Anda di halaman 1dari 2

Mukim dan Meunasah

Meunasah adalah monument keAcehan yang sarat meknanya dengan nilai-nilai


filosofis, historis, agamis, sosiologis, politis, ekonomis, edukatif, heronist, dll, yang menjadi
sumber fungsi meunasah sebagai “ wadah pembelajaran” yang bernilai aset masa dulu, masa
kini, dan masa depan. Fungsi meunasah dan mukim adalah merupakan lanjutan yang sangat
kaya/ luas pembahasannya untuk tulisan/ kajian kajian berikutnya. Ikon budaya pada setiap
gampong di aceh terdapat meunasah jika tidak terdapa meunasah belum bias dikatakan sebuah
gampong. Orang aceh dan meunasah merupakan triangle in one idia (tiga segi, satu perpaduan
ideal/cita-cita/geist) yang melekat pada spirit mmasyarakat dalam membangun kehidupan,
itulah sebabnya meunasah mengandung fungsi utama sebagai sentra titik-titik energi untuk
membina kebersamaan, mengolah alam, melindungi diri untuk mewujudkan kebersamaan.
Fungsi meunasah ini lebih berkembang secara mendasar, setelah agama islam mulai menyebar
menjadi panutan keyakinan masyarakat Aceh. Meskipun menurut Snaeuck Hurgronje, terdapat
berbagai nama untuk meunasah, meulasah, beulasah, yang artinya para ahli mengatakan asal
kata “madrasah” namun sampai dengan hari ini nomenklatur yang di gunakan pemerintah dan
masyarakat Aceh adalah “Meunaasah”. Penasehat pemerintah belanda menjelaskan pada
meunaasah melekat beberapa atau berbagai dimensi fungsi yang memegang peran amat penting
dalam mengendalikan seluruh tatanan aspek kehidupan masyarakat Aceh. Sebelum Indonesia
merdeka, kekuasaan dan kekuatan koordinasi pembinaan tatanan masyarakat gampong di aceh
berapa pada meunasah sebagai pusat kekuatan pemerintahan. Fungsi meunasah sebagai
tumpuan potensi ketahanan untuk melindungi gampongnya dalam mewujudkan kesejahteraan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Verhuel yang mengatakan bahwa: “ Meunasah diaceh
merupakan satu kesatuan teritorial daerah yang keseluruhannya terbentuk karena diusahakan
orang pada sesuatu kenegerian, yang dibagi-bagi dengan wilayah meunasah, sebagai organisasi
terkecil yang membentuk kenegerian. Dalam pengertian orang eropa, meunasah itu merupakan
sebuah daerah otonom yang berpemerintahan sendiri didalam lingkungan kenegerian.
Secara pisik, gampong dipimpin oleh keucik, sedangkan meunasah dipimpin oleh
teungku meunasah, buruk baik maupum manu mundur gampong amat sangat di tentukan oleh
kepemimpinan kedua tokoh itu. Mereka adalah pucuk adat dalam gampong dan disisi lain
menjalankan pemerintahan umum dan Teungku Meunasah ibarat suluh dalam gelap. Mereka
adalah berpucuk keatas, berakar kebawah dan tidak hanya mampu memimpin, tapi juga mampu
mengayomi sehingga memiliki ikatan lahir bathin dengan rakyat. Kalau Snouck Hurguenje,
menyebutnya Keucik, lagee : KU (ayah), Teungku, lagee: MA (ibu) sebagai fungsionaris utama
dalam gampong, sehingga benar-benar dapat menjadi panutan dalam masyarakat. Hal
terpenting lainnya sebagai elemen fungsi Meunasah adalah tuha peut gampong. Tuha Peut
gampong atau dengan nama lain adalah unsur pemerintahan gampong yang berfungsi sebagai
badan permusyawarahan gampong. Dalam kontek fungsi meunasah, hal yang amat menarik
adalah peran dan kewenangan yang melekat pada Keucik, yaitu mono trias functions (tiga
fungsi kekuasaan dalam ketunggalan). Tiga fungsi yaitu Hak dan kewenangan: Eksekutor,
yudikator dan legislator.
Membangun peradaban dari masjid
Namum didaerah luar aceh tidak terdapat meunasah melaikan masjid. Masjid adalah
tempat yang sangat mulia, keberadaan masjid bagi kaum muslim tak terkecuali di Aceh telah
menjadi sarana Pendidikan penting dalam membentuk keperibadian umat termasuk juga di luar
aceh . Terutama dibanda aceh sebagai ibu kota provinsi, ramainya jamaah masjid ibaratkan
barometer suksesnya kerja dakwah oleh para dai dan muslimin lainnya. Masjid solusi bagi
masyarakat sebagai diluar aceh sarana prasarana mendukung aktifitas masyarkat dari segi
agama social dan lingkungan. Masjid juga amat sangat berperan dalam mewujudkan umat
islam yang sejahtera, kokoh, dan mandiri disegala bidang.

Anda mungkin juga menyukai