Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

“CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)”

Pembimbing
dr. Much. Maschun S., Sp.PD

Disusun Oleh:
Akhmad Faizal Aziz G1A015081
Tiara Asri Nurillah G1A015082
Farhan Ichsan G1A015083
Wulan Rizky H G1A015084
Handra Chairunisa A G1A015085

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDEREAL SOEDIRMAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
“CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)”

Disusun Oleh :
Akhmad Faizal Aziz G1A015081
Tiara Asri Nurillah G1A015082
Farhan Ichsan G1A015083
Wulan Rizky H G1A015084
Handra Chairunisa A G1A015085

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada 17 Desember 2018

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Much. Maschun S., Sp.PD

1
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 3

II. STATUS PASIEN .................................................................................... 4

III. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 13

A. Chronic Kidney Disease (CKD) ........................................................ 13


B. Hipertensi ............................................................................................ 25
IV. PEMBAHASAN .................................................................................... 37

V. KESIMPULAN ...................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 40

2
I. PENDAHULUAN

Chronic kidney disease atau penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai


kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan
Glomerulus Filtration Rate (GFR) (Nahas & Levin,2010). Terry & Aurora (2013)
mengungkankan CKD merupakan suatu perubahan fungsi ginjal yang progresif
dan ireversibel. Pada gagal ginja kronik, ginjal tidak mampu mempertahankan
keseimbangan cairan sisa metabolisme sehingga menyebabkan penyakit gagal
ginjal stadium akhir.
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik saat ini terus mengalami peningkatan
di seluruh belahan dunia. Diperkirakan lebih dari 50 juta penduduk dunia
mengalami PGK dan 1 juta dari mereka membutuhkan terapi pengganti ginjal
(Prodjosudjadi, 2013). Penelitian di jepang mem perkirakan sekitar 13 % dari
jumlah penduduk atau sekitar 13,3 juta orang yang memiliki penyakit ginjal
kronik pada tahun 2005 (Imai, 2009).
Menurut data dari CDC tahun 2010, lebih dari 20 juta warga Amerika Serikat
yang menderita penyakit ginjal kronik, angka ini meningkat sekitar 8% setiap
tahunya. Lebih dari 35% pasien diabetes menderita penyakit ginjal kronik, dan
lebih dari 20% pasien hipertensi juga memliki penyakit ginjal kronik dengan
insidensi penyakit ginjal kronik tertinggi ditemukan pada usia 65 tahun atau lebih
(CDC, 2014). Studi di Indonesia menyebutkan angka insidensi pasien PGK
sebesar 30,7 perjuta penduduk dan angka kejadianya sebesar 23,4 perjuta
penduduk (Prodjosudjadi, 2009)
Menurut Smeltzer dan Bare (2009) serta Suwitra (2009), CKD dapat
menyebabkan berbagai komplikasi antara lain hiperkalemia, pericarditis,
hipertensi, anemia, penyakit tulang, uremia, gagal jantung, malnutrisi, dan
hiperparatiroid. Oleh karena itu, manajemen yang optimal terhadap pasien CKD
sangat penting. Manajemen CKD harus berfokus pada diagnosis yang cepat dan
tepat, stratifikasi risko, serta tindakan terapi yang sesuai.

3
II. STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. Susilah
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Desa Pekuncen RT 04/RW 02 Jatilawang
Tanggal Masuk : 12 Desember 2018
Tanggal Anamnesis : 15 Desember 2018
No. CM : 02078525

B. Anamnesis (Autoanamnesis)
1. Keluhan Utama : Nyeri dada
2. Keluhan Tambahan : Nyeri punggung dan tangan, nyeri
ulu hati, jantung berdebar, sesak nafas, lemas, pusing, kedua kaki
bengkak, sulit makan.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSMS Purwokerto dengan keluhan nyeri
dada sejak 1 minggu SMRS. Nyeri dirasakan pertama kali ketika
bangun tidur, menjalar hingga ke punggung dan tangan. Nyeri
dirasakan hilang timbul, dan durasi setiap kali pasien merasakan nyeri
sekitar 15-30 menit. Pasien juga merasakan nyeri di ulu hati, lemas,
jantung berdebar sesak nafas, pusing, sulit makan, serta kedua kakinya
bengkak. Selain itu, pasien mengeluhkan tidak bisa tidur tanpa bantal.
Pasien sering BAK hampir setiap sejam sekali warnanya bening, tidak
ada nyeri dan darah. Sedangkan pasien mengeluh sulit BAB, setiap
kali BAB keras dan kecil-kecil. Pasien tidak mengeluhkan mual dan
muntah. Sekarang, pasien mengeluhkan nyeri ulu hati, lemas, dan
pusing

4
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat tekanan darah tinggi : Pasien didiagnosis menderita
hipertensi sejak 1 tahun yang lalu
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat alergi : Telur (+), Obat (-)
f. Riwayat imunisasi : lengkap
g. Riwayat penyakit lainnya : gastritis
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pendidikan terakhir
pasien SD. Pasien mempunyai 3 orang anak. Hubungan pasien dengan
keluarga baik. Suami pasien merupakan seorang supir truk. Pasien
sering mengonsumsi gorengan, jeroan, dan juga makanan yang asin.
Pasien tidak merokok ataupun mengkonsumsi kopi dan alkohol.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6
3. Vital Sign
a. Tekanan darah : 160/100 mmHg
b. Nadi : 93x/menit
c. RR : 24x/menit
d. Suhu : 37 °C
4. Status Generalis
a. Pemeriksaan kepala

5
1) Kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak rontok dan terdistribusi merata.
3) Mata
Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), mata kering (-), refleks cahaya (+/+) normal, pupil
isokor diameter 3 mm/3mm.
4) Telinga
Discharge (-), hiperemis (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir kering (-), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah sianosis
(-), T1/T1 hiperemis (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
c. Pemeriksaan thorax
Paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithorax kanan dan kiri.
Kelainan bentuk dada (-), retraksi intercostalis (-).
Palpasi : Apex vokal fremitus sinistra = dextra
Basal vokal fremitus sinistra = dextra
Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor
Auskultasi : Apex suara dasar vesikuler +/+
Basal suara dasar vesikuler +/+
RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V 2 jari lateral LMCS,
kuat angkat (-)

