Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN ELIMINASI

A. Pengertian
1. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau
berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami gangguan
eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi urine, yaitu tindakan memasukan selang
kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.
2. Gangguan Eliminasi Fekal
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air
besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan
huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui
anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.

B. Masalah-masalah pada Gangguan Eliminasi


1. Masalah-masalah dalam eliminasi urin :
a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan ketidak
sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri.
b. Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau permanen otot sfingter
eksterna untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih.
c. Enuresis, Sering terjadi pada anak-anak, umumnya terjadi pada malam hari
(nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau lebih dalam semalam.
d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.
e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.
f. Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti 2.500
ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan.
g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine
2. Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu:
a. Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB
disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang
keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di
intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.
b. Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan
feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan
feses sampai pada kolon sigmoid.
c. Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi
intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon
merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.
Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB.
d. Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara
dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan
fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor
spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan
kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung
pada perawat.
e. Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang
dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut
(sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus
adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan,
pembusukan di usus yang menghasilkan CO2.
f. Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal
atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung
dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding
pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien
merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat
BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.

C. Etiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
a. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output
urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang
keluar, kopi meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan,
akibatnya output urine lebih banyak.
b. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine
membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfingter internal
dan eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang
menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus
menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang
dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi
jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme
tubuh
c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra.
i. Umur
j. Penggunaan obat-obatan

2. Gangguan Eliminasi Fekal


a. Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya
selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses.
Makanantertentu pada beberapa orang sulit atau tidak bisa dicerna.
Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian
jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan
yang tidak teratur dapat
mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang
sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada
pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.
b. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan
yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk
beberapa alasan, tubuh melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia
lewat di sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal,
menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan
memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan
reabsorbsi cairan dari chyme
c. Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-penyakit
tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai
komponen psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau
marah dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi
orang yagn depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada
konstipasi
d. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak peristaltic
dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama
dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras
e. Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi
yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar
dari tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan
codein, menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi
eliminasi. Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan
eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi.
Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan
aktivitas peristaltik dan kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare
f. Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga
pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai
sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang
dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang dapat mempengaruhi proses
pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony (berkurangnya tonus otot yang
normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya
peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-
otot perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung.
Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus
spinkter ani yang dapat berdampak pada proses defekasi.
g. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal
cord dan tumor.
Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan stimulus
sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan klien
untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan
toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami konstipasi. Atau
seorang klien bisa mengalami fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya
fungsi dari spinkter ani

D. Faktor predisposisi/Faktor pencetus


Menurut Anggreni (2017) faktor yang mempengaruhi eliminasi, yaitu:
1. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi.
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk
berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan di kandung kemih. Begitu
pula dengan feses menjadi mengeras karena terlalu lama di rectum dan terjadi
reabsorbsi cairan.
2. Gaya hidup.
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine dan
defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi
frekuensi eliminasi dan defekasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi
tingkah laku.
3. Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi
keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan berkemih
dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.
4. Tingkat perkembangan.
Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada wanita hamil
kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan dari fetus atau adanya
lebih sering berkemih. Pada usia tua terjadi penurunan tonus otot kandung kemih
dan penurunan gerakan peristaltik intestinal.
5. Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).
6. Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik dapat terjadi
retensi urine.
E. Patofisiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan di atas.
Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada
pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan
menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan
traumatik pada tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis.
Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya
fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek
traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera
medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf
termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan
dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok
spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di
bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian
segmen medulla yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid,
dan refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang
fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh
depresi refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth,
2002). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal
terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan
bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan
dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase
pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi
bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin
dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor
yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan
proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan
otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf
parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen
kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris
pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak.
Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral
spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis
sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada
otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk
merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine
dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum
merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini
terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan
pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau
trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal,
khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver
Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan
drainase kandung kemih yang adekuat.
2. Gangguan Eliminasi Fekal
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut
bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari
beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon
sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi
instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum
memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai
gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.
Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati
anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka
feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum
dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke
kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini
meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau
bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang
akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada
dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal
dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan
posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks
defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi
secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan
feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.

