Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasaldari bahasaYunani an-"tidak,
tanpa"dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah anestesi digunakan
pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.Anestesi umum adalah
tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan
bersifat pulih kembali (reversible).
Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan
relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dengan
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup
premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan. Metode anestesi umum dapat
dilakukan dengan 3 cara: antara lain secaara parenteral melalui intravena dan
intramuskular, perrektal (biasanya untuk anak-anak) dan inhalasi. Yang akan saya bahas
adalah mengenai anestesi umum intravena.
Anestesi umum intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot.Anestesi yang
ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat
segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup
lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat
memberikan efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara
tunggal.Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu
obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.
Anestesi umum intravena ini penting untuk kita ketahui karena selain dapat
digunakan dalam pembedahan dikamar operasi, juga dapat menenangkan pasien dalam
keadaan gawat darurat.Oleh karena itu sebagai dokter umum, sebaiknya kita mengetahu
tentang anestessi umum intravena.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama : Sang Made Wirawan
Umur : 45 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
BeratBadan : 50 kg
Alamat : Tampak siring, Gianyar
Agama : Hindu
Diagnosis pre operasi : Laserasi palpebra inferior ocular dextra + Skizofrenia
Hebefrenik
Jenis pembedahan : Repair palpebra
Jenis anestesi : General Anestesi-Intubasi endotrakea
Tanggal masuk : 13 Desember 2018
Tanggal Operasi : 14 Desember 2018
No.RekamMedis : 212188

2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama : luka robek pada kelopak mata kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien sadar datang diantar oleh Petugas Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali dan
keluarga ke IGD RSU Bangli dengan keluhan terdapat luka robek pada kelopak mata
kanan bawah.Keluhan dirasakan sejak ±30 menit sebelum masuk rumah sakit.Luka
terjadi setelah pasien bertengkar dengan teman sesama pasien RSJ, karena
memperebutkan rokok.Menurut petugas, pasien langsung dibawa ke RSU Bangli dan
tidak mendapatkan pengobatan sebelumnya.Keluhan lain seperti penurunan kesadaran
akibat pemukulan disangkal oleh petugas RSJ dan keluarga, mual, muntah, dan nyeri
kepala juga disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat Operasi (-)
- Riwayat Penggunaan zat anestesi (-)

2
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat TB paru (-)
- Riwayat Sakit Jantung (-)
- Pasien mengalami skizofrenia hebefrenik sejak 22 tahun yang lalu, dan saat ini
sedang dalam masa perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat Hipertensi : (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat TB Paru (-)
- Riwayat keluarga mengalami keluhan yang sama seperti pasien saat ini, disangkal
oleh keluarga
Riwayat Pengobatan
Pasien sedang dalam masa perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali, dan
mendapat pengobatan rutin stelosi 2x5mg dan injeksi sikzonoat 1x25mg setiap
tanggal 11
Riwayat sosial : merokok (+), alkohol (-), gigi lubang (+), gigi goyang (-)

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


B1 (Brain) : GCS tidak dapat dievaluasi, sesuai status psikiatri
B2 (Breath) :Vesikuler +/+, rhonci -/- wheezing -/-. RR : 18 x/menit,
Malampati tidak dapat dievaluasi, obstruksi jalan nafas (-).
B3 (Blood) : Tekanan Darah :120/80 mmHg, Nadi: 84x/menit, S1S2 tunggal
reguler, murmur (-), gallop (-), Tax : 36°C
B4 (Blader) : Urine Spontan
B5 (Bowel) : Distensi (-), Bising usus (+) normal
B6 (Bone) : Akral hangat, fraktur (-) Tiromental distance >3 jari, leher
panjang, gerakan leher bebas, gigi tidak maju, rahang tidak besar.
Lain-lain : VAS tidak dapat dievaluasi

3
Status lokalis :
Regio palpebra inferior ocular dextra
- Inspeksi : terdapat luka robek dengan ukuran 3cm x 1cm x 1cm, tepi tidak rata,
dengan dasar jaringan berwarna merah muda, perdarahan aktif (-). Terdapat massa
bertangkai dengan ukuran ± 2cm x 1cm, berbentuk bulat dengan warna merah
muda, permukaan licin.
- Palpasi : massa dengan konsistensi kenyal, permukaan licin.

STATUS PSIKIATRI
Pemeriksaan fisik
1. Status Interna
a. Status pasien
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Denyut nadi : 84x/menit
Laju respirasi :18x/menit
Suhu aksila : 36,0°C
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 160 cm
Indeks massa tubuh : 19,5 kg/cm2

b. Status generalis
Kepala : Normochepali
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+ isokor
THT : Kesan tenang
Leher : PKGB (-), pembesaran tiroid (-), deviasi trakea (-)
Toraks :
Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Pulmonal : Vesikuler +/+, wheezing (-), ronchi (-)
Abdomen : Bising usus (+) normal, distensi (-), nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Hangat (+), edema (-), sianosis (-)
2. Status neurologis
GCS : Tidak dapat dievaluasi
Meningeal sign : tidak ada
4
Motorik
Tenaga : Skor 5
Tonus : Normal
Trofik : tidak ada
Refleks fisiologis : (+)
Refleksp atologis : (-)
3. Status lokalis
Tidak ada
4. Status psikiatri
Kesan umum : Penampilan buruk, kontak verbal dan visual
buruk
Sensorium dan kognisi
Kesadaran : Apatis
Orientasi : Buruk terhadap waktu, orang, dan tempat
Daya ingat : Buruk
Berpikir abstrak : Buruk
Intelegensi : Sesuai tingkat pendidikan
Konsentrasi dan perhatian : Buruk
Proses pikir
Bentuk pikir : Non logis
Arus pikir : Non koheren
Isi pikir : Waham (-), ide-ide (-)
Mood / Afek : Baik
Persepsi
Halusinasi : tidak dapat dievaluasi
Ilusi : tidak dapat dievaluasi
Dorongan instingtual
Insomnia : (-)
Hipobulia : (+)
Raptus : (-)
Psikomotor : Normal
Tilikan : Derajat VI

5
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah Lengkap : tanggal 13Desember 2018 jam 14.04
• WBC : 9,8
• RBC : 5,10
• HGB : 13,3 g/dl
• HCT : 42,7%
• PLT : 264
• BT : 2’00”
• CT : 8’00”

2.5 KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka
didapatkan:
- Diagnosis pre operatif : Laserasi palpebra inferior ocular dextra + skizofrenia
hebefrenik
- Status operatif : ASA II, Mallampati tidak dapat dievaluasi
- Jenis operasi : Excici + Repair palpebra
- Jenis anestesi : General Anastesi Intubasi endotrakea

