Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Negara Indonesia, isu mengenai good corporate governance (GCG)


mengemuka setelah Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan sejak tahun
1998. GCG pertama kali dikenalkan di Indonesia oleh IMF (International
Monetary Funds) dalam rangka pemulihan krisis yang melanda Asia timur pada
waktu itu, yang juga berdampak besar pada Indonesia. Salah satu penyebab krisis
adalah tidak adanya good corporate governance di dalam pengelolaan perusahaan.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Booz-Allen & Hamilton (2008), indeks good
corporate governance Indonesia adalah yang paling rendah dengan skor (2,88),
jauh dibawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72), dan Thailand (4,89). Rendahnya
kualitas GCG ditengarai menjadi kejatuhan perusahaan-perusahaan tersebut.
Kajian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh McKinsey (1999)
yang meneliti tentang praktek good corporate governance pada perusahaan-
perusahaan di Indonesia. Contoh kasus buruknya penerapan good corporate
governance dalam industri perbankan di Indonesia dapat dilihat pada kasus Bank
Century yang sekarang berganti nama menjadi Bank Mutiara, dimana bank
tersebut harus diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan
ditetapkan sebagai bank gagal pada tahun 2008 akibat banyaknya kredit
bermasalah yang dimiliki bank tersebut.

Praktek tata kelola perusahaan yang baik dalam perusahaan memainkan


peran penting dalam mengarahkan dan mengelola perusahaan. GCG diperlukan
karena adanya agency problem yang disebabkan oleh pemisahan kepemilikan
sumber daya dan pengelolaan sumber daya (Jensen dan Meckling 1976). Agency
problem atau konflik kepentingan antara prinsipal dan agen didefinisikan sebagai
berbagai perilaku agen (misalnya, manajer) yang tidak sesuai dengan kepentingan
prinsipal (misalnya, pemegang saham). GCG merupakan salah satu mekanisme
untuk meminimalkan konflik kepentingan antara agen dan prinsipal.

1
Di Indonesia, regulator di sektor perbankan adalah Bank sentral, yaitu
Bank Indonesia dan didukung oleh pemerintah dalam mengelola stabilitas
ekonomi dan keuangan bangsa. Berdasarkan peraturan Bank Indonesia Nomor
8/12/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum
yang menjadi dasar hukum Good Corporate Governance dalam sektor perbankan.
Peraturan Bank Indonesia mewajibkan perbankan untuk melaporkan praktek tata
kelola perusahaan mereka dalam bentuk self-assessment working paper GCG.
Formulir ini terdiri dari skor komposit yang menggabungkan semua penilaian
pada CG di bank. Pelaporan self-assessment dari praktek tata kelola perusahaan
memiliki tujuan meningkatkan transparansi di sektor perbankan. Self-assessment
ini diharapkan dapat memenuhi tujuan dari regulator untuk meningkatkan kinerja
sektor perbankan melalui perbaikan dan pelaksanaan GCG.

Menurut Waryanto (2010) dalam penelitiannya menunjukan karakteristik


GCG mempengaruhi pengungkapan Corporate Social Resposibility (CSR) sebesar
41,7%. Dengan demikian faktor-faktor GCG masih belum meningkatkan
mekanisme pengawasan dengan baik untuk mendorong pengungkapan CSR
secara luas. Namun dalam penelitian Utama & Musa (2011) menunjukan bahwa
praktek tata kelola memiliki pengaruh positif terhadap kinerja bank di Indonesia.
Tetapi, kinerja bank tidak memiliki pengaruh terhadap praktek tata kelolanya.
Penelitiannya juga menemukan bahwa bank pemerintah daerah memiliki kinerja
lebih baik dibandingkan bank swasta nasional. Hasil penelitian ini mendukung
usaha Bank Indonesia dalam meningkatkan Praktek tata kelola di dalam sektor
perbankan, untuk memperkuat modal dasar bank dan kebijakan Bank Indonesia
dalam mendorong bank untuk melakukan merger dan menjadi semakin besar.

