Anda di halaman 1dari 22

A.

DEFINISI
Distosia bahu adalah persalinan yang memerlukan tambahan manuver obstetri setelah
kegagalan “gentle downward traction” pada kepala bayi untuk melahirkan bahu (ACOG,
2002). Distosia bahu terjadi ketika setalah kepala lahir, bahu depan bayi terperangkap di
tulang pubis ibu. Jika ini terjadi, maka bagian tubuh bayi yang lain tidak dapat mengikuti
kepala keluar dari vagina dengan mudah. Beberapa definisi tentang distosia bahu antara lain:
1. Suatu persalinan yang membutuhkan waktu lebih dari 60 detik untuk melahirkan kepala
dan bahu bayi
2. Bahu sulit lahir dengan traksi ke bawah pada kepala janin
3. Persalinan dengan menggunakan manuver special untuk melahirkan bahu.

Gbr 1. Distosia Bahu


B. ANATOMI PELVIS
Pemahaman tentang anatomi pelvis ibu dan anatomi bayi diperlukan untuk memahami
bagaimana distosia bahu dapat terjadi dan bagaimana kejadian tersebut dapat menyebabkan
cedera.
Gbr 2. Anatomi Pelvis
Tulang pelvis terdiri dari serangkaian tulang yang membentuk lingkaran untuk
melindungi organ –organ panggul. Tulang yang paling depan adalah tulang pubis. Pada
struktur tersebut bahu depan bayi dapat terperangkap karena persalinan yang sulit karena
distosia bahu. Tulang yang berada dibelakang disebut tulang sacrum, karena kelengkungan
bentuknya dapat menyebabkan bahu belakang lahir dengan mudah selama persalinan dan
kelahiran. Dinding lateral pelvis dapat menentukan kemudahan proses persalinan, namun
tidak terlalu memberikan kontribusi dalam terjadinya distosia bahu.
Pada persalinan normal, vertex muncul pertama. Selama persalinan, jaringan lunak dan
tulang kepala yang mobile dapat mengalami molauge. Hal ini menyebabkan kepala janin
dapat masuk dan melewati pintu panggul ibu. Bahu bayi juga fleksibel mengikuti kelahiran
kepala bayi dengan cepat dan mudah. Namun, agar hal tersebut terjadi, aksis dari bahu bayi
harus turun ke panggul ibu dengan sudut oblik terhadap diameter anterior dan posterior
panggul ibu. Posisi ini memberikan ruangan yang lebih besar untuk bahu belakang turun
melewati panggul ibu. Jika garis sudut oblik tersebut tidak terbentuk maka kemungkinan
ruang panggul akan lebih kecil untuk dilewati bahu. Bagian belakang dari tulang pubis akan
membentuk tonjolan yang dapat memperangkap bahu depan.
Distosia bahu juga dapat terjadi pada bahu posterior yang terperangkap pada tulang
sacrum ibu. Hal ini merupakan penyebab yang jarang dari distosia bahu. Tulang sacrum tidak
memiliki tonjolan seperti tulang pubis sehingga kecil kemungkinannya untuk menghalangi
turunnya bahu posterior bayi.
Ukuran relative dari kepala, bahu dan bahu bayi dibandingkan bentuk dan ukuran pelis
ibu dapat menentukan kemudahan dalam persalinan. Pada umumnya diameter kepala
merupakan diameter terbesar dibandingkan dengan diameter lainnya. Sehingga jika kepala
lahir secara mudah makabagian tubuh yang lain dapat melewati panggul dengan mudah pula.
Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan distosia bahu yaitu ukuran axis bahu
yang lebih besar dibandingkan diameter terbesar dari kepala. Risiko tersebut lebih sering
terjadi pada bayi makrosimia atau bayi dengan ibu penderita diabetes.
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu untuk
melipat kedalam panggul (mis. Pada makrosomia) disebabkan oleh fase aktif dan
persalinan kala II yang pendek pada multipara, sehingga penurunan kepala yang terlalu
tepat akan menyebabkan bahu tidak melipat pada saat melalui jalan lahir atau kepala
telah melalui pintu tengah panggul setelah mengalami pemanjangan kala II sebelum bahu
berhasil melipat masuk ke dalam panggul.
C. Komplikasi Distosia Bahu
1. Janin
Setelah persalinan dengan distosia bahu, 20% bayi akan mengalami beberapa cedera
sementara ataupun permanen. Cedera yang paling sering terjadi antara lain cedera pleksus
brakhialis, fraktur tulang klavikula dan humerus, kontusio, laserasi dan kelahiran dengan
asfiksia.
a. Cedera Pleksus Brakhialis
Pleksus brakhialis berasal dari nervis C5-C8 sampai dengan T1. Cedera pada pleksus
brakhialis dapat terletak di bagian atas atau bawah dari pleksus tersebut. Hal ini
biasanya terjadi akibat traksi pleksus brakhialis ke bawah pada pelahiran bahu depan.
Erb palsy, terjadi akibat cedera pada saraf spinalis C5-6 dan terkadang juga C7.
Kelainan ini terdiri atas paralisis otot-otot bahu dan lengan atas yang mengakibatkan
lengan atas menggantung yang dapat mencapai siku. Keterlibatan saraf-saraf
spinal bawah (C7-T1) selalu melibatkan cedera pada saraf di atasnya dan
menyebabkan kecacatan termasuk pada tangan, yang dapat mengakibatkan
deformitas clawhand. Hardy (1981) mempelajari prognosis pada 36 bayi dengan
cedera pleksus brakhialis. Yang menarik, distosia bahu ditemukan hanya pada 10
kasus dan dua di antaranya dilahirkan per abdominam. Hampir 80% dari anak-anak
ini sembuh sempurna dalam waktu 13 bulan dan di antara yang mengalami defek
residual tidak ada yang menderita defisit sensorik maupun motorik berat pada
tangan. Jennett dan rekan (1992) serta Gherman dan rekan (1999) mengajukan bukti
bahwa cedera pleksus brakhialis dapat mendahului pelahiran itu sendiri dan dapat
terjadi bahkan sebelum persalinan.

Gbr 3. Pleksus Brakialis

Gbr 4. Cedera Pleksus Brakhialis


b. Fraktur Klavikula
Cedera kedua yang sering terjadi adalah fraktur klavikula. Insidensinya mecapai
10% dari semua kelahiran dengan distosia bahu. Jika bahu dan dada bayi lebih besar
dibandingkan panggul ibu, tekanan yang signifikan terjadi untuk mengeluarkan
kepala bayi. Pada beberapa bayi, tekanan tersebut dapat menyebabkan fraktur
klavikula, hal ini dapat mengurangi diameter dada dan bahu agar dapat dilahirkan.
Secara tidak langsung, kejadin tersebut dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
cedera pleksus brakhialis. Fraktur klavikula terjadi pada 0,3% kelahiran. Fraktur
klavikula relatif sering terjadi dan telah didiagnosis pada 0,4% bayi yang
dilahirkan per vaginam di Parkland Hospital (Roberts et al, 1995). Fraktur jenis
ini, meski terkadang dihubungkan dengan distosia bahu, sering terjadi tanpa
kejadian klinis apapun yang mencurigakan. Distosia bahu meningkatkan risiko
sampai dengan 30 kali lipat terjadinya fraktur klavikula. Akan tetapi, sekitar 75%
kasus fraktur klavikula tidak berhubungan dengan distosia bahu. Para peneliti
menyimpulkan bahwa fraktur klavikula tersendiri tidak dapat dihindari dan diramalkan
serta tidak memiliki konsekuensi klinis apapun (Chez et al, 1994; Roberts et al, 1995).
c. Fraktur Humerus
Fraktur humerus terjadi kira-kira 4% dari bayi yang lahir dengan distosia bahu.
Fraktur humerus dapat sembuh dengan cepat sehingga jarang terjadi tuntutan terhadap
cedera tersebut ke pengadilan.
d. Kontusio
Kontusio selama persalinan dengan distosia bahu dapat terjadi, bahkan pada
persalinan normal. Tekanan yang digunakan untuk melahirkan tangan dan tekanan
oleh tulang pubis dapat menyebabkannya.
e. Asfiksia Bayi
Komplikasi distosia bahu yang paling ditakuti adalah asfiksia bayi. Dalam beberapa
percobaan pada binatang dan penelitian retrospektif, dinyatakan bahwa berhentinya
suplai aliran darah dari tali pusat ke bayi (tali pusat putus atau rupture uteri), jika bayi
tidak dilahirkan dalam waktu lima sampai sepuluh menit maka akan terjadi kerusakan
saraf ireversibel atau kematian. Wood, yang dikutip dalam artikelnya pada tahun 1993,
menyatakan bahwa ketika melahirkan kepala dan tubuh bayu, pH arteri umbilikus turun
sebesar 0,04 unit per menit. Ini berarti bahwadalam lima menit setelah melahirkan
kepala, pH bayi dapat turun dari 7,2 sampai ke level 7,0 yang didefinisikan sebagai
asfiksia. Setelah 10 menit, pH akan turun kembali menjadi 6,8. Ouzounian (1998)
melaporkan bahwa dari 39 bayi yang dilahirkan dengan distosia bahu, 15 diantaranya
mengalami kerusakan otak dengan waktu rata-rata melahirkan kepala ke bahu dalam
waktu 10,6 menit. Sedangkan 24 bayi yang lahir dengan distosia bahu tanpa kerusakan
otak dapat melahirkan kepala ke bahu bayu dalam rata-rata waktu 4,3 menit.
Alasan terjadinya asidosis dan asfiksia selama persalinan dengan distosia bahu adalah
ketika kepala lahir, tali pusat akan sangat terkomptesi antara tubuh bayi dengan jalan
lahir ibu. Hal ini akan membuat suplai darah ke bayi menurun atau terhenti. Jika
tekanan tersebut tidak segera dibebaskan secara ceoat, konsekuensinya adalah aliran
oksigen ke bayi akan menurun.
2. Ibu
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu pada persalinan dengan distosia bahu adalah
kehilangan darah yang cukup banyak karena laserasi pada vagina dan vulva. Perdarahan
dapat terlihat selama persalinan ataupun pada masa post partum. Hal itu dapat
dikarenakan laserasi ataupun atonia yang terjadi. Ruptur uteri pernah dilaporkan terjadi
pada persalinan dengan distosia bahu.
Tekanan langsung pada vesika urinaria oleh bahu depan ketika distosia bahu dapat
menyebabkan atonia vesika urinaria yang biasanya bersifat sementara. Simfisis pubis
dapat terpisaj ataupun dapat terjadi kerusakan pada nervus cutaneus femoralis
dikarenakan hiperrefleksi yang berlebihan dalam usaha mengeluarkan bahu.

