Anda di halaman 1dari 5

Penulis: M.

Sholekhudin

Waspada terhadap penyakit itu jelas dianjurkan. Semua dokter menyarankan begitu supaya
penyakit bisa ditangani lebih dini. Tapi kalau bentuknya sudah berupa ketakutan yang
berlebihan, itu namanya bukan lagi waspada melainkan hipokondria. Ini sudah tergolong
gangguan jiwa, dan penderita harus berobat ke psikiater.

---

Penyakit ini sering tidak disadari oleh penderitanya sendiri. Menurut dr. Suryo Dharmono,
Sp.KJ (K), psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, angka kejadian
penyakit ini sekitar 2% dari populasi. Dengan kata lain, secara pukul rata, di antara 100
orang, ada 2 orang hipokondriak.

Penyakit ini berasal dari gangguan pikiran yang kemudian muncul dalam bentuk keluhan
fisik. Bentuknya, pasien terus-menerus berpikir bahwa ia mengalami sakit. Bahwa ada yang
tidak beres dengan dirinya. Ketakutan ini tertanam kuat di dalam pikiran karena pasien
merasakan gejala-gejala sakit yang menguatkan ketakutannya.

Suryo memberi contoh, ia menjumpai pasien yang mengalami kecemasan berlebihan bahwa
ia menderita kanker lambung. Ia begitu yakin dirinya menderita penyakit ini karena ia
merasakan gejala yang sama dengan gejala kanker lambung. Di antaranya, sering kembung,
mual, dan muntah.

Berkali-kali ia pindah dokter karena merasa tidak puas dengan hasil pemeriksaan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, ia dinyatakan tidak menderita kanker lambung. Semua
pemeriksaan laboratorium pun menegaskan dirinya tidak mengidap penyakit ini. Tapi
anehnya, ia tetap tidak bisa menerima hasil tes ini dan tetap pada keyakinannya bahwa ia
menderita kanker lambung. Kepada dokter pun ia masih <i>ngeyel</i> dan menganggap
kankernya belum terdeteksi karena masih dalam stadium awal.

Kasus lain, seorang pasien mengalami kecemasan berlebihan bahwa dirinya menderita
HIV/AIDS. Sama seperti “pasien kanker lambung” di atas, pasien kedua ini pun melakukan
<i>doctor shopping</i>. Tak puas di dokter satu, ia pindah ke dokter lainnya, dan begitu
seterusnya karena para dokter itu selalu menyangkal adanya penyakit yang ia yakini.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, ia dinyatakan tidak menderita HIV/AIDS. Semua


pemeriksaan laboratorium pun menegaskan dirinya tidak mengidap penyakit ini. Tak ada
virus HIV di dalam tubuhnya. Tapi anehnya, ia juga tetap tidak bisa menerima hasil tes
kesehatan ini dan tetap pada keyakinannya bahwa ia menderita HIV/AIDS. Sama seperti
pasien pertama, kepada dokter pun pasien ini <i>ngeyel</i> dan menganggap mungkin saja
HIV belum terdeteksi karena penyakitnya masih dalam stadium awal.

<b>Tidak dibuat-buat</b>

Hipokondriasis harus dibedakan dengan tindakan berpura-pura sakit. Penderita


hipokondriasis merasa yakin betul bahwa dirinya menderita sakit. Keyakinan itu sedemikian
kuat dan didukung oleh gejala fisik yang ia rasakan, seperti kembung, mual, atau nyeri dada,
sesuai dengan gejala penyakit yang ia yakini.

Sedangkan pada orang yang berpura-pura, gejala sakit fisik itu tidak ada dan hanya dibuat-
buat. Ini biasanya dilakukan agar pelaku memperoleh keuntungan. Misalnya, terdakwa yang
berpura-pura gila supaya bisa mendapat keringanan hukuman dari tindak kriminal yang ia
lakukan. Atau, seorang pekerja yang berpura-pura sakit supaya bisa absen dan dibebaskan
dari tugas kerja.

Pada penderira hipokondriasis, tidak terdapat unsur kepura-puraan. Gejala sakit fisik yang ia
rasakan memang nyata, tidak dibuat-buat. Yang jadi persoalan, gejala itu sebetulnya hanya
sebuah manifestasi fisik dari gangguan yang terjadi di dalam pikirannya.

