Anda di halaman 1dari 16

MANAJEMEN TB PARU

Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium tuberculosis)


tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk,
berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron
sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu yang
cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan
melalui udara, bukan melalui kontak permukaan. Infeksi terjadi apabila seseorang yang
rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman TB melalui mulut atau hidung,
saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli. Mencegah penularan tuberkulosis
pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan pada pasien TB harus menjadi
perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi
petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk mencegah tersebarnya kuman TB ini.

A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.


Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan
adalah yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut
belum sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat. Semua
tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang
dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi
dengan 4 pilar yaitu :
1. Pengendalian Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada
rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat
pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapasskrining TB harus dilakukan
ada saat WBP baru, dan kontak sekamar.
1. Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan
dari upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan
surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI
TB
e. Menyediakan sumber daya untuk terlaksanakannya program PPI TB (tenaga,
anggaran, sarana,dan prasarana) yang dibutuhkan
f. Monitoring dan Evaluasi
g. Melakukan kajian di unit terkait penularan TB
h. Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan organisasi masyarakat terkit PPI
TB

2. Pengendalian Administratif
Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman
m.tuberculosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung, dan lingkungan
dengan menyediakan, mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan standar
prosedur dan alur pelayanan.
Upaya ini mencakup :
a. Strategi TEMPO ( Temukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati
secara tepat )
b. Penyuluhan pasien mengenai batuk efektif
c. Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuangan dahak
yang benar
d. Pemasangan pposter, spanduk dan bahan untuk KIE
e. Skrinning bagi petugas yang merawat TB

Pengendalian asdministratif lebih mengutamakan strategi TEMPO yaitu penjaringan,


diagnosis dan pengobatan TB dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi
penularan TB secara efektif.
Langkah-Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut:

a. Temukan pasien secepatnya.


Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk
mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan
dirujuk ke laboratorium.
b. Pisahkan secara aman.
Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat
khusus dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta
diberikan masker. Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus
didahulukan dalam antrian (prioritas).
c. Obati secara tepat.
Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB
kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera diobati
sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius
3. Pengendalian Lingkungan.
Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan
menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan
kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan
percik renik kearah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi
ultraviolet sebagai germisida.
Sistem ventilasi ada 3 jenis, yaitu:
a. Ventilasi Alamiah
b. Ventilasi Mekanik
c. Ventilasi campuran
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal
yaitu struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas
udara luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara
periodik.
4. Pengendalian Dengan Alat
5. Pelindung Diri.
Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat
pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik
tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan. Petugas
kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah. Petugas
kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat melakukan
prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum,
aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga
perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat
menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.

Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama
pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan
respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan
sekitarnya dari droplet.

Gambar 6: Jenis respirator untuk petugas kesehatan

Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular
respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang
dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari
beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada
kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Harganya lebih
mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan dilakukan dengan
baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari). Sebelum memakai
masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.

Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang penting


dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan, baik di Pusat
dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes).Untuk itu perlu
dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik sehingga ketersediaan dan kualitasnya
terjamin.
A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
1. Pengertian Logistik P2TB.
Logistik P2TB adalahseluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai
dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan
bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari proses
penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan
pengobatannya.Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT
yang digunakan untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat. Logistik Non
OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang digunakan
untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.
2. Jenis-jenis Logistik P2TB.
Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan
Non OAT.
a. Jenis-jenis Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan ProgramPengendalian TB (P2TB di
Indonesia adalah seluruh jenis OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli (KOMLI) dengan
memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO.
Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB adalah:
• Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)
dan Streptomisin (S).
• Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx),
Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino
Salicylic (PAS).
1) Obat Anti TB (OAT) Non Resistan
Dalam pelayanan pengobatan pasien TB, Program Nasional Pengendalian
TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paket
individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis
kemasan, yaitu: kemasan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/Fix Dose
Combination (FDC) dan kemasan Kombipak. Paket OAT KDT/FDC
adalah paket OAT yang dalam setiap tablet OAT-nya telah ada
seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan
TB. Dimana P2TB pada paket OAT KDT-nya menggunakan 4KDT/4FDC
dan 2KDT/2FDC. Paket Kombipak adalah paket OAT dimana tablet OAT-
nya masih lepasan dari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan
pengobatan TB. Baik paket OAT KDT/FDC maupun paket OAT
Kombipak, tablet OAT-nya dikemas dalam bentuk blister. Paduan paket
OAT yang saat ini disediakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis adalah:
• Paket KDT OAT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
• Paket KDT OAT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
• Paket KDT OAT Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR)
• Paket Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
• Paket Kombipak Kategori Anak : 2HRZ/4HR
2) Obat Anti TB (OAT) RR/MDR
Dalam pelayanan pengobatan pasien TB resistan obat, Program Nasional
Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam
bentuk paduan individual yang terdiri dari beberapa OAT lini kedua
ditambah OAT lini pertama yang masih sensitif. Paduan pengobatan
pasien TB RR/MDR yang digunakan Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis adalah:
Km – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx –Eto – Cs – Z – (E)
Sediaan dari OAT lini kedua dan lini pertama yang digunakan untuk
paduan OAT RR/MDR yang disediakan adalah:

