DISTOSIA BAHU EDIT Lengkap
DISTOSIA BAHU EDIT Lengkap
DEFINISI
Distosia bahu adalah persalinan yang memerlukan tambahan manuver obstetri setelah
kegagalan “gentle downward traction” pada kepala bayi untuk melahirkan bahu (ACOG,
2002). Distosia bahu terjadi ketika setalah kepala lahir, bahu depan bayi terperangkap di
tulang pubis ibu. Jika ini terjadi, maka bagian tubuh bayi yang lain tidak dapat mengikuti
kepala keluar dari vagina dengan mudah. Beberapa definisi tentang distosia bahu antara lain:
1. Suatu persalinan yang membutuhkan waktu lebih dari 60 detik untuk melahirkan kepala
dan bahu bayi
2. Bahu sulit lahir dengan traksi ke bawah pada kepala janin
3. Persalinan dengan menggunakan manuver special untuk melahirkan bahu.
D. Faktor Risiko
1. Preconceptual
a. Riwayat Distosia Bahu
Ibu yang memiliki riwayat melahirkan dengan distosia bahu terbukti sebagai
prediktor untuk kembali terjadinya distosia bahu. Hal ini dikarenakan beberapa hal
antara lain anatomi pelvis seorang wanita tidak akan berubah selama hamil,
sedangkan kecenderungan bayi kedua akan lebih besar dibandingkan bayi
sebelumnya.
Beberapa penulis menyebutkan bahwa persalinan distosia bahu akan kembali terjadi
pada wanita dengan riwaya tdistosia bahu sebesar 11,9% (Gherman, 2002). Risiko
akan meningkat sampai 20 kali lipat, sehingga beberapa dokter kandungan
mengusulkan, “sekali terjadi distosia bahu, maka berikutnya harus menggunakan
sesar.”
b. Obesitas
Berat badan ibu berkorelasi dengan kejadian distosia bahu. Emerson (1962)
menunjukkan bahwa kejadian distosia bahu pada wanita obesitas dua kali lebih sering
dibandingkan dengan wanita berat badan normal yaitu sebesar 1,78% : 0,81%.
Sandmire (1988) memperkirakan risiko relatif pafa wanita sebelum hamil dengan
berat bedan 82 kg adalah 2,3.
Akan tetapi belum jelas apakah distosia bahu merupakan efek primer dari wanita
obesitas ataupun sebagai cerminan bahwa ibu obesitas cenderung memiliki bayi yang
besar pula. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian mengenai kejadian
distosia bahu dikaitkan dengan berat badan ibu dan bayi.
c. Usia Ibu
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa usia ibu merupakan salah satu risiko
terjadinya distosia bahu. Tetapi beberapa analisis mengatakan bahwa usia ibu
berhubungan dengan faktor risiko lain dalam distosia bahu meliputi ibu obesitas dan
diabetes. Bahar (1996) tidak menemukan perbedaan kejadian distosia bahu
berdasarkan umur ibu.
d. Multiparitas
Acker (1988) menyatakan bahwa sebagian besar bayi dengan Erb Palsy dilahirkan
dari seorang multipara. Data diambil dari RS Beth Israel selama tahun 1975-1985.
Akan tetapi sebagaian ahli berpendapat bahwa bukan merupakan faktor primer dalam
terjadinya distosia bahu.
2. Ante Partum
a. Makrosomia
Makrosomia adalah bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4000 gram. Hal penting
yang perlu diperhatikan pada bayi makrosomia adalah laju pertumbuhan dari kepala,
dada dan tubuh janin. Sampai usia kehamilan 36-38 minggum kepala bayi secara
umum tetap lebih besar dibandingkan tubuhnya. Akan tetapi pada usia kehamilan 36-
40 minggu, pertumbuhhan bahu, dada dan perut akan lebih besar dibandingkan kepala
bayi.
Acker (1985) menyatakan bahwa bayi dengan berat lebih dari 4500 gram, 22,6%
akan mengalami distosia bahu. Lebih dari 70% bayi yang mengalami distosia bahu
memiliki berat badan lebih dari 4000 gram.
