Anda di halaman 1dari 58

KANDUNGAN TOTAL FENOLAT TINGKAT OKSIDASI DAN

KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK DENDENG SAPI


MENTAH YANG DIBERI BUMBU DENGAN
KOMPOSISI BERBEDA

SKRIPSI
NUR LAILI INDASARI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN

Nur Laili Indasari. D14080182. 2012. Kandungan Total Fenolat Tingkat Oksidasi
dan Karakteristik Organoleptik Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu
dengan Komposisi Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Instutut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si.
Pembimbing Anggota : Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.
Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging tradisional yang sudah
dikenal oleh masyarakat luas, dan umumnya terbuat dari daging sapi. Dendeng sapi
mempunyai bentuk seperti lempengan kering yang terbuat dari irisan atau gilingan
daging sapi segar yang diberi tambahan campuran gula, garam, serta bumbu atau
rempah-rempah. Dendeng memiliki ciri yang khas, yaitu berwarna coklat kemerahan
dengan flavor yang sedap. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari kandungan
total fenolat, tingkat oksidasi, dan karakteristik organoleptik dendeng sapi mentah
yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda. Perlakuan yang digunakan yaitu
pemberian bumbu dengan konsentrasi yang berbeda, yang terdiri atas: 1) tanpa
bumbu (kontrol), 2) komposisi bumbu I, 3) komposisi bumbu II, dengan
menggunakan tiga ulangan pada setiap perlakuan. Kedua komposisi bumbu yang
digunakan memiliki perbandingan ketumbar : bawang putih yang sama, yaitu 1 : 5.
Perbedaan antara komposisi bumbu yang pertama dan kedua adalah konsentrasi
ketumbar dan bawang putih yang ditambahkan. Penambahan ketumbar dan bawang
putih pada komposisi bumbu II konsentrasinya 2 kali lipat dari komposisi bumbu I.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL).
Rancangan tersebut digunakan untuk seluruh peubah, kecuali pada analisis
organoleptik. Analisis organoleptik diolah dengan menggunakan uji nonparametrik
(Uji Kruskal-Wallis) dan menggunakan 25 orang panelis sebagai ulangan. Analisis
yang dilakukan antara lain analisis kandungan fenolat, bilangan peroksida,
organoleptik, kadar air, dan aktivitas air.
Perlakuan pemberian bumbu dengan konsentrasi yang berbeda ini tidak
memberikan perbedaan kandungan total fenolat, bilangan peroksida, rendemen, aw,
dan kadar air yang nyata antara formulasi bumbu I dengan formulasi bumbu II.
Namun jika dendeng komposisi bumbu I dan komposisi bumbu II dibandingkan
dengan kontrol, terlihat menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05). Hasil
yang diperoleh dari analisis organoleptik menunjukkan bahwa intensitas aroma
bumbu, tingkat kelembaban, dan tingkat kelenturan mempunyai perbedaan yang
nyata (P<0,05), kecuali pada mutu warna dendeng. Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh dapat disimpulkan bahwa pemberian bumbu dengan konsentrasi berbeda
(komposisi I dan II) tidak menghasilkan perbedaan yang nyata pada kandungan total
fenolat dan tingkat oksidasi dendeng sapi mentah. Karakteristik organoleptik pada
dendeng komposisi bumbu II menghasilkan intensitas aroma bumbu yang lebih kuat,
dendeng yang lebih lembab dan lentur, serta berwarna coklat kehitaman. Intensitas
aroma bumbu, tingkat kelembaban, dan tingkat kelenturan dendeng yang mempunyai
mutu paling baik adalah dendeng dengan komposisi bumbu II.

Kata kunci : bumbu, dendeng sapi, fenolat, oksidasi, organoleptik


ABSTRACT

Total Phenolic Content Oxidation Level and Organoleptic Characteristics of


Raw Beef Dendeng with Different Composition of Spices
Indasari, N. L., T. Suryati, and Z. Wulandari
The purpose of this research was to study the total phenolics content, oxidation level,
and organoleptic characteristics of raw beef dendeng with different concentration of
spices. Treatments that had been used were : 1) without seasoning, 2) the
composition of spices I, 3) the composition of spices II, using three replications in
each treatment. The difference between the composition of the spices I and II was a
concentration of coriander and garlic were added. Experimental design used was
completely randomized design. The design was used for all variables, except the
organoleptic analysis. Organoleptic analysis were processed using Kruskal-Wallis
test, using 25 panelists as replication. The analysis was conducted by these
measurements, such as the value of total phenolics, peroxide numbers, organoleptic
characteristics, rendement, water activity, and moisture content. The results showed
that the total phenolics content and peroxide numbers was no difference between
composition of spices I and II. The flavour intensity, humidity, and the flexibility on
the organoleptic test had a significant difference (P<0.05) for each treatment, except
for color variable. Rendement, water activity, and water content for both of
composition I and II were no difference. Although the composition I and II had
different concentration of spices, but did not make a difference on the total phenolic
content and the oxidation level. Organoleptic characteristics of the composition II
had stronger flavour intensity, more moist and flexible, and blackish brown. Based
on flavour intensity, moisture level, and flexibility, the best quality of dendeng was
composition II.

Keywords : spices, beef dendeng, phenolic, oxidation, organoleptic


KANDUNGAN TOTAL FENOLAT TINGKAT OKSIDASI DAN
KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK DENDENG SAPI
MENTAH YANG DIBERI BUMBU DENGAN
KOMPOSISI BERBEDA

NUR LAILI INDASARI


D14080182

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul : Kandungan Total Fenolat Tingkat Oksidasi dan Karakteristik Organoleptik
Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi Berbeda
Nama : Nur Laili Indasari
NIM : D14080182

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Tuti Suryati, S.Pt., M.Si.) (Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.)


NIP. 19720516 199702 2 001 NIP. 19750207 199802 2 001

Mengetahui:
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)


NIP: 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian : 9 Agustus 2012 Tanggal Lulus :


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Januari 1990 di Jombang, Jawa Timur.


Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Muyitno
dan Ibu Siti Is’adah. Penulis bertempat tinggal di Dusun Jati Pandak, Kesamben,
Jombang (Jawa Timur).
Penulis mengawali pendidikan di Roudhotul Athfal Perwanida Desa Jati
Duwur Kesamben Jombang pada tahun 1994 dan diselesaikan pada tahun 1996.
Pendidikan dasar dimulai pada tahun 1996 dan diselesaikan pada tahun 2002 di
Madrasah Ibtida’iyah Nurul Hidayah Desa Jati Duwur Kesamben Jombang.
Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2002 di Madrasah
Tsanawiyah Program Khusus Rejoso Peterongan Jombang, kemudian berpindah ke
Madrasah Tsanawiyah Negeri Bakalan Rayung Jombang dan diselesaikan pada tahun
2005. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Jombang
pada tahun 2005 dan diselesaikan pada tahun 2008.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan di terima di Departemen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2009. Penulis aktif dalam
Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Mahasiswa Jombang di IPB sebagai ketua
divisi kewirausahaan, periode 2008-2009. Penulis juga aktif dalam organisasi
Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (Himaproter), periode 2009-2010
sebagai bendahara divisi kewirausahaan dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas
Peternakan (DPM-D) sebagai sekretaris Komisi Eksternal, periode 2010-2011. Selain
itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan baik di lingkungan kampus maupun
di luar kampus. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di peternakan sapi perah
dan D’Farm Fakultas Peternakan IPB, pada tahun 2009. Penulis berkesempatan
menjadi penerima beasiswa POM tahun 2008-2009, beasiswa Hibah Dikti tahun
2009-2010, beasiswa Bank Indonesia tahun 2010-2011, dan beasiswa PPA tahun
2011-2012. Penulis mendapat pendanaan dari DIKTI dalam Program Kreativitas
Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) tahun 2011-2012 dan berkesempatan masuk
dalam finalis Pekan Ilmiah Mahasiswa IPB tahun 2012.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT untuk segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kandungan Total
Fenolat Tingkat Oksidasi dan Karakteristik Organoleptik Dendeng Sapi
Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi Berbeda” dibawah bimbingan
Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. dan Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.
Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging tradisional khas
Indonesia yang sudah dikenal oleh masyarakat, dan umumnya terbuat dari daging
sapi. Dendeng pada masing-masing wilayah di Indonesia memiliki perbedaan ciri
khas sesuai dengan selera masyarakat setempat, baik dalam hal rasa maupun cara
pembuatannya. Isu adanya senyawa berbahaya pada dendeng yang beredar di pasaran
seperti nitrosamin, malonaldehida, dan residu nitrit menyebabkan kekhawatiran di
kalangan konsumen. Senyawa-senyawa tersebut sebenarnya dapat direduksi dengan
adanya penambahan bumbu-bumbu pada pembuatan dendeng itu sendiri. Berbagai
penelitian mengenai dendeng sapi sudah banyak dilakukan, namun belum banyak
yang menggali lebih dalam mengenai peran bumbu pada dendeng sapi dalam
mereduksi senyawa-senyawa berbahaya tersebut. Skripsi ini merupakan bagian dari
serangkaian penelitian yang meneliti mengenai peran bumbu dalam mereduksi
senyawa-senyawa berbahaya. Skripsi ini menjelaskan tentang pengaruh pemberian
bumbu dengan konsentrasi berbeda terhadap karakteristik organoleptik, kandungan
total fenolat, dan tingkat oksidasi pada dendeng sapi. Analisis yang dilakukan
meliputi analisis organoleptik, kandungan fenolat total, bilangan peroksida,
rendemen, aktivitas air, dan kadar air.
Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis berharap skripsi ini
dapat memberikan informasi yang berguna dalam dunia peternakan dan bermanfaat
bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Agustus 2012

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR SAMPUL DALAM ................................................................. i


RINGKASAN .......................................................................................... iii
ABSTRACT ............................................................................................. iiiii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iviii
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... viv
RIWAYAT HIDUP .................................................................................. viv
KATA PENGANTAR .............................................................................. vii vi
DAFTAR ISI ............................................................................................ viiivii
DAFTAR TABEL .................................................................................... xix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiix
PENDAHULUAN .................................................................................... 11
Latar Belakang .............................................................................. 11
Tujuan .......................................................................................... 21
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 32
Dendeng ........................................................................................ 32
Daging Sapi .................................................................................. 32
Bumbu .......................................................................................... 43
Garam ............................................................................... 43
Gula Kelapa ...................................................................... 43
Gula Pasir .......................................................................... 53
Lengkuas ........................................................................... 54
Ketumbar .......................................................................... 64
Bawang Putih .................................................................... 65
Asam Jawa ........................................................................ 86
Merica ............................................................................... 97
Senyawa Fenolat ........................................................................... 97
Oksidasi Lemak ............................................................................ 10
Bilangan Peroksida ....................................................................... 138
Peranan Antioksidan ..................................................................... 13i
Peranan aw dan Kadar Air dalam Pangan ....................................... 14i
MATERI DAN METODE ........................................................................ 179
Lokasi dan Waktu ......................................................................... 179
Materi ........................................................................................... 179
Prosedur ........................................................................................ 179
Perlakuan dan Persiapan Sampel ....................................... 179
Prosedur Analisis .............................................................. 1810
Rancangan dan Analisis Data ............................................ 2112
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 2213
Kandungan Total Fenolat .............................................................. 2219
Tingkat Oksidasi ........................................................................... 2320
Karakteristik Organoleptik ............................................................ 2516
Warna Dendeng ................................................................. 2617
Intensitas Aroma Bumbu ................................................... 2717
Tingkat Kelembaban ......................................................... 2718
Tingkat Kelenturan ............................................................ 2818
Rendemen ..................................................................................... 2813
Aktivitas Air ................................................................................. 2914
Kadar Air ...................................................................................... 3015
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 3322
Kesimpulan ................................................................................... 3322
Saran ............................................................................................ 3322
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................... 3423
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 3524
LAMPIRAN ............................................................................................. 3927

ix
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng Sapi ..................................... 3
2. Komposisi Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Dendeng ...... 18
3. Kandungan Total Fenolat Dendeng Sapi Mentah yang Diberi
Bumbu dengan Komposisi Berbeda ................................................ 22
4. Bilangan Peroksida Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu
dengan Komposisi Berbeda ............................................................. 23