b. Logistik Non OAT


Logistik Non OAT yang digunakan dalam P2TB adalah seluruh jenis logistik
Non OAT yang digunakan P2TB baik dalam pelayanan pasien TB maupun
pasien TB resistan obat.
1) Logistik Non OAT Non Resistan
Logistik Non OAT yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok,
yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai.
a) Logistik Non OAT habis pakai antara lain adalah:
- Bahan-bahan laboratorium TB, seperti: Reagensia, Pot Dahak, Kaca
sediaan, Oli Emersi, Ether Alkohol, Tisu, Sarung tangan, Lysol,
Lidi, Kertas saring, Kertas, lensa, dll.
- Formulir pencatatan dan pelaporan TB, seperti: TB.01 s/d TB.13

b) Logistik Non OAT tidak habis pakai antara lain adalah:

- Alat-alat laboratorium TB, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu


spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak
penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak
penyimpanan OAT, dll

- Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku


petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lain-
lain.

2) Logistik Non OAT Resistan Obat

Logistik Non OAT resistan obat yang digunakan P2TB dibagi dalam dua
kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai.

a) Logistik Non OAT resistan obat habis pakai antara lain adalah:
Cartridge GeneXpert, Masker bedah, Respirator N95, Formulir
Pencatatan dan Pelaporan TB & MDR
b) Logistik Non OAT resistan obat tidak habis pakai antara lain adalah:
Alat-alat laboratorium TB resistan obat, seperti: mikroskop binokuler,
Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak
penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak
penyimpanan OAT, dll. Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman,
buku panduan, buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar
balik, stiker, dan lain-lain.
3. Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB.
Pengelolaan logistik P2TB dilakukan pada setiap tingkat pelaksana program
pengendalian TB, yaitu mulai dari tingkat Pusat, Dinkes Provinsi, Dinkes
Kab/Kota sampai dengan di Fasyankes, baik rumah sakit, puskesmas maupun
fasyankes lainnya yang melaksanakan pelayanan pasien TB dengan strategi
DOTS.
Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT
adalah seperti gambar dibawah ini

B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.


Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
menjamin agar logistik P2TB tersedia di setiap layanan pada saat dibutuhkan dengan
jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan pengelolaan logistik P2TB
dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, sampai
dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen pendukung. Hal ini dapat dilihat
pada siklus pengelolaan logistik dibawah ini
f. Pelaksanaan perencanaan kebutuhan logistik disesuaikan dengan jadwal
penyusunan anggaran disetiap tingkat pemerintahan di Kabupaten/Kota, Provinsi
dan Pusat.
a. Perencanaan OAT
Perencanaan kebutuhan OAT menggunakan dua pendekatan yaitu metode
konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi adalah proses
penyusunan kebutuhan berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya, sedangkan
metode morbiditas adalah proses penyusunan kebutuhan berdasarkan
perkiraan jumlah pasien yang akan diobati (insidensi) sesuai dengan target
yang direncanakan. Perencanaan OAT P2TB yang digunakan merupakan
gabungan dari kedua pendekatan metode konsumsi dan morbiditas.
Perencanaan kebutuhan setiap jenis/kategoriOAT didasarkan target penemuan
kasus, dengan memperhitungkan proporsi tipe penemuan pasien tahun lalu,
jumlah stok yang ada dan masa tunggu (lead time).
1) Perencanaan OAT Tidak Resistan
Perencanaan OAT Non Resistan dilakukan secara “bottom up planning”
mulai dari Kabupaten/Kota kemudian diusulkan ke Provinsi dan rekapnya
diusulkan ke Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya.
2) Perencanaan OAT Resistan Obat
Mengingat data kondisi epidemilogis resistan obat disetiap wilayah belum
tersedia, maka perencanaan OAT resistan obat saat ini dilakukan secara
terpusat di Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya sesuai
dengan target penemuan kasus.
b. Perencanaan Non OAT
Perencanaan logistik Non OAT dilaksanakan disetiap tingkatan dengan
memperhatikan:
1) Jenis logistik
2) Spesifikasi
3) Jumlah kebutuhannya.
4) Stok yang tersedia dan masih dapat dipergunakan
5) Unit pengguna
Perencanaan logistik Non OAT dilakukan oleh Program Nasional
Pengendalian TB bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kabupaten/Kota denganmemperhatikan target penemuan kasus dan
pengembangan cakupan program.
2. Pengadaan Logistik P2TB.
Pengadaan logistik merupakan proses untuk penyediaan logistik yang dibutuhkan pada
institusi maupun layanan kesehatan. Pengadaan yang baik harus dapat memastikan logistik
yang diadakan sesuai dengan jenis, jumlah, tepat waktu sesuai dengan kontrak kerja dan
harga yang kompetitif. Proses pengadaan harus mengikuti peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Tujuan Pengadaan logistic P2TB adalah:
a. Tersedianya logistik P2TB dalam jumlah, jenis, spesifikasi dan waktu yang tepat.
b. Didapatkannya logistik P2TB dengan kualitas yang baik dengan harga yang wajar.

Kebijakan Pengadaan Logistik P2TB adalah:

a. Pengadaan logistik bisa berasal dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota
dan Bantuan Luar Negeri.
b. Pelaksanaan pengadaan logistik berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku
dengan mengacu ke Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
c. Pengadaan yang sumber dana dari Bantuan Luar Negeri selain mengikuti Perpres juga
mengikuti persyaratan dari donor.
d. Pengadaan logistik yang berasal dari APBN dilaksanakan oleh Kemenkes RI, Ditjen
Binfar & Alkes, Ditjen PP&PL maupun Ditjen lainnya.
e. Pengadaan yang berasal dari APBD Provinsi dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi dengan usulan dari Dinas Kesehatan Provinsi yang bersangkutan.
f. Pengadaan yang berasal dari APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.