6
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar, distensi (-),caput medusae (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok
costo vertebrae (-/-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Lien : Tidak teraba pembesaran
e. Pemeriksaan ekstremitas
Ekstremitas Ekstremitas
Pemeriksaan superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - - -
Sianosis - - - -
Kuku kuning (ikterik) - - - -
Akral hangat + + + +
Reflek fisiologis
Bicep/tricep + + + +
Patela + + + +
Reflek patologis
Reflek babinsky - - - -
Sensoris D=S D=S D=S D=S

7
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah 12/12/18 RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto
Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
12/12/2018
Kimia Klinik
Ureum Darah 157,05 14,90 – 38,52 mg/dL
Kreatinin Darah 7,55 0,55 – 1,02 mg/ dL
Glukosa Sewaktu 155 < 200 mg/dL
Natrium 139 134 - 146 mEq/L
Kalium 3,2 3,4 – 4,5 mEq/L
Klorida 111 96 – 100 mEq/L
Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
14/12/2018
Darah lengkap
Hemoglobin 8,8 11,7-15,5 g/dl
Leukosit 11.200 3.600-11.000 U/L
Hematokrit 27 35-47 %
Eritrosit 2,9 3,8-5,2 x 10^6/uL
Trombosit 272.000 150.000 – 440.000 /uL
MCV 92,4 80 – 100 fL
MCH 30,2 26 – 34 pg/cell
MCHC 32,7 32 – 36 %
RDW 20,1 11,5-14,5 %
MPV 9,7 9,4-12,3 fL
Hitung Jenis
Basofil 0,2 0 -1 %
Eosinofil 6,4 2 – 4%
Batang 1,3 3 - 5%

8
Segmen 73,3 50 – 70 %
Limfosit 10,4 25 – 40 %
Monosit 8,4 2–8%
Sero Imunologi
Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif
HBSAG Non Reaktif Non Reaktif

E. Diagnosis Kerja
Chronic Kidney Disease, Hipertensi Stage 2, Anemia e.c CKD
F. Terapi
1. Non Farmakologis
a. Tirah baring
b. IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
c. Transfusi PRC
2. Farmakologis
a. Inj Furosemid 1 Ampul/24 Jam
b. P.O Amlodipin 1 x 10 mg
c. Irbesartan 1 x 300 mg
d. Asam Folat 2x1
e. Bicnat 2x1
f. Nocid 2x1

G. Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad malam
Quo ad Functionam : dubia ad malam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam

9
PERKEMBANGAN PASIEN

Tanggal S O A P
13/12 - HP 1 - KU/Kes : Baik/Compos Mentis Chronic - IVFD NaCL 0,9%
/2018 - Jantung - TD : 150/100 mmHg Kidney 10 tpm
berdebar - RR: 24 x/menit Disease, - Inj Furosemid 1
- Mual (+) - Nadi : 99 x/menit Hipertensi AMP/24 jam
- Sulit BAB - suhu :36 °C Stage 2, - P.O Amlodipin 1 x
- Pemeriksaan Kepala: Anemia e.c 10 mg
Mesocephal CKD - P.O Irbesartan
- Mata : CA -/- SI -/- 1x300 mg
- Telinga/Hidung : NCH – - Asam Folat 2x1
- Mulut dan Gigi : Sianosis – - Bicnat 2x1
- Pemeriksaan Leher : - Nocid 2x1
pembesaran KGB (-) - Transfusi PRC 3
- Pemeriksaan Dada KOLF dengan
a. Paru : SD Vesikuler +/+ premedikasi lasik 1
Ronkhi -/- Wheezing -/- AMP
b. Jantung : S1>S2 Reguler - PL USG Abdomen,
Murmur Gallop -/- UL
c. Dinding Dada : Simetris
- Pemeriksaan Abdomen :
a. Inspeksi : Datar Supel
Timpani
b. Auskultasi : BU + normal
c. Hepar/Lien: TTB
- Pemeriksaan ekstremitas
a. Superior & inferior : Edema
-/- Ikterik -/-
b. CRT < 2 detik
c. Akral hangat

10
14/12/2018 - HP 2 - KU/Kes : Baik/Compos Mentis Chronic - IVFD NaCL 0,9%
- Jantung - TD : 160/100 mmHg Kidney 10 tpm
berdebar - RR: 24 x/menit Disease, - Inj Furosemid 1
- Mual (+) - Nadi : 91 x/menit Hipertensi AMP/24 jam
Sulit BAB - suhu :36 °C Stage 2, - P.O Amlodipin 1 x
- Pemeriksaan Kepala: Anemia e.c 10 mg
Mesocephal CKD - P.O Irbesartan
- Mata : CA -/- SI -/- 1x300 mg
- Telinga/Hidung : NCH – - Asam Folat 2x1
- Mulut dan Gigi : Sianosis – - Bicnat 2x1
- Pemeriksaan Leher : - Nocid 2x1
pembesaran KGB (-) - Transfusi PRC 1
- Pemeriksaan Dada KOLF dengan
d. Paru : SD Vesikuler +/+ premedikasi lasik 1
Ronkhi -/- Wheezing -/- AMP
e. Jantung : S1>S2 Reguler - PL eval ureum,
Murmur Gallop -/- kreatinin besok
f. Dinding Dada : Simetris pagi
- Pemeriksaan Abdomen :
d. Inspeksi : Datar Supel
Timpani
e. Auskultasi : BU + normal
f. Hepar/Lien: TTB
- Pemeriksaan ekstremitas
d. Superior & inferior : Edema
-/- Ikterik -/-
e. CRT < 2 detik
f. Akral hangat

11
- HP 3 - KU/Kes : Tampak sakit Chronic - IVFD NaCL 0,9%
- Nyeri dada sedang/Compos Mentis Kidney 10 tpm
- Sesak (+) - TD : 160/100 mmHg Disease, - Inj Furosemid 1
- RR: 24 x/menit Hipertensi AMP/24 jam
- Nadi : 93 x/menit Stage 2, - P.O Amlodipin 1 x
- suhu :36 °C Anemia e.c 10 mg
- Pemeriksaan Kepala: CKD - P.O Irbesartan
Mesocephal 1x300 mg
- Mata : CA -/- SI -/- - Asam Folat 2x1
- Telinga/Hidung : NCH – - Bicnat 2x1
- Mulut dan Gigi : Sianosis – - Nocid 2x1
- Pemeriksaan Leher : - Transfusi PRC 1
pembesaran KGB (-) KOLF dengan
- Pemeriksaan Dada premedikasi lasik 1
g. Paru : SD Vesikuler +/+ AMP
Ronkhi -/- Wheezing -/- - PL eval ureum,
h. Jantung : S1>S2 Reguler kreatinin besok
Murmur Gallop -/- pagi
i. Dinding Dada : Simetris
- Pemeriksaan Abdomen :
g. Inspeksi : Datar Supel
Timpani
h. Auskultasi : BU + normal
i. Hepar/Lien: TTB
- Pemeriksaan ekstremitas
g. Superior & inferior : Edema
-/- Ikterik -/-
h. CRT < 2 detik
- Akral hangat

12
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Definisi
Chronic kidney disease atau penyakit ginjal kronik didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa
penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR) (Nahas & Levin,2010).
Terry & Aurora (2013) menyatakan CKD merupakan suatu perubahan
fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel. Pada gagal ginjal kronik,
ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan cairan sisa
metabolisme sehingga menyebabkan penyakit gagal ginjal stadium
akhir.
Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan
asupan makanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi 2
kategori, yaitu akut dan kronik. CKD atau gagal ginjal kronik
merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat
(biasanya berlangsung bertahun-tahun), sebaliknya gagal ginjal akut
terjadi dalam beberapa hari atau minggu (Price & Wilson, 2006).
CKD atau gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kondisi dimana
ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif,
irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal
dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan
elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009).

2. Epidemiologi
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik saat ini terus mengalami
peningkatan di seluruh belahan dunia. Diperkirakan lebih dari 50 juta
penduduk dunia mengalami CKD dan 1 juta dari mereka membutuhkan
terapi pengganti ginjal (Prodjosudjadi, 2013). Penelitian di jepang mem
perkirakan sekitar 13 % dari jumlah penduduk atau sekitar 13,3 juta
orang memiliki penyakit ginjal kronik pada tahun 2005 (Imai, 2009).

13
Menurut data CDC (2010) terdapat lebih dari 20 juta warga
Amerika Serikat yang menderita penyakit ginjal kronik, angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunya. Lebih dari 35% pasien diabetes
menderita penyakit ginjal kronik, dan lebih dari 20% pasien hipertensi
juga memliki penyakit ginjal kronik dengan insidensi penyakit ginjal
kronik tertinggi ditemukan pada usia 65 tahun atau lebih (CDC, 2014).
Studi di Indonesia menyebutkan angka insidensi pasien CKD sebesar
30,7 perjuta penduduk dan angka kejadianya sebesar 23,4 perjuta
penduduk (Prodjosudjadi, 2009)
Jumlah pasien yang menderita penyakit ginjal kronik diperkirakan
akan terus meningkat, peningkatan ini sebanding dengan bertambahnya
jumlah populasi, peningkatan populasi usia lanjut, serta peningkatan
jumlah pasien hipertensi dan diabetes (Robinson, 2006).

3. Etiologi
a. Infeksi
CKD yang disebabkan oleh infeksi misalnya pielonefritis
kronik (Infeksi saluran kemih) dan glomerulonefritis (penyakit
peradangan). Pielonefritis adalah proses infeksi peradangan yang
biasanya mulai di renal pelvis, saluran ginjal yang menghubungkan
ke saluran kencing (ureter) dan parencyma ginjal atau jaringan
ginjal. Glomerulonefritis disebabkan oleh salah satu dari banyak
penyakit yang merusak baik glomerulus maupun tubulus. Pada
tahap penyakit berikutnya keseluruhan kemampuan penyaringan
ginjal sangat berkurang.
b. Penyakit vaskuler hipertensif
Nefrosklerosis benigna, stenosis arteria renalis disebabkan
karena terjadinya kerusakan vaskulararisasi di ginjal oleh adanya
peningkatan tekanan darah akut dan kronik.
c. Gangguan jaringan ikat
Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis
sistemik progresif disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi

14
yang ada dalam membran basalis glomerulus dan menimbulkan
kerusakan (Price, 2006). Penyakit peradangan kronik dimana
sistem imun dalam tubu menyerang jaringan sehat, sehingga
menimbulkan gejala diberbagai organ.
d. Gangguan kongenital dan herediter
Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal. Penyakit
ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral, dan
berekspansi yang lambat laun akan mengganggu dalam
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan, semakin
lama ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal sehingga
ginjal akan menjadi rusak.
e. Penyakit metabolik
DM (Diabetes Mellitus), gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis. Penyebab terjadinya ini dimana kondisi genetik yang
ditandai dengan adanya kelainan dalam proses metabolisme dalam
tubuh akibat defisiensi hormon dan enzim. Proses metabolisme
ialah proses memecahkan karbohidrat protein, dan lemak dalam
makanan untuk menghasilkan energi.
f. Nefropati toksik
Penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal. Penyebab
penyakit yang dapat dicagah bersifat refersibel, sehingga
penggunaan berbagai prosedur diagnostik.
g. Nefropati obstruktif
Saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan
uretra.
h. Batu saluran kencing
Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis.merupakan
penyebab gagal ginjal dimana benda padat yang dibentuk oleh
presipitasi berbagai zat terlarut dalam urin pada saluran kemih.

15
4. Faktor Resiko
Populasi yang lebih berisiko mengalami CKD adalah populasi
dengan usia tua, memiliki riwayat acute kidney injury, pernah
mengalami pengurangan massa nefron (riwayat nefrektomi, BBLR),
dan faktor genetik. Faktor lain yang berpengaruh adalah adanya riwayat
penyakit lain yang dapat menyebabkan CKD seperti riwayat penyakit
kardiovaskular dan faktor risikonya (hipertensi, diabetes, obesitas),
penyakit autoimun (seperti systemic lupus erythematous, vaskulitis),
infeksi (bakteri, Virus Hepatitis B, Virus Hepatitis C, HIV,
schistomatomiasis, malaria), obat-obatan serta toksin (NSAID,
Iodinated radiographic contrast, aristolohic acid) (Levey & Choresh,
2012).
5. Patogenesis
CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Ketika sebagian nefron mengalami kerusakan, ginjal akan
mempertahankan GFRdengan cara meningkatkan daya filtrasi dan
reabsorbsi zat terlarut dari nefron yang tersisa (surviving nephrons).
Keadaan ini menyebabkan nefron mengalami hipertrofi secara
struktural dan fungsional yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factors. Hipertrofi nefron menyebabkan
hiperfiltrasi adaptif yang diikuti oleh penambahan tekanan kapiler dan
aliran glomerulus sehingga pada pemeriksaan didapatkan GFR yang
normal atau sedikit meningkat. Proses ini berlangsung singkatdan
dilanjutkanoleh proses maladaptasi berupa sklerosis dari surviving
nephrons, sehingga terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresifditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum
disertai penurunan GFR (Sudoyo, 2012).
Penurunan fungsi disebabkan karena adanya sklerosis glomerular
dan tubular atrofi, yang mana sangat terkait dengan respon inflamasi.
Salah satu sitokin yang paling berpengaruh dalam progresi CKD adalah
transforming growth factor beta(TGF-β) dan interleukin-8 (IL-8). TGF-

