Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rhinitis didefinisikan sebagai suatu kondisi inflamasi yang melibatkan
mukosa hidung. Gejala-gejala rhinitis meliputi sumbatan pada hidung,
hiperirratabilitas dan hipersekresi. Rhinitis bisa disebabkan oleh bermacam-
macam kondisi yang berbeda-beda alergi maupun non-alergi. Insidensi rhinitis
terlihat meningkat di kawasan eropa tepatnya setelah revolusi industri. Satu dari
lima orang Amerika diperkirakan menderita rhinitis.1,2
Rinitis vasomotor adalah suatu inflamasi mukosa hidung yang bukan
merupakan proses alergi, bukan proses infeksi, menyebabkan terjadinya obstruksi
hidung dan rinorea. Etiologi dari rhinitis vasomotor dipercayai sebagai akibat dari
terganggunya keseimbangan dari saraf autonom pada mukosa hidung yang
menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan hipersekresi. Menejemen pengelolaan
pada rinitis vasomotor bervariasi antara lain dengan menghindari penyebab,
psikoterapi, penggunaan medikamentosa, serta terapi bedah, tetapi sampai saat ini
belum memberikan hasil yang optimal. 1
Dalam praktek sehari - hari, seringkali muncul salah anggapan bahwa
penyebab rhinitis adalah alergi. Akibatnya tipe rhinitis yang lain (non alergik
rhinitis/rhinitis vasomotor dan mixed rhinitis) sering kali tidak terdiagnosa. Hal
ini perlu menjadi perhatian karena diagnosis yang tidak tepat menyebabkan
pengobatan tidak memuaskan.2
Adanya kemiripan gejala antara rhinitis vasomotor dan rhinitis alergika
menyebabkan dokter umum sebagai primary care sering tidak tepat dalam
menegakkan diagnosa. Pada rhinitis vasomotor tidak ditemukan adanya skin tes
yang (+) dan tes allergen yang (+). Sedangkan yang alergik murni mempunyai
skin tes yang (+) dan allergen yang jelas. Rinitis alergika sering ditemukan pada
pasien dengan usia < 20 tahun, sedangkan pada rinitis vasomotor lebih banyak
dijumpai pada usia > 20 tahun dan terbanyak diderita oleh perempuan.
Berdasarkan epidemiologinya, kurang lebih 58 juta penduduk amerika menderita

1
rinitis alergika, 19 juta menderita rinitis non-alergika dan 26 juta menderita rinitis
tipe campuran. 1,2,3
Dengan demikian diharapkan dokter menjadi lebih teliti dalam melakukan
anamnesa dan mempertimbangkan apakah rinitis pada pasien adalah benar – benar
sebagai rinitis alergika, rinitis vasomotor atau rinitis tipe campuran. Sehingga
pengobatan yang digunakan memberikan hasil yang optimal.1,2
Tabel 1. Tipe-Tipe Rhinitis 2

Rhinitis Rhinitis Non-alergi dan Rhinitis lainnya


Rhinitis infeksi
Alergi Non-infeksi
 Seasonal  Viral Sindrom eosinofilia  Rhinitis
 Perenial  Rhinosinusitis  NARES granulomatosa
bakterial  Nasal polyposis  Rhinitis atrofik
Sindrom non-eosinofilia  Rhinitis
 Rhinitis vasomotor
gustatoria
 Rhinitis medicamentosa
 Rhinitis akibat kerja
 Rhinitis saat kehamilan
 Hipothiroidisme
 Obat-obatan (Cth: Pil
pengontrol kelahiran)

Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik


lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas
parasimpatis. Rinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang
ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada
mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini merupakan
keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan
vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific
allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis. Rhinitis
vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk
dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus
yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Etiologi yang pasti
belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi

2
vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan
vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer,
seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan
jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak
dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.1,2,4