a. Pengadaan OAT
OAT merupakan obat dengan kategori “Sangat Sangat Esensial” (SSE) sehingga
Pemerintah wajib menyediakannya, baik pemerintah Pusat maupun Daerah (Provinsi
dan Kabupaten/Kota). Saat ini kebutuhan OAT masih dipenuhi dari pengadaan Pusat
dengan dana APBN. Sedangkan untuk OAT resistan obat masih menggunakan dana
bantuan (donor). Pengadaan OAT dengan dana APBN setiap tahunnya dilakukan oleh
Ditjen. Binfar dan Alkse Kemenkes R.I. Sedangkan OAT resistan obat dengan dana
bantuan dilakukan oleh Subdit. TB. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan
logistik OAT adalah:
1) Paduan OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional
Pengendalian TB.
2) Batas kadaluarsa OAT pada saat diterima oleh panitia penerima barang minimal
24 (dua puluh empat) bulan.
3) Persyaratan mutu OAT harus sesuai dengan persyaratan mutu yang tercantum
dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir.
4) Industri Farmasi yang memproduksi OAT bertanggung jawab terhadap mutu
OAT melalui pemastian dan pemeriksaan mutu (Quality Control) oleh industri
farmasi dengan mengimplementasikan CPOB secara konsisten.
5) OAT memiliki sertifikat analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor bets
masing-masing produk.
6) OAT diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB.
b. Pengadaan Non OAT
Logistik Non OAT P2TB juga merupakan komponen yang penting dalam mendukung
terlaksananya kegiatan P2TB. Untuk itu pengadaan logistik Non OAT P2TB juga
menjadi tanggung jawab Pemerintah khususnya Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
dengan kebijakan Desentralisasi, baik logistic Non OAT untuk TB regular maupun
TB resistan obat. Saat ini, pengadaan logistik Non OAT P2TB masih mendapat
dukungan dari Pemerintah Pusat, baik dari dana APBN maupun dana bantuan donor.
Namun alokasi dana yang ada tidak dapat memenuhi/mengadakan 100% kebutuhan
Nasional. Sehingga kontribusi pengadaan dari Kabupaten/Kota maupun Provinsi
sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan yang ada. Hal-Hal yang harus
diperhatikan dalam pengadaan logistik Non OAT adalah:
1) Logistik Non OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional
Pengendalian TB.
2) Mutu logistik yang diadakan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan
untuk setiap jenis logistik.
3. Penyimpanan Logistik P2TB.
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan logistik termasuk memelihara yang
mencakup aspek tempat penyimpanan (Instalatasi Farmasi atau gudang), barang dan
administrasinya. Dengan dilaksanakannya penyimpanan yang baik dan benar, maka
logistik P2TB akan terjaga mutu/kualitasnya, menghindari penggunaan yang tidak
bertanggung jawab (irasional) dan menjamin ketersediaannya serta memudahkan
pencarian dan pengawasan. Dalam penyimpanan logistic P2TB baik OAT maupun Non
OAT, Program Nasional Pengendalian TB mengikuti kebijakan Ditjen. Binfar dan Alkes
Kemenkes R.I., yaitu: “One Gate Policy”, dimana seluruh OAT maupun Non OAT
disimpan di dalam Instalasi Farmasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten Kota dan
Fasyankes. Ketentuan-ketentuan dalam penyimpanan logistic P2TB agar terkelola dengan
baik dapat merujuk pada “Buku Panduan Pengelolaan Logistik P2TB”.
4. Distribusi Logistik P2TB.
Distribusi logistic P2TB adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengeluaran dan
pengiriman logistik P2TB dari tempat penyimpanan (Istalasi Farmasi/IF) ke tempat lain
(IFP/IFK/IFF) dengan memenuhi persyaratan baik administratif maupun teknis untuk
memenuhi ketersediaan jenis dan jumlah logistik dan terjaga kualitasnya sampai di tempat
tujuan. Proses distribusi ini harus memperhatikan aspek keamanan, mutu dan manfaat.

Tujuan distribusi logistik P2TB adalah:

a. Terlaksananya pengiriman logistik P2TB seseuai kebutuhan dan terencana (jadwal)


sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang cukup.

b. Terjaminnya ketersediaan logistik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

c. Terjaminnya mutu logistik pada saat pendistribusian

Distribusi dilaksanakan berdasarkan permintaan secara berjenjang untuk memenuhi


kebutuhan logistik di setiap jenjang penyelenggara program penanggulangan TB.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses distribusi adalah:

a. Distribusi dari Pusat dilaksanakan atas permintaan dari Dinas Kesehatan Provinsi.
Distribusi dari Provinsi kepada Kabupaten/ Kota atas permintaan Kabupaten/ Kota.
Distribusi dari Kabupaten/Kotaberdasarkan permintaan Fasyankes.
b. Setelah ada kepastian jumlah logistik yang akan didistribusikan, maka tingkat yang
lebih tinggi mengirimkan surat pemberitahuan kepada tingkat yang dibawahnya
mengenai jumlah, jenis dan waktu pengiriman logistik.
c. Membuat Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan Berita Acara Serah Terima
(BAST).
d. Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan logistik maka Institusi yang bersangkutan
menginformasikan ke Institusi diatasnya untuk dilakukan relokasi atau pengiriman
logistik tersebut.
e. Proses distribusi ke tempat tujuan harus memperhatikan sarana/transportasi
pengiriman yang memenuhi syarat sesuai ketentuan obat atau logistik lainnya yang
dikirim.
f. Penerimaan logistik dilaksanakan pada jam kerja.
g. Penetapan frekuensi pengiriman logistik haruslah memperhatikan antara lain anggaran
yang tersedia, jarak dan kondisi geografis, fasilitas gudang dan sarana yang ada
b. Pembiayaan Logistik P2TB
Pembiayaan dalam pengelolaan logistik program TB sangat diperlukan. Pembiayaan
ini dapat bersumber dari dana APBN, APBD maupun sumber lainnya yang sah sesuai
kebutuhan.Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan
memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu.
Pembiayaan dapat diidentifikasi dari berbagai sumber mulai dari anggaran pemerintah
dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber dana dapat
dimobilisasi.
c. Sistim Informasi Logistik P2TB
Saat ini Program Nasional Pengendalian TB telah menggunakan 2 sistem informasi
untuk pencatatan dan pelaporan Program TB dan TB resistan obat, dimana
didalamnya sudah termasuk sistim informasi tentang pengelolaan logistik P2TB yaitu:
1) Untuk pelaporan TB.13 OAT menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu
(SITT), yang mulai dipergunakan sebagai sistem informasi TB sejak tahun 2011.
2) Untuk pelaporan TB.13 OAT resistan obat menggunakan e-TB Manajer, yang
mulai dipergunakan untuk sistem informasi TB MDR sejak tahun 2009.
d. Sumber Daya Manusia Logistik P2TB
Dalam Pengelolaan Logistik Program TB, dukungan manajemen dari segi Sumber
Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting untuk terciptanya
pengelolaan logistik yang baik. SDM TB untuk mengelola logistik di setiap tingkat
pelaksana sangat dibutuhkan, baik jumlah maupun kompetensi-nya, sehingga perlu
adanya suatu standar ketenagaan, pelatihan dan supervisi sesuai tupoksi dan
bebankerjanya.
Tujuan pengembangan SDM dalam program TB adalah tersedianya tenaga pelaksana
yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata lain “kompeten”)
yang diperlukan dalam pengelolaan logistik program TB, dengan jumlah yang cukup
sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Pengembangan
SDM tidak hanya berkaitan dengan pelatihan tetapi meliputi keseluruhan manajemen
pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang
pengembangan SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam
penanggulangan TB.
e. Pengawasan Mutu Logistik P2TB
Pengawasan atau jaga mutu logaitik P2TB adalah kegiatan yang dilakukan untuk
memastikan bahwa logistic P2TB yang ada terjamin/terjaga kualitasnya baik mulai
dari produksi, distribusi, penyimpanan sampai dengan saat digunakan.
1) Pengawasan Mutu OAT
Pengawasan/jaga mutu OAT adalah kegiatan/proses standardisasi produk OAT
dan sarana yang digunakan mulai dari pre sampai dengan post market, yaitu:
a) Pre-market: pemberian nomor ijin edar, sertifikasi CPOB.
b) Post-market: pemeriksaan setempat, sampling dan pengujian, monitoring efek
samping.
Logistik terutama OAT yang diterima atau disimpan di gudang perbekalan
kesehatan secara rutin harus dilakukan uji mutu. Uji mutu ini dapat dilakukan
secara organoleptik dan laboratorium.
2) Pengawasan Mutu Logistik Non OAT Pengawasan/jaga mutu logistik Non OAT
pada prinsipnya sama dengan jaga mutu OAT, hanya disesuaikan dengan jenis dan
karakteristiknya. Pengawasan/jaga mutu logistic Non OAT dilakukan pada saat
produksi dan distribusi sehingga kualitas logistic Non OAT dapat terjamin
mutunya. Contoh: Reagensia, selain dilakukan uji secara organoleptik juga
dilakukan uji secara laboratorium.

Anda mungkin juga menyukai