F. Tanda dan gejala


1. Tanda Gangguan Eliminasi urin
a. Retensi Urin
1) Ketidak nyamanan daerah pubis.
2) Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
3) Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
4) Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
5) Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urin
1) pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC
2) pasien sering mengompol

2. Tanda Gangguan Eliminasi Fekal


a. Konstipasi
1) Menurunnya frekuensi BAB
2) Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3) Nyeri rektum
b. Impaction
1) Tidak BAB
2) Anoreksia
3) Kembung/kram
4) nyeri rektum
c. Diare
1) BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
2) Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3) Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa.
4) Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan
BAB.
d. Inkontinensia Fekal
1) Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus
2) BAB encer dan jumlahnya banyak
3) Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord
dan tumor spingter anal eksternal
e. Flatulens
1) Menumpuknya gas pada lumen intestinal
2) Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
3) Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
f. Hemoroid
1) pembengkakan vena pada dinding rectum
2) perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3) merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
4) nyeri

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses

H. Pengkajian
1. Riwayat keperawatan eliminasi
Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin membantu perawat menentukan pola
defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu gambaran feses normal dan
beberapa perubahan yang terjadi dan mengumpulkan informasi tentang beberapa
masalah yang pernah terjadi berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pola eliminasi.
Pengkajiannya meliputi:
a. Pola eliminasi
b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
c. Masalah eliminasi
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat bantu, diet, cairan,
aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi inspeksi,
auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran intestinal. Auskultasi
dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat merubah peristaltik. Pemeriksaan
rektum dan anus meliputi inspeksi dan palpasi. Inspeksi feses, meliputi observasi
feses klien terhadap warna, konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan adanya
unsur-unsur abdomen. Perhatikan tabel berikut :
KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL
Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan penyebab
Warna Dewasa : Pekat / putih Adanya pigmen empedu
kecoklatan (obstruksi empedu);
pemeriksaan diagnostik
menggunakan barium
Bayi : Hitam Obat (spt. Fe); PSPA
kekuningan (lambung, usus halus);
diet tinggi buah merah
dan sayur hijau tua (spt.
Bayam)
Merah PSPB (spt. Rektum),
beberapa makanan spt bit.
Pucat Malabsorbsi lemak; diet
tinggi susu dan produk
susu dan rendah daging.
Orange atau Infeksi usus
hijau
Konsistensi Berbentuk, Keras, kering Dehidrasi, penurunan
lunak, agak cair / motilitas usus akibat
lembek, basah. kurangnya serat, kurang
latihan, gangguan emosi
dan laksantif abuse.
Diare Peningkatan motilitas
usus (mis. akibat iritasi
kolon oleh bakteri).
Bentuk Silinder (bentuk Mengecil, Kondisi obstruksi rektum
rektum) dgn Æ bentuk pensil
2,5 cm u/ orang atau seperti
dewasa benang
Jumlah Tergantung diet
(100 – 400
gr/hari)
Bau Aromatik : Tajam, pedas Infeksi, perdarahan
dipenga-ruhi
oleh makanan
yang dimakan
dan flora
bakteri.
Unsur pokok Sejumlah kecil Pus ,mukus Infeksi bakteri
bagian kasar parasit, darah, Konsidi peradangan
makanan yg tdk lemak dalam Perdarahan gastrointestinal
dicerna, jumlah besar, Malabsorbsi
potongan bak- benda asing Salah makan
teri yang mati,
sel epitel,
lemak, protein,
unsur-unsur
kering cairan
pencernaan
(pigmen
empedu dll)

3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik visualisasi langsung /
tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium terhadap unsur-unsur yang tidak
normal.

I. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin: inkontinensia berhubungan dengan gangguan
nouromuskuler, spasme bladder, trauma pelvic, ISK, trauma medula spinalis.
2. Gangguan eliminasi urin: retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, trauma, pembedahan, kehamilan.
3. Gangguan eliminasi fekal: konstipasi berhubungan dengan imobilisasi, menurunnya
aktifitas fisik, stress, perubahan atau pembatasan diet.
4. Gangguan eliminasi fekal: diare berhubungan dengan inflamasi, irirasi, malabsorbsi,
pola makan yang salah, perubahan proses pencernaan, ansietas, stress.