D. Faktor Risiko
1. Preconceptual
a. Riwayat Distosia Bahu
Ibu yang memiliki riwayat melahirkan dengan distosia bahu terbukti sebagai
prediktor untuk kembali terjadinya distosia bahu. Hal ini dikarenakan beberapa hal
antara lain anatomi pelvis seorang wanita tidak akan berubah selama hamil,
sedangkan kecenderungan bayi kedua akan lebih besar dibandingkan bayi
sebelumnya.
Beberapa penulis menyebutkan bahwa persalinan distosia bahu akan kembali terjadi
pada wanita dengan riwaya tdistosia bahu sebesar 11,9% (Gherman, 2002). Risiko
akan meningkat sampai 20 kali lipat, sehingga beberapa dokter kandungan
mengusulkan, “sekali terjadi distosia bahu, maka berikutnya harus menggunakan
sesar.”
b. Obesitas
Berat badan ibu berkorelasi dengan kejadian distosia bahu. Emerson (1962)
menunjukkan bahwa kejadian distosia bahu pada wanita obesitas dua kali lebih sering
dibandingkan dengan wanita berat badan normal yaitu sebesar 1,78% : 0,81%.
Sandmire (1988) memperkirakan risiko relatif pafa wanita sebelum hamil dengan
berat bedan 82 kg adalah 2,3.
Akan tetapi belum jelas apakah distosia bahu merupakan efek primer dari wanita
obesitas ataupun sebagai cerminan bahwa ibu obesitas cenderung memiliki bayi yang
besar pula. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian mengenai kejadian
distosia bahu dikaitkan dengan berat badan ibu dan bayi.
c. Usia Ibu
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa usia ibu merupakan salah satu risiko
terjadinya distosia bahu. Tetapi beberapa analisis mengatakan bahwa usia ibu
berhubungan dengan faktor risiko lain dalam distosia bahu meliputi ibu obesitas dan
diabetes. Bahar (1996) tidak menemukan perbedaan kejadian distosia bahu
berdasarkan umur ibu.
d. Multiparitas
Acker (1988) menyatakan bahwa sebagian besar bayi dengan Erb Palsy dilahirkan
dari seorang multipara. Data diambil dari RS Beth Israel selama tahun 1975-1985.
Akan tetapi sebagaian ahli berpendapat bahwa bukan merupakan faktor primer dalam
terjadinya distosia bahu.
2. Ante Partum
a. Makrosomia
Makrosomia adalah bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4000 gram. Hal penting
yang perlu diperhatikan pada bayi makrosomia adalah laju pertumbuhan dari kepala,
dada dan tubuh janin. Sampai usia kehamilan 36-38 minggum kepala bayi secara
umum tetap lebih besar dibandingkan tubuhnya. Akan tetapi pada usia kehamilan 36-
40 minggu, pertumbuhhan bahu, dada dan perut akan lebih besar dibandingkan kepala
bayi.
Acker (1985) menyatakan bahwa bayi dengan berat lebih dari 4500 gram, 22,6%
akan mengalami distosia bahu. Lebih dari 70% bayi yang mengalami distosia bahu
memiliki berat badan lebih dari 4000 gram.
Tabel 1. Kejadian Distosia Bahu Berkaitan dengan BBL dengan Ibu non
Diabetes (Acker, 1985)
No Berat Badan Lahir Bayi % Kejadian Distosia Bahu
1. < 4000 gr 1,1 %
2. 4000- 4499 gr 10,0%
3. >4500 gr 22,6%

Tabel 2. Kejadian Distosia Bahu Berkaitan dengan BBL (Nisbet, 1998)


No Berat Badan Lahir Bayi (gr) % Kejadian Distosia Bahu
1. 4000-4250 5,2
2. 4250-4500 9,1
3. 4500-4750 14,3
4. 4750-5000 21,1

Sejumlah penulis (O'Leary, 1992) menyarankan untuk mengidentifikasi makrosomia


dengan ultrasonografi dan untuk lebih bebas melakukan seksio sesarea
padadistosiabahu. Yang lain tidak setuju dengan konsep bahwa seksio sesarea
diindikasikan untuk setiap janin yang diketahui berukuran besar, bahkan pada janin
yang diperkirakan beratnya lebih dari 4500 g. Rouse dan Owen (1999)
menyimpulkan bahwa kebijakan untuk melakukan seksio sesarea profilaktik untuk
bayi makrosomik akan menyebabkan dilakukannya lebih dari1000 pelahiran sesar
untuk menghindari satu cedera pleksus brakhialis permanen. The American College of
Obstetricians and Gynecologists (2000) menyimpulkan bahwa keputusan untuk
melakukan seksio sesarea pada semua wanita yang diduga mengadung janin
makrosomik adalah tidak tepat, kecuali terdapat kemungkinan berat lahir bayi lebih
dari 5000 g pada wanita non-diabetik dan lebih dari 4500 pada wanita yang menderita
diabetes.
Tabel 3. Insidensi Distosia Bahu Berdasarkan Pengelompokan Berat Lahir pada
Bayi Tunggal yang Dilahirkan Per Vaginam tahun 1994 di Parkland
Hospital
No BBL (gr) Kelahiran Kejadian Distosia Bahu (%)
1. ≤3000 2953 0
2. 3001-3500 4309 14 (0,3)
3. 3501-4000 2839 28 (1,0)
4. 4001-4500 704 38 (5,4)
5. >4500 91 17 (19,0)
6. Segala BBL 10.896 97 (0,9)

b. Diabetes
Tabel 4. Perbedaan Kejadian Distosia Bahu pada Ibu dengan Diabetes dan
Tidak (Acker,1985)
No Perkiraan BBL % Kejadian Distosia Bahu
Ibu non Diabetes Ibu dg Diabetes
1 <4000 gr 1,1 % 3,7 %
2 4000-4599 gr 10,0% 30,6%
3 >4500 gr 22,6% 50,0%