Tabel 1. Kejadian Distosia Bahu Berkaitan dengan BBL dengan Ibu non
Diabetes (Acker, 1985)
No Berat Badan Lahir Bayi % Kejadian Distosia Bahu
1. < 4000 gr 1,1 %
2. 4000- 4499 gr 10,0%
3. >4500 gr 22,6%
b. Diabetes
Tabel 4. Perbedaan Kejadian Distosia Bahu pada Ibu dengan Diabetes dan
Tidak (Acker,1985)
No Perkiraan BBL % Kejadian Distosia Bahu
Ibu non Diabetes Ibu dg Diabetes
1 <4000 gr 1,1 % 3,7 %
2 4000-4599 gr 10,0% 30,6%
3 >4500 gr 22,6% 50,0%
Seperti dapat dilihat, bayi dari ibu diabetes memiliki tiga sampai empat kali lipat
peningkatan risiko terjadinya distosia bahu dibandingkan dengan bayi dari ibu
nondiabetes dalam setiap kategori berat. Meskipun ibu diabetes hanya menyumbang
1,4% dari populasi kelahiran dalam penelitian ini, namun menyumbang 4,9% dari
kejadian distosia bahu. Acker juga menunjukkan bahwa 17% bayi yang lahir dari ibu
diabetes mengalami Erb Palsy. Dalam studi Al-Najashs (1989), tingkat distosia bahu
pada bayi dengan berat lebih dari 4000 gram yang lahir dari ibu diabetes adalah
15,7%. Sedangkan bayi lahir dari ibu nondiabetes memiliki tingkat distosia bahu
1,6%. Casey (1997), dalam sebuah penelitian lebih dari 62.000 pasien, menemukan
tingkat distosia bahu di populasi ibu yang bersalin adalah 0,9% sedangkan pada
pasien dengan diabetes gestasional 3%.
Sandmire (1988) menemukan risiko relatif untuk distosia bahu dari bayi dengan ibu
diabetes sebesar 6,5 dibandingkan dengan ibu nondiabetes. Ada dua alasan utama
untuk korelasi ini antara diabetes dan distosia bahu. Di tempat pertama, diabetes
dalam kehamilan menunjukkan korelasi sangat kuat dengan makrosomia.
Pertumbuhan bayi diabetes tidak hanya mewakili potensi genetik mereka dalam
pertumbuhan tetapi juga mencerminkan penurunan dari substrat glukosa ekstra pada
tubuh ibu dan bayi. Kedua, seperti yang disebutkan sebelumnya, sifat pertumbuhan
janin berbeda pada bayi diabetes. Pertumbuhan tidak merata antara kepala dan batang
seperti pada bayi nondiabetes. Sebaliknya, bayi dari ibu diabetes menunjukkan pola
pertumbuhan yang lebih besar pada bahu, dada, dan pertumbuhan perut. Seperti yang
diringkas Ellis dalam 1982:
"Bayi dari ibu diabetes memiliki konfigurasi tubuh yang berbeda dengan bayi dari
seorang ibu nondiabetes. Peningkatan deposisi lemak pada berbagai organ mungkin
karena untuk meningkatkan sekresi insulin dalam menanggapi hiperglikemia."
Pada 1980-an beberapa penulis menerbitkan studi yang dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa mereka dapat memprediksi bayi dari ibu dengan diabetes akan
berisiko tinggi mengalami distosia bahu.
Elliott (1982) menyatakan bahwa dengan mengevaluasi diameter dada-biparietal pada
bayi dari ibu diabetes dengan berat lebih dari 4000 gram, dia bisa mengurangi
kejadian morbiditas traumatik pada persalinan dari 27% menjadi 9%.Tamura (1986)
menemukan bahwa pada wanita diabetes lingkar perut janin nilainya lebih besar dari
persentil 90 dengan tepat memprediksikan makrosomia pada 78% kasus. Dalam
studinya, jika lingkar perut dan berat janin diperkirakan melebihi 90 persentil pada
wanita hamil dengan diabetes, makrosomia adalah benar didiagnosis 88,8% .
