika, Suwarno dengan pendekatan
historis, filosofis dan sosio-yuridis, Gunawan Setiardja dengan analisis yuridis ideologis
(Dimyati, 2006) dan bayak para ahli dan kalangan akademisi membuktikan Pancasila sebagai
filsafat

Sejak dulu, ilmu pengetahuan mempunyai posisi penting dalam aktivitas berpikir
manusia. Istilah ilmu pengetahuan terdiri dari dua gabungan kata berbeda makna, ilmu dan
pengetahuan. Segala sesuatu yang kita ketahui merupakan definisi pengetahuan, sedangkan
ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut
metode tertentu.

Sikap kritis dan cerdas manusia dalam menanggapi berbagai peristiwa di sekitarnya,
berbanding lurus dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan. Namun dalam
perkembangannya, timbul gejala dehumanisasi atau penurunan derajat manusia. Hal tersebut
disebabkan karena produk yang dihasilkan oleh manusia, baik itu suatu teori maupun materi
menjadi lebih bernilai ketimbang penggagasnya. Itulah sebabnya, peran Pancasila harus
diperkuat agar bangsa Indonesia tidak terjerumus pada pengembangan ilmu pengetahuan
yang saat ini semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai –nilai Pancasila sesungguhnya telah tertuang secara filosofis-ideologis dan


konstitusional di dalam UUD 1945 baik sebelum amandemen maupun setelah amandemen.
Nilai –nilai Pancasila ini juga telah teruji dalam dinamika kehidupan berbangsa pada berbagai
periode kepemimpinan Indonesia. Hal ini sebenarnya telah menjadi kesadaran bersama
bahwa Pancasila merupakan tatanan nilai yang digali dari nilai-nilai dasar budaya bangsa
Indonesia, yaitu kelima sila yang merupakan kesatuan yang bulat dan utuh sehingga
pemahaman dan pengamalannya harus mencakup semua nilai yang terkandung di dalamnya.
Hanya saja perlu diakui bahwa meski telah terjadi amandemen hingga ke-4, namun dalam
implementasi Pancasila masih banyak terjadi distorsi dan kontroversi yang menyebabkan
praktek kepemimpinan dan pengelolaan bangsa dan Negara cukup memprihatinkan.

Bukti-bukti empiris menunjukkan hampir semua inovasi teknologi merupakan hasil dari
suatu kolaborasi, apakah itu kolaborasi antar-pemerintah, antar-universitas, antar-perusahaan,
antar-ilmuwan, atau kombinasi dari semuanya. Aktivitas ini pun relatif belum terfasilitasi
dengan baik dalam beberapa kebijakan pemerintah

BAB II

2.1 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pengertian dari Ilmu ?


2. Bagaimana Pilar - Pilar Penyangga bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan ?
3. Bagaimana Prinsip-prinsip dalam berpikir ilmiah ?
4. Bagaimana aspek penting dalam ilmu pengetahuan ?
5. Bagaimana Strategi Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi ?
6. Bagaimana Hubungan Antara Pancasila dan Perkembangan IPTEK ?
2.2 LANDASAN TEORI

Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam
alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu
diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi
merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat
secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.
Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh
mengenai pengetahuan yang dimilikinya (Surajiyo. 2010).
Ilmu (Knowledge) merujuk kepada kefahaman manusia terhadap sesuatu perkara,
dimana ilmu merupakan kefahaman yang sistematik dan diusahakan secara sedar. Pada
umumnya, ilmu mempunyai potensi untuk dimanfaatkan demi kebaikan manusia. Ilmu adalah
sesuatu yang membedakan kita dengan makluk tuhan lainya seperti tumbuhan dan hewan.
Denagan ilmu kita dapat melakukan, membuat, menciptakan sesuatu yang membawa
perbedaan yang lebih baik bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan dimengerti sebagai
pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaianya
dipertanggungjawabkan secara teoretis. Sehingga ilmu pengetahun sangat diperlukan bagi
setiap manusia untuk mencapai kemajuan dan perkembangan kehidupan manusia itu sendiri.
Wilhelm Dilthey (1833-1911) mengajukan klasifikasi, membagi ilmu ke dalam
Natuurwissenchaft dan Geisteswissenchaft. Kelompok pertama sebagai Science of the World
menggunakan metode Erklaeren, sedangkan kelompok kedua adalah Science of Geist
menggunakan metode Verstehen. Kemudian Juergen Habermas, salah seorang tokoh mazhab
Frankfrut (Jerman) mengajukan klasifikasi lain lagi dengan the basic human interest sebagai
dasar, dengan mengemukakan klasifikasi ilmu-ilmu empiris-analitis, sosial-kritis dan historis-
hermeneutik, yang masing-masing menggunakan metode empiris, intelektual rasionalistik,
dan hermeneutik (Van Melsen, 1985).
BAB III