J. Intervensi Kepewatan
1. Gangguan eliminasi urin: inkontinensia berhubungan dengan gangguan
nouromuskuler, spasme bladder, trauma pelvis, ISK, trauma medula spinalis.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah inkontonensia
urin teratasi dengan
Kriteria hasil: klien dapat mengontrol pengeluaran urin setiap 4jam, tidak ada tanda-
tanda retensi dan inkontinensia, klien berkemih dengan keadaan rileks.
Intervensi:
- Monitor keadaan bladder setiap 2 jam
- Tingkatkan aktivitas dengan kolaborasi dokter/fisioterapi
- Klaborasi dalam bladder training
- Hindari faktor penyebab inkontinensia seperti cemas
- Kolaborasi dengan dokter dalam pengobatan dan kateterisasi
- Jelaskan tentang: penyebab, kateter, pengobatan, dan tindakan lainnya.

2. Gangguan eliminasi urin: retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik,


pembesaran prostat, trauma, pembedahan, kehamilan.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah retensi urin
teratasi, dengan
Kriteria hasil: klien dapat mengontrol pengeluaran bladder setiap 4 jam, tidak ada
gejala retensi urin.
Intervensi:
- Monitor keadan bladder setap 2 jam
- Ukur intake dan output cairan setiap 4 jam
- Kurangi minum setelah jam 6 malam
- Lakukan relaksasi ketika duduk berkemih
- Ajarkan teknik latihan dengan kolaborasi dokter/fisioterapi
- Kolaborasi dengan pemasangan kateter
3. Gangguan eliminasi: konstipasi berhubungan dengan imobilisasi, menurunnya
aktifitas fisik, stress, perubahan atau pembatasan diet.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah gangguan
eliminasi konstipasi teratasi, dengan
Kriteria hasil: fungsi bowel kembali normal, terjadi perubahan pola hidup untuk
menurunkan penyebab konstipasi.
Intervensi:
- Catat dan kaji kembali warna, konsistensi, jumlah dan waktu buang air besar.
- Kaji dan catat pergerakan usus
- Jika terjadi fekal impaction: lakukan pengeluaran manual, lakukan gliserin klisma
- Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian laksatif, enema, pengobatan.
- Berikan cairan yang adekuat
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang diet tinggi serat dan hindari makanan yang
banyak mengndung gas.
- Bantu klien dalam melakukan aktifitas aktif dan pasif

4. Gangguan eliminasi fekal: diare berhubungan dengan inflamasi, irirasi,


malabsorbsi, pola makan yang salah, perubahan proses pencernaan, ansietas,
stress.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah gangguan
eliminasi diare dapat teratasi, dengan
Kriteria hasil: feses berbentuk, pengeluaran feses kurang dari 3kali sehari, mampu
mengontrol terhadap pengeluaran feses, daerah sekitar rektal terjaga dari iritasi.
Intervensi:
- Kaji riwayat diare
- Mengidentifikasi faktor yang menyebabkan diare
- Instruksikan kepada klien/keluarga unruk melaporkan warna, volume, frekuensi
dan konsistensi defekasi.
- Monitor tanda dan gejala diare
- Ukur output defekasi
- Instruksikan untuk memeberikan makanan rendah serat, tinggi protein dan tinggi
kalori.
- Ukur berat badan klien
- Kolaborasikan dengan dokter obat anti diare.
K. Evaluasi Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin: inkontinensia
- Klien mampu mengontrol pengeluaran urin
- Tidak ada tanda inkontinesia dan rentensi urin
2. Gangguan eliminasi urin: retensi urin
- Klien mampu mengontrol pengeluaran urin
- Tidak ada tanda retensi urin
3. Gangguan eliminasi fekal: konstipasi
- Fungsi bowel kembali normal
4. Gangguan eliminasi fekal: diare
- Menunjukan frekuensi BAB menurun dan feses berbentuk
DAFTAR PUSTAKA

Anggreni, Dhonna & Sri Wardini. 2017. Kebutuhan Dasar Manusia. Surakarta; Cv Kekata
Group.

Brunner&Suddart, Suzanne C. Smelzer. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Nanda Internasional. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. 2013.


Jakarta : EGC

Samsuhidajat R & Wim, de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai