Anda di halaman 1dari 14

A.

Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Menurut World Health Organization (WHO) dan World Bank, satu
miliar atau 15% orang di dunia adalah penyandang disabilitas. Sedangkan
berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sosial Kota Bandung, terdapat
5.069 orang penyandang disabilitas dan 1.060 anak penyandang disabilitas
pada tahun 2012. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota
Bandung pada tahun 2012, jumlah penyandang disabilitas hanya 0.18%.
Meskipun jumlah ini menunjukan persentase yang kecil jika
dibandingkan dengan dunia, sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas, golongan ini berhak atas aksesibilitas agar
mendapat kemudahan guna mewujudkan kesamaan kesempatan. Jumlah
yang kecil ini bukan berarti kebutuhan akan akses yang layak bisa
dikesampingkan. Hak aksesibilitas ini disebutkan pada Pasal 18.
Aksesibilitas meliputi akses untuk memanfaatkan fasilitas publik dan
mendapatkan akomodasi yang layak.
Di Kota Bandung, fasilitas untuk disabilitas sudah terdapat, namun
belum bisa dikatakan ramah difabel. Trotoar misalnya, masih ada daerah-
daerah dimana ramp untuk pengguna kursi roda tidak tersedia sehingga
menyulitkan pengguna kursi roda untuk menggunakan trotoar. Guiding
block yang terdapat pada trotoar di kota bandung seringkali penandaannya
tidak sesuai dan terpotong oleh tiang atau pohon. Beberapa area trotoar yang
berbatasan dengan saluran drainase juga tidak terdapat batas sehingga dapat
berbahaya bagi baik pengguna kursi roda maupun tunanetra.
Bangunan publik seharusnya bisa diakses dengan bebas oleh semua
golongan namun kenyataannya bangunan seperti mall, hotel, sekolah, bank,
dan lainnya seringkali tidak memiliki fasilitas untuk difabel yang memadai.
Fasilitas difabel yang sering ditemui pada fasilitas publik seperti ram dan
guiding block sulit ditemukan pada bangunan publik. Ramp biasanya
terdapat hanya di luar atau teras bangunan dan akses untuk kursi roda pada
dalam bangunan berupa lift, namun jika terjadi kebakaran atau bencana
alam dan lift tidak dapat digunakan maka pengguna kursi roda akan
kesulitan menyelamatkan diri. Sedangkan guiding block tidak terlihat
disediakan pada bangunan publik.
2. Pembatasan Masalah
Karena cakupan aksebilitas yang luas dan meliputi berbagai aspek
kehidupan, maka penulis membataskan penelitian hanya dari segi
Kesediaan Fasilitas Difabel Pada Bangunan Publik di Kota Bandung.
3. Perumusan Masalah
Atas dasar penentuan latar belakang di atas, maka penulis mengambil
perumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa peraturan yang mendasari perlunya penyediaan fasilitas difabel di
bangunan publik?
b. Apa saja aksesibilitas yang harus ada pada bangunan publik sehingga
dapat membantu difabel untuk memiliki akses?
c. Seperti apa kesediaan fasilitas difabel yang ada pada bangunan publik
di Kota Bandung?
4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui peraturan yang mendasari perlunya penyediaan fasilitas
difabel di bangunan publik.
b. Mengetahui aksesibilitas yang harus ada pada bangunan publik sehingga
dapat membantu difabel untuk memiliki akses.
c. Mengetahui kesediaan fasilitas difabel yang ada pada bangunan publik
di Kota Bandung.
5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
a. Memberikan informasi kepada pembaca dan masyarakat luas mengenai
standar aksesibilitas untuk difabel.
b. Memberikan informasi kepada pembaca dan masyarakat luas mengenai
kesediaan fasilitas difabel pada bangunan publik.
c. Menambah pengalaman dan pengetahuan penulis dalam melakukan
penelitian tentang aksesibilitas untuk penyandang disabilitas.

2
B. Kajian Teori
1. Kajian Teori
a. Penyandang Disabilitas

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun


2016 Pasal 1, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan
dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara
penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan
hak. Sedangkan menurut Americans with Disabilities Act, penyandang
cacat adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik atau mental yang
substansial membatasi satu atau kegiatan yang lebih besar dalam hidup
seseorang yang memiliki sejarah atau catatan penurunan tersebut, atau
orang yang dianggap oleh orang lain memiliki gangguan tersebut.

b. Peraturan Mengenai Fasilitas Penyandang Cacat di Indonesia


Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 6
disebutkan bahwa salah satu hak difabel adalah memperoleh
aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya. Dalam Pasal 10 Ayat (2),
disebutkan bahwa penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk
menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang difabel
agar dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat. Penyediaan aksesibilitas
ini diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan
secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan sebagaimana
diungkapkan dalam Pasal 10 Ayat (3).
Serupa dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997,
aksesibilitas pun menjadi salah satu hak difabel dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 5. Dalam Undang-Undang yang sama
disebutkan pula hak aksesibilitas difabel di dalam Pasal 18, yaitu hak
mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik; dan hak
mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk Aksesibilitas bagi
individu.

3
Mengenai kesediaan aksesibilitas bagi difabel, dalam Peraturan
Mentri Pekerjaan Umum Nomor 29 Tahun 2006 menyebutkan bahwa
dalam persyaratan kemudahan bangunan gedung perlu menjamin
tersedianya aksesibilitas bagi difabel, khususnya untuk banunan fasilitas
umum dan sosial. Penyediaan aksesibilitas ini tidak hanya sebatas di
dalam gedung tapi juga dalam hubungan ke dan dari bangunan gedung.
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas ini juga harus mempertimbangkan
tersedianya hubungan horizontal antarruang-dalam bangunan gedung
dan akses evakuasi untuk difabel.
Persyaratan aksesibilitas bagi difabel dalam setiap gedung
setidaknya menyediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk menjamin
terwujudnya kemudahan masuk dan keluar, ke, dan dari bangunan
gedung serta beraktivitas dalam bangunan gedung secara mudah, aman,
nyaman dan mandiri. Fasilitas dan aksesibilitas untuk difabel meliputi
toilet, tempat parkir, telepon umum, jalur pemandu, rambu dan marka,
pintu, ram, tangga, dan lift. Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas ini
disesuaikan dengan fungsi, luas, dan ketinggian bangunan gedung.
(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29 Tahun 2006 tentang
Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, 2006)
Selain dalam PerMen PU, aksesibilitas untuk difabel dalam
bangunan gedung juga dibahas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016. Dalam Bagian Kesebelas Paragraf 1 Pasal 98, bangunan gedung
yang mudah diakses oleh difabel adalah bangunan dengan fungsi
hunian; keagamaan; usaha; sosial dan budaya; olahraga; dan khusus.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyantumkan ketersediaan
fasilitas yang mudah diakses difabel sebagai salah satu syarat
permohonan izin mendirikan bangunan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 99 ayat (1).
c. Aksesibilitas dalam Bangunan
Urban Management Department of the Lebanese Company for
the Development and Reconstruction of Beirut Central District
(SOLIDERE) menyebutkan ada sepuluh hal yang perlu menjadi

4
pertimbangan dalam desain arsitektural untuk akses horizontal dan
vertikal, yaitu:
1) Ramp
Ramp disediakan terutama untuk pengguna kursi roda dan orang-
orang yang memiliki masalah mobilitas. Ramp ini memiliki lebar
minimal 95 cm tanpa tepi pengaman atau 120 cm dengan tepi
pengaman (Menteri Pekerjaan Umum, 2006). Setiap 10 m perlu ada
bordes dengan minimum panjang 1,2 m. Kemiringan ramp pada
dalam bangunan tidak melebihi 7o dengan perbandingan tinggi :
kelandaian, 1:8 (Menteri Pekerjaan Umum, 2006). Kemiringan ramp
disarankan kurang dari 5% agar bisa diakses tanpa bantuan orang
lain. Kemiringan 5% - 10% akan membuat pengguna kursi roda
perlu bantuan dan kemiringan lebih dari 10% dianggap berbahaya.
(SOLIDERE, 2003-04)

Maximum slope Maximum length Maximum rise

1:20 i.e., 5% - -

1:16 i.e., 6% 8m 0.50 m

1:14 i.e., 7% 5m 0.35 m

1:12 i.e., 8% 2m 0.15 m

1:10 i.e., 10% 1.25 m 0.12 m

1:08 i.e., 12% 0.5 m 0.06 m


Tabel 1 Kemiringan ramp (sumber:
http://www.un.org/esa/socdev/enable/designm/AD2-01.htm diakses 28 Desember
2016)

Ramp harus memiliki railing dengan tinggi minimum 40 cm dan


jarak antara railing di sebelah kiri dan kanan harus diantara 90 cm
sampai 1.4 m. Permukaan ramp tidak boleh licin dan perlu ada
guiding block untuk tunanetra dengan lebar minimal 60 cm.
(SOLIDERE, 2003-04)

5
Gambar 1 Tipikal ramp (sumber: PerMen PU No 30/PRT/M/2006)

2) Lift (elevator)
Dimensi minimal untuk lift adalah setidaknya dapat memuat satu
pengguna kursi roda atau sekitar 1 m x 1,3 m. Lebar pintu lift
setidaknya 80 cm dan di dalam lift terdapat railing di tiga sisi dengan
tinggi 80 cm – 85 cm dari lantai. Agar dapat dengan mudah diakses,
tombol lift dipasang sekitar 0,9 m – 1,2 m dari lantai. Huruf braille
juga harus ada di tombol dan penandaan lift lainnya. Agar
memudahkan tunanetra dan tunarungu, lift perlu memberikan tanda
visual dan bel untuk menandakan lantai yang dicapai. Pintu lift
sebaiknya berwarna kontras dengan sekitarnya agar terlihat jelas
dengan orang-orang yang pengelihatannya kurang baik.

3) Lift
Lift yang dimaksudkan disini merupakan alat pengangkut yang
bukan hanya seperti lift pada umumnya tapi juga termasuk mesin
yang terpasang di tangga untuk memudahkan pengguna kursi roda

6
untuk berpindah level ketinggian lantai. Lift ini khusus hanya untuk
difabel. Untuk lift yang dipasang di tangga, lebar tangga tidak boleh
kurang dari 90 cm dan ketinggian antar lantai tidak lebih dari 1,2 m.

4) Tangga
Prinsip dari desain tangga adalah menyediakan tangga yang aman
dengan dimensi yang cukup untuk kenyamanan pengguna terutama
untuk orang-orang dengan masalah mobilitas. Syarat dari tangga ini
adalah tangga memiliki ketinggian pijakan yang sama dan terdapat
guiding block diawal, bordes, dan akhir pijakan tangga. Tangga
melingkar tidak direkomendasikan untuk digunakan oleh difabel.
(SOLIDERE, 2003-04)
Lebar tangga setidaknya 90 cm untuk satu arah dan 1,5 m untuk dua
arah dengan pijakan anak tangga memiliki lebar antara 28 cm
sampai 35 cm dan tinggi antar anak tangga antara 12 cm sampai 18
cm untuk tangga dalam ruang. Tangga di luar ruangan perlu
memiliki tinggi antar anak tangga tidak lebih dari 15 cm dan lebar
pijakan minimum 30 cm. Stair nosing yang direkomendasikan
adalah yang sedikit miring menjorok keluar dan ujungnya tidak
tajam. (SOLIDERE, 2003-04)

5) Railing
Railing perlu terinstalasi di sekitar daerah-daerah berbahaya, tangga,
ramp, atap yang dapat diakses, mezzanine, galeri, balkon, dan
permukaan yang lebih tinggi dari 40 cm. Railing juga perlu
terpasang di kamar mandi untuk membantu difabel. Tinggi railing
antara 85 cm sampai 95 cm dan untuk memudahkan pengguna kursi
roda, railing kedua bisa dipasang pada ketinggian antara 70 cm
sampai 75 cm, railing ketiga bisa dipasang pada ketinggian 60 cm
untuk membantu anak-anak atau orang-orang lainnya yang memiliki
tinggi badan yang rendah, dan pada ketinggian 10 cm – 15 cm bisa
dipasang railing atau bisa juga batas dengan tinggi 0,5 cm – 0,75 cm

7
sebagai pembantu tunanetra yang menggunakan tongkat.
(SOLIDERE, 2003-04)
Railing harus terpasang kuat dan bisa menahan beban yang berat dan
tidak terpotong toba-tiba Karena bisa berbahaya bagi tunanetra.
Pegangan railing disarankan berbentuk pipa dengan diameter 40
mm agar dapat dipegang dengan nyaman. Penanda untuk tunanetra
juga perlu ada pada pegangan railing untuk membantu tunanetra.
(SOLIDERE, 2003-04)

6) Akses masuk
Aksesibilitas terutama untuk bangunan public harus bisa diakses
dengan mudah oleh difabel dan setidaknya salah satu akses masuk
dapat dilalui oleh kursi roda terutama akses utama. Semua area yang
dapat diakses oleh difabel, termasuk akses samping, harus
menggunakan penanda internasional, namun bila seluruh bangunan
bisa diakses maka tidak perlu ada simbol penanda. Warna akses
masuk sebisa mungkin kontras agar memudahkan orang-orang
dengan pengelihatan kurang baik. (SOLIDERE, 2003-04)

7) Ruang depan (vestibule)


Ruang antara dua set pintu bisa menggunakan pintu geser atau pintu
standar yang mengayun yang dapat terbuka maksimum. Pintu
mengayun ini bisa yang terbuka keluar, pintu yang dapat terbuka dua
arah, pintu yang terbuka kea rah yang sama, dan pintu yang terbuka
ke dalam. (SOLIDERE, 2003-04)

8
Gambar 2 Ilustrasi ruang depan (sumber: www.un.org/esa/socdev/enable/designm/AD2-
07.htm diakses 28 Desember 2016)

8) Pintu
Pintu perlu dirancang agar bisa dibuka hanya dengan satu tangan
dengan mudah. Pintu yang tidak dianjurkan adalah pintu geser, pintu
yang berat, pintu dengan dua daun pintu yang berukuran kecil, pintu
yang terbuka ke dua arah, dan pintu dengan pegangan yang sulit
dioperasikan oleh tuna netra (Menteri Pekerjaan Umum, 2006).
Pintu yang dapat terbuka otomatis lebih baik untuk difabel. Untuk
pintu eksterior, lebar bukaan minimum adalah 90 cm ketika pintu
terbuka dan untuk pintu interior 80 cm. Lebar pintu minimum bisa
75 cm bila pintu tersebut dapat terbuka sendiri. Untuk pintu kamar
mandi setidaknya memiliki lebar 75 cm. untuk pintu ganda, lebar
minimum satu pintu adalah 80 cm (SOLIDERE, 2003-04).
Ganggang pintu yang direkomendasikan adalah yang berbentuk
memanjang Karena lebih mudah untuk membuka pintu
dibandingkan ganggang pintu lingkaran. Tinggi ganggang pintu dan
lubang kunci sebaiknya dipasang sekitar 0,9 m – 1 m dari lantai.
(SOLIDERE, 2003-04)

9
Gambar 3 Ruang bebas untuk berbagai macam pintu (sumber: PerMen PU No 30/PRT/M/2006)

Gambar 4 Pintu dengan plat tendang untuk pengguna kursi roda dan tuna netra (sumber: PerMen
PU No 30/PRT/M/2006)

10
9) Koridor
Koridor perlu lebar minimal 90 cm agar memudahkan pengguna
kursi roda untuk berbalik arah. Untuk koridor di area public lebarnya
tidak kurang dari 1,5 m tapi disarankan setidaknya 1,8 m. Lebar
koridor degan pintu di tembok koridor harus cukup untuk pengguna
kursi roda menggunakan pintu itu dengan mudah. Benda-benda
yang terpasang di sisi koridor harus berada di luar area sirkulasi dan
penanda gantung harus terpasang lebih tinggi dari 2 m. Perubahan
tinggi lantai lebih dari 13 mm harus ada ramp dan lantai dengan
karpet harus tepasang ke lantai agar tidak tergeser-geser.
(SOLIDERE, 2003-04)

10) Kamar Mandi


Kamar mandi untuk difabel harus cukup untuk kursi roda dengan
area sirkulasi setdaknya berdiameter 1,5 m. Pada kamar mandi
publik, setidaknya tersedia satu kamar mandi untuk difabel dan lebih
baik yang dapat diakses baik oleh pria maupun wanita agar
penggunan kursi roda bisa ditemani oleh orang lain yang berbeda
jenis kelamin bila membutuhkan bantuan. Pintu kamar mandi
terbuka keluar kecuali jika ruang kamar mandi cukup besar untuk
memiliki pintu yang terbuka ke dalam tanpa mengganggu sirkulasi.
(SOLIDERE, 2003-04)
Ketinggian toilet sebaiknya antara 45 cm – 50 cm dari lantai. Jarak
antara toilet ke dinding yang memiliki pegangan sebaiknya antara
45 cm – 50 cm. Pegangan ini sebaiknya terpasang dibelakang toilet
bila toilet tidak memiliki tanki dibelakangnya, bila ada maka
pegangan ini terpasang di sisi dinding yang paling dekat dengan
toilet. Ketinggian pegangan yang disarankan adalah antara 85 cm
sampai 95 cm. (SOLIDERE, 2003-04)

11
Gambar 5 Ruang gerak dalam kamar mandi (sumber: PerMen PU No 30/PRT/M/2006)

2. Kerangka Pemikiran

Pada fasilitas publik, aksesibilitas


untuk difabel sangat terbatas

Standar aksesibilitas untuk Peraturan tentang penyandang


penyandang disabilitas disabilitas

Kesediaan akses untuk difabel di


bangunan publik

Meningkatkan kesediaan fasilitas


difabel pada bangunan publik di Kota
Bandung

Gambar 6 Kerangka Pemikiran (sumber: analisis pribadi)

C. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.
Pada penelitian kualitatif, penelitian dilakukan pada objek secara apa

12
adanya tanpa manipulasi. Jenis data yang diambil didapatkan dari fenomena
yang digambarkan secara tekstual.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode deskriptif.
Penelitian ini tidak mempersoalkan jaringan hubungan antara yang diteliti
dengan variabel lainnya.
3. Sumber data
Sumber data pada penelitian ini adalah data primer. Data primer
adalah data yang diperoleh secara langsung tanpa media perantara.
4. Teknik Pengumpulan Data
Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara
mengamati langsung di lapangan kemudian melakukan pencatatan. Menurut
Arikunto (2010), observasi merupakan teknik pengamatan langsung pada
lingkungan yang sedang terjadi dan meliputi seluruh aktivitas yang
berkaitan dengan suatu kajian objek dengan menggunakan alat indranya.
Observasi juga merupakan suatu usaha yang dilakukan dengan sengaja dan
sadar untuk mengumpulkan data dan dilakukannya dengan cara sistematis
dan sesuai prosedurnya.
Jenis observasi yang dilakukan adalah observasi sistematik.
Observasi dimana peneliti membuat dahulu kerangka mengenai faktor-
faktor yang akan diteliti. Dengan kata lain cakupan materi observasi telah
dibatasi dengan jelas sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, yang dilakukan adalah reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan
melakukan pemilihan data yang didaoat saat observasi di lapangan. Reduksi
data yang dilakukan adalah meringkas data, mengkode, menelusur tema,
dan membuat gugus-gugus. Reduksi data bertujuan untuk membuang data
yang tidak diperlukan.
Penyajian data dilakukan dengan menyusun informasi sehingga
memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan dan

13
pengambilan tindakan. Bentuk penyajian data berupa teks naratif berbentuk
catatan lapangan.
Penarikan kesimpulan dilakukan selama proses penelitian.
Kesimpulan-kesimpulan yang didapat diverifikasi selama penelitian
berlangsung, dengan cara melakukan tinjauan ulang atas data yang didapat
di lapangan hingga mendapat kesimpulan akhir.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.

Americans with Disabilities Act. (2009, July). A Guide to Disability Rights Laws. Dipetik
November 1, 2016, dari Americans with Disabilities Act:
https://www.ada.gov/cguide.htm

Indonesia. (1997). Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997


tentang Penyandang Cacat. Dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997. Jakarta: Sekretariat Negara.

Menteri Pekerjaan Umum. (2006). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:


30/PRT/M/2006 Tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan. Jakarta: Direktorat Penataan Bangunan dan
Lingkungan.

(2006). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman
Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.

SOLIDERE. (2003-04). Accessibility: Accessibility for the Disabled - A Design Manual for a
Barrier Free Environment. Dipetik November 1, 2016, dari United Nations
Enabled: http://www.un.org/esa/socdev/enable/designm/AD2-01.htm

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. (2016). Dalam


Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69. Jakarta: Sekretariat
Negara.

14

Anda mungkin juga menyukai