Makalah Kelompok Anak ASKEP Thalasemia B
Makalah Kelompok Anak ASKEP Thalasemia B
KASUS
“ANAKKU SERING PUCAT”
Langkah 1
Kata kunci:
1. Badan Lemah : Keadaan dimaan seorang anak kekurangan
energi
2. Bentuk muka mongoloid : Muka yang mirip dengan orang mongol
seperti mata sipit, muka lonjong, wajah datar, hidung pesek
3. Konjungtiva anemis : Konjugtiva yang berwarna pucat
4. Sklera ikterik : Sklera mata berwarna kuning
5. Bibir pucat kehitaman : Suatu kondisi dimana bibir pucat
6. Hepatosplenomegali : Pembesaran Hepar dan limpah
7. BB kurang dari normal
8. Hb 5 gr % :Kondisi dimana tubuh mengalami
penurunan volume darah
9. Transfusi dan hapusan darah
Langkah 2
Menetapkan masalah:
1. Anak N mengalami lemah, konjungtiva anemis, bibir pucat kehitaman, Hb
5 gr %
2. Anak N mengalami hepatosplenomegali, sclera ikterik
3. Anak N mengalami BB kurang dari normal
4. Anak N bentuk mukanya mongoloid
5. Anak N disarankan melakukan tranfusi dan hapusan darah
Langkah 3
Analisa masalah:
1. Apa yang menyebabkan An. N mengalami lemah?
a. Kekurangan energy dalam tubuh (nina)
b. Karena anak sedang sakit atau mengidap penyakit tertentu(andre)
c. Karena anak kecapekan dan terlalu banyak beraktifitas(aqib)
d. Karena anak telat makan atau belum makan(ratih)
e. Karena anemia (katon)
f. Karena Hb turun (dodik)
2. Apa dampak jika kelemahan pada anak dibiarkan ?
a. Sakit anak bertambah parah (ratih)
b. Pertumbuhan dan perkembangan anak kurang berjalan dengan
baik(nina)
c. Anak menjadi sakit (choli)
d. Anak kehilangan berat badan(bambang)
e. Terjadi kelemahan otot()