5. Data Karakteristik Organoleptik Dendeng Sapi Mentah yang


Diberi Bumbu dengan Komposisi Berbeda .................................... 25
6. Rataan Rendemen Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu
dengan Komposisi Berbeda ............................................................. 28
7. Nilai aw Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan
Komposisi Berbeda .......................................................................... 29
8. Kadar Air Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan
Komposisi Berbeda .......................................................................... 31
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Histogram Aktivitas Atibakteri Bawang Putih dengan Berbagai
Konsentrasi ........................................................................................ 7
2. Struktur Kimia Beberapa Senyawa Antioksidan Alami .................... 10
3. Tingkat Oksidasi Lemak dalam Bahan Pangan Dipengaruhi oleh
Nilai aw .............................................................................................. 12
4. Prinsip Kerja Antioksidan ................................................................. 14
5. Bentuk Umum Kurva Sorpsi Kadar Air Isotermis ............................ 15
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Pengeringan Dendeng Sapi dengan Menggunakan Oven ............... 40
2. Dendeng Sapi setelah Pengeringan .................................................. 40
3. Analisis Ragam Kandungan Total Fenolat Dendeng Sapi Mentah .. 40
4. Uji Tukey Kandungan Total Fenolat Dendeng Sapi Mentah .......... 41
5. Analisis Ragam Bilangan Peroksida Dendeng Sapi Mentah ........... 41
6. Uji Tukey Bilangan Peroksida Dendeng Sapi Mentah .................... 41
7. Uji Kruskal-Wallis Warna Dendeng Sapi Mentah .......................... 41
8. Uji Pembandingan Berganda Warna Dendeng Sapi Mentah .......... 42
9. Uji Kruskal-Wallis Intensitas Aroma Bumbu Dendeng Sapi
Mentah ............................................................................................. 42
10. Uji Pembandingan Berganda Intensitas Aroma Bumbu Dendeng
Sapi Mentah ..................................................................................... 42
11. Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kelembaban Dendeng Sapi Mentah ... 42
12. Uji Pembandingan Berganda Tingkat Kelembaban Dendeng Sapi
Mentah ............................................................................................. 43
13. Kruskal-Wallis Tingkat Kelenturan Dendeng Sapi Mentah ............ 43
14. Uji Pembandingan Berganda Tingkat Kelenturan Dendeng Sapi
Mentah ............................................................................................. 43
15. Format Formulir Analisis Organoleptik Dendeng Sapi Mentah ..... 44
16. Analisis Ragam Rendemen Dendeng Sapi Mentah ......................... 45
17. Uji Tukey Rendemen Dendeng Sapi Mentah .................................. 45
18. Analisis Ragam Aktivitas Air Dendeng Sapi Mentah ..................... 45
19. Uji Tukey aw Dendeng Sapi Mentah ............................................... 45
20. Analisis Ragam Kadar Air Dendeng Sapi Mentah .......................... 46
21. Uji Tukey Kadar Air Dendeng Sapi Mentah ................................... 46
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging tradisional yang sudah
dikenal oleh masyarakat luas, dan umumnya terbuat dari daging sapi. Dendeng
mempunyai kandungan protein yang tinggi, selain itu dalam dendeng terdapat
beberapa kandungan mineral seperti kalsium, fosfor, dan besi yang dapat
memperbaiki gizi masyarakat. Dendeng sapi mempunyai bentuk seperti lempengan
kering yang terbuat dari irisan atau gilingan daging sapi segar yang diberi tambahan
campuran gula, garam, serta rempah-rempah. Jenis rempah-rempah yang digunakan
dalam pembuatan dendeng sapi ini meliputi lengkuas, ketumbar, bawang merah, dan
bawang putih. Dendeng memiliki ciri yang khas, yaitu berwarna cokelat kemerahan,
tipis dan flavornya yang sedap. Pembuatan dendeng merupakan salah satu alternatif
pengolahan daging sapi yang dapat memperpanjang umur simpan.
Proses pembuatan dendeng sampai saat ini belum dibakukan, karena di setiap
daerah mempunyai komposisi resep yang berbeda-beda. Dendeng sebagai produk
pangan semi basah dengan kadar air sekitar 20% mempunyai peluang kerusakan
akibat proses pemanasan. Kerusakan yang sering terjadi pada dendeng adalah
oksidasi lemak dan pencoklatan non enzimatis, dimana kedua kerusakan tersebut
dapat menyebabkan penurunan gizi dan cita rasa produk tersebut.
Proses oksidasi lemak dapat terjadi jika ada kontak antara sejumlah oksigen
dengan lemak dan biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida. Terjadinya
oksidasi ini tidak hanya dipengaruhi oleh suhu, tetapi juga dipengaruhi oleh kadar air
dan aktivitas air. Tingkat oksidasi lemak pada dendeng dapat dicegah atau dikurangi
dengan adanya penambahan rempah-rempah sebagai bumbu. Rempah-rempah alami
mengandung antioksidan yang pada umumnya sifat antioksidan ini dimiliki oleh
senyawa fenolat. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat mengurangi, menahan,
dan mencegah proses oksidasi lipida. Pada penelitian ini dapat dilihat sejauh mana
peran bumbu yang ditambahkan pada pembuatan dendeng dalam mereduksi oksidasi
lemak, baik yang disebabkan oleh pemanasan, kadar air, maupun aktivitas air
dendeng. Pembuatan dendeng pada penelitian ini menggunakan penambahan bumbu
dengan konsentrasi bawang putih dan ketumbar yang berbeda, yang selanjutnya
diharapkan dengan semakin tingginya konsentrasi yang ditambahkan pada dendeng
maka semakin efektif dalam menghambat oksidasi lemak sebagai akibat dari
kandungan total fenolat yang tinggi. Selain itu juga diharapkan mutu organoleptiknya
lebih diminati oleh konsumen secara umum.

Tujuan
1. Mempelajari pengaruh penambahan bumbu dengan konsentrasi berbeda terhadap
kandungan total fenolat dan tingkat oksidasi lemak pada dendeng sapi mentah.
2. Mempelajari karakteristik organoleptik dendeng sapi mentah yang diberi bumbu
dengan konsentrasi berbeda.

2
TINJAUAN PUSTAKA

Dendeng Sapi
Dendeng sapi adalah produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari
irisan atau gilingan daging sapi segar berasal dari sapi sehat yang telah diberi bumbu
dan dikeringkan (Badan Standardisasi Nasional, 1992). Dendeng sapi digolongkan
menjadi dua bentuk, yaitu dendeng sapi irisan dan dendeng sapi giling yang masing-
masing digolongkan dalam dua jenis mutu. Spesifikasi persyaratan mutu dendeng
menurut Badan Standardisasi Nasional 01-2908-1992 ditampilkan pada Tabel 1.
Dendeng tergolong dalam produk pangan semi basah, menurut Huang dan Nip
(2001) produk pangan semi basah memiliki kadar air sebesar 15%-50%, dan nilai a w
berkisar antara 0,60-0,92.

Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng Sapi

Persyaratan
No Jenis Uji Satuan
Mutu I Mutu II
1 Warna dan bau - Khas dendeng sapi Khas dendeng sapi

2 Kadar air, (bobot-/bobot) % Maks. 12 Maks. 12

3 Kadar protein % Min. 30 Min. 25


(bobot/bobot kering)

4 Abu tak larut dalam asam % Maks. 1 Maks. 1


(bobot/bobot kering)

5 Benda asing (bobot/bobot % Maks. 1 Maks. 1


kering)

6 Kapang dan serangga - Tidak nampak Tidak nampak


Sumber: Badan Standardisasi Nasional 01-2908-1992.

Daging Sapi
Daging sapi didefinisikan sebagai bagian otot skeletal dari karkas sapi yang
aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging
segar dingin, atau daging beku (Badan Standardisasi Nasional, 2008a). Berdasarkan
keadaan fisik, daging dapat dikelompokan menjadi: (1) daging segar yang dilayukan
atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging
dingin), (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibeku (daging
beku), (4) daging masak, (5) daging asap, dan (6) daging olahan (Soeparno, 2005).

Bumbu
Garam
Garam dipergunakan manusia secara luas untuk mengawetkan berbagai
macam makanan. Garam berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme
pencemar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik dan juga pembentuk
spora adalah yang paling mudah terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah
sekalipun (yaitu sampai 6%). Mikroorganisme patogenik, termasuk Clostridium
botulinum dengan pengecualian pada Staphylococcus aureus, dapat dihambat oleh
konsentrasi garam sampai 10%-12%. Walaupun begitu, beberapa mikroorganisme
terutama jenis Leuconostoc dan Lactobacillus, dapat tumbuh cepat dengan adanya
garam dan terbentuknya asam untuk menghambat organisme yang tidak dikehendaki
(Buckle et al., 2009).
Garam juga mempengaruhi aktivitas air (a w) dari bahan, jadi mengendalikan
pertumbuhan mikroorganisme dengan suatu metode yang bebas dari pengaruh
racunnya. Beberapa organisme seperti bakteri halofilik dapat tumbuh dalam larutan
garam yang hampir jenuh, tetapi mikroorganisme ini membutuhkan waktu
penyimpanan yang lama untuk tumbuh dan selanjutnya terjadi pembusukan (Buckle
et al., 2009).

Gula Kelapa
Gula kelapa atau gula merah adalah gula yang terbuat dari bahan baku utama
nira kelapa yang telah diolah. Gula kelapa memiliki ciri khusus baik rasa, aroma dan
bentuknya, yang sangat berbeda dengan gula putih yang terbuat dari bahan tebu (Heri
dan Lukman, 2007). Prinsip pembuatan gula merah adalah penguapan sebagian air
dalam nira sampai mencapai tingkat kekentalan tertentu sehingga gula dapat dicetak.
Kondisi kimia nira sangat menentukan warna gula merah karena pada dasarnya
reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi pada pembentukan gula merah
melibatkan reaktan-reaktan berupa senyawa-senyawa kimia seperti protein, lemak,
kadar gula, dan kadar air (Nurlela, 2002).

4
Gula merah yang terbuat dari nira kelapa berwarna lebih cerah dibanding gula
merah yang terbuat dari nira aren. Penampakan gula merah yang kering dan berair
sangat ditentukan oleh kondisi keasaman nira sebagai bahan baku. Pada kondisi
asam, kandungan gula pereduksi pada gula merah sangat tinggi. Gula pereduksi
menyebabkan gula merah menjadi lebih higroskopis (mudah menarik uap air)
sehingga penampakan produk menjadi basah dan mudah meleleh. Kekerasan gula
merah disebabkan oleh adanya kristal-kristal sukrosa. Pemanasan yang diperlukan
pada reaksi pencoklatan akan menyebabkan kandungan sukrosa gula dalam gula
merah menurun akibat terdegradasi menjadi gula pereduksi, sehingga kadar kristal
sukrosa dalam gula merah menjadi rendah (Nurlela, 2002).

Gula Pasir
Gula pasir merupakan hasil dari proses rekristalisasi ekstrak cairan tebu
dengan kandungan sukrosa yang sangat tinggi (Fitriadi, 2000). Gula sukrosa
termasuk ke dalam golongan disakarida yang terdiri atas dua unit monosakarida,
yaitu α-glukosa dan fruktosa yang terhubung melalui ikatan glikosida (Rizal et al.,
2007). Menurut Buckle et al. (2009), faktor utama yang mempengaruhi mutu
sukrosa adalah pemanasan. Penggunaan teknik konsentrasi hampa udara dalam
proses penggilingan dan pemurnian mengurangi inversi sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa, serta mengurangi pembentukan warna gelap oleh proses karamelisasi.

Lengkuas
Lengkuas (Alpinia galanga) digunakan untuk menambah citarasa makanan
seluruh Asia Selatan dan Tenggara. Rimpangnya memiliki berbagai aplikasi dalam
pengobatan tradisional (Yang dan Eilerman, 1999). Lengkuas sebagai minyak
esensial menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram positif, ragi, dan
dermatofit. Senyawa yang paling aktif adalah terpinen-4-ol (Janssen dan Scheffer,
1985). Selain itu, minyak esensial dari lengkuas dilaporkan berpotensi sebagai
antikarsinogen (Zheng et al., 1993).
Menurut Mahae dan Chaiseri (2009), ekstrak etanol lengkuas menunjukkan
potensi untuk digunakan sebagai antioksidan alami dalam produk makanan.
Lengkuas memiliki senyawa fenolik dan 1-acetoxychavicol asetate (ACA) dengan
bau ringan, yang membuatnya menguntungkan untuk digunakan dalam berbagai

5
jenis produk makanan bila dibandingkan dengan herbal lain. Menurut Tangkanakul
et al. (2009) lengkuas mempunyai aktivitas antioksidan sebesar 98,61 ± 2,13 mg
vitamin C equivalent (VCE)/100 g dan total fenolat sebesar 216,63 ± 3,33 mg gallic
acid equivalent (GAE)/100 g.