1.2. Rhinitis Non-alergi


Non-alergi rhinitis secara khas ditandai dengan adanya rhinorhoea yang
jernih dan sumbatan pada hidung. Bersin-bersin dan gatal, mata yang berair tidak
selalu ada pada rhinitis non-alergi. Ada suatu peningkatan insidensi terjadinya
rhinitis non-alergi pada usia lanjut. Pasien-pasien dengan rhinitis non-alergi harus
selalu ditanyakan tentang penggunaan nasal spray yang berlebihan, riwayat
trauma sebelumnya, paparan saat bekerja atau paparan zat kimia, dan riwayat
penggunaan obat intranasal. Epistaksis, nyeri dan gejala-gejala unilateral mungkin
merupakan pertanda dari suatu neoplasma dan harus selalu diperhatikan.1,2
a. Rhinitis Virus
Rhinitis virus sangat umum terjadi dan sering berhubungan dengan
manifestasi lain dari penyakit virus seperti sakit kepala, malaise, tubuh pegal, dan
batuk. Sekret nasal yang dihasilkan pada rhinitis viral seringnya jernih atau
berwarna putih dan bisa disertai dengan kongesti hidung dan bersin-bersin.2,3
b. Rhinitis Akibat Kerja (Okupasional rhinitis)
Sejumlah polutan yang berbeda, baik di dalam maupun di luar ruangan
dapat mempengaruhi hidung. Agen-agen ini meliputi debu, ozon, sulfurdioksida,
asap rokok, penyemprot taman (herbisida) dan amonia. Agen-agen iritan dapat
ditemukan dalam berbagai lingkungan pekerjaan. Secara khas, agen-agen ini
menyebabkan kekeringan pada hidung, mengurangi aliran udara, rhinorhoea dan
bersin-bersin. Penurunan pergerakan silia di dalam hidung terlihat pada paparan
asam rokok yang kronik dan pada paparan terhadap partikel-partikel kayu.
Kontrol terhadap lingkungan adalah hal yang penting pada pasien-pasien ini.
Membatasi paparan melalui penghilangan agen-agen penyebab, pencegahan,
memperbaiki sistem ventilasi dan penggunaan masker respirasi yang bersifat

3
melindungi dari partikel debu, kesemuanya adalah sangat membantu dalam
mencegah terjadinya rhinitis akibat kerja.2
c. Rhinitis Vasomotor
Pasien-pasien dengan rhinitis vasomotor datang dengan gejala subatan
hidung dan sekret nasal yang jernih. Gejala-gejalanya sering berhubungan dengan
temperatur, makan, paparan terhadap bau dan zat-zat kimia, atau konsumsi
alkohol. Beberapa klinisi mengusulkan bahwa regulasi otonom yang abnormal
dari fungsi hidung adalah penyebab dari rhinitis vasomotor.1,2
d. Rhinitis Medikamentosa.
Pasien-pasien dengan rhinitis medikamentosa sering datang dengan
keluhan hidung tersumbat yang terus memburuk selama beberapa tahun. Mereka
biasanya telah menggunakan spray nasal yang berisi vasokontriktif topikal dan
banyak dijual bebas. Setelah beberapa kali pemakaian pasien-pasien ini perlu
meningkatkan dosis obat spray tersebut akibat telah terjadi takifilaksis.
Penggunaan spray ini dalam jangka waktu lama menyebabkan terjadinya rebound
rhinitis yang mana pasien akan mengalami sumbatan hidung yang berat sebagai
efek turunnya kinerja agen topikal tersebut.2,3
e. Rhinitis Non-alergi dengan Eosinofilia (NARES)
Rhinitis non-alergi dengan eosinofilia adalah suatu sindrom yang baru-
baru ini diuraikan dimana pasien datang dengan sumbatan dan kongesti hidung,
pasien-pasien ini sering mengalami serangan yang lebih berat, mencakup
perkembangan menjadi sinusitis dan poliposis. Pasien-pasien ini juga
menunjukkan eosinofilia yang bermakna pada apusan nasal (> 25%) tetapi tidak
ada alergi terhadap allergen-alergen inhalasi melalui tes kulit maupun tes invitro.
Penyebab NARES sampai sekarang masih tidak diketahui.1,2
f. Rhinitis Selama Kehamilan
Bentuk lain yang umum dari rhinitis non-alergik adalah rhinitis yang
berkaitan dengan kehamilan. Konsentrasi estrogen sistemik meningkat selama
hamil. Peningkatan estrogen ini menyebabkan penigkatan asam hyaluronat pada
jaringan hidung yang mana bisa menambah edema dan kongesti mukosa hidung.
Selain itu, ada penambahan kelenjar mukus dan ada pengurangan silia hidung

