2. Pengendalian Administratif
Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman
m.tuberculosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung, dan lingkungan
dengan menyediakan, mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan standar
prosedur dan alur pelayanan.
Upaya ini mencakup :
a. Strategi TEMPO ( Temukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati
secara tepat )
b. Penyuluhan pasien mengenai batuk efektif
c. Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuangan dahak
yang benar
d. Pemasangan pposter, spanduk dan bahan untuk KIE
e. Skrinning bagi petugas yang merawat TB
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama
pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan
respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan
sekitarnya dari droplet.
Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular
respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang
dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari
beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada
kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Harganya lebih
mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan dilakukan dengan
baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari). Sebelum memakai
masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.
Logistik Non OAT resistan obat yang digunakan P2TB dibagi dalam dua
kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai.
a) Logistik Non OAT resistan obat habis pakai antara lain adalah:
Cartridge GeneXpert, Masker bedah, Respirator N95, Formulir
Pencatatan dan Pelaporan TB & MDR
b) Logistik Non OAT resistan obat tidak habis pakai antara lain adalah:
Alat-alat laboratorium TB resistan obat, seperti: mikroskop binokuler,
Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak
penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak
penyimpanan OAT, dll. Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman,
buku panduan, buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar
balik, stiker, dan lain-lain.
3. Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB.
Pengelolaan logistik P2TB dilakukan pada setiap tingkat pelaksana program
pengendalian TB, yaitu mulai dari tingkat Pusat, Dinkes Provinsi, Dinkes
Kab/Kota sampai dengan di Fasyankes, baik rumah sakit, puskesmas maupun
fasyankes lainnya yang melaksanakan pelayanan pasien TB dengan strategi
DOTS.
Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT
adalah seperti gambar dibawah ini
a. Pengadaan logistik bisa berasal dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota
dan Bantuan Luar Negeri.
b. Pelaksanaan pengadaan logistik berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku
dengan mengacu ke Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
c. Pengadaan yang sumber dana dari Bantuan Luar Negeri selain mengikuti Perpres juga
mengikuti persyaratan dari donor.
d. Pengadaan logistik yang berasal dari APBN dilaksanakan oleh Kemenkes RI, Ditjen
Binfar & Alkes, Ditjen PP&PL maupun Ditjen lainnya.
e. Pengadaan yang berasal dari APBD Provinsi dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi dengan usulan dari Dinas Kesehatan Provinsi yang bersangkutan.
f. Pengadaan yang berasal dari APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
a. Pengadaan OAT
OAT merupakan obat dengan kategori “Sangat Sangat Esensial” (SSE) sehingga
Pemerintah wajib menyediakannya, baik pemerintah Pusat maupun Daerah (Provinsi
dan Kabupaten/Kota). Saat ini kebutuhan OAT masih dipenuhi dari pengadaan Pusat
dengan dana APBN. Sedangkan untuk OAT resistan obat masih menggunakan dana
bantuan (donor). Pengadaan OAT dengan dana APBN setiap tahunnya dilakukan oleh
Ditjen. Binfar dan Alkse Kemenkes R.I. Sedangkan OAT resistan obat dengan dana
bantuan dilakukan oleh Subdit. TB. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan
logistik OAT adalah:
1) Paduan OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional
Pengendalian TB.
2) Batas kadaluarsa OAT pada saat diterima oleh panitia penerima barang minimal
24 (dua puluh empat) bulan.
3) Persyaratan mutu OAT harus sesuai dengan persyaratan mutu yang tercantum
dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir.
4) Industri Farmasi yang memproduksi OAT bertanggung jawab terhadap mutu
OAT melalui pemastian dan pemeriksaan mutu (Quality Control) oleh industri
farmasi dengan mengimplementasikan CPOB secara konsisten.
5) OAT memiliki sertifikat analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor bets
masing-masing produk.
6) OAT diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB.
b. Pengadaan Non OAT
Logistik Non OAT P2TB juga merupakan komponen yang penting dalam mendukung
terlaksananya kegiatan P2TB. Untuk itu pengadaan logistik Non OAT P2TB juga
menjadi tanggung jawab Pemerintah khususnya Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
dengan kebijakan Desentralisasi, baik logistic Non OAT untuk TB regular maupun
TB resistan obat. Saat ini, pengadaan logistik Non OAT P2TB masih mendapat
dukungan dari Pemerintah Pusat, baik dari dana APBN maupun dana bantuan donor.
Namun alokasi dana yang ada tidak dapat memenuhi/mengadakan 100% kebutuhan
Nasional. Sehingga kontribusi pengadaan dari Kabupaten/Kota maupun Provinsi
sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan yang ada. Hal-Hal yang harus
diperhatikan dalam pengadaan logistik Non OAT adalah:
1) Logistik Non OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional
Pengendalian TB.
2) Mutu logistik yang diadakan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan
untuk setiap jenis logistik.
3. Penyimpanan Logistik P2TB.
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan logistik termasuk memelihara yang
mencakup aspek tempat penyimpanan (Instalatasi Farmasi atau gudang), barang dan
administrasinya. Dengan dilaksanakannya penyimpanan yang baik dan benar, maka
logistik P2TB akan terjaga mutu/kualitasnya, menghindari penggunaan yang tidak
bertanggung jawab (irasional) dan menjamin ketersediaannya serta memudahkan
pencarian dan pengawasan. Dalam penyimpanan logistic P2TB baik OAT maupun Non
OAT, Program Nasional Pengendalian TB mengikuti kebijakan Ditjen. Binfar dan Alkes
Kemenkes R.I., yaitu: “One Gate Policy”, dimana seluruh OAT maupun Non OAT
disimpan di dalam Instalasi Farmasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten Kota dan
Fasyankes. Ketentuan-ketentuan dalam penyimpanan logistic P2TB agar terkelola dengan
baik dapat merujuk pada “Buku Panduan Pengelolaan Logistik P2TB”.
4. Distribusi Logistik P2TB.
Distribusi logistic P2TB adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengeluaran dan
pengiriman logistik P2TB dari tempat penyimpanan (Istalasi Farmasi/IF) ke tempat lain
(IFP/IFK/IFF) dengan memenuhi persyaratan baik administratif maupun teknis untuk
memenuhi ketersediaan jenis dan jumlah logistik dan terjaga kualitasnya sampai di tempat
tujuan. Proses distribusi ini harus memperhatikan aspek keamanan, mutu dan manfaat.
a. Distribusi dari Pusat dilaksanakan atas permintaan dari Dinas Kesehatan Provinsi.
Distribusi dari Provinsi kepada Kabupaten/ Kota atas permintaan Kabupaten/ Kota.
Distribusi dari Kabupaten/Kotaberdasarkan permintaan Fasyankes.
b. Setelah ada kepastian jumlah logistik yang akan didistribusikan, maka tingkat yang
lebih tinggi mengirimkan surat pemberitahuan kepada tingkat yang dibawahnya
mengenai jumlah, jenis dan waktu pengiriman logistik.
c. Membuat Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan Berita Acara Serah Terima
(BAST).
d. Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan logistik maka Institusi yang bersangkutan
menginformasikan ke Institusi diatasnya untuk dilakukan relokasi atau pengiriman
logistik tersebut.
e. Proses distribusi ke tempat tujuan harus memperhatikan sarana/transportasi
pengiriman yang memenuhi syarat sesuai ketentuan obat atau logistik lainnya yang
dikirim.
f. Penerimaan logistik dilaksanakan pada jam kerja.
g. Penetapan frekuensi pengiriman logistik haruslah memperhatikan antara lain anggaran
yang tersedia, jarak dan kondisi geografis, fasilitas gudang dan sarana yang ada
b. Pembiayaan Logistik P2TB
Pembiayaan dalam pengelolaan logistik program TB sangat diperlukan. Pembiayaan
ini dapat bersumber dari dana APBN, APBD maupun sumber lainnya yang sah sesuai
kebutuhan.Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan
memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu.
Pembiayaan dapat diidentifikasi dari berbagai sumber mulai dari anggaran pemerintah
dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber dana dapat
dimobilisasi.
c. Sistim Informasi Logistik P2TB
Saat ini Program Nasional Pengendalian TB telah menggunakan 2 sistem informasi
untuk pencatatan dan pelaporan Program TB dan TB resistan obat, dimana
didalamnya sudah termasuk sistim informasi tentang pengelolaan logistik P2TB yaitu:
1) Untuk pelaporan TB.13 OAT menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu
(SITT), yang mulai dipergunakan sebagai sistem informasi TB sejak tahun 2011.
2) Untuk pelaporan TB.13 OAT resistan obat menggunakan e-TB Manajer, yang
mulai dipergunakan untuk sistem informasi TB MDR sejak tahun 2009.
d. Sumber Daya Manusia Logistik P2TB
Dalam Pengelolaan Logistik Program TB, dukungan manajemen dari segi Sumber
Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting untuk terciptanya
pengelolaan logistik yang baik. SDM TB untuk mengelola logistik di setiap tingkat
pelaksana sangat dibutuhkan, baik jumlah maupun kompetensi-nya, sehingga perlu
adanya suatu standar ketenagaan, pelatihan dan supervisi sesuai tupoksi dan
bebankerjanya.
Tujuan pengembangan SDM dalam program TB adalah tersedianya tenaga pelaksana
yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata lain “kompeten”)
yang diperlukan dalam pengelolaan logistik program TB, dengan jumlah yang cukup
sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Pengembangan
SDM tidak hanya berkaitan dengan pelatihan tetapi meliputi keseluruhan manajemen
pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang
pengembangan SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam
penanggulangan TB.
e. Pengawasan Mutu Logistik P2TB
Pengawasan atau jaga mutu logaitik P2TB adalah kegiatan yang dilakukan untuk
memastikan bahwa logistic P2TB yang ada terjamin/terjaga kualitasnya baik mulai
dari produksi, distribusi, penyimpanan sampai dengan saat digunakan.
1) Pengawasan Mutu OAT
Pengawasan/jaga mutu OAT adalah kegiatan/proses standardisasi produk OAT
dan sarana yang digunakan mulai dari pre sampai dengan post market, yaitu:
a) Pre-market: pemberian nomor ijin edar, sertifikasi CPOB.
b) Post-market: pemeriksaan setempat, sampling dan pengujian, monitoring efek
samping.
Logistik terutama OAT yang diterima atau disimpan di gudang perbekalan
kesehatan secara rutin harus dilakukan uji mutu. Uji mutu ini dapat dilakukan
secara organoleptik dan laboratorium.
2) Pengawasan Mutu Logistik Non OAT Pengawasan/jaga mutu logistik Non OAT
pada prinsipnya sama dengan jaga mutu OAT, hanya disesuaikan dengan jenis dan
karakteristiknya. Pengawasan/jaga mutu logistic Non OAT dilakukan pada saat
produksi dan distribusi sehingga kualitas logistic Non OAT dapat terjamin
mutunya. Contoh: Reagensia, selain dilakukan uji secara organoleptik juga
dilakukan uji secara laboratorium.