16
βdapat memicu terjadinya fibrosis jaringan ginjal dengan menginduksi
pembentukanPlasminogen Activator Type-1(PAI-1), meregulasi
pertumbuhan dan diferensiasi sel, memicu produksi matriks
ekstraseluler dan mengintervensi jalur sinyal angiotensin II (Viannaet
al., 2011). Kerusakan ginjal, yang disertai dengan pembentukan
ROS(Reactive Oxidative Species)akan menekan pembentukan enzim
antioksidan, pengeluaran sitokin proinflamasi, seperti IL-6, IL-8, Tumor
Necrosis Factor alpha (TNF-α), serta peningkatan berbagai zat seperti
Advanced Glycation End Product(AGE) dan Leptin, sehingga dapat
memicu proses inflamasi (Silverstein, 2009).
Penurunan GFR sebesar 60% masih belum menimbulkan keluhan.
Ketika penurunan GFR mencapai 30%, keluhan mulai muncul seperti
seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan
penurunan berat badan. Pasien dengan penurunan GFR di bawah 30%
akan menunjukkan gejala uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah
terserang infeksi, seperti pada saluran kemih, saluran napas maupun
saluran cerna. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit juga bisa
muncul. Pada GFR di bawah 15%, gejala yang muncul akan lebih serius
dan disertai dengan komplikasi sehingga pasien membutuhkan RRT
(Renal Replacement Therapy) (Sudoyo, 2009; O’Callaghan, 2009).

6. Manifestasi Klinis
a. Manifestasi klinik antara lain :
i. Gejala dini :
Sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi. Sakit kepala awalnya
pada penyakit CKD memang tidak akan langsung terasa, namun
jika terlalu sering terjadi maka akan mengganggu aktifitas.
Penyebabnya adalah ketika tubuh tidak bisa mendapatkan
oksigen dalam jumlah cukup akibat kekurangan sel darah merah,

17
bahkan otak juga tidak bisa memiliki kadar oksigen dalam
jumlah yang cukup. Sakit kepala akan menjadi lebih berat jika
penderita juga bermasalah dengan anemia.
ii. Gejala yang lebih lanjut :
Anoreksia atau mual disertai muntah, nafsu makan turun,
nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau
tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada
tapi mungkin juga sangat parah. Anoreksia adalah kelainan
psikis yang diderita seseorang berupa kekurangan nafsu makan
mesti sebenarnya lapar dan berselera terhadap makanan. Gejala
mual muntah ini biasanya ditandai dengan bau mulut yang kuat
yang menjadi tidak nyaman, bahkan keinginan muntah bisa
bertahan sepanjang waktu hingga sama sekali tidak bisa makan.
Pada nafsu makan turun disebabkan karena penurunan nafsu
makan berlebihan, ginjal yang buruk untuk menyaring semua
racun menyebabkan ada banyak racun dalam tubuh. Racun telah
mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh.
iii. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2009) antara lain:
Hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas
sisyem renin-angiotensin-aldosteron), gagal jantung kongestif
dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis
(akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis,
anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang,
perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
b. Manifestasi klinik menurut Nahas &Levin (2010) adalah sebagai
berikut:
i. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis,
effusi perikardiak dan gagal jantung akibat penimbunan cairan,
gangguan irama jantung dan edema. Kondisi bengkak bisa
terjadi pada bagian pergelangan kaki, tangan, wajah, dan betis.
Kondisi ini disebabkan ketika tubuh tidak bisa mengeluarkan

18
semua cairan yang menumpuk dalam tubuh, genjala ini juga
sering disertai dengan beberapa tanda seperti rambut yang
rontok terus menerus, berat badan yang turun meskipun terlihat
lebih gemuk.
ii. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan
riak, suara krekels.
iii. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan
metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada
salurangastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau
ammonia.
iv. Gangguan muskuloskeletal
Restless leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar,
terutama ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan
hipertropi otot-otot ekstremitas).
v. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan
akibat penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis
dan rapuh.
vi. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolik
glukosa, gangguan metabolik lemak dan vitamin D.
vii. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi
kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia,
hipomagnesemia, hipokalsemia.
viii. System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum

19
tulang berkurang, menyebabkan hemolisis akibat berkurangnya
masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga
terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

7. Penegakan Diagnosis
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak
langsung. Bukti langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada
pencitraan atau pemeriksaan histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan
meliputi ultrasonografi, computed tomography (CT), magnetic
resonance imaging (MRI), dan isotope scanning dapat mendeteksi
beberapa kelainan struktural pada ginjal. Histopatologi biopsi renal
sangat berguna untuk menentukan penyakit glomerular yang mendasari
(Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2008).
Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari
urinalisis. Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan
kebocoran sel darah merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan
adanya hematuria atau proteinuria (Scottish Intercollegiate Guidelines
Network, 2008). Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan
kadar ureum dan kreatinin serum. Penurunan GFR dapat dihitung
dengan mempergunakan rumus Cockcroft-Gault (Suwitra, 2009).
Penggunaan rumus ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin
(Willems et al., 2013).

Pengukuran GFR dapat juga dilakukan dengan menggunakan rumus


lain, salah satunya adalah CKD-EPI creatinine equation (National
Kidney Foundation, 2015).

20
Keterangan :
k wanita : 0,7
k pria : 0,9
α wanita : - 0,329
α pria : - 0,441
Scr : kreatinin serum (mg/dL)
Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran
Cystatin C. Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD)
yang disintesis oleh semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan
tubuh manusia. Kadarnya dalam darah dapat menggambarkan GFR
sehingga Cystatin C merupakan penanda endogen yang ideal (Yaswir &
Maiyesi, 2012).

8. Pemeriksaan Penunjang
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi
maka perlu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis
ataupun kolaborasi antara lain :
a. Hematologi
Hemoglobin, Hematokrit, Eritrosit, Leukosit, Trombosit
b. Renal Function Test (RFT)
Ureum dan Kreatinin
c. Liver Function Test (LFT)
d. Elektrolit (Klorida, kalium, kalsium)
e. Koagulasi studi PTT, PTTK
f. BGA
BUN/ Kreatinin : meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi
kadar kreatinin 10mg/dl diduga tahap akhir (rendahnya yaitu 5).

21
Hitung darah lengkap : hematokrit menurun, HB kurang dari 7-8
g/dl.
SDM : waktu hidup menurun pada defisiensi erritripoetin seperti
azotemia.
AGD : penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7:2) terjadi
karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan
hidrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein
bikarbonat menurun PC02 menurun.
Kalium : peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan hemolisis
SDM pada tahap akhir perubahan EKG tidak terjadi kalium 6,5
atau lebih besar.
g. urine rutin
h. urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
volume : kurang dari 400ml/jam, oliguri, anuria
warna : secara abnormal urine keruh, disebabkan bakteri, partikel,
koloid dan fosfat.
Sedimen : kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb,
mioglobin, porfirin.
Berat jenis : kurang dari 1.015 (menetap pada 1,015) menunjukkan
kerusakan ginjal berat.
i. ECO
j. EKG : mungkin abnormal untuk menunjukkan keseimbangan
elektrolit dan asam basa.
k. Endoskopi ginjal : dilakukan secara endoskopik untuk
menentukkan pelvis ginjal, pengangkatan tumor selektif.
l. USG abdominal
m. CT scan abdominal
n. BNO/IVP, FPA
o. Renogram
p. RPG ( Retio Pielografi ) Untuk menunjukkan abnormalis pelvis
ginjal dan ureter.

22
9. Tatalaksana
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu :
a. Konservatif
Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
Observasi balance cairan
Observasi adanya odema
Batasi cairan yang masuk
b. Dialysis
i. Peritoneal dialysis
Biasanya dilakukan pada kasus-kasus emergency. Dialysis yang
bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah
CAPD (Continues Ambulatori Peritonial Dialysis)
ii. Hemodialisis
Cara ini seperti dialysis, tetapi dilakukan melalui tindakan
infasif di vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya
hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk
mempermudah maka dilakukan:
AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke
jantung). Tujuannya yaitu untuk menggantikan fungsi ginjal
dalam tubuh fungsi eksresi yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa
metabolisme yang lain.
c. Operasi
i. Pengambilan batu
ii. Transplantasi ginjal

10. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan
mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut
Smeltzer dan Bare (2009) serta Suwitra (2009) antara lain adalah :

23
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata
bolisme, dan masukan diit berlebih.
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat
retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi
sistem renin angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat,
kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang
abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan
nitrogen dan ion anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang
berlebihan.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

24
B. Hipertensi

1. Definisi

Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah


tinggi. Batas tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk
menentukan normal atau tidaknya tekanan darah adalah tekanan
sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC (Joint National Comitee) VII,
seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140
mmHg atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih (Chobaniam,
2003).
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90
mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai
tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps,
2005).
2. Etiologi
a. Hipertensi essensial
Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa
kelainan dasar patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus
merupakan hipertensi essensial. Penyebab hipertensi meliputi
faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi
kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas
pembuluh darah terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan
lain-lain. Faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok,
stress emosi, obesitas dan lain-lain (Nafrialdi, 2009).
Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat badan yang
berlebihan dan gaya hidup tampaknya memiliki peran yang utama
dalam menyebabkan hipertensi. Kebanyakan pasien hipertensi
memiliki berat badan yang berlebih dan penelitian pada berbagai
populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang berlebih
(obesitas) memberikan risiko 65-70 % untuk terkena hipertensi
primer (Guyton, 2008).

25
b. Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi
sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi
renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular
adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu,
baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi
atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah
(Syamsudin, 2011).
3. Faktor Risiko
a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
Faktor risiko yang tidak dapat dirubah yang antara lain usia, jenis
kelamin dan genetik.
i. Usia
Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan
bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih
besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut
cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di
atas usia 65 tahun (Depkes, 2006b).
Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya
berupa kenaikan tekanan sistolik. WHO memakai tekanan
diastolik sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai
dalam menentukan ada tidaknya hipertensi. Tingginya
hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur yang
disebabkan oleh perubahaan struktur pada pembuluh darah
besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding
pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibatnya
terjadi peningkatan tekanan darah sistolik. Penelitian yang
dilakukan di 6 kota besar seperti Jakarta, Padang, Bandung,
Yogyakarta, Denpasar dan Makassar terhadap usia lanjut (55-
85 tahun), didapatkan prevalensi hipertensi terbesar 52,5 %
(Depkes, 2006).

26
ii. Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi,
dimana pria lebih banyak yang menderita hipertensi
dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk
peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki
gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan
darah dibandingkan dengan wanita (Depkes, 2006b). Namun,
setelah memasuki manopause, prevalensi hipertensi pada
wanita meningkat. Setelah usia 65 tahun, terjadinya
hipertensi pada wanita lebih meningkat dibandingkan dengan
pria yang diakibatkan faktor hormonal. Penelitian di
Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita
(Depkes, 2006).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menyebutkan
bahwa prevalensi penderita hipertensi di Indonesia lebih
besar pada perempuan (8,6%) dibandingkan laki-laki (5,8%).
Sedangkan menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan (2006), sampai umur 55 tahun, laki-laki lebih
banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari
umur 55 sampai 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan
dibanding laki-laki yang menderita hipertensi (Depkes,
2008).
iii. Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi
(faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena
hipertensi, terutama pada hipertensi primer (essensial).
Tentunya faktor genetik ini juga dipenggaruhi faktor-faktor
lingkungan, yang kemudian menyebabkan seorang menderita
hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme
pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut Davidson
bila kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar
45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang

27
tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan
turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006b).
b. Faktor risiko yang dapat diubah
Faktor risiko penyakit jantung koroner yang diakibatkan
perilaku tidak sehat dari penderita hipertensi antara lain merokok,
diet rendah serat, kurang aktifitas gerak, berat badan
berlebihan/kegemukan, komsumsi alkohol, hiperlipidemia atau
hiperkolestrolemia, stress dan komsumsi garam berlebih sangat
berhubungan erat dengan hipertensi (Depkes, 2006b).
i. Kegemukan (obesitas)
Kegemukan (obesitas) adalah presentase abnormalitas
lemak yang dinyatakan dalam Indeks Massa Tubuh (IMT)
yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan
kuadrat dalam meter. Kaitan erat antara kelebihan berat
badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh
beberapa studi. Berat badan dan IMT berkorelasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Pada
penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki
berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006b).
IMT merupakan indikator yang paling sering
digunakan untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih
dan obesitas pada orang dewasa (Zufry, 2010). Menurut
Supariasa, penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang
dewasa berumur di atas 18 tahun (Supriasa, 2001). Obesitas
bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi
hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk
menderita hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Pada
penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki
berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006b).
ii. Psikososial dan stress

28
Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh
adanya transaksi antara individu dengan lingkungannya yang
mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya
perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis,
psikologis dan sosial) yang ada pada diri seseorang (Depkes,
2006b).
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung,
rasa marah, dendam, rasa takut dan rasa bersalah) dapat
merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta
lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika
stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan
penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau
perubahaan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa
hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan, prevalensi atau
kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat
lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih
disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada
nasib mereka (Depkes, 2006).
iii. Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon
monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam
aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah
arteri yang mengakibatkan proses artereosklerosis dan
tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan
erat antara kebiasaan merokok dengan adanya
artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga
meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk
disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita
tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan
pada pembuluh darah arteri (Depkes, 2006b).

29
Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah
dibuktikan dalam penelitian bahwa dalam satu batang rokok
terkandung 4000 racun kimia berbahaya termasuk 43
senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu 1)
Nikotin, merupakan salah satu jenis obat perangsang yang
dapat merusak jantung dan sirkulasi darah dengan adanya
penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung,
pengerasan pembuluh darah dan penggumpalan darah. 2) Tar,
dapat mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan
menyebabkan kanker. 3) Karbon Monoksida (CO)
merupakan gas beracun yang dapat menghasilkan
berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen (Depkes,
2008b).
iv. Olahraga
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh
otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan
aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme
untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru
memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat
gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan
sisa-sisa dari tubuh (Nafrialdi. 2009).
Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung
koroner melalui mekanisme penurunan denyut jantung,
tekanan darah, penurunan tonus simpatis, meningkatkan
diameter arteri koroner, sistem kolateralisasi pembuluh darah,
meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein) dan
menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein) darah. Melalui
kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja secara lebih efisien.
Frekuensi denyut nadi berkurang, namun kekuatan jantung
semakin kuat, penurunan kebutuhan oksigen jantung pada
intensitas tertentu, penurunan lemak badan dan berat badan
serta menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008).

30
Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan
tekanan darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi
ringan. Pada orang tertentu dengan melakukan olahraga
aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah tanpa
perlu sampai berat badan turun (Depkes, 2006b).
v. Komsumsi garam berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam
tubuh karena menarik cairan di luar sel agar tidak
dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan
tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer
(essensial) terjadi respon penurunan tekanan darah dengan
mengurangi asupan garam 3 gram atau kurang, ditemukan
tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat
asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan rata-rata lebih tinggi
(Depkes, 2006b).
Almatsier (2006) menyatakan natrium adalah kation
utama dalam cairan ekstraseluler. Pengaturan keseimbangan
natrium dalam darah diatur oleh ginjal. Sumber utama
natrium adalah garam dapur atau NaCl, selain itu garam
lainnya bisa dalam bentuk soda kue (NaHCO3), baking
powder, natrium benzoate dan vetsin (monosodium
glutamate). Kelebihan natrium akan menyebabkan keracunan
yang dalam keadaan akut menyebabkan edema dan
hipertensi. WHO menganjurkan bahwa komsumsi garam
yang dianjurkan tidak lebih 6 gram/hari setara 110 mmol
natrium (Nafrialdi. 2009).
vi. Hiperlipidemia/Hiperkolestrolemia
Kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai
dengan peningkatan kadar kolestrol total, trigliserida,
kolestrol LDL atau penurunan kadar kolestrol HDL dalam
darah. Kolestrol merupakan faktor penting dalam terjadinya
aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian tahanan

31
perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat
(Cahyono,2008).
4. Patogenesis
Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui
sistem sirkulasi dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac
output/CO) dan dukungan dari arteri (peripheral resistance/PR).
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan
penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,
aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl
akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan
tekanan darah (Anggraini, 2008).

Patofisiologi hipertensi.
(Sumber: Rusdi & Nurlaela Isnawati, 2009)

32
5. Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain
tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada
retina, seperti perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan
pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil (edema pada diskus
optikus). Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit kepala
bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada
berdebar-debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing (Price,
2005).
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita
hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal
hipertensi yaitu sakit kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan
hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk
terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat
komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan
penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak)
yang mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak
yang mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga
koma (Cahyono, 2008).
Cahyono menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul
setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat
terjaga, 15 kadang kadang disertai mual dan muntah yang disebabkan
peningkatan tekanan darah intrakranial (Cahyono, 2008).
6. Penegakkan Diagnosis
Komite eksekutif dari National High Blood Pressure Education
Program merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari 46
professionalm sukarelawan, dan agen federal. Mereka mencanangkan
klasifikasi JNC (Joint Committe on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure) pada tabel 1, yang dikaji oleh
33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat (Sani, 2008).