4
selama hamil, keduanya menambah berat kongesti nasal dan mengurangi bersihan
mukus. Rhinitis biasanya memberat selama trimester 2 dan 3 kehamilan.1,2
g. Penyakit Vaskuler, Autoimun dan Granulomatosa
Pemeriksaan fisik seorang pasien dengan rhinitis harus mencakup
keseluruhan pemeriksaan kepala dan leher. Dari tampilan luar, hidung dievaluasi
apakah ada tanda-tanda trauma atau saddling, yang bisa menjadi peunjuk adanya
defisiensi septum. Dari dalam, posisi septum nasi dan tampilannya harus
diperiksa. Tanda-tanda inflamasi kronik, vaskulitis, dan perforasi septum bisa
menjadi petunjuk berbagai masalah sistemik dari mulai Granulomatosis Wegener
hingga Penyalahgunaan kokain. Ukuran dan tampilan dari concha juga penting
untuk diperhatikan, dari tampilannya apakah terdapat rhinorhoea. Lebih dari itu,
seorang dokter harus memeriksa pasien untuk kemungkinan adanya nasal
poliposis atau tumor dan massa intranasal yang lain.1,2
Suatu pemeriksaan cavum nasi yang lebih mendalam dapat dilakukan
setelah pemberian anestesi topikal dengan menggunakan endoscop nasal yang
kaku atau yang fleksibel. Suatu 4.0-mm endoscop nasal yang kaku digunakan
unuk orang dewasa dan suatu 2,7-mm endoscop nasal untuk anak-anak. Endoscop
dapat menghasilkan visualisasi dari meatus medius, resesus sphenoenthmoidal
dan regio nasofaring yang tidak dapat terlihat melalui rhinoskopi anterior. Sebagai
tambahan, sitologi nasal dapat bermanfaat guna menentukan tipe-tipe sel dan juga
motilitas dari silia.2,3

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Anatomi Nasal

5
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung
luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1

a. Pangkal hidung (bridge)


b. Batang hidung (dorsum nasi)

c. Puncak hidung (hip)

d. Ala nasi

e. Kolumela

f. Lubang hidung ( nares anterior )

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior,
tepat dibelakang disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar subasea dan rambut panjang yang disebut vibrise.
Sedangkan nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding
lateral, medial, inferior, dan superior.1

Gambar 1 Anatomi Hidung

6
Gambar 2. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2)
vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang
rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. 1

Gambar 3. Kartilago septum nasi sisi lateral


Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah
konka inferior kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi
konka superior dan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya
rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi yang
jumlahnya tiga buah, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus superior.
Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung yang bermuara pada sinus frontalis, sinus etmoid anterior dan sinus
maksilaris. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.1

7
Gambar 4. Konka nasi
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os
etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya
serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk
oleh os sphenoid.1
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktori). Mukosa pernafasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar berlapis yang
mempunyai silia dan terdapat sel-sel goblet. Dalam keadaan normal warna
mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental, dan
obat-obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior,
dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel pseudostratified
columnar tidak bersilia. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.1
Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a.
splenopalatina yang keluar dari foramen splenopalatina bersama n. splenopalatina.
Hidung bagian depan mendapat perdarahan dari a. fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis cabang a. splenopalatina, a. etmoidalis anterior, a.

8
palatina mayor, dan a. labialis superior yang membentuk Pleksus Kiesselbach
yang mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis
anterior. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal
dari n. ophtalmicus. Rongga hidung lainnya sebagian lainnya mendapat persarafan
sensoris dari n. maksilaris melalui ganglion spenopalatina. Ganglion
spenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
sensoris dari n. maksilaris (N V2), serabut parasimpatis dari n. petrosus
superfisialis mayor dan serabut simpatis dari n. petrosus profunda.1
Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. N. olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas hidung.1
2.2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional. Fungsi
hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, 2) fungsi penghidu karena
terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu, 3) fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, 4) fungsi
statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma,
dan pelindung panas, 5) refleks nasal.1

2.3. Definisi
Rhinitis vasomotor / rhinitis non alergi adalah suatu keadaan idiopatik
yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal
(kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-
bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan). 1,3