PEMBAHASAN

2.1 Pilar - Pilar Penyangga bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan

Melalui teori relativitas Einstein paradigma kebenaran ilmu sekarang sudah


berubah dari paradigm lama yang dibangun oleh fisika Newton yang ingin selalu
membangun teori absolut dalam kebenaran ilmiah. Paradigma sekarang ilmu bukan
sesuatu entitas yang abadi, bahkan ilmu tidak pernah selesai meskipun ilmu itu
didasarkan pada kerangka objektif, rasional, metodologis, sistematis, logis dan empiris.
Dalam perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan
terhadap koreksi. Itulah sebabnya ilmuwan dituntut mencari alternatif-alternatif
pengembangannya melalui kajian, penelitian eksperimen, baik mengenai aspek ontologis
epistemologis, maupun ontologis. Karena setiap pengembangan ilmu paling tidak
validitas (validity) dan reliabilitas (reliability) dapat dipertanggungjawabkan, baik
berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan (context of justification) maupun berdasarkan
sistem nilai masyarakat di mana ilmu itu ditemukan/dikembangkan (context of
discovery).

Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar


ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis
keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta
prerequisite/saling mempersyaratkan. Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada
persoalan ontologi, epistemologi dan aksiologi.

1. Pilar ontologi (ontology)

Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi).

a) Aspek kuantitas : Apakah yang ada itu tunggal, dual atau plural (monisme,
dualisme, pluralisme )

b) Aspek kualitas (mutu, sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu
(mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme).
Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan asumsi,
dasar-dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner dan
multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan
kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misal masalah krisis moneter, tidak dapat hanya
ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lain yang
tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, maka perlu bantuan ilmu lain seperti politik,
sosiologi.

2. Pilar epistemologi (epistemology)

Selalu menyangkut problematika teentang sumber pengetahuan, sumber


kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar
kebenaran, sistem, prosedur, strategi. Pengalaman epistemologis dapat memberikan
sumbangan bagi kita : (a) sarana legitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin
ilmu tertentu (b) memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu (c)
mengembangkan ketrampilan proses (d) mengembangkan daya kreatif dan inovatif.

3. Pilar aksiologi (axiology)

Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis, moral, religius)


dalam setiap penemuan, penerapan atau pengembangan ilmu. Pengalaman aksiologis
dapat memberikan dasar dan arah pengembangan ilmu, mengembangkan etos keilmuan
seorang profesional dan ilmuwan (Iriyanto Widisuseno, 2009). Landasan pengembangan
ilmu secara imperative mengacu ketiga pilar filosofis keilmuan tersebut yang bersifat
integratif dan prerequisite.
Gambar 1. Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan

2.2 Prinsip-prinsip berpikir ilmiah

1) Objektif: Cara memandang masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor subjektif
(misal : perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita) .
2) Rasional: Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh orang lain.
Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.
3) Logis: Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/ konsisten, implikatif. Tidak
mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu rasional,
begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.
4) Metodologis: Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam setiap
berfikir dan bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik, intuitif).
5) Sistematis: Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah prioritas
yang jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang jelas.

2.3 Beberapa aspek penting dalam ilmu pengetahuan


Melalui kajian historis tersebut yang pada hakikatnya pemahaman tentang sejarah
kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dikonstatasikan bahwa ilmu
pengetahuan itu mengandung dua aspek, yaitu aspek fenomenal dan aspek struktural.
Aspek fenomenal menunjukan bahwa ilmu pengetahuan mewujud / memanifestasikan
dalam bentuk masyarakat, proses, dan produk. Sebagai masyarakat, ilmu pengetahuan
menampakkan diri sebagai suatu masyarakat atau kelompok elit yang dalam kehidupan
kesehariannya begitu mematuhi kaidah-kaidah ilmiah yang menurut partadigma Merton
disebut universalisme, komunalisme, dan skepsisme yang teratur dan terarah. Sebagai proses,
ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit tersebut
dalam upayanya untuk menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, eksperimen,
ekspedisi, seminar, konggres. Sedangkan sebagai produk, ilmu pengetahuan menampakkan
diri sebagai hasil kegiatan kelompok elit tadi berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan
lain sebagaimana disebarluaskan melalui karya-karya publikasi yang kemudian diwariskan
kepada masyarakat dunia.
Aspek struktural menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan di dalamnya terdapat unsur-
unsur sebagai berikut.
1) Sasaran yang dijadikan objek untuk diketahui (Gegenstand)
2) Objek sasaran ini terus-menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa
mengenal titik henti. Suatu paradoks bahwa ilmu pengetahuan yang akan terus
berkembang justru muncul permasalahan-permasalah baru yang mendorong untuk terus
menerus mempertanyakannya.
3) Ada alasan dan motivasi mengapa gegenstand itu terus-menerus dipertanyakan.
4) Jawaban-jawaban yang diperoleh kemudian disusun dalam suatu kesatuan sistem (Koento
Wibisono, 1985).