33
Tabel 1
Klasifikasi Menurut JNC (Joint National Committe on Prevention,
Detection, Evaluatin, and Treatment of High Blood Pressure)
Kategori Kategori Tekanan dan/ Tekanan
Tekanan Darah Tekanan Darah Darah Sistol atau Darah Diastol
menurut JNC 7 menurut JNC 6 (mmHg) (mmHg)
Normal Optimal < 120 dan < 80
Pra-Hipertensi 120-139 atau 80-89
- Nornal < 130 dan < 85
- Normal-Tinggi 130-139 atau 85-89
Hipertensi: Hipertensi:
Tahap 1 Tahap 1 140-159 atau 90-99
Tahap 2 - ≥ 160 atau ≥ 100
- Tahap 2 160-179 atau 100-109
Tahap 3 ≥ 180 atau ≥ 110

7. Tatalaksana
Kelas obat utama yang digunakan untuk mengendalikan
tekanan darah adalah (Nafrialdi. 2009):
a. Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan
diuresis. Pengurangan volume plasma dan Stroke Volume (SV)
berhubungan dengan dieresis dalam penurunan curah jantung
(Cardiac Output, CO) dan tekanan darah pada akhirnya. Penurunan
curah jantung yang utama menyebabkan resitensi perifer. Pada
terapi diuretik pada hipertensi kronik volume cairan ekstraseluler
dan volume plasma hampir kembali kondisi pretreatment.
a. Thiazide
Thiazide adalah golongan yang dipilih untuk menangani
hipertensi, golongan lainnya efektif juga untuk menurunkan
tekanan darah. Penderita dengan fungsi ginjal yang kurang baik
Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) diatas 30 mL/menit, thiazide
merupakan agen diuretik yang paling efektif untuk menurunkan
tekanan darah. Dengan menurunnya fungsi ginjal, natrium dan
cairan akan terakumulasi maka diuretik jerat Henle perlu
digunakan untuk mengatasi efek dari peningkatan volume dan
natrium tersebut. Hal ini akan mempengaruhi tekanan darah arteri.

34
Thiazide menurunkan tekanan darah dengan cara memobilisasi
natrium dan air dari dinding arteriolar yang berperan dalam
penurunan resistensi vascular perifer.
b. Diuretik Hemat Kalium
Diuretik Hemat Kalium adalah anti hipertensi yang lemah
jika digunakan tunggal. Efek hipotensi akan terjadi apabila diuretik
dikombinasikan dengan diuretik hemat kalium thiazide atau jerat
Henle. Diuretik hemat kalium dapat mengatasi kekurangan kalium
dan natrium yang disebabkan oleh diuretik lainnya.
c. Antagonis Aldosteron
Antagonis Aldosteron merupakan diuretik hemat kalium
juga tetapi lebih berpotensi sebagai antihipertensi dengan onset
aksi yang lama (hingga 6 minggu dengan spironolakton).
b. Beta Blocker
Mekanisme hipotensi beta bloker tidak diketahui tetapi dapat
melibatkan menurunnya curah jantung melalui kronotropik negatif
dan efek inotropik jantung dan inhibisi pelepasan renin dan ginjal.
a. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan
kardioselektif pada dosis rendah dan mengikat baik reseptor β1
daripada reseptor β2. Hasilnya agen tersebut kurang merangsang
bronkhospasmus dan vasokontruksi serta lebih aman dari non
selektif β bloker pada penderita asma, penyakit obstruksi
pulmonari kronis (COPD), diabetes dan penyakit arterial perifer.
Kardioselektivitas merupakan fenomena dosis ketergantungan dan
efek akan hilang jika dosis tinggi.
b. Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol memiliki
aktivitas intrinsik simpatomimetik (ISA) atau sebagian aktivitas
agonis reseptor β.
c. Inhibitor Enzim Pengubah Angiotensin (ACE-inhibitor)
ACE membantu produksi angiotensin II (berperan penting
dalam regulasi tekanan darah arteri). ACE didistribusikan pada
beberapa jaringan dan ada pada beberapa tipe sel yang berbeda

35
tetapi pada prinsipnya merupakan sel endothelial. Kemudian,
tempat utama produksi angiotensin II adalah pembuluh darah
bukan ginjal. Pada kenyataannya, inhibitor ACE menurunkan
tekanan darah pada penderita dengan aktivitas renin plasma
normal, bradikinin, dan produksi jaringan ACE yang penting dalam
hipertensi.
d. Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)
Angiotensin II digenerasikan oleh jalur renin-angiotensin
(termasuk ACE) dan jalur alternatif yang digunakan untuk enzim
lain seperti chymases. Inhibitor ACE hanya menutup jalur renin-
angiotensin, ARB menahan langsung reseptor angiotensin tipe I,
reseptor yang memperentarai efek angiotensin II. Tidak seperti
inhibitor ACE, ARB tidak mencegah pemecahan bradikinin.
e. Antagonis Kalsium
CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan
menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan
sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstra selluler ke dalam
sel. Relaksasai otot polos vasjular menyebabkan vasodilatasi dan
berhubungan dengan reduksi tekanan darah. Antagonis kanal
kalsium dihidropiridini dapat menyebbakan aktibasi refleks
simpatetik dan semua golongan ini (kecuali amilodipin)
memberikan efek inotropik negative.
f. Alpha blocker
Prasozin, Terasozin dan Doxazosin merupakan penghambat
reseptor α1 yang menginhibisi katekolamin pada sel otot polos
vascular perifer yang memberikan efek vasodilatasi. Kelompok ini
tidak mengubah aktivitas reseptor α2 sehingga tidak menimbulkan
efek takikardia.
g. VASO-dilator langsung
Hedralazine dan Minokxidil menyebabkan relaksasi langsung
otot polos arteriol. Aktivitasi refleks baroreseptor dapat
meningkatkan aliran simpatetik dari pusat fasomotor,

36
meningkatnya denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin.
Oleh karena itu efek hipotensi dari vasodilator langsung berkurang
pada penderita yang juga mendapatkan pengobatan inhibitor
simpatetik dan diuretik.
h. Inhibitor Simpatetik Postganglion
Guanethidin dan guanadrel mengosongkan norepinefrin dari
terminal simpatetik postganglionik dan inhibisi pelepasan
norepinefrin terhadap respon stimulasi saraf simpatetik. Hal ini
mengurangi curah jantung dan resistensi vaskular perifer .
i. Agen-agen obat yang beraksi secara sentral
j. VASO-dilator langsung
8. Komplikasi
Kerusakan organ tubuh akibat hipertensi seperti penyakit jantung
koroner dan perdarahan otak merupakan penyebab utama kematian
pada penderita hipertensi. Menurut Kaplan, studi Framingham
menunjukkan bahwa penderita hipertensi laki-laki tua di atas 65 tahun
akan mendapat 2-3 kali kemungkinan penyakit jantung koroner
dengan kematian 50% dalam waktu 5 tahun dan 6 kali mendapatkan
stroke dibandingkan dengan orang yang normotensi (Udjianti, 2011).
Selain penyakit jantung banyak kerugian yang diderita manusia
akibat hipertensi misalnya kegagalan ginjal, kerusakan pada mata,
kelumpuhan akibat serangan pada otak. Menurut Moerdowo (1984),
7% dari wanita hamil menderita toksemia gravidarum yang ditandai
dengan adanya hipertensi berat, proteinuria dan udema kaki. Penyakit
ini berakibat fatal bagi ibu dan anak yang dikandungnya(Udjianti,
2011).