Seperti dapat dilihat, bayi dari ibu diabetes memiliki tiga sampai empat kali lipat
peningkatan risiko terjadinya distosia bahu dibandingkan dengan bayi dari ibu
nondiabetes dalam setiap kategori berat. Meskipun ibu diabetes hanya menyumbang
1,4% dari populasi kelahiran dalam penelitian ini, namun menyumbang 4,9% dari
kejadian distosia bahu. Acker juga menunjukkan bahwa 17% bayi yang lahir dari ibu
diabetes mengalami Erb Palsy. Dalam studi Al-Najashs (1989), tingkat distosia bahu
pada bayi dengan berat lebih dari 4000 gram yang lahir dari ibu diabetes adalah
15,7%. Sedangkan bayi lahir dari ibu nondiabetes memiliki tingkat distosia bahu
1,6%. Casey (1997), dalam sebuah penelitian lebih dari 62.000 pasien, menemukan
tingkat distosia bahu di populasi ibu yang bersalin adalah 0,9% sedangkan pada
pasien dengan diabetes gestasional 3%.
Sandmire (1988) menemukan risiko relatif untuk distosia bahu dari bayi dengan ibu
diabetes sebesar 6,5 dibandingkan dengan ibu nondiabetes. Ada dua alasan utama
untuk korelasi ini antara diabetes dan distosia bahu. Di tempat pertama, diabetes
dalam kehamilan menunjukkan korelasi sangat kuat dengan makrosomia.
Pertumbuhan bayi diabetes tidak hanya mewakili potensi genetik mereka dalam
pertumbuhan tetapi juga mencerminkan penurunan dari substrat glukosa ekstra pada
tubuh ibu dan bayi. Kedua, seperti yang disebutkan sebelumnya, sifat pertumbuhan
janin berbeda pada bayi diabetes. Pertumbuhan tidak merata antara kepala dan batang
seperti pada bayi nondiabetes. Sebaliknya, bayi dari ibu diabetes menunjukkan pola
pertumbuhan yang lebih besar pada bahu, dada, dan pertumbuhan perut. Seperti yang
diringkas Ellis dalam 1982:
"Bayi dari ibu diabetes memiliki konfigurasi tubuh yang berbeda dengan bayi dari
seorang ibu nondiabetes. Peningkatan deposisi lemak pada berbagai organ mungkin
karena untuk meningkatkan sekresi insulin dalam menanggapi hiperglikemia."
Pada 1980-an beberapa penulis menerbitkan studi yang dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa mereka dapat memprediksi bayi dari ibu dengan diabetes akan
berisiko tinggi mengalami distosia bahu.
Elliott (1982) menyatakan bahwa dengan mengevaluasi diameter dada-biparietal pada
bayi dari ibu diabetes dengan berat lebih dari 4000 gram, dia bisa mengurangi
kejadian morbiditas traumatik pada persalinan dari 27% menjadi 9%.Tamura (1986)
menemukan bahwa pada wanita diabetes lingkar perut janin nilainya lebih besar dari
persentil 90 dengan tepat memprediksikan makrosomia pada 78% kasus. Dalam
studinya, jika lingkar perut dan berat janin diperkirakan melebihi 90 persentil pada
wanita hamil dengan diabetes, makrosomia adalah benar didiagnosis 88,8% .
Mintz, dalam sebuah studi yang menjanjikan dari tahun 1989, menerbitkan data yang
menunjukkan bahwa kombinasi dari lingkar perut janin lebih dari persentil 90 untuk
usia kehamilan dan lebar jaringan lunak bahu lebih besar dari 12 mm adalah prediktor
terbaik dari makrosomia. Data tersebut dilaporkan memiliki sensitivitas 96%,
spesifisitas 89%, nilai prediktif positifnya 93%. Ia juga menemukan korelasi yang
signifikan antara lebar bahu dan HgA1C yang tinggi, tes darah yang mengukur
kontrol gula darah selama tiga bulan sebelumnya. Sayangnya, hasil ini belum
didukung atau direplikasi oleh peneliti lain. Beberapa ahli di bidang distosia bahu
telah menerbitkan data dari seri yang sangat besar yang benar-benar bertentangan
dengan kesimpulan yang tercantum di atas. Selain itu, hasil dari studi ini tidak sekuat
yang diasumsikan. Studi Mintz belum ada yang menduplikasi hasilnya.Dalam studi
Elliott, misalnya, meskipun ia mampu menunjukkan bahwa besar jumlah bayi yang
memenuhi dada-biparietal berdiameter tertentu dalam kriteria makrosomik, 39% dari
bayi dengan parameter yang sama - rasio diameter Dada / biparietal > 1,4 - tidak lebih
besar dari 4000 gram.
Pada kenyataannya, kebanyakan studi terakhir menemukan bahwa baik makrosomia
atau distosia bahu dapat diprediksi dalam bayi dari ibu dengan diabetes. Acker (1985)
menunjukkan bahwa dengan menggunakan kriteria bayi besar dan ibu diabetes ia
bisa memprediksi 54,7% dari distosia bahu, tetapi 45,3% dari merupakan negatif
palsu. Delpapa (1991) menyatakan bahwa nilai prediksi berat janin diperkirakan pada
bayi ibu diabetes untuk memprediksi distosia bahu tidak cukup untuk handal. Selain
itu, ibu diabetes kebanyakan tidak memiliki bayi makrosomia dan mayoritas bayi
makrosomia tidak berasal dari ibu diabetes. Memprediksi makrosomia dan distosia
bahu pada ibu diabetes sesulit memprediksi faktor-faktor ini pada populasi
nondiabetes.
c. Berat Badan Ibu
Data yang menghubungkan berat badan ibu dengan berat lahir janin masih
kontroversial. Abrams (1995) dan Langhoff-Roos (1987) keduanya menunjukkan
bahwa total berat badan ibu secara signifikan berkorelasi dengan kelahiran bayi berat
badan. Dawes (1991) tidak bisa mengkonfirmasi hal tersebut. Tidak ada perbedaan
jelas dalam korelasi antara kenaikan berat badan ibu dan berat badan lahir.
Selain itu, beberapa peneliti telah melaporkan informasi yang saling bertentangan
untuk efek pola kenaikan berat badan ibu terhadap janin terutama berat badan.
Beberapa penelitian telah menemukan kenaikan berat badan pada trimester kedua
sebagai faktor utama sedangkan yang lain telah menemukan bahwa kenaikan berat
badan
pada trimester terakhir adalah faktor yang paling penting.
d. Jenis Kelamin Bayi
Terdapat sedikit data yang menghubungkan jenis kelamin dengan janin makrosomia
dan distosia bahu. Meskipun pada bayi laki-laki rata-rata sedikit lebih berat daripada
perempuan, tidak ada data yang menunjukkan jumlah signifikan kejadian makrosomia
lebih tinggi pada bayi laki-laki dibandingkan bayi perempuan.
Resnick 1980 menyebutkan jenis kelamin janin sebagai faktor potensi tetapi tidak
menyediakan data untuk mendukung klaimnya. El Madany (1990) menunjukkan
bahwa 59,2% bayi mengalami distosia bahu adalah laki-laki, data tersebut signifikan
secara statistik tetapi tidak bernilai sebagai prediktor klinis.
e. Bayi Serotinus
Meskipun pertumbuhan janin melambat dalam beberapa minggu terakhir kehamilan,
masih terdapat beberapa pertumbuhan terus selama kehamilan. Jadi ketika bayi tetap
dalam rahim, akan semakin besar bayi dan akan semakin besar risiko distosia bahu.

Acker (1985) adalah salah satu orang yang pertama menunjukkan hubungan ini.
Chervenak menegaskan hal ini pada tahun 1989 ketika ia melaporkan bahwa 25,5%
bayi makrosomik dengan usia kehamilan 41 minggu, sedangkan hanya 6% bayi
makrosomik yang terjadi pada usia kehamilan 38 dan 40 minggu.
3. Intra Partum
a. Instrumen Persalinan
Beberapa studi telah dengan jelas menunjukkan bahwa persalinan yang berakhir pada
instrumen yaitu vakum atau forsep menunjukkan tingkat lebih tinggi distosia bahu
pada setiap kelompok berat badan janin.
Nesbitit (1998), misalnya, melaporkan data sebagai berikut:
Tabel 5. Kejadian Distosia Bahu pada Persalinan dengan “Alat” dan Tidak
No Berat Badan % Distosia Bahu
Lahir (gram) Lahir tanpa “alat” Lahir bantuan “alat”
1 4000-4250 8,4% 12,2%
2