9
2.4. Epidemiologi
Insiden rhinitis non alergi (NAR) bervariasi dari studi ke studi. Hampir
semua publikasi tentang NAR ditemukan di Amerika Utara dan sastra Eropa.
Dengan demikian, tidak jelas apakah kejadian atau usia dan distribusi seks berlaku
untuk populasi yang belum distudikan di tempat lain di dunia. Salah satu survey
praktek kesehatan US, klasifikasi pasien dengan rhinitis adalah 43% rhinitis
alergi, 23% rhinitis non alergi, dan 34% rhinitis campuran. Penelitian di Eropa
yang sama telah ditemukan bahwa sekitar 1 dari 4 pasien mengeluhkan gejala
hidung memiliki rhinitis non alergi. Perkiraan terbaru menunjukkan bahwa 50 juta
Eropa memiliki NAR, dengan prevalensi total lebih besar dari 200 juta penduduk
dunia. Di Amerika Serikat, ada sekitar 60 juta pasien dengan rhinitis alergi dan 30
juta dengan rhinitis vasomotor. Rhinitis nonallergic cenderung onset dewasa,
dengan usia khas presentasi antara 30 dan 60 tahun. Setelah gejala mulai, mereka
sering berlangsung seumur hidup. Pada orang dewasa, kebanyakan studi
melaporkan dominasi perempuan yang jelas, dengan perkiraan mulai dari 58%
sampai 71%. 5

2.5. Etiologi
Penyebab pasti rhinitis vasomotor ini belum diketahui secara pasti, diduga
akibat gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan vasomotor ini
dipengaruhi berbagai hal, antara lain: 1,3
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, misal
ergotamin, clorpromazin, obat antihipertensi, dan obat vasokonstriktor lokal.
2. Faktor fisik, seperti asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi,
dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrine, seperti kehamilan, pubertas, dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis seperti cemas, tegang.

2.6 Patogenesis
Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang
menyebabkan terjadinya rhinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan.
Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi

10
mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf
parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya,
serta menekan efek dari pembuluh darah (kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf
simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh
darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan
akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat.
Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang
menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif. 1,3
Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang
dikeluarkan sel-sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien,
prostaglandin, dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya
mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, hidung
tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf parasimpatis
pada sekresi nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida
ini bukan diperantarai oleh IgE seperti pada rhinitis alergik. Pada beberapa kasus
rhinitis vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada
mukosa hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada
terjadinya rhinitis vasomotor. Banyak kasus rhinitis vasomotor berkaitan dengan
agen spesifik atau kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag
mempengaruhi kondisi tersebut adalah perubahan temperatur, kelembaban udara,
parfum, aroma masakan yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara, dan
stres (fisik dan psikis). 1,3
Mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi
secara langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan
merangsang sel-sel olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktori. Kemudian berjalan
melalui traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun sesudah merelay
neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan olfaktoris
lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika
bagian anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta
emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi
dominasi fungsi syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat
menimbulkan manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor. 1,3

11
Dari penelitian telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi
sistem adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang
mengontrol vaskularisasi pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya,
memungkinan kita memahami mekanisme bendungan koana. Stimulasi kolinergik
menimbulkan vasodilatasi sehingga koana membengkak atau terbendung, hasilnya
terjadi obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis servikalis menimbulkan
vasokonstriksi hidung. 1,3
Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya
atas mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rhinitis alergika.
Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal
sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi vasomotor ini terutama akibat stimulasi
parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskular disertai edema dan peningkatan sekresi kelenjar. Bila
dibandingkan mekanisme kerja pada rhinitis alergik dengan rhinitis vasomotor,
maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan pelepasan
mediator yang menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan
permeabilitas yang menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta
gejala bersin dan rasa gatal. Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas
kelenjar dan meningkatkan sekresi, sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada
reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf autonom yang
menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja simpatis) yang
akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai
peningkatan permeabilitas yang menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal
ini menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin
dan gatal. Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan
menimbulkan peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea. Pada
reaksi alergi dan disfungsi vasomotor menghasilkan gejala yang sama melalui
mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi, ia disebabkan interaksi antigen-
antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor ia disebabkan oleh disfungsi sistem
saraf autonom. 1,3

12
2.7. Gejala Klinis
Pada rhinitis vasomotor, gejala seing di cetuskan oleh berbagairangsangan
non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman
beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin, dan pemanas ruangan,
perubahan kelembapan, perubahan suhu luar, kelelahan, dan stress/emosi. Pada
keadaan normal factor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu
tersebut.1
Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi, namun
gejala dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dari kanan, tergantung
posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini
jarang disertai dengan gejala mata.1
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena
adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok
dan sebagainya. 1
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3
golongan, yaitu 1) golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan
respon baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal, 2)
golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik
topikal, dan 3) golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan
respon baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor oral. 1
2.8. Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu
menyingkirkan adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat.
Dalam anamnesa dicari faktor yang mempengaruhi timbunya gejala. Rhinitis
vasomotor dibuat dengan menyingkirkan kemungkinan lainnya dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik pada hidung dengan rinoskopi anterior didapatkan konka
nasalis berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat, edema
mukosa hidung dan permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol
(hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan
tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan serosa yang banyak jumlahnya.
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan rhinitis alergik

13
karena dapat ditemukan eosinofil di dalam sekresi hidung, akan tetapi dalam
jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negative, kadar IgE spesifik tidak
meningkat. Perubahan foto rontgen, penebalan membrana mukosa sinus tidaklah
spesifik dan tidak bernilai untuk diagnosis. Rhinitis vasomotor bisa terjadi
bersama-sama dengan rhinitis alergik. Pemeriksaan radiologik sinus
memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak gambaran cairan
dalam sinus apabila sinus telah terlibat.1,2,3

2.9. Diagnosis Banding


1. Rinitis alergi
2. Rinitis medikamentosa
Tabel 2. Perbedaan Karakteristik antara Rhinitis Alergi dan Rhinitis Vasomotor.

Karakteristik Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor


Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
Riwayat terpapar allergen Riwayat terpapar allergen ( - )
( +)
Etiologi Reaksi Ag - Ab terhadap Reaksi neurovaskuler terhadap
rangsangan spesifik beberapa rangsangan mekanis
atau
kimia, juga faktor psikologis
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi Tidak membantu Membantu
n. vidianus

2.10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang digunakan pada rhinitis vasomotor bervariasi,
tergantung pada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar
penatalaksanaan dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 2,3
1. Non Farmakologik

Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah


dengan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan

14
mukosa nasal secara periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan
menggunakan semprotan larutan saline atau alat irigator seperti Grossan
irigator. 1,3
2. Farmakologik
Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien
dengan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian antikolinergik
juga efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini adalah
antagonis muskarinik. Obat yang disarankan seperti Ipratropium bromida, juga
terdapat formula topikal dan atrovent, yang mempunyai efek sistemik lebih
sedikit. Penggunaan obat ini harus dihindari pada pasien dengan takikardi dan
glaukom sudut sempit. 1,3
Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti,
rinorea dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan
oleh vasoaktif mediator yang dapat menghambat Phospolipase A2,
mengurangi aktivitas reseptor asetilkolin, menurunkan basofil, sel mast dan
eosinofil. Efek dari kortikostreroid tidak bisa segera, tapi dengan penggunaan
jangka panjang, minimal sampai 2 gr sebelum hasil yang diinginkan tercapai.
Steroid topikal yang dianjurkan seperti Beclomethason, Flunisolide dan
Fluticasone. Efek samping dengan steroid yaitu edem mukosa dan eritema
ringan. 1,3
Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama
hidung tersumbat. Untuk gejala yang multipel, penggunan dekongestan yang
diformulasikan dengan antihistamin dapat digunakan. Obat yang disarankan
seperti Pseudoefedrin, Phenilprophanolamin dan Phenilephrin serta
Oxymetazoline (semprot hidung). Obat ini merupakan agonis reseptor α dan
baik untuk meringankan serangan akut. Pada penggunaan topikal yang terlalu
lama (> 5 hari) dapat terjadi rhinitis medikamentosa yaitu rebound kongesti
yang terjadi setelah penggunaan obat topikal > 5 hari. Kontraindikasi
pemakaian dekongestan adalah penderita dengan hipertensi yang berat serta
tekanan darah yang labil. 1,3
Pemberian preparat Kalsium seperti Dumocalsin atau preparat Kalk dapat
juga digunakan. Pada rhinitis vasomotor terjadi peningkatan acetilkholin