McKinsey dan Co (2002) melakukan survei yang hasilnya menunjukkan


bahwa para investor cenderung menghindari perusahaan-perusahaan dengan
predikat buruk dalam tata kelola perusahaan. Perhatian yang diberikan investor
terhadap good corporate governance (GCG) sama besarnya dengan perhatian
terhadap kinerja keuangan perusahaan. Para investor yakin bahwa perusahaan
yang menerapkan praktek GCG akan meningkatkan nilai perusahaan diantaranya

2
kinerja keuanganperusahaan, mengurangi resiko yang merugikan akibat tindakan
pengelola yang cenderung menguntungkan diri sendiri dan meningkatkan harga
saham perusahaan dalam jangka panjang seperti riset yang dilakukan McKinsey
(2002) yang dikutip oleh Raharjo dan Amelia (2004) yang menyatakan bahwa
51% investor menuntut adanya transparansi sebagai acuan dalam melakukan
pembelian saham perusahaan oleh investor institusional. Dengan kata lain
corporate governance akan menciptakan kinerja perusahaan yang baik dan
meningkatkan kepercayaan investor terhadap kinerja perusahaan.

Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan yang


mayoritas dimiliki oleh institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, bank,
perusahaan investasi, asset management dan kepemilikan institusi lain).
Kepemilikan institusional merupakan pemegang saham terbesar sehingga
merupakan sarana untuk memonitor manajemen (Djakman dan Machmud, 2008).

Badrinath, Kale, dan Ryan (1996), Falkenstein (1996), dan Huang (2009)
menunjukkan bahwa investor institusional lebih memilih saham-saham yang
memiliki likuiditas pasar yang lebih tinggi dan volatilitas return yang lebih
rendah. Studi lain menunjukkan bahwa investor institusional lebih memilih saham
perusahaan dengan pengungkapan yang lebih baik (Bushee dan Noe, 2000),
saham perusahaan yang lebih besar (Gompers dan Metrick, 2001), saham
perusahaan yang membayar dividen tunai atau pembelian kembali saham
(Grinstein dan Michaely (2005)), dan saham perusahaan dengan kinerja
manajerial yang lebih baik (Parrino, Sias, dan Starks (2003)).

Bushee, Carter, dan Gerakos (2010) menganalisis apakah investor


institusional memiringkan portofolio mereka terhadap perusahaan dengan
mekanisme tata kelola yang lebih disukai. Para penulis menyimpulkan bahwa
meskipun investor institusional memiliki insentif untuk memiringkan portofolio
mereka terhadap perusahaan dengan mekanisme tata kelola yang lebih baik, tidak
ada hubungan yang signifikan antara kepemilikan institusional dan tata kelola
perusahaan.

3
Triyono (2014) menganalisis pengaruh kualitas corporate governance,
kepemilikan institusional, terhadap kinerja dan risiko. Hasilnya menunjukan
bahwa kualitas tata kelola perusahaan dan kepemilikan institusional berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan. Chung & Zhang (2011), menguji hubungan antara
tata kelola perusahaan dan kepemilikan institusional. Hasil penelitian mereka
menunjukkan bahwa sebagian kecil saham perusahaan yang dipegang oleh
investor institusional meningkat dengan kualitas struktur tata kelolanya. Dalam
hal yang sama, mereka menunjukkan bahwa proporsi institusi yang memegang
saham suatu perusahaan meningkat dengan kualitas tata kelola perusahaan.