Dengan Renaissance dan Aufklaerung ini, mentalitas manusia Barat mempercayai akan
kemampuan rasio yang menjadikan mereka optimis, bahwa segala sesuatu dapat diketahui,
diramalkan, dan dikuasai. Melalui optimisme ini, mereka selalu berpetualang untuk
melakukan penelitian secara kreatif dan inovatif.
Ciri khas yang terkandung dalam ilmu pengetahuan adalah rasional, antroposentris, dan
cenderung sekuler, dengan suatu etos kebebasan (akademis dan mimbar akademis).
Konsekuensi yang timbul adalah dampak positif dan negatif. Positif, dalam arti kemajuan
ilmu pengetahuan telah mendorong kehidupan manusia ke suatu kemajuan (progress,
improvement) dengan teknologi yang dikembangkan dan telah menghasilkan kemudahan-
kemudahan yang semakin canggih bagi upaya manusia untuk meningkatkan kemakmuran
hidupnya secara fisik-material.
Negatif dalam arti ilmu pengetahuan telah mendorong berkembangnya arogansi ilmiah
dengan menjauhi nilai-nilai agama, etika, yang akibatnya dapat menghancurkan kehidupan
manusia sendiri.
Akhirnya tidak dapat dipungkiri, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempunyai
kedudukan substantif dalam kehidupan manusia saat ini. Dalam kedudukan substantif itu
ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjangkau kehidupan manusia dalam segala segi dan
sendinya secara ekstensif, yang pada gilirannya ilmu pengetahuan dan teknologi merubah
kebudayaan manusia secara intensif.

2.4 Pancasila sebagai Dasar Nilai Dalam Strategi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi

Karena pengembangan ilmu dan teknologi hasilnya selalu bermuara pada kehidupan
manusia maka perlu mempertimbangan strategi atau cara-cara, taktik yang tepat, baik dan
benar agar pengembangan ilmu dan teknologi memberi manfaat mensejahterakan dan
memartabatkan manusia.
Dalam mempertimbangkan sebuah strategi secara imperatif kita meletakkan Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Pengertian
dasar nilai menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi dan arah pengembangan ilmu.
Dalam konteks Pancasila sebagai dasar nilai mengandung dimensi ontologis, epistemologis
dan aksiologis. Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan sebagai upaya manusia untuk
mencari kebenaran yang tidak mengenal titik henti, atau ”an unfinished journey”. Ilmu tampil
dalam fenomenanya sebagai masyarakat, proses dan produk. Dimensi epistemologis, nilai-
nilai Pancasila dijadikan pisau analisis/metode berfikir dan tolok ukur kebenaran. Dimensi
aksiologis, mengandung nilai-nilai imperatif dalam mengembangkan ilmu adalah sila-sila
Pancasila sebagai satu keutuhan. Untuk itu ilmuwan dituntut memahami Pancasila secara
utuh, mendasar, dan kritis, maka diperlukan suatu situasi kondusif baik struktural maupun
kultural.
Peran nilai-nilai dalam setiap sila dalam Pancasila adalah sebagai berikut.

1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan


perimbangan antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini
menempatkan manusia dalam alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya.

2) Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab: memberi arah dan mengendalikan ilmu
pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan,
tidak hanya untuk kelompok, lapisan tertentu.

3) Sila Persatuan Indonesia: mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang


lain, sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan sub-sistem. Solidaritas
dalam sub-sistem sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan individualitas,
tetapi tidak mengganggu integrasi.
4) Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, mengimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan
teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan
penyebaran ilmu pengetahuan harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara
perwakilan, sejak dari kebijakan, penelitian sampai penerapan massal.

5) Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan
Aristoteles: keadilan distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif.
Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan
masyarakat, karena kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan semu.
Individualitas merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya kreativitas dan
inovasi.

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada


nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia
merupakan kesatuan dari perkembangan ilmu yang menjadi tuntutan peradaban manusia.
Peran Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran,
bahwa fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu hanyalah akan
menjebak diri seseorang pada masalah-masalah yang tidak dapat diatasi dengan semata-
mata berpegang pada kaidah ilmu sendiri, khususnya mencakup pertimbangan etis,
religius, dan nilai budaya yang bersifat mutlak bagi kehidupan manusia yang berbudaya.

2.5 Hubungan Antara Pancasila dan Perkembangan IPTEK


Negara Indonesia adalah Negara kepulauan, Jumlah pulau di Indonesia menurut data
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah sebanyak 17.504
buah. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki
nama. Indonesia memiliki perbandingan luas daratan dangan lautan sebesar 2:3.
Letaknya sangat strategis, di antara dua samudra yaitu samudra Hindia dan Samudra
Pasifik serta dihimpit oleh dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia. Selain itu
Negara kita dilintasi oleh garis khatulistiwa yang menyebabkan Indonesia beriklim
tropis. Hal ini menyebabkan Indonesia sangat kaya akan fauna dan flouranya. Indonesia
memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari
jumlah spesies mamalia dunia dan 16% spesies binatang reptil dan ampibi, serta 1.519
spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian di antaranya adalah endemik
atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.
Selain memiliki kekayaan alam yang menakjubkan, Indonesia juga sangat kaya akan
suku bangsa, budaya, agama, bahasa, ras dan etnis golongan. Sebagai akibat
keanekaragaman tersebut Indonesia mengandung potensi kerawanan yang sangat tinggi
pula, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya
konflik sosial. Kemajemukan bangsa Indonesia memiliki tingkat kepekaan yang tinggi
dan dapat menimbulkan konflik etnis kultural. Arus globalisasi yang mengandung
berbagai nilai dan budaya dapat melahirkan sikap pro dan kontra warga masyarakat yang
menyebabkan konflik tata nilai.
Bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara yang terjadi saat ini menjadi bersifat
multi dimensional yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, hal ini seiring
dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi dan
komunikasi. Serta sarana dan prasarana pendukung didalam pengamanan bentuk
ancaman yang bersifat multi dimensional yang bersumber dari permasalahan ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya.
Oleh karena itu. kemajuan dan perkembangan IPTEK sangat diperlukan dalam upaya
mempertahankan segala kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia serta menjawab segala
tantangan zaman. Dengan penguasaan IPTEK kita dapat tetap menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia sesuai dengan sila ketiga yang berbunyi Persatuan Indonesia.
Maka dari itu, IPTEK dan Pancasila antara satu dengan yang lain memiliki hubungan
yang kohesif. IPTEK diperlukan dalam pengamalan Pancasila, sila ketiga dalam menjaga
persatuan Indonesia. Di lain sisi, kita juga harus tetap menggunakan dasar-dasar nilai
Pancasila sebagai pedoman dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
agar kita dapat tidak terjebak dan tepat sasaran mencapai tujuan bangsa.
BAB IV
KESIMPULAN

 Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia.
 Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis
keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta
prerequisite/saling mempersyaratkan
 Prinsip-prinsip berpikir ilmiah diantaranya objektif, rasional, logis, metodologis dan
sistematis.
 Konsekuensi yang timbul adalah dampak positif dan negatif. Positif, dalam arti
kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong kehidupan manusia ke suatu kemajuan
(progress, improvement) dengan teknologi yang dikembangkan dan telah
menghasilkan kemudahan-kemudahan yang semakin canggih bagi upaya manusia
untuk meningkatkan kemakmuran hidupnya secara fisik-material. Negatif dalam arti
ilmu pengetahuan telah mendorong berkembangnya arogansi ilmiah dengan menjauhi
nilai-nilai agama, etika, yang akibatnya dapat menghancurkan kehidupan manusia
sendiri.
 Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada
nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia
merupakan kesatuan dari perkembangan ilmu yang menjadi tuntutan peradaban
manusia. Peran Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada
penyadaran, bahwa fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu
hanyalah akan menjebak diri seseorang pada masalah-masalah yang tidak dapat
diatasi dengan semata-mata berpegang pada kaidah ilmu sendiri, khususnya
mencakup pertimbangan etis, religius, dan nilai budaya yang bersifat mutlak bagi
kehidupan manusia yang berbudaya
DAFTAR PUSTAKA

Iriyanto, Ws, 2009, Bahan Kuliah Filsafat Ilmu, Pascasarjana, Semarang.


Kunto Wibisono, 1985, Arti Perkembangan Menurut Positivisme, Gadjah Mada Press,
Yogyakarta.

Kuswanjono, Arqom., E. S Nurdin, I. Widisuseno, dan Mukhtar Syamsudin. 2012. E-Materi


Pendidikan Pancasila. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat
Pembelajaran dan Kemahasiswaan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Van Melsen, 1985, Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita, Kanisius, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai