Khadijah binti Khuwailid adalah sebaik-baik wanita ahli surga. Ini sebagaimana
sabda Rasulullah, “Sebaik-baik wanita ahli surga adalah Maryam binti Imran dan
Khadijah binti Khuwailid.”
Khadijah adalah wanita pertama yang hatinya tersirami keimanan dan dikhususkan
Allah untuk memberikan keturunan bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.,
menjadi wanita pertama yang menjadi Ummahatul Mukminin, serta turut
merasakan berbagai kesusahan pada fase awal jihad pcnyebaran agama Allah
kepada seluruh umat manusia.
Khadijah adalah wanita yang hidup dan besar di lingkungan Suku Quraisy dan
lahir dari keluarga terhormat pada lima belas tahun sebelum Tahun Gajah,
sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin mempersuntingnya.
Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah pernah dua kali menikah. Suami
pertama Khadijah adalah Abu Halah at-Tamimi, yang wafat dengan meninggalkan
kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang.
Pernikahan kedua Khadijah adalah dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum, yang juga
wafat dengan meninggalkan harta dan perniagaan. Dengan demikian, Khadijah
menjadi orang terkaya di kalangan suku Quraisy.
A. Wanita Suci
Sayyidah Khadijah dikenal dengan julukan wanita suci sejak perkawinannya
dengan Abu Halah dan Atiq bin Aidz karena keutamaan ãkhlak dan sifat
terpujinya. Karena itu, tidak heran jika kalangan Quraisy memberikan penghargaan
dan berupa penghormatan yang tinggi kepadanya.
Cerita-cerita tentang Muhammad itu meresap ke dalam jiwa Khadijah, dan pada
dasarnya Khadijah pun telah merasakan adanya kejujuran, amanah, dan cahaya
yang senantiasa menerangi wajah Muhammad. Perasaan Khadijah itu
menimbulkan kecenderungan terhadap Muhammad di dalam hati dan pikirannya,
sehingga dia menemui anak pamannya, Waraqah bin Naufal, yang dikenal dengan
pengetahuannya tentang orang- orang terdahulu. Waraqah mengatakan bahwa akan
muncul nabi besar yang dinanti-nantikan manusia dan akan mengeluarkan manusia
dari kegelapan menuju cahaya Allah. Penuturan Waraqah itu menjadikan niat dan
kecenderungan Khadijah terhadap Muhammad semakin bertambah, sehingga dia
ingin menikah dengan Muhammad. Setelah itu dia mengutus Nafisah, saudara
perempuan Ya’la bin Umayyah untuk meneliti lebih jauh tentang Muhammad,
sehingga akhirnya Muhammad diminta menikahi dirinya.
Ketika itu Khadijah berusia empat puluh tahun, namun dia adalah wanita dari
golongan keluarga terhormat dan kaya raya, sehingga banyak pemuda Quraisy
yang ingin menikahinya. Muhammad pun menyetujui permohonan Khadijah
tersebut. Maka, dengan salah seorang pamannya, Muhammad pergi menemui
paman Khadijah yang bernama Amru bin As’ad untuk meminang Khadijah.
Khadijah adalah istri Nabi yang pertama dan menjadi istri satu-satunya sebelum
dia meninggal. Allah menganugerahi Nabi Shallallahu alaihi wassalam. melalui
rahim Khadijah beberapa orang anak ketika dibutuhkan persatuan dan banyaknya
keturunan. Dia telah memberikan cinta dan kasih sayang kepada Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. pada saat-saat yang sulit dan tindak kekerasan dan
kekejaman datang dari kerabat dekat. Bersama Khadijah, Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. memperoleh per1akuan yang baik serta rumah tangga yang
tenteram damai, dan penuh cinta kasih, setelah sekian lama beliau merasakan
pahitnya menjadi anak yatim piatu dan miskin.
Zainab banyak menyerupai ibunya. Setelah besar, Zainab dinikahkan dengan anak
bibinya, Abul Ash ibnur Rabi’. Pernikahan Zainab ini merupakan peristiwa
pertama Rasulullah menikahkan putrinya, dan yang terakhir beliau menikahkan
Ummu Kultsum dan Ruqayah dengan dua putra Abu Lahab, yaitu Atabah dan
Utaibah. Ketika Nabi Shallallahu alaihi wassalam. diutus menjadi Rasul, Fathimah
az-Zahra, putri bungsu beliau masih kecil.
Selain mereka ada juga Zaid bin Haritsah yang sering disebut putra Muhammad.
Semula, Zaid dibeli oleh Khadijah dari pasar Mekah yang kemudian dijadikan
budaknya. Ketika Khadijah menikah dengan Muhammad, Khadijah memberikan
Zaid kepada Muhammad sebagai hadiah. Rasulullah sangat mencintai Zaid karena
dia memiliki sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun sangat mencintai Rasulullah. Akan
tetapi di tempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan akhirnya dia
mendapat kabar bahwa Zaid berada di tempat Muhammad dan Khadijah. Dia
mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam untuk memohon agar beliau
mengembalikan Zaid kepadanya walaupun dia harus membayar mahal. Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk
memilih antara tetáp tinggal bersamanya dan ikut bersama ayahnya. Zaid tetap
memilih hidup bersama Rasulullah, schingga dan sinilah kita dapat mengetahui
sifat mulia Zaid.
Agar pada kemudian hari nanti tidak menjadi masalah yang akan memberatkan
ayahnya, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan Zaid bin Haritsah menuju
halaman Ka’bah untuk mengumumkan kebebasan Zaid dan pengangkatan Zaid
sebagai anak. Setelah itu, ayahnya merelakan anaknya dan merasa tenang. Dari
situlah mengapa banyak yang menjuluki Zaid dengan sebutan Zaid bin
Muhammad. Akan tetapi, hukum pengangkatan anak itu gugur setelah turun ayat
yang membatalkannya, karena hal itu merupakan adat jahiliah, sebagaimana firman
Allah berikut ini:
Khadijah sangat ikhlas dengan segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak
khawatir selama ditinggal suaminya. Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan
makanan dan minuman selama beliau di dalam gua, karena dia yakin bahwa apa
pun yang dilakukan suaminya merupakan masalah penting yang akan mengubah
dunia. Ketika itu, Nabi Muhammad berusia empat puluh tahun.
Suatu ketika, seperti biasanya beliau menyendiri di Gua Hira –waktu itu bulan
Ramadhan–. Beliau sangat gemetar ketika mendengar suara gaib Malaikat Jibril
memanggil beliau. Malaikat Jibril menyuruh beliau membaca, namun beliau hanya
menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Akhirnya, Malaikat Jibril mendekati dan
mendekap beliau ke dadanya, seraya berkata, “Bacalah, wahai Muhammad!”
Ketika itu Muhammad sangat bingung dan ketakutan, seraya menjawab, “Aku
tidak dapat membaca.” Mendengar itu, Malaikat Jibril mempererat dekapannya,
dan berkata, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Dia
mengajari manusia dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan segala sesuatu yang
belum mereka ketahui.” Rasulullah Muhammad mengikuti bacaan tersebut.
Keringat deras mengucur dari seluruh tubuhnya sehingga beliau kepayahan dan
tidak menemukan jalan menuju rumah. Khadijah melihat beliau dalam keadaan
terguncang seperti itu, kemudian memapahnya ke rumah, serta berusaha
menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran yang memenuhi dadanya. “Berilah
aku selimut, Khadijah!” Beberapa kali beliau meminta istrinya menyelimuti
tubuhnya. Khadijah memberikan ketenteraman kepada Rasulullah dengan segala
kelembutan dan kasih sayang sehingga beliau merasa tenteram dan aman. Beliau
tidak langsung menceritakan kejadian yang menimpa dirinya kepada Khadijah
karena khawatir Khadijah menganggapnya sebagai ilusi atau khayalan beliau
belaka.
Sejak semula Khadijah telah yakin bahwa suaminya akan menerima amanat Allah
Yang Maha Besar untuk seluruh alam semesta. Kejadian tersebut merupakan awal
kenabian dan tugas Muhammad menyampaikan amanat Allah kepada manusia. Hal
itu pun merupakan babak baru dalam kehidupan Khadijah yang dengannya dia
harus mempercayai dan meyakini ajaran Rasulullah Muhammad, sehingga
Rasulullah mengatakan, “Aku mengharapkannya menjadi benteng yang kuat bagi
diriku.”
Setelah Rasulullah merasa tenteram dan dapat tidur dengan tenang, Khadijah
mendatangi anak pamannya, Waraqah bin Naufal, yang tidak terpengaruhi tradisi
jahiliah. Khadijah menceritakan kejadian yang dialami suaminya. Mendengar
cerita mengenai Rasulullah, Waraqah berseru, “Maha Mulia…Maha Mulia….
Demi yang jiwa Waraqah dalam genggaman-Nya, kalau kau percaya pada
ucapanku, maka apa yang dilihat Muhammad di Gua Hira itu merupakan suratan
yang turun kepada Musa dan Isa sebelumnya, dan Muhammad adalah nabi akhir
zaman, dan namanya tertulis dalam Taurat dan Injil.” Mendengar kabar itu,
Khadijah segera menemui suaminya (Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam) dan
menyampaikan apa yang dikatakan oleh Waraqah.
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan
Tuhanmu agungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa
(menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi
perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS. Al-Muddatstir:1-7)
Ayat di atas merupakan perintah bagi Rasulullah untuk mulai berdakwah kepada
kalangan kerabat dekat dan ahlulbait beliau. Khadijah adalah orang pertama yang
menyatakan beriman pada risalah Rasulullah Muhammad dan menyatakan
kesediaannya menjadi pembela setia Nabi. Kemudian menyusul Ali bin Abi
Thalib, anak paman Rasulullah yang sejak kecil diasuh dalam rumah tangga beliau.
Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-
anak, kemudian Zaid bin Haritsah, hamba sahaya Rasulullah yang ketika itu
dijuluki Zaid bin Muhammad. Dari kalangan laki-laki dewasa, mulailah Abu Bakar
masuk Islam, diikuti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi
Waqash, az-Zubair ibnu Awam, Thalhah bin Ubaidilah, dan sahabat-sahabat
lainnya. Mereka masuk menyatakan Islam secara sembunyi-sembunyi sehingga
harus melaksanakan shalat di pinggiran kota Mekah.
Khadijah tampil mendampingi Rasulullah dengan penuh kasih sayang, cinta, dan
kelembutan. Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur
kata-kata jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas perlakuan
orang-orang Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian
untuk kemudian dia memotivasi dan menguatkan hati Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wassalam. Bersama Rasulullah, Khadijah turut menanggung
kesulitan dan kesedihan, sehingga tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan
agar tidak terekspresikan pada muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang
keluar adalab tutur kata yang lemah lembut sebagai penyejuk dan penawar hati.
Orang yang paling keras menyakiti Rasulullah adalah paman beliau sendiri, Abdul
Uzza bin Abdul Muthalib, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab, beserta
istrinya, Ummu Jamil. Mereka memerintah anak-anaknya untuk memutuskan
pertunangan dengan kedua putri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum.
Walaupun begitu, Allah telah menyediakan pengganti yang lebih mulia, yaitu
Utsman bin Affan bagi Ruqayah. Allah mengutuk Abu Lahab lewat firman-Nya :
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah
berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan
masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu
bakar. Yang di lehernya ada tali dan sabut. “ (QS. Al-Lahab:1-5)
Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah dan istrinya dapat bertahan, walaupun
kondisi fisiknya sudah tua dan lemah. Ketika itu kehidupan Khadijah sangat jauh
dan kehidupan sebelumnya yang bergelimang dengan kekayaan, kemakmuran, dan
ketinggian derajat. Khadijah rela didera rasa haus dan lapar dalam mendampingi
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan kaum muslimin. Dia sangat yakin
bahwa tidak lama lagi pertolongan Allah akan datang. Keluarga mereka yang lain,
sekali-kali dan secara sembunyi-sembunyi, mengirimkan makanan dan minuman
untuk mempertahankan hidup. Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun,
tetapi tidak sedikit pun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka
rasakan adalah bertambah kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian,
usaha kaum Quraisy telah gagal, sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan
membiarkan kaum muslimin kembali ke Mekah. Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. pun kembali menyeru nama Allah Yang Mulia dan melanjutkan jihad
beliau.
K. Wafatnya Khadijah
Beberapa hari setelah pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang
meyakini bahwa sakit kali ini merupakan akhir dan hidupnya. Dalam keadaan
seperti itu, Abu Sufyan dan Abu Jahal membujuk Abu Thalib untuk menasehati
Muhammad agar menghentikan dakwahnya, dan sebagai gantinya adalah harta dan
pangkat. Akan tetapi, Abu Thalib tidak bersedia, dan dia mengetahui bahwa
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam tidak akan bersedia menukar dakwahnya
dengan pangkat dan harta sepenuh dunia.
Abu Thalib meninggal pada tahun itu pula, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul
Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Sebaliknya, orang-orang Quraisy sangat gembira atas kematian Abu Thalib itu,
karena mereka akan lebih leluasa mengintimidasi Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. dan pengikutnya. Pada saat kritis menjelang kematian pamannya,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membisikkan sesuatu, Secepat ini aku
kehilangan engkau?
Pada tahun yang sama, Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun
menderita kelaparan dan kehausan karena pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi
badannya semakin menurun, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
semakin sedih. Bersama Khadijahlah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu
lama, dalam usia enam puluh lima tahun, Khadijah meninggal, menyusul Abu
Thalib. Khadijah dikuburkan di dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan
sebutan al-Hajun. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sendiri yang mengurus
jenazah istrinya, dan kalimat terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas
kepergiannya adalah: “Sebaik-baik wanita penghuni surga adalab Maryam binti
Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”