Perusahaan dengan corporate governance lebih baik mempunyai kinerja


perusahaan yang lebih baik dan investor institusional mampu berperan sebagai
fidusiari. Bila dikaitkan dengan nilai perusahaan dan risiko, kedua variabel
tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Praktek CG juga ditentukan
oleh ukuran bank, kepemilikan asing, dan status listing di bursa efek. Ukuran
bank memiliki dampak positif pada praktek CG (Demsetz 1983; Levine 2004;
Hitam et al 2006). Bank-bank besar memiliki sedikit informasi asimetris sehingga
mereka cenderung untuk menerapkan GCG. Sementara itu, keberadaan pihak
asing dalam struktur kepemilikan bank akan memiliki dampak positif pada tata
kelola perbankan. Alasannya adalah bahwa pihak asing akan menyediakan sumber
modal dan transfer pengetahuan untuk meningkatkan tata kelola Bank (Bonin
2005; Williams dan Nguyen 2005). Bank yang terdaftar di pasar modal cenderung
memiliki praktek CG yang lebih baik karena mereka diawasi secara ketat oleh
investor yang menuntut bahwa bank-bank meningkatkan transparansi dan
pengungkapan mereka melalui praktek tata kelola perusahaan yang baik (Akhigbe
dan Martin 2008).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti memperkirakan bahwa investor


insitusional cenderung lebih memilih saham perusahaan yang memiliki tata kelola
perusahaan yang baik daripada investor individu karena perusahaan dengan tata
kelola yang baik cenderung membutuhkan lebih sedikit pemantauan dan memiliki
likuiditas pasar saham yang lebih tinggi.

4
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian self assessment?


2. Apa saja kelebihan dan kekurangan self assessment?
3. Apa kegunaan self assessment?
4. Apa tujuan kuisioner?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian self assessment


2. Untuk mengetahui apa saja kelebihan dan kekurangan self assessment
3. Untuk mengetahui kegunaan self assessment
4. Untuk mengetahui tujuan kuisioner

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Self Assessment
Self Assessment merupakan metode penilaian mandiri tentang Good
Corporate Governance. Perusahaan yang baik, tidak hanya mencerminkan
azas-azas good corporate Governance seperti transparansi,
pertanggungjawaban, akuntabilitas, dan keadilan. Namun perlu dilakukan
suatu penilaian atau assessment yang sistematis untuk meyakinkan bahwa
perusahaan telah sungguh-sungguh melaksanakan Corporate Governance.
Maka terdapat beberapa tools (alat) yang dapat digunakan sebagai
penilaian mandiri (self assessment) apakah Corporate Governance pada
suatu perusahaan sudah baik. Salah satu alat untuk melakukan penilaian
mandiri tersebut dikembangkan oleh FCGI (Forum for Corporate
Governance in Indonesia). Alat itu berwujud seperangkat kuisioner yang
dapat diisi sendiri oleh perusahaan dan selanjutnya perusahaan
memberikan penilaian atau skor secara obyektif terhadap jawabannya
tersebut.
Secara singkat, ada lima aspek yang dinilai dalam kerangka penilaian
Good Corporate Governance (GCG) menurut FCGI, yaitu sebagai berikut :
1. Hak pemegang saham (bobot 20%)
Dalam hak-hak pemegang saha,,antara lain kita dapat memberikan
evaluasi, seperti :
a. Apakah perusahaan telah menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) dalam kurun waktu 6 bulan setelah akhir
tahun buku, sesuai dengan pasal 65 ayat 2 UU Perusahaan
Terbatas.
b. Menyerahkan kepada pemegang saham pemberitahuan mengenai
Ratapat Tahunan Pemegang Saham sekurang-kurangnya 28 hari
sebelum RUPS diselenggarakan.
c. Mendorong para pemegang saham untuk menghadiri RUPS dan
memanfaatkan hak suara mereka.

6
d. Memberikan kesempatan yang cukup kepada para pemegang
saham untuk menyampaikan pertanyaan di RUPS.

Selanjutnya diberikan penilaian, misalnya nilai 5 untuk setiap


jawaban "ya" dan 0 untuk tiap jawaban "tidak". Jadi misalkan dari 10
pertanyaan di bidang Hak-hak Pemegang Saham tersebut perusahaan
menjawab "ya" sebanyak 6 kali dan menjawab "tidak" sebanyak 4 kali
maka dalam bidang tersebut perusahaan akan memperoleh skor (6 x 5)
+ (4 x 0) = 30 (dari nilai maksimum 50 atau 10 x 5).

2. Kebijakan Good Corporate Governance (bobot 15%)


Dalam kebijakan Good Corporate Governance antara lain kita dapat
menilai sendiri apakah perusahaan telah :
a. Memiliki aturan tertulis tentang GCG dimana dijelaskan hak-hak
pemegang saham, tugas dan tanggungjawab Dewan Direksi dan
Dewan Komisaris.
b. Menyediakan akses bagi publik untuk mengetahui kebijakan
perusahaan mengenai investor publik.
c. Membentuk sebuah organ yang bertanggungjawab (misalnya
Dewan Komisaris) untuk memastikan bahwa perusahaan mematuhi
aturan Good Corporate Governance (GCG) yang telah ditetapkan.
d. Memiliki aturan perilaku / etika bagi karyawan secara tertulis.
e. Menginformasikan dan melaksanakan dengan baik aturan perilaku
atau etika tersebut.
3. Praktik Good Corporate Governance (bobot 30%)
Dalam praktik GCG ini antara lain kita dapat menguji apakah di dalam
perusahaan :
a. Dewan Direksi mengadakan rapat berkala secara teratur dengan
Dewan Komisaris.
b. Ada rencana strategi dan rencana operasional yang memberi
petunjuk kepada Dewan Direksi dan Dewan Komisaris untuk
melaksanakan tugas dan fungsi mereka.

7
c. Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Direksi tidak terlibat
konflik kepentingan.
d. Ada sistem penilaian kinerja Dewan Direksi maupun Dewan
Komisaris.
4. Pengungkapan (bobot 20%)
Dalam sesi ini kita dapat menilai apakah perusahaan telah :
a. Menyediakan akses yang sama bagi pemegang saham dan analisis
keuangan.
b. Memberikan penjelasan yang tepat tentang risiko usaha.
c. Mengungkapkan remunerasi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris
dengan benar.
d. Mengungkap transaksi pihak terkait.
e. Menyajikan hasil kinerja keuangan dan manajemen analisis melalui
internet.
5. Audit (bobot 15%)
Pada bagian ini kita dapat menilai apakah perusahaan telah :
a. Memiliki audit internel yang efektif.
b. Diaudit oleh akuntan publik yang independen.
c. Memiliki komite audit yang efektif.
d. Mengembangkan komunikasi yang efektif antara audit intenal,
audit eksternal dan komite audit.

Selanjutnya, seperti halnya pada bidang hak pemegang saham, pada


bidang-bidang lainnya pun diberikan skor (misalnya untuk setiap jawaban
"ya" diberikan nilai 5 sedangkan untuk setiap jawaban "tidak" diberikan
nilai "0"). Dari hasil pemberian skor tersebut, misalnya didapat skor untuk:

1. Hak-hak Pemegang Saham = 30 (dari nilai maks 50);


2. Kebijakan Corporate Governance = 45 (dari nilai maks 60);
3. Praktek-praktek Corporate Governance = 60 (dari nilai maks 80)
4. Pengungkapan (Disclosure) = 25 (dari nilai maks 40); dan
5. Audit = 30 (dari nilai maks 40).

8
Selanjutnya untuk menentukan skor keseluruhan digunakan metode
rata-rata tertimbang (dengan pembobotan seperti dijelaskan di awal tulisan
ini). Dengan demikian skor keseluruhan untuk perusahaan tersebut adalah:

{(30/50 x 20%) + (45/60 x 15%) + (60/80 x 30%) + (25/40 x 20%) +


(30/40 x 15%)} = 69.5 % atau skor 69.5 dari skor tertinggi 100.

Dengan skor 69.5 tersebut, apakah artinya Corporate Governance di


perusahaan tersebut baik atau buruk? Jawabannya relatif, karena tidak ada
standar yang menyatakan berapa skor yang baik atau berapa skor yang
buruk. Namun ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu sebagai berikut :

1. perusahaan harus berusaha mencapai angka setinggi mungkin.


Semakin mendekati 100 maka skor Corporate Governance di
perusahaan tersebut semakin baik.
2. Kita harus berhati-hati dalam menggunakan skor Corporate
Governance ini untuk membandingkan antara berbagai perusahaan,
apalagi kalau karakteristik industrinya berbeda.

Perusahaan yang berdasarkan kuesioner tersebut skornya 69,5 belum


tentu Corporate Governance-nya lebih buruk dibandingkan perusahaan
lainnya yang skornya 75, demikian juga sebaliknya. Dalam beberapa
aspek Corporate Governance perusahaan dengan skor 75 tersebut mungkin
lebih baik dari yang skornya 69,5. Namun mungkin ada beberapa
kelebihan Corporate Governance dari perusahaan berskor 69,5 yang tidak
terekam secara baik melalui kuisioner tersebut. Hal ini dikarenakan
Corporate Governance sesungguhnya bukanlah suatu hal yang absolut
yang bisa diukur secara eksak atau pasti dengan suatu alat tertentu.
Corporate Governance sangat kaya akan dimensi dan belum ada alat yang
mampu mengukurnya secara sempurna.

9
B. Kelebihan dan Kekurangan Assesment
Perlu disadari bahwa metode penilaian mandiri (self assessment)
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari metode ini yaitu
sangat sederhana, suatu perusahaan dapat dengan mudah menilai sendiri
bagaimana nilai pelaksanaan Corporate Governance-nya dengan memberi
angka kepada setiap bidang kuisioner dan menjumlahkannya. Sedangkan
kekurangannya adalah dimana assessment yang dilakukan tidak
independen karena dilakukan sendiri dan dapat menimbulkan pertanyaan
apakah assessment telah dilakukan secara obyektif. Akibatnya mungkin
timbul keraguan bagi pihak di luar perusahaan (bahkan mungkin di dalam
perusahaan sendiri) apakah penilaian mandiri tersebut telah dilaksanakan
secara obyektif dan apakah hasil penilaian mandiri tersebut telah benar-
benar mencerminkan kondisi Corporate Governance yang sesungguhnya
terdapat di perusahaan. Namun demikian bukan berarti metode penilaian
mandiri ini tidak ada manfaatnya. Metode penilaian mandiri tetap besar
potensi manfaatnya sepanjang assessment tersebut dikerjakan secara jujur
dan obyektif.

C. Kegunaan Assessment
Adapun kegunaan dari Self Assessment yaitu sebagai berikut :
1. Untuk membantu perusahaan memahami kondisi Corporate
Governance-nya.
2. Mengidentifikasi bidang-bidang Corporate Governance yang masih
lemah.
3. Memperbaiki bidang yang masih lemah tersebut.

Penilaian mandiri tidak dimaksudkan untuk memberi keyakinan


kepada masyarakat mengenai kondisi Corporate Governance-nya suatu
perusahaan. Bila tujuan perusahaan adalah untuk memberikan keyakinan
kepada masyarakat mengenai Corporate Governance-nya, perusahaan
dapat meminta bantuan pihak yang independen untuk melakukan
independent assessment (seperti sertifikasi mutu pada ISO 9000). Pihak
yang independen tersebut dapat berupa lembaga pemeringkat, akuntan

10
publik, maupun pihak-pihak lainnya yang mempunyai kompetensi di
bidang Corporate Governance dan dapat melakukan assessment secara
obyektif. Walaupun pada prakteknya ide sertifikasi Corporate Governance
ini tidaklah mudah untuk disamakan secara persis dengan sertifikasi mutu
pada ISO 9000. Sebagai contoh sertifikasi ISO menjamin bahwa produk-
produk yang dihasilkan sesuai standar mutu dan konsistensi yang
dirumuskan dengan baik, sedangkan sertifikasi Corporate Governance
berkaitan dengan sistem dan proses yang nyata di dalam sebuah
perusaahaan. Sertifikasi Corporate Governance berbeda dengan standar-
standar ISO yang diakui dan terdaftar pada ISO. Namun yang tak kalah
penting adalah juga karena Corporate Governance, sebagaimana
disebutkan di muka, sangat kaya dimensi sehingga termasuk di dalam
Corporate Governance ini adalah juga persoalan moral conduct.