Biasanya gejala sakit ini sesuai dengan penyakit yang ia ketahui dan ia takuti. Jika pasien
terus-menerus berpikir tentang sakit jantung, maka gejala fisik yang ia rasakan adalah gejala
sakit jantung, misalnya nyeri dada. Jika ia terus berpikir tentang kanker lambung, maka gejala
yang ia rasakan adalah kembung, mual, dan muntah. Keyakinan sakit ini makin diperkuat
oleh pengetahuan yang dapatkan dari artikel-artikel kesehatan yang ia baca, misalnya dari
internet. Dalam bahasa populer, ini disebut <i>cyberchondriasis</i>, hipokondriasis akibat
pengaruh internet.

Jika internet mengatakan bahwa salah satu gejala kanker lambung adalah perut sering
kembung dan mual, maka ia pun akan mengaitkan semua sensasi fisikal yang ia rasakan
sebagai gejala penyakit tersebut. Gejala-gejala sakit itu akan menguatkan keyakinannya.
Keyakinan ini tidak bisa diubah sekalipun semua dokter mengatakan bahwa ia tidak
menderita penyakit tersebut.

Penyebabnya, kata Suryo, adalah pikiran yang tertanam di alam bawah sadarnya. Ini
misalnya terjadi pada mereka yang pada waktu kecilnya pernah punya trauma, menjadi objek
kekerasan, atau mengalami kesalahan pola asuh. Trauma ini terus tertanam di alam bawah
sadarnya. Pada saat dewasa, ketika ia menghadapi sebuah masalah, rekaman alam bawah
sadar ini muncul dalam bentuk hipokondriasis. Misalnya, seorang perempuan yang pernah
mengalami trauma karena akan diperkosa, bisa saja saat dewasa mengalami hipokondriasis
dengan gejala fisik tumor rahim.

Penyakit hipokondriasis ini tidak berdiri sendiri. Gangguan jiwa ini biasanya didahului oleh
adanya masalah lebih dulu. Mungkin masalah pribadi, mungkin keluarga, mungkin juga
problem di tempat kerja. Masalah ini kemudian membuat pasien merasa cemas, tidak aman.
Lalu kecemasan ini muncul dalam bentuk keluhan-keluhan fisik penyakit yang ia
takuti. “Jadi, keluhan pada penderita hipokondriasis itu hanya merupakan simbol ketakutan,”
kata Suryo. Itu sebabnya gejala sakit yang ia rasakan pasti berkaitan dengan penyakit yang ia
kenal dan terus-menerus ia pikirkan.

<b>Tambah stres</b>

Sekalipun mungkin tampak tidak berbahaya, hipokondriasis tetap harus diwaspadai. Dalam
ilmu kedokteran jiwa, kondisi ini sudah termasuk gangguan mental ringan. Yang dalam
bahasa orang Barat, <i>fear of illness is the illness itself</i>. “Hipokondriasis itu termasuk
neurosis,” kata Suryo.

Sekadar untuk diketahui, gangguan jiwa dibedakan menjadi dua: psikosis dan neurosis.
Dalam bahasa gampang, psikosis adalah gangguan jiwa yang berat, misalnya halusinasi atau
waham. Sedangkan neurosis adalah gangguan jiwa yang ringan, misalnya kecemasan dan
fobia. Hipokondriasis termasuk kategori <i>common mental disorder</i>, gangguan jiwa
yang “biasa”.

Meski begitu, hipokondriasis tetap harus diwaspadai. Penyakit ini membuat pasien harus
minum berbagai obat yang sebetulnya tidak diperlukan. Seperti kita tahu, obat pada dasarnya
adalah bahan kimia asing yang hanya perlu diminum kalau memang dibutuhkan. Jika
seseorang mengonsumsi obat yang tidak ia perlukan, sangat mungkin ia harus menderita efek
sampingan yang mestinya tidak perlu terjadi.

