Bangsa/ras : Pada ras kulit hitam insidens bentuk tuberkuloid lebih tinggi. Pada kulit
putih lebih cenderung tipe lepromatosa.
Sosioekonomi : Banyak pada negara-negara berkembang dan golongan sosioekonomi
rendah.
Kebersihan : Lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan.
Turunan : Tampaknya faktor genetik berperan penting dalam penularan penyakit ini.
Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi yang dikandung ibu lepra.
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate dan
tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous).
PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)
Lesi
BTA
*Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui
setelah 3 minggu
Tabel 3.Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB1
Karakteristik Lepromatosa Borderline Mid-borderline
(LL) Lepromatosa (BB)
(BL)
Lesi
BTA
LL BL BB
PATOGENESIS
Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting
Cell) dan melalui dua sinyal yaitu sinyal pertama dan sinyal kedua. Sinyal pertama adalah
tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh
molekul MHC pada permukaan APC sedangkan sinyal kedua adalah produksi sitokin dan
ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan
sel T melalui CD28. Adanya kedua sinyal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan
berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi
To menjadi Th1.
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M. leprae akan berikatan dengan
C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan
proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit,
fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion
superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal
membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak
jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan
organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel
epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma.
Sinyal I tanpa adanya sinyal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2
sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.4
DIAGNOSIS
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan
keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf:1,6
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing
kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu
jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan
kolaps arkus pedis.
6. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal).
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
PEMERIKSAAN PENUNJANG1
1. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.Sediaan
dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan Ziehl Neelson.Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung basil M. leprae.Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang
diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang
diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti
yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan
ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak
M. leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.0 bila tidak
ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid
dan non solid.
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu
dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000
lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.1
2. Pemeriksaan histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M.leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi
sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia
Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan
SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.leprae yang sudah ada
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau
sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang
lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim
sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil.
Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.1
3. Pemeriksaan serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi
yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan
oleh kuman M.tuberculosis.1
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.2
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT) dengan
kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS, direkomendasikan oleh WHO sejak 1981.
Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin dan
rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan
alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.1,6
DDS (Dapsone)
Dosis: dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk
anak-anak.Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,
Rifampisin
Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling
ampuh untuk kusta saat ini.Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang
berikatan secara irreversibel.Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya
resistensi.
Dosis: dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-kira
99.9% dalam waktu beberapa hari.
Klofazimin
Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui
gangguan metabolisme radikal oksigen.Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga
berguna untuk pengobatan reaksi kusta.
Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari.
Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I
dan II.3
Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri
Obat alternatif
Ofloksasin
Minoksiklin
Klaritromisin
OBAT DEWASA
BB<35 kg BB>35 kg
Rifampisin 450 mg/bln (diawasi) 600 mg/bln (diawasi)
OBAT DEWASA
BB<35 kg BB>35 kg
PB MB
Lamanya pengobatan morbus hansen tipe PB adalah 6 dosis diselesaikan dalam 6-9
bulan.
Pengobatan morbus hansen tipe MB adalah sudah sebesar 24 dosis diselesaikan dalam
waktu maksimal 36 bulan.
Minimum 6 bulan untuk PB dan minimum 24 bulan untuk MB maka dinyatakan RFT
(Release From Treatment).
WHO Expert Committee:1,3
o MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB
dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
o Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah
dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan DDS
sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Untuk itu pengobatannya dengan klofazimin
50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan
klofazimin 50 mg ditambah ofkloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari
selama 18 bulan.
Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, diberikan rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24
bulan.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).Setelah
RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis
minimal setiap tahun selama 5 tahun. Bila bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak
ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From
Control (RFC).
Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik.1Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular
response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum
pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang
memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang
memegang peranan adalah imunitas humoral.1
Tabel 8.Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 24
No Gejala/tanda Tipe I Tipe II
Ringan Berat Ringan Berat
1. Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul : merah,
merah, merah, merah,panas,nyeri panas, nyeri yang
tebal, tebal, bertambah parah
panas, nyeri panas, sampai pecah
nyeri
yang
bertambah
parah
sampai
pecah
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri Nyeri pada Nyeri pada perabaan
perbaan (-) pada perabaan (-) (+)
perabaan
(+)
3 Keadaan Demam (-) Demam Demam (+) Demam (+)
umum (+)
4 Keterlibatan - - - +
organ lain Terjadi peradangan
pada :
mata :
iridocyclitis
testis :
epididimoorchiti
s
ginjal : nefritis
kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai
reaksi berat
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus.Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna
merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri.Lesi terutama di ekstremitas, kemudian
meluas ke seluruh tubuh.Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula
kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri.Lesi lambat menyembuh dan
akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih
dalam.Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan
infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit
imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.1
Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain
prednisone.Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya 15-30 mg/hari dan
dosisnya diturunkan bertahap.
Klofazimin juga dapat dipakai sebagai anti ENL, tetapi dengan dosis yang lebih
tinggi.Dosisnya antara 200-300mg/hari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid dan
dapat dipakai untuk melepaskan ketergantungan kortikosteroid.1
Bila reaksi ini tidak disertai neuritis akut, maka tidak perlu diberi obat tambahan.Bila
ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan
dengan berat ringannya neuritis.Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg/hari yang dosisnya
diturunkan secara bertahap.Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus
diistirahatkan.Analgesik dan sedatif kalau diperlukan dapat diberikan.
Pada pasien ini diberikan terapi morbus hansen sesuai dengan regimen MDT-MB dari
WHO dan diberikan kortikosteroid oral untuk mengatasi reaksi ENL yang terdapat pada
pasien ini. Pada pasien ini juga diberikan antihistamin. Antihistamin yang dipilih disini
adalah antihistamin golongan sedatif misalnya Klorfeniramin maleat 2 x 4 mg. Obat ini
dipilih karena murah serta mudah didapat, namun dapat menyebabkan kantuk karena
memiliki efek sedatif.1
PENCEGAHAN CACAT
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf.Selain itu, penderita dengan reaksi kusta,
terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga
memiliki resiko tersebut.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat
dan tepat.Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan
syaraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin.Bila terdapat
gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk
melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang
tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan
pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar,
luka atau ulkus.Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering
dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan
mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita kusta:
Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang
terlihat.
Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 0 : tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus).
Tingkat 1 : ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang.
Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan
kornea) dan atau visus sangat terganggu.1
Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain
dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal,
tetapi fungsinya secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu
dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).1
PROGNOSIS
Quo ad vitam adalah ad bonam karena MH tidak mengancam nyawa walaupun bersifat
kronik dan membutuhkan pengobatan jangka panjang.
Quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam karena MH juga tidak mengakibatkan gangguan
fungsi organ-organ tubuh pada pasien ini, walaupun dapat menyebabkan deformitas pada
beberapa kasus yang terlambat mendapatkan pengobatan.
Quo ad sanationam pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena pasien memiliki
pendidikan yang cukup dan mampu memahami pentingnya pengobatan jangka panjang
terhadap penyakitnya.
1. A.Kosasih, I. M.–D. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. . Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2010.h. 73-88.
3. Organization., W. H. (2015). WHO model prescribing information: drug used leprosy. WHO
medicine .
5. Siregar, R. (2005). Atlas Berwarna SAPIPATI PENYAKIT KUTIT edisi 2. palembang : penerbit
buku kedokteran EGC.
6. Wolff K, G. L. (2008). Dermatology . General Medicine. 6th Edition. Mc Graw Hill , 665-710.