Mintz, dalam sebuah studi yang menjanjikan dari tahun 1989, menerbitkan data yang
menunjukkan bahwa kombinasi dari lingkar perut janin lebih dari persentil 90 untuk
usia kehamilan dan lebar jaringan lunak bahu lebih besar dari 12 mm adalah prediktor
terbaik dari makrosomia. Data tersebut dilaporkan memiliki sensitivitas 96%,
spesifisitas 89%, nilai prediktif positifnya 93%. Ia juga menemukan korelasi yang
signifikan antara lebar bahu dan HgA1C yang tinggi, tes darah yang mengukur
kontrol gula darah selama tiga bulan sebelumnya. Sayangnya, hasil ini belum
didukung atau direplikasi oleh peneliti lain. Beberapa ahli di bidang distosia bahu
telah menerbitkan data dari seri yang sangat besar yang benar-benar bertentangan
dengan kesimpulan yang tercantum di atas. Selain itu, hasil dari studi ini tidak sekuat
yang diasumsikan. Studi Mintz belum ada yang menduplikasi hasilnya.Dalam studi
Elliott, misalnya, meskipun ia mampu menunjukkan bahwa besar jumlah bayi yang
memenuhi dada-biparietal berdiameter tertentu dalam kriteria makrosomik, 39% dari
bayi dengan parameter yang sama - rasio diameter Dada / biparietal > 1,4 - tidak lebih
besar dari 4000 gram.
Pada kenyataannya, kebanyakan studi terakhir menemukan bahwa baik makrosomia
atau distosia bahu dapat diprediksi dalam bayi dari ibu dengan diabetes. Acker (1985)
menunjukkan bahwa dengan menggunakan kriteria bayi besar dan ibu diabetes ia
bisa memprediksi 54,7% dari distosia bahu, tetapi 45,3% dari merupakan negatif
palsu. Delpapa (1991) menyatakan bahwa nilai prediksi berat janin diperkirakan pada
bayi ibu diabetes untuk memprediksi distosia bahu tidak cukup untuk handal. Selain
itu, ibu diabetes kebanyakan tidak memiliki bayi makrosomia dan mayoritas bayi
makrosomia tidak berasal dari ibu diabetes. Memprediksi makrosomia dan distosia
bahu pada ibu diabetes sesulit memprediksi faktor-faktor ini pada populasi
nondiabetes.
c. Berat Badan Ibu
Data yang menghubungkan berat badan ibu dengan berat lahir janin masih
kontroversial. Abrams (1995) dan Langhoff-Roos (1987) keduanya menunjukkan
bahwa total berat badan ibu secara signifikan berkorelasi dengan kelahiran bayi berat
badan. Dawes (1991) tidak bisa mengkonfirmasi hal tersebut. Tidak ada perbedaan
jelas dalam korelasi antara kenaikan berat badan ibu dan berat badan lahir.
Selain itu, beberapa peneliti telah melaporkan informasi yang saling bertentangan
untuk efek pola kenaikan berat badan ibu terhadap janin terutama berat badan.
Beberapa penelitian telah menemukan kenaikan berat badan pada trimester kedua
sebagai faktor utama sedangkan yang lain telah menemukan bahwa kenaikan berat
badan
pada trimester terakhir adalah faktor yang paling penting.
d. Jenis Kelamin Bayi
Terdapat sedikit data yang menghubungkan jenis kelamin dengan janin makrosomia
dan distosia bahu. Meskipun pada bayi laki-laki rata-rata sedikit lebih berat daripada
perempuan, tidak ada data yang menunjukkan jumlah signifikan kejadian makrosomia
lebih tinggi pada bayi laki-laki dibandingkan bayi perempuan.
Resnick 1980 menyebutkan jenis kelamin janin sebagai faktor potensi tetapi tidak
menyediakan data untuk mendukung klaimnya. El Madany (1990) menunjukkan
bahwa 59,2% bayi mengalami distosia bahu adalah laki-laki, data tersebut signifikan
secara statistik tetapi tidak bernilai sebagai prediktor klinis.
e. Bayi Serotinus
Meskipun pertumbuhan janin melambat dalam beberapa minggu terakhir kehamilan,
masih terdapat beberapa pertumbuhan terus selama kehamilan. Jadi ketika bayi tetap
dalam rahim, akan semakin besar bayi dan akan semakin besar risiko distosia bahu.