Di samping itu, dengan melakukan <i>doctor shopping</i>, pasien sangat mungkin terpapar
dengan berbagai jenis pemeriksaan laboratorium yang mestinya tidak diperlukan. Lambung
yang mestinya tidak diutak-atik, terpaksa harus diendoskopi. Jantung yang mestinya tidak
diapa-apakan, terpaksa harus di-MRI. Dan sebagainya. Selain itu, tentu saja pasien harus
membayar mahal untuk sesuatu yang sebetulnya tidak diperlukan.
Risiko lainnya, jika gangguan jiwa ini tidak ditangani dengan baik, sangat mungkin pasien
akan mengalami kecemasan yang tingkatnya lebih gawat. Ini mirip sebuah lingkaran setan.
Pada awalnya, pasien cemas menderita sebuah penyakit. Ia berkali-kali pindah dokter dan
semua dokter tidak membuatnya puas karena memang penyakit itu hanya ada di dalam
pikirannya. Jika ini berlangsung lama, kecemasannya akan menjadi lebih gawat. Pasien
semakin stres dan kemudian akan membuat sakitnya semakin parah.

Karena itu, meskipun hipokondriasis tergolong gangguan jiwa ringan, penderitanya harus
mendapatkan terapi yang tepat dari psikiater karena memang penyakitnya termasuk gangguan
jiwa. Repotnya, pasien biasanya tidak segera mendapat terapi dari psikiater dan
menghabiskan waktu dari satu dokter satu ke dokter lainnya.

Ini mudah dipahami karena memang pasien maupun keluarganya tidak tahu bahwa ia
menderita gangguan jiwa. Biasanya ia akan berkonsultasi ke dokter spesialis yang sesuai
dengan keluhannya. Jika ia merasa menderita kanker, mungkin ke dokter spesialis penyakit
dalam atau onkologi (kanker). Kalau ia merasa menderita penyakit jantung, ia akan berobat
ke dokter spesialis jantung dan pembuluh darah.

Dari dokter pertama, ia akan dirujuk ke dokter kedua. Dari dokter kedua, ia akan dirujuk ke
dokter ketiga, begitu seterusnya sampai pada akhirnya ia akan dirujuk ke psikiater. Saat
itulah, penyakit pasien baru diketahui dengan jelas.

<b>Jangan dibantah</b>

Gejala yang dirasakan penderita hipokondriasis memang berupa keluhan fisik. Tapi terapinya
adalah psikoterapi. Karena penyakit ini bersifat kejiwaan, psikiater biasanya akan
memberikan obat-obat antidepresan atau anticemas (yang dalam bahasa awam dikenal
sebagai obat penenang). Tapi dalam hal ini obat tersebut hanya sebagai terapi penunjang.
Yang utama adalah psikoterapi. Salah satu metodenya, <i>cognitive behavior
therapy</i> (CBT), terapi perilaku kognitif.

Dengan teknik ini, psikiater akan mengajak pasien untuk lebih rasional menghadapi masalah
dan mengalihkan pikiran dari penyakitnya. Daripada berpikir tentang kanker lambung, pasien
diajak memfokuskan diri pada apa yang bisa dilakukan untuk menghindari kembung, mual,
dan muntah.

Jika teknik CBT ini gagal, psikiater akan menggunakan teknik psikoanalisis. Teknik ini
mengajak penderita untuk menggali trauma masa lalu yang terekam di alam bawah sadarnya.
Setelah rekaman ini muncul ke alam sadar, pelan-pelan penderita diajak untuk berpikir
rasional supaya berani menghadapi masalahnya.

Satu hal yang ditegaskan oleh Suryo, dokter maupun keluarga pasien tidak boleh adu
argumen dengan pasien. Adu argumen sama sekali tak ada manfaatnya. Itu hanya akan
membuat pasien malah semakin defensif. Dokter juga tidak boleh menakut-nakuti pasien
sebab hal itu akan membuat penyakitnya makin gawat. “Keluhan-keluhan itu harus
ditanggapi sebagai bahasa pasien dalam mengutarakan problemnya,” kata Suryo.

Sekalipun semua pemeriksaan membuktikan pasien tidak menderita penyakit yang ia yakini,
dokter dan keluarga pasien tetap tidak boleh membantah keyakinan pasien. Ini prosedur
umum dalam menghadapi pasien gangguan jiwa.<i>Yang waras harus ngalah</i>.

Anda mungkin juga menyukai