2.6 PENATALAKSANAAN
Pada pasien dengaan status fisik ASA II dilakukan tindakan anestesi dan diberikan
terapi anestesi yaitu :

a. Pramedikasi :
Analgetik : Ketorolac 0,5mg/KgBB  30 mg (IV)
Antiemetik : Ondancentron 0,05-0,1 mg/KgBB  4 mg (IV)
Ranitidine 1-2 mg/KgBB 50 mg (IV)
Pelumpuh otot : Atracurium 25mg
b. Induksi :
Fentanyl 1-2 µg/KgBB  100 µg (IV)
Propofol 2-2,5mg/KgBB200 mg (IV)
c. Maintenence : N2O : O2 : Sevofluran : 40: 60 : 2 vol%

6
d. Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring secara kontinue tentang keadaan pasien yaitu reaksi
pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi pernapasan dan
jantung.
Kardiovaskular : Nadi dan tekanan darah setiap 5 menit.
Respirasi : Inspeksi pernapasan & saturasi oksigen
Cairan : Monitoring input cairan

2.7 ANALGETIK POST OP


Paracetamol tablet 3x500mg setiap 8 jam

7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 PEMBAHASAN
Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan
dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi. Pasien
SMW45 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasiexcici + repair palpebra
pada tanggal 14 Desember 2018 dengan diagnosis pre operatifLaserasi palpebral inferior
ocular dextra + skizofrenia hebefrenik. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal
14Desember 2018. Dari anamnesis terdapat keluhanluka robek pada kelopak mata kanan
bawah, yang disertai dengan perdarahan aktif. Luka terjadi setelah pasien dipukul oleh
teman sesame pasien RSJ.Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah
120/80 mmHg; nadi 84x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36OC. Dari pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan tanggal 13Desember 2018 dengan hasil dalam batas
normal. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA II.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat
dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat- obat anastesi. Aspirasi isi
lambung, penyebab, akibat dan gejalanya dapat dibedakan oleh 3 bahan aspirat yaitu
berupa asam, partikel (sisa makanan) dan bakteri. Secara umum aspirasi dapat dicegah
dengan menjaga isi lambung agar tidak masuk ke esophagus dan faring, aspirat yang di
faring dijaga tidak masuk trakhea dan paru. Selain bahan aspirat, volume isi lambung
menentukan keparahan akibat aspirasi sehingga jumlah yang cairan masuk paru
diupayakan menjadi lebih sedikit. Timbulnya reaksi akibat aspirasi asam dapat terlihat
segera setelah kejadian atau gejala yang timbulnya lambat. Aspirasi asam lambung
terjadi 2 fase yaitu trauma pada jaringan dan reaksi keradangan. Dalam waktu 5 detik,
asam akan bereaksi dengan mukosa trakhea dan alveoli, dan dalam waktu 15 detik telah
terjadi netralisasi. Enam jam kemudian akan kehilangan lapisan sel superfisial yang
bersilia dan yang tidak bersilia. Regenerasi terjadi dalam waktu 3 hari, dan dalam waktu
7 hari terjadi regenerasi yang sempurna pada sel yang mengalami kerusakan. Sel alveolar
tipe II sangat peka terhadap asam hidroklorid dan mengalami kerusakan dalam waktu 4
jam setelah terjadinya aspirasi. Peningkatan lisophophosphatidyle choline yang cepat
8
dalam 4 jam setelah aspirasi asam mengakibatkan peningkatan permiabilitas alveolar dan
cairan paru (lung water). Peningkatan cairan paru mengakibatkan menurunkan
compliance paru,menurunkan kemampuan perfusi-ventilasi paru. Pada fase kedua,
ditandai dengan pelepasan sitokin sitokin inflamasi yag terangsang dengan adanya zat
asam seperti TNFα dan interleukin-8. Hal ini akan merangsang ekspresi sel adhesion
molecule L-selectin dan beta-2 integrins pada neutrofil, and intercellular adhesion
molecules (ICAM) pada endothel paru yang selanjutnya merangsang reaksi peradangan
(neutrophilic inflammatory response).
Akibatnya memicu reaksi peradangan yang menyeluruh yang memungkinan
terjadinya kegagalan kardiopulmoner. Aspirasi isi lambung secara bersamaan
menyebabkan terjadi fokus peradangan dan reaksi tubuh terhadap benda asing dengan
kerusakan jaringan secara menyeluruh akibat asam. Partikel dan asam lambung bekerja
sama secara sinergis menyebabkan kebocoran kapiler alveolar. Aspirasi partikel besar
dari isi lambung, akan menimbulkan gejala obstruksi jalan napas, dan dalam waktu
pendek dapat terjadi kematian pasien, oleh karena itu partikel tersebut harus segera
dikeluarkan, dan dilakukan oksigenasi dan ventilasi untuk menghindari hipoksia, dan
segera dilakukan intubasi untuk mencegah aspirasi selanjutnya. Isi lambung tidak steril
sehingga aspirasi yang terjadi dapat disertai bakteri. 60-100% terdiri dari kuman anaerob.
Gabungan kuman aerob dan anaerob sering dijumpai pada aspirasi pneumoni yang
terjadi di rumah sakit. Pseudomonas aeroginosa, Klebsiella dan Escheresia colli
merupakan kuman gram negatif yang banyak dijumpai sebagai penyebab pneumonia
nosokomial. Staphylococcus aureus merupakan kuman gram positif yang patogen.
Kuman gram negatif yang dijumpai pada pemakaian ventilator, 34% berasal dari aspirasi
isi lambung dan sekret orofaring, dan diduga merupakan penyebab kematian pneumonia
pasca bedah. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi.
Pemilihan teknik anestesi pada pasien adalah anastesi umum dengan pemasangan
intubasi endotrakhea. Alasan pemilihan teknik anestesi ini berdasarkan indikasi sebagai
berikut:
1) Lokasi pembedahan pada daerah kepala dan leher
2) Induksi dan pemeliharaan anestesi pada pembedahan singkat
3) Menambahkan efek hipnosis pada anestesi inhalasi dan anestesi regional
4) Menambahkan sedasi pada tindakan medik