Ketumbar
Ketumbar merupakan tanaman asli dari daratan Eropa Timur, kemudian
menyebar ke India, Morocco, Pakistan, Rumania dan Rusia (Purseglove et al., 1981).
Ketumbar mempunyai aroma yang khas, aromanya disebabkan oleh komponen kimia
yang terdapat dalam minyak atsiri. Ketumbar mempunyai kandungan minyak atsiri
berkisar 0,4%-1,1%, minyak ketumbar termasuk senyawa hidrokarbon beroksigen,
komponen utama minyak ketumbar adalah linalool yang jumlahnya sekitar 60%-70%
dengan komponen pendukung yang lainnya adalah geraniol (1,6%-2,6%), geranil
asetat (2%-3%), kamfor (2%-4%), dan mengandung senyawa golongan hidrokarbon
berjumlah sekitar 20% (α-pinen, β-pinen, dipenten, p-simen, α-terpinen dan γ-
terpinen, terpinolen dan fellandren) (Guenther, 1990). Berdasarkan jenis unsur
penyusun senyawa minyak atsiri, minyak ketumbar termasuk golongan senyawa
hidrokarbon beroksigen. Senyawa tersebut menimbulkan aroma wangi dalam minyak
atsiri, serta lebih tahan dan stabil terhadap proses oksidasi dan resinifikasi (Suhirman
dan Yuhono, 2007). Menurut Tangkanakul et al. (2009) biji ketumbar mempunyai
aktivitas antioksidan sebesar 53,54 ± 6,97 mg VCE/100 g dan total fenolat sebesar
97,26 ± 2,50 mg GAE/100 g.

Bawang Putih
Bawang putih mempunyai kadar air sebesar 37,87 ± 0,6%. Ekstrak bawang
putih dapat melindungi lemak tak jenuh dari oksidasi oleh radikal bebas yang telah
diuji dengan radiasi larutan asam linoleat (5 mM) dalam campuran etanol : air (1:1
v/v) pada konsentrasi rendah (Leelarungrayub et al., 2006). Umbi bawang putih
mengandung senyawa aktif allicin (diallyl thiosulfinate) yang berperan sebagai
antimikroba. Thiosulfinates memiliki derajat yang berbeda pada penghambatan
antibakteri dan antijamur (Benkeblia dan Lanzotti, 2007). Thiosulfinates mempunyai
sifat antioksidan yang nyata di bawah kondisi tertentu (Rabinkov et al., 1998).
Menurut Tangkanakul et al. (2009) bawang putih mempunyai aktivitas antioksidan

6
sebesar 8,77 ± 1,93 mg VCE/100 g dan total fenolat sebesar 63,51 ± 3,67 mg
GAE/100 g.
Suharti et al. (2005) telah menguji aktivitas antibakteri bawang putih dengan
berbagai konsentrasi yaitu, 2,5%; 5%; 7,5%; dan l0%. Gambar 1 menunjukkan
bahwa aktivitas antibakteri bawang putih pada konsentasi 2,5%; 5%; 7,5%; dan l0%
berturut-turut adalah 4,0 mm; 7,0 mm; 7,5 mm; dan 8,0 mm. Aktivitas antibakteri
tertinggi diperoleh pada konsentrasi 10% (P<0,05). Gambar tersebut juga
menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bawang putih, maka aktivitasnya
cenderung meningkat. Hal ini diduga dengan semakin tingginya konsentrasi bawang
putih maka kandungan bahan aktif antibakterinya juga meningkat. Namun
konsentrasi bawang putih yang mempunyai aktivitas yang tidak berbeda nyata
(P<0,05) dengan antibiotik tetrasiklin 100 µg/ml adalah pada konsentrasi 5% dan
7,5%.
Aktivitas antibakteri serbuk bawang putih diduga disebabkan oleh dialil
tiosulfinat yang biasa disebut dengan alisin. Alisin tidak ditemukan pada tanaman
utuh tetapi terbentuk oleh aktivitas enzim alliin alkil sulfenat liase pada komponen
asam amino non protein S-allylcysteine S-oxide/aliin (Feldberg et al., 1998).

8
7,5
7,23
7

Gambar 1. Histogram Aktivitas Antibakteri Bawang Putih dengan Berbagai


Konsentrasi
Sumber : Suharti et al. (2005)

7
Asam Jawa
Asam jawa biasanya diproduksi di Jawa Timur termasuk Madura, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Bali, dan
Sulawesi Selatan. Tanaman ini biasa tumbuh di dataran rendah dan beriklim tropis.
Klasifikasi ilmiah dari asam jawa menurut Soemardji (2007) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Division : Spermatophyta
Sub division : Magniliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub kelas : Risidae
Ordo : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Tamarindus L.
Species : Tamarindus indica L.

Dalimartha (2006) mengemukakan, bahwa beberapa kandungan dari


Tamrindus indica L. antara lain: kulit kayu mengandung 35% phlobatannine, biji
mengandung selulosa dan albuminoid, buahnya mengandung asam anggur, asam
apel, asam sitrat, asam tartar, gula invert dan pektin. Buah asam yang masak
mempunyai 40%-50% daging buah yang dapat dikonsumsi dan kandungan per 100 g,
yaitu: air 17,8-35,8 g; protein 2-3 g; lemak 0,6 g; karbohidrat 41,1-61,1 g; serat 2,9
g; abu 2,6-3,9 g; kalsium 34-94 mg; fosfor 34-78 mg; besi 0,2-0,9 mg; tiamin 0,33
mg; riboflavin 0,1 mg; niasin 1 mg; dan vitamin C 44 mg. Biji segar mengandung air
13%, protein 20%, lemak 5,5%, karbohidrat 59%, abu 2,4% dan sisanya adalah
amiloid, fitohemaglutinin, dan flavonoid. Daging buah, daun, dan batang dari
Tamrindus indica L. mengandung saponin, flavonoid, dan tannin. Selain itu
Tangkanakul et al. (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa asam jawa yang
sudah berupa jus mempunyai aktivitas antioksidan sebesar 13,44 ± 0,07 mg VCE/100
g dan total fenolat sebesar 23,84 ± 0,82 mg GAE/100 g.

8
Merica
Merica (Piper nigrum Linn) termasuk dalam famili Piperaceae, yang berasal
dari India dan merupakan rempah-rempah yang paling berharga sejak zaman dahulu.
Merica mengandung minyak volatil yang mempunyai aktivitas antimikroba (Dorman
dan Deans, 2000). Merica memiliki kandungan obat, sehingga sering digunakan
untuk mengobati vertigo, asma, obesitas, sinusitis, gangguan pencernaan kronis,
racun usus, demam, lumpuh, gangguan rematik, diare, dan juga kolera (Sashidhar,
2002).
Merica bubuk pada pembuatan sosis daging babi segar dapat memperpanjang
umur simpan, meskipun pada luasan yang berbeda tergantung pada rempah-rempah
dan konsentrasi yang digunakan. Selain itu, merica tampaknya paling sesuai untuk
memperpanjang umur simpan sosis segar karena efektif menunda perubahan warna
dan off-flavor. Merica juga mempunyai daya hambat yang cukup signifikan terhadap
oksidasi lemak, tergantung dari konsentrasi yang ditambahkan (Martinez et al.,
2006). Menurut Tangkanakul et al. (2009) merica mempunyai aktivitas antioksidan
sebesar 108,47 ± 5,46 mg VCE/100 g dan total fenolat sebesar 447,23 ± 10,38 mg
GAE/100 g.

Senyawa Fenolat
Salah satu jenis antioksidan dalam bahan pangan adalah senyawa fenolat.
Senyawa fenolat merupakan senyawa kimia yang mempunyai satu buah cincin
aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksi. Beberapa penelitian telah
melaporkan hubungan antara kandungan fenolat dan aktivitas antioksidan.
Beberapa peneliti menemukan korelasi antara kandungan fenolat dan
aktivitas antioksidan (Soong dan Barlow, 2004). Velioglu et al. (1998) melaporkan
adanya hubungan yang kuat antara kandungan fenolat total dan aktivitas antioksidan
pada sayuran, buah-buahan, dan produk biji-bijian. Menurut Ismail et al. (2004)
setiap jenis sayuran memiliki aktivitas antioksidan yang berbeda, disumbangkan oleh
komponen antioksidan yang berbeda, seperti α-tokoferol, β-karoten, vitamin C,
selenium, atau senyawa fenolat. Struktur kimia beberapa senyawa antioksidan alami
yang bersal dari tanaman ditampilkan pada Gambar 2 berikut ini:

9
OH
1 1
6 2 2

5 3 3

4 4

Fenol (Rantai-Rantai Tunggal) Tokoferol

3
2 4 1 7
6
2 8
5
HO
6
3 9
5
4

Hidroksi Sinamat Koumarin

1
2’ 3’
8 o
7 2
4’

6’ 5’
6 3
4
5

o
Flavonoid

Gambar 2. Struktur Kimia Beberapa Senyawa Antioksidan Alami


Sumber : Cahyadi (2008)

Oksidasi Lemak
Salah satu kerusakan pada produk makanan adalah oksidasi lemak dari asam
lemak tidak jenuh. Oksidasi lemak dapat berlangsung melalui jalan autoksidasi.
Menurut Cahyadi (2008) proses oksidasi lemak pada prinsipnya merupakan proses
pemecahan yang terjadi di sekitar ikatan rangkap (tidak jenuh) dalam molekul
gliserida penyusun lemak. Proses oksidasi lemak berlangsung dalam suatu seri reaksi
yang disebut mekanisme radikal bebas. Autoksidasi radikal bebas dari lemak ditandai

10
dengan tiga tahapan utama. Tahap permulaan disebut inisiasi yang kemudian diikuti
oleh tahap propagasi, dan tahap terminasi atau berhentinya reaksi.
Purnomo (1995) menambahkan bahwa inisiasi terjadi dengan ditandai oleh
hilangnya radikal hidrogen pada gugus asam lemak tak jenuh dari molekul lemak
(RH) karena panas, cahaya, atau logam dalam jumlah kecil (trace metal). Pada tahap
propagasi radikal bebas (R*), lemak akan bereaksi dengan oksigen, dan membentuk
radikal peroksi tak stabil (ROO*) yang pada saatnya bereaksi dengan molekul lemak
lainnya untuk membentuk hidroperoksida (ROOH) dan radikal hidrokarbon baru
(R*). Radikal baru tersebut kemudian berperan dalam reaksi berantai karena
reaksinya dengan molekul oksigen lain. Tahap selanjutnya adalah terminasi yang
merupakan penggabungan dua radikal. Jika tidak ada lagi radikal yang tersedia untuk
reaksi lebih lanjut dengan oksigen, maka diperlukan reaksi inisiasi yang baru apabila
oksidasi akan berlangsung. Ketiga tahap reaksi tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:

Inisiasi : RH R* + H *

Propagasi : R* + O2 ROO*
ROO* + RH ROOH* + R*

Terminasi : ROO* + ROO* ROOR + O2


ROO* + R* ROOR
* *
R +R R – R (Cahyadi, 2008)

Menurut Purnomo (1995) sejumlah produk akan dihasilkan selama


autoksidasi. Dekomposisi hidroperoksida menghasilkan pembentukan aldehid, keton,
alkohol, hidrokarbon, dan produk-produk lainnya. Hidroperoksida dapat bereaksi
dengan oksigen untuk membentuk produk sekunder seperti epoksihidroperoksida
yang mengalami dekomposisi, dan membentuk produk-produk pecahan yang mudah
menguap. Selanjutnya hidroperoksida dan produk-produknya dapat bereaksi dengan
protein, enzim, dan membran. Menurut Rohman dan Sumantri (2007) senyawa-
senyawa hasil oksidasi dapat diukur dengan melakukan beberapa analisis yang
meliputi: penentuan bilangan peroksida, jumlah karbonil, jumlah oksigen aktif, uji
asam tiobarbiturat, dan uji oven schaal.

11
Air dapat mempengaruhi oksidasi lemak dengan mempengaruhi konsentrasi
dari tersedianya radikal inisiasi, tingkatan kontak dan mobilitas bahan pereaksi, dan
yang relatif penting adalah perpindahan radikal terhadap reaksi penggabungan
kembali. Air yang besar peranannya dalam mengendalikan struktur bahan pangan
juga merupakan faktor utama dalam oksidasi lemak. Penambahan air pada emulsi
yang telah dikeringbekukan dapat meruntuhkan struktur metastabil. Apabila keadaan
ini terjadi, lemak yang tidak terselubung lagi akan mengalir dari matriks bagian
dalam ke permukaan. Jika terpapar udara, lemak pada permukaan telah siap
teroksidasi, dan lemak yang terselubung terlindungi dari oksigen. Kenaikan nilai a w
sampai batas nilai kritis tertentu mengkibatkan matriks pelindung hancur, dan lemak
yang tidak terselubung akan terdistribusikan ke permukaan serta akan mengalami
oksidasi (Purnomo, 1995).
Jika air cukup banyak untuk mengalami kondensasi dalam kapiler seperti
pada bahan pangan setengah basah, oksidasi lemak akan meningkat. Kenaikan
tingkat oksidasi lemak pada keadaan setengah basah disebabkan oleh mobilitas
logam dalam jumlah kecil, yang telah terdapat dalam sistem dan pemekaran matriks,
yang akan menonjolkan bagian katalis baru, sehingga tingkatan oksidasi menjadi
lebih tinggi daripada keadaan kering. Akan tetapi pengenceran katalis logam yang
terdapat dalam sistem sebagai akibat bertambahnya kadar air pada nilai a w yang
sangat tinggi akan menurunkan tingkat oksidasi lemak (Purnomo, 1995). Pengaruh
aw terhadap tingkat oksidasi bahan pangan digambarkan sebagai berikut:
Tingkat Oksidasi

0,2 0,4 0,6 0,8


aw
Gambar 3. Tingkat Oksidasi Lemak dalam Bahan Pangan Dipengaruhi oleh Nilai a w
Sumber : Leung (1987)

12
Bilangan Peroksida
Pemanasan yang tinggi menyebabkan sebagian minyak atau lemak dalam
bahan pangan mengalami oksidasi. Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi
kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi
oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak. Oksidasi
biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida (Ketaren,
1986).
Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar
peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak.
Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah
mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti
menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa
disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju
degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat mengalami
degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Raharjo, 2006). Menurut Suharyanto et al.
(2008) bilangan peroksida pada dendeng sapi sebesar 169,51 meq/kg.

Peranan Antioksidan
Antioksidan adalah bahan yang digunakan untuk mencegah oksidasi lemak,
misalnya digunakan pada bahan pangan yang akan digoreng, makanan dari biji-
bijian, dan makanan-makanan lain yang mengandung banyak lemak dan mudah
tengik (Winarno et al., 1980). Antioksidan yang sering digunakan adalah senyawa
fenol atau amina aromatis. Beberapa senyawa belerang digunakan pada beberapa
bahan dan beberapa asam tertentu digunakan sebagai deaktivator logam. Antioksidan
dapat berperan sebagai inhibitor atau pemecah peroksida. Pada umumnya,
antioksidan dapat menghentikan rantai reaksi oksidatif sebagai berikut: 1) dengan
donasi elektron pada radikal peroksi, 2) dengan donasi atom hidrogen pada radikal
peroksi, 3) dengan adisi pada radikal peroksi sebelum atau sesudah terjadi oksidasi
parsial, 4) dengan metode lain yang belum diketahui dan memungkinkan berkaitan
dengan radikal hidrokarbon namun bukan radikal peroksi (Cahyadi, 2008).
Menurut Cahyadi (2008) senyawa sulfur merupakan pemecah peroksida yang
efektif. Peranan ini dapat berupa reaksi transfer satu elektron. Bila mula-mula tidak
ada peroksida, antioksidan yang berupa inhibit radikal bebas pada umumnya dapat

13
mempertahankan stabilitas selama waktu tertentu yang kira-kira sebanding dengan
konsentrasinya. Antioksidan yang berupa pemecah peroksida cenderung memiliki
ketergantungan konsentrasi yang relatif besar. Pada konsentrasi tinggi pemecah
peroksida menjadi relatif lebih efektif daripada inhibitor dan pada konsentrasi yang
rendah relatif kurang efektif. Prinsip kerja dari antioksidan oleh Winarno et al.
(1980) digambarkan sebagai berikut:

HO OH + *R HO −O* + RH

HO OH + *RO2 HO −O* + ROOH

Gambar 4. Prinsip Kerja Antioksidan


Sumber : Winarno et al. (1980)

Peranan aw dan Kadar Air dalam Pangan


Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen di
samping ikut sebagai bahan pereaksi, sedang bentuk air dapat ditemukan sebagai air
bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan
atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut.
Sebenarnya air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut sistem kapiler dan air
terikat secara kimia, antara lain air kristal dan air yang terikat dalam sistem dispersi.
Aktivitas air pertama kali digunakan oleh Scott (1957) sebagai petunjuk adanya
sejumlah air dalam bahan pangan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Aktivitas air ini juga terkait erat dengan adanya air dalam bahan
pangan. Pada nilai aw tinggi (0,91) bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak,
khamir dapat tumbuh dan berkembang biak pada nilai a w 0,87-0,91 sedangkan
kapang lebih rendah lagi yaitu pada nilai a w 0,80-0,87 (Purnomo, 1995).
Kadar air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi (RH)
udara di sekitarnya. Bila kadar air bahan rendah sedangkan RH di sekitarnya tinggi,
maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahan menjadi lembab
atau kadar airnya menjadi lebih tinggi. Bila suhu bahan lebih rendah daripada
sekitarnya akan terjadi kondensasi uap air udara pada permukaan bahan dan dapat

14
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kapang atau perkembangbiakan
bakteri (Winarno et al., 1980) .
Hubungan besarnya aw dan kadar air dalam bahan pangan pada suhu tertentu
diperlihatkan pada Gambar 5. Bentuk khas kurva sorpsi kadar air isotermis
tergantung pada cara tercapainya kadar air maupun aktivitas air bahan pangan
tersebut, apakah dicapai dengan desorpsi atau adsorpsi. Pengolahan bahan pangan
secara secara desorpsi yaitu bila dimulai dengan kadar air yang tinggi, dimana pada
akhir proses bahan pangan mencapai kadar air dan aktivitas air yang diharapkan,
sedang pada proses adsorpsi adalah sebaliknya.

Desorpsi
Kadar Air

Adsorpsi
B C

0 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00


aw
Gambar 5. Bentuk Umum Kurva Sorpsi Kadar Air Isotermis
Sumber: Labuza dan Saltmarch (1981)

Gambar 5 menunjukkan bahwa bahan pangan yang mempunyai nilai a w yang


sama dapat mempunyai kadar air yang berbeda. Daerah A mempunyai nilai aw di
bawah 0,20, daerah B mempunyai nilai a w antara 0,20 sampai 0,60, dan daerah C
mempunyai nilai aw di atas 0,60. Ditinjau dari aspek keterkaitan air, maka di daerah
A air terdapat dalam bentuk satu lapis (monolayer), dengan molekul air terikat sangat
erat. Kadar air bahan pangan di daerah A ini berkisar antara 5%-10%. Pada daerah
ini air sulit sekali diuapkan. Daerah B air terikat kurang kuat dan merupakan lapisan-
lapisan. Air yang terdapat dalam daerah ini berperan sebagai pelarut, oleh karena itu
aktivitas enzim dan pencoklatan non-enzimatis dapat terjadi. Daerah C disebut juga

15
daerah kondensasi kapiler. Pada daerah ini air terkondensasi pada struktur bahan
pangan hingga kelarutan komponen menjadi lebih sempurna. Keadaan air dalam
kondisi bebas ini dapat membantu proses kerusakan (Purnomo, 1995).

16
MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan
Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Oktober 2011 sampai dengan Mei 2012.

Materi
Bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng antara lain: daging sapi
lokal bagian knuckle (daging kelapa) yang telah dibekukan, garam, lengkuas,
ketumbar, bawang putih, gula merah, gula putih, asam jawa, dan merica, sedangkan
bahan yang digunakan untuk analisis yaitu metanol, Folin-Ciocalteu, Na2CO3 7,5%,
heksana, asam gallat, kloroform, asam asetat glasial, kalium iodida, etanol, natrium
tiosulfat 0,02 N, larutan kanji, dan air destilata. Peralatan yang digunakan antara lain
slicer, oven, food processor, blender, freezer, cawan porselen, refrigerator, labu
takar, waterbath, pipet volumetrik, pipetman, spectrofotometer, aw meter, soklet,
tabung erlenmeyer, buret, dan timbangan digital.

Prosedur

Perlakuan dan Persiapan Sampel


Perlakuan yang digunakan yaitu perlakuan bumbu yang terdiri atas perlakuan:
1) tanpa bumbu (kontrol), 2) komposisi bumbu I, 3) komposisi bumbu II. Komposisi
bumbu yang digunakan diperlihatkan pada Tabel 2. Kedua komposisi bumbu yang
digunakan memiliki perbandingan ketumbar : bawang putih yang sama, yaitu 1 : 5.
Perbedaan antara komposisi bumbu yang pertama dan kedua adalah konsentrasi
ketumbar dan bawang putih yang ditambahkan. Penambahan ketumbar dan bawang
putih pada komposisi bumbu II konsentrasinya 2 kali lipat dari komposisi bumbu I.
Daging yang digunakan adalah daging sapi beku dari bagian knuckle yang
sudah disegarkan kembali setelah diiris. Daging yang digunakan berasal dari sapi
dengan bangsa, umur, dan bagian daging yang sama. Pembuatan diawali dengan
menghilangkan lemak ekstramuskuler dan jaringan ikat dari daging, kemudian diiris
tipis (5 mm) menggunakan slicer daging dan dicampur dengan bumbu yang sudah
dihaluskan. Setelah diaduk rata irisan daging disimpan pada suhu ruang selama 12
jam untuk meresapkan bumbu. Daging kemudian dikeringkan menggunakan oven
dengan suhu 60 oC selama 3 jam dengan dilapisi plastik tahan panas, setelah 3 jam
dendeng dibalik dan plastik tersebut dilepaskan kemudian pemanasan dilanjutkan
selama 5 jam pada suhu 70 oC. Selain dendeng yang berbumbu dibuat juga dendeng
tanpa bumbu (daging kering sebagai kontrol) yang memperoleh perlakuan yang
sama. Dendeng yang sudah dioven digiling dengan food processor sehingga menjadi
partikel yang lebih kecil. Selanjutnya dikemas dalam plastik dan disimpan dalam
refrigerator hingga analisis siap dilakukan.

Tabel 2. Komposisi Bahan Segar yang Digunakan pada Pembuatan Dendeng


Komposisi
Kontrol I II
Jenis Bahan
Jumlah Jumlah Jumlah
(%)** (%)** (%)**
(g) (g) (g)
Daging 100 1000,0 66,4 1000,0 63,9 1000,0
Garam - - 1,7 25,0 1,6 25,0
Rempah-rempah
(lengkuas, asam - - 6,0 91 5,8 91
jawa, merica)
Ketumbar* - - 0,7 10 1,3 20
Bawang putih* - - 3,3 50 6,4 100
Campuran gula - - 21,9 330 21,0 330
kelapa dan gula putih
Keterangan : * Konsentrasi ketumbar dan bawang putih pada komposisi II lebih banyak daripada
komposisi I, yaitu sebesar 2 kali lipat
** Persentase dari total bahan yang digunakan

Komposisi tersebut diperoleh dari penelitian pendahuluan yang sebelumnya


telah dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan komposisi mana yang mempunyai
cita rasa yang enak dan diminati konsumen, dengan cara melakukan pengujian
tingkat kesukaan oleh panelis. Jumlah daging dan bumbu yang digunakan
mempunyai perbandingan 2 : 1.

Prosedur Analisis
Analisis yang dilakukan meliputi analisis total fenolat, bilangan peroksida,
organoleptik, rendemen, nilai aw, dan kadar air.

18
Analisis Total Fenolat. Pengujian dilakukan pada dendeng yang sudah dihaluskan,
dengan menggunakan metode yang digunakan oleh Tangkanakul et al. (2009).
Sampel diekstraksi menggunakan 100% metanol pada suhu ruang, dengan rasio
sampel dan metanol 1 : 5. Supernatan dimasukkan ke dalam botol bertutup dan
disimpan pada suhu -20 oC hingga pengujian kandungan fenol siap dilakukan untuk
meminimalkan perubahan reaksi yang tidak diinginkan. Penentuan total fenolat
ditentukan dengan menggunakan pereaksi Folin-Ciocalteu. Sebanyak 2 ml ekstrak
sampel direaksikan dengan 10 ml Folin-Ciocalteu (sebelumnya diencerkan 10 kali
dengan air destilata) dalam 25 ml labu takar. Setelah 30 detik dan sebelum 8 menit, 8
ml Na2CO3 7,5% ditambahkan dan ditepatkan hingga tera labu dengan air destilata.
Larutan dipanaskan pada water bath dengan suhu 40 oC selama 30 menit. Setelah
terbentuk warna, absorbansi diukur pada 765 nm. Kurva standar disiapkan
menggunakan 0; 0,5; 1,0; dan 1,5 ml larutan asam gallat (8 mg/100 ml) dalam 25 ml
campuran reaksi. Hasilnya dinyatakan sebagai mg ekivalen asam gallat (EAG)/100 g
dendeng.

Analisis Bilangan Peroksida. Pengujian dilakukan pada ekstrak lemak dendeng.


Ekstraksi lemak dilakukan dengan menggunakan soxhlet (Association of Official
Analytical Chemists, 1984), sedangkan pengujian bilangan peroksida mengacu pada
Badan Standardisasi Nasional (1998). Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan
dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Sampel
dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet.
Alat kondenser diletakkan di bawah alat ekstraksi. Pelarut heksana dimasukkan ke
dalam labu lemak secukupnya. Pelarut dalam lemak didestilasi dan ditampung
kembali. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada
suhu 105 oC hingga berat tetap dicapai, kemudian didinginkan dalam desikator.
Penentuan bilangan peroksida dilakukan dengan menimbang sebanyak 0,3-5,0 g
sampel lemak hasil ekstraksi soxhlet ke dalam erlenmeyer 300 ml. Sebanyak 30 ml
campuran larutan dari 20 ml asam asetat glasial, 25 ml etanol 95 %, dan 55 ml
kloroform ditambahkan. Kristal kalium iodida ditambahkan sebanyak 1 g dan
disimpan ditempat gelap selama 30 menit. Sebanyak 50 ml air suling bebas CO 2
ditambahkan, dan dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat 0,02 N dengan
larutan kanji sebagai indikator. Bilangan peroksida dihitung dengan rumus :

19
ml Na2S2O3 x N Na2S2O3
Bilangan Peroksida (meq/kg) = x 1000
berat sampel (g)

Analisis Organoleptik (Setianingtias, 2005). Pengujian ini dilakukan sebagai dasar


untuk menentukan mutu yang dilakukan pada dendeng mentah. Pengujian dilakukan
dengan melibatkan 25 orang panelis yang sebelumnya telah diberikan pelatihan
tentang kriteria karakteristik organoleptik dendeng (panelis semi terlatih). Panelis
yang digunakan adalah mahasiswa jurusan peternakan yang mengerti dan memahami
tentang pengujian organoleptik. Atribut mutu yang digunakan meliputi: warna 1-8
(1=hitam; 8=merah), intensitas aroma bumbu 1-8 (1=amat sangat tidak kuat; 8=amat
sangat kuat). Tingkat kelembaban 1-8 (1=amat sangat tidak lembab; 8=amat sangat
lembab). Tingkat kelenturan 1-8 (1=amat sangat kaku; 8=amat sangat lentur).

Rendemen. Persentase nilai rendemen dendeng ditentukan berdasarkan rumus :


Berat dendeng yang dihasilkan
Rendemen (%) = x 100%
Berat adonan dendeng

Pengukuran Nilai aw (Syarief dan Halid, 1992). Aktivitas air (aw) diukur dengan
menggunakan aw meter Shibura WA-360. Alat harus dikalibrasikan dengan larutan
NaCl jenuh sebelum digunakan. Larutan NaCl jenuh dimasukkan ke dalam chamber
pengukuran, kemudian alat dinyalakan dengan menekan tombol start dan ditunggu
sampai aw terbaca 0,750-0,752. Sebanyak 5 g sampel dendeng mentah yang dipotong
kecil-kecil kemudian dimasukkan ke dalam chamber sampel, tombol start ditekan
dan sampel akan terukur dan terbaca oleh alat.

Kadar Air (Association of Official Analytical Chemists, 2005). Sampel sebanyak 2


g dimasukkan dalam cawan aluminium berbobot tetap. Cawan beserta isinya
dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 oC hingga diperoleh berat konstan. Setelah
itu dimasukkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Kadar air dihitung dengan
rumus :

Berat awal sampel (g) – Berat akhir sampel (g)


Kadar Air (%) = x 100%
Berat awal sampel (g)

20
Rancangan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL).
Perlakuan yang digunakan untuk seluruh analisis ada tiga jenis, yaitu: 1) tanpa
bumbu (kontrol); 2) komposisi bumbu I; 3) komposisi bumbu II, dengan
menggunakan tiga ulangan. Rancangan tersebut digunakan untuk seluruh peubah,
kecuali pada analisis organoleptik. Hasil analisis organoleptik dianalisis dengan
menggunakan uji nonparametrik (Uji Kruskal-Wallis) dan menggunakan 25 orang
panelis sebagai ulangan. Model RAL menurut Gaspersz (1994) adalah sebagai
berikut :

Yij = µ + τi + ij

Keterangan :
Yij = Nilai Pengamatan pemberian bumbu pada konsentrasi ke-i dan ulangan ke-j
µ = Rataan umum
τi = Pengaruh pemberian bumbu pada konsentrasi ke-i (i = kontrol, bumbu I,
jjjjjbumbu II)
ij = Pengaruh Galat percobaan taraf ke-i pada ulangan ke-j

21
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Total Fenolat


Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada
tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng
sapi yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda disajikan pada Tabel 3.
Pengaruh pemberian bumbu dengan konsentrasi yang berbeda pada dendeng
menunjukkan adanya perbedaan kandungan total fenolat yang nyata (P<0,05) antara
dendeng sapi kontrol dengan bumbu I dan antara dendeng sapi kontrol dengan
bumbu II, namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata antara bumbu I dengan
bumbu II terhadap kandungan total fenolatnya (Tabel 3). Dendeng sapi dengan
komposisi bumbu I dan bumbu II mempunyai kandungan total fenolat lebih tinggi
(P<0,05) daripada kontrol.
Secara kimia senyawa fenolat didefinisikan sebagai senyawa kimia yang
memiliki cincin aromatik yang bergandengan dengan gugus hidroksil, termasuk
derivat-derivat fungsionalnya seperti ester, metil eter, glikosida, dan sebagainya
(Souto, et al., 2001). Senyawa fenolat banyak terkandung dalam tanaman termasuk
rempah-rempah. Senyawa ini berfungsi melindungi tanaman dari herbivora dan
penyakit (Hagerman, 2002). Adanya senyawa fenolat dalam rempah-rempah ini
menyebabkan kandungan total fenolat dendeng yang mendapat tambahan bumbu
lebih tinggi daripada yang tidak ditambahkan bumbu.

Tabel 3. Kandungan Total Fenolat Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu
dengan Komposisi Berbeda
Konsentrasi Fenolat
Perlakuan
(mg EAG/100 g BK sampel)
Kontrol 438,24 ± 32,27a
Bumbu I 1191,65 ± 193,04b
Bumbu II 1022,09 ± 225,79b
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh
perlakuan (P<0,05).

Velioglu et al. (1998) melaporkan adanya hubungan yang kuat antara


kandungan fenolat total dan aktivitas antioksidan pada sayuran, buah-buahan, dan
produk biji-bijian. Namun dalam studi oleh Kähkönen et al. (1999), diketahui bahwa
tidak ada korelasi antara aktivitas antioksidan dan kandungan fenolat pada beberapa
ekstrak tanaman yang mengandung senyawa fenolat.
Antioksidan dapat berperan sebagai inhibitor atau pemecah peroksida. Pada
umumnya, antioksidan dapat menghentikan rantai reaksi oksidatif sebagai berikut: 1)
dengan donasi elektron pada radikal peroksi, 2) dengan donasi atom hidrogen pada
radikal peroksi, 3) dengan adisi pada radikal peroksi sebelum atau sesudah terjadi
oksidasi parsial, 4) dengan metode lain yang belum diketahui dan memungkinkan
berkaitan dengan radikal hidrokarbon namun bukan radikal peroksi (Cahyadi, 2008).

Tingkat Oksidasi
Pemanasan yang tinggi menyebabkan sebagian minyak atau lemak dalam
bahan pangan mengalami oksidasi. Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi
kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi
oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak. Bilangan
peroksida dapat digunakan sebagai petunjuk adanya kerusakan oksidatif pada minyak
atau lemak. Bilangan peroksida dendeng sapi yang diberi bumbu dengan konsentrasi
berbeda ditampilkan pada Tabel 4.
Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang nyata
(P<0,05) terhadap bilangan peroksida antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu II,
namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata antara dendeng sapi kontrol dengan
bumbu I dan antara bumbu I dengan bumbu II. Menurut Suharyanto et al. (2008)
bilangan peroksida pada dendeng sapi sebesar 169,51 meq/kg. Angka peroksida
tersebut lebih tinggi daripada angka peroksida dendeng dalam penelitian ini (Tabel
4). Hal ini menunjukkan bahwa bumbu atau rempah-rempah yang ditambahkan
berperan dalam menurunkan tingkat oksidasi yang terjadi pada dendeng.

Tabel 4. Bilangan Peroksida Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan
Komposisi Berbeda
Bilangan Peroksida
Perlakuan
(meq/kg)
Kontrol 0,00 ± 0,00b
Bumbu I 2,72 ± 1,06ab
Bumbu II 6,11 ± 1,48a
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh
perlakuan (P<0,05).

23
Bilangan peroksida dendeng sapi pada dendeng sapi kontrol lebih rendah
daripada dendeng komposisi bumbu II (Tabel 4). Bilangan peroksida yang tinggi
mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka
yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih
dini. Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih
kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar
peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Raharjo, 2006).
Dendeng sapi komposisi bumbu II pada penelitian ini mempunyai bilangan
peroksida lebih tinggi daripada kontrol (Tabel 4), seiring dengan semakin tingginya
kandungan fenolat total pada dendeng sapi bumbu II (Tabel 3). Tingginya bilangan
peroksida ini menunjukkan bahwa senyawa fenolat yang terkandung dalam rempah-
rempah yang ditambahkan pada pembuatan dendeng khususnya penambahan bawang
putih dan ketumbar, mampu mencegah terjadinya degradasi senyawa peroksil
menjadi senyawa lain. Sebaliknya rendahnya kandungan senyawa fenolat pada
dendeng sapi kontrol menyebabkan kandungan lemak atau minyak pada dendeng
sapi kontrol secara keseluruhan telah mengalami reaksi oksidasi lebih lanjut yang
mengubah senyawa peroksil menjadi senyawa malonaldehida sebagai produk
sekunder reaksi oksidasi. Menurut Suhairi (2007) meningkatnya kadar thiobarbituric
acid (TBA) dan menurunnya bilangan peroksida pada suatu produk dapat menjadi
salah satu tanda terjadinya ketengikan dan kerusakan produk. Ketengikan pada
produk pangan tidak hanya disebabkan oleh reksi oksidasi, namun dapat juga
disebabkan oleh rekasi hidrolisis. Menurut Kusnandar (2010) reaksi hidrolisis dapat
membebaskan ketiga asam lemak dari gliserin. Reaksi ini dapat terjadi jika ada air
dan pemanasan. Mula-mula lemak akan terhidrolisis membentuk gliserin dan asam
lemak bebas, kemudian akan terjadi reaksi lanjutan yang menyebabkan pemecahan
molekul gliserin dan asam lemak bebas.
Air juga dapat mempengaruhi oksidasi lemak dengan mempengaruhi
konsentrasi dari tersedianya radikal inisiasi, tingkatan kontak dan mobilitas bahan
pereaksi, dan yang relatif penting adalah perpindahan radikal terhadap reaksi
penggabungan kembali. Air yang besar peranannya dalam mengendalikan struktur
bahan pangan juga merupakan faktor utama dalam oksidasi lemak. Kenaikan nilai a w
sampai batas nilai kritis tertentu mengkibatkan matriks pelindung hancur, dan lemak

24
yang tidak terselubung akan terdistribusikan ke permukaan serta akan mengalami
oksidasi (Purnomo, 1995).
Jika air cukup banyak untuk mengalami kondensasi dalam kapiler seperti
pada bahan pangan semi basah (intermediate moisture food), oksidasi lemak akan
meningkat. Kenaikan tingkat oksidasi lemak pada keadaan setengah basah
disebabkan oleh mobilitas logam dalam jumlah kecil, yang telah terdapat dalam
sistem dan pemekaran matriks, yang akan menonjolkan bagian katalis baru, sehingga
tingkatan oksidasi menjadi lebih tinggi daripada keadaan kering. Akan tetapi
pengenceran katalis logam yang terdapat dalam sistem sebagai akibat bertambahnya
kadar air pada nilai aw yang sangat tinggi akan menurunkan tingkat oksidasi lemak
(Purnomo, 1995).