Acker (1985) adalah salah satu orang yang pertama menunjukkan hubungan ini.
Chervenak menegaskan hal ini pada tahun 1989 ketika ia melaporkan bahwa 25,5%
bayi makrosomik dengan usia kehamilan 41 minggu, sedangkan hanya 6% bayi
makrosomik yang terjadi pada usia kehamilan 38 dan 40 minggu.
3. Intra Partum
a. Instrumen Persalinan
Beberapa studi telah dengan jelas menunjukkan bahwa persalinan yang berakhir pada
instrumen yaitu vakum atau forsep menunjukkan tingkat lebih tinggi distosia bahu
pada setiap kelompok berat badan janin.
Nesbitit (1998), misalnya, melaporkan data sebagai berikut:
Tabel 5. Kejadian Distosia Bahu pada Persalinan dengan “Alat” dan Tidak
No Berat Badan % Distosia Bahu
Lahir (gram) Lahir tanpa “alat” Lahir bantuan “alat”
1 4000-4250 8,4% 12,2%
2
Baskett (1995) juga menunjukkan peningkatan sepuluh kali lipat dari distosia bahu
dan peningkatan lima kali lipat dalam cedera pleksus brakialis (BPI) dengan
persalinan forsep.
Tabel 6. Kejadian BPI dan Distosia Bahu pada Persalinan dengan Forcep
No Persalinan Distosia Bahu BPI
1 Spontan pervaginam 0,3% 0,04%
2 Low Forcep 0,9% 0,06%
3 Mid Forcep 2,8% 0,5%
McFarland (1986) menunjukkan bahwa risiko relatif cedera pleksus brakialis adalah
18,3 untuk midforceps dan 17,2 untuk persalinan vakum bila dibandingkan dengan
persalinan normal tanpa bantuan.
Dengan demikian jelas bahwa persalinan dengan instrumen memiliki risiko tinggi
terjadi distosia bahu dan cedera pleksus brakialis. Ini juga mungkin bahwa
ketidakmampuan ibu untuk mendorong bayi keluar tanpa bantuan adalah karena janin
makrosomia atau distribusi lemak antara kepala, dada, bahu, dan perut bayi yang
merupakan faktor risiko utama untuk distosia bahu.
b. Pengalaman Penolong Persalinan
Sejak cara mengatasi yang aman dari distosia bahu melibatkan manuver spesifik
kandungan dan karena distosia bahu relatif jarang terjadi, akan terlihat praktisi yang
lebih berpengalaman memiliki hasil lebih baik dalam situasi ini. Namun data tidak
mendukung keyakinan ini. Acker (1988) melakukan penelitian tentang hubungan
antara pengalaman dokter dan kejadian distosia bahu. Dalam penelitiannya
dikemukakan bahwa jumlah Erb palsy yang dikarenakan distosia bahu tidak
bervariasi antara dokter ataupun dokter yang sedang menjalani pendidikan. Sebagian
besar dokter tidak mendapatkan keahlian dan kepercayaan diri untuk mengatasi
distosia bahu karena insidensi nya yang jarang.
c. Oksitosin dan Anestesi
Tidak terdapat korelasi independen antara penggunaan oksitosin ataupun anestesi
dengan kejadian distosia bahu. Oksitosin umumnya digunakan untuk meningkatkan
kekuatan kontraksi rahim. Sejauh bahwa oksitosin digunakan lebih sering pada ibu
dengan bayi makrosomia, mungkin memiliki korelasi sekunder dengan persalinan
distosia bahu. Tetapi tidak ada data yang menghubungkan oksitosin digunakan
dengan kejadian distosia bahu secara independen.
Demikian juga dengan anestesi, tidak ada laporan tentang peningkatan distosia bahu
dengan adanya tindakan anestesi pada persalinan.
E. Tanda Klinis
Tanda klinis terjadinya distosia bahu meliputi:
1. Tubuh bayi tidak muncul setelah ibu meneran dengan baik dan traksi yang cukup untuk
melahirkan tubuh setelah kepala bayi lahir
2. Turtle sign adalah ketika kepala bayi tiba-tiba tertarik kembali ke perineum ibu setelah
keluar dari vagina. Pipi bayi menonjol keluar, seperti seokor kura-kura yang menarik
kepala kembali ke cangkangnya. Peenarikan kepala bayi ini dikarenakan bahu depan bayi
terperangkap di tulang pubis ibu, sehingga mencegang lahirnya tubuh bayi.
F. Penatalaksanaan
Distosia bahu tidak dapat diramalkan, sehingga penolong persalinan harus mengetahui benar
prinsip-prinsip penatalaksanaan penyulit yang terkadang dapat sangat melumpuhkan ini.
Pengurangan interval waktu antara pelahiran kepala sampai pelahiran badan amat
penting untuk bertahan hidup. Usaha untuk melakukan traksi ringan pada awal pelahiran,
yang dibantu dengan gaya dorong ibu, amat dianjurkan. Traksi yang terlalu keras pada kepala
atau leher, atau rotasi tubuh berlebihan, dapat menyebabkan cedera serius pada bayi.
Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan episiotomi luas dan idealnya diberikan
analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya adalah membersihkan mulut dan hidung bayi.
Setelah menyelesaikan tahap-tahap ini, dapat diterapkan berbagai teknik untuk
membebaskan bahu depan dari posisinya yang terjepit di bawah simfisis pubis ibu.
1. Manuver Mazzanti
Penekanan suprapubik dilakukan oleh seorang asisten dan penolong tetap melakukan
traksi curam ke bawah untuk melahirkan bahu depan. Komplikasi yang dapat terjadi
adalah simfisiolisis.
Gbr 6. Penekanan
Suprapubik
2. Manuver McRobert
Manuver ini ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan dinamai sesuai nama William
A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan penggunaannya di UniversitasTexas di
Houston. Manuver ini terdiri atas mengangkat tungkai dari pijakan kaki pada kursi
obstetris dan memfleksikannya sejauh mungkin ke abdomen. Gherman dan rekan (2000)
menganalisa manuver McRoberts dengan pelvimetri radiologik. Mereka mendapati
bahwa prosedur yang menyebabkan pelurusan relatif sakrum terhadap vertebra
lumbal disertai dengan rotasi simfisis pubis ke arah kepala ibu yang menyertainya serta
pengurangan sudut kemiringan panggul. Meski manuver ini tidak memperbesar ukuran
panggul, rotasi panggul ke arah kepala cenderung membebaskan bahu depan yang
terjepit. Gonik dan rekan (1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif pada
model di laboratorium dan menemukan bahwa manuver ini mampu mengurangi
tekanan ekstraksi pada bahu janin. Jika digabungkan dengan manuver penekanan bahu
diperkirakan dapat mengatasi distosia bahu sampai dengan 50-60%.
4. Manuver Jacquemier
Penyusuran lengan belakang janin secara hati-hati hingga mencapai dada, yang diikuti
dengan pelahiran lengan tersebut. Cingulum pektorale kemudian diputar ke arah salah
satu diameter oblik panggul yang diikuti pelahiran bahu depan.
Gbr 9. Manuver
Jacquemier
5. Manuver Zavanelli
Manuver Zavanelli dilakukan dengan mengembalikan kepala ke dalam rongga panggul
dan kemudian melahirkan secara sesar. Bagian pertama dari manuver ini adalah
mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau oksiput posterior bila kepala janin
telah berputar dari posisi tersebut. Langkah kedua adalah memfleksikan kepala dan
secara perlahan mendorongnya masuk kembali ke vagina, yang diikuti dengan pelahiran
secara sesar. Terbutaline dapat diberikan untuk menghasilkan relaksasi uterus. Sandberg
(1999) kemudian meninjau 103 laporan kasus yang menerapkan manuver Zavanelli.
Manuver ini berhasil pada 91 persen kasus presentasi kepala dan pada semua kasus
terjepitnya kepala pada presentasi bokong. Cedera pada janin biasa terjadi pada
keadaan-keadaan sulit yang menerapkan manuver Zavanelli, terdapat delapan kasus
kematian neonatal, enam kasus lahir mati, dan 10 neonatus menderita kerusakan otak.
Ruptur uteri juga pernah dilaporkan.