2 4250-4500 12,3% 16,7%


3 4500-4750 19,9% 27,3%
4 >4750 23,5% 34,8%

Baskett (1995) juga menunjukkan peningkatan sepuluh kali lipat dari distosia bahu
dan peningkatan lima kali lipat dalam cedera pleksus brakialis (BPI) dengan
persalinan forsep.
Tabel 6. Kejadian BPI dan Distosia Bahu pada Persalinan dengan Forcep
No Persalinan Distosia Bahu BPI
1 Spontan pervaginam 0,3% 0,04%
2 Low Forcep 0,9% 0,06%
3 Mid Forcep 2,8% 0,5%

McFarland (1986) menunjukkan bahwa risiko relatif cedera pleksus brakialis adalah
18,3 untuk midforceps dan 17,2 untuk persalinan vakum bila dibandingkan dengan
persalinan normal tanpa bantuan.
Dengan demikian jelas bahwa persalinan dengan instrumen memiliki risiko tinggi
terjadi distosia bahu dan cedera pleksus brakialis. Ini juga mungkin bahwa
ketidakmampuan ibu untuk mendorong bayi keluar tanpa bantuan adalah karena janin
makrosomia atau distribusi lemak antara kepala, dada, bahu, dan perut bayi yang
merupakan faktor risiko utama untuk distosia bahu.
b. Pengalaman Penolong Persalinan
Sejak cara mengatasi yang aman dari distosia bahu melibatkan manuver spesifik
kandungan dan karena distosia bahu relatif jarang terjadi, akan terlihat praktisi yang
lebih berpengalaman memiliki hasil lebih baik dalam situasi ini. Namun data tidak
mendukung keyakinan ini. Acker (1988) melakukan penelitian tentang hubungan
antara pengalaman dokter dan kejadian distosia bahu. Dalam penelitiannya
dikemukakan bahwa jumlah Erb palsy yang dikarenakan distosia bahu tidak
bervariasi antara dokter ataupun dokter yang sedang menjalani pendidikan. Sebagian
besar dokter tidak mendapatkan keahlian dan kepercayaan diri untuk mengatasi
distosia bahu karena insidensi nya yang jarang.
c. Oksitosin dan Anestesi
Tidak terdapat korelasi independen antara penggunaan oksitosin ataupun anestesi
dengan kejadian distosia bahu. Oksitosin umumnya digunakan untuk meningkatkan
kekuatan kontraksi rahim. Sejauh bahwa oksitosin digunakan lebih sering pada ibu
dengan bayi makrosomia, mungkin memiliki korelasi sekunder dengan persalinan
distosia bahu. Tetapi tidak ada data yang menghubungkan oksitosin digunakan
dengan kejadian distosia bahu secara independen.
Demikian juga dengan anestesi, tidak ada laporan tentang peningkatan distosia bahu
dengan adanya tindakan anestesi pada persalinan.
E. Tanda Klinis
Tanda klinis terjadinya distosia bahu meliputi:
1. Tubuh bayi tidak muncul setelah ibu meneran dengan baik dan traksi yang cukup untuk
melahirkan tubuh setelah kepala bayi lahir
2. Turtle sign adalah ketika kepala bayi tiba-tiba tertarik kembali ke perineum ibu setelah
keluar dari vagina. Pipi bayi menonjol keluar, seperti seokor kura-kura yang menarik
kepala kembali ke cangkangnya. Peenarikan kepala bayi ini dikarenakan bahu depan bayi
terperangkap di tulang pubis ibu, sehingga mencegang lahirnya tubuh bayi.

Gbr 5. Turtle Sign

F. Penatalaksanaan
Distosia bahu tidak dapat diramalkan, sehingga penolong persalinan harus mengetahui benar
prinsip-prinsip penatalaksanaan penyulit yang terkadang dapat sangat melumpuhkan ini.
Pengurangan interval waktu antara pelahiran kepala sampai pelahiran badan amat
penting untuk bertahan hidup. Usaha untuk melakukan traksi ringan pada awal pelahiran,
yang dibantu dengan gaya dorong ibu, amat dianjurkan. Traksi yang terlalu keras pada kepala
atau leher, atau rotasi tubuh berlebihan, dapat menyebabkan cedera serius pada bayi.
Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan episiotomi luas dan idealnya diberikan
analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya adalah membersihkan mulut dan hidung bayi.
Setelah menyelesaikan tahap-tahap ini, dapat diterapkan berbagai teknik untuk
membebaskan bahu depan dari posisinya yang terjepit di bawah simfisis pubis ibu.

Tabel 4. Manuver dalam Mengatasi Distosia Bahu


No Manuver Bayi Manuver Ibu
1 Manuver Rubin Manuver McRobert
2 Manuver Jacquemier Manuver Mazzanti
3 Manuver Woodscrew Manuver Gaskin
4 Manuver Zavanelli Ramp Manuver
5 Kleidotomi Simfisiotomi

1. Manuver Mazzanti
Penekanan suprapubik dilakukan oleh seorang asisten dan penolong tetap melakukan
traksi curam ke bawah untuk melahirkan bahu depan. Komplikasi yang dapat terjadi
adalah simfisiolisis.