Karakteristik Organoleptik
Penilaian organoleptik merupakan suatu cara mengukur, menilai, atau
menguji mutu suatu produk dengan menggunakan kepekaan alat indra manusia.
Penilaian organoleptik telah banyak digunakan untuk menilai mutu suatu produk
dalam industri pangan. Data karakteristik organoleptik dendeng sapi yang diberi
bumbu dengan konsentrasi berbeda disajikan pada Tabel 5. Atribut mutu yang
digunakan meliputi warna, intensitas aroma bumbu, tingkat kelembaban, dan tingkat
kelenturan.

Tabel 5. Karakteristik Organoleptik Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu


dengan Komposisi Berbeda
Atribut Mutu Kontrol Bumbu I Bumbu II
Warna dendeng 2,84 ± 0,85a 2,32 ± 1,41b 1,72 ± 0,94b
Intensitas aroma bumbu 2,04 ± 1,06a 5,00 ± 1,04b 6,04 ± 1,40c
Tingkat kelembaban 2,44 ± 1,26a 5,08 ± 0,81b 6,12 ± 1,27c
Tingkat kelenturan 2,56 ± 1,56a 5,52 ± 1,00b 6,48 ± 0,87c
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya pengaruh
perlakuan (P<0,05). Skor warna : 1 = hitam, 2 = coklat kehitaman, 3 = coklat agak
kehitaman, 4 = coklat agak kemerahan, 5 = coklat kemerahan, 6 = merah kecoklatan,
7 = merah agak kecoklatan, 8 = merah. Skor intensitas aroma bumbu : 1 = amat
sangat tidak kuat, 2 = sangat tidak kuat, 3 = tidak kuat, 4 = agak tidak kuat, 5 = agak
kuat, 6 = kuat, 7 = amat kuat, 8 = amat sangat kuat. Skor tingkat kelembaban : 1 =
amat sangat tidak lembab, 2 = sangat tidak lembab, 3 = tidak lembab, 4 = agak tidak
lembab, 5 = agak lembab, 6 = lembab, 7 = sangat lembab, 8 = amat sangat lembab.
Skor tingkat kelenturan : 1 = amat sangat kaku, 2 = sangat kaku, 3 = kaku, 4 = agak
kaku, 5 = agak lentur, 6 = lentur, 7 = sangat lentur, 8 = amat sangat lentur.

25
Nilai yang diperoleh di atas berasal dari nilai rata-rata hasil analisis
organoleptik pada 25 orang panelis. Hasil dari analisis organoleptik yang meliputi
atribut warna, intensitas aroma bumbu, tingkat kelembaban, dan tingkat kelenturan
dendeng sapi mentah dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut.

Warna Dendeng
Warna merupakan salah satu parameter yang mempengaruhi penerimaan
konsumen terhadap suatu produk makanan. Konsumen umumnya menyukai dendeng
yang mempunyai warna coklat kemerahan. Hasil analisis Kruskal-Wallis
menunjukkan bahwa dendeng sapi memiliki warna yang berbeda nyata antara kontrol
dengan bumbu I dan bumbu II, namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata
antara bumbu I dengan bumbu II (P<0,05). Warna dendeng sapi kontrol mempunyai
nilai rata-rata 2,84 atau menunjukkan warna dendeng coklat agak kehitaman (Tabel
5). Dendeng sapi bumbu I dan bumbu II mempunyai rataan antara 2,32 sampai 1,72
atau menunjukkan warna dendeng coklat kehitaman. Dendeng sapi dengan
komposisi bumbu I dan II memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan
kontrol, hal ini disebabkan oleh gula yang ditambahkan pada dendeng tersebut
bereaksi dengan asam amino yang terdapat dalam daging yang menyebabkan
terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis sehingga memicu terbentuknya pigmen
melanoidin (Bailey, 1998).
Pencoklatan non enzimatis sering ditemukan pada produk pangan semi basah.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa makanan dapat mengalami proses pencoklatan
non enzimatis secara maksimum jika nilai aktivitas airnya berkisar antara 0,30-0,70;
namun beberapa peneliti yang lain menemukan kisaran nilai aktivitas air antara 0,60-
0,80 merupakan kisaran nilai aktivitas air dimana reaksi pencoklatan non enzimatis
dapat berlangsung secara maksimum (Labuza dan Saltmarch, 1981). Nilai aktivitas
air dendeng sapi pada penelitian ini berkisar antara 0,58-0,77 (Tabel 7). Hal ini
memungkinkan reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi pada dendeng sapi
dapat berlangsung secara maksimum. Oleh karena dendeng sapi kontrol tidak
mendapat penambahan gula, baik gula pasir maupun gula merah kelapa sehingga
menyebabkan reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi menjadi lebih rendah
dibandingkan dengan dendeng bumbu I dan II berdasarkan analisis organoleptiknya.

26
Intensitas Aroma Bumbu
Pengaruh pemberian konsentrasi bumbu yang berbeda pada dendeng
menunjukkan adanya perbedaan intensitas aroma bumbu yang nyata (P<0,05).
Intensitas aroma bumbu pada dendeng sapi kontrol mempunyai nilai rata-rata 2,04
atau menunjukkan intensitas aroma bumbu dendeng sapi yang sangat tidak kuat.
Dendeng sapi bumbu I mempunyai nilai rata-rata 5,00 atau menunjukkan intensitas
aroma bumbu yang agak kuat. Bumbu II mempunyai rataan 6,04 atau menunjukkan
intensitas aroma bumbu yang kuat. Intensitas aroma bumbu dendeng sapi pada
komposisi bumbu II lebih kuat daripada dendeng sapi bumbu I dan kontrolnya (Tabel
5). Konsentrasi bawang putih dan ketumbar pada bumbu II dua kali lebih banyak
daripada bumbu I sehingga menyebabkan intensitas aroma bumbu lebih kuat.
Ketumbar mempunyai aroma yang khas, aromanya disebabkan oleh komponen kimia
yang terdapat dalam minyak atsiri. Berdasarkan jenis unsur penyusun senyawa
minyak atsiri, minyak ketumbar termasuk golongan senyawa hidrokarbon
beroksigen. Senyawa tersebut menimbulkan aroma wangi dalam minyak atsiri, serta
lebih tahan dan stabil terhadap proses oksidasi (Suhirman dan Yuhono, 2007).

Tingkat Kelembaban
Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan tingkat
kelembaban yang nyata (P<0,05) pada setiap perlakuan. Tingkat kelembaban
dendeng sapi kontrol mempunyai nilai rata-rata 2,44 atau menunjukkan dendeng
yang sangat tidak lembab. Dendeng sapi bumbu I mempunyai nilai rata-rata 5,08
atau menunjukkan dendeng yang agak lembab, sedangkan bumbu II mempunyai
rataan 6,12 atau menunjukkan dendeng yang lembab. Dendeng sapi dengan
komposisi bumbu II lebih lembab daripada dendeng bumbu I dan kontrol (Tabel 5).
Kadar air yang terkandung dalam bumbu yang ditambahkan pada dendeng
menyebabkan permukaan dendeng menjadi lebih lembab terutama pada penambahan
bawang putih. Bawang putih yang ditambahkan pada komposisi bumbu II dua kali
lebih banyak dari pada bumbu I, hal ini yang menjadi penyebab dendeng pada
formulasi bumbu II lebih lembab daripada dendeng yang lain. Kandungan kadar air
bawang putih menurut Leelarungrayub et al. (2006), yaitu sebesar 37,87 ± 0,6%.
Selain itu penambahan gula pada dendeng dapat menyebabkan penampakan produk
yang tidak begitu kering sehingga lebih disukai konsumen (Soeparno, 2005).

27
Tingkat Kelenturan
Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan tingkat
kelenturan dendeng yang nyata (P<0,05). Tingkat kelenturan dendeng sapi kontrol
mempunyai nilai rata-rata 2,56 atau menunjukkan dendeng yang kaku. Dendeng sapi
bumbu I mempunyai nilai rata-rata 5,52 atau menunjukkan dendeng yang lentur,
sedangkan bumbu II mempunyai rataan 6,48 yang juga menunjukkan dendeng yang
lentur. Dendeng sapi dengan komposisi bumbu I dan II lebih lentur daripada dendeng
kontrol (Tabel 5). Kelenturan dendeng dipengaruhi oleh jumlah air yang terkandung
di dalam dendeng. Kadar air dendeng sapi bumbu I dan II lebih tinggi daripada
dendeng sapi kontrol (Tabel 8). Air tersebut dapat berasal dari daging maupun dari
bumbu yang ditambahkan. Semakin banyak air yang terkandung di dalam dendeng,
maka semakin berkurang tingkat kekakuan dendeng (Setyowati, 2002).

Rendemen
Rendemen merupakan presentase hasil bagi antara berat dendeng yang
dihasilkan dengan berat adonan dendeng sebelum dikeringkan dengan oven. Semakin
tinggi nilai rendemen produk dendeng maka semakin tinggi efektivitas dan efisiensi
dari produk dendeng yang dihasilkan, sehingga mempunyai nilai ekonomis yang
tinggi. Dengan kata lain rendemen merupakan keuntungan atau kelebihan dalam
pendapatan, sebagai akibat daripada usaha kerja. Rataan rendemen dendeng yang
diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Rendemen Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan
Komposisi Berbeda
Perlakuan Rendemen Dendeng (%)
Kontrol 30,11 ± 3,32b
Bumbu I 46,37 ± 1,07a
Bumbu II 48,08 ± 3,77a
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh
perlakuan (P<0,05).

Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang nyata


antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu I dan antara kontrol dengan bumbu II
(P<0,05), namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata antara bumbu I dengan
bumbu II. Rata-rata nilai rendemen dendeng sapi pada penelitian ini berkisar antara

28
30,11% sampai dengan 48,08% (Tabel 6). Rendemen dendeng sapi yang diberi
perlakuan tanpa bumbu (kontrol) memiliki rendemen yang lebih rendah daripada
dendeng yang diberi perlakuan bumbu I dan bumbu II. Hal ini disebabkan dendeng
sapi bumbu I dan bumbu II mendapat penambahan bumbu-bumbu berupa gula,
garam, dan rempah-rempah. Bumbu-bumbu tersebut menyebabkan persentase
penurunan kadar air menjadi lebih rendah, khususnya gula. Gula yang ditambahkan
pada pembuatan dendeng mampu mengikat air bebas yang terdapat pada dendeng,
selain itu gula juga berperan dalam mencegah penguapan air (Soeparno, 2005).
Rendahnya air yang hilang dari produk akibat penguapan menyebabkan berat produk
lebih tinggi sehingga nilai rendemen meningkat, sebaliknya tingginya air yang hilang
menyebabkan berat produk menjadi lebih rendah sehingga nilai rendemen menurun
(Setianingtias, 2005).

Aktivitas Air
Aktivitas air (aw) merupakan jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Salah satu cara yang umumnya digunakan
dalam menentukan masa simpan suatu produk pangan adalah aw. Aktivitas air yang
terkandung di dalam makanan dijadikan indikator pertumbuhan mikroba. Nilai
aktivitas air dendeng sapi yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda
ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai aw Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi
Berbeda
Perlakuan Aktivitas Air
Kontrol 0,77 ± 0,07a
Bumbu I 0,58 ± 0,02b
Bumbu II 0,62 ± 0,03b
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh
perlakuan (P<0,05).

Hasil analisis ragam pada aktivitas air menunjukkan adanya pengaruh


perlakuan yang nyata (P<0,05) antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu I dan
antara kontrol dengan bumbu II, namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata
antara bumbu I dengan bumbu II (Tabel 7). Aktivitas air pada dendeng sapi kontrol
lebih tinggi (P<0,05) daripada dendeng sapi bumbu I dan bumbu II. Turunnya nilai

29
aw pada dendeng sapi bumbu I dan bumbu II ini dipengaruhi oleh gula dan garam
yang ditambahkan dalam pembuatan dendeng. Kegunaan gula dalam pengolahan
bahan makanan dengan konsentrasi tinggi menyebabkan sebagian air yang ada dalam
bahan menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroba, sehingga aw dari bahan
pangan menjadi menurun (Supardi dan Sukamto, 1999). Purnomo (1995)
menambahkan, bahwa sukrosa sebagai komponen utama dari gula kelapa yang
ditambahkan bersama garam dapur berperan sangat nyata dalam menurunkan nilai
aw. Gula dan garam memiliki kemampuan untuk mengikat air dari bahan.
Kemampuan mengikat air ini dipengaruhi osmosis. Osmosis adalah peresapan air
melalui sebuah membran tipis, dan terjadi pada dua larutan berbeda konsentrasi
(kepekatan). Air akan mengalir dari larutan kurang pekat ke larutan yang lebih pekat
melewati membran, sehingga air di dalam sel akan keluar menembus membran dan
mengalir ke dalam larutan gula atau garam (Winarno, et al., 1980). Pemberian
bumbu dengan konsentrasi yang berbeda antara bumbu I dan bumbu II ternyata tidak
memberikan pengaruh perlakuan terhadap a w, hal ini menunjukkan bahwa
konsentrasi bawang putih dan ketumbar yang ditambahkan pada pembuatan dendeng
tidak dapat menurunkan aw.
Menurut Scott (1957) bakteri tumbuh dari aw 0,75 sampai dengan 0,99,
sedangkan ragi dan fungi tumbuh lamban pada nilai a w 0,62. Aktivitas air dendeng
sapi pada penelitian ini berkisar antara 0,583 sampai dengan 0,767 (Tabel 7). Hal ini
menyebabkan dendeng rawan ditumbuhi oleh jamur maupun bakteri jika penanganan
penyimpanan tidak dilakukan dengan benar.

Kadar Air
Kadar air dalam bahan pangan sangat mempengaruhi kualitas dan daya
simpan dari suatu bahan pangan. Penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat
penting agar dalam proses pengolahan maupun pendistribusian mendapat
penanganan yang tepat. Menurut Winarno (1997) air sangat berpengaruh terhadap
penampakan, tekstur, cita rasa, daya terima, kesegaran serta daya tahan suatu bahan
pangan. Kandungan air pada dendeng yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda
ditunjukkan pada Tabel 8.
Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang nyata
(P<0,05) terhadap kadar air antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu I dan antara

30
kontrol dengan bumbu II, namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata antara
bumbu I dengan bumbu II. Kadar air dendeng sapi kontrol lebih rendah (P<0,05)
daripada dendeng pada komposisi bumbu I dan bumbu II (Tabel 8). Hal ini
menunjukkan bahwa bumbu atau rempah-rempah yang ditambahkan tidak berperan
dalam menurunkan kadar air tetapi hanya berperan dalam pembentukan cita rasa
yang khas pada dendeng. Menurut Huang dan Nip (2001) produk pangan semi basah
memiliki kadar air sebesar 15%-50%, dan nilai aw berkisar antara 0,60-0,92,
spesifikasi ini sudah sesuai dengan kadar air dan aw dendeng sapi yang dibuat dalam
penelitian ini.

Tabel 8. Kadar Air Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi
Berbeda
Perlakuan Kadar Air (%)
Kontrol 21,64 ± 3,57a
Bumbu I 30,48 ± 1,95b
Bumbu II 31,49 ± 2,30b
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh
perlakuan (P<0,05).

Kadar air pada produk akhir merupakan kadar air total dendeng setelah
dilakukan pengolahan. Kondisi kadar air ini salah satunya dipengaruhi oleh
kandungan air bahan serta air yang ditambahkan ke dalam produk. Rempah-rempah
yang ditambahkan dalam pembuatan dendeng mempunyai kandungan air yang cukup
tinggi sehingga menyebabkan kadar air total dendeng sapi bumbu I dan II menjadi
lebih tinggi daripada kontrol. Selain itu kadar air juga dipengaruhi oleh gula yang
ditambahkan. Menurut Soeparno (2005) gula berperan dalam mencegah penguapan
air, sehingga air yang hilang dari produk dendeng menjadi lebih sedikit.
Nilai kadar air dan aktivitas air pada penelitian ini berbanding terbalik. Kadar
air dendeng sapi kontrol lebih rendah daripada bumbu I dan bumbu II, namun
aktivitas air dendeng sapi kontrol lebih tinggi daripada bumbu I dan bumbu II. Hal
ini disebabkan air bebas (air tipe III) yang terdapat pada dendeng sapi kontrol lebih
tinggi daripada bumbu I dan bumbu II, walaupun kandungan airnya lebih sedikit.
Dendeng sapi bumbu I dan bumbu II memiliki kandungan air tipe II lebih tinggi

31
disebabkan adanya penambahan gula dan garam yang mengikat air bebas yang
terdapat dalam produk.
Air tipe II adalah molekul-molekul air yang membentuk ikatan hidrogen
dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda
dengan air minum. Air ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan
mengakibatkan penurunan aw. Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air bahan
akan berkisar 3%-7% dan kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai, kecuali
pada produk-produk yang dapat mengalami oksidasi akibat adanya kandungan lemak
tidak jenuh. Air tipe III adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks
bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering
disebut dengan air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk
pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Apabila air tipe ini
diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12%-25% dengan aw kira-
kira 0,8 tergantung dari jenis bahan dan suhu (Winarno,1997).

32
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Pemberian bumbu dengan konsentrasi berbeda (komposisi I dan II) tidak
menghasilkan perbedaan yang nyata pada kandungan total fenolat dan tingkat
oksidasi dendeng sapi mentah. Karakteristik organoleptik pada dendeng komposisi
bumbu II menghasilkan intensitas aroma bumbu yang lebih kuat, dendeng yang lebih
lembab dan lentur, serta berwarna coklat kehitaman. Intensitas aroma bumbu, tingkat
kelembaban, dan tingkat kelenturan dendeng yang mempunyai mutu paling baik
adalah dendeng dengan komposisi bumbu II.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui umur simpan dendeng
sapi yang diberi bumbu dengan konsentrasi yang berbeda.
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan
nikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penyusunan skripsi ini.
Shalawat dan salam kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, keluarga, dan
para sahabatnya hingga akhir jaman. Bakti dan terima kasih yang tidak terhingga
kepada Ayahanda Muyitno dan Ibunda Siti Is’adah yang telah membimbing,
memberikan kasih sayang dan perhatian yang tulus ikhlas, serta dorongan moral
maupun materi. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya
penulis sampaikan kepada Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. selaku pembimbing utama dan
kepada Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. selaku pembimbing anggota yang telah
mencurahkan segenap perhatian, bimbingan, waktu, motivasi, kesabaran, dan
senyuman kepada penulis selama penelitian hingga skripsi ini selesai disusun.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Salundik, M.Si.
selaku pembimbing akademik atas dorongan moral selama menempuh pendidikan di
Fakultas Peternakan. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada M. Sriduresta S.,
S.Pt., M.Sc. dan Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MS., M.Sc. selaku penguji sidang,
serta Yuni Cahya E., S.Pt., M.Si. selaku panitia sidang, yang telah menguji,
mengkritik, dan memberikan sumbangan pemikiran serta masukan yang sangat baik
dalam penulisan skripsi ini.
Terima kasih kepada Devi Murtini, S.Pt. dan Dwi Febriantini selaku teknisi
Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan IPB. Terima kasih kepada Dian
Hidayatulloh yang selalu setia memberikan cinta, kasih sayang, dan motivasi kepada
penulis. Kepada Dwi Wahyu, Dewi Irmawati, Siti Aminah, Nawangwulan, Hesti
Indri, Nurul Jannah, Angritia V., dan Sindya Erti, terima kasih atas persahabatan dan
bantuan yang tulus kepada penulis. Terima kasih juga kepada tim dendeng Yenni R.
dan Novita L., serta seluruh teman-teman IPTP 45 yang telah memberikan banyak
bantuan dan masukan yang tentunya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas setiap kebaikan yang telah diberikan kepada penulis
dengan balasan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda. Amin. Akhir kata, mudah-
mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2012


Penulis
DAFTAR PUSTAKA

Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of Analysis of


the Association of Official Analytical Chemists. Washington D.C:
Agricultural Chemistry.
Association of Official Analytical Chemists. 1984. Official Methods of Analysis of
the Association of Official Analytical Chemists. Washington D.C:
Agricultural Chemistry.
Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 3932-2008a. Mutu karkas dan daging sapi.
Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01-3555-1998. Cara Uji Minyak dan
Lemak. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2908-1992. Dendeng Sapi. Jakarta:
Badan Standardisasi Nasional.
Bailey, M. E. 1998. Maillard Reactions and Meat Flavour Development. In: F.
Shahidi (Ed.). Flavour of Meat Product and Seafood. 2nd ed. Blackie
Academic & Profesional, New York.
Benkeblia, N. & V. Lanzotti. 2007. Allium thiosulfinates: chemistry, biological
properties and their potential utilization in food preservation. Food Chem.
1(2): 193-201.
Buckle, K. A. , R. A. Edwards, G. H. Fleet, & M. Wootton. 2009. Ilmu Pangan.
Terjemahan: Hari Purnomo & Adiono. Penebit Universitas Indonesia,
Jakarta.
Cahyadi, W. 2008. Bahan Tambahan Makanan Edisi Kedua. Bumi Aksara, Jakarta.
Dalimartha, S. 2006. Atlas Tumbuhan Indonesia. Jilid 4. Puspa Swara, Jakarta. Hal:
4-13.
Dorman H. J. & S. G. Deans. 2000. Antimicrobial agents from plants: antibacterial
activity of plant volatile oils. J. Appl. Microbiol. 88(2): 308-316.
Feldberg, R. S., S. C. Chang, A. N. Kotik, M. Nadler, Z. Neuwirth, D. C. Sundstrom,
& N. H. Thompson. l998. In vitro mechanism of inhibition of bacterial
cell growth by allicin. Antimicrob. Agents and Chemother. 32: 1763-1768.
Fitriadi, H. 2000. Perkembangan dan prospek konsumsi gula pasir di Indonesia.
Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gaspersz, V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Armico, Bandung.
Guenther, E. 1990. Minyak Atsiri. Jilid IV B, Penerjemah S. Ketaren dan R.
Mulyono Penerbit Universitas Indonesia. hal. 679-693.
Hagerman, A. E., K. M. Riedl, G. A. Jones, K. N. Sovik, N. T. Ritchard, P. W.
Hartzfeld, & T. L. Riechel. 2002. High molecular weight plant
polyphenolics (tannins) as biological antioxidants. J. Agric. Food Chem. 46:
1887-1892.
Heri. M. K. & M. Lukman. 2007. Pendampingan penerapan diversifikasi produk gula
kelapa/merah kemasan kecil. J. Dedikasi. 4: 73-81.
Huang, T. C. & W. K. Nip. 2001. Intermediate-Moisture Meat and Dehydrated Meat.
In : Y. H. Hui, W. K. Nip, R. W. Rogers, & O. A. Young. Meat Science and
Applications. Marcel Dekker, Inc., New York.
Ismail, A., Zamaliah M. M., & Chin W.F. 2004. Total antioxidant activity and
phenolic content in selected vegetables. Food Chem. 87: 581-586.
Janssen, A. M. & J. J. C. Scheffer. 1985. Acetoxychavicol acetate, an antifungal
component of Alpinia galanga. Planta Med. 6: 507-511.
Kähkönen, M. P., A. I. Hopia, H. J. Vuorela, J. P. Rauha, K. Pihlaja, T. S. Kujala, &
M. Heinonen. 1999. Antioxidant activity of plant extracts containing
phenolic compounds. J. Agric. Food Chem. 47: 3954-3962.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Kusnandar, F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. PT. Dian Rakyat, Jakarta.
Labuza, T. P. & M. Saltmarch. 1982. Kinetics of browning and protein quality loss in
whey powders during steady and non steady storage conditions. In: Hari
Purnomo. Studi tentang Stabilitas Protein Daging Kering dan Dendeng
Selama Penyimpanan. FP-Unibraw, Malang.
Leelarungrayub, N., V. Rattanapanone, N. Chanarat, & J. M. Gebicki. 2006.
Quantitative evaluation of the antioxidant properties of garlic and shallot
preparations. Elsevier. 22: 266-274.
Leung, H. K. 1987. Influence of water activity on chemical reactivity. Dalam: L. B.
Rockland & L. R. Beuchat. Water Activity: Theory and Application to
Food. Eds. Marcel Dekker Inc., New York.
Mahae, N. & S. Chaiseri. 2009. Antioxidant activities and antioxidative components
in extracts of Alpinia galanga (L.) Sw. Kasetsart J. Sci. 43: 358-369.
Martínez, L., D. Djenane, I. Cilla, J. A. Beltrán, & P. Roncalés. 2006. Effect of
varying oxygen concentrations on the shelf-life of fresh pork sausages
packaged in modified atmospheres. Food Chem. 94: 219–25.
Nurlela, E. 2002. Kajian faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukn warna gula
merah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan.
Jakarta: UI Press.
Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green, & S. R. J. Robbin. 1981. Spices. Vol
II. Longman Group Limited, New York. p. 813.
Rabinkov, A., T. Miron, L. Konstantinovski, M. Wilchek, D. Mirelman, & L.
Weiner. 1998. The mode of action of allicin: trapping of radicals and
interaction with thiol containing proteins. Biochemical and Biophysic Acta
1379: 233-244.