9
Pada pasien ini, obat-obatan yang dipilih adalah sebagai berikut:
a. Premedikasi
- Analgesik : ketorolak injeksi 30 mg (IV)
Konsentrasi 30 mg/ml dalam dalam 1 Ampul 1 ml
Diberikan secara intravena.Dosis untuk bolus intravena harus diberikan
selama minimal 15 detik.Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV
maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai
dalam 1 hingga 2 jam.Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam.
Dosis awal yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 10–30 mg tiap 4
sampai 6 jam bila diperlukan dosis maks 90mg/hari, pada manula, gangguan
faal ginjal, dan BB <50kg dibatasi maks 60mg/hari. Efek pemberian obat ini
yaitu menghambat biosintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu
reseptor opioid di sistem saraf pusat dimana mekanisme kerjanya menghambat
enzim siklooksogenase (COX 1). Selain menghambat sintese prostaglandin,
juga menghambat tromboksan A2 sehingga memiliki efek anti inflamasi. Pada
pasien ini diberikan ketorolac injeksi 30 mg IV dengan tujuan untuk
mendapatkan efek analgesia yang terkandung dalam ketorolac sehingga dapat
mengurangi nyeri pada pasien.
- Antiemetik : ondancentron injeksi 4 mg (IV)
Konsentrasi 4 mg/2ml dalam 1 Ampul 2 ml, dosis 0,05-01 mg/kgBB
Ondansentron, sebagai anti emetik, suatu antagonis selektif 5-HT3,
menghambat serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme sentral dan perifer.
Mekanisme sentral dengan mempertinggi ambang rangsang muntah di
chemoreceptor trigger zone. Mekanisme perifer dengan menurunkan kepekaan
saraf vagus terminalis di visceral yang menghantar impuls eferen dari saluran
cerna ke pusat muntah.Onset 30 menit, dengan durasi 3 jam.
- Ranitidine injeksi 50 mg (IV)
Konsentrasi 50 mg/2 ml dalam 1 ampul 2 ml, dosis 1-2 mg/kgBB
Efek pada Gastrointestinal, ranitidine bekerja dengan menghambat
secara kompetitif reseptor histamin H2 menghambat kerja histamin secara
kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung.Dosis
intravena intermiten atau intramuskular pada dewasa adalah 50 mg setiap 6-8

10
jam.Jika perlu dosis dapat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi
pemberian, namun tidak boleh melebihi 400 mg perhari.

Pada pasien ini diberikan ondancentron 4 mg (IV) dan ranitidine injeksi 50 mg


(IV) untuk mendapatkan efek emetic sehingga pasien tidak merasakan mual
ataupun muntah saat dilakukan induksi operatif ataupun pasca operatif serta
dapat menimbulkan rasa nyaman, selain itu juga dapat mencegah agar tidak
terjadinya aspirasi ke paru-paru.
- Pelumpuh otot : atracurium 25mg (iv)
Konsentrasi 25mg/2,5ml dalam 1 ampul 2,5 ml, dosis 0,4-0,5 mg/kgBB
Atracurium merupakan obat pelumpuh otot-saraf non-depolarisasi dari
golongan benzylisoquinolinium bisquaternary dengan lama kerja sedang. Pada
ED95, 0.2 mg/kg bb atracurium memiliki mula kerja 3-5 menit dan durasi
kerja 20-35 menit.

Tempat kerja atracurium seperti halnya obat-obat pelumpuh otot-saraf


non depolarisasi yang lain adalah reseptor kolinergik prasinaps
danpascasinaps. Atracurium juga menyebabkan penghambatan otot-saraf
secara langsung dengan mempengaruhi aliran ion yang melalui kanal reseptor-
reseptor kolinergik nikotinik. Diperkirakan 82 % atracurium terikat dengan
plasma protein terutama albumin. Atracurium didesain untuk didegradasi
spontan in vivo (eliminasi Hoffman) pada temperatur tubuh dan pH normal.
Atracurium mengalami degradasi spontan non enzimatis pada temperatur
tubuh dan pH normal yang dikenal sebagai eliminasi Hoffman.Atracurium
didegradasi dengan eliminasi Hoffman (autolisis) dan denganhidrolisis ester,
sehingga tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasiendengan gangguan
11
ginjal atau hati.Asidosisdan hipotermia berat dapat menurunkanmetabolisme
obat, sehingga perlu penurunandosis.Efek samping utama atracurium adalah
hipotensi karena pelepasanhistamin.

Farmakodinamik
Farmakodinamik obat-obat pelumpuh otot ditentukan dengan mengukur
kecepatanonsetdan durasi blokade saraf-otot. Secara klinis, metode yang umum dipakai
untukmenentukan tipe,kecepatan onset, magnitudo, dan durasi blokade saraf-otot adalah
dengan mengamati ataumerekam respons otot skeletal yang ditimbulkan oleh stimulus
elektrikyang dikirim dari stimulator saraf perifer. Paling sering dipakai untuk menentukan
efekobat pelumpuh otot adalahkontraksi m.adductor pollicis (respons kedutan tunggal
sampai1 Hz) setelah stimulasi n.ulnaris.Potensi setiap obat dapat ditentukan dengan
mengonstruksi kurva dosis-responsyangmendeskripsikan hubungan antara depresi kedutan
dan dosis (Gambar 2). Dosisefektif 50 (ED50)adalah dosis median setara 50% depresi
kedutan yang telah dicapai. Nilaiyang lebih relevansecara klinis dan lebih sering dipakai
adalah ED95 setara blok 95%.Sebagai contoh,ED95 vecuronium adalah 0,05 mg/kgBB
yang berarti setengah dari pasienakan mencapaiminimal 95% blok kedutan tunggal
(dibandingkan dengan sebelumpemberian vecuronium)dengan dosis tersebut, dan setengah
dari pasien akan mencapaikurang dari 95% blok.ED95 rocuronium adalah 0,3 mg/KgBB.
Oleh karena itu, potensirocuronium adalah seperenamdari potensi vecuronium karena
dibutuhkan enam kali lipatdosis rocuronium untuk menghasilkanefek yang sama. Jika tidak
disebutkan lain, ED95dianggap mewakili potensi obat-obat pelumpuhotot bersamaan
dengan pemberiananestetik N2O-barbiturat-opioid. Bila disertai dengan anestetik volatil,
ED95 menurun jauhdibandingkan dengan keadaan tanpa obat-obat anestetik ini.