Gbr 6. Penekanan
Suprapubik
2. Manuver McRobert
Manuver ini ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan dinamai sesuai nama William
A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan penggunaannya di UniversitasTexas di
Houston. Manuver ini terdiri atas mengangkat tungkai dari pijakan kaki pada kursi
obstetris dan memfleksikannya sejauh mungkin ke abdomen. Gherman dan rekan (2000)
menganalisa manuver McRoberts dengan pelvimetri radiologik. Mereka mendapati
bahwa prosedur yang menyebabkan pelurusan relatif sakrum terhadap vertebra
lumbal disertai dengan rotasi simfisis pubis ke arah kepala ibu yang menyertainya serta
pengurangan sudut kemiringan panggul. Meski manuver ini tidak memperbesar ukuran
panggul, rotasi panggul ke arah kepala cenderung membebaskan bahu depan yang
terjepit. Gonik dan rekan (1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif pada
model di laboratorium dan menemukan bahwa manuver ini mampu mengurangi
tekanan ekstraksi pada bahu janin. Jika digabungkan dengan manuver penekanan bahu
diperkirakan dapat mengatasi distosia bahu sampai dengan 50-60%.

Gbr 7. Manuver Mc Robert


3. Manuver Wood Screw
Woods (1943) melaporkan bahwa, dengan memutar bahu belakang secara progresif
sebesar 1800 dengan gerakan seperti membuka tutup botol, bahu depan yang terjepit
dapat dibebaskan. Tindakan ini sering disebut sebagai manuver corkscrew Woods.
Gbr 8. Manuver Wood Screw

4. Manuver Jacquemier
Penyusuran lengan belakang janin secara hati-hati hingga mencapai dada, yang diikuti
dengan pelahiran lengan tersebut. Cingulum pektorale kemudian diputar ke arah salah
satu diameter oblik panggul yang diikuti pelahiran bahu depan.

Gbr 9. Manuver
Jacquemier

5. Manuver Zavanelli
Manuver Zavanelli dilakukan dengan mengembalikan kepala ke dalam rongga panggul
dan kemudian melahirkan secara sesar. Bagian pertama dari manuver ini adalah
mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau oksiput posterior bila kepala janin
telah berputar dari posisi tersebut. Langkah kedua adalah memfleksikan kepala dan
secara perlahan mendorongnya masuk kembali ke vagina, yang diikuti dengan pelahiran
secara sesar. Terbutaline dapat diberikan untuk menghasilkan relaksasi uterus. Sandberg
(1999) kemudian meninjau 103 laporan kasus yang menerapkan manuver Zavanelli.
Manuver ini berhasil pada 91 persen kasus presentasi kepala dan pada semua kasus
terjepitnya kepala pada presentasi bokong. Cedera pada janin biasa terjadi pada
keadaan-keadaan sulit yang menerapkan manuver Zavanelli, terdapat delapan kasus
kematian neonatal, enam kasus lahir mati, dan 10 neonatus menderita kerusakan otak.
Ruptur uteri juga pernah dilaporkan.

Gbr 9. Manuver Zavanelli


6. Manuver Rubin
Rubin (1964) merekomendasikan dua manuver. Pertama, kedua bahu janin diayun dari
satu sisi ke sisi lain dengan memberikan tekanan pada abdomen. Bila hal ini tidak
berhasil, tangan yang berada di panggul meraih bahu yang paling mudah diakses, yang
kemudian didorong ke permukaan anterior bahu. Hal ini biasanya akan menyebabkan
abduksi kedua bahu, yang kemudian akan menghasilkan diameter antar-bahu dan
pergeseran bahu depan dari belakang simfisis pubis.
Manuver ini dilakukan dengan memasukkan satu tangan dari bagian depan ataupun
belakang, kemudian memutar bahu 30o sehingga terletak pada diameter miring dari
panggul. Keuntungan dari metode ini adalah penolong dapat mengetahui orientasi bahu
yang sebernarnya. Jika rotasi dapat tercapai, bahu depan akan muncul dari bawah
simfisis dengan atau tanpa traksi tambahan.