36
Raharjo, S. 2006. Kerusakan oksidatif pada makanan. Dalam: S. Aminah. Bilangan
peroksida minyak goreng curah dan sifat organoleptik tempe pada
pengulangan penggorengan. J. Pangan dan Gizi. 1(1): 7-14.
Rizal, M., Herdis, Yulnawati, & H. Maheshwari. 2007. Peningkatan kualitas
spermatozoa epididimis kerbau belang yang dikriopreservasi dengan
beberapa konsentrasi sukrosa. J. Vet.: 188-197
Rohman, A. & Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sashidhar, N. S. 2002. Studies on bioactive natural compounds for their
antimicrobial and antioxidant properties, Ph. D Thesis. Submitted to
Osmania University, Hyderabad, India.
Scott, W. J. 1957. Water relations of food spoilage microorganisms. Adv. Food Res.
7: 83-127.
Setianingtias, P. A. 2005. Sifat fisik dan organoleptik dendeng giling daging domba
dengan suhu dan waktu pengeringan yang berbeda. Skripsi. Jurusan
Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Setyowati, M. T. 2002. Sifat fisik, kimia, dan palatabilitas nugget kelinci sapi ayam
yang menggunakan berbagai tingkat konsentrasi tepung maizena. Skripsi.
Fakultas peternakan. Institut pertanian Bogor, Bogor.
Soemardji, A. A. 2007. Tamarindus indica L. or “asam jawa”: the sour but sweet and
useful. The Institute of Natural Medicine, University of Toyama, Japan.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Soong, Y. Y. & P. J. Barlow. 2004. Antioxidant activity and phenolic content of
selected fruit seeds. Food Chem. 88: 411-417.
Souto, X. C., J. C. Balano, L. Gonzales, & X. X. Santos. 2001. HPLC techniques-
phenolics. Dalam: Aktivitas nitrogenase bintil akar dan kadar klorofil daun
kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) pada berbagai jenis dan kadar asam
fenolat. Berita Biologi. 9(3): 305-311.
Suhairi, L. 2007. Pemanasan berulang terhadap kandungan gizi “sie reuboh”
makanan tradisional Aceh. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Suharti, S., K. G. Wiryawan, & M. Bintang. 2005. Kajian antibakteri temulawak,
jahe dan bawang putih terhadap Salmonella typhimurium serta pengaruh
bawang putih terhadap performans dan respon imun ayam pedaging. Med.
Pet. 28(2): 52-62.
Suharyanto, R. Priyanto, & E. Gurnadi. 2008. Sifat fisiko-kimia dendeng daging
giling terkait cara pencucian (leaching) dan jenis daging yang berbeda. Med.
Pet. 31(2): 99-106.

37
Suhirman, S. & J. T. Yuhono. 2007. Penyulingan dan kemungkinan pengembangan
ketumbar (Coriandrum sativum Linn) di Indonesia. Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik. Hal 48-62.
Supardi, I. & M. Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Bandung: Alumni Bandung.
Syarif, R & H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan,
Jakarta.
Tangkanakul, P., P. Auttaviboonkul, B. Niyomwit, N. Lowvitoon, P.
Charoenthamawat, & G. Trakoontivakorn. 2009. Antioxidant capacity, total
phenolic content and nutritional composition of Asian foods after thermal
processing. Intern. Food Res. J. 16: 571-580.
Velioglu, Y. S., G. Mazza, L. Gao, & B. D. Oomah. 1998. Antioxidant activity and
total phenolics in selected fruits, vegetables, and grain products. J. Agric.
Food Chem. 46: 4113-4117.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno, F. G., S. Fardiaz, & D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yang, X. & R. G. Eilerman. 1999. Pungent principle of Alpinia galanga (L.) Swartz
and its application. J. Agric. Food Chem. 47:1657-1662.
Zheng, G. Q., P. M. Kenney & L. K. T. Lam. 1993. Potential anticarcinogenic
natural products isolated from lemongrass oil and galanga root oil. J. Agric.
Food Chem. 41: 153-156.

38
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pengeringan Dendeng Sapi dengan Menggunakan Oven

Lampiran 2. Dendeng Sapi setelah Pengeringan

Lampiran 3. Analisis Ragam Kandungan Total Fenolat Dendeng Sapi Mentah


SK Db JK KT F hit Pr > F
Perlakuan 2 937259 468629 15,75 0,0041*
Galat 6 178572 29762
Total 8 1115830
Keterangan :
* = berbeda nyata

40
Lampiran 4. Uji Tukey Kandungan Total Fenolat Dendeng Sapi Mentah
Perlakuan Kontrol Bumbu I Bumbu II
Bumbu II 583,90* 169,60 -
Bumbu I 753,50* -
Kontrol -
Keterangan :
w = 432,41
* = berbeda nyata

Lampiran 5. Analisis Ragam Bilangan Peroksida Dendeng Sapi Mentah


SK Db JK KT F hit Pr > F
Perlakuan 2 37,4890 18,7445 17,01 0,0231*
Galat 3 3,3051 1,1017
Total 5 40,7941
Keterangan :
* = berbeda nyata

Lampiran 6. Uji Tukey Bilangan Peroksida Dendeng Sapi Mentah


Perlakuan Kontrol Bumbu I Bumbu II
Bumbu II 6,11* 3,40 -
Bumbu I 2,71 -
Kontrol -
Keterangan :
w = 4,38
* = berbeda nyata

Lampiran 7. Uji Kruskal-Wallis Warna Dendeng Sapi Mentah


Jumlah Jumlah Harapan di Std Dev di Rataan
Perlakuan
Ulangan Rangking Bawah H0 Bawah H0 Rangking
Kontrol 25 1261,0 950,0 85,489449 50,440
Bumbu I 25 926,0 950,0 85,489449 37,040
Bumbu II 25 663,0 950,0 85,489449 26,520
Chi-Square = 16,3889 DF = 2 Pr > Chi-Square 0.0003

41
Lampiran 8. Uji Pembandingan Berganda Warna Dendeng Sapi Mentah
Kode R0 RI R II
R0 - 13,40* 23,92*
RI - - 10,52
R II - - -
Keterangan :
Z0,975 = 1,96 R0 = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu 0
Zhitung = 12,08 RI = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu I
N = 75 R II = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu II
k =3 * = Berbeda nyata

Lampiran 9. Uji Kruskal-Wallis Intensitas Aroma Bumbu Dendeng Sapi Mentah


Jumlah Jumlah Harapan di Std Dev di Rataan
Perlakuan
Ulangan Rangking Bawah H0 Bawah H0 Rangking
Kontrol 25 360,50 950,0 87,954739 14,420
Bumbu I 25 1083,50 950,0 87,954739 43,340
Bumbu II 25 1406,00 950,0 87,954739 56,240
Chi-Square = 49,4024 DF = 2 Pr > Chi-Square < 0.0001

Lampiran 10. Uji Pembandingan Berganda Intensitas Aroma Bumbu Dendeng Sapi
Mentah
Kode R0 RI R II
R0 - 28,92* 41,82*
RI - - 12,90*
R II - - -
Keterangan :
Z0,975 = 1,96 R0 = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu 0
Zhitung = 12,08 RI = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu I
N = 75 R II = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu II
k =3 * = Berbeda nyata

Lampiran 11. Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kelembaban Dendeng Sapi Mentah


Jumlah Jumlah Harapan di Std Dev di Rataan
Perlakuan
Ulangan Rangking Bawah H0 Bawah H0 Rangking
Kontrol 25 379,50 950,0 87,766967 15,180
Bumbu I 25 1078,50 950,0 87,766967 43,140
Bumbu II 25 1392,00 950,0 87,766967 55,680
Chi-Square = 46,5051 DF = 2 Pr > Chi-Square < 0.0001

42
Lampiran 12. Uji Pembandingan Berganda Tingkat Kelembaban Dendeng Sapi
Mentah
Kode R0 RI R II
R0 - 27,96* 40,50*
RI - - 12,54*
R II - - -
Keterangan :
Z0,975 = 1,96 R0 = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu 0
Zhitung = 12,08 RI = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu I
N = 75 R II = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu II
k =3 * = Berbeda nyata

Lampiran 13. Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kelenturan Dendeng Sapi Mentah


Jumlah Jumlah Harapan di Std Dev di Rataan
Perlakuan
Ulangan Rangking Bawah H0 Bawah H0 Rangking
Kontrol 25 394,50 950,0 87,055822 15,780
Bumbu I 25 1049,50 950,0 87,055822 41,980
Bumbu II 25 1406,00 950,0 87,055822 56,240
Chi-Square = 46,3066 db = 2 Pr > Chi-Square < 0.0001

Lampiran 14. Uji Pembandingan Berganda Tingkat Kelenturan Dendeng Sapi


Mentah
Kode R0 RI R II
R0 - 26,20* 40,46*
RI - - 14,26*
R II - - -
Keterangan :
Z0,975 = 1,96 R0 = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu 0
Zhitung = 12,08 RI = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu I
N = 75 R II = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu II
k =3 * = Berbeda nyata

43
Lampiran 15. Format Fomulir Analisis Organoleptik Dendeng Sapi Mentah

FORMULIR ANALISIS ORGANOLEPTIK

Nama panelis :
Tanggal :
Nama produk : Dendeng Sapi Mentah
Instruksi : Berilah penilaian pada produk dendeng sapi mentah yang disajikan
tanpa membandingkan satu sampel dengan sampel lainnya,
kemudian isilah kolom-kolom di bawah ini dengan skor yang telah
ditentukan.

Kode Sampel
Atribut Mutu
123 324 567 876 432 657 768 305 354
Warna

Intensitas aroma bumbu

Tingkat kelembaban

Tingkat kelenturan

Keterangan :
Warna / Intensitas aroma bumbu / Tingkat kelembaban / Tingkat kelenturan
1 = Hitam / Amat sangat tidak kuat / Amat sangat tidak lembab / Amat sangat kaku
2 = Coklat kehitaman / Sangat tidak kuat / Sangat tidak lembab / Amat kaku
3 = Coklat agak kehitaman / Tidak kuat / Tidak lembab / kaku
4 = Coklat agak kemerahan / Agak tidak kuat / Agak tidak lembab / Agak kaku
5 = Coklat kemerahan / Agak kuat / Amat lembab / Agak lentur
6 = Merah kecoklatan / Kuat / Lembab / Lentur
7 = Merah agak kecoklatan / Amat kuat / Sangat lembab / Sangat lentur
8 = Merah / Amat sangat kuat / Amat sangat lembab / Amat sangat lentur

44
Lampiran 16. Analisis Ragam Rendemen Dendeng Sapi Mentah
SK Db JK KT F hit Pr > F
Perlakuan 2 590,358 295,179 33,63 0,0005*
Galat 6 52,665 8,777
Total 8 643,022
Keterangan :
* = berbeda nyata

Lampiran 17. Uji Tukey Rendemen Dendeng Sapi Mentah


Perlakuan Kontrol Bumbu I Bumbu II
Bumbu II 17,79* 1,71 -
Bumbu I 16,26* -
Kontrol -
Keterangan :
w = 9,51
* = berbeda nyata

Lampiran 18. Analisis Ragam Aktivitas Air Dendeng Sapi Mentah


SK Db JK KT F hit Pr > F
Perlakuan 2 0,05654 0,02827 13,44 0,0061*
Galat 6 0,01262 0,00210
Total 8 0,06917
Keterangan :
* = berbeda nyata

Lampiran 19. Uji Tukey aw Dendeng Sapi Mentah


Perlakuan Kontrol Bumbu I Bumbu II
Bumbu II 0,15* 0,04 -
Bumbu I 0,18* -
Kontrol -
Keterangan :
w = 0,11
* = berbeda nyata

45
Lampiran 20. Analisis Ragam Kadar Air Dendeng Sapi Mentah
SK Db JK KT F hit Pr > F
Perlakuan 2 182,00 91,00 13,00 0,0066*
Galat 6 42,00 7,00
Total 8 224,00
Keterangan :
* = berbeda nyata

Lampiran 21. Uji Tukey Kadar Air Dendeng Sapi Mentah


Perlakuan Kontrol Bumbu I Bumbu II
Bumbu II 10,00* 1,00 -
Bumbu I 9,00* -
Kontrol -
Keterangan :
w = 6,63
* = berbeda nyata

46

Anda mungkin juga menyukai