12
Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang kecil dan cepat
(mata,digiti)sebelum otot abdomen (diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah pemberian
obatpelumpuhotot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang intens pada otot-
ototlaring (pita suara) daripada otot perifer (m.adductor pollicis). Efek sparing obat
pelumpuhotot nondepolarisasi padaotot-otot laring mungkin merefleksikan peran tipe
serabut otot skeletal. Otot yang berperandalam penutupan glotis (m.thyroarytenoid) adalah
tipekontraksi cepat, di mana m.adductorpollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut
lambat.Konsentrasi reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga
dibutuhkanjumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe cepat dibanding otot
tipelambat. Semakin cepat onset kerja pada otot pita suara daripada m.adductor
pollicissemakin cepat pula ekuilibrium konsentrasi plasmadan konsentrasi padaotot-otot
jalannapas saat dibandingkan dengan m.adductor pollicis. Dengan obat
pelumpuhototnondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat, periode paralisis otot laring
adalah cepatdanhilang sebelum mencapai efek maksimum pada m.adductor pollicis. Hal
penting yangharusdiperhatikan adalah dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan
tingkat tertentublokadediafragma adalah dua kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk
menghasilkanblokade yang samadari m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring
m.adductorpollicis adalah indikatorrelaksasi otot laring yang jelek (m.cricothyroid)
sedangkanstimulasi saraf fasial dan monitoringrespons m.orbicularis oculi lebih
merefleksikan onsetblokade saraf-otot diafragma. Oleh karenaitu, m.orbicularis oculi lebih
disukai dari padam.adductor pollicis sebagai indikator blokade ototlaring.
13
Farmakokinetik
Obat pelumpuh otot adalah kelompok amonium kuartener yang
merupakansenyawa larutdalam air yang mudah terionisasi pada pH fisiologis, dan memiliki
kelarutanyang terbatas dalam lipid.Volume distribusi obat-obat ini terbatas dan sama
denganvolume cairan ekstraseluler (kira-kira 200 mL/kg).Sebagai tambahan, obat pelumpuh
otottidak dapat dengan mudah melewatisawar membran lipid seperti sawar darah otak,
epiteltubulus renal, epitel gastrointestinal, atauplasenta.Oleh karena itu, obat pelumpuh
otottidak dapat mempengaruhi sistem saraf pusat,reabsorpsinya di tubulus renal
minimal,absorpsi oral yang tidak efektif dan pemberian pada ibuhamil yang tidak
mempengaruhifetus.Redistribusi obat pelumpuh otot nondepolarisasi jugamemainkan peran
dalamfarmakokinetik obat-obat ini.Klirens plasma, volume distribusi, dan waktu paruh
eliminasi obat pelumpuh ototdapat dipengaruhi oleh usia, anestesi volatil, dan penyakit hati
atau ginjal.Eliminasi renal danhepatik dibantu oleh fraksi pemberian obat yang besar karena
sifatnya yang mudahmengalamiionisasi sehingga mempertahankan konsentrasi plasma obat
yang tinggi danjuga mencegahreabsorpsi renal obat yang dieksresi.Penyakit ginjal sangat
mempengaruhifarmakokinetik obatpelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama.Obat
pelumpuh otot tidakterlalu kuat terikat padaprotein plasma (sampai 50%) dan tampaknya
bila ada perubahanikatan protein tidak akanmenimbulkan efek yang signifikan pada eksresi
ginjal obatpelumpuh otot.Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung
setelah pemberiancepatintravena.Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma
dicirikan denganpenurunan inisialcepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih
lambat(klirens).Meskipun terdapatperubahan distribusi dalam aliran darah, anestesi
inhalasimemiliki sedikit efek atau tidak samasekali pada farmakokinetik obat pelumpuh
otot.Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatile mencerminkan aksi
farmakodinamik,seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasmaobat pelumpuh
otot yangdibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu denganadanya
anestesivolatil.Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein,
dehidrasi,atauperdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang
lebihtinggidan potensi nyata akumulasi obat.Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot
tidak dapatdihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksicepat
intravena.

b. Induksi

14
- Fentanyl injeksi 100 mcg (IV)
Konsentrasi 0,05 mg/ml dalam 1 ampul 2 ml, dosis 12mcg/kgBB
Fentanyl, golongan obat opioid analgetik poten yang terutama bekerja
sentral pada sistem saraf pusat, sehingga mengakibatkan meningkatnya
ambang batas nyeri, mengurangi persepsi nyeri menghambat serabut saraf
nyeri ascending, menyebabkan depresi nafas dan sedasi.Pada dosis lazim
kesadaran pasien menurun dan khasiat analgetiknya yang kuat.Onset 30 – 120
detik dengan durasi 30 – 60 menit. Dosis 1 – 2 mcg/kgBB IV. Tujuan dari
pemberian fentanyl adalah untuk meningkatkan kualitas analgesia
intraoperative dan dapat menghasilkan onset sangat cepat dari analgesia durasi
pendek.
- Propofol injeksi 100 mg (IV)
Konsentrasi 10 mg/ml dalam 1 ampul berisi 20 ml, dosis pemberian 2-
2,5mg/kg/BB.
Propofol dianggap memiliki efek sedative hipnotik melalui
interaksinya dengan reseptor GABA dengan cara meningkatkan GABA. Pada
pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB), pemulihan kesadaran berlangsung
cepat, pasien akan bangun 4-5 menit tanpa disertai efek samping. Khasiat
farmakologinya adalah hipnotik murni, tidak mempunyai efek analgetik
maupun relaksasi otot. Walaupun terjadi penurunan tonus otot rangka, hal ini
disebabkan oleh efek sentralnya Induksi anestesia 2,0-2,5 mg/kgBB. Pada bayi
dan lansia dosis disesuaikan.Pasien tua memerlukan dosis induksi lebih rendah
25% - 50% dari dosis lazim..
Pada pasien ini diberikan maintanance O2 : N2O : sevofluran = 40 : 60 :
2vol% tujuannya yaitu untuk pemakaian salah satu kombinasi obat seperti
tersebut diatas secara inhalasi dalam kasus ini yaitu face mask dengan
komponen trias anestesia yang dipenuhinya adalah hipnotik analgesia dan
relaksasi otot.
- Terapi analgetik post operasi pada pasien ini paracetamol tablet 3x500 mg.
Pemberian analgetik post operasi diberikan atas dasar manipulasi operasi yang
ringan dan tidak menimbulkan nyeri yang berat sehinga pemberian
paracetamol cukup untuk mengatasi nyeri pasca operatif.Paracetamolbekerja
di jalur siklooksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang kemudian
15
menghambat sintesis dari prostaglandin dan menghasilkan efek
analgesia.Paracetamol bekerja dengan mengurangi produksi prostaglandins
dengan mengganggu enzim cyclooksigenase (COX). Parasetamol menghambat
kerja COX pada sistem syaraf pusat yang tidak efektif dan sel edothelial dan
bukan pada sel kekebalan dengan peroksida tinggi. Kemampuan menghambat
kerja enzim COX yang dihasilkan otak inilah yang membuat paracetamol
dapat mengurangi rasa sakit.

c. Anestesi umum intravena


Anestesi umum intravena adalah anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Tahapan
tindakan yang dilakukan untuk anestesi umum intravena antara lain 1) penilaian dan
persiapan pra anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, klasifikasi status fisik, masukan oral, dan premedikasi. 2) induksi
obat anestesi intravena beserta pemeliharaan dan 3) pemulihan. Obat anestesi
intravena setelah berada di dalam vena, obat-obat ini akan diedarkan ke seluruh
jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik. Obat anestesi yang ideal memiliki sifat: 1)
hipnotik dengan onset cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera
sesudah pemberian dihentikan; 2) analgetik; 3) amnesia; 4) memiliki antagonis; 5)
cepat dieliminasi; 6) depresi kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau minimal;
7) farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap disfungsi organ.
Indikasi anestesi intravena antara lain untuk:
1. Induksi anesthesia
2. Induksi dan pemeliharaan anestesi pada pembedahan singkat
3. Menambahkan efek hipnosis pada anestesi inhalasi dan anestesi regional
4. Menambahkan sedasi pada tindakan medik

Tingkat pemberian obat tiap individu sangat bervariasi dalam respon mereka
terhadap dosis obat yang diberikan atau konsentrasi, dan oleh karena itu penting
untuk titrasi untuk tingkat obat yang memadai untuk setiap pasien. Obat konsentrasi
yang diperlukan untuk memberikan anestesi yang memadai juga bervariasi sesuai
dengan jenis operasi (misalnya, permukaan bedah dibandingkan pembedahan perut
bagian atas). Akhir pembedahan membutuhkan kadar obat yang lebih rendah, dan
16
karenanya titrasi sering melibatkan penurunan bijaksana laju infus menjelang akhir
operasi untuk memfasilitasi pemulihan yang cepat.
Setelah dosis muatan, tingkat infus awalnya tinggi untuk menjelaskan
redistribusi harus digunakan dan kemudian dititrasi dengan tingkat infus terendah
yang akanmempertahankan anestesi yang memadai atau sedasi. Bila menggunakan
opiat sebagai bagian dari teknik nitrous-narkotika atau anestesi jantung, skema
dosis yang tercantum di bawah anestesi yang digunakan. Ketika candu tersebut
digabungkan sebagai bagian dari anestesi seimbang, dosis yang tercantum untuk
analgesia diperlukan.
Jika laju infus terbukti tidak mencukupi untuk mempertahankan anestesi
yang memadai, baik suntikan tambahan (bolus) dosis dan peningkatan infus
diperlukan untuk secara cepat untuk meningkatkan konsentrasi obat. Berbagai
intervensi juga membutuhkan konsentrasi obat yang lebih besar, biasanya untuk
periode singkat (misalnya, laringoskopi, intubasi endotrakeal, sayatan kulit) Oleh
karena itu, skema infus harus disesuaikan untuk memberikan konsentrasi
puncaknya selama periode singkat stimulasi intens. Tingkat obat yang memadai
untuk intubasi endotrakeal sering dicapai dengan dosis pemberian awal, tapi untuk
prosedur seperti sayatan kulit, dosis bolus lanjut mungkin diperlukan.

3.2 PENILAIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESI


Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan
pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar.
Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
3.2.1 Penilaian pra bedah
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya
dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya
menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang,
17
misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan,
suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua system organ tubuh pasien.

c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan)
dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG
dan foto thoraks.

d. Klasifikasi status fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko
anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.
 Kelas I : Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
 Kelas II : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
ringan atau sedang.
 Kelas III : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
sedang atau berat, yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak
mengancam kehidupan.
 Kelas IV : Pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik sedang atau
berat yang secara langsusng mengancam kehidupannya.

18
 Kelas V : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sisetmik berat
yang tidak mungkin ditolong, dioperasipun dalam 24 jam pasien akan
meninggal.

e. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selamaperiode
tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam
dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebeluminduksi anestesia.

f. Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
19
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis
6. Mengurangi rasa sakit.

Obat-obatan yang sering digunakan yaitu:


 Obat Antikholinergik
1. Sulfas Atropin
Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat
menekan aktivitas kholinergik atau parasimpatis.
Mekanisme kerja
Menghambat mekanisme kerja asetil kolin pada organ yang
diinervasi oleh serabut saraf otonom para simpatis atau serabut saraf yang
mempunyai neurotransmitter asetilkholin.
Obat ini juga menghambat muskarinik secara kompetitif yang
ditimbulkan oleh asetil kholin pada sel efektor organ terutama pada
kelenjar eksokrin, otot polos dan otot jantung.
Cara pemberian dan dosis
 Intramuskular, dosis 0,01 mg/kgBB, diberikan 30-45 menit sebelum
induksi.
 Intravena, dengan dosis 0,005 mg/kgBB, diberikan 10-15 menit
sebelum induksi.
 Obat Sedative
1. Midazolam
Mekanisme kerja:

Sebagai agonis benzodiazepin yang terikat dengan spesifitas yang


tinggi pada reseptor benzodiazepin, sehingga mempertinggi daya hambat
neurotransmiter susunan saraf pusat diresptor GABA sentral. Mempunyai

20
efek sedasi dan anticemas yang bekerja pada sistem limbik dan pada
ARAS serta bisa menimbulkan amnesia anterograd.

Cara pemberian dan dosis :

Premedikasi, diberikan intramuskular dengan dosis 0,2 mg/kgBB.


Pada dosis intravena diberikan 2 mg disusul setelah 2 menit meningkatkan
0,5-1 mg bila sedasi tidak memadai.
 Obat anti emetik
1. Ondancentron
Mekanisme Kerja :
Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin (5-
HT3) merupakan obat yang selektif menghambat ikatan serotonin dan
reseptor 5-HT3. Obat-obat anestesi akan menyebabkan pelepasan
serotonin dari sel-sel mukosa enterochromafin dan dengan melalui
lintasan yang melibatkan 5-HT3 dapat merangsang area postrema
menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin akan diikat reseptor 5-HT3
memacu aferen vagus yang akan mengaktifkan refleks muntah. Serotonin
juga dilepaskan akibat manipulasi pembedahan atau iritasi usus yang
merangsang distensi gastrointestinal
Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler sampai batas 3
mg/kgBB masih aman, clearance ondansetron pada wanita dan orang tua
lebih lambat dan bioavailabilitasnya 60%, ikatan dengan protein 70-76%,
metabolisme di hepar, diekskresi melalui ginjal dan waktu paruh 3,5-5,5
jam. Mula kerja kurang dari 30 menit, lama aksi 6-12 jam.
Cara pemberian dan dosis :
Ondansetron biasa diberikan secara oral dan intravena atau
intramuskuler. Awal kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara perlahan
melalui intravena atau infus untuk 15 menit sebelum tindakan operasi.
Dosis premedikasi : 4-8 mg Iv
2. Ranitidin
Mekanisme Kerja
Ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible.
Reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung sehingga pada
21
pemberian ranitidine sekresi asam lambung dihambat, Penurunan sekresi
asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin
menurun.