Gbr 10. Manuver Rubin


7. Manuver Gaskin
Manuver Gaskin atau All Four Maneuver diperkenalkan oleh Ina May Gaskin pada tahun
1976. Manuver ini digunakan untuk mengatasi distosia bahu dengan menempatkat ibu
dalam posisi merangkak. Brunner (1998) melaporkan bahwa 68 kasus (82%) dari 82
kasus persalinan dengan distosia bahu berhasil diatasi hanya dengan menggunakan
manuver Gaskin. Waktu yang diperlukan untuk memposisikan ibu dalam manuver ini dan
melahirkan secara lengkap dilaporkan mencapai dua sampai dengan tiga menit. Namun,
tidak ada laporan secara mendetail tentang efek terhadap ibu dan bayi yang menjalani
manuver ini.
Secara teoritis, posisi merangkak dalam manuver ini akan membuat penambahan luas
diameter sagital panggul sebesar satu sampai dua sentimetr karena pergerakan pada sendi
sakroiliaka. Posisi litotomi dapat membatasi gerakan dari sakrum. Manfaat tambahan
dapat diperoleh dari gerakan saat perubahan posisi dari litotomi ke posisi merangkak
yang kemungkinan dapat membantu membebaskan bahu yang terperangkap.
Gbr 11. Manuver Gaskin
8. Penekanan Fundus
Penekanan fundus ke arah jalan lahir dapat dilakukan namun dianjurkan dikombinasi
dengan manuver lain. Penekanan kuat pada fundus pada saat yang salah akan
mengakibatkan semakin terjepitnya bahu depan. Gross dkk (1987) melaporkan
penekanan fundus tanpa disertai manuver lain akan menyebabkan komplikasi sebesar
77% dan erat dihubungkan dengan kerusakan ortopedik dan neurologik pada bayi.
9. Kleidotomi
Kleidotomi merupakan pemotongan tulang klavikula dengan gunting atau benda tajam
lain untuk memperpendek diameter biacromial. Tindakan ini dilakukan jika manuver lain
gagal dilakukan. Biasanya dilakukan pada bayi yang sudah mati.
10. Simfisiotomi
Simfisiotomi juga dilakukan jika manuver lain gagal dilakukan. Akan tetapi, beberapa
penelitian mengungkapkan peningkatan morbiditas ibu dan kemungkinan terjadinya
cedera traktur urinarius.
Beberapa literatur meengungkapkan beberapa cara dalam mengatasi distosia bahu yaitu
Manajemen ALARMER dan 4 P.
1. Manajemen ALARMER
a. Ask for help (Minta bantuan)
b. Lift/hyperflex Legs
Hiperfleksi kedua kaki (Manuver McRobert), distosia bahu pada umumnya akan teratasi
dengan manuver ini pada 70% kasus.
c. Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan)
Penekanan suprapubik (Manuver Mazzanti) dan pendekatan pervaginam dengan
adduksi bahu depan dengan tekanan untuk mempermudah aspek bahu belakang (yaitu
dengan mendorong kea rah dada) sehingga akan menghasilkan diameter terkecil
(Manuver Rubin)
d. Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang)
Manuver ini dilakukan dengan memutar 1800 bahu belakang sehingga menjadi bahu
depan (Manuver Woodscrew)
e. Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang secara manual/ Manuver
Jacquemier)
f. Episiotomi
g. Roll over onto ‘all fours’ (knee-chest position/ Manuver Gaskin)
2. Hindari empat “P”
a. Panic (Panik)
b. Pulling (Menarik)
c. Pushing (Mendorong)
d. Pivot
Jika cara tersebut sudah dilakukan dan distosia bahu tetap belum teratasi maka dapat
dilakukan:
1. Manuver Zavanelli
2. Kleidotomi
3. Simfisiotomi
The American College of Obstetricians and Gynecologists (1991) merekomendasikan
langkah-langkah berikut ini, urut-urutannya bergantung pada pengalaman dan pilihan
pribadi masing-masing operator:
1. Panggil bantuan—mobilisasi asisten, anestesiolog, dan dokter anak. Pada saat ini
dilakukan upaya untuk melakukan traksi ringan. Kosongkan kandung kemih bila penuh.
2. Lakukan episiotomi luas (mediolateral atau episioproktotomi) untuk memperluas
ruangan di posterior.
3. Penekanan suprapubik digunakan pada saat awal oleh banyak dokter karena alasan
kemudahannya. Hanya dibutuhkan satu asisten untuk melakukan penekanan
suprapubik sementara traksi ke bawah dilakukan pada kepala janin.
4. Manuver McRoberts memerlukan dua asisten. Tiap asisten memegangi satu tungkai dan
memfleksikannya paha ibu tajam ke arah abdomen.
Manuver-manuver ini biasanya dapat mengatasi sebagian besar kasus distosia bahu. Namun,
bila manuver ini gagal, langkah-langkah berikut dapat dicoba:
5. Manuver corkscrew Woods
6. Pelahiran lengan belakang dapat dicoba, tapi bila lengan belakang dalam posisi
ekstensi sempurna, hal ini biasanya sulit dilakukan.
7. Teknik-teknik lain sebaiknya hanya dilakukan pada kasus-kasus ketika manuver
lain telah gagal. Yang termasuk dalam teknik ini adalah frakturklavikula atau
humerus depan dengan sengaja dan manuver Zavanelli.
The American College of Obstetricians and Gynecologists (2000) meninjau penelitian-
penelitian yang diklasifikasikan menurut metode evidence-based yang dikeluarkan oleh the
United States Preventive Services Task Force. Hasilnya menyimpulkan bahwa sebagian besar
bukti-bukti terbaru sejalan dengan pandangan bahwa:
1. Sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diramalkan atau dicegah karena tidak
ada metode yang akurat untuk mengidentifikasi janin mana yang akan mengalami
komplikasi ini.
2. Pengukuran ultrasonik untuk memperkirakan makrosomia memiliki akurasi yang
terbatas.
3. Seksio sesarea elektif yang didasarkan atas kecurigaan adanya makrosomia bukan
merupakan strategi yang beralasan.
Seksio sesarea elektif dapat dibenarkan pada wanita non-diabetik dengan perkiraan berat lahir
janin lebih dari 5000 g atau wanita diabetik yang berat lahir janinnya diperkirakan akan
melebihi 4500 gram.

Anda mungkin juga menyukai