15
sebagai akibat dari dominasi parasimpatis untuk menurunkan kadar asetil
cholin maka diperlukan adanya enzyme asetilcholin esterase. Dengan
pemberian prerat Kalk dapat meningkatkan kerja enzyme asetil cholin esterase
sehingga dapat memecah asetilkolin yang menumpuk tersebut. 1,3

3. Bedah
Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas, prosedur
pembedahan dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery / Bedah Cryo
yang berpengaruh pada mukosa dan submukosa. Operasi ini merupakan
tindakan yang cukup sukses untuk mengatasi kongesti, tetapi ada
kemungkinan untuk terjadinya hidung tersumbat post operasi yang
berlangsung lama dan kerusakan dari septum nasi. Neurectomi n.vidianus
merusak baik hantaran simpatis and parasimpatis ke mukosa sehingga dapat
menghilangkan gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO3 atau elektrik cauter
dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa. Cryosurgery lebih
dipertimbangkan daripada kauterisasi karena dapat mencapai lapisan
submukosa. Reseksi total atau parsial pada konka inferior berhasil baik. 1,3
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan olahraga
dapat meningkatkan daya tahan dan kondisi penderita rhinitis vasomotor.
Peningkatan aktivitas fisik berpengaruh pada pengurangan produksi dari protein
yang memacu timbulnya mukus. Penjelasan lain menyebutkan dengan olahraga
dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi membran, karena dengan olahraga
dapat meningkatkan kadar adrenalin sehinggga dapat mengurangi sekresi mukus.
Juga dengan olahraga akan membentuk reflek nasopulmonal yaitu dengan
meningkatkan Volume Tidal (VT) paru dan diharapkan bila paru terbuka
maksimal maka hidung juga akan lebih terbuka, sehingga dapat mengurangi
sumbatan hidung. Ini bukanlah suatu solusi permanen dalam menangani rhinitis
vasomotor, tetapi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu bentuk pencegahan
terjadinya eksaserbasi gejala. 1,3

16
Gambar 3. Algoritme tatalaksana Rhinitis Vasomotor 7

17
2.11. Komplikasi
Komplikasi dari rhinitis vasomotor yang tersering adalah sinusitis dan polip
nasi.1,8

2.12. Prognosis
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan
rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya. 1

BAB III

18
KESIMPULAN

Rhinitis vasomotor adalah suatu inflamasi pada mukosa hidung yang


bukan merupakan proses alergi, non infeksius dan menyebabkan terjadinya
obstruksi hidung dan rhinorea. Etiologinya dipercaya sebagai akibat
ketidakseimbangan saraf otonom pada mukosa hidung sehingga terjadi pelebaran
dan pembengkakan pembuluh darah di hidung.
Rhinitis vasomotor sering ditemukan pada usia > 20 tahun dan terbanyak
diderita oleh perempuan. Diagnosa rhinitis vasomotor ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan hasil pemeriksaan skin test mengingat kemiripan gejala yang
juga dimiliki oleh rhinitis alergika. Rhinitis vasomotor mempunyai hasil skin test
yang (-) dan test allergen yang (-). Rinitis vasomotor merupakan suatu gangguan
fisiologik neurovaskular mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore
yang hebat dan kadang – kadang dijumpai adanya bersin – bersin. Penyebab
pastinya tidak diketahui. Diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf
otonom yang dipicu oleh faktor-faktor tertentu. Biasanya dijumpai setelah dewasa
( dekade ke – 3 dan 4 ). Rinitis vasomotor sering tidak terdiagnosis karena gejala
klinisnya yang mirip dengan rinitis alergi, oleh sebab itu sangat diperlukan
pemeriksaan - pemeriksaan yang teliti untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis
lainnya terutama rinitis alergi dan mencari faktor pencetus yang memicu
terjadinya gangguan vasomotor. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara
konservatif dan apabila gagal dapat dilakukan tindakan operatif.