f. Anak tidak dapat beraktivitas seperti biasanya
g. Kesulitan dalam proses berfikir
3. Bagaimana penangan jika anak terlihat lemah ?
a. Segera periksakan ke dokter, untuk meghindari sakit yang lebih
parah
b. Berikan makanan dan minuman yang bergizi
c. Motivasi anak agar anak tetap mau makan
d. Istirahat cukup
4. Apa yang menyebabkan bentuk muka anak mongoloid?
a. Kelainan 2ciri tertentu
b. Mempunyai keturunan yang bentuk mukanya juga mongoloid
c. Menderita penyakit tertentu
5. Bagaimana cirri-ciri muka mongoloid?
a. Tinggi badan relative pendek
b. Kepala mengecil
c. Hidung datar
d. Mata sipit
6. Apa yang menyebabkan konjungtiva anemis?
a. Menderita anemia
b. Sel darah merah dalam darah berkurang
7. Bagaimana cirri-ciri konjungtiva anemis?
a. Konjungtiva berwarna pucat
8. Apa penyebab sclera ikterik?
b. Menderita penyakit hepatitis
c. Terjadi hepatosplenomegali
d. Peningkatan kadar bilirubin dalam darah
17. Bagaimana cara mengatasi anak yang Bbnya kurang dari normal ?
a. Memodifikasi lingkungan yang nyaman agar anak senang untuk
diajak makan
b. Memberikan makan-makanan yang disukai anak namun tetap
bergizi
c. Memodifikasi makanan, agar anak suka dengan makanan tersebut
18. Bagaimana cara pencegahan agar BB anak tidak kurang dari normal?
a. Memberikan makanan yang bergizi 4 sehat 5 sempurna
b. Mencegah anak untuk jajan sembarangan
c. Menciptakan lingkungan yang nyaman agar anak tertarik untuk
diajak makan
d. Memodifikasi makanan, agar anak selalu tertarik untuk makan-
makanan tersebut
e. Jika anak terlihat sakit,cepat berikan penanganan lebih lanjut
dengan memberikan pengobatan kepada anak
19. Mengapa anak disarankan melakukan transfuse darah?
a. Untuk menambah jumlah sel darah merah yang kurang dalam
darah
b. Hb yang turun
Langkah 4
Hipotesa:
1. Kemungkinan anak menderita Thalasemia
2. Ada pengaruh pemberian suplemen/vitamin untuk penambah darah
Langkah 5
Merumuskan Tujuan:
1. Teori Thalasemia (Andzikriyanto Purnomo)
2. Askep Thalasemia (Andzikriyanto Purnomo)
3. Manajemen Tindakan Untuk Thalasemia (Nibras Najmah)
4. Hasil Penelitian → Jurnal (M. Aqib Hadi)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.5 Patofisiologi
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan polipeptida rantai
alpa dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya
rantai beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kekurangan rantai beta dalam
molekul hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan ertrosit membawa
oksigen. Ada suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alpa, tetapi rantai
beta memproduksi secara terus menerus sehingga menghasilkan hemoglobin
defictive. Ketidak seimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan
disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan
menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada talasemia beta dan kelebihan
rantai beta dan gama ditemukan pada talasemia alpa. Kelebihan rantai polipeptida
ini mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta,
atau terdiri dari hemoglobin tak stabil badan heint, merusak sampul eritrosit dan
menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi yang konstan
pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi eritropik aktif. Kompensator
produksi RBC secara terus menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya
destruksi RBC,menimbulkan tidak edukatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan
produksi dan edstruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah
pecah atau rapuh. (Suriadi, 2001 : 23-24)
Pada talasemia letak salah satu asam amino rantai polipre tidak berbeda
urutannya/ditukar dengan jenis asam amino lain. Perubahan susunan asam amino
tersebut. Bisa terjadi pada ke-4 rantai poliper Hb-A, sedangkan kelainan pada
rantai alpha dapat menyebabkan kelainan ketiga Hb yaitu Hb-A, Hb-A2 dan Hb-F.
(Hassan, 1985 : 49)
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening
test dan definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai
gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier.
Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis
Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara
dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida
dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas
formasi pori-pori pada membran yang regang bervariasi mengikut
order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007).
Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan
dan berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah
91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false
negative rate 8.53% (Wiwanitkit, 2007).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya
dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai
diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan (Wiwanitkit,
2007).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan
parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose
seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100,
MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β
(Wiwanitkit, 2007).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang
diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan
<13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia trait
kadar MCV rendah, eritrosit meningkat dan anemia tidak ada ataupun
ringan. Pada anemia defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal
ke rendah dan anemia adalah gejala lanjut (Yazdani, 2011).
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di
dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb
A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar
ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal
bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia
minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2%
dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal
membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J
(Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb
C. Pemeriksaan menggunakan high performance liquid
chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual Hb
A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna
untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi
hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan tepat
terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit, 2007).
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis
Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe
Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang berlaku
(Wiwanitkit, 2007).
2.1.8 Komplikasi
1. Fraktur patologi
2. Hepatosplenomegaly
3. Gangguan tumbuh kembang
4. Difungsi organ, seperti : hepar, limpa, kulit jantung (Suriadi, 2001 : 24)
2.1.9 Pencegahan
Menurut Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya, maka
pencegahan dini menjadi hal yang lebih penting dibanding pengobatan. Program
pencegahan Talasemia terdiri dari beberapa strategi, yakni (1) penapisan
(skrining) pembawa sifat Talasemia, (2) konsultasi genetik (genetic counseling),
dan (3) diagnosis prenatal. Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara
prospektif dan retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif
pembawa sifat thalassemia langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan
secara retrospektif ialah menemukan pembawa sifat melalui penelusuran keluarga
penderita Talasemia (family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi
dan nasehat-nasehat tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu program
pencegahan yang baik untuk Talasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan
tersebut. Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik
terutama di negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan prospektif
memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara usaha
program pencegahan di negara berkembang dengan negara maju. Program
pencegahan retrospektif akan lebih mudah dilaksanakan di negara berkembang
daripada program prospektif.
1. Penapisan (Screening)
Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:
a. Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah, penapisan
populasi dan konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila
heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa menjadi homozigot atau
gabungan heterozigot.
b. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa
diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari
diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus dengan
Talasemia β berat.
Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan, dilakukan
penapisan premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting
menyediakan program konseling verbal maupun tertulis mengenai hasil
penapisan Talasemia (Permono, & Ugrasena, 2006).
Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda berdasarkan
ras. Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit, bila MCV dan MCH
sesuai gambaran Talasemia, perkiraan kadar HbA2 harus diukur, biasanya
meningkat pada Talasemia β. Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke
pusat yang bisa menganalisis gen rantai α. Penting untuk membedakan
Talasemia αo(-/αα) dan Talasemia α+(-α/-α), pada kasus pasien tidak
memiliki risiko mendapat keturunan Talesemia αo homozigot. Pada kasus
jarang dimana gambaran darah memperlihatkan Talesemia β heterozigot
dengan HbA2 normal dan gen rantai α utuh, kemungkinannya adalah
Talasemia α non delesi atau Talasemia β dengan HbA2 normal. Kedua hal
ini dibedakan dengan sintesis rantai globin dan analisa DNA. Penting
untuk memeriksa Hb elektroforase pada kasus-kasus ini untuk mencari
kemungkinan variasi struktural Hb (Permono, & Ugrasena, 2006).
2. Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian sintesis rantai globin
pada sampel darah janin dengan menggunakan fetoscopi saat kehamilan
18-20 minggu, meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah banyak
digantikan dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari sampel villi
chorion (CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu.
Tindakan ini berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan
pada janin (Permono, & Ugrasena, 2006).
Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik CVS,
mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis pertama
yang digunakan oleh Southern Blotting dari DNA janin
menggunakan restriction fragment length polymorphism (RELPs),
dikombinasikan dengan analisis linkage atau deteksi langsung dari mutasi.
Yang lebih baru, perkembangan dari polymerase chain reaction (PCR)
untuk mengidentifikasikan mutasi yang merubah lokasi pemutusan oleh
enzim restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan untuk mendeteksi berbagai
bentuk α dan β dari Talasemia secara langsung dengan analisis DNA janin.
Perkembangan PCR dikombinasikan dengan kemampuan oligonukleotida
untuk mendeteksi mutasi individual, membuka jalan bermacam
pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi dan kecepatan deteksi karier
dan diagnosis prenatal. Contohnya diagnosis menggunakan hibridasi dari
ujung oligonukleotida yang diberi label 32P spesifik untuk
memperbesar region gen globin β melalui membran nilon. Sejak sekuensi
dari gen globin β dapat diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat
dibatasi sampai 1 jam dan seluruh prosedur diselesaikan dalam waktu 2
jam (Permono, & Ugrasena, 2006).
Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada diagnosis prenatal.
Contohnya, tehnik ARMS (Amplification refractory mutation system),
berdasarkan pengamatan bahwa pada beberapa kasus, oligonukleotida
(Permono, & Ugrasena, 2006).
Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat ini, kurang
dari 1%. Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada DNA janin,
non-paterniti, dan rekombinasi genetik jika menggunakan RELP linkage
analysis (Permono, & Ugrasena, 2006).
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Anak Dengan Thalasemia
2.2.1 Pengkajian
1. Asal keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah
(mediterania). Seperti turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri,
thalassemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan
penyakit darah yang paling banyak diderita.
2. Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada
thalasemia minor yang gejalanya lebih ringan, biasanya anak baru datang
berobat pada umur sekitar 4 – 6 tahun.
3. Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi
lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi
sebagai alat transport.
4. Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan
terhadap tumbuh kembang sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh
hipoksia jaringan yang bersifat kronik. Hal ini terjadi terutama untuk
thalassemia mayor. Pertumbuhan fisik anak adalah kecil untuk umurnya
dan ada keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak ada
pertumbuhan rambut pubis dan ketiak. Kecerdasan anak juga dapat
mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor sering terlihat
pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5. Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga
berat badan anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
6. Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur /
istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah
7. Riwayat kesehatan keluarga
Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah orang
tua yang menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita
thalassemia, maka anaknya berisiko menderita thalassemia mayor. Oleh
karena itu, konseling pranikah sebenarnya perlu dilakukan karena
berfungsi untuk mengetahui adanya penyakit yang mungkin disebabkan
karena keturunan.
8. Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)
Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya
faktor risiko thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat.
Apabila diduga faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan mengenai
risiko yang mungkin dialami oleh anaknya nanti setelah lahir. Untuk
memestikan diagnosis, maka ibu segera dirujuk ke dokter.
9. Data keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan diantaranya
adalah:
a. Keadaan umum
Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak selincah
aanak seusianya yang normal.
b. Kepala dan bentuk muka
Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk
khas, yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya adalah mongoloid,
yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata lebar, dan
tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman
e. Dada
Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya
pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik.
f. Perut
Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa
dan hati ( hepatosplemagali).
g. Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya kurang
dari normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya.
h. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya
pertumbuhan rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin
anak tidak dapat mencapai tahap adolesense karena adanya anemia
kronik.
i. Kulit
Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering
mendapat transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti
besi akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit
(hemosiderosis).