Cara pemberian dan dosis :

Dosis intravena intermiten atau intramuskular pada dewasa adalah 50


mg setiap 6-8 jam.Jika perlu dosis dapat dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan frekuensi pemberian, namun tidak boleh melebihi 400 mg
perhari.
 Obat Analgetik
1. Ketorolak
Mekanisme Kerja
Ketorolak menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya
menghambat enzim siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain
menghambat sintese prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2.
ketorolak tromethamine memberikan efek anti inflamasi dengan
menghambat pelekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak,
menstabilkan membrane lisosom dan menghambat migrasi leukosit
polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan.

Gambar 2.1 Mekanisme Kerja NSAID

22
Cara pemberian dan dosis :
Untuk injeksi intravena :
 Pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 30 mg Ketorolak /dosis.
 Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal ginjal atau
berat badannya kurang dari 50 kg, diberikan dosis 15 mg/dosis.
Pemberian ketorolac tromethamine baik secara injeksi maupun oral
maksimal:
 Pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 120 mg/hari. Bila
diberikan dengan injeksi intravena, maka diberikan setiap 6 jam sekali.
 Pasien dengan umur >65 tahun maksimal 60 mg/hari.

3.3. OBAT-OBAT INDUKSI ANESTESI INTRAVENA


Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat yang
terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat, eugenol, dan
steroid; 2.) obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi untuk mendapat
keadaan seperti pada neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi
(contohnya: ketamin), sedative (contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat
anesthesia intravena, hanya beberapa saja yang sering digunakan, yakni golongan:
barbiturat, ketamin, dan diazepam.

3.3.1 PROPOFOL
Propofol adalah salah satu dari kelompok
derivat fenol yang banyak digunakan sebagai
anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam
praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat
induksi. Propofol dikemas dalam cairan emulsi
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg).
Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronat
dan sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang diekskresikan oleh
ginjal. Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak berubah dalam urin, dan hanya
2% diekskresikandalam tinja.
Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam.Dosis induksi cepat menimbulkan
sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan
23
redistribusi dari sistem saraf pusat.Sebagian besar propofol terikat dengan albumin
(96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang
dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti
bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini
menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat.
Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh
glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang
kemudian diekskresi melalui urin.Eliminasi propofol sensitif terhadap perubahan
aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh ikatan protein ataupun aktivitas
enzim.Propofol diketahui menghambat metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh
karena itu dapat menyebabkan perlambatan klirens dan durasi yang memanjang pada
pemberian bersama dengan fentanyl, alfentanil dan propanolol.
Farmakodinamik.Sistem saraf pusat.Dosis induksi menyebabkan pasien
kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP,
dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek
analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran
berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat
thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan
konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan
intraokular sebanyak 35%.
Sistem kardiovaskuler. Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi
pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan
oleh efek dari propofol yang menurunkan resistensi vaskular sistemik sebanyak
30%.Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut
nadi. Pernafasan spontan (dibanding nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus
(dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi jantung.
Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung.
Sistem pernafasan.Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian propofol
dibanding obat intravena lainnya.Umumnya berlangsung selama 30 detik, namun
dapat memanjang dengan pemberian opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi
dengan propofol.Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal.Efek ini
biasanya bersifat sementara namun dapat memanjang pada penggunaan dosis yang

24
melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan bersamaan dengan respiratory
depressants.
Dosis.Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia
umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. (4)Dosis
yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55
tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau
dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada
pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan
untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1
mg/menit/kgBB.Dosis yang dianjurkan yang dapat menimbulkan sedasi adalah 0.1-
0.15 mg/kgBB sebagai dosis inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada
pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075
mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA
III/IV: 0.02-0.06 mg/menit/kgBB.
Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur singkat, hasil
dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan pengembalian sebelumnya fungsi
psikomotor dibandingkan dengan thiopental atau methohexital, terlepas dari anestesi
yang digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan muntah saat
propofol digunakan untuk induksi juga nyata kurang dari setelah penggunaan anestesi
IV lainnya, mungkin karena sifat antiemetik propofol. Propofol mendukung
perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan
hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah
kontaminasi dari bakteri.
Efek samping.Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena.Biasanya
terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri lebih sedikit
didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa antecubiti..Bradikardi
serta hipotensi kadang didapatkan setelah penyuntikan propofol, namun dapat diatasi
dengan penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping
eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang dihubungkan
dengan pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa pemulihan.Resiko konvulsi
dan onset yang melambat ditemujan pada pemberian propofol pada pasien epilepsi.

25
3.3.2 TIOPENTAL
Tiopental (pentotal,
tiopenton) dikemas dalam
bentuk tepung atau bubuk
berwarna kuning, berbau
belerang, biasanya dalam
ampul 500 mg atau 1000 mg.
Sebelum digunakan dilarutkan
dalam akuades steril sampai kepekatan 2.5% (1 ml= 25 mg). Thiopental hanya boleh
digunakan untuk intravena. Penyuntikan dilakukan perlahan-lahan dihabiskan dalam
30-60 detik.Keuntungan thiopental antara lain: 1.) Induksi mudah dan cepat; 2.) tidak
ada delirium; 3.) kesadaran cepat pulih; 4.) tidak ada iritasi mukosa jalan nafas.
Sedangkan kekurangan dari penggunaan thiopental antara lain: 1.) depresi pernafasan;
2.) depresi kardiovaskular; 3.) kecendurangan tejradinya spasme laring; 4.) relaksasi
otot perut kurang; 5.) tidak memiliki efek analgesik.
Farmakokinetik.Waktu paruh thiopental berkisar antara 3-6 jam dengan
onset berkisar antara 30-60 detik dan durasi kerja obat 20-30 menit.Thiopental di
dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam bentuk bebas, sehingga
pada pasien dengan albumin rendah, dosis rendah harus dikurangi. Bergantung dosis
dan kecepatan suntikan, thiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan
sedasi, hipnotik, anesthesia, atau depresi nafas. .
Metabolisme thiopental terutama terjadi di hepar dengan sebagian kecil
thiopental keluar lewat urin tanpa mengalami perubahan. 10-15% thiopental dalam
tubuh akan dimetabolisme tiap jam. Pulih sadar yang cepat setelah thiopental
disebabkan oleh pemecahan dalam hepar yang cepat. Dilusi dalam darah dan
redistribusi ke jaringan tubuh yang lain. Oleh karena itu thiopental termasuk dalam
obat dengan daya kerja sangat singkat (ultra short acting barbiturate) Thiopental
dalam jumlah kecil masih dapat ditemukan dalam darah 24 jam setelah pemberian.
Oleh karena itu dapat membahayakan bagi pasien one day care yang masih harus
mengendarai mobil setelah sadar dari efek thiopental.
Farmakodinamik.Sistem saraf pusat. Seperti barbiturat yang lain, thiopental
menimbulkan sedasi, hipnosis, atau tertidur dan depresi pernafasan tergantung dosis
dan kecepatan pemberian. Efek analgetik sedikit dan terhadap SSP terlihat adanya
26
depresi dan kesadarannya menurun secara progresif.Kontak dengan lingkungan,
gerakan-gerakan, dan kemampuan menjawab pertanyaan pelan-pelan menghilang.
Kecepatan kerja dari thiopental bergantung pada penetrasi obat ke SSP yang
dipengaruhi oleh kadar obat dalam plasma dan ikatannya dengan protein plasma.
Akibat perbedaan konsentrasi, konsentrasi obat yang lebih tinggi di plasma akan
menyebabkan difusi ke SSP dalam jumlah besar. 70% thiopental terikat albumin,
sedangkan hanya thiopental bebas yang dapat menembus blood brain barrier karena
itu ikatan dengan protein plasma dan kecepatan onset obat berbanding
terbalik.Tiopental menurukan kebutuhan oksigen otak sehingga perfusi ke otak juga
berkurang yang ditandai dengan peningkatan resistensi vaskular otak, penurunan
aliran darah ke otak dan penurunan tekanan intrakranial.
Sistem kardiovaskuler.Thiopental mendepresi pusat vasomotor dan
kontraktilitas miokard yang mengakibatkan vasodilatasi, sehingga dapat menurunkan
curah jantung dan tekanan darah.Efek ini tergantung dosis dan lebih nyata pada pasien
dengan penyakit kardiovaskular atau yang menerima pengobatan yang mempengaruhi
simpatis. .
Sistem pernafasan. Efek utama ialah depresi pernafasan karena efek langsung
ke pusat pernafasan dan penurunan sensitivitas terhadap kadar CO2 sehingga PCO2
akan meningkat dan pH darah akan naik. Efek ini akan bertambah jelas apabila
sebelumnya diberikan opioid atau obat depresan yang lain.
Dosis.Dosis yang dianjurkan untuk induksi yang lambat 2-6mg/kgBB,
sedangkan untuk induksi yang cepat 3-4 mg/kgBB dibagi dalam 2-4 dosis. Untuk
pasien bedah saraf dengan peningkatan tekanan intracranial 1.5-3.5 mg/kgBB dengan
ventilator mekanik yang mendukung dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
dengan GFR kurang dari 10ml/menit dapat diberikan 75% dari dosis normal dengan
interval yang sama dengan dosis normal.
Tiopental dapat digunakan untuk: 1.) induksi pada anestesi umum; 2.) operasi
atau tindakan yang singkat, contohnya: reposisi fraktur, insisi, jahit luka, tindakan
ginekologi keci seperti curettage; 3.) sedasi pada analgesi regional; 4.) mengatasi
kejang-kejang pada eklampsia, tetanus, epilepsi, dan lain-lain.
Efek samping.Larutan ini sangat alkalis dengan PH 10-11, sehingga suntikan
keluar vena akan menimbulkan rasa sakit, bengkak, kemerah-merahan, dapat terjadi
nekrosis. Untuk menghindari efek ini sebaiknya memakai larutan
27
2.5%.sedangkaninjeksi intraarteri akan menyebabkan rasa terbakar, terjadi spasme
arteri dan kemungkinan thrombosis. .

3.3.3 KETAMIN
Ketamin adalah suatu “rapid acting non-barbiturate general
anesthetic”.Pertama kali
diperkenalkan oleh Domino
and Carsen pada tahun 1965.
Ketamin kurang
digemari untuk induksi
anesthesia karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat
menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.Blok terhadap
reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik,
sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum
dan juga efek analgesik. .
Farmakokinetik.Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat
dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena adalah 30
detik sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan waktu 3-4 menit,
tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih singkat pada pemberian intravena (5-10
menit) dibandingkan pemberian intramuskular (12-25 menit). .
Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum
endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek hipnotis namun
30% lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian mengalami konjugasi oleh
glukoronida menjadi senyawa larut air untuk selanjutnya diekskresikan melalui urin.
Farmakodinamik Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek analgetik yang
kuat akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia disosiasi.
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami
perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata
terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai
gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah,
menelan, tremor dan kejang.Pada pasien yang diberikan ketamin juga mengalami
amnesia anterograde.Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda
28
khas setelah pemberian Ketamin.Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi
pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi.Selain itu, ketamin
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan
intrakranial..
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan
saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya.Kontak penuh
dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan tanda-
tanda sadar sampai 1 jam.Sering mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi tempat dan
waktu, halusinasi dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali. .
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun
diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai
maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit
kemudian. Denyut jantung juga meningkat.Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf
simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor.Efek ini dapat dicegah dengan
pemberian premedikasi opioid, hiosine.Namun aritmia jarang terjadi. .
Sistem pernafasan.Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara,
kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai
premedikasi.Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap
efek konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan untuk
mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang masih ringan.
Dosis.Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-
4mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan melalui
infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-anak terdapat
banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB
sedangkan menurut Harriet Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan
setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan.Untuk sedasi dan analgesik dosis yang
dianjurkan adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang
dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB intravena.Ketamin dapat diberikan bersama
dengan diazepam atau midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk
mengurangi salvias dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB.
Indikasi.Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi
pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit,
misalnya pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic
29
pada bedah saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi;
4.) pada pasien dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi
vital; 5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat dimana alat-alat anestesi tidak
ada; 7.) pasien asma. .
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien
hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg; 2.)
Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis.Penggunaan
ketamin juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-
operasi pada daerah faring karena reflex masih baik.
Efek samping.Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk
sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian.
Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau
benzodiazepine sebagai premedikasi. .

3.4PEMELIHARAAN ANESTESI (MAINTAINANCE)


Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi
atau dengan campuran intravena inhalasi.Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi
yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.Rumatan
intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis
tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan
30
opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.Rumatan
inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran
2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.

3.5 TEKNIK ANESTESI UMUM INTRAVENA


Teknik Anestesi Umum Intravena.:
1. Persiapan pasien
2. Persiapan alat (STATICS)
3. Persiapan obat: (premedikasi, induksi, maintaince)
4. Berikan premedikasi
5. Induksi

Persiapan Pasien
1. Anamnesa
a. Riwayat penyakit sistemik yang diderita dahulu dan sekarang, meliputi: 1)
Respirasi, riwayat penyakit saluran napas atas, asma, batuk, influenza, 2)
Kardiovaskular,riwayat penyakit jantung, hipertensi, nyeri dada, dll. 3) Sistem
endokrin : Diabetes Melitus, Hepatitis.
b. Riwayat penyakit keluarga, yaitu adanya anggota keluarga yang menderita
penyakit sistemik seperti TBC, Diabetes Melitus, Asthma.
c. Riwayat pengobatan atau pemakaian obat-obatan yang ada hubungannya
interaksi dengan obat anestesi yang digunakan seperti obat anti hipertensi, anti
koagulan, anti konvulsan dan anti diabetikum.
d. Riwayat alergi dan reaksi obat.
e. Riwayat anestesi dan pembedahan
f. Riwayat kebiasaan; suka berolahraga, peminum alkohol, pemakai narkoba.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
atau tidak, leher pendek dan kaku yang bisa menyulitkan intubasi. Dan

31
dilanjutkan ke pemeriksaan bagian lain dari inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
3. Pemeriksaan Laboratorium: darah, urinalisa, ekg, foto rontgen thorax, usg, dll.
4. Klasifikasi status penderita dengan ASA.
5. Kesimpulan
6. Instruksi: pasang IV line, pemeriksaan penunjang, dan puasa.

Persiapan Alat
Persiapan alat terdiri dari STATICS : Scope : laringoskop yang terdiri dari
blade dan lampu, stetoskop; Tube : ETT yang nonkingking tiga nomor; Airway :
pipaoroparing dan pipa nasoparing; Tape : plaster untuk fiksasi ETT; Intraducer :
mandrin; Connector : penghubung pipa dengan mesin anestesi; Suction. Selain yang
tersebut di atas, terdapat alat anestesi dan monitor sebagai perangkat utama. Disiapkan
pula trakeotomi set bilamana terjadi keadaan darurat.

Persiapan obat
1. Premedikasi.
o Analgesik: fentanyl/ petidin/morfin
o Sedatif: midazolam,/ diazepam/ dehydrobenzodiazepin
o Hipnotik: ketamin/ pentotal
o Antikolinergik: SA
o Anti emetik: ondancetron/ ranitidin,
2. Induksi: propofol/ pentotal/ ketamin

Pemberian premedikasi
Premedikasi dapat dilakukan diruangan maupun di ruang operasi, melalui oral (efek
tercapai 1-2jam), Intramuskular (efek tercapai 30-40menit), dan Intravena (efek
tercapai 2-3menit)
Premedikasi digunakan sesuai tujuan;
1) Untuk menenangkan pasien (sedasi) berikan Midazolam (0,1 mg/KgBB) /
Diazepam (0,1 mg/KgBB) / DBP 0,1 mg/KgBB.
2) Untuk mengurangi nyeri (analgetik) digunakan fentanyl 1-3 mcg/KgBB /
petidin 1-2 mg/KgBB / morfin 0,1 mg/KgBB
32
3) Bila tensinya meningkat dapat diberikan Clonidin HCl (Catapress)
4) Bila mual muntah dapat diberikan ondancentron/ ranitidin/ simetidin.

Induksi
Induksi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar.
Induksi intravena adalah induksi yg suntikan ke intravena, disuntikan perlah-lahan
dengan kecepatan antara 30-60 detik.Obat pilihannya.
Propofol (2-2,5 mg/KgBB) / ketamin (1-2 mg/KgBB) / pentotal (4-6mg/KgBB) /
golongan benzodiasepin; diazepam (0,05-0,2 mg/KgBB) / midazolam (0,15-0,3
mg/KgBB). Cek refleks bulu mata untuk penilaian adekuat obat tersebut.Kemudian
berikan oksigen. Untuk dosis pemeliharaan dapat diberikan 1/2-1/3 dari dosis induksi,
dapat pula dikombinasi dengan gas anestesi, seperti N20 atau dengan obat anestesi
inhalasi isofluran, enfluran, dan juga sevofluran. Dengan perbandingan 30:70 / 50:50 /
3:2.

33
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Anestesi umum intravena adalah anestesi yang diberikan melalui jalur intravena,
baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Tahapan tindakan yang
dilakukan untuk anestesi umum intravena antara lain 1) penilaian dan persiapan pra
anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, klasifikasi
status fisik, masukan oral, dan premedikasi. 2) induksi obat anestesi intravena beserta
pemeliharaan dan 3) pemulihan.
Obat anestesi intravena setelah berada di dalam vena, obat-obat ini akan diedarkan
ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik. Obat anestesi yang ideal memiliki
sifat: 1) hipnotik dengan onset cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat
segera sesudah pemberian dihentikan; 2) analgetik; 3) amnesia; 4) memiliki antagonis; 5)
cepat dieliminasi; 6) depresi kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau minimal; 7)
farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap disfungsi organ.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan,
tahun 2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012;
210-218.
2. Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71
3. Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan,
Sp.An.Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47, 81
4. Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for
Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208
5. Miller, Ronald D. MD, et. al. Miller’s anesthesia. Elseveir 2010. CDROOM.
Accessed on 17Juli 2018.
6. Fentanyl. Available at: http://www.webmd.com/pain-management/fentanyl. Accessed
on 17Juli 2018.
7. Propofol. Available at: http://reference.medscape.com/drug/diprivan-propofol-
343100#0. Accessed on 17Juli 2018.
8. Sandham J. Total Intravena Anesthesia. May 2009. Available at
http://www.ebme.co.uk/arts/tiva/index.php. accessed on 14Desember 2018.
9. Hong LY, et al. Predictive performance of ‘Diprifusor’ TCI system in patients
during upper abdominal surgery under propofol/fentanyl anesthesia.Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1390758/pdf/JZUSB06-
0043.pdf.accessed on 14Desember 2018.

35

Anda mungkin juga menyukai