IV. PEMBAHASAN

Pasien bernama Ny. Susilah 52 tahun mengalami keluhan utama


nyeri pinggang . Pemeriksaan fisik dan penunjunag didapatkan tekanan
darah 160/100, ureum darah 157,05, dan kreatinin darah 7,55. Hasil
pemeriksaan menunjukan peningkatan tekanan darah. Sesuai standar JNC

37
7, tekanan darah pasien diklasifikasikan dalam hipertensi stage 2. Hasil
pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah meningkat dari normal. Hal
ini menunjukan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus karena
kerusakan yang terjadi di ginjal. Selain itu, Ny. Susilah merasakan pusing
dan lemas yang menunjukan tanda-tanda anemia. Anemia yang dialami
Ny. Susilah disebabkan karena penyakit ginjal kronik yang dideritanya
karena kerusakan ginjal menyebabkan penurunan produksi eritropoietin
untuk metabolisme sel darah merah.
Tatalaksana yang dapat diberikan untuk Ny. Susilah adalah dengan
menurunkan tekanan darah dan memperbaiki fungsi ginjalnya. Terapi
medikamentosa yang dapat diberikan adalah Inj Furosemid 1 Ampul/24
Jam, P.O Amlodipin 1 x 10 mg, Irbesartan 1 x 300 mg, Asam Folat 2x1,
Bicnat 2x1,Nocid 2x1. Terapi non medikamentosa dapat diberikan IVFD
NaCl 0,9% 10 tpm, Transfusi PRC, dan disarankan untuk tirah baring.

V. KESIMPULAN

1. Chronic kidney disease atau penyakit ginjal kronik didefinisikan


sebagai kerusakan ginjal sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa
penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR) (Nahas &
Levin,2010). Ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat,
progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan
tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan
keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia
(Smeltzer, 2009).
2. Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas
90 mmHg.
3. Pasien bernama Ny. Susilah 52 tahun Chronic Kidney Disease,
Hipertensi Stage 2, Anemia e.c CKD

38
4. Terapi medikamentosa yang dapat diberikan adalah Inj Furosemid 1
Ampul/24 Jam, P.O Amlodipin 1 x 10 mg, Irbesartan 1 x 300 mg,
Asam Folat 2x1, Bicnat 2x1,Nocid 2x1. Terapi non medikamentosa
dapat diberikan IVFD NaCl 0,9% 10 tpm, Transfusi PRC, dan
disarankan untuk tirah baring.

39
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, S. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modren. Kanisius. Jakarta.

CDC. National Chronic Kidney Disease Fact Sheet: General Information and
National Estimates on Chronic Kidney Disease in the United States.
Atlanta: US Department of Health and Human Services.Centers for
Disease Control and Prevention[Internet]. 2014[cited 2014 Feb 4].
Available from :
http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/factsheets/kidney.htm.

Chobanian, et al.2003. The seventh report od the joint national committee (JNC).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008a, Daftar Obat Essensial


Nasional, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

Depkes RI, 2006, Pharmaceutical Care untuk Hipertensi, Departemen Kesehatan


RI, Jakarta.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC

Imai E, Horio M, Watanabe T, et al. Prevalence of chronic kidney disease in the


Japanese general population. Clinical and experimental nephrology
[Internet]. 2009 [cited 2014 Jan 2];13(6):621-630.Available from :
SpringerLink.

Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Sulistia Gan Gunawan (ed). Farmakologi dan


Terapi Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide
to Understanding and Management. USA : Oxford University Press.
2010

National Kidney Foundation. 2015. About Chronic Kidney Disease. Diakses dari:
https://www.kidney.org/kidneydisease/aboutckd. Diunduh pada 15
Desember 2015.

Price, S.A., dan Wilson, L. M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Prosesproses
Penyakit, Edisi 6, Vol. 2, diterjemahkan oleh Pendit, B. U., Hartanto,
H.,

Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006). Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, E/6,
Vol. 2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC

40
Prodjosudjadi W, Suhardjono A. End-stage renal disease in Indonesia: treatment
development. Ethnicity & disease[Internet]. 2009[cited 2014 Jan
2];19(1 Suppl 1):S1-33-36.Available from : PubMed.

Prodjosudjadi W. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management


of Chronic Kidney Disease. In Chasani S, Gasem MH, Arwanto A,
(Eds). Current Guidelines in Internal Medicine to Improve Clinical
Practice, Kumpulan Naskah Pertemuan Ilmiah Tahunan XVII PAPDI
Cabang Semarang. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
2013.

Robinson BE. Epidemiology of chronic kidney disease and anemia. Journal of the
American Medical Directors Association[Internet]. 2006[cited 2013 okt
4];7(9 Suppl):S3-6; quiz S17-21.Available from : Elsevier.

Scottish Intercollegiate Guidelines Network. 2008. Diagnosis and management of


chronic kidney disease: a national clinical guideline. Diakses dari:
http://www.sign.ac.uk/pdf/sign103.pdf. Diunduh pada 15 Desember
2018. Vol 289. No.19. P 2560-70.

Sheps, S. G. (2005). Mayo clinic hipertensi; mengatasi tekanan darah tinggi.


Jakarta:Intisari Mediatama.

Smeltzer, S. C., & Bare B. G. ( 2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth ( Edisi 8 Volume 1). Jakarta: EGC

Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo , A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadribata, M.K., Setiati, S., penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing. hlm. 1035–40.

Syamsudin. 2011. Buku Ajar Farmakoterapi Kardiovaskular Dan Renal. Jakarta:


Penerbit Salemba Medika pp 31

Udjianti, Wajan. 2011. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.

Wulansari, p., Mahanani, D. A. 2010,Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Yasir, R., Maiyesi, A. 2012. Pemeriksaan laboratorium cystatin c untuk uji fungsi
ginjal. Jurnal Kesehatan Andalas. 1(1):10–5.

41
42

Anda mungkin juga menyukai