D. Tujuan Kuisioner
Kuisioner dibuat oleh Forum for Corporate Governance in Indonesia
(FCGI) sebagai alat penilaian mandiri (self-assessment) yang disediakan
untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia guna mengetahui dan menilai
kualitas tata kelola (governance) masing-masing perusahaan. Maksud
dibuatnya kuisioner ini adalah untuk dipergunakan oleh setiap perusahaan
tanpa melihat apakah itu badan usaha milik negara, perusahaan yang listed
maupun yang belum listed dipasar modal serta tanpa melihat bidang-
bidang industri yang dikelola oleh perusahaan yang bersangkutan.
Kuisioner dapat diisi secara manual yaitu dengan mengisi kuisioner
terlampir, ataupun secara online yaitu melalui situs FCGI pada
www.fcgi.or.id.
E. Beberapa Pembatasan
Hasil pengisian kuisioner hendaknya dapat ditanggapi secara hati-hati.
Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini, yaitu sebagai berikut :
1. Good corporate Governance bukan hanya pertanyaan apakah
perusahaan telah memiliki proses yang tepat, akan tetapi lebih dari
sekedar itu yaitu apakah proses-proses yang dipersyaratkan tersebut
dijalankan secara efektif dalam rangka menciptakan Good Corporate

11
Governance. Oleh karena itu suatu penilaian diperlukan untuk
menafsirkan angka yang diperoleh dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan kuisioner ini, yang sebagian besar jawabannya adalah “ya”
atau “tidak”.
2. Karena kuisioner ditujukan untuk setiap perusahaan dalam pengertian
yang luas, maka jangkauan pertanyaan-pertanyaannya pun bersifat luas
pula. Sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terlampau
mendetil ditujukan pada permasalahan-permasalahan Corporate
Governance yang dihadapi perusahaan-perusahaan yang bergerak
dalam industri tertentu. Akhirnya, sebagaimana umumnya penilaian
mandiri, penilaian dalam mengevaluasi kuisioner yang telah diisi
sangat tergantung pada pengetahuan, pengalaman dan obyektivitas
para pihak yang bertanggungjawab untuk mengisi kuisioner.

12
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Self Assessment merupakan metode penilaian mandiri tentang Good


Corporate Governance. Perusahaan yang baik, tidak hanya mencerminkan azas-
azas good corporate Governance seperti transparansi, pertanggungjawaban,
akuntabilitas, dan keadilan. Namun perlu dilakukan suatu penilaian atau
assessment yang sistematis untuk meyakinkan bahwa perusahaan telah sungguh-
sungguh melaksanakan Corporate Governance

ada lima aspek yang dinilai dalam kerangka penilaian Good Corporate
Governance (GCG) menurut FCGI

1. Hak pemegang saham (bobot 20%)


2. Kebijakan Good Corporate Governance (bobot 15%)
3. Praktik Good Corporate Governance (bobot 30%)
4. Pengungkapan (bobot 20%)
5. Audit (bobot 15%)

Kuisioner dibuat oleh Forum for Corporate Governance in Indonesia


(FCGI) sebagai alat penilaian mandiri (self-assessment) yang disediakan untuk
perusahaan-perusahaan di Indonesia guna mengetahui dan menilai kualitas tata
kelola (governance) masing-masing perusahaan

13
DAFTAR PUSTAKA

14

Anda mungkin juga menyukai