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Elise Kasakeyan. Rinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar,
Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-7. Jakarta : Balai Penerbit FK UI,
2014. h. 135 – 6.
2. Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam:
Lalwani KA,Ed. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery second edition. New York: Lange McGrawHill Comp, 2007.p.
112-117.
3. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 196-222
4. Segal S, Shlamkovitch N, Eviatar E, Berenholz L, Sarfaty S, Kessler A.
Vasomotor rhinitis following trauma to the nose. Ann Otorhinolaryng 1999;
108:208-10.
5. Mark DS, Michael AK. Nonallergic Rhinitis, With a Focus on Vasomotor
Rhinitis. In : WAO Journal. 2009. Institute for Asthma & Allergy : Bethesda.
Available from : http://www.waojournal.org/content/pdf/1939-4551-2-3-
20.pdf
6. Ballenger JJ. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus
Paranasal. Dalam : Ballenger JJ, Ed.Penyakit THT Kepala & Leher, Jilid 1,
Edisi ke –13. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994 . h. 1 – 25.
7. Patricia WW, Stephen FW. Vasomotor rhinitis. Am fam physician. university
of louisville school of medicine, louisville, Kentucky. 2005. p:1057-1062.
Available from : http://www.aafp.org/afp/2005/0915/p1057.html
8. Sunaryo, Soepomo S, Hanggoro S. Pola Kasus Rinitis di Poliklinik THT
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 1998. Disampaikan pada Kongres
Nasional Perhati XII, Semarang, 28 - 30 Oktober, 1999.

DAFTAR PUSTAKA

20
(Irawati, Poebonegoro and Kasakeyan, 2007; Soetjipto, Mangunkusumo and
Wardani, 2007; Scarupa and Kaliner, 2009; Sherwood, 2013; American Academy
of Otolaryngology -Head and Neck Surgery, 2018; Ramakrsihman and Cooper,
2018)(Amin et al., 2013; Asthma Respiratory Foundation Nz, 2018)(Sin and
Togias, 2011)(Kaliner, 2011; Schroer and Pien, 2012)(Pattanaik and Lieberman,
2010)

1. American Academy of Otolaryngology -Head and Neck Surgery (2018)


Rhinitis. Available at: https://www.enthealth.org/conditions/rhinitis/
(Accessed: 14 November 2018).
2. Amin, H., Sief, E. I., Badee, S., Mohammed, T. and Kadah, S. (2013) ‘A
Deeper View in the Pathogenesis of Vasomotor Rhinitis Hany’, Journal of
American Sciense, 9(10), pp. 115–119.
3. Asthma Respiratory Foundation Nz (2018) vasomotor Rhinitis. Available at:
https://www.asthmafoundation.org.nz/your-health/other-respiratory-
conditions/vasomotor-rhinitis-vmr (Accessed: 14 November 2018).
4. Irawati, N., Poebonegoro, N. L. and Kasakeyan, E. (2007) ‘Rinitis
Vasomotor’, in Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., and Restuti, R.
D. (eds) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. 6th edn. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 135–
137.
5. Kaliner, M. A. (2011) ‘Nonallergic Rhinopathy ( Formerly Known as
Vasomotor Rhinitis)’, 31, pp. 441–455. doi: 10.1016/j.iac.2011.05.007.
6. Pattanaik, D. and Lieberman, P. (2010) ‘Vasomotor Rhinitis’, (February), pp.
84–91. doi: 10.1007/s11882-010-0089-z.
7. Ramakrsihman, V. R. and Cooper, S. (2018) Pharmacotherapy for
Nonallergic Rhinitis, www.emedicine.medscape.com. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/874171-overview#a8 (Accessed: 14
November 2018).
8. Scarupa, M. D. and Kaliner, M. A. (2009) ‘Nonallergic Rhinitis , With a Focus
on Vasomotor Rhinitis’, World Allergy Organization, (March), pp. 20–24.
Available at:
https://waojournal.biomedcentral.com/track/pdf/10.1097/WAO.0b013e318196
ca1e.
9. Schroer, B. and Pien, L. C. (2012) ‘Nonallergic rhinitis: Common problem,
chronic symptoms’, Cleveland Clinic Journal Of Medicine, 79, pp. 20–24.

21
doi: 10.3949/ccjm.79a11099.
10. Sherwood, L. (2013) Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. 6th edn. Edited
by N. Yesdelita. Jakarta: EGC.
11. Sin, B. and Togias, A. (2011) ‘Pathophysiology of Allergic and Nonallergic
Rhinitis’, 8, pp. 106–114. doi: 10.1513/pats.201008-057RN.
12. Soetjipto, D., Mangunkusumo, E. and Wardani, R. S. (2007) ‘Hidung’, in
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., and Restuti, R. D. (eds) Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 6th edn.
jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 118–122.

22

Anda mungkin juga menyukai