2.2.2 Diagnosa keperawatan
1. Defisiensi pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan
dengan kesalahan interprestasi informasi
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan berkurangnya
komponen seluler yang menghantarkan oksigen/nutrisi
3. Intoleransi aktifitas b.d tidak seimbangnya kebutuhan dan suplai oksigen
4. Gangguan citra tubuh
5. Resiko infeksi
6. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru
7. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
2.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan
1. Bersihkan mulut,
hidung, trakea bila ada
secret
2. Pertahankan kepatenan
jalan nafas
3. Atur alat oksigenasi
termasuk humidifier
4. Monitor aliran oksigen
sesuai program
5. 5. Secara periodik,
monitor ketepatan
pemasangan alat
Menujukkan fungsi
snsori motori cranial
yang utuh : tingkat
kesadaran membaik,
tidak ada gerakan-
gerakan involunter.
5. Resiko infeksi NOC NIC
Immune status Infection control (control
Knowledge : infeksi)
infection control.
1. Bersihkan lingkungan
Risk control.
setelah dipakai pasien
Kriteria Hasil : lain.
1. Klien bebas dari 2. Pertahankan teknik
tanda dan gejala isolasi.
infeksi. 3. Batasi pengunjung bila
2. Mendeskripsikan perlu.
proses penularan 4. Intruksikan pada
penyakit, faktor yang pengunjung untuk
mempengaruhi mencuci tangan saat
penularan serta berkunjung dan setelah
penatalaksanaannya. berkunjung
3. Menujukkan meninggalkan pasien.
kemampuan untuk 5. Gunakan sabun anti
mencegah timbulnya mikroba untuk cuci
infeksi. tangan.
4. Jumlah leukosit 6. Cuci tangan setiap
dalam batas normal. sebelum dan sesudah
tindakan keperawatan.
Menujukkan perilaku 7. Gunakan baju, sarung
hidup sehat. tangan sebagai
pelindung.
8. Pertahankan
lingkungan aseptic
selama pemasangan
alat.
9. Ganti letak IV perifer
dan line central da
dressing sesuai dengan
petunjuk umum.
10. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan infeksi
kandung kemih.
11. Tingkatkan intake
nutrisi.
12. Berikan terapi obat bila
perlu.
Infection protection
(proteksi infeksi)
1. Monitor tanda dan
gejala infwksi sistemik
dan local.
2. Monitor hitung
granulosit, WBC.
3. Monitor kerentangan
terhadap infeksi.
4. Batasi pengunjung.
5. Sering pengunjung
terhadap penyakit
menular.
6. Pertahankan teknik
aspeiss pada psien
yang beresiko.
7. Pertahankan teknik
isolasi.
8. Berikan perawatan
kulit pada area
epidema.
9. Inspeksi kulit dan
membrane mukosa
terhadap kemerahan,
panas, drainase.
10. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah.
11. Dorong masukan
cairan.
12. Dorong istirahat.
13. Instruksikan pasien
untuk meminum
antibiotic sesuai
dengan resep.
14. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi.
15. Ajarkan cara
menghndari infeksi.
16. Laporkan kecurigaan
infeksi.
Nutrition Theraphy :
1. Menyelesaikan
penilaian gizi, sesuai.
2. Memantau
makanan/cairan
tertelan dan
menghitung asupan
kalori harian, sesuai.
3. Memantau kesesuaian
perintah diet untuk
memenuhi kebutuhan
gizi sehari-hari, sesuai.
4. Kolaborasi dengan ahli
gizi, jumlah kalori dan
jenis nutrisi yang
dibutuhkan untuk
persyaratan gizi yang
sesuai.
5. Pilih suplemen gizi,
sesuai.
6. Dorong pasien untuk
memilih makanan
semisoft, jika
kurangnya air liur
menghalangi menelan.
7. Mendorong asupan
makan tinggi kalsium,
sesuai.
8. Mendorong asupan
makan dan cairan
tinggi kalsium, sesuai.
9. Pastikan bahwa diet
termasuk makan tinggi
kandungan serat untuk
mencegah konstipasi.
10. Memberikan pasien
dengan tinggi protein,
tinggi kalori, makan
dan minuman bergizi
jari yang dapat mudah
dikonsumsi, seusuai.
11. Administer menyusui
enteral, sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Kuncara, H.Y, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC
Merenstein, Gerald B. 2001. Buku pegangan pediatric. Ed. 17. Jakarta: Widya
Medika
Nelson, Waldo E. 1999. Ilmu kesehatan anak Nelson. Vol. 2. Jakarta: EGC
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Jilid 2. Yogyakarta:
MediaCtion Publishing
Suriadi S.Kp dan Yuliana Rita S.Kp. 2001. Asuhan Keperawatan Anak, Edisi I.
Jakrta: PT Fajar Interpratama.